KEGIATAN BELAJAR 2 PENDEKATAN DAN METODE PENAFSIRAN AL-QUR’AN A. Capaian Pembelajaran Menganalisis konsep tafsir bi al ma’tsur dan tafsir bi al ra’yi Menganalisis konsep tentang tafsir tahlili dan tafsir maudhu’i B. Sub Capaian Pembelajaran Mahasiswa mampu menyimpulkan tafsir bi al ma’tsur Mahasiswa mampu mengkategorikan tafsir bi al ra’yi Mahasiswa mampu meyimpulkan konsep tafsir tahlili dan tafsir maudhu’i Mahasiswa mampu membandingkan kitab tafsir maudhu’i C. Pokok-Pokok Materi Karakteristik tafsir bi al ma’tsur Karakteristik tafsir bi al ra’yi Konsep tafsir tahlili dan tafsir maudhu’i Contoh kitab tafsir maudhu’i 26
URAIAN MATERI A. Urgensi Pendekatan dan Metode Penafsiran Al-Qur’an Sebelum mempelajari secara mendalam tentang pendekatan dan metode penafsiran Al-Qur’an, kita perlu mengetahui terlebih dahulu latar belakang para ulama menyusun pendekatan dan metode penafsiran Al-Quran. Sebenarnya, pada zaman Nabi Saw umat Islam pada generasi awal tidak membutuhkan suatu pendekatan atau metode khusus dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Hal ini karena segala permasalahan terkait pemahaman Al-Qur’an langsung ditanyakan kepada Nabi Saw dan beliau sendiri yang memberikan penjelasan. Demikian juga sepeninggal Nabi saw yakni pada masa sahabat, mereka tidak memerlukan perangkat pendekatan dan metode karena mereka adalah orang-orang yang mengetahui bagaimana Al-Qur’an diturunkan dan bagaimana Nabi Saw menjelaskannya. Namun, ketika zaman sudah semakin jauh dengan Nabi Saw dan para sahabat, sementara penjelasan terhadap petunjuk-petunjuk Al-Qur’an semakin dibutuhkan, maka para ulama di bidang tafsir melakukan ijtihadnya masing- masing untuk melakukan penafsiran Al-Qur’an. Adapun sumber informasi yang digunakan untuk menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an adalah riwayat-riwayat yang dianggap dapat dipercaya baik dari hadis Nabi Saw maupun atsar. Dalam melakukan ijtihadnya, sebagian ulama menggunakan riwayat-riwayat tersebut sebagai sumber utama penafsirannya dan sebagian ulama mufassir yang lain menggunakan riwayat-riwayat tersebut sebagai landasan berpikir yang kemudian dilakukan ijtihad sesuai dengan pendapatnya masing-masing. Karena itu ditinjau dari pendekatan dan metodenya, penafsiran terbagi menjadi beberapa jenis sebagaimana akan dijelaskan berikut. B. Pendekatan Penafsiran Al-Qur’an 1. Pengertian Pendekatan Penafsiran Pendekatan dalam bahasa Arab disebut dengan manhaj dan dalam bahasa Inggris dengan approach secara umum adalah suatu rangkaian tindakan yang 27
terpola secara baik berdasarkan prinsip-prinsip tertentu yang terarah secara sistematis pada tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Adapun yang dimaksud pendekatan dalam penafsiran adalah contoh, acuan, ragam, macam (W.J.S. Poerwadarminta 1991: 653) atau cara pandang yang terdapat dalam bidang ilmu tafsir yang selanjutnya digunakan dalam memahami Islam (Abudin Nata 1998: 28). Secara lebih spesifik, pendekatan di sini adalah acuan atau dasar dan paradigma yang digunakan dalam proses menafsirkan Al-Quran baik bersifat riwayat, pendapat maupun intuisi. Dalam literatur lain, pendekatan yang dimaksud ini disebut dengan istilah metode. Memang, kedua istilah ini ditambah dengan istilah corak dalam ilmu tafsir seringkali digunakan secara bergantian bahkan tumpang tindih sesuai kecenderungan penggunanya. Namun, yang jelas disepakati bahwa ragam pendekatan ini kemudian melahirkan berbagai jenis penafsiran. 2. Jenis Pendekatan Penafsiran Beserta Contohnya Ditinjau dari segi pendekatannya, tafsir terbagi menjadi tiga, yaitu tafsir bi al-ma’tsur, tafsir bi al-ra'yi dan tafsir bi al-isyari. Berikut penjelasan masing- masing secara rinci. a. Tafsir bi al-Ma’tsur Tafsir bi al-Ma’tsur adalah pendekatan yang digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an yang didasarkan kepada penjelasan-penjelasan yang diperoleh melalui riwayat-riwayat pada sunnah, hadis maupun atsar, termasuk ayat-ayat Al-Qur’an yang lain. Oleh karena itu, tafsir bi al-ma’tsur disebut juga tafsir bi al-riwayah. Selain hadis Nabi Saw, atsar sahabat dianggap mampu menjelaskan ayat Al-Qur’an karena sahabat Nabi Saw dipandang sebagai orang yang banyak mengetahui Al-Qur’an dan bergaul bersama Nabi Saw. Demikian juga para ulama di masa tabi’in yang dianggap sebagai orang yang bertemu langsung dan berguru kepada sahabat. Oleh karena itu, penafsiran bi al- riwayah ini dinilai sebagai penafsiran terbaik terhadap Al-Qur’an sebab 28
diasumsikan lebih terjaga dari kekeliruan dan penyimpangan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Secara rinci, pendekatan tafsir bi al-ma’tsur memiliki beberapa cara dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an, yaitu sebagai berikut: a) Penafsiran ayat dengan ayat Al-Qur’an yang lain Suatu ayat dapat ditafsirkan dengan ayat yang lain, baik ayat itu kelanjutan dari ayat yang ditafsirkan ataupun ayat yang menafsirkan berada di surat yang lain. Misalnya pada surat al-Ikhlas ayat pertama yang menjelaskan tentang ketauhidan Allah Swt, ditafsirkan oleh ayat berikutnya, yaitu ayat kedua, ketiga dan keempat. Namun ayat pertama surat al-Ikhlas tentang ketauhidan ini dapat ditafsirkan lagi oleh ayat yang lain yang berada di surat yang lain. Misalnya surat al Hasyr (QS 59;22-24) yang menjelaskan sifat-sifat Allah Swt: ٰ( حُ تٰۡ ّللدَاٰح ا دل تِي َتّٰل إت تل ٰت تإَدّل٢٢) ّٰحُ تٰۡ ّللدَاٰح الد تِي َتّلٰ إتلت ٰت إتَدّلٰ حُ تٰۡ ٰۖۖ تعا تل َحّٰ ا ْل تغ ْۡ تٌٰ تَال دش تهاُتةتٰ ٰۖۖ حُ تٰۡ ال در ْۡ تَ حٰۡ ال در تۡۡ َح ٰٰۡ تِ( تزٰحُ تحز٢ ا ْل٢ٰۡت تَعا دَْْالت ْٰحر ْش تترِٰض حك ٰۖۡۖ تٰۡ تَ) حُ ت ٰۚۖ حس ِْ تحا تٰۡ ّللدَٰات اا ْلْل حتِح تزْسٰ تۡ حزٰىٰا ْلٰۚۖتج دِٰحا حتسرٰ تِلا حْلحٰ حَلتٰتٰح تِ تِل تِ حاٰر ٰۡا ْل حَ ته ْۡ تَ ح اا ْلل حَدس تَِلتّ حٰملتۡا حْلٰر حَ ْۖؤٰۖ تِلت حٰٰۡح اا ْلْل تتَۡ تَا تل حَٰ حقٰا ْلا ْۡحل تُُِّاَتر ح حسٰٰئ ٰۡحُ ت ُٰتي ال دس تَا تَا تت ٰا ْْلت ْس تَا حء ّلل دَٰاح (٢٢) ّٰا ْل تح تِۡ َح Artinya: “Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang(22) Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan(23)Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” b) Penafsiran ayat Al-Qur’an dengan hadis Nabi Saw Ayat-ayat Al-Qur’an lebih banyak yang bersifat global (mujmal) daripada yang terperinci (tafshil). Untuk dapat memahami kandungannya tidak bisa hanya dari ayat tersebut. Oleh karena itu, di sinilah hadis Nabi Saw berfungsi sebagai tafsir terhadap ayat-ayat Al- 29
Qur’an. Misalnya, ayat tentang perintah salat disampaikan dalam Al- Qur’an secara umum tanpa menyertakan penjelasan tata caranya. Berikut bunyinya: (٢٢) ٰۡتَأتُتۡ حَۡا الِ دّ تَلٰةت تَآَحۡا ال دزِ تكاةٰت تَا ْرِ تكِحۡا تِ تٰع ال دراِ تك تِۡ ت Artinya: \"Dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan rukuklah bersama orang-orang yang ruku”. (QS. Al-Baqarah: 43) Ayat tersebut kemudian ditafsirkan oleh hadis Nabi Saw: (ٰ تَ ْلۡت حؤ دِ حِ َّْٰ أتِ ْكِت حرِ حك َّْٰ ) تر تَاهٰح ا ْلِٰح تۡا تر ُّي،َّْ تُإتِتا تۡ تض تر تتٰ الِ دَّلٰةح تُ َْۡح تؤ تِل ْٰۡ لت حِ َّْٰ أت تُۡحِ حك،تص َُّۡا ِ تك تَا ترأت ْٰٰح حَۡ تني أح تص تلَي Artinya: “Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat, maka apabila telah tiba waktu sholat hendaklah salah seorang di antara kalian mengumandangkan azan dan orang yang lebih tua di antara kalian menjadi imam.” (HR. al- Bukhari) c) Penafsiran ayat Al-Qur’an dengan keterangan sahabat Nabi saw dan tabi’in. Setelah mendapatkan penjelasan melalui riwayat hadis, kemudian bisa diperkaya dengan penjelasan para sahabat dan tabi’in. Keterangan dari para sahabat atau tabi’in penting karena mereka adalah orang-orang yang dekat bersama Nabi Saw dan sangat memahami situasi dan kondisi bagaimana Al-Qur’an itu diturunkan. Contohnya seperti tafsir terhadap Surat al-Baqarah) QS 2: 3): ....ٌٰا دل تِٰ تٰۡ ٰح ْؤ تِۡحۡ تٰۡ بتا ْلغت ْۡ ت Artinya: “(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib…” Menurut Ibn ‘Abbas sebagaimana diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalhah bahwa tafsir dari kata yu’minuna (mereka mengimani) adalah yushaddiquuna (mereka membenarkan). Sementara menurut Ma’mar sebagaimana diriwayatkan oleh al-Zuhri, maksud dari yu’minuna adalah iman yang disertai mengamalkan. Sedangkan menurut Abu 30
Ja’far al-Razi dari Rabi’ Ibn Anas, yang dimaksud dengan yu'minuna adalah yakhsyauna yang berarti mereka takut (Ibn Katsir, 2006: 43) Adapun mengenai kitab tafsir yang menggunakan pendekatan bi al-ma’tsur dalam penafsirannya di antaranya adalah Tafsir Jami’ al- Bayan fi Tafsir Al-Qur’an karya Ibnu Jarir ath-Thabari dan Tafsir Al- Qur’an al-‘Azim karya Ibnu Katsir. Dua tafsir ini sangat popular dan menjadi rujukan yang otoritatif dalam kategori tafsir bi al-ma’tsur. b. Tafsir bi al-Ra'yi atau tafsir bi al-Dirayah Al-Ra’y berarti pikiran atau nalar, karena itu tafsir bi al-ra'yi adalah penafsiran seorang mufassir yang diperoleh melalui hasil penalarannya atau ijtihadnya, di mana penalaran sebagai sumber utamanya. Seorang mufassir di sini tentu saja adalah orang yang kompeten keilmuannya dan telah dianggap telah memenuhi persyaratan sebagai mufassir. Istilah tafsir bi al-ra’y pada dasarnya muncul untuk membedakan dengan tafsir bi al-ma’tsur. Perbedaan tersebut dalam konteks bahwa bukan berarti secara operasional dalam melakukan penafsiran Al- Qur’an para sahabat tidak menggunakan nalar, melainkan karena keistimewaan mereka yang tidak dimiliki oleh generasi sesudahnya (Shihab, 2013: 363). Sehingga sekalipun para sahabat sebagai generasi awal penerima Al-Qur’an menafsirkan Al-Qur’an dengan nalar dan bimbingan nabi, maka ulum al-qur’an tidak menyebutnya dengan tafsir bi al-ra'yi. Sebagaimana pendekatan tafsir yang lain, pendekatan tafsir bi al- ra’y juga memiliki kelebihan dan kelemahan. Di antara kelebihan pendekatan ini adalah mempunyai ruang lingkup yang luas, dapat mengapresiasi berbagai ide dan melihat Al-Qur’an secara lebih lebar sehingga dapat memahaminya secara komprehensif. 31
Kendatipun demikian, bukan berarti pendekatan ini tidak mempunyai kelemahan. Kelemahan pendekatan tafsir bi al-ra'yi bisa terjadi ketika terjebak atau secara tidak sadar mufassir mengungkap petunjuk berdasarkan ayat yang bersifat parsial, sehingga dapat memberikan kesan makna Al-Qur’an tidak utuh dan pernyataannya tidak konsisten. Di samping itu, penafsiran dengan pendekatan ini juga sangat rentan dengan subjektivitas yang dapat memberikan pembenaran terhadap mazhab atau pemikiran tertentu sesuai dengan kecenderungan mufassir. Hal lain yang juga bisa menjadi kelemahan dari pendekatan tafsir bi al-ra’y ini adalah peluang masuknya cerita-cerita israiliyat karena kelemahan dalam membatasi pemikiran yang berkembang (al-Shabuni, 1999). Salah seorang mufassir yang menggunakan pendekatan bi al-ra’y dalam kitab tafsirnya adalah Abd al-Qasim Mahmud al-Zamakhsari (w. 538 H) pada tafsir al-Kasysyaf. Dalam melakukan penafsirannya, ia mengemukakan pemikirannya namun tetap didukung dengan dalil- dalil hadis atau ayat Al-Qur’an, baik riwayat yang berhubungan dengan sabab al-nuzul atau makna ayat. Meskipun demikian, ia tidak terikat oleh riwayat dalam penafsirannya. Dengan kata lain, jika ada riwayat yang mendukung penafsirannya ia akan merujuknya dan jika tidak, ia akan tetap konsisten dengan hasil penalarannya (Alfiyah, 2018). Selain al- Zamakhsari, mufassir yang juga menggunakan pendekatan ini adalah Fakhruddin al-Razi (w. 606 H) dalam tafsirnya Mafatih al-Ghayb, al- Baidhawi (w. 691 H) dalam Tafsir Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil, Mahmud al-Nasafi (w. 701 H) dalam tafsir Madarik al-Tanzil wa Haqaiq al-Ta’wil, al-Khazin (w. 741) dalam tafsir Lubab al-Ta’wil fi Ma’an al-Tanzil dan Abu Su’ud (w. 982 H) dalam tafsir Irsyad al-‘Aql al-Salim ila Mazaya al-Kitab al-Karim. Apakah setiap tafsir yang berdasarkan ra’y dapat diterima? Para ulama membagi dua jenis tafsir ini, yakni tafsir bi al-ra’y al-madzmum 32
(tercela) dan tafsir bi al-ra’y al-mahmud (terpuji) (Nur, 2020: 50). Jenis pertama maksudnya adalah tafsir bi al-ra’y yang dapat diterima selama menghindari hal-hal berikut ini: 1. Memaksakan diri untuk mengetahui makna yang dikehendaki Allah pada suatu ayat, padahal dia tidak memenuhi syarat untuk itu; 2. Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui oleh Allah; 3. Menafsirkan Al-Qur’an dengan hawa nafsu dan sikap istihsan, yakni menilai bahwa sesuatu itu baik semata-mata berdasarkan persepsinya; 4. Menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung suatu mazhab yang salah dengan cara menjadikan faham mazhab sebagai dasar sedangkan penafsirannya mengikuti faham mazhab tersebut; dan 5. Menafsirkan Al-Qur’an dengan memastikan bahwa makna yang dikehendaki Allah adalah demikian sebagaimana pendapatnya tanpa didukung dalil (al-Zahabi, 1976: 275). Sementara jenis kedua adalah kebalikannya, yakni tafsir bi al-ray yang melakukan hal terlarang tersebut. Menurut Al-Qaththan, tafsir jenis ini haram dan tidak boleh diikuti (al-Qaththan, 1995: 342). Contoh yang tampak dari tafsir dengan pendekatan bi al-ra’y adalah penafsiran al-Zamakhsyari dalam kitab tafsir al-Kasysyaf pada saat menjelaskan basmalah pada Surat al Fatihah sebagai berikut: (١ ) َّ ۡۡبس َّ الله الرَۡۡ الر Artinya: “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” Setelah menjelaskan silang pendapat antara penduduk Madinah, Basrah dan Syam dengan penduduk Makkah dan Kufah beserta para ahli fikihnya masing-masing tentang basmalah termasuk bagian dari 33
surat al-Fatihah atau tidak sehingga berimplikasi terhadap cara membacanya ketika salat secara lantang atau pelan, al-Zamakhsyari kemudian menjelaskan urgensi dari adanya basmalah pada surat pembuka Al-Qur’an ini. Ia berpendapat bahwa basmalah pada awal surah pembuka merupakan bentuk mengawali aktivitas membaca, sama halnya dengan orang yang hendak berperjalanan memulai aktivitasnya dengan melafalkan basmalah dan penyembelih memulai penyembelihan dengan melafalkan basmalah. Lantas, apa hubungan basmalah dengan membaca? Dengan logika perumpamaan, Al- Zamakhsyari menyebut ada dua. Pertama, seperti hubungan antara pena dengan tulisan; dan kedua, seperti minyak dengan tumbuhan seperti dalam QS. Al-Mu’minun ayat 20. Pena dapat menghasilkan tulisan dan minyak dapat dihasilkan melalui tumbuhan. Dari itu, bagi orang mukmin dengan menyebut nama Allah-lah, zat yang memberikan kemampuan membaca. Membaca menjadi objek dari basmalah, yang berarti Allah-lah yang menghendaki. Kemudian, al-Zamakhsyari juga menyebut keberkahan dari basmalah dengan menyitir sebuah hadis riwayat Abu Dawud yang berbunyi: ِٰ حك ُّٰل أت ِْ ٰر تِ ْيٰ تبالٰ َتّلٰ ٰح ُِْتٰأح ُت ْۡ تٰ تبا ْس تَّٰ اللٰهت تُ حه تٰۡ أت ْبٰت حر Artinya: “Setiap sesuatu yang memiliki kebaikan yang tidak dimulai dengan bismillah, maka akan terputus (keberkahan nya).” Selain dengan nalar perumpamaan serta menukil riwayat, al- Zamakhsyari juga berargumentasi dengan sejarah. Menurutnya, basmalah hadir sebagai tandingan terhadap kebiasaan orang Jahiliah yang memulai aktivitasnya dengan menyebut Tuhan mereka melalui lafal “bismi al-lata, bismi al-‘uzza” (al-Zamakhsyari, 1998: 99-104). Dari contoh di atas terlihat bahwa tafsir bi al-ra’y yang dapat diterima mendasarkan pikirannya melalui nalar dengan tetap menjadikan riwayat sebagai bagian dari argumentasi bahkan diperkaya 34
dengan aspek bahasa dan sejarah. Sama halnya dengan tafsir bi al- ma’tsur yang tentu tidak berdasar riwayat an sich, melainkan tetap melibatkan penalaran. Maka dari itu, faktor yang membedakan antara tafsir bi al-ra'yi dan tafsir bi al-ma’tsur adalah aspek dominannya. Dari penjelasan terkait tafsir bir ra’yi dan bil ma’tsur, dapat disimpulkan bahwa tidak pernah ada tafsir bir’rayi mutlak (an sich) dan tidak ada tafsir bil ma’tsur mutlak (an sich). Dalam tafsir bir ra’yi pasti ditemukan riwayat, sebagaimana dalam tafsir bil ma’tsur pasti dipergunakan akal juga. Yang membedakan keduanya adalah tingkatan kognitif yang dipergunakan (antara Low Order Thinking dan High Order thinking). c. Tafsir bi al-Isyarah atau Tafsir Isyari Menurut bahasa kata isyari berasal dari kata asyara-yusyiru- isyaratan yang berarti memberi isyarat atau tanda dan berarti pula menunjukkan. Sedangkan menurut istilah tafsir isyari adalah suatu upaya untuk menjelaskan kandungan Al-Qur’an dengan menakwilkan ayat-ayat sesuai isyarat yang tersirat dengan tanpa mengingkari yang tersurat atau zahir ayat (al-Zahabi, 1976: 352). Senada dengan definisi tersebut menurut Shubhi al-Shalih tafsir isyari berarti menjelaskan kandungan Al-Qur’an melalui takwil dengan cara menggabungkan yang tersurat dan tersirat. Secara lebih spesifik M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa dalam tafsir isyari terdapat upaya penarikan makna ayat yang didasarkan pada kesan yang ditimbulkan oleh lafaz ayat, di mana dalam benak para mufassir telah memiliki pencerahan batin atau hati dan pikiran. Hal itu dilakukan tanpa mengabaikan atau membatalkan makna secara lafaz (Shihab, 2013: 373). Sekalipun pendekatan ini berdasarkan isyarat dari hasil perenungan spiritual, namun hanya isyarah shahihah saja yang dapat 35
diterima. Abdul Wahid (Wahid, 2020) menyebutkan syarat-syarat diterimanya sebuah tafsir isyari sebagai berikut: 1. Tidak bertentangan dengan makna lahir (pengertian tekstual) Al- Qur’an. 2. Penafsirannya didukung atau diperkuat oleh dalil-dalil syara’ lainnya. 3. Penafsirannya tidak bertentangan dengan dalil syara‘ atau rasio. 4. Penafsirannya tidak menganggap bahwa hanya itu saja tafsiran yang dikehendaki Allah, bukan pengertian tekstual ayat terlebih dahulu. 5. Penafsirannya tidak terlalu jauh sehingga tidak ada hubungannya dengan lafadz. Sebagai contoh untuk penafsiran dengan pendekatan isyari ini seperti penafsiran al-Alusi terhadap surat Al-Baqarah (QS 2: 238) sebagai berikut: ٰۡتۡا تُ حظۡا تعَتى الِ دَّت تۡا تتٰ تَالِ دّ تَلةتٰ ا ْل حۡ ْس تطىٰ تَُحۡ حِۡا تل دِلٰت تُانت تٰۡ ت Artinya: “Peliharalah salat-salat dan salat wustha serta tegakkan untuk Allah karena ketaatan.” Al-Alusi menafsiri al-shalat al-wustha pada ayat di atas dengan penjelasan lima macam shalat sebagai berikut: َصَلة،ٌٰ َصَلة الۡفس بَُُۡۡا عۡ َُاعى الر،ٌٰإۡ الَِّۡات ََس صَلة السر بشهُۡ ِۡام الغ َُُ َصَلة الُِۡ بحفظ الحۡاس َإُاِة الح، َصَلة الرَح بَشاُُة الۡصل،الٌَۡ بَراُبٰ أنۡار الِشﻒ Artinya : “Sesungguhnya shalat itu ada lima, yaitu 1) Salat sirr dengan menyaksikan maqam ghaib, 2) salat nafs, yaitu dengan cara memadamkan hal-hal yang dapat mengundang keragu-raguan, 3) Salat qalb, dengan senantiasa berada dalam penantian akan munculnya cahaya kasyf (penyingkapan), 4) salat ruh dengan menyaksikan wasl (penggabungan/penyatuan dengan Allah); 5) Salat badan 36
dengan cara memelihara panca indera dan menegakkan ketentuan ketentuan hukum Allah.” Bila dilihat dari istilah-istilah yang digunakan, maka sebenarnya al-Alusi memahami al-shalat al-wustha dengan lima jenis salat di atas cenderung dengan pendekatan isyari. Salat di sini baginya tidak dipahami sebagai ritual ibadah yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, melainkan dengan bentuk pencerahan batin melalui pendekatan sufistik. Setelah kita mengetahui ragam pendekatan dalam penafsiran Al- Qur’an, selanjutnya bagaimana para mufassir menyajikan penafsirannya dalam karya tafsir? Hal ini dapat diketahui melalui metode yang digunakan dalam menyusun penafsiran, sebagaimana akan dijelaskan berikut ini. C. Metode Penafsiran Al-Qur’an 1. Pengertian Metode Penafsiran Metode berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau jalan. Metode dalam bahasa Inggris method dan dalam bahasa Arab thariqat dapat dipahami sebagai suatu cara yang tersusun secara teratur dan terpikir baik- baik dalam mencapai suatu yang dimaksud; atau cara kerja yang bersistem untuk mendapatkan atau memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu yang ditentukan (Baidan, 2011: 54). Adapun yang dimaksud dengan metode penafsiran adalah cara yang dilakukan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Cara ini meliputi teknis penyusunan, sistematika, ruang lingkup dan hal-hal terkait lainnya. Cara yang telah dilakukan para mufassir ini beragam, sehingga membentuk metode yang beraneka. Lebih jelasnya, berikut dipaparkan jenis metode penafsiran berikut contohnya. 37
2. Jenis Metode Penafsiran beserta Contohnya Terdapat empat jenis metode penafsiran yang dilakukan mufassir, yaitu secara analitis atau tahlili, secara global atau ijmali, secara perbandingan atau muqaran dan secara tematik atau maudhu’i. Berikut penjelasannya secara rinci. a. Metode Tahlili (Analitis) Metode tahlili adalah suatu metode dalam menjelaskan ayat Al-Qur’an dengan cara menguraikan ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai tata urutan dalam mushaf, dengan penjelasan yang cukup terperinci sesuai dengan kecenderungan masing-masing mufassir terhadap aspek-aspek yang ingin disampaikan. Misalnya, menjelaskan ayat disertai aspek qira’at, asbab al-nuzul, munasabah, balaghah, hukum dan lain sebagainya. Contoh kitab tafsir yang disusun dengan metode ini adalah kitab Tafsir Jami li Ahkam Al-Qur’an karya al-Qurtubi, kitab Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an karya Ibnu Jarir at-Thabari, kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karim karya at-Tusturi dan Tafsir Al-Qur’an al-Adzim karya Ibnu Katsir. Tafsir tahlili umumnya diawali dengan penjelasan tentang profil surat berupa nama-nama surat, urutan nuzul, data kesejarahan tentang situasi kondisi ketika ayat tersebut diturunkan, dan tujuan-tujuan yang ingin disampaikan dalam surat tersebut, serta hubungan surat tersebut dengan surat sebelum dan sesudahnya dalam urutan mushaf. Setelah itu dilanjutkan dengan penjelasan kosakata dan riwayat hadis, atsar, dan aqwaal ulama salaf terkait pemaknaan sebagaian ayat-ayat dalam surat tersebut. Selanjutnya para penafsir dengan metode ini seringkali melakukan analisis secara mendalam terhadap konsep-konsep yang muncul dalam ayat-ayat tersebut. Kecenderungan untuk mengkaji secara mendalam dan rinci inilah yang dianggap seringkali melalaikan penafsir dari tujuan utamanya untuk menemukan bimbingan konkret dari al-Quran menjadi kajian-kajian yang cenderung rumit dan sophisticated. 38
b. Metode Ijmali (Global) Metode ijmali adalah sebuah metode dalam menjelaskan ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna secara global dengan bahasa yang ringkas supaya mudah dipahami. Di sini mufassir menjelaskan pesan-pesan pokok dari ayat secara singkat tanpa menguraikan panjang lebar. Metode ini seperti yang lazim dilakukan oleh Jalal al-Din al-Suyuthi dan Jalal al-Din al-Mahalli dalam kitabnya Tafsir Jalalain dan Muhammad Farid Wajdi dalam Tafsir Al-Qur’an al-Azhim. Berikut adalah contoh penafsiran surat al-Fatihah ayat 3-7 dalam kitab Tafsir Jalalain: ٰ َ حَ دص،)الرَۡۡ الرۡۡ َّ( أي ِي الرَۡة َُي إراُة الۡۡر ْلَُ ) تِ تَ تَٰ ٰۡم الُٰۡ( أي الجزاء َُۡ ٰۡم الۡۡاِة بالِِكر ْلن َّل ََِ ظاُراًٰ ُۡ ْلُۡ إَّل لله َِالى بُلۡل {لَۡ الَََ الۡۡم لله} َِۡ ُرأ {ِالَ} َُِۡاه ِالَ اْلِر ِكَ ُي ٰۡم الۡۡاِة أَ ُۡ ِۡصۡف بِلَ ُائَاًٰ {ِكغاُر الِنٌ} ُِّح َُۡع صفة لَِرُة )إٰاك نُِِ َإٰاك (َّ ٰۡۡنسِٰۡۡ( أي نَِّۡ بالِِاُة ِۡ َُۡۡۡ َغۡره َنطٌَ الَِۡنة عَى الِِاُة َغۡرُا )اُُنا الِّراط الَس )صراط الِٰۡ أنَِۡ عَۡه َّ( بالهُاٰة َُِٰل ِۡ الِٰۡ بَِّٰ )غۡر الَغضۡب: ِۡ َُِٰل. ۡأي أرشُنا إل َنِٰة الُِل إُاُة أۡ الَهُٰٰۡ لۡسۡا ٰهُۡاًٰ ََّل نِّار، عَۡه َّ( َُ َّ الۡهُۡ )ََّل( غۡر )الضالۡۡ( َُ َّ الِّۡار ًٰ َصَى الله عَى سُۡنا ِحَُ َعَى آل َصحِ َسَ َّ َسََٰۡاً ِكثۡرا،َالله أعَ َّ بالِّۡاب َإلۡ الَرُع َالَآب . َّ ۡ ََّل ۡۡل ََّل ُۡة إَّل بالله الَِي الِظ، َۡسِۡا الله َنِ َّ الِۡكۡل،ًُائَاًٰ أبُا Dalam penafsiran di atas tampak sekali penjelasan ayat disampaikan secara singkat dan global. Misalnya, kata al-rahman dan al-rahim dengan makna yang memiliki rahmat. Maksudnya yaitu yang berkehendak memberikan kebaikan kepada yang berhak mendapatkannya. Setelah itu, kemudian berganti kepada ayat berikutnya dan begitu seterusnya. Inilah tafsir dengan metode ijmali. c. Metode Muqaran (Komparatif) Metode muqaran adalah metode menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan membandingkan dengan ayat lain yang memiliki kedekatan atau kemiripan tema namun redaksinya berbeda; atau memiliki kemiripan redaksi tetapi maknanya berbeda; atau membandingkannya dengan penjelasan teks hadis Nabi Saw, perkataan sahabat maupun tabi’in. Di samping itu, metode ini juga mengkaji pendapat para ulama tafsir kemudian membandingkannya. Bisa juga berupa membandingkan antara satu kitab tafsir dengan kitab tafsir lainnya agar diketahui identitas corak 39
kitab tafsir tersebut. Tafsir muqaran dapat juga berbentuk perbandingan teks lintas kitab samawi, seperti Al-Qur’an dengan Injil/Bibel, Taurat atau Zabur (Ar-Rumi, 1419 H: 60). Metode tafsir muqaran memiliki cakupan sangat luas. Namun, selayakya sebuah metode, muqaran memiliki kelebihan dan kekurangan. Di antara kelebihannya adalah bahwa dibanding dengan metode-metode lain, metode ini memberikan wawasan penafsiran yang relatif lebih luas kepada pembaca. Sebab melalui metode ini terlihat bahwa ayat-ayat al-Qur’an itu dapat ditinjau dari berbagai disiplin ilmu sesuai kecenderungan mufassir. Sehingga, bahwa al-Qur’an ibarat samudera ilmu dan pendapat terasa benar adanya dan dapat menumbuhkan rasa toleran atas perbedaan. Adapun kekurangannya adalah bahwa tafsir dengan metode ini tidak cocok dinikmati oleh orang awam dan kurang bisa diandalkan untuk menjawab persoalan-persoalan yang berkembang di masyarakat karena memang metode ini lebih berorientasi pada perbandingan daripada pemecahan masalah (Hasibuan, dkk, 2020: 234-235). Agar lebih memudahkan pemahaman terkait tafsir muqaran, mari kita pelajari contoh berikut: Artinya: ٰۡا دل تِ ْٰ تٰۡ َتٰت تُۡهى حه َحّٰ ا ْل تََٰۤ ِٕى تِ ٰةح تطۡلت تِ ْۡ تٰۡ ۖ تٰۡح ْۡلح ْۡ تٰۡ تسَ َّٰ تع تَ ْۡ حِ َحّٰ اُْ حََحۡا ا ْل تج دۡةٰت بت تَا ِ حك ْٰۡح َّْٰ َت ِْ تََح ْۡ ت “(yaitu) Orang yang ketika diwafatkan oleh para malaikat dalam keadaan baik, mereka (para malaikat) mengatakan (kepada mereka), “Salamun ‘alaikum, masuklah ke dalam surga karena apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Al-Nahl: 32) Sementara dalam penjelasan sebuah hadis yang diriwayatkan Al- Bukhari dari Abu Hurairah disebutkan: أٰتح تاۡ ْلُحِتجحك ۡدَّْٰٰةتا ْلتُاتَلح ْۡۡا تتٰتََتإتّٰلدِاأت ْن حِ تْٰۡحٰت تسا ًۡا تر تُ تَحس تَِۡد تٰٰلح أتتُٰتتب ْااز تُتٰلاحَُتُٰتتّرلٰ ْٰ تَتترََْۡةٰتت ًّرٰلاُتاأت تتن تَٰلاتإ دِتإَتاسدّ تٰلَ حِ ِْأت تسْٰۡحٰۡۡئً تٰا تٰترُٰتتغ تَ حسدَِتَۡدُتنتٰتحٰل أيتّللْدَّٰۡلاٰتلدَتٰاٰح ْسبتتصٰتتفَد ِْ تٰىْضّتلٌٰٰلل دَٰاح تَ تتعرَت ْْۡۡ تٰ تَ تةَٰ ُتتس دَ تَستّٰ تُل تُٰحۡحَۡا حلٰتَلتتُاْٰۡترٰحبح ُْۡاتَ تتٰلََتّأتٰل تۡ تًُٰٰتا تَ دٰۡۡتتع تدََٰۡح ٰۡأت د ّلل دَاٰت ْٰۡ أت Artinya: “Abu Hurairah berkata saya mendengar Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada seorangpun yang masuk surga karena amalannya.” Para sahabat bertanya; “Begitu juga dengan engkau wahai Rasulullah?” beliau bersabda: “tidak juga dengan diriku, 40
kecuali bila Allah melimpahkan karunia dan rahmat-Nya padaku, oleh karena itu berlaku luruslah dan bertaqarublah dan janganlah salah seorang dari kalian mengharapkan kematian, jika dia orang baik semoga saja bisa menambah amal kebaikannya, dan jika dia orang yang buruk (akhlaknya) semoga bisa menjadikannya dia bertaubat.” (HR. al-Bukhari) Setelah dibandingkan, secara zahir redaksi seakan-akan terjadi pertentangan antara Al-Qur’an dengan hadis. Al-Qur’an dalam terjemah Kemenag di atas seolah menyebut bahwa masuk surga disebabkan amal. Sementara hadis sahih al-Bukhari menyebut tidak ada seorangpun yang masuk surga karena amalnya. Berkenaan dengan ini, M. Quraish Shihab melalui kanal resminya di youtube menjelaskan bahwa tidak mungkin terjadi pertentangan antara Al- Qur’an dan hadis. Kesan pertentangan keduanya tercipta hanyalah karena terjemahan yang tidak mampu mewadahi maksud seutuhnya dari Al- Qur’an. Ba’ pada bi ma kuntum ta‘malun diterjemahkan secara langsung dengan “disebabkan” adalah tidak tepat. Sebab, ba’ dalam bahasa Arab memiliki 14 makna. Ba’ bisa berarti sebab, sumpah, huruf yang menghubungkan dan banyak lagi makna lainnya. Oleh karena itu, akan tepat ayat tersebut jika dipahami bahwa amal kita dapat mengundang rahmat Allah, dan rahmat Allahlah yang akhirnya menjadi sebab bahwa seseorang masuk ke dalam surga. Lebih lanjut, Shihab menegaskan bahwa Amal tidak dapat menjadi tiket untuk masuk surga. Dampak amal baik kita sudah kita nikmati dalam hidup ini. Surga merupakan hak prerogatif Allah yang diberikan hanyalah karena rahmat Allah. Ia menyitir QS al-Mu’minun ayat 11 ketika Allah menjelaskan keuntungan orang mukmin bahwa salah satunya “mereka adalah orang-orang yang mewarisi surga.” Ini menunjukkan bahwa surga adalah anugerah Tuhan dan Tuhan yang membagi-baginya. Melalui contoh ini kita melihat bahwa tafsir muqaran dengan metode perbadingannya dapat berperan baik menyelesaikan teks-teks keagamaan 41
yang seolah bertentangan. Hadis selamanya tidak akan pernah bertentangan dengan Al-Qur’an, karena kebaradaannya sendiri merupaka penjelas bagi Al-Qur’an. d. Metode Maudhu’i (Tematik) Metode terakhir yang lazim digunakan dalam menafsirkan Al- Qur’an adalah metode maudhu’I atau metode tematik. Metode ini berupaya menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan mengambil suatu tema tertentu. Kelebihan metode ini mampu menjawab kebutuhan zaman yang ditujukan untuk menyelesaikan suatu permasalahan, praktis dan sistematis serta dapat menghemat waktu, dinamis sesuai dengan kebutuhannya, serta memberikan pemahaman Al-Qur’an tentang satu tema menjadi utuh. Namun kekurangannya bisa jadi dalam proses inventarisasi ayat-ayat setema tidak tercakup seluruhnya, atau keliru dalam mengategorikan yang akhirnya membatasi pemahaman ayat. Al-Farmawi (al-Farmawi: tth, 62) telah merinci langkah-langkah yang harus ditempuh oleh seorang mufassir ketika melakukan proses penafsiran menggunakan metode tematik, sebagai berikut: 1) Menetapkan masalah yang akan dibahas; Permasalahan yang dibahas diprioritaskan pada persoalan yang menyentuh kehidupan masyarakat yang berarti bahwa seorang mufassir harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang masyarakat; 2) Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut; 3) Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab nuzulnya dan ilmu-ilmu lain yang mendukungnya; 4) Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing. Hal ini terkait erat dengan ilmu munasabat; 5) Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (membuat out line); 42
6) Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan; dan 7) Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama atau mengkompromikan antara yang ‘amm (umum) dengan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang tampak pada lahirnya bertentangan sehingga seluruhnya dapat bertemu dalam satu muara tanpa perbedaan dan pemaksaan makna. Adapun di antara karya-karya tafsir yang telah menggunakan metode ini adalah karya Abbas Mahmud al-Aqqad yang berjudul al-Insan fi al- Qur’an dan al-Mar’ah fi al-Qur’an; dan karya Abu al-A’la Al-Maududi berjudul al-Riba fi al-Qur’an; karya al-Jashshash, berjudul Tafsir Ahkam al- Qur`an dan karya yang cukup populer dari Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshary al-Qurtuby yang berjudul al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an. Demikian, jelaslah pendekatan dan metode penafsiran Al-Qur’an. Metode penafsiran Al-Qur’an dengan masing-masing kelebihan dan kelemahannya tetap merupakan upaya ilmiah besar dan mulia dalam menyuguhkan pemahaman Al-Qur’an. REFLEKSI Setelah mempelajari pendekatan dan metode penafsiran Al-Qur’an, apakah hikmah atau nilai yang saudara mahasiswa dapatkan dan aplikasikan dalam pembelajaran PAI? Dari kegiatan belajar ini paling tidak kita mendapatkan nilai bahwa menafsirkan Al-Qur’an adalah upaya yang tidak sederhana, sangat ketat bahkan cenderung berat. Dengan berbagai prasyarat kualifikasi yang harus dimiliki mufassir, Al-Qur’an dengan sendirinya menyeleksi orang yang berhak menyingkapnya. Begitu pulalah yang diharapkan dalam pembelajaran PAI. PAI sejatinya tidak layak diajarkan oleh orang yang tidak memiliki kualifikasi mumpuni dalam agama Islam, baik dalam aspek pengetahuan maupun praktik beragamanya. Walau tidak seketat standar mufassir, tetapi PAI akan berhasil jika disampaikan oleh 43
guru yang memiliki kompetensi dalam dua aspek tersebut. Lantas jika demikian, sebagai guru PAI sebenarnya sudah layakkah kita mengajar PAI? Tentu jawaban yang tepat adalah mari kita pantaskan diri kita untuk mengajar PAI dengan senantiasa upgrade pengetahuan dan memperbaiki kualitas keberagamaan. CONTOH SOAL Setelah menganalisis uraian materi, apakah saudara sudah menguasai capaian pembelajaran pada kegiatan belajar ini? Agar dapat mengukur penguasaan saudara, dapat mengisi soal yang berkaitan dengan kegiatan belajar ini. Berikut sajian contoh soal pada modul ini sebagai bahan latihan saudara dalam menganalisis pertanyaan dan jawaban, serta sebagai contoh pembuatan soal tes formatif yang akan dibuat oleh dosen pengampu. Dalam menafsirkan Al-Qur’an, mufassir menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan mengkaji pendapat para ulama tafsir kemudian membandingkannya atau membandingkan antara satu kitab tafsir dengan kitab tafsir lainnya atau membandingkan ayat dengan hadis yang secara redaksional tampak bertentangan. Dalam istilah ulum al-tafsir metode ini dikenal dengan sebutan tafsir muqaran. Metode ini dapat berperan secara baik menjelaskan aneka pendapat bahkan mengurai perbedaan-perbedaan atau pertentangan-pertentangan yang seolah terjadi dalam teks-teks keagamaan. Hanya saja, tidak dapat dipungkiri bahwa metode ini juga memiliki kelemahan. Berikut ini yang bukan merupakan kelemahan dari metode tersebut adalah ….. A. Tidak cocok dinikmati oleh orang awam B. Kurang bisa diandalkan untuk menjawab persoalan-persoalan yang berkembang di masyarakat C. Lebih berorientasi pada perbandingan daripada pemecahan masalah D. Rentan disusupi pendapat pribadi yang berdasar nafsu E. Cenderung menampilkan pertentangan-pertentangan dalam Islam Jawaban: D (Opsi D merupakan kelemahan dari pendekatan tafsir bi al-Ra’y) 44
TINDAK LANJUT BELAJAR Untuk meningkatkan kemampuan analisis, Saudara dapat melakukan beberapa aktivitas tindak lanjut dari kegiatan belajar ini, di antaranya sebagai berikut: 1. Simaklah sumber belajar dalam bentuk video/artikel pada LMS Program PPG. Kemudian lakukan analisis berdasarka konten! 2. Kaitkan konten video/artikel dengan nilai-nilai moderasi dalam proses pembelajarannya di sekolah/madrasah! 3. Ikuti tes akhir modul dan cermati hasil tesnya. Bila hasil tes akhir modul di bawah standar minimum ketuntasan (70), maka Saudara melakukan pembelajaran remedial dengan memperhatikan petunjuk dalam LMS program PPG. 4. Aktifitas tindak lanjut lebih detail, silahkan mengikuti tagihan tugas yang ada di LMS.. GLOSARIUM Hadis : Riwayat Informasi tentang Sunnah Nabi Muhammad saw Sunnah : Kebiasaan dan tatacara hidup nabi yang meliputi perkataan, sikap dan ketetapannya Atsar : riwayat informasi tentang Kebiasaan dan tatacara hidup Sahabat dan atau Tabi’in Al-Ma’tsur : Pendekatan tafsir yang mengutamakan argumen berdasarkan riwayat Al-Ra’y : Pendekatan tafsir yang mengutamakan argumen berdasarkan rasio Al-Isyari : Pendekatan tafsir yang mengutamakan argumen berdasarkan intuisi sufistik Tahlili : Metode penyajian tafsir secara analitik berdasarkan urutan surat di mushaf Ijmali : Metode penyajian tafsir secara global dengan menitikberatkan 45
Muqaran pada penjelasan kosakata Maudhu’i : Metode penyajian tafsir perbandingan, dengan membandingkan Istihsan dua atau lebih penafsiran dalam pembahasan suatu makna ayat : Metode penyajian tafsir tematik, yaitu penafsiran al-Quran yang bertitik-tolak dari terma al-Qur’an atau konsep dan problematika tertentu : Asumsi baik 46
DAFTAR PUSTAKA Al-Farmawi, ‘Abd al-Hayy. Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i. Kairo: Maktabah Jumhuriyyah, 1977. Al-Rumi, Fahd. Buhuts fi Usul al-Tafsir wa Manahijuhu. Riyadh: Maktabah al-Taubah, 1419 H. Al-Shabuni, Muhammad Ali. Studi Ilmu Al-Qur’an, terj. Aminudin. Bandung: PustakaSetia, 1999. al-Zahabi, Muhammad Husain. al-Tafsir wa al-Mufassirun. Kairo: Maktabah Wahbah, 1976. Al-Qaththan, Manna’. Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an. Kairo: Maktabah Wahbah, 1995. Alfiyah, Avif. Kajian Kitab Al Kasyaf Karya Zamakhsyari. Al Furqan: Jurnal Ilmu Al Quran dan Tafsir, Volume 1 Nomor 1 Juni 2018. Al-Zamakhsyari, Mahmud Ibn ‘Umar. Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq Ghawamid al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’qil. Riyadh: Maktabah al-‘Ubaykan, 1998. Katsir, Abu al-Fida Ismail Ibn. Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim. Beirut: Darul Kutub al Ilmiyah, 2006. Nata, Abudin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998. Nur, Afrizal. Muatan Aplikatif Tafsir Bi al-Ma’tsur dan Bi al-Ra’yi: Telaah Kitab Tafsir Thahir Ibnu ‘Asyur dan M. Quraish Shihab. Yogyakarta: Kalimedia, 2020. Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1991. Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2013. Suratman, Junizar. Pendekatan Penanfisran Al-Qur’an yang Didasarkan pada Instrumen Riwayat, Nalar, dan Isyarat Batin. Jurnal Intizar, Vol. 20, No. 1, 2014. Wahid, Abd. Tafsir isyari dalam Pandangan Imam sl-Ghazali. Jurnal ushuluddin vol. 47
Search
Read the Text Version
- 1 - 22
Pages: