PEMERINTAH KABUPATEN LAMADAU DINAS KETAHANAN PANGAN Komplek Perkantoran Bukit Hibul Telp/fax (0532 2071057) Nanga Bulik 74662
DAFTAR ISI SAMBUTAN KEPALA DINAS .......................................................................... i KATA PENGANTAR......................................................................................... ii RINGKASAN EKSEKUTIF ............................................................................... iii 1 PENDAHULUAN..................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang.................................................................................. 1 1.2. Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi..................................... 3 1.3. Metodologi........................................................................................ 6 2 KETERSEDIAAN PANGAN..................................................................... 11 2.1. Lahan Pertanian................................................................................ 11 2.2. Produksi Pangan ............................................................................... 12 2.3. Sarana dan Prasarana Ekonomi.......................................................... 18 2.4. Strategi Pemenuhan Ketersediaan Pangan .......................................... 20 3 AKSES TERHADAP PANGAN................................................................. 23 3.1. Penduduk Dengan Tingkat Kesejahteraan Rendah............................... 23 3.2. Akses Transportasi ............................................................................ 24 3.3. Strategi Peningkatan Akses Pangan.................................................... 27 4 PEMANFAATAN PANGAN...................................................................... 29 4.1. Akses Terhadap Air Bersih ................................................................. 29 4.2. Rasio Tenaga Kesehatan ................................................................... 30 4.3. Dampak (Outcome) Dari Status Kesehatan ......................................... 31 4.4. Strategi Peningkatan Pemanfaatan Pangan ......................................... 34 5 KETAHANAN DAN KERENTANAN PANGAN KOMPOSIT ...................... 38 5.1. Kondisi Ketahanan Pangan................................................................. 38 5.2. Faktor Penyebab Kerentanan Pangan ................................................. 41 6 REKOMENDASI KEBIJAKAN ................................................................ 42
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat Rahmat dan Karunia-Nya penyusunan Laporan FSVA (Food Security and Vulnerability Atlas) Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Lamandau tahun 2022 dapat diselesaikan. FSVA (Food Security and Vulnerability Atlas) Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Lamandau tahun 2022 dijadikan sebagai pedoman dan rujukan dalam menyusun program dan kegiatan Ketahanan Pangan Tahun 2022 yang telah ditetapkan, yang mengarah pada pencapaian sasaran-sasaran pembangunan yang dalam penyusunannya juga memperhatikan program dan kebijakan dari Pemerintah Pusat yang dilaksanakan di daerah. Diharapkan Laporan FSVA (Food Security and Vulnerability Atlas) ini dapat dijadikan sarana peningkatan kinerja Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Lamandau, juga dapat memberikan umpan balik yang sangat diperlukan dalam pengambilan keputusan dan penyusunan rencana di masa mendatang oleh pimpinan Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Lamandau sehingga akan diperoleh peningkatan kinerja ke arah yang lebih baik. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan Laporan FSVA (Food Security and Vulnerability Atlas) ini masih terdapat kekurangan-kekurangan. Untuk itu kritik dan saran serta masukan sangat diharapkan guna penyempurnaan Laporan ini. Semoga Laporan FSVA ini dapat bermanfaat bagi kemajuan pembangunan khususnya sektor Ketahanan Pangan. Nanga Bulik, 2022 KEPALA DINAS KETAHANAN PANGAN KABUPATEN LAMANDAU, MARINUS APAU, S.Pd., M.Si Pembina Utama Muda 19701028 199801 1 001 ii
RINGKASAN EKSEKUTIF 1. Ketersediaan informasi ketahanan pangan yang akurat, komprehensif, dan tertata dengan baik sangat penting untuk mendukung upaya pencegahan dan penanganan kerawanan pangan dan gizi, karena dapat memberikan arah dan rekomendasi kepada pembuat keputusan dalam penyusunan program, kebijakan, serta pelaksanaan intervensi di tingkat pusat dan daerah. Penyediaan informasi diamanahkan dalam UU No 18/ 2012 tentang Pangan dan PP No 17/2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi yang mengamanatkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya untuk membangun, menyusun, dan mengembangkan Sistem Informasi Pangan dan Gizi yang terintegrasi. 2. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (Food Security and Vulnerability Atlas – FSVA) merupakan peta tematik yang menggambarkan visualisasi geografis dari hasil analisa data indikator kerentanan terhadap kerawanan pangan. Informasi dalam FSVA menjelaskan lokasi wilayah rentan terhadap kerawanan pangan dan indikator utama daerah tersebut rentan terhadap kerawanan pangan. 3. FSVA Kabupaten merupakan peta yang menggambarkan situasi ketahanan dan kerentanan pangan wilayah desa. Indikator yang digunakan dalam penyusunan FSVA merupakan turunan dari tiga aspek ketahanan pangan, yaitu ketersediaan, keterjangkauan dan pemanfaatan pangan. Pemilihan indikator didasarkan pada: (i) keterwakilan 3 pilar ketahanan pangan (ii) tingkat sensitifitas dalam mengukur situasi ketahanan pangan dan gizi; dan (iii) ketersediaan data tersedia secara rutin untuk periode tertentu yang mencakup seluruh wilayah desa. Enam indikator digunakan dalam penyusunan FSVA Kabupaten. 4. Indikator pada aspek ketersediaan pangan adalah (1) Rasio luas lahan baku sawah terhadap luas lahan total; (2) Rasio jumlah sarana dan prasarana ekonomi terhadap jumlah rumah tangga. Indikator pada akses pangan adalah (1) Rasio penduduk dengan tingkat kesejahteraan terendah terhadap total jumlah penduduk; (2) Desa dengan akses penghubung kurang memadai. Indikator pada aspek pemanfaatan pangan adalah: (1) Rasio rumah tangga tanpa akses air bersih; (2) Rasio tenaga kesehatan terhadap penduduk. 5. Desa/kelurahan diklasifikasikan dalam 6 kelompok ketahanan pangan dan gizi berdasarkan pada tingkat keparahan dan penyebab dari situasi ketahanan pangan dan gizi. Desa/kelurahan di Prioritas 1, 2 dan 3 merupakan wilayah rentan pangan dengan klasifikasi Prioritas 1 tingkat rentan pangan tinggi, Prioritas 2 rentan pangan sedang, dan priroritas 3 rentan pangan rendah. Desa/kelurahan di Prioritas 4, 5, dan 6 merupakan wilayah tahan pangan dengan klasifikasi prioritas 4 tahan pangan rendah, prioritas 5 tahan pangan sedang, sedangkan prioritas 6 yaitu tahan pangan tinggi. iii
6. Hasil analisis FSVA 2022 menunjukkan bahwa desa rentan pangan Prioritas 1-3 sebanyak 12 desa dari 90 desa (13,33%) yang terdiri dari 2 desa (2,22%) Prioritas 2; dan 10 desa (11,11%) Prioritas 3. Desa prioritas 2 tersebar 1 desa di kecamatan Lamandau (Desa Karang Taba), 1 desa di kecamatan Belantikan Raya (Desa Sungai Buluh); Desa prioritas 3 tersebar 1 desa di kecamatan Bulik ( Desa Sungai Mentawa), 3 desa di kecamatan Lamandau (Desa Cuhai, Desa Panopa, dan Desa Suja) , 3 Desa di kecamatan Belantikan Raya (Desa Belibi, Bintang Mangalih dan Desa Kahingai), 3 Desa di Kecamatan Delang (Desa Penyombaan, Desa Nyalang dan Desa Riam Penahan). 7. Karakteristik desa rentan pangan ditandai dengan faktor sarana dan prasarana ekonomi, jumlah tenaga kesehatan dan faktor masyarakat tanpa akses air bersih. 8. Program-program peningkatan ketahanan pangan dan menangani kerentanan pangan desa diarahkan pada kegiatan: a. Peningkatan sarana dan prasarana pangan di desa dilakukan dengan pemberdayaan UMKM, swadaya masyarakat, membangun kemitraan dengan perusahaan pengolah pangan untuk mengoptimalkan produk dalam negeri atau dengan pihak swasta sebagai pemilik modal denan memberdayakan masyarakat di sekitarnya sehingga dapat meningkatkan ekonomi masyarakat. b. Penambahan tenaga kesehatan yang disesuaikan dengan pertambahan jumlah penduduk untuk mencapai kondisi yang ideal. iv
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Kabupaten Lamandau terdiri dari 8 (delapan) kecamatan dan 90 (sembilan puluh) desa dengan total penduduk sebesar 100.535 jiwa (BPS). Kabupaten Lamandau secara geografis terletak di bagian garis khatulistiwa, memanjang dari utara ke selatan di antara 1,9˚ s/d 3,36’ Bujur Timur dan memanjang dari barat ke timur di antara 110˚25’- s/d112˚50’ Lintang Selatan. Kabupaten Lamandau di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Ketapang Provinsi Kalimantan Barat dan Kecamatan Seruyan Arut Utara Kabupaten Kotawaringin Barat, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Arut Utara Kabupaten Kotawaringin Barat, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Arut Selatan Kabupaten Kotawaringin Barat dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Ketapang Provinsi Kalimantan Barat yang memiliki wilayah daratan seluas 6.414 km2 atau 64.140 ha. Kabupaten Lamandau tidak memiliki wilayah perairan (Laut) tetapi memiliki potensi besar untuk perikanan, dengan daerah yang terdiri dari sungai, danau, rawa dan juga genangan lainnya. Secara klimatologis, Kabupaten Lamandau memiliki pola tipe curah hujan tipe A, yaitu daerah basah memiliki curah hujan lebih dari 2.000 mm per tahun dan daerah kering memiliki curah hujan kurang dari 2.000 mm per tahun dan daerah kering memiliki curah hujan lebih dari 2.000 mm per tahun. Iklim Kabupaten Lamandau termasuk iklim tropis yang lembab dan panas dengan suhu kisaran 21,9oC – 34,5oC. Kelembaban udara rata-rata adalah 86,4%. Daerah Kabupaten Lamandau beriklim tropis, yang dipengaruhi oleh musim kemarau/kering dan musim hujan. Curah hujan rata-rata yaitu 278,1 mm/bulan. Curah hujan tertinggi pada bulan Oktober dan terendah pada bulan Februari. Kecepatan angin rata-rata 2,4 m/s. (Kabupaten Dalam Angka , 2022). Perekonomian Kabupaten Lamandau pada tahun 2021 mencapai 4,01% meningkat jika dibandingkan dari tahun 2020 yang hanya mencapai 1,85%. Perekonomian Kabupaten Lamandau tergantung pada sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan yang masih mempunyai peranan tinggi terhadap PDRB atas dasar harga berlaku. Akan tetapi sektor ini tahun 2021 meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, di mana tahun 2021 peranannya naik dari 29,51% menjadi 31,73%. Selain sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan, sektor yang mengalami kenaikan tahun 2021 adalah sektor industri pengolahan yaitu dari 13,39 % menjadi 14,30%; sektor pertambangan dan penggalian dari 13,18% menjadi 13,40 %. Sementara sektor lainnya mengalami penurunan yaitu sektor Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib menunjukkan sebesar -5,36%, sektor Jasa 1
pendidikan sebesar -1,86%, sektor Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Daur Ulang sebesar -0,13%. Kondisi ini menunjukkan bahwa masih ada hal yang harus dilakukan oleh pemerintah dan para pemegang kepentingan (stakeholder) dalam melakukan pembangunan. (Kabupaten Dalam Angka, 2022) Undang-undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan Pasal 114 dan Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi Pasal 75 mengamanatkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban membangun, menyusun, dan mengembangkan Sistem Informasi Pangan dan Gizi yang terintegrasi, yang dapat digunakan untuk perencanaan, pemantauan dan evaluasi, stabilisasi pasokan dan harga pangan serta sebagai sistem peringatan dini terhadap masalah pangan dan kerawanan pangan dan gizi. Informasi tentang ketahanan dan kerentanan pangan penting untuk memberikan informasi kepada para pembuat keputusan dalam pembuatan program dan kebijakan, baik di tingkat pusat maupun tingkat lokal, untuk lebih memprioritaskan intervensi dan program berdasarkan kebutuhan dan potensi dampak kerawanan pangan yang tinggi. Informasi tersebut dapat dimanfaatkan sebagai salah satu instrumen untuk mengelola krisis pangan dalam rangka upaya perlindungan/penghindaran dari krisis pangan dan gizi baik jangka pendek, menengah maupun panjang. Dalam rangka menyediakan informasi ketahanan pangan yang yang akurat dan komprehensif, disusunlah Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan/Food Security and Vulnerability Atlas-FSVA sebagai instrumen untuk monitoring ketahanan pangan wilayah. Di tingkat nasional FSVA disusun sejak tahun 2002 bekerja sama dengan World Food Programme (WFP). Kerjasama tersebut telah menghasilkan Peta Kerawanan Pangan (Food Insecurity Atlas - FIA) pada tahun 2005. Pada tahun 2009, 2015, 2018 disusun Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (Food Security and Vulnerability Atlas – FSVA). Sebagai tindak lanjut penyusunan FSVA Nasional disusun pula FSVA Provinsi dengan analisis sampai tingkat kecamatan dan FSVA Kabupaten dengan analisis sampai tingkat desa. Dengan demikian, permasalahan pangan dapat dideteksi secara cepat sampai level yang paling bawah. FSVA kabupaten telah disusun sejak tahun 2012 dan dimutakhirkan pada tahun 2016. Untuk mengakomodir perkembangan situasi ketahanan pangan dan pemekaran wilayah desa, maka dilakukan pemutakhiran FSVA Kabupaten pada tahun 2019. Seperti halnya FSVA Nasional dan Provinsi, FSVA Kabupaten menyediakan sarana bagi para pengambil keputusan untuk secara cepat dalam mengidentifikasi daerah yang lebih rentan, dimana investasi dari berbagai sektor seperti pelayanan 2
jasa, pembangunan manusia dan infrastruktur yang berkaitan dengan ketahanan pangan dapat memberikan dampak yang lebih baik terhadap penghidupan, ketahanan pangan dan gizi masyarakat pada tingkat desa. Pengembangan FSVA tingkat desa merupakan hal yang sangat penting, dimana kondisi ekologi dan kepulauan yang membentang dari timur ke barat, kondisi iklim yang dinamis dan keragaman sumber penghidupan masyarakat menunjukkan adanya perbedaan situasi ketahanan pangan dan gizi di masing- masing wilayah. FSVA Kabupaten akan menjadi alat yang sangat penting dalam perencanaan dan pengambilan keputusan untuk mengurangi kesenjangan ketahanan pangan. 1.2. KERANGKA KONSEP KETAHANAN PANGAN DAN GIZI Peran pangan bukan hanya penting untuk memenuhi kebutuhan fisik dasar dan mencegah kelaparan, namun lebih jauh dari itu peran pangan dengan kandungan gizi di dalamnya bagi kecerdasan bangsa dan peningkatan kualitas hidup manusia untuk menghasilkan manusia yang sehat, cerdas, aktif dan produktif seperti disebutkan dalam definisi ketahanan pangan. Kecukupan pemenuhan pangan dalam jumlah dan mutunya berkorelasi dengan produktivitas kerja dan pertumbuhan otak serta kecerdasan dan pada akhirnya berperan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam undang-undang didefinisikan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Menimbang pentingnya ketahanan pangan dalam pembangunan nasional, Bab III Undang-undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 mengamanatkan bahwa Pemerintah harus melakukan perencanaan penyelenggaraan pangan. Pada pasal 6, penyelenggaraan pangan diarahkan untuk mewujudkan kedaulatan, kemandirian dan ketahanan pangan. Definisi ketahanan pangan (food security) yang dianut oleh Food and Agricultural Organisation (FAO) dan dirujuk oleh UU Pangan saat ini mengacu pada konsep awal food security yang dihasilkan oleh World Food Summit tahun 1996. Merujuk pada konsep tentang pentingnya nutrition security yang diajukan oleh Unicef pada awal tahun 1990an yang menambahkan aspek penyakit infeksi sebagai penyebab masalah gizi disamping ketahanan pangan rumahtangga, maka International Food Policy Research Institute (IFPRI) menyebut konsep ketahanan 3
pangan FAO tersebut sebagai Food and Nutrition Security. Pada tahun 2012 FAO1 mengajukan definisi food security menjadi food and nutrition security untuk menyempurnakan konsep dan definisi sebelumnya. Upaya FAO ini sejalan dengan upaya Standing Committee on Nutrition (SCN), suatu lembaga non struktural yang juga berada di bawah United Nations (PBB) yang pada tahun 20132 juga merekomendasikan penyempurnaan definisi ketahanan pangan (food security) menjadi ketahanan pangan dan gizi (food and nutrition security). Dalam pemahaman baru ini, perwujudan ketahanan pangan tidak hanya berorientasi pada upaya penyediaan pangan dalam jumlah yang cukup bagi setiap individu, namun juga harus disertai upaya untuk meningkatkan efektivitas pemanfaatan pangan bagi terciptanya status gizi yang baik bagi setiap individu. Dalam konteks ini optimalisasi utilisasi pangan tidak cukup hanya dari kualitas pangan yang dikonsumsi, namun juga harus didukung oleh terhindarnya setiap individu dari penyakit infeksi yang dapat mengganggu tumbuh kembang dan kesehatan melalui kecukupan air bersih dan kondisi sanitasi lingkungan dan higiene yang baik. Kerangka pikir ketahanan pangan dan gizi ini dituangkan dalam Gambar 1.1. Gambar 1.1. Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi (Sumber: FAO dan UNSCN) 1 Disampaikan pada Commitee on World Food Security, 36th sessions of 15-22 October 2012, Rome-Italia 2 Disampaikan pada UNSCN Meeting of the Minds and Nutrition Impact of Food System, 25-28 March di New York 4
Analisis dan pemetaan FSVA dilakukan berdasarkan pada pemahaman mengenai ketahanan pangan dan gizi seperti yang tercantum dalam Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi (Gambar 1.1). Kerangka konseptual tersebut dibangun berdasarkan tiga pilar ketahanan pangan, yaitu: ketersediaan, akses dan pemanfaatan pangan, serta mengintegrasikan gizi dan kerentanan di dalam keseluruhan pilar tersebut. Ketersediaan pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri, cadangan pangan, serta pemasukan pangan (termasuk didalamnya impor dan bantuan pangan) apabila kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan. Ketersediaan pangan dapat dihitung pada tingkat nasional, regional, kecamatan dan tingkat masyarakat. Akses pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh cukup pangan yang bergizi, melalui satu atau kombinasi dari berbagai sumber seperti: produksi dan persediaan sendiri, pembelian, barter, hadiah, pinjaman dan bantuan pangan. Pangan mungkin tersedia di suatu daerah tetapi tidak dapat diakses oleh rumah tangga tertentu jika mereka tidak mampu secara fisik, ekonomi atau sosial, mengakses jumlah dan keragaman makanan yang cukup. Pemanfaatan pangan merujuk pada penggunaan pangan oleh rumah tangga dan kemampuan individu untuk menyerap dan memetabolisme zat gizi. Pemanfaatan pangan juga meliputi cara penyimpanan, pengolahan dan penyiapan makanan, keamanan air untuk minum dan memasak, kondisi kebersihan, kebiasaan pemberian makan (terutama bagi individu dengan kebutuhan makanan khusus), distribusi makanan dalam rumah tangga sesuai dengan kebutuhan individu (pertumbuhan, kehamilan dan menyusui), dan status kesehatan setiap anggota rumah tangga. Mengingat peran yang besar dari seorang ibu dalam meningkatkan profil gizi keluarga, terutama untuk bayi dan anak-anak, pendidikan ibu sering digunakan sebagai salah satu proxy untuk mengukur pemanfaatan pangan rumah tangga. Dampak gizi dan kesehatan merujuk pada status gizi individu, termasuk defisiensi mikronutrien, pencapaian morbiditas dan mortalitas. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pangan, serta praktek-praktek perawatan umum, memiliki kontribusi terhadap dampak keadaan gizi pada kesehatan masyarakat dan penanganan penyakit yang lebih luas. Kerentanan dalam peta ini selanjutnya merujuk pada kerentanan terhadap kerawanan pangan dan gizi. Tingkat kerentanan individu, rumah tangga atau kelompok masyarakat ditentukan oleh pemahaman terhadap faktor-faktor risiko dan kemampuan untuk mengatasi situasi tertekan. Kerawanan pangan dapat menjadi kondisi yang kronis atau transien. Kerawanan pangan kronis adalah ketidakmampuan jangka panjang untuk memenuhi 5
kebutuhan pangan minimum dan biasanya berhubungan dengan struktural dan faktor-faktor yang tidak berubah dengan cepat, seperti iklim setempat, jenis tanah, sistem pemerintahan daerah, infrastruktur publik, sistim kepemilikan lahan, distribusi pendapatan dan mata pencaharian, hubungan antar suku, tingkat pendidikan, sosial budaya/adat istiadat dll. Kerawanan pangan transien adalah ketidakmampuan sementara yang bersifat jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan pangan minimum yang sebagian besar berhubungan dengan faktor dinamis yang dapat berubah dengan cepat/tiba-tiba seperti penyakit menular, bencana alam, pengungsian, perubahan fungsi pasar, tingkat hutang dan migrasi. Perubahan faktor dinamis tersebut umumnya menyebabkan kenaikan harga pangan yang lebih mempengaruhi penduduk miskin dibandingkan penduduk kaya, mengingat sebagian besar dari pendapatan penduduk miskin digunakan untuk membeli makanan. Kerawanan pangan transien yang berulang dapat menyebabkan kerawanan aset rumah tangga, menurunnya ketahanan pangan dan akhirnya dapat menyebabkan kerawanan pangan kronis. 1.3. Metodologi Kerentanan pangan dan gizi adalah masalah multi-dimensional yang memerlukan analisis dari sejumlah parameter. Kompleksitas masalah ketahanan pangan dan gizi dapat dikurangi dengan mengelompokkan indikator proxy ke dalam tiga kelompok yang berbeda tetapi saling berhubungan, yaitu ketersediaan pangan, keterjangkauan/akses rumah tangga terhadap pangan dan pemanfaatan pangan secara individu. Pertimbangan gizi, termasuk ketersediaan dan keterjangkauan bahan pangan bergizi tersebar dalam ketiga kelompok tersebut. Indikator Kerentanan terhadap kerawanan pangan tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten, memiliki karakteristik masing-masing sehingga tidak semua indikator nasional maupun provinsi dapat digunakan untuk memetakan kerentanan terhadap kerawanan pangan di tingkat kabupaten. Pemilihan indikator FSVA Kabupaten didasarkan pada: (i) hasil review terhadap pemetaan daerah rentan rawan pangan yang telah dilakukan sebelumnya; (ii) tingkat sensitivitas dalam mengukur situasi ketahanan pangan dan gizi; (iii) keterwakilan pilar ketahanan pangan dan gizi; dan (iv) ketersediaan data pada seluruh desa. Indikator yang digunakan dalam FSVA Kabupaten terdiri dari 6 (enam) indikator yang mencerminkan tiga aspek ketahanan pangan. 6
Tabel 1.1. Indikator FSVA Kabupaten 2022 Indikator Definisi Sumber Data A. Aspek Ketersediaan Pangan BPS; Pusat Data Informasi Kementan Rasio luas baku lahan sawah Luas baku lahan sawah 2021 Data Dinas Pertanian terhadap luas wilayah desa dibandingkan luas wilayah desa dan Perikanan, 2021 Potensi Desa 2021, BPS Rasio jumlah sarana dan Jumlah sarana dan prasarana Jumlah Rumah Tangga prasarana ekonomi terhadap ekonomi (pasar, minimarket, 2021 jumlah rumah tangga toko, warung, restoran dll) dibandingkan jumlah rumah Data Dinas Sosial (Data tangga desa Terpadu Kesejahteraan Sosial, PKH), 2021 B. Aspek Akses terhadap Pangan Jumlah Rumah Tangga, 2021, BPS Rasio jumlah penduduk Jumlah penduduk dengan status dengan tingkat kesejahteraan kesejahteraan terendah Potensi Desa 2021, BPS terendah terhadap jumlah (penduduk dengan tingkat penduduk desa kesejahteraan pada Desil 1) dibandingkan jumlah penduduk Desa yang tidak memiliki desa akses penghubung memadai melalui darat atau air atau Desa yang tidak memiliki akses udara penghubung memadai dengan kriteria: (1) Desa dengan sarana transportasi darat tidak dapat dilalui sepanjang tahun; (2) Desa dengan sarana transportasi air atau udara namun tidak tersedia angkutan umum C. Aspek Pemanfaatan Pangan Rasio jumlah rumah tangga Jumlah rumah tangga desil 1 Data Dinas Kesehatan, tanpa akses air bersih s/d 4 dengan sumber air bersih 2021 terhadap jumlah rumah tidak terlindung dibandingkan tangga desa jumlah rumah tangga desa Potensi Desa 2021,BPS Jumlah Penduduk, 2021 Rasio jumlah tenaga Jumlah tenaga kesehatan terdiri Dinas Kesehatan, 2021 kesehatan terhadap jumlah atas: 1) Dokter umum/spesialis; penduduk desa 2) dokter gigi; 3) bidan; 4) tenaga kesehatan lainnya (perawat, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga gizi, apoteker/asisten apoteker) dibandingkan jumlah penduduk desa 7
Metode Analisis 1. Analisis Indikator Individu Analisis indikator individu dilakukan dengan mengelompokkan indikator individu kedalam beberapa kelas berdasarkan metode sebaran empiris. Sementara itu data kategorik mengikuti standar pengelompokkan yang sudah ditetapkan oleh BPS. 2. Analisis Komposit Metodologi yang diadopsi untuk analisis komposit adalah dengan menggunakan metode pembobotan. Metode pembobotan digunakan untuk menentukan tingkat kepentingan relatif indikator terhadap masing-masing aspek ketahanan pangan. Metode pembobotan dalam penyusunan FSVA mengacu pada metode yang dikembangkan oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) dalam penyusunan Global Food Security Index (EIU 2016 dan 2017) dan International Food Policy Research Institute (IFPRI) dalam penyusunan Gobal Hunger Index (IFPRI 2017). Goodridge (2007) menyatakan jika variabel yang digunakan dalam perhitungan indeks berbeda, maka perlu dilakukan secara tertimbang (pembobotan) untuk membentuk indeks agregat yang disesuaikan dengan tujuannya. Langkah-langkah perhitungan analisis komposit adalah sebagai berikut: a. Standarisasi nilai indikator dengan menggunakan z-score dan distance to scale (0 – 100) b. Menghitung skor komposit kabupaten/kota dengan cara menjumlahkan hasil perkalian antara masing-masing nilai indikator yang sudah distandarisasi dengan bobot indikator, dengan rumus: ………………………………………………………...… (1) Dimana: : Skor komposit kabupaten/kota ke-j Yj : Bobot masing-masing indikator ai : Nilai standarisasi masing-masing indikator pada kabupaten/kota ke-j Xij Besaran bobot masing-masing indikator dibagi sama besar untuk setiap aspek ketahanan pangan, karena setiap aspek memiliki peran yang sama besar terhadap penentuan ketahanan pangan wilayah. Bobot untuk setiap indikator mencerminkan signifikansi atau pentingnya indikator tersebut dalam menentukan tingkat ketahanan pangan suatu wilayah. 8
Tabel 1.2 Bobot Indikator Individu Bobot 1/6 No Indikator 1/6 1. Rasio luas baku lahan sawah terhadap luas wilayah desa 2. Rasio jumlah sarana dan prasarana ekonomi terhadap 1/3 1/6 jumlah rumah tangga Sub Total 1/6 3. Rasio jumlah penduduk dengan tingkat kesejahteraan 1/3 terendah terhadap jumlah penduduk desa 1/6 4. Desa yang tidak memiliki akses penghubung memadai 1/6 Sub Total 5. Rasio jumlah rumah tangga tanpa akses air bersih 1/3 terhadap jumlah rumah tangga desa 6. Rasio jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk desa Sub Total c. Mengelompokan desa/kelurahan ke dalam 6 kelompok prioritas berdasarkan cut off point komposit. Skor komposit yang dihasilkan pada masing-masing wilayah dikelompokkan ke dalam 6 kelompok berdasarkan cut off point komposit. Cut off point komposit merupakan hasil penjumlahan dari masing-masing perkalian antara bobot indikator individu dengan cut off point indikator individu hasil standarisasi z-score dan distance to scale (0-100). ………………………………………………………...… (2) Dimana: Kj : cut off point komposit ke-J ai : Bobot indikator ke-i Cij : Nilai standarisasi cut off point indikator ke-I kelompok ke-j Wilayah yang masuk ke dalam kelompok 1 adalah desa/kelurahan yang cenderung memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi daripada desa/kelurahan dengan kelompok diatasnya, sebaliknya wilayah pada kelompok 6 merupakan desa/kelurahan yang memiliki ketahanan pangan paling baik. Penting untuk menegaskan kembali bahwa sebuah desa/kelurahan yang diidentifikasikan sebagai relatif lebih tahan pangan (kelompok Prioritas 4-6), tidak berarti semua penduduk di dalamnya juga tahan pangan. Demikian juga, tidak semua penduduk di desa/kelurahan Prioritas 1-3 tergolong rentan pangan. 9
3. Pemetaan Hasil analisis indikator individu dan komposit kemudian divisualisasikan dalam bentuk peta. Peta-peta yang dihasilkan menggunakan pola warna seragam dalam gradasi warna merah dan hijau. Gradasi merah menunjukkan variasi tingkat kerentanan pangan tinggi dan gradasi hijau menggambarkan variasi kerentanan pangan rendah. Untuk kedua kelompok warna tersebut, warna yang semakin tua menunjukkan tingkat yang lebih tinggi dari ketahanan atau kerentanan pangan. 10
BAB 2 KETERSEDIAAN PANGAN Undang-Undang Pangan No. 18 tahun 2012 mendefinisikan ketersediaan pangan sebagai kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional serta impor apabila kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan. Produksi pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali, dan/atau mengubah bentuk Pangan. Sedangkan cadangan pangan nasional adalah persediaan pangan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk konsumsi manusia dan untuk menghadapi masalah kekurangan pangan, gangguan pasokan dan harga, serta keadaan darurat. Penyediaan pangan diwujudkan untuk memenuhi kebutuhan dan konsumsi pangan bagi masyarakat, rumah tangga dan perseorangan secara berkelanjutan. Mayoritas bahan pangan yang diproduksi maupun didatangkan dari luar wilayah harus masuk terlebih dahulu ke pasar sebelum sampai ke rumah tangga. Oleh karena itu, selain kapasitas produksi pangan, keberadaan sarana dan prasarana penyedia pangan seperti pasar akan terkait erat dengan ketersediaan pangan di suatu wilayah. 2.1 LAHAN PERTANIAN Rasio luas baku lahan sawah terhadap luas wilayah kabupaten adalah perbandingan antara luas baku lahan sawah dengan luas wilayah desa. Rasio lahan sawah terhadap luas wilayah desa digunakan sebagai salah satu indikator dalam aspek ketersediaan pangan karena lahan sawah memiliki korelasi yang positif terhadap tingkat ketersediaan pangan dengan mempengaruhi kapasitas produksi pangan1. Oleh sebab itu, semakin tinggi rasio luas lahan sawah terhadap luas wilayah desa maka diasumsikan ketersediaan pangan juga akan semakin baik, begitu pula sebaliknya. Dari 90 desa di Kabupaten Lamandau, 1 desa masuk dalam prioritas 1 (1,11 %), 61 desa (67,78%) masuk ke dalam Prioritas 5 dan 28 desa (31,11%) prioritas 6. Kecamatan yang memiliki rasio lahan prioritas 1-3 tersebar di Kecamatan Belantikan Raya yaitu sebanyak 1 desa (Batu Selipi), sedangkan kecamatan yang memiliki rasio lahan prioritas 6 sebagian besar tersebar di Kecamatan Batang Kawa yaitu 9 desa. 1 Yudhistira (2013) Analisis Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Bekasi Jawa Barat. Fakultas Ekonomi dan
Tabel 2.1 Sebaran rasio luas baku lahan sawah terhadap total lahan berdasarkan prioritas Prioritas Rasio lahan sawah Jumlah Desa Persentase 1 <=0,0000 1 1,11 2 >0,0000 – 0,0000 00 3 >0,0000 – 0,0000 00 4 >0,0000 – 0,0000 00 5 >0,0000 – 0,0444 61 67,78 6 >0,0444 28 31,11 Gambar 2.1 Peta Luas Lahan Pertanian Terhadap Jumlah Penduduk Kabupaten Lamandau Tahun 2022 2.2. PRODUKSI PANGAN Pemerintah Kabupaten Lamandau telah mempromosikan produksi pertanian dan telah mengadopsi beberapa tindakan perlindungan bagi petani. Pertanian (termasuk peternakan, kehutanan, dan perikanan) telah memberikan kontribusi sebesar 31,73% dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Lamandau pada tahun 2021, dan memberikan peluang yang signifikan untuk berkontribusi dalam meningkatkan ketahanan pangan, 12
penanggulangan kemiskinan, dan dinamika pertumbuhan ekonomi. Padi dan ubi kayu merupakan bahan pokok di Kabupaten Lamandau yang menyumbang hampir 90% dari total produksi serealia kabupaten. Berdasarkan Tabel 2.2 dan Grafik 2.1, produksi umbi-umbian di Kabupaten Lamandau mengalami penurunan dari tahun 2017 ke tahun 2018 dan mengalami peningkatan dari tahun 2019 ke tahun 2020. Peningkatan ini terutama disebabkan oleh bertambahnya luas tanam dan peningkatan produktivitas. Produksi padi menurun yaitu dari pencapaian produksi 24.748 ton tahun 2017 menjadi 7.670,28 ton pada tahun 2021. Hal ini disebabkan oleh gagal panen dari tingkat petani dan alih fungsi lahan, sehingga pasokan beras mendatangkan dari luar daerah. Produksi serelia dan umbi-umbian pada tahun 2021 yang terbesar yaitu ± 50,33% padi, dan ± 35,83% ubi kayu. Tabel 2.2 Produksi Serealia Pokok dan Umbi-umbian 2017 – 2021 (Ton) Serelia 2017 2018 2019 2020 2021 Rata-rata 8.528,82 Padi 13.322 7.408 8.661 9.393 3.860,09 1.509,17 Jagung 4.806 506,87 760 896 577 4.289,30 Ubi 5.816 288,32 5.949 6.645 2.748,19 633,47 Kayu 14.960,77 Ubi Jalar 804 43,36 874 961 485,00 Jumlah 24.748 8.246,55 16.244 17.895 7.670,28 Sumber: 1) PODES, 2017-2018 (2) Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Lamandau, 2019-2021 14.000 12.000 10.000 8.000 6.000 4.000 2.000 0 2017 2018 2019 2020 2021 Padi Jagung Ubi Kayu Ubi Jalar Grafik 2.1 Produksi Serealia Pokok dan Umbi-umbian 2017 – 2021 (Ton) Tahun 2021 total produksi serealia dan umbi-umbian mencapai 7.670,28 ton yaitu padi 3.860,09 ton, jagung 577 ton, ubi kayu 2.748,19 ton, dan ubi jalar 485 ton. Total produksi serealia dan laju pertumbuhan produksi tahun 2017 - 2021 menunjukkan laju pertumbuhan sebesar 84,84% pada tahun 13
2018, -63,69% pada tahun 2019, 10,16 % pada tahun 2020, dan -57,14% pada tahun 2021. Total produksi serealia selama 5 tahun terbesar terjadi pada tahun 2018 yaitu sebesar 44.733,33 ton dan terkecil pada tahun 2021 yaitu sebesar 7.670,28 ton dan pada tahun 2021 terjadi penurunan laju pertumbuhan produksi -57,14% sebesar 7.670,28 ton. Produksi serealia pertahun dan laju pertumbuhannya dapat dilihat pada Tabel 2.3 dan Grafik 2.2 Tabel 2.3 Produksi Total Serealia per Tahun dan Laju Pertumbuhan Produksi (2017-2021) Kecamatan Produksi Total Serelia Per Kecamatan (Ton) 2017 2018 2019 2020 2021 1. Bulik 6.630,76 376,13 1.909 2.280 1.869 2. Sematu Jaya 1.306,41 311,66 1.027 1.015 305 3. Menthoby Raya 620,88 427,51 923 1.591 981 522.76 1.227 1.262 1.016 4. Bulik Timur 2071,17 5. Lamandau 1.322,40 20.068,37 1.789 2.031 1.238 1.311 1.552 555 6. Belantikan Raya 549.4 521,71 7. Delang 9343,85 1803,14 2.544 2.201 1.456 8. Batang Kawa 2.905,57 21.224,81 5.514 5.963 250,28 Jumlah 24.201,04 44.733,33 16.244,00 17.895,00 7.670,28 Laju Pertumbuhan 0 84,84% -63,69% 10,16% -57,14% Sumber: (1) PODES, 2017-2018 (2) Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Lamandau, 2019-2021 25.000,00 20.000,00 15.000,00 10.000,00 5.000,00 0,00 2017 2018 2019 2020 2021 Bulik Sematu Jaya Menthoby Raya Bulik Timur Lamandau Belantikan Raya Delang Batang Kawa Grafik 2.2 Produksi Total Serealia per Kecamatan per tahun (2017-2021) 14
Padi Produksi padi pada tingkat kecamatan di Kabupaten Lamandau selama 5 tahun terakhir (2017 – 2021) telah dianalisis dan disajikan pada Tabel 2.4. Produksi padi mengalami penurunan pada tahun 2021 di seluruh kecamatan. Produksi padi tertinggi pada tahun 2021 di kecamatan Delang sebesar 1.051 ton. Tabel 2.4 Produksi Padi 2017 - 2021 (Ton) Kecamatan 2017 2018 Padi 2020 2021 2019 465 41 1. Bulik 586,74 166,15 250 247 612 390 2. Sematu Jaya 173,82 142,79 94 111 917 381 3. Menthoby Raya 353,82 379,24 413 686 1.051 3,09 4. Bulik Timur 1.191,65 454,84 751 511 3.860,09 5. Lamandau 1.032,37 2.003,34 1.422 1.535 6. Belantikan Raya 270,21 502,94 1.005 753 7. Delang 7.714,11 1.657,92 1.867 1.737 8. Batang Kawa 1.999,86 2.101,92 2.859 3.813 Jumlah 13.322,58 7.409,14 8.661,00 9.393,00 Sumber: (1) PODES, 2017-2018 (2) Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Lamandau, 2019-2021 8000 2018 2019 2020 2021 6000 4000 2000 0 2017 Bulik Sematu Jaya Menthoby Raya Bulik Timur Lamandau Belantikan Raya Delang Batang Kawa Grafik 2.3 Produksi Padi per Kecamatan per Tahun (2017-2021) 15
Jagung Pada tahun 2021, produksi jagung mencapai 577 ton. Hal ini menunjukkan terjadi penurunan 81% dari tahun 2017. Penurunan produksi pada tahun 2021 disebabkan jumlah luas tanam yang kurang dan petani yang mengalami gagal panen. Sebaran produksi jagung terbesar terjadi pada tahun 2017 yaitu sebesar 4.806,84 ton. Kontribusi terbesar terjadi di Kecamatan Bulik sebesar 4.436,15 ton, menyusul Kecamatan Bulik Timur sebesar 104,72 ton dan terendah Kecamatan Lamandau sebesar 2,09 ton. Untuk tahun 2021 kontribusi terbesar terjadi di Kecamatan Bulik yaitu 175 ton dan Batang Kawa sebesar 105 ton. Secara rinci produksi jagung tahun 2017 - 2021 disajikan pada Tabel 2.5. Tabel 2.5 Produksi Jagung 2017-2021 (Ton) Kabupaten Jagung 2017 2018 2019 2020 2021 306 175 1. Bulik 4.436,15 138,24 284 179 79 223 87 2. Sematu Jaya 58,64 121,48 183 61 44 57 52 3. Menthoby Raya 92,15 33,51 61 4 4 4. Bulik Timur 2,09 50,27 74 22 31 44 105 5. Lamandau 104,72 41,89 61 896 577 6. Belantikan Raya 25,13 0 0 7. Delang 46,07 96,35 31 8. Batang Kawa 41,89 25,13 66 Jumlah 4.806,84 506,87 760 Sumber: (1) PODES, 2017-2018 (2) Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Lamandau, 2019-2021 5.000,00 4.000,00 3.000,00 2.000,00 1.000,00 0,00 2017 2018 2019 2020 2021 Bulik Sematu Jaya Menthoby Raya Lamandau Bulik Timur Belantikan Raya Delang Batang Kawa Grafik 2.4 Produksi Jagung per Kecamatan per Tahun (2017-2021) 16
Ubi Kayu Produksi ubi kayu pada tahun 2021 mengalami penurunan sebesar 3.896,81 ton dari tahun 2020. Daerah yang merupakan sentra produksi ubi kayu terbesar pada tahun 2021 meliputi kecamatan Bulik, Bulik Timur, dan Delang. Rincian produksi ubi kayu tahun 2017 – 2021 disajikan pada Tabel 2.6. Tabel 2.6 Produksi Ubi Kayu 2017-2021 (Ton) Kecamatan Ubi Kayu 2017 2018 2019 2020 2021 1.461 1.088 1. Bulik 1.180,55 46,06 1.156 561 146 510 204 2. Sematu Jaya 978,99 30,71 578 612 527 408 238 3. Menthoby Raya 115,76 13,65 340 748 170 442 374 4. Bulik Timur 575,88 20,47 340 1.903 1,19 6.645 2.748,19 5. Lamandau 287,94 13,65 306 6. Belantikan Raya 230,35 18,77 306 7. Delang 1.583,67 49,47 646 8. Batang Kawa 863,82 95,54 2.277 Jumlah 5.816,96 288,32 5.949 Sumber: (1) PODES, 2017-2018 (2) Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Lamandau, 2019-2021 2.500,00 2.000,00 1.500,00 1.000,00 500,00 0,00 2017 2018 2019 2020 2021 Bulik Sematu Jaya Menthoby raya Bulik Timur Lamandau Belantikan Raya Delang Batang Kawa Grafik 2.3 Produksi Ubi Kayu per Kecamatan per Tahun (2017-2021) 17
Ubi Jalar Produksi ubi jalar terbesar selama kurun waktu 5 tahun (2017 - 2021) terjadi pada tahun 2020 yaitu sebesar 961 ton. Pada tahun 2021, Kecamatan Bulik dan Kecamatan Batang Kawa menjadi penyumbang terbesar, yaitu sebesar 141 ton. Rincian produksi ubi jalar tahun 2017 - 2021 disajikan pada Tabel 2.7. Tabel 2.7 Produksi Ubi Jalar 2017-2021 (Ton) Kabupaten Ubi Jalar 2017 2018 2019 2020 2021 266 141 1. Bulik 427,32 16,68 219 164 39 172 78 2. Sematu Jaya 94,96 16,68 172 78 55 31 31 3. Menthoby Raya 59,35 1,11 109 47 0 4. Bulik Timur 198,92 5,56 62 0 0 203 141 5. Lamandau 0 1,11 0 961 485 6. Belantikan Raya 23,74 0 0 7. Delang 0 00 8. Batang Kawa 0 2,22 312 Jumlah 804,3 43,36 874 Sumber: (1) PODES, 2017-2018. (2) Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Lamandau, 2019-2021 450 2018 2019 2020 2021 400 350 300 250 200 150 100 50 0 2017 Bulik Sematu Jaya Menthoby Raya Bulik Timur Lamandau Belantikan Raya Delang Batang Kawa Grafik 2.4 Produksi Ubi Jalar per Kecamatan per Tahun (2017-2021) 2.3. SARANA DAN PRASARANA EKONOMI Rasio jumlah sarana dan prasarana penyedia pangan terhadap jumlah rumah tangga adalah perbandingan antara jumlah sarana dan prasarana penyedia pangan (pasar, minimarket, toko, warung, restoran, dll) dengan 18
jumlah rumah tangga di desa. Sarana dan prasarana penyedia pangan diasumsikan sebagai tempat penyimpan pangan (stok pangan) yang diperoleh dari petani sebagai produsen pangan maupun dari luar wilayah, yang selanjutnya disediakan bagi masyarakat untuk konsumsi. Oleh karena itu, semakin tinggi rasio sarana dan prasarana penyedia pangan terhadap jumlah rumah tangga di desa maka diasumsikan semakin baik tingkat ketersediaan pangan di desa tersebut. Dari 90 desa di Kabupaten Lamandau, 22 desa masuk dalam prioritas 1 (24,44 %), 31 desa prioritas 2 (34,44 %) dan 22 desa prioritas 3 (24,44 %). Prioritas 1 terdapat di Kecamatan Bulik (5 desa yaitu Bumi Agung, Bukit Indah, Tamiang, Nanga Pamalontian, dan Liku Mulya Sakti), Kecamatan Sematu Jaya (1 desa yaitu Rimba Jaya), Kecamatan Menthobi Raya (3 desa yaitu Melata, Modang Mas dan Topalan), Kecamatan Bulik Timur (3 desa yaitu Pedongatan, Batu Tunggal, dan Nanga Kemujan), Kecamatan Lamandau (4 desa yaitu Cuhai, Panopa, Bakonsu dan Tapin Bini), Kecamatan Belantikan Raya (3 desa yaitu Tangga Batu, Belibi, Bayat), Kecamatan Delang (2 desa yaitu Kubung dan Penyombaan) dan Kecamatan Batang Kawa (1 Desa yaitu Mengkalang). Prioritas 2 terdapat di Kecamatan Bulik (4 desa), Kecamatan Sematu Jaya (5 desa), Kecamatan Menthobi Raya (4 desa), Kecamatan Bulik Timur (6 desa), Kecamatan Lamandau (4 desa), Kecamatan Belantikan Raya (4 desa), Kecamatan Delang (3 desa) dan Kecamatan Batang Kawa (1 desa). Sedangkan untuk Prioritas 3 terdapat di Kecamatan Bulik (4 desa), Kecamatan Menthobi Raya (4 desa), Kecamatan Bulik Timur (1 desa), Kecamatan Lamandau (3 desa), Kecamatan Belantikan Raya (2 desa), Kecamatan Delang (4 desa) dan Kecamatan Batang Kawa (4 desa). Tabel sebaran sarana prasarana ekonomi dapat dilihat pada Tabel 2.8 Tabel 2.8 Sebaran rasio sarana prasarana ekonomi berdasarkan prioritas No. Prioritas Rasio Sarana Ekonomi Jumlah Desa Persentase 1 Prioritas 1 <= 0,0287 22 24,44% 2 Prioritas 2 >0,0287 – 0,0417 31 34,44% 3 Prioritas 3 >0,0417 – 0,0554 22 24,44% 4 Prioritas 4 >0,0554 – 0,0678 7 7,78% 5 Prioritas 5 >0,0678 – 0,0875 3 3,33% 6 Prioritas 6 >0,0875 5 5,56% 19
35 34,44 30 31 25 24,44 24,44 22 22 20 Jumlah Desa Persentase 15 10 77,78 33,33 55,56 5 0 Prioritas Prioritas Prioritas Prioritas Prioritas Prioritas 123456 Gambar 2.2 Peta Luas Lahan Pertanian Terhadap Jumlah Penduduk Kabupaten Lamandau Tahun 2022 2.4. Strategi Pemenuhan Ketersediaan Pangan Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Lamandau dari tahun 2016 – 2020 mencapai 2,77% - 4,30% per tahun, sementara penurunan 20
produksi padi dan ubi kayu tahun 2021 sebesar 59%. Rasio lahan pertanian dibandingkan lahan total adalah sebesar 0,000. Sementara itu laju konversi lahan sebesar ± 2,025. Rasio sarana ekonomi penyedia pangan pada prioritas 1-3 mencapai 0,0287 – 0,0554 (83,33 %). Hal tersebut menjadi tantangan dalam pemenuhan ketersediaan pangan. Strategi untuk Meningkatkan Ketersediaan Pangan Beberapa saran strategi yang dapat dipertimbangkan dalam menghadapi tantangan pemenuhan ketersediaan pangan di desa dapat dilakukan dengan: a. Melakukan intensifikasi dan diversifikasi pertanian b. pemberdayaan UMKM; c. swadaya masyarakat dalam membuat lahan-lahan pertanian bersama; d. membangun kemitraan dengan perusahaan pengolah pangan sehingga dapat mengoptimalkan produk dalam negeri; e. atau membangun kemitraan dengan pihak swasta sebagai pemilik modal dengan memberdayakan masyarakat di sekitarnya sehingga dapat meningkatkan ekonomi masyarakat; f. Pemerintah membuat aturan terkait alih fungsi lahan pertanian; g. selain itu juga dapat menyesuaikan strategi yang terdapat di RPJMD yang telah tersusun. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Lamandau Tahun 2018-2023 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Lamandau merupakan Dokumen induk perencanaan pembangunan daerah untuk masa 5 tahun ke depan (2018-2023). Dokumen tersebut memuat visi,misi,dan arah kebijakan pembangunan yang digunakan sebagai dasar perencanaan,pelaksanaan dan evaluasi pembangunan daerah. Visi RPJMD Kabupaten Lamandau adalah “Bergerak cepat membangun kabupaten Lamandau dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat menuju Lamandau JUARA (Jujur, Unggul, Adil, Religius dan Aman) Misi : 1. Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN); 2. Meningkatkan kualitas pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang cerdas, sehat dan sejahtera; 21
3. Memperkuat kemandirian ekonomi berbasis sektor unggulan dan kelestarian lingkungan hidup; 4. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat yang bermoral, religius dan aman berdasarkan nilai-nilai dan kearifan budaya lokal; 5. Meningkatkan pembangunan infrastruktur yang berkualitas untuk pemerataan pembangunan yang berkeadilan dan berkelanjutan. Kebijakan Kabupaten mengenai ketersediaan pangan pada periode 2018-2023 bertujuan untuk (i) meningkatkan produktivitas; (ii) perluasan lahan sawah; (iii) mengurangi dampak iklim-terkait resiko; (iv) memperkuat kelembagaan bagi petani. Strategi untuk masing-masing tujuan adalah sebagai berikut: (i) Peningkatan produktivitas a. Pendirian Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman dan Sumber Daya Terpadu (SLPTT) b. Perbaikan penggunaan varietas tanaman c. Pemupukan berimbang, baik pupuk organik maupun bio hayati d. Pengelolaan air e. Memperkuat pengawasan, koordinasi dan supervisi untuk peningkatan produktivitas pertanian (ii) Perluasan lahan sawah a. Pengembangan lahan sawah b. Optimalisasi penggunaan lahan c. Pengembangan dan rehabilitasi Jaringan Irigasi Tingkat Usaha Tani (JITUT) dan Jaringan Irigasi Desa (JIDES) d. Pembangunan sumur pompa dan dam/embung (iii) Pengurangan dampak iklim terkait resiko a. Pengendalian Organisme Penganggu Tanaman (OPT) b. Mengurangi kehilangan hasil (susut) pada saat panen dan pengolahan hasil panen (iv) Penguatan kelembagaan bagi petani a. Kredit dan energi untuk ketahanan pangan b. Lembaga Mandiri dan Mengakar pada Masyarakat c. Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat d. Pemasaran produk pertanian, missal TTI, dll 22
BAB 3 AKSES TERHADAP PANGAN Keterjangkauan pangan atau akses terhadap pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh cukup pangan, baik yang berasal dari produksi sendiri, stok, pembelian, barter, hadiah, pinjaman dan bantuan pangan. Pangan mungkin tersedia di suatu wilayah tetapi tidak dapat diakses oleh rumah tangga tertentu karena terbatasnya: (1) Akses ekonomi: kemampuan keuangan untuk membeli pangan yang cukup dan bergizi; (2) Akses fisik: keberadaan infrastruktur untuk mencapai sumber pangan; dan/atau (3) Akses sosial: modal sosial yang dapat digunakan untuk mendapatkan dukungan informal dalam mengakses pangan, seperti barter, pinjaman atau program jaring pengaman sosial. Dalam penyusunan FSVA Kabupaten, indikator yang digunakan dalam aspek keterjangkauan pangan hanya mewakili akses ekonomi dan fisik saja, yaitu: (1) Rasio jumlah penduduk dengan tingkat kesejahteraan terendah terhadap jumlah penduduk desa; dan (2) Desa yang tidak memiliki akses penghubung memadai melalui darat, air atau udara. 3.1 PENDUDUK DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN TERENDAH Berbagai program penanggulangan kemiskinan sudah dijalankan oleh pemerintah termasuk pemerintah Kabupaten Lamandau. Rasio kemiskinan telah berkurang dalam beberapa tahun terakhir, jumlah penduduk miskin Kabupaten Lamandau mengalami kenaikan dari 3,09% (2.610 penduduk) tahun 2020 menjadi 3,56% (2.920 penduduk) tahun 2021. Tabel 3.1 Persentase Populasi di Bawah Garis Kemiskinan Kabupaten Lamandau Keterangan 2017 2018 Tahun 2020 2021 3,15 2019 3,09 3,56 Persentase penduduk 3,52 3,01 miskin Sumber: Kabupaten Dalam Angka, 2022. Pada tingkat desa berdasakan Data PKH dari Dinas Sosial tahun 2021, tidak terdapat desa yang memiliki rasio rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan terendah <0,1063 yang berarti tidak terdapat desa dengan prioritas rentan pangan (prioritas 1-3). Namun ke depannya masih tetap diperlukan program-program yang dapat meningkat kesejahteraan masyarakat. 23
Sebaran tingkat kesejahteraan terendah di Kabupaten Lamandau dapat dilihat pada Tabel 3.2. Tabel 3.2 Sebaran desa dengan tingkat kesejahteraan terendah berdasarkan skala prioritas Prioritas Range Jumlah Desa Persentase 1 >= 0,4170 0 - 2 0,3295-0,4170 0 - 3 0,2446-0,3295 0 - 4 0,1751-0,2446 0 - 5 0,1063-01751 0 - 6 <0,1063 90 100,00 Gambar.3.1 Peta FSVA Indikator Tingkat Kesejahteraan Terendah 3.2 AKSES TRANSPORTASI Kurangnya akses terhadap infrastruktur menyebabkan kemiskinan, dimana masyarakat yang tinggal di daerah terisolir atau terpencil dengan kondisi geografis yang sulit dan ketersediaan pasar yang buruk kurang memiliki kesempatan ekonomi dan pelayanan jasa yang memadai. Dengan kata lain, 24
kelompok miskin ini masih kurang mendapatkan akses terhadap program pembangunan pemerintah. Investasi pada infrastruktur, khususnya infrastruktur transportasi (jalan, pelabuhan, bandara dan lain-lain), listrik, infrastruktur pertanian (irigasi), fasilitas pendidikan dan kesehatan dapat sepenuhnya mengubah suatu wilayah sehingga menciptakan landasan pertumbuhan ekonomi dan partisipasi yang lebih besar dari masyarakat yang tinggal di daerah terpencil. Pada sektor pertanian, faktor yang menyebabkan tingkat pendapatan yang rendah adalah rendahnya harga komoditas pertanian di tingkat petani/produsen (farm gate price) di daerah perdesaan dibandingkan dengan harga di perkotaan untuk komoditas dengan kualitas sama (komoditas belum diubah atau diproses). Rendahnya harga komoditas pertanian ditingkat petani merupakan akibat dari tingginya biaya transportasi untuk pemasaran hasil pertanian dari desa surplus. Biaya transportasi akan lebih tinggi pada moda kendaraan bermotor-melewati jalan setapak dan jalan kecil dengan tenaga manusia atau hewan, misalnya pada daerah yang tidak memiliki akses jalan yang memadai. Dalam sebuah kajian cepat mengenai penyebab kemiskinan pada desa terpencil di 5 kabupaten di Indonesia diketahui bahwa tingginya biaya transportasi merupakan penyebab utama terjadinya kemiskinan tersebut. Tingginya harga komoditas pertanian di tingkat petani akan meningkatkan pendapatan yang diterima oleh masyarakat petani. Walaupaun demikian, peningkatan pendapatan saja tanpa dibarengi dengan perbaikan akses terhadap pelayanan jasa dan infrastruktur belum cukup untuk menjamin kesejahteraan masyarakat petani. Keterbelakangan infrastruktur menghalangi laju perkembangan suatu wilayah. Infrastruktur yang lebih baik akan menarik investasi yang lebih besar pada berbagai sektor, yang pada akhirnya dapat menjadi daya dorong bagi penghidupan yang berkelanjutan. Berdasarkan data PODES (Potensi Desa) 2021 (KCDA 2022), BPS, di Kabupaten Lamandau hampir semua desa memiliki akses penghubung bagi kendaraan roda 4 sepajang tahun. Desa yang bisa dilalui kendaraan roda 4 sepanjang tahun kecuali saat tertentu (ketika turun hujan, longsor, pasang, dll) prioritas 3 terdapat di Kecamatan Bulik (Desa Bunut, Sungai Mentawa, dan Beruta), Kecamatan Menthobi Raya (desa Modang Mas), Kecamatan Bulik Timur (Desa Bukit Jaya, Sepondam, Merambang dan Nanga Kemujan), Kecamatan Belantikan Raya (Desa Nanga Belantikan, Sungai Buluh, Bayat, Karang Besi, 25
Benuatan, Kahingai, Nanga Matu, Petarikan, Bintang Mangalih, Sumber Cahaya, dan Batu Selipi), Kecamatan Delang (Riam Penahan dan Nyalang), Kecamatan Batang Kawa (Desa Kinipan, Liku, Mangkalang, Karang Mas, dan Jemuat), sedangkan desa yang hanya dapat dilalui saat musim kemarau (prioritas 2) yaitu terdapat di 1 desa terletak di kecamatan Batang Kawa (Desa Kina). Jalan merupakan moda transportasi utama di Kabupaten Lamandau akan tetapi terdapat beberapa kecamatan di mana moda transportasi air masih menjadi bagian penting dari moda transportasinya. Kondisi geografis hanya memungkinkan mengunakan moda transportasi air. Gambar.3.2 Peta FSVA Indikator Desa Tanpa Akses Penghubung yang Memadai 26
3.3 Strategi Peningkatan Akses Pangan Strategi Pengurangan Kemiskinan, Peningkatan Akses terhadap Pangan Beberapa strategi yang dapat diperhatikan oleh pemerintah yaitu: 1. Mengaktifkan kelompok swadaya masyarakat maupun BUMDes, sehingga dapat membuat program-program yang tepat sasaran; 2. Strategi yang lain juga dapat memperhatikan RPJMD. Strategi Pemerintah Daerah Kabupaten Lamandau untuk menanggulangi kemiskinan seperti yang termuat dalam RPJMD Kabupaten Lamandau tahun 2018-2023 diantaranya: a. Pemenuhan kebutuhan sanitasi dasar bagi masyarakat, peningkatan kualitas pengelolaan dalam penyediaan sanitasi, penyediaan sumber pembiayaan rumah murah dalam pelayanan sanitasi bagi masyarakat miskin b. Mempercepat pemenuhan pelayanan kebutuhan dasar masyarakat miskin c. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pemerataan penyediaan sarana prasarana sosial, dan ekonomi d. Mendorong pertumbuhan lapangan kerja e. Mendorong tumbuh dan berkembangnya lembaga keuangan mikro dan sarana pendukung perekonomian sampai tingkat perdesaan f. Mendorong tumbuh dan berkembangnya pusat-pusat agrobisnis dan agroindustri (RPJPD Kalimantan Tengah, 2016-2021) g. Mendorong tumbuh dan berkembangnya wilayah strategis dan cepat tumbuh h. Mendorong pemerataan pembangunan infrastruktur antara desa-kota, pulau- pulau kecil dan daerah terisolir. 27
KLHS dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Kabupaten Lamandau dalam menanggulangi kemiskinan: 1. Pemenuhan kebutuhan sanitasi dasar bagi masyarakat, peningkatan kualitas pengelolaan dalam penyediaan sanitasi, penyediaan sumber pembiayaan rumah murah dalam pelayanan sanitasi bagi masyarakat miskin; 2. Penguatan tanggap bencana baik melalui dokumen strategi pengurangan risiko bencana maupun upaya mitigasi bencana bagi masyarakat; 3. Penguatan dan pengembangan sistem logistik, sistem mitigasi dan pemulihan bencana, serta penguatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana. 4. Penguatan SDM untuk mendukung penyediaan tenaga kerja yang berorientasi pada teknologi informasi. 28
BAB 4 PEMANFAATAN PANGAN Aspek ketiga dari konsep ketahanan pangan adalah pemanfaatan pangan. Pemanfaatan pangan meliputi: (1) Pemanfaatan pangan yang bisa di akses oleh rumah tangga; dan (2) Kemampuan individu untuk menyerap zat gizi secara efisien oleh tubuh. Pemanfaatan pangan juga meliputi cara penyimpanan, pengolahan, dan penyajian makanan termasuk penggunaan air selama proses pengolahannya serta kondisi budaya atau kebiasaan dalam pemberian makanan terutama kepada individu yang memerlukan jenis pangan khusus sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu (saat masa pertumbuhan, kehamilan, menyusui, dll) atau status kesehatan masing-masing individu. Dalam penyusunan FSVA Kabupaten, aspek pemanfaatan pangan meliputi indikator sebagai berikut: (1) Rasio jumlah rumah tangga tanpa akses air bersih terhadap jumlah rumah tangga; dan (2) Rasio jumlah penduduk desa per tenaga kesehatan terhadap kepadatan penduduk. 4.1 AKSES TERHADAP AIR BERSIH Rasio jumlah rumah tangga tanpa akses air bersih terhadap jumlah rumah tangga merupakan perbandingan antara jumlah rumah tangga Desil 1-4 dengan sumber air bersih tidak terlindung dengan jumlah rumah tangga di desa. Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak1. Sumber air bersih yang tidak terlindungi berpotensi meningkatkan angka kesakitan serta menurunkan kemampuan dalam menyerap makanan yang pada akhirnya akan mempengaruhi status gizi individu. Tabel 4.1 Sebaran desa berdasarkan rumah tangga tangga tanpa akse air bersih berdasarkan skala prioritas Prioritas Range Jumlah Desa Persentase 1 >=0,2944 3 3,33 2 0,2128-0,2944 4 4,44 3 0,1277-0,2128 5 5,56 4 0,0641-0,1277 9 10,00 5 0,0243-0,0641 6 6,67 6 <0,0243 63 70,00 1 Permenkes 416 Tahun 1990 29
Gambar 4.1 Peta Rasio Rumah Tangga Tanpa Air Bersih Tahun 2022 4.2 RASIO TENAGA KESEHATAN Rasio jumlah penduduk desa per tenaga kesehatan terhadap kepadatan penduduk adalah jumlah penduduk desa per tenaga kesehatan yang terdiri dari: (1) Dokter umum/spesialis; (2) Dokter gigi; (3) Bidan; dan (4) Tenaga kesehatan lainnya (perawat, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga gizi, apoteker/asisten apoteker) dibandingkan dengan kepadatan penduduk. Tenaga kesehatan berperan penting dalam menurunkan angka kesakitan penduduk (morbiditas) dan meningkatkan pengetahuan masyarakat akan pentingnya makanan yang beragam bergizi seimbang dan aman. Rasio jumlah penduduk desa per tenaga kesehatan terhadap kepadatan penduduk menunjukkan kemampuan jumlah tenaga kesehatan yang ada di wilayah desa untuk melayani masyarakat. Jumlah tenaga kesehatan yang memadai akan meningkatkan status pemanfaatan pangan masyarakat. 30
Tabel 3.2 Sebaran rasio tenaga kesehatan di desa berdasarkan skala prioritas Prioritas Range Jumlah Desa Persentase 1 >=56,430 14 15,56 2 43,500-56,430 5 5,56 3 24,165-43,500 24 26,67 4 7,730-24,165 26 28,89 5 3,000-7,730 13 14,44 6 <3,000 8 8,89 Gambar 4.2 Peta Jumlah Tenaga Kesehatan Terhadap Jumlah Penduduk Kabupaten Lamandau Tahun 2022 4.3 DAMPAK (OUTCOME) DARI STATUS KESEHATAN Ketahanan pangan merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi status kesehatan dan gizi masyarakat. Status gizi anak ditentukan oleh asupan makanan dan penyakit yang dideritanya. Status gizi anak balita diukur dengan 3 indikator yaitu: 1. Berat Badan Kurang dan Berat Badan Sangat Kurang yang biasa dikenal dengan underweight (berat badan berdasarkan umur (BB/U) dengan Zscore dari-2 dari median menurut referensi WHO 2005, yang mengacu kepada gabungan dari kurang gizi akut dan kronis); 31
2. Pendek atau stunting (tinggi badan berdasarkan umur (TB/U) dengan Zscore kurang dari-2 dari median menurut referensi WHO 2005, yang mengacu ke kurang gizi kronis jangka panjang); dan 3. Kurus atau wasting (berat badan berdasarkan tinggi badan (BB/TB) dengan Zscore kurang dari-2 dari median menurut referensi WHO 2005, yang mengacu kepada kurang gizi akut atau baru saja mengalami kekurangan gizi). Jumlah penderita gizi buruk di Kabupaten Lamandau pada tahun 2017 – 2021 yaitu 182 balita dan pada tahun 2021 jumlahnya 9 balita. Jumlah penderita gizi buruk yang tinggi terdapat pada tahun 2020 ditemukan di Kecamatan Bulik (41 balita) dan Sematu Jaya (14 balita), dan terendah ditemukan di Kecamatan Belantikan Raya (0 balita), dan Kecamatan Batang Kawa (0 balita). Tabel 4.2 Penderita Gizi Buruk 2017-2021 No. Kecamatan 2017 Penderita Gizi Buruk 2021 2018 2019 2020 1 3 1 Bulik 1 15 32 41 1 1 2 Sematu Jaya 1 9 7 14 2 1 3 Menthobi Raya 0 514 0 0 4 Bulik Timur 0 622 9 5 Lamandau 0 237 6 Belantikan Raya 0 000 7 Delang 0 826 8 Batang Kawa 0 500 Total 2 50 47 74 Sumber data : Dinas Kesehatan Kab. Lamandau, 2022 45 2018 2019 2020 2021 Bulik 40 Sematu Jaya 35 Menthobi Raya 30 Bulik Timur 25 Lamandau 20 Belantikan Raya 15 Delang 10 Batang Kawa 5 32 0 2017 Grafik 4.1 Penderita Gizi Buruk
Angka kematian balita dan ibu saat melahirkan merupakan dampak dari status kesehatan dan gizi. Angka kematian balita di Kabupaten Lamandau adalah 22 jiwa. Sementara angka kematian ibu saat melahirkan di Kabupaten Lamandau berjumlah 4 jiwa. Angka kematian balita tahun 2021 tertinggi terdapat di Kecamatan Bulik (7 jiwa) dan terendah terdapat di Kecamatan Batang Kawa dan Bulik Timur (0 Jiwa). Angka kematian ibu saat melahirkan yang tertinggi di Kecamatan Lamandau (2 jiwa) dan terendah di Kecamatan Sematu Jaya, Menthoby Raya, Bulik Timur, Delang dan Batang Kawa (0 jiwa). Untuk lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 4.3. Tabel 4.3 Jumlah Kematian Balita dan Ibu Saat Melahirkan per Kecamatan Jumlah Jumlah No. Kecamatan Kematian Kematian Ibu Total Balita Saat Melahirkan 1 Bulik 7 18 2 Sematu Jaya 6 06 3 Menthoby Raya 4 04 4 Bulik Timur 0 00 6 Lamandau 2 24 7 Belantikan Raya 2 13 8 Delang 1 01 9 Batang Kawa 0 00 Total 22 4 26 87 6 7 6 54 4 3 22 2 21 11 1 0 0 00 0 00 0 Bulik Sematu Jaya Menthoby Raya Bulik Timur Lamandau Belantikan Raya Delang Batang Kawa Jumlah Kematian Balita Kematian ibu melahirkan Grafik 4.2 Jumlah Kematian Balita dan Ibu Saat Melahirkan per Kecamatan 33
4.4. Strategi Peningkatan Pemanfaatan Pangan Strategi Untuk Memperbaiki Status Gizi dan Kesehatan Kelompok Rentan Masalah gizi kronis (stunting) tidak begitu kronis/tinggi di Kabupaten Lamandau, masalah gizi kronis merupakan akibat kurang optimalnya pertumbuhan janin dan bayi di usia dua tahun pertama kehidupannya, terutama gabungan dari kurangnya asupan gizi, paparan terhadap penyakit yang tinggi serta pola pengasuhan yang kurang tepat. Semua faktor ini dapat menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki, yang akhirnya dapat menyebabkan meningkatnya beban penyakit dan kematian pada balita. Kurang gizi pada usia dini, terutama stunting dapat menghambat perkembangan fisik dan mental yang akhirnya mempengaruhi prestasi dan tingkat kehadiran di sekolah. Anak yang kurang gizi lebih cenderung untuk masuk sekolah lebih lambat dan lebih cepat putus sekolah. Dampak ke masa depannya adalah mempengaruhi potensi kemampuan mencari nafkah, sehingga sulit keluar dari lingkaran kemiskinan. Anak yang menderita kurang berat badan menurut umur (kurang gizi) dan secara cepat berat badannya meningkat, maka pada saat dewasa cenderung untuk menderita penyakit kronik yang terkait gizi (kencing manis, tekanan darah tinggi dan penyakit jantung koroner). Dampak jangka panjang, oleh kurang gizi pada masa anak-anak juga menyebabkan rendahnya tinggi badan dan pada ibu-ibu dapat melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR), yang akhirnya menyebabkan terulangnya lingkaran masalah ini pada generasi selanjutnya. Untuk menurunkan prevalensi stunting, maka intervensi gizi harus segera direncanakan dan dilakukan secara efektif pada semua tingkatan, mulai dari rumah tangga sampai tingkat nasional. Untuk mencegah dan mengatasi masalah kekurangan gizi secara efektif, perlu prioritas untuk kelompok rentan gizi, memahami penyebab kurang gizi adalah multidimensi, intervensi yang tepat dan efektif untuk mengatasi penyebabnya, dan meningkatkan komitmen serta investasi dalam bidang gizi. Berikut ini adalah rekomendasi untuk mengatasi masalah gizi: 1. Fokus pada kelompok rentan gizi, termasuk: a. Anak usia di bawah dua tahun. Usia dua tahun pertama di dalam kehidupan adalah usia yang paling kritis sehingga disebut “jendela peluang (window of opportunity)” karena mencegah kurang gizi pada usia ini akan sangat berarti untuk kelompok ini pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Meskipun kerusakan sudah terjadi dan seharusnya dihindari sejak dari usia 9 bulan sampai usia 24 bulan, kerentanan anak terhadap penyakit dan resiko kematian masih tinggi di 34
usia lima tahun pertama. Itulah sebabnya banyak intervensi kesehatan dan gizi yang difokuskan pad anak di bawah lima tahun. Intervensi kesehatan dan gizi harus difokuskan pada anak di bawah dua tahun, akan tetapi apabila anggaran memadai maka perlu dilakukan juga untuk anak di bawah lima tahun. b. Anak-anak kurang gizi ringan. Kelompok ini memiliki resiko lebih tinggi untuk meninggal karena meningkatnya kerentanan terhadap infeksi. Anak yang terdeteksi kurang gizi seharusnya di rawat dengan tepat untuk mencegah mereka menjadi gizi buruk. c. Ibu hamil dan menyusui, karena kelompok ini memerlukan kecukupan gizi bagi pertumbuhan an perkembangan janin, dan untuk menghasilkan ASI (Air Susu Ibu) untuk bayi mereka. d. Kurang gizi mikro untuk semua kelompok umur, terutama pada anak- anak, ibu hamil dan menyusui. Kekurangan gizi mikro pada semua kelompok umur cukup tinggi disebabkan karena asupan karbohidrat yang tinggi, rendahnya asupan protein (hewani) sayur dan buah serta makanan yang berfortifikasi. Pada kondisi ini biasanya prevalensi stunting pada balita juga cukup tinggi. 2. Perencanaan dan penerapan intervensi multi-sektoral untuk mengatasi TIGA penyebab dasar kekurangan gizi (pangan, kesehatan dan pengasuhan). Satu sektor saja (sektor kesehatan atau pendidikan atau pertanian) tidak dapat mengatasi masalah gizi secara efektif karena masalah tersebut adalah multi sektor. a. Intervensi langsung dengan manfaat langsung terhadap gizi (terutama melalui Sektor Kesehatan): Memperbaiki gizi dan pelayanan ibu hamil, terutama selama 2 trimester pertama usia kehamilan: makan lebih sering, beraneka ragam, dan bergizi; minum pil besi atau menggunakan suplemen gizi mikro tabor (Sprinkle) setiap hari; memeriksakan kehamilan sekurangnya 4 kali selama periode kehamilan. Promosi menyusui ASI selama 0-24 bulan: inisial menyusui dini segera sesudah bayi lahir; menyusui ASI ekslusif sampai 6 bulan pertama, melanjutkan pemberian ASI sampai 24 bulan; melanjutkan menyusui walaupun anak sakit. Meningkatkan pola pemberian makanan tambahan untuk anak usia 6-24 bulan; mulai pemberian makanan tambahan sejak anak berusia 7 bulan; pemberian makanan lebih sering, jumlah sedikit, beraneka ragam dan bergizi (pangan hewani, telur, kacang-kacangan, polong- 35
polongan, kacang tanah, sayur, buah dan minyak); hindari pemberian jajan yang tidak sehat. Pemantauan berat dan tinggi badan bayi 0-24 bulan atau jika sumber daya memungkinkan, untuk anak 0-59 bulan secara teratur, untuk mendeteksi kurang gizi secara dini sehingga bias dilakukan intervensi sedini mungkin. Meningkatkan komunikasi mengenai berat badan anak, cara mencegah dan memperbaiki kegagalan berat dan tinggi anak dengan keluarga. Mengatasi masalah kurang gizi akut pada balita dengan menyediakan fasilitas fasilitas dan manajemen berbasis masyarakat berdasarkan pedoman dari WHO/UNICEF dan Departemen Kesehatan. Memperbaiki asupan gizi mikro: promosi garam beryodium; penganekaragaman asupan makanan; fortifikasi makanan; pemberian bil besi untuk ibu hamil; pemberian vitamin A setiap 6 bulan sekali untuk anak 6-24 bulan (atau anak 6-59 bulan jika alokasi anggaran mencukupi), serta ibu menyusui dalam jangka waktu 1 bulan setelah melahirkan atau masa nifas; pemberian obat cacing. b. Intervensi tidak langsung dengan manfaat tidak langsung terhadap gizi (terutama melalui sektor di luar kesehatan). 3. Prioritas dan peningkatan investasi serta komitmen dalam hal gizi untuk mengatasi masalah gizi. Dampak ekonomi akibat kekurangan gizi pada anak-anak adalah sangat tinggi. Kekurangan gizi pada anak akan menyebabkan hilangnya produktivitas pada masa dewasa, dan tingginya biaya pelayanan kesehatan dan pendidikan. Ada beberapa macam bentuk dari malnutrisi pada masa anak-anak yang dapat menyebabkan hilangnya produktivitas mereka pada masa dewasa yang berkaitan dengan rendahnya kemampuan kognitif. Kekurangan energi-protein berkontribusi sebesar 10% dari hilangnya produktivitas pada masa dewasa, kekurangan zat besi (anemia) berkontribusi sebesar 4% dan kekurangan zat yodium sebesar 10%. Malnutrisi pada masa anak-anak juga berpotensi menyebabkan hilangnya produktivitas tenaga kerja kasar. Investasi di bidang gizi merupakan salah satu jenis intervensi pembangunan yang paling efektif dari segi biaya, karena memiliki rasio manfaat-biaya yang tinggi, bukan hanya untuk individu, tetapi juga pembangunan negara yang berkelanjutan, sebab intervensi ini dapat melindungi kesehatan, mencegah kecacatan dan dapat memacu produktivitas ekonomi dan menjaga kelangsungan hidup. Intervensi gizi 36
spesifik merupakan kegiatan yang langsung mengatasi terjadinya stunting seperti asupan makanan, infeksi, status gizi ibu, penyakit menular, dan kesehatan lingkungan. Intervensi spesifik ini umumnya diberikan oleh sektor kesehatan. Intervensi gizi sensitif mencakup: a. Peningkatan penyediaan air bersih dan sarana sanitasi; b. Peningkatan akses dan kualitas pelayanan gizi dan kesehatan; c. Peningkatan kesadaran, komitmen dan praktik pengasuhan gizi ibu dan anak; d. Peningkatan akses pangan bergizi. Intervensi gizi sensitif umumnya dilaksanakan di luar sektor Kesehatan. e. Sasaran intervensi gizi sensitif adalah keluarga dan masyarakat dan dilakukan melalui berbagai program dan kegiatan. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Kabupaten Lamandau dalam penanganan mengakhiri kelaparan: a. Penguatan sistem pangan melalui aspek pemanfaatan, keterjangkauan, dan juga ketersediaan pangan di daerah; b. Peningkatan kualitas dan pemerataan pelayanan gizi kepada masyarakat; c. Peningkatan dan penguatan terhadap keamanan cadangan pangan. 37
BAB 5 KETAHANAN DAN KERENTANAN PANGAN KOMPOSIT Sebagaimana disebutkan di dalam Bab 1, bahwa kondisi kerentanan terhadap kerawanan pangan kronis secara komposit ditentukan berdasarkan 6 indikator yang berhubungan dengan ketersediaan pangan, akses pangan dan penghidupan, serta pemanfaatan pangan dan gizi, yang dijelaskan secara rinci pada Bab Dua, Tiga dan Empat. Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan komposit (Peta 5.1) ditetapkan melalui Analisis Pembobotan. 5.1. KONDISI KETAHANAN PANGAN Peta komposit menjelaskan kondisi kerentanan terhadap kerawanan pangan suatu wilayah (kecamatan) yang disebabkan oleh kombinasi dari berbagai dimensi kerawanan pangan. Berdasarkan hasil pembobotan, desa- desa dikelompokkan ke dalam 6 prioritas. Prioritas 1 merupakan prioritas utama yang menggambarkan tingkat kerentanan yang paling tinggi, sedangkan prioritas 6 merupakan prioritas yang relatif lebih tahan pangan. Dengan kata lain, wilayah (desa) prioritas 1 memiliki tingkat resiko kerentanan terhadap kerawanan pangan yang lebih besar dibandingkan wilayah (desa) lainnya sehingga memerlukan perhatian segera. Meskipun demikian, wilayah (desa) yang berada pada prioritas 1 tidak berarti semua penduduknya berada dalam kondisi rawan pangan, juga sebaliknya wilayah (desa) pada prioritas 6 tidak berarti semua penduduknya tahan pangan. Berdasarkan hasil analisis tersebut, dari 90 desa yang ada di Kabupaten Lamandau maka didapatkan tidak terdapat desa (Prioritas 1) dan 2 desa (prioritas 2), 10 desa (Prioritas 3), 25 desa (Prioritas 4), 31 desa (Prioritas 5) dan 22 desa (Prioritas 6). Tabel 5.1. Sebaran Jumlah Desa berdasarkan Prioritas Prioritas Jumlah Desa Persentase 1 0 0,0 2 2 2,22 3 10 11,11 4 25 27,78 5 31 34,44 6 22 24,44 38
Gambar 5.1 Peta Ketahanan dan Keretanan Pangan Kabupaten Lamandau Tahun 2022 Peta Komposit menjelaskan kondisi kerentanan terhadap kerawanan pangan suatu wilayah yang disebabkan oleh kombinasi dari berbagai dimensi kerawanan pangan. Skor komposit masing-masing prioritas diperoleh dengan cara menjumlahkan hasil perkalian antara bobot dengan nilai titik potong pada masing-masing indikator. Wilayah kecamatan dikelompokkan ke dalam 6 prioritas desa : Prioritas 1 merah tua, prioritas 2 merah , prioritas 3 merah muda, prioritas 4 hijau muda, prioritas 5 hujau, prioritas 6 hijau tua. Prioritas 1 merupakan prioritas utama yang menggambarkan tingkat kerentanan paling tinggi, prioritas 2 lebih bagus dari prioritas 1 tetapi tidak terjadi inflasi, bencana alam, wabah penyakit dan angka putus sekolah, sedangkan prioritas 3-6 merupakan prioritas yang relatif tahan pangan, dengan kata lain, wilayah (kecamatan) prioritas 1 dan 2 memiliki tingkat resiko kerawanan pangan yang yang lebih besar dibandingkan wilayah (kecamatan) lainnya sehingga memerlukan perhatian segera. Meskipun demikian wilayah (kecamatan) yang berada pada prioritas 1 tidak berarti semua penduduknya berada dalam kondisi 39
rawan pangan, juga sebaliknya wilayah (kecamatan) pada prioritas 3-6 tidak semua penduduknya tahan pangan. Berdasarkan hasil analisis dari 90 desa yang ada di Kabupaten Lamandau terdapat 2 desa (Prioritas 2), 10 desa (Prioritas 3), 25 desa (Prioritas 4), 31 desa (Prioritas 5) dan 22 desa (Prioritas 6). Desa rentan terhadap kerawanan pangan untuk prioritas 2 terdapat di wilayah Kecamatan Belantikan Raya (1 desa, desa Sungai Buluh) dan Kecamatan Lamandau (1 desa, desa Karang Taba). (Grafik 5.1) Grafik 5.1 Sebaran Desa Prioritas 2 per Kecamatan Desa prioritas 3 terdapat di wilayah Kecamatan Bulik (1 desa, Desa Sungai Mentawa), Kecamatan Lamandau (3 desa, Desa Cuhai, Desa Panopa, dan Desa Suja), Kecamatan Belantikan Raya (3 Desa, Desa Belibi, Bintang Mangalih dan Desa Kahingai), Kecamatan Delang (3 Desa, Desa Penyombaan, Desa Nyalang dan Desa Riam Penahan). (Grafik 5.2) 40
Grafik 5.2 Sebaran Desa Prioritas 3 per Kecamatan 5.2. FAKTOR PENYEBAB KERENTANAN PANGAN Faktor yang berpengaruh secara umum di Kabupaten Lamandau terkait ketahanan dan kerentanan pangan di setiap desa berdasarkan jumlah value tertinggi hingga terendah yaitu: (1) sarana dan prasarana penyedia pangan yang kurang memadai, (2) Masih kurang cukupnya ketersediaan jumlah tenaga kesehatan; (3) akses masyarakat terhadap air bersih, (4) Lahan pertanian yang masih kurang produktif, (5) Akses infrastruktur jalan yang masih belum memadai, dan (6) Penduduk dengan tingkat kesejahteraan terendah. Di Kabupaten Lamandau masih terdapat desa rentan terhadap kerawanan pangan yaitu pada Prioritas 2 dan 3, faktor penyebabnya yaitu (1) masih kurang cukupnya ketersediaan jumlah tenaga kesehatan; (2) sarana dan prasarana penyedia pangan yang kurang memadai, dan (3) akses masyarakat terhadap air bersih. 41
BAB 6 REKOMENDASI KEBIJAKAN Penyebab kerentanan terhadap kerawanan pangan pada suatu wilayah berbeda dengan wilayah lainnya, dengan demikian cara penyelesaiannya juga berbeda. Peta ini membantu memahami keadaan diantara wilayah (desa), dan dengan demikian akan membantu para pengambil kebijakan untuk dapat menentukan langkah-langkah yang tepat dalam menangani isu-isu ketahanan pangan yang relevan di wilayahnya. Fokus lokasi penanganan kerentanan pangan di wilayah desa diprioritaskan pada: a. Desa-desa prioritas 1-3 yang tersebar di Kecamatan Belantikan Raya dan Delang (Prioritas 2), Kecamatan Lamandau, Bulik, Delang dan Belantikan Raya (Prioritas 3). b. Desa-desa yang lokasinya jauh dari ibu kota kabupaten atau di wilayah yang berbatasan dengan kabupaten lain c. Desa-desa di Kepulauan yang menghadapi kendala akses fisik terhadap sumber pangan. d. Desa-desa pemekaran yang fasilitas, infrastruktur dan kapasitas SDMnya masih terbatas. Upaya-upaya untuk meningkatkan ketahanan pangan ditekankan pada penyebab utama kerentanan pangan di desa seperti digambarkan pada diagram di bawah ini. Gambar 6.1 Kerangka Intervensi untuk Meningkatkan Ketahanan Pangan Masalah Ketersediaan Pangan Melakukan Intensifikasi dan Pembangunan Pertanian dan Jumlah produksi yang menurun Diversifikasi Pertanian Pedesaan setiap tahunnya Meningkatkan Kapasitas Produksi Keterbatasan sarana penyediaan Mengembangkan potensi lahan pangan pertanian non sawah Melakukan pemberdayaan UMKM Membangun kemitraan dengan perusahaan pengolah pangan Membangun Kemitraan dengan pihak swasta sebagai pemilik modal Masalah Infrastruktur Pembangunan Infrastruktur Dasar (air Perbaikan infrastrukur Terbatasnya akses terhadap air bersih) bersih Masalah Kesehatan dan Gizi Penyediaan Tenaga Kesehatan Peningkatan jumlah tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan Distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata 42
Search