BAB I            PENDEKATAN ILMIAH DALAM PENGEMBANGAN KEILMUAN    1. Pengantar        Manusia adalah mahluk hidup ciptaan Tuhan yang paling tinggi karakteristik    keintelekannya, dan hal ini jelas ditunjukkan dengan perbedaan pokok antara manusia  dan binatang dalam kemampuannya untuk berpikir secara abstrak. Manusia lebih mampu  untuk mengamati sejumlah objek yang berbeda satu dengan yang lain dan  mengabstraksikan ciri-ciri yang sama dari objek-objek tersebut. Secara berlanjut,  berdasarkan pengalaman yang didapatkan dalam pemecahan berbagai permasalahan  kehidupannya, secara bertahap, terarah dan sistematis manusia menjadikannya  pengetahuan. Dalam usahanya untuk memperoleh batasan umum dari ilmu pengetahuan  itulah manusia secara konsisten menggunakan cara berpikir yang demikian, yang secara  berabad-abad ditata dari generasi ke generasi sehingga didapatkan berbagai cabang ilmu  pengetahuan sebagai suatu kelompok dan mengabstraksikan ciri-ciri yang terkandung  didalamnya yang membedakan satu dengan yang lain, dan menjadikannya berbagai  disiplin keilmuan.          Dalam kaitan dengan itulah disiplin-disiplin yang diperlajari manusia dapat  digolongkan ke dalam tiga kelompok, tanpa mempertimbangkan disiplin-disiplin formal  matematikan dan logika. Dalam kelompok pertama, dapat dimasukkan apa yang biasanya  dinamakan ilmu-ilmu (sciences): Astronomi, Antropologi, Psikologi, Sosiologi, Biologi,  Kimia, Fisika, Pendidikan, Ekonomi, Linguistik, dan sebagainya. Kelompok kedua,  terdiri dari disiplin-disiplin seperti Kesusastraan, Seni, Bahasa, Musik. Sedangkan  kelompok ketiga, diwakili oleh disiplin-disiplin metafisika, filsafat klasik dan agama.  Perkembangan selanjutnya mengenai pengetahuan dan keilmuan makin berkembang  pesat dan secara diagram perkembangan tersebut sementara (karena akan berkembang                                                         1
terus) dapat digambarkan dalam bagan-bagan pengetahuan manusia dan evolusinya  sebagai berikut.1          (1) Cabang-cabang Evolusi Pengetahuan    1 A.M.W. Pranarka, 1987, Epistimologi Dasar, Jakarta : Centre for strategic and International studies, pp.  185-198                                                         2
Bagan pertama, menunjukkan evolusi pengetahuan dengan cabang-cabangnya yang  berupa jenis-jenis pengetahuan. Pengetahuan berkembang secara multiplikatif dan  melahirkan jenis-jenis pengetahuan seperti filsafat, theologi, ilmu, ideologi dan  teknologi. Pengetahuan tumbuh menjadi kompleks, namun di dalam kompleksitas itu  terdapat pula interdependensi.          (2) Ilmu dan Evolusinya                                                         3
Bagan kedua, menunjukkan evolusi ilmu (science), sebagai suatu jenis pengetahuan.  Di sini pun kita melihat betapa ilmu itu tumbuh pula menjadi majemuk, dan membawa  problem kompleksitas di dalamnya. Namun ada pula kecenderungan untuk membangun  titik interdepedensi dari perkembangan yang multiplikatif itu. Dewasa ini dapat  dikelompokkan pembedaan antara ilmu-ilmu pendukung di satu pihak (seperti misalnya  bahasa, logika dan matematika, yang banyak sekali peranannya di bidang metodologi)  dan ilmu-ilmu yang dalam pengertian substansialnya, yang dapat dikelompokkan  menjadi dua : yaitu ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial. Di samping itu  aspek futurologis dari ilmu juga makin tampil, disertai dengan tumbuhnya keterkaitan  ilmu-ilmu dengan teknologi.          (3) Ilmu-Ilmu Pendukung (Instrumental)                                                         4
Bagan ketiga, menunjukkan cabang-cabang pokok dari ilmu pendukung  perkembangan ilmu, yaitu matematika, logika dan bahasa, serta unsur-unsur yang  menjadi perhatian di dalamnya, sehingga terdapat keterkaitan yang simeteris          (4) Ilmu Pengetahuan Alam                                                         5
Bagan keempat, menunjukkan peta pertumbuhan ilmu pengetahuan alam, mencakup  berbagai disiplin-disiplin ilmu yang tumbuh sebagai cabang-cabang di dalamnya.  Selanjutnya Ilmu Pengetahuan Alam melalui biologi menjadi terkait dengan ilmu-ilmu  sosial, antara lain tampak di dalam perkembangan psikolinguistik. Demikian juga terjadi  proses keterkaitan dengan teknologi.          (5) Ilmu Pengetahuan Alam menurut bahan yang dipelajari          Bagan kelima, menunjukkan peta pertumbuhan ilmu pengetahuan alam, menurut  bidang yang dipelajari, diteliti atau dikaji. Ada garis keterkaitan dari zat, daya, kemudian  bumi, dan selanjutnya kehidupan. Kemudian ada garis keterkaitan pula dengan biologi  sampai kepada manusia, dan karenanya juga dengan ilmu pengetahuan sosial.  Perkembangan bioteknologi dan psikoteknologi menunjukkan tumbuhnya keterkaitan  ilmu pengetahuan alam dengan teknologi dan sekaligus juga dengan ilmu sosial. Sekali                                                         6
lagi kita dihadapkan kepada perkembangan yang menjadi majemuk, dan membawa serta  problem kompleksitas dan interdependensi.          (6) Ilmu Pengetahuan Sosial          Bagan keenam, menunjukkan secara sederhana evolusi pengetahuan sosial menurut  bidang yang diamati, dipelajari dan dikaji. Dapat dilihat betapa evolusi ini menghasilkan  cabang-cabang yang begitu majemuk, namun terkait satu dengan yang lain. Bagan di atas  belum lagi memuat tambahan kompleksitas yang diakibatkan tumbuhnya interdependensi  antara ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan soaial, dan ilmu pengetahuan sosial  dengan perkembangan teknologi.                                                         7
(7) Ilmu Pengetahuan Sosial menurut Disiplin Ilmu                                                8
Bagan ketujuh, menunjukkan secara sederhana evolusi pengetahuan sosial ditinjau  dari berbagai disiplin ilmu di dalamnya. Bagan tersebut tentu saja masih dapat dibuat  menjadi lebih majemuk lagi dengan tumbuhnya berbagai cabang-cabang dan ranting-  ranting yang menggurita di dalam disiplin-disiplin tersebut.          (8) Filsafat                                                         9
Bagan kedelapan, menunjukkan perkembangan filsafat, sebagai suatu jenis  pengetahuan. Filsafat juga tumbuh menjadi majemuk, membawa serta problem  kompleksitas dan interdependensi.          (9) Theologia          Bagan kesembilan, menunjukkan peta perkembangan pemikiran keagamaan  (theologi) sebagai suatu jenis pengetahuan lain lagi, yang juga mengungkapkan sifat  maupun permasalahan dasar yang sama.                                                         10
(10) Teknologi          Bagan kesepuluh, menunjukkan peta perkembangan teknologi : sejarahnya, sifat  dasarnya, elemen-elemennya dan medan lingkungannya. Sebagai bagian dari evolusi  pengetahuan, teknologi telah tumbuh menggurita, menjadi multiplikatif.                                                         11
(11) Perkembangan Ideologi                                                12
Bagan kesebelas, menunjukkan peta perkembangan ideologi, yang pada zaman  modern menjadi sistem yang eksplisit         Dari uraian dan tampilan bagan di atas, perlu disadari bahwa perkembangan  pengetahuan manusia yang telah menggurita tersebut, belumlah selesai. Sesuai dengan  perkembangan dan kemajuan pikir manusia evolusi pengetahuan, dan pertumbuhan jenis-  jenis pengetahuan masih akan berjalan terus.          Dalam proses perkembangan pengetahuan dan ilmu-ilmu tersebut dalam usahanya  memecahkan masalah yang dihadapi oleh kehidupan kemanusiaan akan menggunakan  pendekatan-pendekatan ilmiah yang dari waktu ke waktu akan berkembang dan  meningkat kualitasnya. Maka dari itulah, satu ciri dari ilmu-ilmu (sciences) adalah semua  menggunakan pendekatan yang sama dalam pemecahan masalah, yaitu metode ilmiah.  Metode ilmiah merupakan suatu rangkaian proses yang digunakan untuk memperoleh  jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan.          Disiplin-disiplin yang termasuk dalam kelompok pertama dan kedua seperti yang  disinggung pada awal di atas, berbeda dengan disiplin metafisik dalam macam masalah  yang dipelajari. Orang-orang yang mempelajari bidang-bidang studi kelompok pertama  dan kedua berusaha untuk menelaah masalah-masalah yang dapat dipecahkan atau diatasi  manusia; sedangkan bidang-bidang studi kelompok ketiga pada umumnya ingin  mempelajari pemecahan persoalan yang sebenarnya di luar jangkauan riil kemampuan  manusia. Misalnya, pertanyaan apa yang menyebabkan adanya alam semesta, adalah  merupakan pertanyaan yang tidak dapat dijawab dan harus dipelajari dalam agama dan  filsafat klasik. Perbedaan antara kedua masalah tersebut terletak pada pendekatannya,  yaitu masalah pertama pemecahannya dapat dilakukan dengan optimalisasi penggunaan  kemampuan manusia yaitu dalam menelaah fonomena di dunia ini yang dapat diamati  dan dapat dibahas secara empiris. Sedangkan masalah kedua merupakan pertanyaan yang  jawabannya berbeda di luar kemampuan manusia.           Berdasarkan kajian di atas, dapat diberikan batasan tentang ilmu (science) sebagai  penerapan dari metode ilmiah untuk masalah-masalah yang dapat dipecahkan. Dengan  bantuan ilmu secara umum tersebut dapat dibicarakan metode ilmiah, terutama  penerapannya dalam penelitian empiris, mulai dari dasar-dasar filosofis, logika, deduktif-  induktif sampai dengan interprestasinya. Komponen dan cara berpikir yang digunakan                                                         13
dalam penelitian ilmiah inilah yang akan menentukan kerangka berpikir dan sikap yang  selaras dengan prinsip-prinsip empirisme yang hingga kini merupakan dasar kokoh untuk  membangun ilmu pengetahuan.          Memang benar bahwa kebanyakan ilmuwan senantiasa berhubungan dengan fakta,  maka dari itu, kebanyakan ilmu-ilmu modern diwarnai oleh sikap dan pendekatan  empiris yang kuat. Acap kali kata empiris digunakan dalam arti yang sangat berbeda.  Pandangan pragmatis mendefinisikan empiris adalah : “dituntun oleh pengalaman dan  pengamatan praktis”. Tetapi dari segi pendekatan keilmuan empiris diartikan sebagai :  “dituntun oleh bukti fakta yang diperoleh dalam penelitian ilmiah yang sistematik dan  terkontrol” Pernyataan yang bersifat empiris tidak harus berarti bahwa pernyataan  tersebut benar, karena pernyataan tersebut didasarkan atas penelitian dan bukti, tetapi  kemungkinan bahwa itu benar lebih besar dari pada pernyataan yang didasarkan atas  kepercayaan saja. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa pernyataan empiris itu benar,  walaupun kata empiris penting artinya di dalam proses pembuktian, karena kata tersebut  menunjukkan cara untuk memandang dunia dan manusia, yang sangat berbeda dengan  cara tradisional yang mencari penjelasan dari orang yang dianggap ahli, dari akal, atau  rasio saja. Para ilmuwan tidak puas dengan bertanya hanya pada sesamanya. Bila ada  pertanyaan dan menurut pikiran mereka pertanyaan tersebut dapat dijawab secara ilmiah,  maka mereka akan mengadakan pendekatan yang berbeda dengan cara tradisional,  meskipun mungkin telah ada tersusun kerangka teoretisnya. Dalam pikirannya selalu  timbul pertanyaan, apa yang dapat diungkapnya secara ilmiah sesuai dengan fakta yang  ada?, dan cara ini merupakan salahsatu cara manusia mendapatkan ilmu, yang pada  hakikatnya adalah verifikasi dari berbagai pengetahuan manusia secara terus menerus  dan berlanjut (developing and verification experience enabling science and technology)           2. Sumber Pengetahuan        Sebelum dibicarakan lebih lanjut mengenai ilmu, terlebih dahulu ditinjau cara-cara  manusia sepanjang sejarah mencari jawaban-jawaban yang diperlukan untuk pemecahan  masalah kehidupannya. Sumber-sumber pengetahuan dapat dikelompokkan ke dalam  katagori : a) pengalaman, b) keahlian (kewenangan), c) penalaran deduktif, d) penalaran  induktif, dan e) metode ilmiah                                                         14
a. Pengalaman        Pengalaman merupakan salah satu sumber pengetahuan yang sering digunakan  manusia memecahkan masalah yang dihadapi atau pengalaman yang berulang-ulang  digunakan sebagai bahan penarikan suatu kesimpulan yang selanjutnya sering digunakan  sebagai dasar pemecahan masalah yang dihadapi. Seperti contoh berikut ; seseorang  anak yang mencoba beberapa jalan yang ada, untuk pergi ke sekolah dari rumahnya,  dimana dia mendapatkan pengalaman dan tahu jalan mana yang memakan waktu paling  sedikit, atau yang tidak ramai, atau yang paling menyenangkan. Ini berarti, melalui  pengalaman pribadi orang dapat menemukan jawaban-jawaban terhadap berbagai  pertanyaan yang dihadapinya. Begitu pula pengetahuan yang diturunkan oleh satu  generasi ke generasi berikut umumnya merupakan hasil dari pengalaman manusia. Bila  manusia tidak dapat mengambil keuntungan dari pengalamannya, kemajuannya akan  sangat terlambat. Kemampuan belajar dari pengalaman merupakan suatu ciri yang  terpenting dari manusia.        Sekalipun kegunaanya cukup besar, pengalaman sebagai sumber kebenaran  mempunyai keterbatasan-keterbatasan, karena seseorang bisa terpengaruh oleh suatu  peristiwa tergantung pada situasi dan kondisi orang bersangkutan. Dua orang bisa  mempunyai pengalaman yang sangat berbeda sekalipun mereka berada dalam situasi dan  tempat yang sama. Umpamanya; hutan yang bagi seseorang merupakan keindahan alam  yang harus dinikmati, tapi bagi orang lain mungkin memberi kesan yang menakutkan  atau bahkan mengerikan. Begitu juga, dua pengamat yang mengadakan observasi dalam  kelas yang sama dan pada waktu yang sama dapat memberikan laporan yang berlainan,  bisa yang seorang melaporkan segala sesuatu yang dianggap salah yang diobservasinya,  dan yang lain mencatat apa saja yang dianggapnya benar.          b. Keahlian        Dalam perjalanan hidupnya manusia seringkali menjumpai hal-hal yang sulit atau  tidak mungkin diketahuinya melalui pengalaman pribadi. Saat seperti itu manusia akan  berpaling kepada orang lain yang dianggap mengetahui, berpengalaman, atau  mempunyai keahlian tentang hal tersebut. Manusia biasanya menganggap informasi dari  para ahli sebagai kebenaran. Seperti misalnya; untuk mengetahui jumlah peserta didik                                                         15
sekolah dasar dan sekolah menengah diseluruh Indonesia, orang akan berpaling ke  pejabat Departemen Pendidikan Nasional, begitu pula bila kita ingin mengetahui arti  yang tidak kita ketahui kita akan menggunakan kamus sebagai sumber kebenaran. Bila  seseorang mempunyai masalah yang menyangkut hukum, ia akan meminta nasehat  seorang ahli hukum. Seorang guru yang baru menamatkan pelajarannya akan  berkonsultasi dengan guru yang telah berpengalaman. Seorang guru mungkin akan  menggunakan suatu metode pembelajaran realistik matematik (Realistic Mathematic  Education/RET) karena saran seorang rekannya yang dianggap ahli dalam pembelajaran  matematika.          Sepanjang sejarah manusia banyak dapat ditemukan contoh-contoh ketergantungan  manusia pada orang yang dianggap ahli dalam mencari kebenaran. Selama abad  pertengahan, para ilmuwan kuno Yunani seperti Plato dan Aristoteles, dan Pastor Gereja,  dipandang sebagai sumber-sumber kebenaran yang lebih tinggi nilainya dari pengamatan  langsung atau pengalaman. Meskipun keahlian merupakan salah satu sumber  pengetahuan yang bermanfaat, kita tidak dapat melupakan pertanyaan : “Bagaimana para  ahli tersebut tahu?. Jaman dahulu seorang ahli dianggap benar hanya karena jabatan yang  dipangkunya misalnya seorang Raja, atau Pendeta. Sekarang orang tidak mau lagi  semata-mata tergantung pada individu sebagai ahli karena jabatannya. Kini orang  cenderung untuk menerima asumsi-asumsi seorang ahli hanya bila ia mendasarkan  pernyataan-pernyataannya pada pengalaman atau sumber-sumber pengetahuan lain yang  dapat dipercaya.          Dalam usahanya untuk mencari jawaban terhadap permasalahan yang dihadapi,  manusia seringkali juga tergantung pada adat dan kebiasaanya, baik yang menyangkut  masalah-masalah profesional maupun mengenai kehidupan sehari-hari. Dengan  perkataan lain, orang sering bertanya, “Bagaimana ini dikerjakan pada masa lampau?”  dan kemudian menggunakan jawabannya sebagai penuntun perilakunya. Sebagai sumber  kebenaran, kebiasaan mempunyai kekurangan-kekurangan yang harus dipelajari secara  cermat. Seperti juga sering para ahli saling tidak setuju mengenai suatu persoalan. Ini  menunjukkan bahwa pernyataan-pernyataan mereka seringkali lebih merupakan pendapat  pribadi daripada fakta. Di samping itu, para ahli juga bisa keliru; mereka adalah manusia  biasa yang tak luput dari kelemahan dan kesalahan.                                                         16
c. Penalaran Deduktif        Mungkin sumbangan penting pertama dalam pengembangan suatu pendekatan  sistematik untuk menemukan kebenaran diberikan oleh para ahli filsafat kuno Yunani.  Aristoteles beserta pengikutnya memperkenalkan penggunaan penalaran deduktif, yang  dapat digambarkan sebagai suatu proses berpikir dimana orang bertolak dari pernyataan-  pernyataan (premis-premis) yang umum ke pernyataan-pernyataan yang khusus dengan  menggunakan aturan-aturan logika. Penalaran deduktif merupakan suatu sistem untuk  menyusun fakta-fakta yang telah diketahui sebelumnya agar dapat ditarik kesimpulan. Ini  dilakukan melalui suatu rentetan pernyataan yang dinamakan silogisme. Silogisme berisi  (1) premis mayor; (2) premis minor; dan (3) kesimpulan. Contoh penalaran silogistik  adalah sebagai berikut : (1) semua manusia dapat mati (premis mayor); (2) Cemblong itu  adalah manusia (premis minor); karena itu (3) Cemblong itu dapat mati (kesimpulan)        Dalam penalaran deduktif, bila premis-premis benar; kesimpulannya harus benar.  Penalaran deduktif memungkinkan kita menyusun premis-premis ke dalam pola-pola  yang memberikan bukti konklusif untuk validitas suatu kesimpulan. Akan tetapi,  penalaran deduktif mempunyai keterbatasan – keterbatasan. Kesimpulan silogisme tidak  pernah dapat melebihi isi premis-premisnya. Karena itu kita harus mulai dengan premis-  premis yang benar agar kita dapat memperoleh kesimpulan yang dapat dipercaya. Karena  kesimpulan deduktif merupakan peruwujudan dari pengetahuan yang sudah ada  sebelumnya, maka dari itu harus disadari bahwa penyelidikan ilmiah tidak dilakukan  hanya melalui penalaran deduktif. Hal ini disebabkan karena kesulitan dalam menyajikan  kebenaran semesta (universal truth) dari sejumlah pernyataan mengenai peristiwa-  peristiwa ilmiah. Penalaran deduktif dapat menyusun apa yang sudah diketahui dan dapat  melahirkan hubungan baru pada waktu kita bergerak dari pernyataan yang umum ke  yang khusus, tapi belum cukup untuk menjadi sumber kebenaran baru.        Sekalipun mempunyai beberapa keterbatasan , penalaran deduktif bermanfaat pada  proses penelitian. Penalaran ini juga memungkinkan para peneliti untuk menyimpulkan  fenomena apa yang harus diamati dari teori yang sudah ada. Deduksi dari teori dapat  melahirkan hipotesis, yang merupakan bagian-bagian dari penelitian ilmiah.                                                         17
d. Penalaran Induktif        Kesimpulan-kesimpulan penalaran deduktif benar hanya bila premis-premisnya  benar. Tetapi bagaimana orang tahu kalau premis-premis tersebut benar? Dalam abad  pertengahan dogma seringkali digunakan sebagai pengganti premis-premis yang benar.  Akan tetapi hasilnya merupakan kesimpulan yang tidak mempunyai validitas. Kemudian  muncullah seorang yang bernama Francis Bacon (1561-1626), orang pertama yang  memperkenalkan pendekatan baru untuk memperoleh pengetahuan. Ia berpendapat  bahwa orang seharusnya tidak perlu memperbudak diri sendiri dengan cara premis-  premis yang diberikan oleh orang-orang yang dianggap ahli sebagai kebenaran mutlak. Ia  berpendapat bahwa peneliti harus menyusun kesimpulan umum berdasarkan fakta yang  dikumpulkan melalui pengamatan langsung. Bacon berkata kepada orang-orang yang  mencari kebenaran agar mengadakan pengamatan, mengumpulkan fakta dan membuat  kesimpulan dari penemuan-penemuannya. Inilah yang menjadi prinsip dasar dari semua  ilmu. Dalam sistem Bacon pengamatan dilakukan pada waktu-waktu tertentu umpama  terhadap suatu variabel, kemudian kesimpulan mengenai seluruh variabel dibuat. Ini  dikenal sebagai penalaran induktif, yang prosesnya berlawanan dengan deduktif.        Perlu diperhatikan bahwa dalam penalaran deduktif premis-premis yang digunakan  harus sudah diketahui sebelum kesimpulan dibuat. Tetapi dalam penalaran induktif  kesimpulan diambil dengan pengamatan pada kasus-kasus dan kemudian barulah  penyimpulan dari kasus-kasus tersebut diambil. Agar supaya kesimpulan induktif lebih  dapat dipercaya, semua kasus harus diamati. Ini dikenal sebagai induksi sempurna dalam  sistem Bacon. Cara ini menuntut peneliti untuk mengamati setiap kasus. Dalam  kenyataan hal ini pada umumnya tidak mungkin dilakukan, maka dari itu biasanya  terjadi induksi yang tak sempurna berdasarkan pengamatan tak tuntas.        Kesimpulan-kesimpulan induktif dapat mutlak (hanya) apabila jumlah kasus-kasus  yang disimpulkan kecil. Misalnya, seorang dosen melihat bahwa semua mahasiswa yang  berkacamata yang sekarang terdaftar dalam kelasnya mempunyai nilai metode statatistika  di atas rata-rata, tetapi ia tidak dapat membuat kesimpulan yang sah mengenai nilai  metode statistika para mahasiswa yang berkacamata di kelas lain atau kelak kemudian  hari akan memiliki nilai di atas rata-rata.                                                         18
Dalam kaitan dengan hal di atas, karena induksi sempurna baru bisa dibuat hanya  dari contoh yang kecil, maka, biasanya terpaksa dibuat induksi tidak sempurna, yaitu  suatu sistem dimana kita mengamati contoh dari suatu kelompok dan mengambil  kesimpulan daripadanya mengenai ciri-ciri yang sama dengan seluruh kelompok  tersebut, dan inilah cikal bakal munculnya metode sampling pada menelitian-penelitian  yang menggunakan populasi yang besar.          Sebagai suatu contoh dari kesimpulan yang didasarkan atas induksi tak sempurna  adalah (umpamanya) pendapat dewasa ini mengenai ciri-ciri fisik setiap anak yang  sangat cerdas. Berkembang pendapat orang umumnya percaya bahwa anak-anak yang  mempunyai kecerdasan yang luar biasa lazimnya mempunyai fiisk yang kurang kekar  dan memakai kacamata. Di samping itu orang percaya bahwa anak-anak yang sangat  pandai mempunyai perkembangan fisik di atas rata-rata dibandingkan dengan anak-anak  biasa.          Perlu diperhatikan bahwa kesimpulan ini tidak dibuktikan secara pasif, melainkan  hanya menggambarkan suatu kemungkinan kebenaran saja. Untuk memperoleh  kesimpulan yang benar kita harus mengukur badan setiap anak yang digolongkan cerdas.  Seandainya hal itu dapat dilakukan, kita belum tahu apakah anak-anak cerdas di kelak  kemudian hari akan demikian cirinya.          e. Metode ilmiah        Penalaran induktif maupun penalaran deduktif masing-masing memiliki  keterbatasan, sehingga penerapannya secara murni tidak akan mendatangkan hasil yang  signifikan secara akumulatif dalam pengembangan ilmu pengetahuan, di samping  memang (telah diketahui) bahwa banyak persoalan tidak dapat dipecahkan hanya dengan  induksi, maka dari itu para ilmuwan mengintegrasikan aspek-aspek penting dari metode-  metode induktif-dedutif dan selanjutnya lebih dikenal dengan nama metode ilmiah.        Charles Darwin adalah orang pertama yang menggunakan metode ini dalam  usahanya untuk mengembangkan teori evolusi melalui pengamatan biologis, yang  akhirnya berhasil menyusun hasilnya secara cermat. Pada mulanya Darwin hanya  menggunakan observasi saja, tapi akhirnya ia sadar bahwa observasi saja tidak akan  produktif. Karena itu ia memutuskan untuk merumuskan hipotesis dari data  pengamatanya. Setelah itu ia menguji hipotesis tersebut dengan cara membuat deduksi                                                         19
daripadanya dan mengumpulkan data tambahan untuk menentukan apakah data ini  mendukung hipotesisnya. Dari metode penelitiannya ini ia dapat mengembangkan teori  evolusinya. Penerapan penalaran induktif dan deduktif merupakan ciri utama dari  penelitian ilmiah yang modern yang dianggap sebagai metode yang paling dapat  diandalkan untuk memperoleh pengetahuan.          Metode ilmiah biasanya dilukiskan sebagai suatu proses dimana peneliti menalar  secara induktif dari pengamatan-pengamatannya ke arah hipotesis dan kemudian secara  deduktif dari hipotesis ke arah implikasi logis hipotesis tersebut. Peneliti mendeduksikan  hasil yang akan diperolehnya, bila hipotesis tersebut didukung oleh data observasinya.  Bila implikasi yang dideduksikan ini sesuai dengan pengetahuan yang sudah ada, maka  ini kemudian diuji dengan data empiris tambahan. Berdasarkan atas bukti inilah, maka  hipotesis peneliti ditolak atau diterima          Penggunaan hipotesis merupakan perbedaan utama antara pendekatan ilmiah  dengan penalaran induktif. Dalam penalaran induktif orang mengadakan pengamatan  dulu kemudian ia menyusun informasi yang diperolehnya. Dalam pendekatan ilmiah  orang berpikir tentang apa yang akan ditemukannya bila suatu hipotesis benar (didukung  oleh data), dan kemudian secara sistematis ia mengamati datanya untuk menguji  hipotesisnya. Maka dari itu metode ilmiah sering dirumuskan sebagai Dedukto-  Hipotetiko-Verifikatif, dan keterkaitannya dapat digambarkan dalam spektrum penelitian  berikut.                       Spektrum Penelitian                                    Logika                                                                            Berpikir                                                                              Ilmiah                                        Masalah                                                                              Logiko                  Kajian                Koheren              Kajian                 Teori                                    Empirik                                       Kerangka Berfikir                            Deduktif  Inheren Hipotesis      Umpan                                     Verifikasi  Induktif      Balik                                                                            Hipotetiko  (feedback)                                                                    Umpan                                                                     Balik                                                                              Verifikatif    dantes 19/09/2007                   Simpulan                                        20
Yang perlu diingat disini ialah bahwa metode ilmiah merupakan suatu proses  penelitian yang dilakukan melalui bagian-bagian yang saling tergantung satu dengan  yang lain. Ini adalah suatu metode penelitian yang senantiasa berkembang sepanjang  masa dan telah dipertahankan, karena metode tersebut telah membuktikan sebagai  metode yang berhasil sampai kini untuk memahami dunia kita yang rumit ini.          Perlu diketahui bahwa semua ilmu, meskipun berbeda satu sama yang lain dalam  materi atau dalam teknik-teknik tertentu, mempunyai metode umum yang sama untuk  memperoleh pengetahuan yang dapat dipercaya. Metode penyelidikan inilah yang  menentukan apakah suatu disiplin dapat dianggap sebagai ilmu. Mungkin ilmu dapat  digambarkan sebagai suatu metode penelitian yang memungkinkan peneliti mempelajari  fenomena yang menarik perhatiannya. Di samping metode yang digunakan para ilmuwan  dalam mencari kebenaran, terdapat aspek-aspek lain tertentu dari ilmu yang perlu kita  ketahui, yaitu : 1) asumsi para ilmuwan, 2) sikap para ilmuwan, dan 3) puncak kegiatan  ilmiah dalam perumusan teori.          1). Asumsi Para Ilmuwan        Asumsi dasar yang dipegang teguh oleh para ilmuwan adalah bahwa peristiwa-  peristiwa yang mereka selidiki sesuai dengan hukum atau menurut pola tertentu, tiada  peristiwa yang terjadi begitu saja. Ilmu didasarkan atas kepercayaan bahwa semua  fenomena alam mempunyai faktor-faktor pendahulu, yang dapat ditemukan. Asumsi ini  kadang-kadang dinamakan determinisme semesta (universal determiniem). Orang jaman  dahulu berpikir dari sebab-sebab gaib dari peristiwa yang dilihatnya, dan selanjutnya  ilmu modern tidak dapat berkembang sebelum orang mulai dapat melihat di luar  keterangan-keterangan gaib tersebut, dan mulai mengandalkan observasi terhadap alam  itu sendiri untuk memberikan jawaban.        Asumsi ini mengandung pernyataan bahwa dalam kondisi-kondisi tertentu  peristiwa-peristiwa di dunia ( paling tidak sampai pada taraf tertentu), terjadi menurut  pola-pola tertentu dan teratur, serta semua itu dapat diketahui melalui kegiatan metode  ilmiah.        Ilmuwan juga berasumsi bahwa kebenaran akhirnya dapat diperoleh hanya melalui  pengamatan langsung. Kepercayaan pada pengamatan tergantung pada keseriusan dan  ketekunan dalam mencari kebenaran ilmu, termasuk berusaha untuk mencari bukti                                                         21
(evidence). Dalam sejarah ilmu diketahui bahwa para ilmuwan tidak menerima begitu  saja apa yang menjadi gagasan pada saat tertentu, dan mereka mengadakan pengamatan  dan percobaan sendiri. Seperti, percobaan-percobaan Galileo mengenai benda jatuh  menghasilkan pengetahuan baru yang membantah apa yang dikatakan oleh “para ahli”  pada saat itu. Asumsi ini percaya bahwa hanya fenomena yang benar-benar dapat  diamatilah yang dapat dimasukkan dalam bidang penelitian ilmiah.          2). Sikap ilmuwan        Pada hakikatnya ilmuwan adalah orang yang tidak mau percaya begitu saja apa  yang dikatakan orang, ilmuwan termasuk memiliki sikap skeptis terhadap data ilmu.  Penemuan-penemuan dianggap bersikap sementara dan tidak akan diterima ilmuwan  kalau tidak dapat diuji. Pengujian (verification) menuntut bahwa orang lain harus dapat  mengulangi pengamatan dan memperoleh hasil yang sama.         Ilmuwan juga bersikap netral dan tidak memihak dalam melaksanakan pengamatan  dan interpretasi data. Ia sangat hati-hati dalam pengumpulan data sehingga pendapat  pribadinya jangan sampai mempengaruhi pengamatannya. Ia berusaha untuk  memperoleh fakta kenyataan dan akan menerimanya sekalipun berlawanan dengan  pendapatnya sendiri. Bila bukti yang dikumpulkan mengacaukan praduga dan  prasangkannya, maka ia akan menolak praduga atau prasangka tersebut dan akan  menyusun yang sesuai dengan atau berdasarkan atas data faktual yang diperolehnya itu.        Ilmuwan bekerja dan membicarakan dengan fakta, bukan nilai. Ia tidak berbicara  terlebih dahulu mengenai implikasi moral yang potensial dalam pemuan-penemuannya;  ia tidak membuat keputusan mengenai apa yang baik atau apa yang buruk. Ilmuwan  memberikan data mengenai hubungan yang ada antara peristiwa-peristiwa. Kita harus  mendalaminya sendiri bila kita ingin menentukan apakah konsekuensi tersebut kita  inginkan. Jadi, sekalipun penemuan ilmiah penting untuk pemecahan suatu masalah yang  mengandung keputusan nilai, data itu sendiri tidak menunjukkan keputusan nilai (value  judgment)        Ilmuwan tidak menaruh perhatian pada fakta secara mandiri, melainkan  memusatkan perhatian pada hubungan antara fakta-fakta atau hubungan antara variabel-  variabel yang ditemukan dalam pengamatannya. Ia ingin menuangkan penemuannya                                                         22
dalam suatu pernyataan yang tersusun rapi. Jadi, ilmuwan bertujuan untuk menemukan  teori yang dapat menyajikan penemuan empirisnya dalam suatu pola yang jelas dan  berarti. Sekalipun demikian ia tetap menganggap bahwa teori tersebut hanya bersifat  sementara, diterima sampai ada penemuan baru mengenai hal itu.          3). Teori ilmiah        Aspek terakhir dari konsep ilmu yang perlu diketahui adalah penyusunan teori.  Melalui penelitian empirisnya ilmuwan mengumpulkan fakta. Tapi setelah fakta-fakta  tersebut menumpuk diperlukan integrasi, organisasi, dan klasifikasi agar fakta yang  bercerai-berai tersusun rapi dan berarti. Ilmuan harus melihat hubungan-hubungan yang  terdapat dalam datanya dan ia harus menerangkannya. Dengan perkataan lain, teori harus  dirumuskan. Teori dapat diartikan sebagai seperangkat konsep dan definisi yang saling  berhubungan yang mencerminkan suatu pandangan sistematik mengenai fenomena  dengan menerangkan hubungan –hubungan antara variabel, dengan tujuan untuk  menerangkan dan meramalkan fenomena.        Teori menjalin hasil pengamatan ke dalam suatu pengertian utuh yang  memungkinkan ilmuwan untuk membuat pernyataan umum tentang variabel-variabel dan  hubungan-hubungannya. Misalnya, dapat dilihat bahwa; bila tekanan dibuat sama. Gas  hidrogen akan mengembang kalau temperaturnya dipertinggi dalam 20 derajat ke 40  derajat. Dapat disaksikan bahwa bila tekanannya sama, gas oksigen mengerut kalau  temperatur dikurangi dari 60 derajat ke 50 derajat. Teori yang dikenal sebagai hukum  Charles merangkum apa yang diamati mengenai akibat dari perubahan temperatur pada  volume semua gas dengan pernyataan bahwa ; dengan tekanan yang sama, bila  temperatur gas dinaikkan, volume akan naik dan bila temperatur gas diturunkan, volume  akan berkurang. Teori ini tidak hanya merangkum informasi sebelumnya, melainkan juga  meramalkan fenomena lain dengan memberitahu kepada kita tentang apa yang akan  terjadi pada gas apa saja, bila temperatur berubah.        Tujuan akhir dari ilmu adalah menyusun teori. Teori ilmiah adalah keterangan  yang bersifat sementara mengenai fenomena. Dari keterangan tersebut kita dapat bertolak  dan membuat ramalan dan akhirnya mengontrol. Misalnya begitu teori tentang hubungan  antara nyamuk Anopheles dengan malaria pada manusia diketahui, maka kita dapat (1)                                                         23
menerangkan mengapa malaria endemik di beberapa daerah dan tidak endemik di daerah  lain, (2) meramalkan bagaimana perubahan lingkungan akan menyertai perubahan-  perubahan dalam gejolak malaria, (3) mengontrol malaria dengan mengubah  lingkungannya meskipun tujuan dasar ilmu adalah menyusun teori, sedangkan kegiatan  ilmiah memberikan : keterangan, ramalan, dan kontrol.          4). Jenis Teori        Teori yang dikembangkan terutama untuk menerangkan pengamatan sebelumnya  dikenal sebagai teori induktif. Misalnya, setelah serangkain percobaan mengenai ingatan,  Ebbinghaus menerangkan pengamatannya dengan menyatakan bahwa kegiatan materi  yang dapat diingat dapat digambarkan sebagai kurva yang menurun, dimana kecepatan  awal dari kelupaan adalah lebih besar daripada kecepatan kelupaan berikutnya. Sekalipun  pengamatan Ebbinghaus terbatas pada satu subyek, dirinya sendiri, teorinya diperkuat  oleh penelitian-penelitian berikutnya.        Teori yang dikembangkan dengan sedikit atau tanpa pengamatan fenomena disebut  teori hipotetik-deduktif. Biasanya teori semacam itu terdiri dari seperangkat hipotesis,  yang merupakan suatu sistem deduktif. Dengan perkataan lain, teori itu terdiri dari  seperangkat pernyataan dan kemudian seperangkat deduksi diambil secara logis dari  hipotesis-hipotesis yang tingkatannya lebih tinggi.        Kebanyakan teori tidak secara murni induktif atau hipotetik-deduktif, tetapi disusun  setelah beberapa pengamatan dilakukan. Teori diperlukan untuk merangkum  pengamatan-pengamatan tersebut dengan maksud agar dapat memberikan petunjuk  pengamatan-pengamatan yang akan dilakukan pada waktu-waktu mendatang.                                                         24
25
                                
                                
                                Search
                            
                            Read the Text Version
- 1 - 25
Pages:
                                             
                    