DASAR
ntuk memahami dan menerapkan sebuah disiplin ilmu, terlebih Udahulu perlu diawali dengan membahas dan mengkaji hal-hal yan mendasar dari disiplin ilmu tersebut. Hal-hal yang mendasar itu meliputi latar belakang, pengertian, objek kajian, tujuan dan fungsi, sejarah perkembangan, peranan ilmu tersebut terhadap ilmu yang lainnya dan aliran-aliran ilmu tersebut. Demikian pula, pemahaman dan penerapan ilmu ushul dalam melahirkan hukum memerlukan pembahasan dan pengkajian yang komprehensip terhadap hal yang mendasar dari disiplin ilmu tersebut. Dalam bagian 1 ini, Anda akan diantarkan kepada suatu pemahaman mengenai Latar Belakang lahirnya ushul qh, Pengertian ushul qh, Objek Kajian ushul qh, Tujuan dan Fungsi Ushul Fiqh, Sejarah Perkembangan Ushul qh, Peranan Ushul Fiqh dalam Perkembangan Fiqh Islam, dan Aliran-aliran Ushul Fiqh. Mudah-mudahan Anda dapat memahami secara menyeluruh apa yang diuraikan dalam bagian ini, sebab pemahaman tersebut akan menjadi bekal dalam memahami dan menerapkan ushul qh dalam mengeluarkan hukum dari persoalan- persoalan baru yang dihadapi umat Islam. Setelah mempelajari bagian ini, diharapkan Anda mampu memahami dan menerapkan kaidah- kaidah ushul Fiqh dalam menyelesaikan persoalan hukum yang belum jelas ketetapan hukumnya. Secara lebih khusus, Anda diharapkan: 1. Menjelaskan Pengertian Ushul Fiqh 2. Mengidentii kasi Objek Kajian Ushul Fiqh 3. Menguraikan Tujuan dan Fungsi Ushul Fiqh 4. Menguaikan Sejarah Perkembangan Ushul 5. Menjelaskan Peranan Ushul Fiqh dalam Perkembangan Fiqh Islam 6. Mengidenti kasi Aliran-aliran Ushul Fiqh Untuk mencapai kemampuan di atas, sebaiknya Anda telah memahami Bahasa Arab, menguasai isi kandungan al-Qur’an dan hadits Rasulullah. Hal tersebut diperlukan sebagai dasar bagi Anda dalam menganalisis masalah yang akan dan boleh dicari dan ditetapkan hukumnya. Kemampuan- kemampuan yanag Anda kuasai setelah mempelajari bagian ini akan
berguna bagi Anda dalam mengidenti kasi masalah-masalah yang menjadi objek kajian Ushul Fiqh dan dan bagaimana cara penyelesaiaannya. Modul ini terdiri dari empat kegiatan belajar. Dalam kegiatan belajar 1 disajikan Latar Belakang, Pengertian, Objek Kajian, Tujuan dan Fungsi Ushul Fiqh. Dalam kegiatan belajar 2 disajikan mengenai Sejarah Perkembangan Ushul Dalam kegiatan belajar 3 diuaikan mengenai Peranan Ushul Fiqh dalam Perkembangan Fiqh Islam. Dan, dalam kegiatan belajar 4 disajikan mengenai Aliran-aliran Ushul Fiqh. Kegiatan belajar 1 dirancang untuk pencapaian kemampuan 1 s.d. 3. Kegiatan belajar 2 dirancang untuk pencapaian kemampuan 4. Kegiatan belajar 3 dirancang untuk pencapaian kemampuan 5. Dan, kegiatan belajar 4
dirancang untuk pencapaian kemampuan 6. Untuk membantu Anda dalam mempelajari bagian ini, ada baknya diperhatikan beberapa petunjutk belajar berikut ini: 1. Bacalah dengan cermat bagian pendahuluan ini sampai Anda memahami secara tuntas tentang apa, untuk apa, dan bagaimana mempelajari bahan buku ini. 2. Baca sepintas bagian demi bagian dan temukan kata-kata kunci dari kata-kata yang dianggap baru. Carilah dan baca pengertian kata-kata kunci tersebut dalam kamus yang Anda miliki. 3. Tangkaplah pengertian demi pengertian melalui pemahaman sendiri dan tukar pikiran dengan mahasiswa lain atau dengan dosen Anda. 4. Untuk memperlus wawasan, baca dan pelajari sumber-sumber lain yang relevan. Anda dapat menemukan bacaan dari berbagai sumber, termasuk dari internet. 5. Mantapkan pemahaman Anda dengan mengerjakan latihan dan melalui kegiatan diskusi dalam kegiatan tutorial dengan mahasiswa lainnya atau teman sejawat. 6. Jangan dilewatkan utnuk mencoba menjawab soal-soal yang dituliskan pada bagian akhir. Hal ini berguna untuk mengetahui apakah Anda sudah memahami dengan benar kandungan bahan belajar ini. Selamat belajar!
LATAR BELAKANG, PENGERTIAN, OBJEK KAJIAN, TUJUAN DAN FUNGSI UHSUL FIQH A. URAIAN MATERI 1. Latar Belakang U ntuk menelusuri latar belakang timbulnya ushul Anda dapat menelaahnya sejak zaman Rasulullah saw. Pada waktu Nabi Muhammad masih hidup, segala persoalan hukum yang timbul, langsung ditanyakan kepadanya. Ia memberikan jawaban hukum dengan menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an. Dalam keadaan tertentu yang tidak ditemukan jawabannya dalam al-Qur’an, ia memberikan jawaban melalui penetapannya yang disebut Hadits atau Sunnah. Al-Quran dan penjelasannya dalam bentuk Hadits disebut “Sumber Pokok Hukum Islam”. Al-Quran turun dalam bahasa Arab. Demikian pula hadits yang disampaikan Nabi juga berbahasa Arab. Para sahabat Nabi mempunyai pengetahuan yang luas tentang bahasa Arab sebagai bahasa ibunya. Mereka mengetahui secara baik arti setiap lafadznya dan maksud dari setiap ungkapannya. Pengalaman mereka dalam menyertai kehidupan Nabi dan pengetahuan mereka tentang sebab-sebab serta latar belakang turunnya ayat-ayat hukum memungkinkan mereka mengetahui rahasia dari setiap hukum yang ditetapkan Allah. Karenanya mereka tidak merasa memerlukan sesuatu di balik itu dalam usaha mereka memformulasikan hukum dari sumbernya yang telah ada, sebagaimana mereka tidak memerlukan kaidah bahasa dalam memahami al-Quran dan hadits Nabi yang berbahasa Arab itu. Pada saat para sahabat nabi menemukan kejadian yang timbul dalam kehidupan mereka dan memerlukan ketentua hukumnya, mereka mencari jawabannya dalam al-Quran. Bila mereka tidak menemukan jawabannya secara dalam al-Quran, mereka mencoba mencarinya dalam koleksi hadits Nabi Bila mereka tidak menemukan
jawabannya dalam hadits Nabi, mereka menggunakan daya nalar yang dinamakan ijtihad. Dalam berijtihad itu, mereka mencari tiitk kesamaan dari suatu kejadian yang dihadapinya itu dengan apa-apa yang telah ditetapkan dalam al-Quran dan hadits. Mereka selalu mendasarkan pertimbangan pada usaha “memelihara kemashlahatan umat” yang menjadi dasar dalam penetapan hukum syara’.
Dengan cara seperti itulah Muadz ibn Jabal memberikan jawaban kepada nabi dalam dialog di antara keduanya sewaktu Muadz diutus oleh Nabi ke Yaman untuk menduduki jabatan wali. Nabi : “Bagaimana cara Anda menetapkan hukum bila kepada Anda dihadapkan perkara yang memerlukan ketetapan hukum?” Mu’adz : “Aku menetapkan hukum berdasarkan hukum Allah”. Nabi : “Bila Anda tidak menemukan jawabannya dalam Kitab Allah?” Mu’adz : “Aku menetapkan hukum dengan Sunnah Nabi”. Nabi : “Bila dalam Sunnah, Anda juga tidak menemukan?” Mu’adz : “Aku melakukan ijtihad dan aku tidak akan gegabah dalam ijtihadku”. Jawaban Mu’adz dengan urut-urut seperti di atas mendapat pengakuan dari Nabi Muhammad saw. Allah SWT. telah dalam surat al-Nisa ayat 59 sbb.: Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. Suruhan Allah dalam ayat ini untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya berarti perintah untuk mengikuti apa-apa yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadits Nabi. Suruhan untuk mentaati ulil amri berarti perintah untuk mengikuti kesepakatan para ulama mujtahid dalam menetapkan hukum, karena mereka adalah orang-orang yang mengurus kepentingan umat islam dalam bidang hukum. Suruhan untuk mengembalikan hal dan urusan yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasul berarti perintah untuk menggunakan qiyas (daya nalar) dalam hal-hal yang tidak ditemukan jawabannya dalam al-Qur’an, hadits dan tidak ada pula ijma’ atau kesepakatan ulama mujtahid. Dengan demikian, dalil hukum syara’ yang disepakati di kalangan ulama jumhur adalah empat, yaitu al-Qur’an, Hadits atau Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
Setelah masa kejayaan Islam berlalu, datanglah suatu masa dimana umat Islam sudah bercampur baur antara orang-orang yang berbahasa Arab dan memahaminya secara baik dengan orang-orang yang tidak berbahasa Arab atau tidak memahaminya secara baik. Sedangkan waktu itu, bahasa Arab menjadi sesuatu yang harus dipelajari untuk memahami hukum-hukum Allah. Karenanya para ahli hukum berusaha menyusun kaidah-kaidah untuk membantu seseorang terjaga dari kesalahan dalam memahami al- Qur’an dan hadits yang keduanya adalah sumber pokok ajaran Islam.
Seiring dengan itu, para ulama mujtahid pun merasa perlu menetapkan dan menyusun kaidah atau aturan permainan yang dijadikan pedoman dalam merumuskan hukum dari sumber-sumbernya dengan memperhatikan asas dan kaidah yang ditetapkan ahli bahasa yang memahami dan menggunakan syari’ah dan tujuan Allah menempatkan mukallaf dalam tanggung jawab hukum. Kaidah dalam memahami hukum Allah dari sumbernya itulah yang disebut uhsul Fiqh (Amir Syarifuddin, 2008: 36-38). 2. Pengertian Ushul Fiqh Untuk mengetahui makna dari kata Ushul Fiqh, Anda dapat menelaah dari dua aspek. Pertama, Ushul Fiqh sebagai kata majemuk (murakkab), dan kedua Ushul Fiqh sebagai istilah ilmiah. Dari aspek pertama, Ushul Fiqh berasal dari dua kata, yaitu kata ushul yang merupakan bentuk jamak dari kata ashal dan kata iqh. Kata Ashal, secara etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun non-materi”. Sementara menurut istilah atau secara terminologi, kata ashal mempunyai beberapa arti, yaitu: 1. Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama Ushul Fiqh bahwa ashal dari wajibnya shalat lima waktu adalah Allah SWT. dan Sunnah Rasul. 2. Qai’dah, yaitu dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda Nabi Muhammad saw. berikut: Artinya, “Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi). 3. Rajih, yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul qh: Artinya, “Yang terkuat dari (kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya”. Maksudnya, yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat dari perkataan itu. 4. Mustashhab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang hilang, apakah ia tetap mendapatkan haknya seperti warisan atau ikatan perkawinan? Orang tersebut harus dinyatakan masih hidup sebelum ada berita tentang kematiannya. Ia tetap terpelihara haknya seperi tetap mendapatkan waris, begitu juga ikatan perkawinannya dianggap tetap.
5. Far’u, (cabang), seperti perkataan ulama ushul: Artinya, “Anak adalah cabang dari ayah”. Dari ke lima pengertian kata ashal di atas, yang biasa digunakan adalah dalil, yakni dalil- dalil qh.
Adapun iqh, secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam dan membutuhkan pengerahan potensi akal, seperti yang diisyaratkan Q.S. Thaha ayat 27-28, yaitu: Artinya, “Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku. Supaya mereka mengerti perkataanku”. Pengertian secara etimologi pun diisyaratkan oleh Q.S. al-Nisa ayat 78, yaitu: Artinya, “Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu didalam benteng, yang tinggi lagi kokoh, dan jika meReka memperoleh kebaikan, meeka mengatakan: “Ini adalah dari sisi Allah, dan kalau ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: “Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)”. Katakanlah, “Semuanya (dating) dari sisI Allah”. Maka mengapa orang-orang itu (orang muna ik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun”. Juga pengertian di atas diisyaratkan oleh Q.S. Hud ayat 91 sbb.: Artinya, “Mereka berkata, “Hai Syu’aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakana itu dan sesungguhnya kami benar- benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu, tentulah kamu telah merajam kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kamu”. Makna qh yang berarti faham pun terdapat dalam hadits Rasulullah saw. Sebagai berikut: Artinya, “Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang. Dia akan memberikan pemahaman agama (yang mendalam) kepadanya”. Adapun pengertian iqh secara terminologi seperti dikemukakan para ahli terdahulu adalah: Artinya, “Ilmu tentang hukum syara’ tentang perbuatan manusia (amaliah) yang diperoleh melalui dalil-dalilnya yang terperinci”. Seiring dengan itu, ulama lain mengemukakan bahwa adalah:
Artinya, “Himpunan hukum syara’ tentang perbuatan manusia (amaliah) yang diambil dari dali-dalilnya yang terperinci”. Dua di atas menunjukkan bahwa pengertian secara terminology ada dua tendensi, pertama sebagai ilmu yang menjelaskan hukum dan kedua sebagai hukum.
Sebagai ilmu, iqh diartikan ilmu tentang hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan manusia (amaliah) yang diperoleh melalui dalil-dalil yang terperinci. Sementara iqh dalam arti hukum adalah himpunan hukum syara’ tentang perbuatan manusia (amaliah) yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci. Pada umumnya, dalam memberikan pengertian iqh, para ulama menekankan bahwa iqh adalah hukum syari’at yang diambil dari dalilnya. Setelah dijelaskan pengertian ushul dan baik menurut bahasa maupun istilah, maka di sini dikemukakan pengertian Ushul Menurut al-Baidlawi, yang dimaksud dengan Ushul Fiqh adalah: Atinya, “Ilmu pengetahuan tentang dalil-dalil iqh secara global, metode penggunaan dalil tersebut, dan keadaan (persyaratan) orang yang menggunakannya”. Sementara Jumhur Ulama Ushul Fiqh, seperti yang dikemukakan oleh Khudlari Beik, mende nisikan bahwa ushul adalah: Artinya, “Himpunan kaidah (norma-norma) yang berfungsi sebagai alat penggalian syara’ dari dalil- dalilnya”. Dua pengertian Ushul Fiqh di atas memliki penekanan yang berbeda. Menurut ulama Sya ’iyah, penekanannya pada objek kajian ushul qh, yaitu dalil-dalil yang bersifat ijmali, bagaimana cara menginstimbath hukum, syarat orang yang menggali hukum atau syarat-syarat seorang mujtahid. Sedangkan menurut jumhur ulama, penekanannya pada operasional atau fungsi ushul yaitu bagaimana menggunakan kaidah-kaidah ushul dalam menggali hukum syara’. Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa Ushul Fiqh adalah ilmu pengetahuan yang objeknya dalil hukum atau sumber hukum dengan semua seluk beluknya, dan metode penggaliannya yang digunakan dalam mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya dengan menertibkan dalil-dalil dan menilai kekuatan dalil- dalil tersebut (Rachmat Syafe’i, 1999: hlm. 22-23). Umpamanya, dalam kitab-kitab qh ditemukan ungkapan, “Mengerjakan shalat itu hukumnya wajib”. Wajibnya melakukan shalat itu disebut “hukum syara”. Tidak pernah tersebut dalam al-Qur’an maupun Hadits bahwa shalat itu hukumnya wajib. Yang tersebut dalam al-Quran hanyalah perintah shalat yang berbunyi: ةﻼصلا (Kerjakanlah shalat). Ayat al-Quran yang mengandung perintah mengerjakan shalat itu disebut “dalil syara’”. Untuk merumuskan kewajiban shalat yang disebut “hukum syara’” dari Allah ةﻼصلا اوميقا
. Yang disebut dalil syara’ itu ada aturannya dalam bentuk kaidah, umpamanya: “Setiap perintah itu menunjukkan wajib”. Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’ tersebut disebut Ilmu Ushul Fiqh (Amir Syarifuddin, 2008: 39).
3. Objek Kajian Ushul Fiqh Dari Ushul Fiqh di atas, Anda dapat memperoleh penjelasan bahwa yang menjadi objek kajian Ushul Fiqh secara garis besar ada tiga, yaitu: a. Sumber hukum dengan semua seluk beluknya; b. Metode pendayagunaan sumber hukum atau metode penggalian hukum dari sumbernya; c. Persyaratan orang yang berwenang melakukan istinbath dengan semua permasalahannya. Lebih rinci, Muhammad al-Juhaili menyebutkan bahwa objek kajian Ushul Fiqh adalah sebagai berikut: a. Sumber-sumber hukum syara’, baik yang disepakati, seperti al-Qur’an dan Sunnah maupun yang diperselisihkan, seperti istihsan dan mashlahah mursalah; b. Pembahasan tentang ijtihad, yakni syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang melakukan ijtihad; c. Mencarikan jalan keluar dari dua dalil yang bertentangan secara dzahir, ayat dengan ayat atau sunnah dengan sunnah, dan lain-lain baik dengan jalan pengompromian (al-Jam’u wa menguatkan salah satu (tarjih), pengguguran salah satu atau kedua dalil yang bertentangan (nasakh/tatsaqut al-dalilain); d. Pembahasan hukum syara’ yang meliputi syarat-syarat dan macam- macamnya, baik yang bersifat tuntutan, larangan, pilihan atau keringanan (rukhshah). Juga dibahas tentang hukum, hakim, mahkum ‘alaih, dan lain-lain; e. Pembahasan kaidah-kaidah yang akan digunakan dalam mengistinbath hukum dan cara menggunakannya (Rachmat Syafe’i, 1999: hlm. 23). 4. Tujuan dan Fungsi Ushul Fiqh Tujuan yang hendak dicapai oleh ilmu Ushul Fiqh ialah untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang terperinci agar sampai kepada hukum- hukum syara’ yang bersifat amali, yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu. Dengan kaidah ushul serta bahasannya itu dapat dipahami nash-nash syara’ dan hukum yang terkadnung di dalamnya. Demikian pula dapat dipahami secara baik dan tepat apa-apa yang dirumuskan ulama mujtahid dan bagaimana mereka sampai kepada rumusan itu (Amir Syarifuddin, 2008: 45).
Walaupun para ulama telah berhasil merumuskan hukum syara’ dan telah terjabar secara rinci dalam kitab-kitab umat Islam tetap memerlukan Ushul Fiqh. Ada dua tujuan mengetahui Ushul Fiqh. Pertama, bila kita sudah mengetahui metode ushul qh dirumuskan ulama terdahulu, maka bila suatu ketika kita menghadapi masalah
baru yang tidak mungkin ditemukan hukumnya dalam kitab-kitab qh terdahulu, maka kita akan dapat mencari jawaban hukum terhadap masalah baru itu dengan cara menerapkan kaidah-kaidah hasil rumusan ulama terdahulu. Kedua, bila kita menghadapi masalah hukum yang terurai dalam kitab-kitab tetapi mengalami kesukaran dalam penerapannya karena sudah begitu jauhnya perubahan terjadi, dan kita ingin mengkaji ulang rumusan fuqaha lama itu atau ingin merumuskan hukum sesuai dengan kemashlahatan dan tuntutan kondisi yang menghendakinya, maka usaha yang harus ditempuh adalah merumuskan kaidah baru yang memungkinkan timbulnya rumusan baru dalam Kajian ulang terhadap suatu kaidah atau menentukan kaidah baru itu tidak mungkin dapat dilakukan bila tidak mengetahui secara baik usaha dan cara ulama terdahulu dalam merumuskan kaidahnya. Hal itu akan diketahui secara baik dalam ushul (Amir Syarifuddin, 2008: 45-46). Para ulama ushul menyatakan bahwa ushul merupakan salah satu sarana untuk mendapatkan hukum-hukum Allah sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul- Nya, baik yang berkaitan dengan masalah aqidah, ibadah, muamalah, ‘uqubah, maupun akhlak. Ushul bukan sebagai tujuan, melainkan sebagai sarana. Secara rinci, Ushul Fiqh berfungsi sebagai berikut: a. Memberikan pengertian dasar tentang kaidah-kaidah dan metodologi para ulama mujtahid dalam menggali hukum; b. Menggambarkan persyaratan yang harus dimiliki seorang mujtahid , agar mampu menggali hukum syara’ secara tepat dan bagi orang awam supaya lebih mantap dalam mengikuti pendapat yang dikemukakan oleh para mujtahid setelah mengetahui cara yang mereka gunakan untuk berijtihad; c. Memberi bekal untuk menentukan hukum melalui berbagai metode yang dikembangkan oleh para mujtahid, sehingga dapat memecahkan berbagai persoalan baru; d. Memelihara agama dari penyimpangan dan penyalahgunaan dalil. Dengan berpedoman pada ushul qh, hukum yang dihasilkan melalui ijtihad tetap diakui syara’; e. Menyusun kaidah-kaidah umum (asas hukum) yang dapat dipakai untuk menetapkan berbagai persoalan dan fenomena sosial yang terus berkembang di masyarakat; dan f. Mengetahui keunggulan dan kelemahan para mujtahid, sejalan dengan dalil yang mereka gunakan. Dengan demikian, orang yang belum mampu berijtihad dapat memilih pendapat mereka yang terkuat disertai alasan-alasan yang tepat (Rahmat Syafe’i, 1999: 24).[]
LATIHA N Dengan bimbingan dosen/fasilitator, mahasiswa dibagi tiga kelompok sesuai dengan kesepakatan peserta dan fasilitator. Kelompok pertama membahas tentang Pengertian Ushul Fiqh. Kelompok kedua membahas tentang Objek Kajian Ushul Fiqh. Sedangkan kelompok tiga membahas tentang Tujuan dan Fungsi Ushul Fiqh. Hasil diskusi kelompok dipresentasikan dalam diskusi kelas dan hasilnya disusun oleh tim perumus serta dibagikan kepada seluruh peserta diskusi. RANGKUM AN Ushul Fiqh adalah ilmu pengetahuan yang objeknya dalil hukum atau sumber hukum dengan semua seluk beluknya, dan metode penggaliannya yang digunakan dalam mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya dengan menertibkan dalil-dalil dan menilai kekuatan dalil-dalil tersebut. Secara garis besar, objek kajian Ushul Fiqh ada tiga, yaitu: (1) Sumber hukum dengan semua seluk beluknya; (2) Metode pendayagunaan sumber hukum atau metode penggalian hukum dari sumbernya; dan (3) Persyaratan orang yang berwenang melakukan istinbath dengan semua permasalahannya. Tujuan yang hendak dicapai oleh ilmu Ushul Fiqh ialah untuk dapat menerapkan kaidah- kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang terperinci agar sampai kepada hukum-hukum syara’ yang bersifat amali, yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu. Sedangkan fungsi Ushul Fiqh adalah: (1) Memberikan pengertian dasar tentang kaidah-kaidah dan metodologi para ulama mujtahid dalam menggali hukum; (2) Bagi seorang mujtahid dapat membuat ia mampu menggali hukum syara’ secara tepat dan bagi orang awam supaya lebih mantap dalam mengikuti pendapat yang dikemukakan oleh para mujtahid; (3) Memberi bekal untuk menentukan hukum melalui berbagai metode yang dikembangkan oleh para mujtahid, sehingga dapat memecahkan berbagai persoalan baru; (4) Memelihara agama dari penyimpangan dan penyalahgunaan dalil; (5) Menyusun kaidah-kaidah umum (asas hukum) yang dapat dipakai untuk menetapkan berbagai persoalan dan fenomena sosial yang terus berkembang di masyarakat; (6) dan Mengetahui keunggulan dan kelemahan para mujtahid, sejalan dengan dalil yang digunakan oleh mereka.
TES FORMATIF Pilih satu jawaban yan paling tepat! 1. Kata ashal mempunyai beberapa arti, kecuali: A. Dalil B. Qai’dah C. Rajih D. Mustahhab E. Furu’ 2. Pengertian iqh secara etimologi adalah…. A. Pemahaman yang sesuai syara’ B. Ilmu yang menjelaskan hukum C. Ilmu tentang hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan manusia (amaliah) yang diperoleh melalui dalil-dalil yang terperinci D. Pemahaman yang mendalam dan membutuhkan pengerahan potensi akal E. Himpunan hukum syara’ tentang perbuatan manusia (amaliah) yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci 3. Yang termasuk objek kajian Ushul Fiqh adalah sebagai berikut, kecuali…. A. Sumber hukum dengan semua seluk beluknya B. Metode pendayagunaan sumber hukum atau metode penggalian hukum dari sumbernya C. Persyaratan orang yang berwenang melakukan istinbath dengan semua permasalahannya D. Pembahasan tentang ijtihad, yakni syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang melakukan ijtihad E. Mempersoalkan pembahasan tentang jihad 4. Berikut ini merupakan fungsi ushul kecuali…. A. Memberikan pengertian dasar tentang kaidah-kaidah dan metodologi para ulama mujtahid dalam menggali hukum B. Menggambarkan persyaratan yang harus dimiliki seorang mujtahid, agar mampu menggali hukum syara’ secara tepat dan bagi orang awam supaya lebih mantap dalam mengikuti pendapat yang dikemukakan oleh para mujtahid setelah mengetahui cara yang mereka gunakan untuk berijtihad
C. Memberi bekal untuk menentukan hukum melalui berbagai metode yang dikembangkan oleh para mujtahid, sehingga dapat memecahkan berbagai persoalan baru D. Memelihara agama dari penyimpangan dan penyalahgunaan dalil. E. Memberitahukan yang salah dan yang benar 5. Yang termasuk pada tujuan mengetahui Ushul Fiqh adalah… A. Apabila menghadapi masalah baru yang tidak mungkin ditemukan hukumnya dalam kitab-kitab qh terdahulu, seseorang dapat mencari jawaban hukum terhadap masalah baru itu dengan cara menerapkan kaidah-kaidah hasil rumusan ulama terdahulu. B. Apabila seseorang ingin mengkaji ulang rumusan fuqaha lama itu atau ingin merumuskan hukum sesuai dengan kemashlahatan dan tuntutan kondisi yang menghendakinya, seseorang dapat merumuskan kaidah baru yang memungkinkan timbulnya rumusan baru dalam qh. C. A dan B benar D. A saja yang benar E. Tidak ada yang benar TINDAK LANJUT 1. Pengayaan Bagi mahasiswa yang sudah mencapai ketuntasan belajar 80-100 (berdasarkan hasil evaluasi) diusahakan untuk menindaklanjuti pembelajaran dalam modul ini. Anda diminta untuk mencari dan membaca lebih lanjut materi terkait dari berbagai sumber yang terdapat di perpustakaan Diklat setempat dan lain-lain. Susunlah hasil bacaan Anda dalam bentuk satu laporan singkat. 2. Perbaikan Bagi mahasiswa yang belum dapat menyelesaikan ketuntasan belajar dengan baik nilai 79 ke bawah (nilai evaluasi di bawah standar) diminta untuk mengkaji kembali materi dan menyelesaikan soal secara sistematis.
3. Pengayaan dan perbaikan ini sangat penting berhubungan dengan tugas utama Anda sebagai guru yang harus memiliki kompetensi professional, diantaranya menguasai materi pelajaran. 4. Baca pula buku-buku lain sebagai sumber bacaan yang menunjang penguasaan materi pelajaran.
SEJARAH PERKEMBANGAN USHUL FIQH A. URAIAN MATERI 1. Kronologis Munculnya Ushul Fiqh Dalam menelusuri kronologis munculnya Ushul Fiqh, Anda dapat menelaah ilmu-ilmu keagamaan lain dalam Islam. Sebagaimana ilmu-ilmu keagamaan lain dalam Islam, Ilmu ushul Fiqh tumbuh dan berkembang dengan tetap berpijak pada al-Qur’an dan Sunnah. Dengan kata lain, Ilmu ushul Fiqh tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rasulullah dan sahabat. Masalah utama yang menjadi bagian ushul seperti ijtihad, qiyas, nasakh, dan takhshish sudah ada pada zaman Rasulullah dan sahabat. Kasus yang umum dikemukakan mengenai ijtihad adalah penggunaan itjihad yang dilakukan oleh Mu’adz Ibn Jabal ketika diutus oleh Rasulullah ke Yaman. Sebagai konsekuensi dari ijtihad adalah qiyas, karena penerapan ijtihad dalam persoalan- persoalan yang bersifat juz’iyah harus dengan qiyas. Contoh qiyas yang dapat dikemukakan adalah ucapan Ali dan Abd. Al-Rahman Ibnu ‘Auf mengenai hukum peminum khamr yang berbunyi: Atinya, “Bila seseorang meminum khamr, ia akan mengigau. Bila had mengigau, ia akan menuduh orang berbuat zina, sedangkan (hukuman) bagi orang yang menuduh itu 80 dera”. Adapun pemahaman tentang takhshish dapat dilihat dalam cara Abdullah bin Mas’ud ketika menetapkan iddah wanita hamil. Dia menetapkan bahwa batas iddahnya berakhir ketika ia melahirkan. Pendapat tersebut didasarkan pada ayat 4 dan 6 surat al-Thalaq. Menurutnya, ayat ini turun sesudah turunnya ayat tentang iddah yang ada pada surat al- Baqarahayat 228. Dari kasus tersebut terkandung pemahaman ushul, bahwa nash yang datang kemudian dapat menasakh atau mentakhshsish yang datang terdahulu.
Pada masa tabi’in, cara mengistinbath hukum semakin berkembang. Di antara mereka ada yang menempuh metode mashlahah atau metode qiyas di samping berpegang pula pada fatwa sebelumnya. Pada masa tabi’in inilah mulai tampak perbedaan-perbedaan
mengenai hukum sebagai konsekuensi logis dari perbedaan metode yang digunakan oleh para ulama ketika itu. Corak perbedaan pemahaman lebih jelas lagi pada masa sesudah tabi’in atau pada masa al-Aimmah al-Mujtahidin. Sejalan dengan itu, kaidah- kaidah istinbath yang digunakan juga semakin jelas bentuknya. Abu Hanifah misalnya menempuh metode qiyas dan istihsan. Sementara Imam Malik berpegang pada amalan orang-orang Madinah. Menurutnya, amalan mereka lebih dapat dipercaya daripada hadis Ahad. Uraian di atas menunjukkan bahwa sejak zaman Nabi, sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan dalam suatu tulisan yang sistematis dan belum berbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri (Rachmat Syafe’i, 1999: 26-27) 2. Pembukuan Ushul Fiqh Perkembangan wilayah Islam yang semakin luas, yang tidak jarang menyebabkan timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukan hukumnya, mendorong diperlukannya pembukuan Ushul Fiqh. Secara historis, yang pertama berbicara tentang Ushul Fiqh sebelum dibukukannya adalah para sahabat dan tabi’in. Hal ini tidak diperselisihkan lagi. Namun, yang diperselisihkan adalah orang yang mula-mula mengarang kitab Ushul Fiqh sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri yang bersifat umum dan mencakup segala aspeknya. Untuk itu, terlebih dahulu akan dikemukakan teori- teori penulisan dalam ilmu Ushul Fiqh. Secara garis besar, ada dua teori penulisan yang dikenal. Pertama, merumuskan kaidah- kaidah bagi setiap bab-bab dan menganalisisnya serta mengaplikasikan masalah furu’ atas kaidah-kaidah tersebut. Misalnya, kaidah-kaidah jual beli secara umum, atau kaidah- kaidah perburuhan. Kemudian menetapkan batasan-batasannya dan menjelaskan cara-cara mengaplikasikannya dalam kaidah-kadiah itu. Teori inilah yang ditempuh oleh golongan dan merekalah yang merintisnya. Kedua, merumuskan kaidah-kaidah yang dapat menolong seorang mujtahid untuk mengistinbath hukum dari sumber hukum syar’i, tanpa terikat oleh pendapat seorang faqih atau suatu pemahaman yang sejalan dengannya maupun yang bertentangan. Cara inilah yang ditempuh al- Sya ’i dalam kitabnya al-Risalah, suatu kitab yang tersusun secara sempurna dalam bidang ilmu ushul dan independen. Kitab semacam ini belum pernah ada sebelumnya menurut ijma’ ulama dan catatan sejarah.
Berdasarkan teori kedua di atas, Jalalluddin al-Suyuti menyatakan bahwa adalah peletak batu pertama pada ilmu ushul qh Dia orang yang pertama-tama berbicara tentang itu dan menulisnya secara tersendiri. Adapun Malik dalam al-Muwaththa’ hanya menunjukkan sebagian kaidah-kaidahnya, demikian pula para ulama lain semasanya, seperti Abu Yusuf dan Muhamamd al-Hasan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpilkan bahwa kitab al-Risalah merupakan kitan yang pertama-tama tersusun secara sempurna dalam ilmu Ushul Fiqh. Kitab ini tersusun dengan metode tersendiri, objek pembahasan dan permasalahannya juga tersendiri, tanpa terkait dengan kitab-kitab manapun (Rachmat Syafe’i, 1999: 27-30). 3. Tahapan-tahapan Perkembangan Ushul Fiqh Secara garis besar, perkembangan Ushul Fiqh dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu: tahap awal (abad 3 H); tahap perkembangan (abad 4 H), dan tahap penyempurnaan (abad 5 H). Masing-masing tahapan dapat diuraikan sebagai berikut: a. Tahap Awal (abad 3 H) Pada abad 3 H, di bawah pemerintahan Abbasiyah, wilayah Islam semakin meluas ke bagian Timur. Khalifah-khalifah Abbasiyah yang berkuasa abad ini adalah: al-Ma’mun (w. 218 H), al-Mu’tashim (w. 227 H), al-Wasiq (w. 232 H), dan al-Mutawakkil (w. 247 H). Pada masa mereka ini terjadi suatu kebangkitan ilmiah di kalangan Islam, yang dimulai sejak masa pemerintahan khalifah al- Rasyid. Salah satu hasil dari kebangkitan berpikir dan semangat keilmuan Islam ketika itu adalah berkembangnya bidang qh, yang pada gilirannya mendorong untuk disusunnya metode berpikir qh yang disebut Ushul Fiqh. Seperti telah dikemukakan, kitab Ushul Fiqh yang pertama-tama tersusun secara utuh dan terpisah dari kitab-kitab qh ialah al- Risalah karangan Kitab ini dinilai para ulama sebagai kitab yang bernilai tinggi. Al-Razi mengemukakan bahwa kedudukan al-Syafe’i dalam ilmu Ushul Fiqh setingkat dengan kedudukan Aristo dalam ilmu Mantiqh dan kedudukan al-Khalil Ibnu Ahmad dalam ilmu ‘Arud. Ulama sebelum berbicara tentang masalah- masalah ushul dan menjadikannya pegangan, tetapi mereka belum memperoleh kaidah-kaidah umum yang menjadi rujukan dalam mengetahui dalil-dalil syari’at dan cara memegangi serta mentarjihkannya. Maka datanglah menyusun ilmu Ushul Fiqh yang merupakan kaidah-kaidah umum (qanun kully) dan dijadikan rujukan untuk mengetahui tingkatan-tingkatan dalil syar’i. Kalaupun ada orang yang menyusun kitab lmu Ushul Fiqh sesudah mereka tetap bergantung pada al- Syafe’i, karena ia yang membuka jalan untuk pertama kalinya. Pada abad 3 H juga telah tersusun sejumlah kitab Ushul Fiqh lainnya. Isa Ibnu Iban (w. 221 H) menulis kitab Itsbat al-Qiyas, Khabar al-Wahid,
Ijtihad al-Ra’yi. Ibrahim ibnu Syiyar al-Nashsham (w. 221 H) menlis kitab al-Nakt. Daud Ibnu Ali Ibnu Daud al-zhahiri (w. 270 H) menulis kitab al-Ijma’, al-Abthal al-Taqlid, Ibthal al-Qiyas, al- Khabar al-Mujib li al-‘Ilm, al-Hujjat, al-Khushush wa al-‘Umum, al-Mufassar wa al- Mujmal, dan kitab al-Ushul.Dalam kitab al- Ushul, al-Zhahiri mengatakan tidak perlu menetapkan hukum atas dasar qiyas dan istihsan. Selain itu, Muhammad Ibnu Daud Ibnu Ali Ibnu al-Khalf al-Zhahiri (w.297 H) juga menulis kitab al-Ushul Ma’rifat al- Ushul, dan masih banyak lagi kitabkitab ushul yang ditulis oleh ulama-ulama lainnya (Sulaiman: 98-100).
Pada abad 3 H juga telah tersusun sejumlah kitab Ushul Fiqh. Pada umumnya, kitab- kitab ushul yang ada pada abad 3 H ini tidak mencerminkan pemikiran-pemikiran ushul qh yang utuh dan mencakup segala aspeknya, kecuali kitab al-Risalah. Kitab al- Risalah mencakup permasalahan-permasalahan ushuliyah yang menjadi pusat perhatian para fuqaha pada zaman itu. Pemikiran ushuliyah yang sudah ada, kebanyakan termuat dalam kitab-kitab Hal lain yang dapat dicatat pada abad ini adalah lahirnya ulama- ulama besar yang meletakkan dasar berdirinya madzhab- madzhab Fiqh. Para pengikut mereka semakin menunjukkan perbedaan dalam mengungkapkan pemikiran ushul dari para imamnya. Al-Syafe’i misalnya, tidak menerima cara penggunaan istihsan yang masyhur di kalangan Hana yah, sebaliknya Hanafiyah tidah menggunakan cara- cara pengambilan hukumberdasarkan hadits- haditsyang dipegang oleh al-Syafe’i. Semnetara itu, kaum al-Hadits pada umumnya dan kaum zhahiri pada khususnya, tidak menyetujui metode-metode dari kedua golongan tersebut, namun golongan terakhir mempunyai metode tersendiri dalam qiyas dan ta’wil. Perbedaan pendapat dan metaode yang dimiliki oleh masing-amsing aliran yang disertai dengan sikap saling mengkritik antara satu terhadap lainnya merupakan salah satu pendorong semangat pengkajian ilmiah di kalangan ulama pada abad 3 H ini. Semangat pengkajian ini berlanjut terus dan semakin berkembang pada abad 4 H. b. Tahap Perkembangan (Abad 4 H) Abad 4 H merupakan abad permulaan kelemahan dinasti Abbasiyah dalam bidang politik. Pada Abad ini dinasti Abbasiyah terpecah-pecah menjadi daulah-daulah kecil yang masing-masing dipimpin oleh seorang sultan. Namun demikian, kelemahan bidang politik ini tidak memepengaruhi perkembangan semangat keilmuan di kalangan para ulama ketika itu. Bahkan ada yang mengatakan bahwa perkembangan ilmu keislaman pada abad 4 H ini jauh lebih maju dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Hal ini antara lain disebabkan masing-masing penguasa daulah-daulah kecil itu berusaha memajukan negerainya dengan memperbanyak kaum intelektual, sekaligus menjadi kebanggaan mereka. Juga disebabkan terjadinya desentralisasi ekonomi yang membawa daulah-daulah kecil itu semakin makmur dan menopang perkembangan ilmu pengetahuan di negerinya. Khusus di bidang pemikiran Fiqh Islam, abad 4 H iin mempunyai karakteristik tersendiri dalam kerangka sejarah tasyri’ Islam. Pemikiran
liberal Islam berdasarkan ijtihad muthlaq berhenti pada abad ini. Mereka menganggap para ulama terdahulu mereka suci dari kesalahan sehingga seorang faqih tidak mau lagi mengeluarkan pemikirannya yang khas, terkecuali dalam hal-hal kecil saja. Akibatnya, aliran-aliran qh yang ada semakin mantap eksistensinya, apalagi disertai oleh fanatisme di kalangan penganutnya. Hal ni ditandai dengan adanya kewajiban menganut suatu amzhab tertntu dan larangan melakukan perpindahan madzhab sewaktu-waktu.
Namun demikian, keterkaitan pada imam-imam terdahulu tidak dapat dikatakan taqlid, karena masing-masing pengikut madzhab yang ada tetap mengadakan kegiatan ilmiah guna menyempurnakan apa yang dirintis oleh pendahulunya. Usaha mereka antara lain: 1). Memperjelas ‘illat-‘illat hukum yang diistinbathkan oleh para imam mereka; mereka itulah yang disebut ulama takhrij; 2) Mentakhrijkan pendapat-pendapat yang berbeda dalam madzhab, baik dari segi riwayah dan dirayah; 3) Setiap golongan mendukung madzhabnya sendiri dan mentakhrijkannya dalam berbagai masalah Mereka menyusun kitab al-Khilaf, yang didalamnya diungkapkan masalah- masalah yan diperselisihkan dan mentarjihkan pendapat atau pendiirian madzhab yang dianutnya. Akan tetapi, tidak bisa diingkari bahwa pintu ijtihad pada periode ini telah tertutup. Akibatnya bagi perkembangan Islam adalah sebagi berikut: 1. Kegiatan para ulama terbatas dalam menyampaikan apa yang telah ada, mereka cenderung hanya mensyarahkan kitab-kitab terdahulu atau memahami dan meringkasnya; 2. Menghimpun masalah-maslaah furu’ yang sekian banyaknya dalam uraian yang singkat; 3. Memperbanyak pengandaian-pengandaian dalam beberapa masalah. Keadaan tersebut sangat berbeda di bidang ushul qh. Terhentinya ijtihad dalam dan adanua usaha-usaha untuk meneliti pendapat- pendapat para ulama-ulama terdahulu dan mentarjihkannya justru memainkan peranan yang sangat besar dalam bidang ushul Hal ini karenad alam meneliti dan emntakhrij pendapat para ulama terdahulu, diperlukan penelusuran sampai pada akar-akarnya dan pengevaluasian kaidah-kaidah ushul yang menjadi dasarnya. Dengan demikian, semakin berkembanglah ilmu ushul yang menjadi dasarnya dan dengan sendirinya ushul menjadi semakin berkembnag apalagi masing-masing madzhab menyusun kitab Ushul Fiqh. Tampaknya, para fuqaha memperoleh lapangan baru untuk berijtihad dalam Ushul Fiqh daripada berijtihad dalam bidang qh. Mereka melakukan pemikiran yang mandiri dan liberal, serta mempunyai ciri khas dan keorisinilan yang belum pernah dimiliki sebelum mereka. Hal yang turut membantu ialah kecenderungan mereka terhadap ilmu
aqliyah, antara lain sehingga turut mewarnai metode berpikir Islam ketika itu. Dengan kata lain, terhentinya ijtihad mutlaq bagi kebanyakan ulama ketika itu tidaklah mengendorkan perkembangan ilmu Ushul Fiqh, bahkan timbul usaha untuk meneliti dan melakukan studi mendalam di bidang ilmu ushul Meskipun tidak
melakukan istinbath hukum yang bertentangn deng madzhabnya, mereka dapat menemukan argument-argumen yang dapat menguatkan pendirian madzhabnya itu dalam ushul Oleh karena itu, secara material, diperlukan semacam ukuran untuk memperbandingkan pandangan-pandangan yang berbedabeda yang pada masa itu menjadi perdebatan sengit, maka jadilah Ushul Fiqh sebagai alat tahkim dalam memecahkan perselisihan-perselisihan. Sebagai tanda berkembanganya ilmu ushul dalam abad 4 H. ini, yaitu munculnya kitab-kitab Ushul Fiqh yang merupakan hasil karya dari para ulama. Kitab-kitab yang palng terkenal diantaranya adalah: 1) Kitab Ushul al-Kharki yang ditulis oleh Abu Hasan Ubaidillah Ibnu al- Husain Ibnu Dilal Dalaham al-Kharkhi (w. 340 H.). Kitab ini bercorak memuat 39 kaidah-kaidah ushul qh. 2) Kitab al-Fushul al-Ushul, ditulis oleh Amad Ibnu Ali Abu Bakar al- Razim yang dikenal dengan al-Jashshash (305-370 H). Kitab ini bercorak dan banyak mengkritik isi kitab al-Risalah terutama dalam masalah al-Bayan dan istihsan; 3) Kitab Bayah Kasyf al-Ahfazh, ditulis oleh Abu Muhammad Badr al-Din Mahmud Ibnu Ziyad al-Lamisy al-Hana . Kitab ini ditahqiq oleh Muhammad Hasan Musthafa al-Syalaby. Ia mengatakan bahwa kitab tersebut merupakan kamus yang menerangkan arti lafadz dan arti yang sangat dibutuhkan oleh para Qadi dan Mufti. Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa hal yang perlu dicatat sebagai ciri khas perkembangan ilmu Ushul Fiqh pada abad 4 H, yaitu munculnya kitab-kitab Ushul Fiqh yang membahas masalah ushul Fiqh secara utuh dan tidak sebagian-sebagian seperti yang terjadi pada masa sebelumnya. Kalaupun ada yang membahas kitab- kitab tertentu, hal itu semata-mata untuk menolak atau memperkuat pandangan tertentu dalam masalah itu (Sulaiman: 162). Selain itu, materi berpikir dan materi penulisan dalam kitab-kitab itu berbeda dengna kitab-kitab yang ada sebelumnya dan menunjukkan bentuk yang lebih sempurna, sebagaimana yang tampak dalam kitab al- Fushul al-Ushul, karya Abu Bakar al-Razi. Hal ini juga merupakan corak tersendiri dalam perkembangan ilmu ushul pada awal abad 4 H. ini. Dalam abad 4 H ini pula mulai tampak adanya pengaruh pemikiran yang bercorak khususnya metode berpikir menurut ilmu Manthiq dalam ilmu Uhsul Fiqh. Hal ini terlihat dalam masalah mencari makna dan pengertian sesuatu, yang dalam ilmu Ushul Fiqh al-Hudud merupakan suatu hal yang tidak pernah dijumpai dalam
perkembangan (kitab-kitab) sebelumnya. Akibat dari pengaruh ini sekurang- kurangnya ada dua, yaitu: 1) Ketergantungan penulis dalam bidang ushul pada pola acuan dan criteria manthiq dalam menjelaskan arti-arti peristilahan ushuliyah. Hal ini membuka jalan bagi mereka untuk melakukan criteria dan keabsahan berpendapat, yang pada gilirannya mendorong pertumbuhan ilmu Ushul Fiqh selanjutnya;
2) Munculnya berbagai karangan dalam berbagai bentuk baru yang independen dalam memberikan de nisi dan pengertian terhadap peristilahanperistilahan yang khusus dipakai dalam ilmu ushul qh. c. Tahap Penyempurnaan (Abad 5-6) Kelemahan politik di Bagdad yang ditandai dengan lahirnya beberapa daulah kecil, membawa arti bagi perkembangan peradaban dunia Islam. Peradaban Islam tidak lagi berpusat di Bagdad, tetapi juga di kota-kota, seperti Cairo Bukhara, Gahznah, da Markusy. Hal ini disebbakan adanya perhatian besar dari para sultan, raja-raja penguasa daulah-daulah kecil terhadap perkembnagan ilmu dan peradaban. Salah satu dampak dari perkembangan itu ialah kemajuan di bidang ilmu ushul yang menyebabkan sebagian ulama memberikan perhatian khusus untuk mendalaminya; antara lain al-Baqilani, al- Qahdhi Abd. Al-Jabar, Abd. Al-Wahab al-Baghdadi, Abu Zayd Al-Dabusy, Abu Hamid al-Ghazali, dan lain-lain. Mereka itu pelopor keilmuan Islam di zaman itu. Para pengkaji ilmu keislaman di kemudian hari mengikuti metode dan jejak mereka, untuk mewujudkan aktivitas ilmiah dalam bidang ilmu ushul yang tidak ada bandingannya dalam penulisan dan pengkajian keislaman. Itulah sebabnya pada zaman itu, generasi Islam pada kemudian hari senantiasa menunjukkan minatnya pada produk-produk ushul dan menjadikannya sebagai sumber pemikiran. Kitab-kitab ushul yang ditulis pada abad ini, di samping mencerminkan adanya kitab ushul bagi masing-masing madzhab, juga menunjukkan adanya dua aliran ushul Fiqh, yakni aliran Hanafiyah yang dikenal sebagai aliran fuqaha dan aliran mutakallimin. Ulama yang terkenal di kalangan Hanafyah ialah Abu Zayd al-Dabusy dan Abu Husain Ali Ibnu Al-Husain al-Badzawi, sedangkan yang terkenal dari aliran mutakallimin adalah Imam al- Haramain, penulis al-Burhan, al-Ghazali, penulis al- Mustasyfa, keduanya dari golongan Asy’ariyah dan al-Qadhi Abd al-Jabar, penulis kitab al-‘Ahd, Abu al-Hasan al-Bishari penulis kitab al-Mu’tamad, keduanya dari golongan Mu’tazilah. Dalam sejarah perkembngan ilmu Ushul Fiqh, pada abad 5 dan 6 H ini merupakan periode penulisan kitab ushul Fiqh terpesat, yang diantaranya terdapat kitab-kitab yang menjadi kitab standar dalam pengkajian ilmu ushul selanjutnya.
Kitab-kitab Ushul Fiqh yang penting antara lain adalah: 1) Kitab al-Mughni al-Abwab al-‘Adl wa al-Tawhid, yang ditulis oleh al-Qadhi Abd. Al-Jabbar (w. 415 H). Dalam kitab ini ditulis kaidah-kaidah dan ilmu kalam dan ilmu ushul saling menyempurnakan antara satu dengan yang lainnya. 2) Kitab al-Mu’tamad al-Ushul Fiqh yang ditulis oleh Abu al-Husain al-Bashri (w. 436 H) yang beraliran mu’tazilah. Kitab ini adalah karya yang paling sempurna dan menjadi sumber utama para ulama Mu’tazilah pada umumnya, bahkan dinilai
sebagai slah satu dari empat standar kitab Ushul Fiqh, yang dijadikan rujukan oleh umumnya pengkaji ilmu Ushul sesudahnya. 3) Kitab al-Iddaf Ushul al-Fiqh, ditulis oleh Abu al-Qadhi Abu Muhammad Ya’la Muhammad al-Husain Ibnu Muhammad Ibnu Khalf al-Farra (w.458 H.). Pengaruhnya di kalangan Hambali sangat besar dan berlanjut sampai generasi sunni sesudahnya khusunya kaum Hambali, mellaui berbagai karangan tentang al-Qur’an, akidah, dan ushul qh. 4) Kitab al-Burhan Ushul al-Fiqh, ditulis oleh Abu al-malik Abd. Al- malik Ibnu Abdillah Ibnu Yusuf al-Juwaini Imam Haramain (w. 478 H.). Kitab ini dinilai sebagai salah satu kitab standar ushul Fiqh. Dalam kitab iin, al-Juwaini menunjukkan keorisinilan dan kebebasan cara berpikir sehingga dalam berbagaii hal, ia berbeda pendapat dengan Al-Syafe’i, al-Ash’ari dan al-Baqilani. 5) Kitab al-Mustashfa min Ilm al-Ushul, ditulis oleh Abu Hamid al- Ghazali (w.505 H.). Menurut Ibnu Khaldun, kitab al-Mustashfa adalah kitab terakhir dari seluruh kitab standar ushul (Rachmat Syafe’i, 1999: 30-40). []
LATIHA N Dengan bimbingan dosen, mahasiswa dibagi tiga kelompok sesuai dengan kesepakatan peserta dan fasilitator. Kelompok pertama membahas kronologis munculnya Ushul Fiqh. Kelompok dua membahas tentang pembukuan ushul qh. Sedangkan kelompok tiga membahas tentang Tahapan-tahapan Perkembangan Ushul Fiqh. Hasil diskusi kelompok dipresentasikan dalam diskusi kelas dan hasilnya disusun oleh tim perumus serta dibagikan kepada seluruh peserta diskusi. RANGKUM AN Ilmu ushul Fiqh tumbuh dan berkembang dengan tetap berpijak pada al- Qur’an dan Sunnah. Dengan kata lain, Ilmu ushul Fiqh tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rasulullah dan sahabat. Masalah utama yang menjadi bagian ushul seperti ijtihad, qiyas, nasakh, dan takhshish sudah ada pada zaman Rasulullah dan sahabat. Secara garis besar, perkembangan Ushul Fiqh dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu: tahap awal (abad 3 H); tahap perkembangan (abad 4 H), dan tahap penyempurnaan (abad 5 H). Pada abad 3 H juga telah tersusun sejumlah kitab Ushul Fiqh. Pada umumnya, kitab-kitab ushul yang ada pada abad 3 H ini tidak mencerminkan pemikiran-pemikiran ushul yang utuh dan mencakup segala aspeknya. Ada beberapa hal yang perlu dicatat sebagai ciri khas perkembangan ilmu Ushul Fiqh pada abad 4 H, yaitu munculnya kitab-kitab Ushul Fiqh yang membahas masalah ushul Fiqh secara utuh dan tidak sebagian-sebagian seperti yang terjadi pada masa sebelumnya. Dalam sejarah perkembngan ilmu Ushul Fiqh, pada abad 5 dan 6 H ini merupakan periode penulisan kitab ushul Fiqh terpesat, yang diantaranya terdapat kitab-kitab yang menjadi kitab standar dalam pengkajian ilmu ushul selanjutnya.
TES FORMATIF Pilihlah satu jawaban yang paling tepat! 1. Secara garis besar, perkembangan Ushul Fiqh dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu: A. Tahap awal (abad 3 H); tahap perkembangan (abad 4 H), dan tahap penyempurnaan (abad 5 H) B. Tahap awal (abad 2 H); tahap perkembangan (abad 3 H), dan tahap penyempurnaan (abad 4 H) C. Tahap awal (abad 3 H); tahap perkembangan (abad 5 H), dan tahap penyempurnaan (abad 7 H) D. Tahap awal (abad 3 H); tahap perkembangan (abad 4 H), dan tahap penyempurnaan (abad 6 H) E. Tahap awal (abad 3 H); tahap perkembangan (abad 5 H), dan tahap penyempurnaan (abad 6 H) 2. Proses penyusunan ushul dimulai pada masa pemerintahan…. A. Khalifah Umayyah B. Khalifah Abbasiyah C. Khalifah Muawiyah D. Khalifah Abu Bakar E. Khalifah Ali bin Abi Thalib 3. Kitab Ushul Fiqh yang pertama-tama tersusun secara utuh dan terpisah dari kitab-kitab ialah al-Risalah karangan…. A. Imam Syafe’i B. Imam Maliki C. Imam D. Al-Khalil Ibnu Ahmad E. Al- Razi
4. Ciri khas perkembangan ilmu Ushul Fiqh pada abad 4 H adalah…. A. Munculnya kitab-kitab Ushul Fiqh yang membahas masalah ushul Fiqh secara utuh dan tidak sebagian-sebagian seperti yang terjadi pada masa sebelumnya B. Munculnya kitab-kitab Ushul Fiqh yang membahas masalah ushul Fiqh secara sebagian-sebagian seperti yang terjadi pada masa sebelumnya C. Munculnya kitab-kitab Ushul Fiqh yang saling mengkritik satu sama lain seperti yang terjadi pada masa sebelumnya D. Munculnya kitab-kitab Ushul Fiqh yang saling melengkapi satu sama lain seperti yang terjadi pada masa sebelumnya E. Munculnya kitab-kitab Ushul Fiqh yang saling menyalahkan satu sama lain seperti yang terjadi pada masa sebelumnya
5. Dalam sejarah perkembangan ilmu Ushul Fiqh yang merupakan periode penulisan kitab ushul Fiqh terpesat adalah pada tahun…. A. 4 H dan 5 H B. 5 H dan 6 H C. 5H D. 4 H E. 3H TINDAK LANJUT 1. Pengayaan Bagi mahasiswa yang sudah mencapai ketuntasan belajar 80-100 (berdasarkan hasil evaluasi) diusahakan untuk menindaklanjuti pembelajaran dalam modul ini. Anda diminta untuk mencari dan membaca lebih lanjut materi terkait dari berbagai sumber yang terdapat di perpustakaan Diklat setempat dan lain-lain. Susunlah hasil bacaan Anda dalam bentuk satu laporan singkat. 2. Perbaikan Bagi mahasiswa yang belum dapat menyelesaikan ketuntasan belajar dengan baik nilai 79 ke bawah (nilai evaluasi di bawah standar) diminta untuk mengkaji kembali materi dan menyelesaikan soal secara sistematis. 3. Pengayaan dan perbaikan ini sangat penting berhubungan dengan tugas utama Anda sebagai guru yang harus memiliki kompetensi professional, diantaranya menguasai materi pelajaran. 4. Baca pula buku-buku lain sebagai sumber bacaan yang menunjang penguasaan materi pelajaran.
PERANAN USHUL FIQH DALAM PERKEMBANGAN FIQH ISLAM A. URAIAN MATERI egiatan ulama dalam penulisan ilmu ushul merupakan salah satu Kupaya dalam menjaga keasrian hukum syara’ dan menjabarkannya pada kehidupan sosial yang berubah-ubah itu. Kegiatan tersebut dimulai pada abad ketiga hijriyah. Ushul itu terus berkembang menuju kesempurnaan hingga puncaknya ada abad kelima dan awal abad keenam hijriyah. Abad tersebut merupakan abad keemasan penulisan ilmu ushul karena banyak para ulama memusatkan perhatiannya pada ilmu tersebut. Pada abad inilah muncul kitab-kitab ushul yang menjadi standar rujukan untuk perkembangan ushul selanjutnya. Target yang hendak dicapai oleh ilmu ushul ialah tercapainya kemampuan seseorang untuk mengetahui hukum syara’ yang bersifat furu’ dan kemampuannya untuk mengetahui metode istinbath hukum dari dalil- dalilnya dengan jalan yang benar. Dengan demikian, orang yang mengistinbath hukum dapat terhindar dari kekeliruan. Dengan mengikuti kaidah-kaidah yang telah ditetapkan dalam ilmu ushul berarti seorang mujtahid dalam berijtihadnya berpegang pada kaidah-kaidah yang benar. Target studi bagi mujtahid ialah agar ia mampu mengistinbath hukum yang ia hadapi dan terhindar dari kekliruan. Sebaliknya, bagi non mujtahid yang mempelajari Islam, target ushul itu ialah agar ia dapat mengetahui metode ijtihad imam madzhab dalam mengistibath hukum sehingga ia dapat mentarjih dan mentakhrij pendapat imam madzhab tersebut. Hal ini tidak dapat dilakukan dengan tepat dan benar kecuali dengan diaplikasikannya kaidah-kaidah ushuliyah dengan metode istibnath. Motif dirintis, dimodifokasi, dan ditetapkannya kaidah-kaidah disebabkan adanya kebutuhan mujtahid terhadap kaidah itu untuk keperluan istinbath hukum, terutama setelah masa sahabat dan tabi’in. Kalau diperhatikan sejarah al-Tasyri al-islami dan mengikuti perkembangan Islam serta periode-periode yang dilaluinya, diketahui bahwa setelah madzhab terbentuk, hukum-hukum hanya terbukukan pada berbagai kitab-kitab madzhab. Bahkan setelah banyak ulama yang berpendapat bahwa mulai
tahun 400 H, pintu ijtihad tertutup, Islam hanya terbatas pada pendapat para imam dan pendapat mereka yang ditulis dalam kitab-kitab tanpa ada yang berusaha untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya. Ketika para ulama melihat orang-orang yang bkan ahli ijtihad tetap berijtihad, sehingga hasil ijtihadnya sesat dan menyesatkan, maka para ulama mengambil
sikap memilih sesuatu yang lebih ringan mudaratnya, yakni menutup pintu ijtihad. Mereka mengatakan bahwa pintu ijtihad tertutup supaya jalan menuju kerusakan tertutup pula dan hawa nafsu untuk main-main dalam hukum syara’ dapat dihindari. Dengan demikian, apabila target dari ilmu ushl sebagaimana telah dijelaskan di atas, sedangkan pintu ijtihad telah ditutup sejak sekitar sepuluh abad yang lalu, dan manusia sejak saat itu sampai sekarang masih terikat dan berpegang teguh pada hukum-hukum qh yang tertulis dalam kitab-kitab madzhab hal ini berarti target dari ilmu ushul tidak tercapai. Sesungguhnya pendapat mayoritas ulama menyatakan bahwa pintu ijtihad itu adalah tidak berdasar pada dalil syara’. Ulama berpendapat demikian karena pertimbangan- pertimbangan yang teah dikemukakan di atas. Dengan demikian, bagi seseorang yang memenuhi syarat iktihad, tidak ada halangan baginya untuk melaksanakan ijtihad. Karena tidak seorang pun berpendapat bahwa ijtihad itu mempunyai masa atau kurun tertentu dan terbatas sehingga dapat dikatakan waktunya sudah berakhir. Demikian juga tidak ada seorang ulama yang berpendapat bahwa ijtihad itu dilarang sama sekali. Oleh karena itu, ijtihad kapan saja dapat dilakukan dan dapat kembali lagi sebagaimana terjadi di masa Aimmat al-Mujtahidin selama ada orang yang ahli dalam berijtihad atau selama ada orang yang memenuhi syarat berijtihad. Segi lain bagi orang yang hendak mendalami Islam adalah kebutuhan pada ilmu ushul selalu ada. Hal ini karena mujtahid madzhab yang tidak sampai ke tingkat mujtahid mutlaq perlu mengetahui kaidah-kaidah dan undang-undang ushul iqh. Lebih lanjut bagi mujtahid madzhab yang hendak mempertahankan imam madzhabnya tidak mungkin dapat melaksanakannya dengan baik tanpa mengetahui ilmu ushul dan kaidah-kaidahnya. Demikian pula bagi ulama yang hendak mentarjih pendapat imam madzhabnya, ia pun memerlukan ilmu ushul qh sebab tanpa mengetahui ilmu tersebut, ia tidak mungkin dapat mentarjih dengan baik dan benar. Lebih dari itu dapat dikatakan bahwa penguasaan ilmu ushul serta penyerapannya yang mendalam sangat membantu seseorang dalam mengadakan perbandingan suatu masalah di antara berbagai madzhab. Dengan demikian, peranan ushul dalam pengembangan Islam dapat dikatakan sebagai penolong faqih dalam mengeluarkan hukum-hukum syara’ dari dalil-dalilnya. Di samping itu, dapat juga dikatakan sebagai kerangka acuan yang dapat digunakan sebagai pengembangan pemikiran Islam dan sebagai penyaring pemikiran-pemikiran seorang mujtahid. Sehubungan dengan ini, Ibnu Khaldun aam kitabnya Muqaddimah menyatakan bahwa sesuhngguhnya ilmu ushul itu merupakan ilmu syari’ah yang termulia, tertinggi nilainya dan terbanyak kaidahnya.
Berdasarkan hal tersebut, para ulama memandang ilmu ushul sebagai ilmu dlaruri yang penting dan harus dimiliki oleh setiap faqih dan dipandang sebagai ilmu syari’ah yang terpenting dan tertinggi nilainya. Ushul pun merupakan usaha ulama terdahulu dalam rangka menjaga keutuhan dalalah lafadz yang terdalam dalam nash syara’, terutama dalam al-Qur’an. Dengan ushul mereka mencoba mengungkapkan maksud pembuat hukum (Allah) atau murad al-Syari’ (Rachmat Syafe’i, 1999: 42-45).[]
LATIHA N Dengan bimbingan dosen, mahasiswa dibagi dua kelompok sesuai dengan kesepakatan peserta dan fasilitator. Tiap kelompok membahas tentang Peranan Ushul Fiqh dalam Perkembangan Fiqh Islam. Hasil diskusi kelompok dipresentasikan dalam diskusi kelas dan hasilnya disusun oleh tim perumus serta dibagikan kepada seluruh peserta diskusi. RANGKUM AN Peranan ushul dalam pengembangan Islam dapat dikatakan sebagai penolong faqih dalam mengeluarkan hukum-hukum syara’ dari dalil- dalilnya. Di samping itu, dapat juga dikatakan sebagai kerangka acuan yang dapat digunakan sebagai pengembangan pemikiran qh Islam dan sebagai penyaring pemikiran-pemikiran seorang mujtahid. Sehubungan dengan ini, Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah menyatakan bahwa sesuhngguhnya ilmu ushul itu merupakan ilmu syari’ah yang termulia, tertinggi nilainya dan terbanyak kaidahnya. TES FORMATIF Pilihlah satu jawaban yang paling tepat! 1. Target yang hendak dicapai oleh ilmu ushul ialah: A. Tercapainya kemampuan seseorang untuk mengetahui hukum syara’ yang bersifat furu’ B. Tercapainya kemampuan untuk mengetahui metode istinbath hukum dari dalil- dalilnya dengan jalan yang benar. C. Orang yang mengistinbath hukum dapat terhindar dari kekeliruan. D. A dan B Benar E. A, B, dan C Benar
2. Peranan ushul dalam pengembangan Islam adalah: A. Penolong faqih dalam mengeluarkan hukum-hukum syara’ dari dalil- dalilnya. B. Kerangka acuan yang dapat digunakan sebagai pengembangan pemikiran Islam dan sebagai penyaring pemikiran-pemikiran seorang mujtahid. C. Penghambat faqih dalam mengeluarkan hukum-hukum syara’ dari dalil-dalilnya.
D. A dan B benar E. Tidak ada yang benar 3. Kegiatan ulama dalam penulisan ilmu ushul merupakan: A. Salah satu upaya dalam menjaga keasrian hukum syara’ B. Salah satu upaya dalam menjabarkan hukum syara’ pada kehidupan sosial yang berubah-ubah itu. C. Salah satu upaya yang tidak memiliki faedah D. A, B, dan C benar E. A dan B Benar 4. Para ulama memandang ilmu ushul sebagai: A. Ilmu dlaruri yang penting dan harus dimiliki oleh setiap faqih B. Ilmu syari’ah yang terpenting dan tertinggi nilainya C. Usaha ulama terdahulu dalam rangka menjaga keutuhan dalalah lafadz yang terdalam dalam nash syara’ D. A, B, dan C benar E. Tidak ada yang benar TINDAK LANJUT 1. Pengayaan Bagi mahasiswa yang sudah mencapai ketuntasan belajar 80-100 (berdasarkan hasil evaluasi) diusahakan untuk menindaklanjuti pembelajaran dalam modul ini. Anda diminta untuk mencari dan membaca lebih lanjut materi terkait dari berbagai sumber yang terdapat di perpustakaan Diklat setempat dan lain-lain. Susunlah hasil bacaan Anda dalam bentuk satu laporan singkat. 2. Perbaikan 29
Bagi mahasiswa yang belum dapat menyelesaikan ketuntasan belajar dengan baik nilai 79 ke bawah (nilai evaluasi di bawah standar) diminta untuk mengkaji kembali materi dan menyelesaikan soal secara sistematis. 3. Pengayaan dan perbaikan ini sangat penting berhubungan dengan tugas utama Anda sebagai guru yang harus memiliki kompetensi professional, diantaranya menguasai materi pelajaran. 4. Baca pula buku-buku lain sebagai sumber bacaan yang menunjang penguasaan materi pelajaran. 30
ALIRAN-ALIRAN USHUL FIQH A. URAIAN MATERI alam sejarah perkembangan Ushul Fiqh, dikenal dua aliran, yang Dterjadi antara lain akibat adanya perbedaan dalam membangun teori ushul untuk menggali hukum Islam. Aliran pertama disebut aliran Sya ’iyah dan jumhur mutakallimin (ahli kalam). Aliran ini membangun ushul secara teoritis murni tanpa dipengaruhi oleh masalah-masalah cabang keagamaan. Begitu pula dalam menetapkan kaidah, aliran ini menggunakan alasan yang kuat, baik dari dalil naqli maupun aqli, tanpa dipengaruhi masalah furu’ dan madzhab, sehingga adakalanya kaidah tersebut sesuai dengan masalah furu’ dan adakalanya tidak sesuai. Selain itu, setiap permasalahan yang didukung naqli dapat dijadikan kaidah. Namun pada kenyataannya di kalangan sendiri terjadi pertentangan, misalnya al-Amidi yang mengajukan kehujjahan ijma’ Sukuti, padahal Imam Sya ’i sendiri tidak mengakuinya. Ijma’ yang diakui oleh Imam secara mutlaq adalah ijma’ di kalangan sahabat saja secara jelas. Pendapat al-Amidi tersebut sebenarnya merupakan salah satu konsekuensi dari usahanya bersama (tokoh Ushul Fiqh Malikiyah) untuk menyatukan dua aliran ushul qh. Sebagai akibat dari perhatian yang terlalu difokuskan pada masalah teoritis, aliran ini sering tidak dapat menyentuh permasalahan praktis. Asspek bahasa dalam aliran ini sangat diminan, seperti penentuan tentang ahsin (menganggap sesuatu itu baik dan dapat dicapai akal atau tidak), dan taqbih (menganggap sesuatu itu buruk dan dapat dicapai akal atau tidak). Permasalahan tersebut biasanya berkaitan dengan pembahasan tentang hakim (pembuat hukum syara’) yang berkaitan pula dengan masalah aqidah. Selain itu, aliran ini seringkali terjebak terhadap masalah yang tidak mungkin terjadi dan terhadap kema’shuman Rasulullah saw. Kitab standar aliran ini antara lain: al-Risalah (Imam al-Mu;tama (Abu al-Husain Muhammad Ibnu ‘Ali al-Bashri), al-Burhan Ushul al-Fiqh (Imam al-Haramain al-Juwaini), al-Mankhul min Ta’liqat al-Ushul, Shifat al- Ghalil Bayan al-Syabah wa al-Mukhil wa Masalik al-Ta’lil, al-Mushfa ilmi al- Ushul (ketiganya karangan Imam Abu Hamid al-Ghazali). 31
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285