Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore BULLETIN KARDIOLOGI 1

BULLETIN KARDIOLOGI 1

Published by khalidsaleh0404, 2021-06-24 13:15:11

Description: BULLETIN KARDIOLOGI 1

Search

Read the Text Version

Disusun : Khalid Saleh EDISI : Pertama, Tahun 2021 Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler & Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Instalasi Pusat Jantung Terpadu-CARDIAC CENTER RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar 1 | BULETIN KARDIOLOGI-I; 2021

BULETIN KARDIOLOGI Dr.dr. Khalid Saleh, SpPD-KKV, FINASIM, Mkes (BAGIAN PERTAMA) 2 | BULETIN KARDIOLOGI-I; 2021

KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena buku digital ini telah selesai disusun. Buku ini disusun agar dapat membantu para peminat pembaca masalah “KARDIOLOGI (JANTUNG)” , sehingga pengetahuan tentang Kardiologi (Jantung) dapat tersosialisasi kepada para pembaca baik di dalam maupun diluar Rumah sakit . Perlu diketahui bahwa tulisan (Referat dan laporan kasus ) ini diambil/disadur dari berbagai penulis di bidangnya masing masing dan dibuat dalam bentuk kumpulan tulisan dalam suatu buku digital Bagian Pertama. Penulis pun menyadari jika didalam penyusunan buku ini mempunyai kekurangan, namun penulis meyakini sepenuhnya bahwa sekecil apapun buku ini tetap akan memberikan sebuah manfaat bagi pembaca. Dan terima kasih kepada penulis atas izinnya sehingga tulisannya kami muat. Akhir kata untuk penyempurnaan buku ini, maka kritik dan saran dari pembaca sangatlah berguna untuk penyusun kedepannya. Makassar, Januari 2021 Penyusun 3 | BULETIN KARDIOLOGI-I; 2021

Abdul Hakim Alkatiri KONTRIBUTOR DIVISI INVASIF & INTERVENSI NON BEDAH Makassar Departemen Kardiologi dan Kedokteran Idar Mappangara Vaskuler DIVISI KEDOKTERAN VASKULER Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Departemen Kardiologi dan Kedokteran Makassar Vaskuler Fakultas Kedokteran Universitas Ali Aspar Mappahiya Hasanuddin DIVISI INVASIF & INTERVENSI Makassar NON BEDAH Khalid Saleh Departemen Kardiologi dan Kedokteran DIVISI INTERNA DASAR Vaskuler Fakultas Kedokteran Universitas Departemen Kardiologi dan Kedokteran Hasanuddin Vaskuler, Makassar Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Akhtar Fajar Muzakkir Fakultas Kedokteran Universitas DIVISI PERAWATAN INVASIF & Hasanuddin KEGAWATANKARDIOVASKULER Makassar Departemen Kardiologi dan Kedokteran Peter Kabo Vaskuler DIVISI KARDIOLOGI KLINIK Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Departemen Kardiologi dan Kedokteran Makassar Vaskuler Fakultas Kedokteran Universitas Andi Alief Utama Armyn Hasanuddin DIVISI KARDIOLOGI PEDIATRIK Makassar & PENYAKIT JANTUNG BAWAAN Pendrik Tandean Departemen Kardiologi dan Kedokteran DIVISI DIAGNOSTIK NON Vaskuler INVASIF Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Departemen Kardiologi dan Kedokteran Makassar Vaskuler, Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Aussie Fitriani Ghasnawi Penyakit Dalam DIVISI DIAGNOSTIK NON Fakultas Kedokteran Universitas INVASIF Hasanuddin Makassar Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler Yulius Patimang Fakultas Kedokteran Universitas DIVISI KARDIOLOGI PEDIATRIK Hasanuddin & PENYAKIT JANTUNG BAWAAN 4 | BULETIN KARDIOLOGI-I; 2021 Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler Fakultas Kedokteran Universitas

Hasanuddin Makassar Jayarasti Kusumanegara Zaenab Djafar DIVISI BEDAH DIVISI PREVENSI DAN KARDIOVASKULER Departemen Kardiologi dan Kedokteran REHABILITASI Vaskuler KARDIOVASKULER Fakultas Kedokteran Universitas Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler Hasanuddin Fakultas Kedokteran Universitas Makassar Hasanuddin Makassar PESERTA DIDIK MPPD Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar 5 | BULETIN KARDIOLOGI-I; 2021

DAFTAR ISI 6 | BULETIN KARDIOLOGI-I; 2021

Laporan Kasus : Man 73 Years Old Post Primary Percutaneous Coronary Intervention withBleeding Due to Urethral Trauma : Focus in Management Andrea Wahyu Yogasusanto, 1 Muzakkir Amir, 2 Az Hafid 3 1 MPPD Departmen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler, 2 Divisi Aritmia, 3 Divisi Invasif & Intervensi Non Bedah Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Instalasi Pusat Jantung Terpadu-CARDIAC CENTER RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar I. PENDAHULUAN Sindrom koroner akut (SKA) disebabkan oleh ruptur plak, aktivasi platelet, dan pembentukan trombus yang menyebabkan oklusi koroner dan kerusakan otot jantung. Pemahaman tentang patofisiologi SKA menyebabkan pengembangan terapi dengan antitrombotik, seperti aspirin, clopidogrel, heparin maupun heparin dengan berat molekul rendah (Low molecular weight heparin, LWMH) yang telah terbukti mengurangi risiko kematian, kejadian infark dan iskemia miokard berulang. (Viles-Gonzalez, Fuster and Badimon, 2004). Panduan tatalaksana Infark Miokard dengan Elevasi Segmen ST (ST Elevation Myocardial Infarction, STEMI) merekomendasikan Intervensi Koroner Perkutan (IKP) sebagai terapi reperfusi utama pada pasien STEMI (Steg et al., 2012) Pemasangan urin kateter merupakan prosedur yang dilakukan sebelum tindakan primari PCI. Iatrogenik trauma uretra sering terjadi dan penyebab tersering adalah transuretral kateterisasi dengan pendarahan sebagai manifestasi utama. Pendarahan yang terjadi pada saat pasien 7 | BULETIN KARDIOLOGI-I; 2021

dengan terapi DAPT dan antikoagulan merupakan faktor resiko independen yang akan meningkatkan angka mortalitas. Mekanisme yang menghubungkan perdarahan dengan peningkatan mortalitas pada SKA diantaranya adalah hipotensi, peningkatan aktivasi sistem saraf simpatis, anemia, penurunan kapasitas hantaran oksigen, disfungsi platelet dan vasokonstriksi (Pham et al., 2011). Sehingga diperlukan manajemen yang tepat dengan mempertimbangkan berbagai resiko untuk menghasilkan klinis outcome terbaik untuk pasien. Pada laporan kasus ini akan diilustrasikan seorang laki-laki berusia 73 tahun yang datang ke unit gawat darurat dengan keluhan nyeri dada dan setelah dilakukan pemeriksaan didiagnosis dengan ST elevasi miokard infark inferoposterior dengan onset 4 jam. Sesuai dengan guideline pasien dilakukan primary PCI. Namun disaat bersamaan pasien mengalami traumatik injury saat pemasangan kateter dan mengalami pendarahan. Sehingga diperlukan manajemen yang tepat untuk tatalaksananya II. LAPORAN KASUS Seorang laki laki berusia 73 tahun datang dengan keluhan utama nyeri dada. Keluhan dirasakan sejak 4 jam sebelum masuk Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo (RSWS) Makassar. Keluhan nyeri dada terasa seperti tertindih benda berat (VAS 6/10), menjalar ke punggung dan tangan kiri, dengan durasi lebih dari 20 menit, diaforesis ada, mual dan muntah tidak ada. Riwayat keluhan nyeri dada ada 2 minggu yang lalu. Sesak nafas tidak ada. Dan riwayat sesak nafas sebelumnya tidak ada. Riwayat menderita hipertensi ada sejak 20 tahun yang lalu dan Pasien rutin meminum obat Amlodipin 5 8 | BULETIN KARDIOLOGI-I; 2021

mg. Riwayat Diabetes melitus tidak ada. Riwayat penyakit jantung dalam keluarga tidak ada. Pasien memiliki riwayat BAK kadang kurang lancar dan harus sedikit mengedan. Frekuensi BAK pada malam hari sering (2-3 kali) disertai kadang kurang lampias bila sudah berkemih. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tensi 140/70 mmHg, nadi 54 kali/menit, respirasi 20 kali/menit, suhu 36.7oC, saturasi oksigen 100%. Konjungtiva tidak anemis dan ikterik. Tekanan vena jugularis R+2 cmH2O (posisi 300). Pernafasan vesikular, ronki (-), wheezing (-). Bunyi jantung S1/S2 normal, murmur (-). Ekstremitas hangat, tidak didapatkan edema. Pemeriksaan elektrokardiografi didapatkan sinus Bradikardi, 54 kali/menit, normoaksis, elevasi ST segmen di V5-V6, II, III, aVF yang menunjukkan Infark Myokard Akut Inferolateral (gambar 1), kemudian dilakukan pemeriksaan EKG kanan dan posterior didapatkan sinus Bradikardi, HR 54 kali/menit, normoaxis, elevasi segmen di II, III, aVF, V7- V9 yang menunjukan infark akut inferoposterior. Gambar 1. Rekam elektrokardiografi di IGD RSWS 9 | BULETIN KARDIOLOGI-I; 2021

Sinus Bradikardi , HR 54 x/min, axis 45 ˚, P wave 0.08 s, PR interval 0.16 s , Durasi QRS 0,06,ST elevation at II, III, aVF, V5-V6, ST depression at V1-V4. Kesimpulan : sinus Bradikardi, normoaxis, infark inferolateral wall Gambar 2. Elektrokardiogram kanan belakang Sinus Bradikardi , HR 54 x/min, axis 45 ˚, P wave 0.08 s, PR interval 0.16 s , Durasi QRS 0,06,ST elevation at II, III, aVF, V7-V9. Kesimpulan : sinus Bradikardi, normoaxis, infark inferoposterior et lateral wall. Pada pemeriksaan CT thoraks didapatkan gambaran Pneumonia interstisial, atherosclerosis aorta, Left Ascending artery, Right Coronary artery dan Brachiocephalic (gambar 3). Pemeriksaan laboratorium bermakna didapatkan peningkatan enzim jantung dengan hsTroponin I 571 ng/l.(tabel 1) 10 | BULETIN KARDIOLOGI-I; 2021

Tabel 1. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksa Hasil Nilai Satuan an Rujukan WBC 6500 4-10 x 103/mm3 103/mm3 N/L/M/E/B 75/20/4.3/0.2/ 0.5 HGB 13.5 12-16 g/dl HCT 40 37,0-48,0 % PLT 168 150-400 x 103/mm3 103/mm3 GDS 137 140 mg/dl SGOT 29 < 38 U/L SGPT 12 < 41 U/L UREUM 32 10-50 mg/dl KREATININ 0,98 L(<1,3) mg/dl P<(1,1) PT/APTT 10.3/23.7 10-14/22,0- second 30,0 - INR 0.99 - hs Troponin 571 I L(17-50), P (8- ng/ml Na 140 29) K 4.2 Cl 105 136-145 mmol/L 3,5-5,1 mmol/L 97-111 mmol/L 11 | BULETIN KARDIOLOGI-I; 2021

Gambar.3 CT thoraks pasien Pasien juga dilakukan pemeriksaan Echocardiography dengan hasil Fungsi sistolik Ventrikel kiri abnormal ringan dengan ejeksi fraksi 48,1% Biplane, Fungsi sistolik ventrikel kanan normal, TAPSE 1,9, hipokinetik segmental, Mitral regurgitasi ringan, Pulmonal regurgitasi ringan, ventrikel kiri hipertrofi konsentrik dan disfungsi diastolik derajat ringan. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, pasien didiagnosis dengan STEMI inferopoterolateral onset 4 jam KILLIP I TIMI Risk score 4, estimated 30 day Mortality7,3%. GRACE score 124 (intermediate risk), 2,8 % in hospital mortality, after ACS, 9% probability of death from admission to 6 month. CRUSADE score: 18 (Very Low Risk ) , 3,1 % risk of In-hospital mayor bleeding). Pasien mendapat terapi aspilet 160 mg loading dose, clopidogrel 600 mg loading dose, nitrogliserin 5 mcg/menit/syringpump, atorvastatin 40 mg/24 jam/oral, heparin 4200 unit bolus intravena dilanjut maintenance 720 unit perjam dalam syringepump dan dilakukan primary percutaneous coronary 12 | BULETIN KARDIOLOGI-I; 2021

intervention (PPCI). Sebelum didorong ke ruang Cathlab, pasien dilakukakn pemasangan urin catheter yang merupakan prosedur sebelum dilakukan Primary PCI. Pada saat dilakukan pemasangan kateter pasien tidak mengeluh nyeri, namun urin tidak keluar. Hasil pemeriksaan angiografi koroner via arteri radialis kanan didapatkan proksimal-mid stenosis 80-90%, distal stenosisi 80-90% di Left Anterior Descending, distal total oklusi pada Left Circumflex dan proksimal stenosis 70%, mid stenosis 70%, distal stenosis 60% pada Right Coronari Artery dengan kesimpulan Coronary Artery 3 Vessel Disease dan dianjurkan untuk PCI di LCX (gambar..). Dilanjutkan dengan tindakan balloning dan implantasi satu stent DES di distal LCX dan balloning di proksimal-mid LAD. (gambar 4) Gambar 4. Hasil angiografi koroner menunjukkan (kiri ) Proximal stenosis 70 %, Mid stenosis 70%, Distal stenosis 60 % pada segmen RCA (kanan ) Proximal- Mid Stenosis 80- 90%, distal stenosis 80-90% pada segmen Left Anterior Descending Artery (LAD) dan Distal total oklusi pada Segmen Left Circumflexa (LCx) Sesaat setelah dilakukan primary PCI pasien mengeluh nyeri pada daerah jalan kencing dan tidak tampak urin pada kantung urin. Urin kateter 13 | BULETIN KARDIOLOGI-I; 2021

dicoba untuk direposisi, kemudian tampak darah pada meatus uethra externa (MUE) dengan jumlah kurang lebih 50 cc dan pada kantung kencing tampak berwarna kemerahan. Kemudian dilakukan pemeriksaan USG suprapubik bedsite tidak tampak urin kateter dan dicurigai kateter tidak mencapai buli buli. Setelah itu pasien dikonsul ke divisi bedah urologi dengan retensi urun, hematuri yang disebabkan kecurigaan rupture urethra. Divisi urologi mendiagnosis pasien ini dengan retensi urin e.c kecurigaan ruptur uretra anterior dan dilakukan pelepasan urin kateter walaupun sulit saat pengeluaran kateter tersebut. Dicoba untuk pemasangan kembali urin kateter dengan ukuran yang lebih kecil namun tidak berhasil. Kemudian dilakukan sistostomi dengan abocath 16 dihubungkan ke urinbag dan urin berhasil dikeluarkan, dan tampak gross Hematuri. Terapi yang diberikan Ceftriaxon 1 gram intravena per 12 jam, dan parasetamol 1 gram per 8 jam. Pasien dilakukan pemeriksaan USG Abdomen dengan hasil hipertropi prostat ukuran 36 ml, dan asites. Pasien pada hari itu dikakukan pmeriksaan darah rutin control dan didapatkan penurunan HB menjadi 9,4 gr/dL. Secara klinis pasien dalam kondisi sadar, sedikit lemas, dan pada pemeriksaan fisik tampak mata subanemis dengan hemodinamik yang cukup stabil. Pemberian Aspilet dihentikan, dan hanya diberikan single antiplatelet dengan clopidogrel 75 mg/24 jam/oral. Untuk obat obatan yang lainnya sperti Atorvastatin 40 mg/24 jam/oral dan nitrogliserin 5 mcgrm/menit/sp dilanjutkan 14 | BULETIN KARDIOLOGI-I; 2021

Setelah pasien rawat jalan pasien direncanak an untuk dilakukan pelepasan urin kateter melalui sistostomi suprapubic stelah 3 minggu. Stelah 3 minggu abocath sististomi dilepas, dan di evalusi selama 1 minggu untuk menilai adanya striktur atau tidak. Setla 1 minggu, pasien sudah bisa bladder dan tidak dilakukan terapi definitif. Kemudian DAPT dilanjutkan kembali dengan menambahkan clopidogrel. III. PEMBAHASAN KASUS Pasien laki laki 73 tahun didiagnosis dengan STEMI inferopoterolateral onset 4 jam KILLIP I. Sejalan dengan pedoman saat ini, Terapi reperfusi segera baik dengan Intervensi Koroner Perkutan (IKP) atau Farmakologis, diindikasikan untuk semua pasien dengan awitan gejala angina tipikal dalam 12 jam dan peningkatan segmen ST yang 15 | BULETIN KARDIOLOGI-I; 2021

persisten pada setidaknya dua sadapan EKG yang berdekatan. Bila waktu tempuh dari tempat kejadian ( baik RS atau klinik) ke RS dengan fasililitas IKP kurang atau lebih, bila kurang dari 2 jam maka terapi reperfusi berupa IKP primer. (Ibanez et al., 2018) Gambar 5. Rekomendasi untuk referfusi terapi (Ibanez et all, 2018) Intervensi Kororner Perkutan (IKP) primer merupakan IKP emergensi dengan ballon, stent, atau alat lainnya yang dikerjakan pada arteri yang infark (Infarct related artery/IRA) tanpa terapi fibrinolotik sebelumnya. (Steg et al., 2012) Pemberian Antiplatetet dan Antikoagulan Pasien yang akan menjalani IKP primer sebaiknya mendapatkan terapi antiplatelet ganda (DAPT) berupa aspirin dan penghambat adenosin difosfat (ADP) sesegera mungkin sebelum angiografi (kelas 1A) disertai dengan antikoagulan inravena (kelas 1C). Apririn dapat dikonsumsi secara oral (160-320 mg). Pilihan penghambat reseptor ADP dapat digunakan ticagrelol (dosis loading 180 mg, diikuti dosis pemeliharaan 90 mg dua kali sehari (kelas 1 B) atau clopidogrel (disarankan dosis loading 600 mg diikuti 75 mg per hari) bila ticagrelol tidak tersedia atau kontraindikasi. (kelas 1C) 16 | BULETIN KARDIOLOGI-I; 2021

Gambar 6. Rekomendasi pemberian antiplatelet (Ibanez et al., 2018) Antikoagulan intravena harus diberikan pada IKP primer berupa Heparin yang tidak terfraksi (unfractioned heparin/UFH) dengan atau tanpa penghambat reseptor GP IIb/IIIa rutin, harus digunakan pada pasien yang tidak mendapat bivarlirudin atau enoxavarin (kelas 1C). Bisa juga digunakan Enoxaparin I.v (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP IIb/IIIa) dapat lebih dipilih dibandingkan heparin yang tidak terfraksi (kels IIa-A). Pemberian Fondaparinux tidak disrankan untuk IKP primer (kelas III-B). (Steg et al., 2012) 17 | BULETIN KARDIOLOGI-I; 2021

Gambar 7. Rekomendasi pemberian antikoagulan (Ibanez et al., 2018) Trauma uretra iatrogenik Trauma uretra iatrogenik adalah yang paling umum menyebabkan trauma uretra dan biasanya disebabkan oleh instrumentasi. Biasanya menghasilkan striktur di berbagai lokasi dan seringkali memerlukan strategi manajemen yang berbeda. Diperkirakan risiko cedera uretra karena kateterisasi yang tidak tepat selama perawatan di rumah sakit adalah 3,2 per 1000. Uretra anterior merupakan lesi yang sering terjadi, sedangkan leher kandung kemih jarang dipengaruhi oleh kateterisasi yang berkepanjangan (tingkat bukti: 1b). Gejala-gejala cedera uretra disebabkan oleh tidak tepat kateterisasi atau penggunaan instrumen adalah penis dan / atau nyeri perineum (100%) dan perdarahan uretra (86%) (level bukti : 2b) Gambar 8. Diagram penatalaksanaan untuk cedera uretra iatrogenik yang disebabkan oleh pemasangan kateter yang tidak tepat. 18 | BULETIN KARDIOLOGI-I; 2021

Jika penempatan kateter aurethral tidak mungkin, bantuan endoskopi atau penempatan tuba suprapubik diperlukan (tingkat bukti: 3). (Martínez-Piñeiro et al., 2010) Gambar 9. Penyebab paling umum dari trauma uretra Gejala lesi uretra yang disebabkan oleh terisasi atau instrumentasi kateter yang tidak tepat adalah penis dan / atau perineum nyeri (100%) dan perdarahan uretra (86%) [63] (LE: 2b). Kegagalan untuk mendiagnosis secara akurat dan mengobati cedera uretra dapat menyebabkan gejala sisa jangka panjang yang signifikan, dalam banyak kasus disajikan sebagai striktur. Pada fase akut, gejalanya adalah perdarahan dan kesulitan selama inisisasi kateter, termasuk memburuknya aliran dan gejala obstruksi. Stenting sementara dengan kateter yang ada di dalam adalah pilihan pengobatan konvensional untuk kesalahan akut bagian. Dalam kasus- kasus sulit, mungkin dibantu oleh sistoskopi dan penempatan kawat pemandu. Kateterisasi supra pubik adalah alternatif. (Summerton et al., 2012) Pada pasien ini mengalami pendarahan yang disebabkan trauma 19 | BULETIN KARDIOLOGI-I; 2021

iatrogenic kateter yang diatndai adanya obstrksi pada uretra, tampak gross hematuri stelah sistostomi dan pada pemeriksaan fisik didapatkan mata subanemis. Dan pada pemeriksaan darah rutin control didaptakan HB yang menurun. Defenisi Perdarahan pada SKA Hubungan antara pendarahan dan morbiditas dan kematian digaris bawahi oleh penelitian yang menunjukkan bahwa strategi pengurangan pendarahan dikaitkan dengan peningkatan kelangsungan hidup pada pasien dengan ACS dan mereka yang menjalani PCI. Definisi pendarahan saat ini terdiri dari parameter laboratorium, seperti penurunan skor hemoglobin dan hematokrit, dan peristiwa klinis, termasuk kebutuhan transfusi atau operasi, tamponade jantung, hematoma, dan berbagai tingkat pendarahan. Setiap definisi menggabungkan kombinasi yang berbeda dari elemen data ini dan kemudian memberi peringkat pesanan kombinasi ini ke dalam kategori keparahan, yang sangat bervariasi di antara definisi. Secara historis, definisi yang paling umum digunakan adalah Thrombolysis in Myocardial Infarction, TIMI dan Global Use of Strategies to Open Occluded arteries, GUSTO. (Mehran et al., 2011) Baru-baru ini, definisi pendarahan dalam uji coba ACS dan PCI menggabungkan parameter laboratorium dan klinis dalam upaya untuk memanfaatkan kekuatan dan mengatasi keterbatasan definisi TIMI dan GUSTO. 20 | BULETIN KARDIOLOGI-I; 2021

Gambar 10. Defenisi Perdarahan berdasarkan GUSTO dan TIMI (Mehran et al., 2011) Untuk mengatasi beberapa tantangan yang ditimbulkan oleh definisi perdarahan yang berbeda, beberapa kelompok telah mencoba untuk mengembangkan pendekatan standar untuk mengklasifikasikan dan melaporkan kejadian perdarahan. Bleeding Academic Research Consortium (BARC) yang awalnya terdiri dari empat organisasi penelitian akademis yang merancang dan melaksanakan uji klinis terhadap Drug Eluting Stent, mengembangkan definisi standar perdarahan untuk titik akhir yang digunakan dalam uji klinis stent koroner. 21 | BULETIN KARDIOLOGI-I; 2021

Gambar 11. Defenisi Perdarahan berdasarkan BARC (Mehran et al., 2011) 22 | BULETIN KARDIOLOGI-I; 2021

Perdarahan selama terapi antiplatelet dan antikoagulan Pasien dengan indikasi antikoagulasi oral diibandingkan dengan terapi OAC saja, penambahan hasil terapi DAPT ke OAC dalam setidaknya dua sampai tiga kali lipat komplikasi pendarahan. Oleh karena itu, pasien ini harus dianggap berisiko tinggi perdarahan dan indikasi untuk OAC harus ditinjau kembali dan pengobatan dilanjutkan hanya jika ada indikasi kuat.. Disarankan untuk menilai kembali jenis, dosis, dan durasi DAPT pada pasien dengan komplikasi perdarahan yang dapat ditindaklanjuti pada perawatan. Pada pasien dengan perdarahan aktif saat menggunakan DAPT, keputusan untuk menghentikan kedua agen antiplatelet, terutama jika tak lama setelah PCI, harus diambil hanya jika perdarahan mengancam jiwa dan sumbernya belum atau tidak bisa diobati. (Valgimigli et al., 2018) 23 | BULETIN KARDIOLOGI-I; 2021

24 | BULETIN KARDIOLOGI-I; 2021

Gambar 12. Rekomendasi praktis untuk manajemen perdarahan pada pasien yang diterapi dengan dual antiplatelet, dengan atau tanpa antikoagulasi oral. (Valgimigli et al., 2018) Penatalaksanaan ACS modern melibatkan campuran antitrombotik terapi dan prosedur invasif. Pedoman untuk manajemen ACS memberikan 25 | BULETIN KARDIOLOGI-I; 2021

beberapa agen rekomendasi tertinggi mereka berdasarkan data uji coba yang tersedia. Namun, semua terapi ini membawa, ke berbagai tingkat, risiko pendarahan. Komplikasi pendarahan peristiwa klinis penting, yang terkait dengan kematian selanjutnya. Pada pasien ini mengalami pendarahan yang disebakan trauma pemasangna kateter yang ditandai retensi urin dan seelah pemasangan sisitostomi tampak gross hematori, dandapa pemeriksaan tampak mata subanemis, dan terjadi penurunan HB pada pemeriksan darah rutin. Sesuai algoritma dengan klinis pendarahan dengan pendaran pada system genitourinary tractus dan penurunan HB yang lebih dari 3 gram/dL, maka pasien dimasukkan ke moderat bleeding dan pasien dihentikan pemberian antikoagulan dan aspilet, sehingga pasien hanya mendapatkan single antiplatelet (SAPT) dengan Clopidogrel. Meskipun mengurangi risiko perdarahan telah menjadi prioritas klinis, masih ada kesenjangan dalam pengetahuan tentang kejadian perdarahan dan mekanisme yang mendasari yang menjelaskan hubungan negatif. Selain itu, berbagai definisi perdarahan digunakan secara klinis penelitian sampai saat ini telah membuatnya sulit untuk membandingkan keamanan yang tersedia agen. Konsorsium Penelitian Akademik Pendarahan baru-baru ini mewakili pendekatan standar untuk menangkap informasi perdarahan langkah pertama dalam menutup kesenjangan pengetahuan, yang akan membutuhkan validasi prospektif dalam studi masa depan. Konfirmasi terbaru dari penurunan laju perdarahan bersama dengan variasi besar dalam frekuensi perdarahan dari rumah sakit ke rumah sakit juga menunjukkan itu perubahan dalam pola praktik setempat berdampak pendarahan dan seruan memperkuat perhatian dari dokter 26 | BULETIN KARDIOLOGI-I; 2021

terhadap pencegahan dan pengobatan pendarahan. Seperti yang ditunjukkan oleh Pedoman ESC, perdarahan dapat ditangani cara sederhana. Terkadang terapi antitrombotik harus sebagian atau benar-benar dihentikan dan bahkan dimusuhi oleh obat-obatan tertentu dan langkah-langkah. Pada pasien yang telah menjalani stenting dan terapi dual antiplatelet diindikasikan, menahan satu atau kedua agen antiplatelet harus selalu dianggap menempatkan pasien dengan risiko besar trombosis stent; oleh karena itu, manfaatnya gangguan pengobatan perlu ditimbang terhadap risiko trombosis stent dan penghentian pengobatan harus selalu dipertimbangkan sebagai tindak manajemen agen antiplatelet sesuai algoritma Harus sesering mungkin, terapi antiplatelet oral harus dilakukan dimulai kembali setelah kejadian perdarahan teratasi. Penatalaksanaan komplikasi perdarahan dalam situasi khusus dapat diringkas sebagai berikut: Bleeding Pendarahan kecil sebaiknya dikelola tanpa henti perawatan aktif (kelas I, tingkat bukti C). Bleeding Pendarahan besar membutuhkan interupsi dan / atau netralisasi baik terapi antikoagulan dan antiplatelet, kecuali perdarahan dapat dikontrol secara memadai oleh intervensi hemostatik spesifik (kelas I, tingkat bukti C). Transfusi darah mungkin memiliki efek buruk pada hasil dan karena itu harus dipertimbangkan secara individual, tetapi ditahan pada pasien yang secara hemodinamik stabil tanpa perdarahan terbuka dengan hematokrit, 25% atau kadar hemoglobin, 8 g / dL (kelas I, tingkat bukti C).(Steg et al., 2011). 27 | BULETIN KARDIOLOGI-I; 2021

Mekanisme Potensi Pendarahan dan Peningkatan Kematian Gambar 13. Mekanisme potensial tingkat pendarahan dengan kematian (Rao, 2015) Pada gambar menunjukkan mekanisme potensial yang mendasari hubungan antara perdarahan dan luaran klinis yang tidak diinginkan. Komplikasi perdarahan kemungkinan besar menyebabkan penghentian terapi pencegahan sekunder (Rao, 2015). Analisis pasien SKA yang terdaftar di registri PREMIER menunjukkan hubungan antara perdarahan di rumah sakit dan penggunaan yang lebih rendah dari aspirin dan tiopiridin saat rawat jalan. (Wang et al., 2008) Selanjutnya transfusi darah dapat meningkatkan resiko thrombosis dan kemudian infark miokard. Secara mekanis, transfusi dapat mempengaruhi oksigenasi miokard dengan membatasi pengiriman oksigen ke jaringan miokard yang mengalami iskemik. Dalam keadaan hipoksia, hantaran oksigen dipertahankan melalui mekanisme kompensasi 28 | BULETIN KARDIOLOGI-I; 2021

vasodilatasi kompensasi. Respon vasodilatasi ini menurun pada pembuluh koroner yang memiliki stenosis signifikan, dan sebagai respon selanjutnya akan terjadi peningkatan denyut jantung. (Rao, 2015) Gambar 14. Mekanisme Potensi Pendarahan dan Peningkatan Kematian (Steg et al., 2011) Peningkatan denyut jantung pada SKA akan meningkatkan kebutuhan oksigen, dan meskipun transfusi tampaknya meningkatkan hantaran oksigen, studi menunjukkan bahwa sel darah merah yang disimpan tanpa oksida nitrat dan 2,3 difosfogliserat, lebih lanjut meningkatkan vasokonstriksi, dan tidak meningkatkan oksigenasi jaringan. (Rao and Sunil, 2015)19 Akhirnya dapat mengganggu penghantaran oksigen ke miokardium, yang mengakibatkan peningkatan risiko infark miokard berulang. (Cooper et al., 2011). Studi acak prospektif membandingkan strategi transfusi pada SKA. Studi ini membandingkan ambang batas 8 g / dL (hematokrit 24%) versus 10 g / dL (hematokrit 29 | BULETIN KARDIOLOGI-I; 2021

30%) dan menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Pada studi CRIT Pilot pada 65 pasien dengan SKA terlihat strategi transfusi liberal (yaitu, transfusi untuk hematokrit ≤30%) menghasilkan tingkat kematian di rumah sakit yang lebih tinggi, IMA berulang, atau perburukan gagal jantung baru dibandingkan dengan strategi konservatif (liberal 38% vs restriktif 13%; P = 0.046). .(Cooper et al,2011) Strategi Terapi SKA setelah kejadian Perdarahan Setelah terjadinya kejadian perdarahan, penatalaksanaan tergantung pada tingkat keparahan dan lokasinya. Peristiwa perdarahan ringan seperti memar atau ekimosis dapat ditangani secara konservatif tanpa menghentikan terapi antitrombotik. Kebutuhan akan terapi antiplatelet harus selalu dievaluasi ulang setelah terjadinya perdarahan dan disesuaikan dengan risiko pasien mengalami kejadian iskemik dan hemoragik berulang. Risiko kejadian iskemik baru meningkat setelah onset SKA, terutama selama 3 bulan pertama, dan tetap meningkat hingga 1 tahun. Setelah perdarahan, tidak ada studi acak terkontrol yang dapat menjadi acuan untuk menghentikan atau memulai kembali satu atau kedua agen antiplatelet. Pada pasien dengan riwayat pemasangan stent koroner, penghentian lebih awal dari salah satu atau kedua agen antiplatelet (terutama penghambat P2Y12) telah terbukti menjadi prediktor terkuat dari kejadian thrombosis stent koroner. Diagram manajemen kedian perdarahan pada pasien dengan terapi dual anti platelet ditunjukkan pada Gambar . (Valgimigli et al., 2018) Karena perdarahan pada pasien ini tergolong perdarahan sedang, diputuskan untuk menghentikan terapi dual anti platelet, menghentikan koagulan dan melanjutkan dengan SAPT dengan menggunakan 30 | BULETIN KARDIOLOGI-I; 2021

clopidogrel 75 mg. Oleh karena itu dengan Hb 9 gr/dl, yang sudah melebihi batas ambang minimal, diputuskan untuk tidak dilakukan transfusi darah pada pasien ini. Gambar 15. Terapi lainnya untuk manjemen STEMI (Steg et al., 2011) Pemberian terapi lainnya diperlukan untuk manajemen pasien dengan STEMI. Pemberian statin, nitrat dan antihipertensi. Pemberian concor dihentikan semetara karena pasien bradikar.di Pemberian DAPT sesuai Stratifikasi risiko untuk iskemia dan risiko perdarahan Mengingat trade-off antara risiko iskemik vs perdarahan untuk durasi DAPT tertentu, penggunaan skor mungkin terbukti berguna untuk 31 | BULETIN KARDIOLOGI-I; 2021

menyesuaikan durasi DAPT untuk memaksimalkan perlindungan iskemik dan meminimalkan risiko perdarahan pada pasien individu. Gambar 15. Rekomendasi untuk menggunakan risk score untuk durasi penggunaan DAPT (Valgimigli et al., 2018) Setidaknya 6 skor telah dikembangkan yang memprediksi risiko perdarahan jangka panjang pada pasien yang memakai terapi antiplatelet. European Society of Cardiology 2017 memfokuskan pembaruan pada DAPT pada penyakit arteri koroner (CAD) direkomendasikan (rekomendasi Kelas IIb, Level of Bukti A) bahwa penggunaan skor risiko seperti PRECISE-DAPT (Prediksi Komplikasi Perdarahan Pada Pasien yang Menjalani Implantasi Stent dan Terapi Anti Platelet Selanjutnya) dan skor DAPT dapat dipertimbangkan untuk memandu terapi antiplatelet setelah PCI (Urban et al., 2019) Penelitian kolaboratif PRECISE-DAPT (PREdicting bleeding Complications In patients undergoing Stent implantation and subsEquent Dual Anti Platelet Therapy), suatu studi kolaboratif mencakup total 14.963 pasien 32 | BULETIN KARDIOLOGI-I; 2021

dengan CAD yang menjalani PCI elektif, mendesak, atau darurat dan menghasilkan lima item (usia, CrCl, hemoglobin, jumlah sel darah putih, dan pendarahan spontan sebelumnya) algoritma memprediksi untuk perdarahan di luar rumah sakit pada pasien dengan DAPT. Pasien yang dianggap berisiko perdarahan tinggi berdasarkan PRECISE-DAPT (skor PRECISE-DAPT ≥25), DAPT yang diperpanjang dikaitkan dengan tidak ada manfaat iskemik tetapi beban perdarahan yang luar biasa. Di sisi lain, pengobatan yang lebih lama pada pasien tanpa risiko perdarahan tinggi (skor PRECISE-DAPT <25) dikaitkan dengan tidak adanya peningkatan perdarahan dan penurunan yang signifikan pada titik akhir iskemik komposit MI, trombosis stent tertentu, stroke, dan revaskularisasi pembuluh darah target. Oleh karena itu, memilih durasi pengobatan yang lebih pendek dari 12 bulan pada pasien yang dianggap berisiko tinggi perdarahan dapat mencegah paparan terhadap bahaya perdarahan yang berlebihan. Pasien dengan risiko perdarahan tidak tinggi mungkin menerima pengobatan standar (yaitu 12 bulan) atau diperpanjang (yaitu> 12 bulan) jika dapat ditoleransi. Namun, tidak satupun dari model prediksi risiko ini telah diuji secara prospektif dalam pengaturan RCT. Oleh karena itu, nilainya dalam meningkatkan hasil pasien masih belum jelas. 33 | BULETIN KARDIOLOGI-I; 2021

Tabel. Risk score untuk memutuskan durasi DAPT (Valgimigli et al., 2018) Pada kasus ini pasien setelah penyebab pendarahan teratasi, pemeberian DAPT diberikan kembali setelah perhitungan bleeding risk dengan risk sore PRECISE DAPT. Skor yang didapatkan 20 (WBC 8000=1; HB 12,1=0, Age 73=11, CrCI 76=7, prior bleeding=0). Sehingga pasien dapat diberikan DAPT selama 12 bulan. IV. KESIMPULAN Perdarahan yang disebabkan karena rupture uretra yang diketahui setelah primary PCI pada pasien SKA dikaitkan dengan tingkat kematian yang tinggi, rekurensi IMA, trombosis stent koroner, dan rawat inap yang berkepanjangan. Keputusan untuk menunda, mengurangi atau melanjutkan terapi dual anti platelet tergantung pada resiko iskemik dan risiko perdarahan berulang / berkepanjangan. 34 | BULETIN KARDIOLOGI-I; 2021

Oleh karena perdarahan pada pasien ini tergolong perdarahan sedang dengan diputuskan untuk menghentikan terapi dual anti platelet dengan aspirin 80 mg dan clopidogrel 75 mg, dan pemberian antikoagulan menjadi pemberian SAPT dengan clopidogrel. Namun diperlukan pemantauan ketat untuk kemungkinan kejadian perdarahan yang lebih berat. Dengan kadar Hb setelah terjadi perdarahan 9.4 mg/dl diputuskan untuk tidak melakukan transfusi pada pasien. 35 | BULETIN KARDIOLOGI-I; 2021

DAFTAR PUSTAKA 1. Cooper, H. A. et al. (2011) ‘Conservative versus liberal red cell transfusion in acute myocardial infarction (the CRIT Randomized Pilot Study)’, American Journal of Cardiology, 108(8), pp. 1108–1111. doi: 10.1016/j.amjcard.2011.06.014. 2. Ibanez, B. et al. (2018) ‘2017 ESC Guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients presenting with ST-segment elevation’, European Heart Journal, 39(2), pp. 119–177. doi: 10.1093/eurheartj/ehx393. 3. Martínez-Piñeiro, L. et al. (2010) ‘EAU Guidelines on Urethral Trauma.’, European urology, 57(5), pp. 791–803. doi: 10.1016/j.eururo.2010.01.013. 4. Mehran, R. et al. (2011) ‘Standardized bleeding definitions for cardiovascular clinical trials: A consensus report from the bleeding academic research consortium’, Circulation, 123(23), pp. 2736–2747. doi: 10.1161/CIRCULATIONAHA.110.009449. 5. Pham, P. A. et al. (2011) ‘Implications of bleeding in acute coronary syndrome and percutaneous coronary intervention’, Vascular Health and Risk Management, 7(1), pp. 551– 567. doi: 10.2147/VHRM.S23862. 6. Rao, S. V. (2015) ‘The conundrum of reducing ischemic and bleeding events after PCI’, Journal of the American College of Cardiology, 65(14), pp. 1421–1423. doi: 10.1016/j.jacc.2015.02.012. 7. Steg, P. G. et al. (2011) ‘Bleeding in acute coronary syndromes and percutaneous coronary interventions: Position paper by the Working 36 | BULETIN KARDIOLOGI-I; 2021

Group on Thrombosis of the European Society of Cardiology’, European Heart Journal, 32(15), pp. 1854–1864. doi: 10.1093/eurheartj/ehr204. 8. Steg, P. G. et al. (2012) ‘ESC Guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients presenting with ST-segment elevation’, European Heart Journal, 33(20), pp. 2569–2619. doi: 10.1093/eurheartj/ehs215. 9. Summerton, D. J. et al. (2012) ‘EAU Guidelines on iatrogenic trauma’, European Urology, 62(4), pp. 628–639. doi: 10.1016/j.eururo.2012.05.058. 10. Urban, P. et al. (2019) ‘Defining High Bleeding Risk in Patients Undergoing Percutaneous Coronary Intervention’, Circulation, 140(3), pp. 240–261. doi: 10.1161/CIRCULATIONAHA.119.040167 11. Valgimigli, M. et al. (2018) ‘2017 ESC focused update on dual antiplatelet therapy in coronary artery disease developed in collaboration with EACTS’, European Journal of Cardio-thoracic Surgery, 53(1), pp. 34–78. doi: 10.1093/ejcts/ezx334. 12. Viles-Gonzalez, J. F., Fuster, V. and Badimon, J. J. (2004) ‘Atherothrombosis: A widespread disease with unpredictable and life- threatening consequences’, European Heart Journal, 25(14), pp. 1197–1207. doi: 10.1016/j.ehj.2004.03.011. 13. Wang, T. Y. et al. (2008) ‘Antiplatelet therapy use after discharge among acute myocardial infarction patients with in-hospital bleeding’, Circulation, 118(21), pp. 2139–2145. doi: 10.1161/CIRCULATIONAHA.108.787143. 37 | BULETIN KARDIOLOGI-I; 2021

38 | BULETIN KARDIOLOGI-I; 2021


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook