KUMPULAN KARYA PROSA FIKSI CERITA RAKYAT
1 Asal Mula Kota Cianjur Pada jaman dahulu di daerah Jawa Barat ada seorang lelaki yang sangat kaya. Seluruh sawah dan lading di desanya menjadi miliknya. Penduduk desa hanya menjadi buruh tani penggarap sawah dan lading lelaki kaya itu. Orang kaya itu oleh penduduk desa dijuluki Pak Kikir karena memang dia adalah orang yang sangat kikir. Kekikirnya Pak kikr tidak pandang bulu, sampai-sampai terhadap anak lelaki satu-satunya pun dia juga sangat pelit. Untunglah sifat kikir itu tidak menular pada anak lelakinya itu. Anak Pak Kikir itu berwatak baik. Tanpa sepengetahuan ayahnya, sering dia membantu tetangganya yang kesusahan. Menurut anggapan dan kepercayaan masyarakat desa itu, jika menginginkan hasil panen yang baik dan melimpah maka harus diadakan pesta syukuran denga baik pula. Takut jika panen berikutnya gagal, maka Pak Kikir terpaksa mengadakan pesta syukuran dan selamatan semua warga desa diundang oleh Pak Kikir. Penduduk desa mengira akan mendapatkan makanan yang enak dan lezat dalam selamatan itu. Perkiraan itu meleset, ternyata Pak Kikir hanya menyediakan hidangan ala kadarnya, itupun tidak cukup untuk
2 menjamu seluruh orang yang diundang. Banyakdinatara undangan yang tidak mendapat makanan. Mereka akhirnya hanya dapat mengelus dada atas sikap Pak Kikir yang lagi-lagi terbukti kikir. ”Huh! Sudah berani mengundang orang ternyata tidak dapat menyediakan makanan, sungguh keterlaluan, buat apa hartanya yang segudang itu?!” ”Tuhan tidak akan memberikan berkah pada jartanya yang banyak itu!” Demikianlah pergunjingan dan sumpah serapah dari orang-orang miskin mewarnai pesta selamatan yang diadakan Pak Kikir. Pada saat pesta selamatan sedang berlangsung, tiba-tiba datanglah seorang nenek tua renta yang meminta sedekah pada Pak Kikir. ”Tuan… berilah saya sedekah, walau hanya dengan sesuap nasi…”rintih nenek tua itu ”Apa?! Sedekah? Kau kira untuk menanak nasi tidak diperlukan jerih payah?” ”Berilah saya sedikit saja dari harta tuan yang berlimpah ruah itu…” ”Tidak! Cepat pergi dari sini, kalau tidak, aku akan suruh tukung pukulku untuk meghajarmu!” Nenek itu nampak mengeluarkan air mata. Demikianlah nenek tua itu tidak mendapat sedekah tetapi malah diusir sevcara kasar oleh Pak Kikir. Dia segera meninggalkan halaman rumah Pak Kikir. Melihat kejadian itu putera Pak Kikir sangat sedih. Diam-diam dia mengambil jatah makan siangnya, lalu dikejarnya nenek yang sudah sampai di ujung desanya itu, diberikannya makanan itu kepada si nenek. Nenek itu merasa sangat bergembira. “Sungguh baik engkau, Nak, semoga kelak hidupmu menjadi mulia.” Setelah si anak muda itu pergi, si nenek melanjutkan perjalanannya. Sampailah dia di sebuah bukit dekat desa, dia berhenti sejenak. dilihatnya rumah milik Pak Kikir yang palling besar dan megah di desa itu. Sementara penduduk sekelilingnya menderita katrena ketamakan Pak Kikir. Karena melihat kelakukan Pak Kikir itu, si nenek marah dan berkata, “Ingat-ingatlah Pak Kikir, keserakahan dan kekikiranmu akan
3 menenggelamkan dirimu sendiri. Tuhan akan menimpakan hukuman kepadamu!” Nenek itu lalu menancapkan tongkatnya di tanah, lalu dicabutnya lagi. Dari lubang tancapan itu memancar air yang sangat deras. Makin lama air itu makin besar dan menuju ke desa. “Banjir! Banjirrr!” teriak orang-orang desa yang mulai panik melihat datangnya air bah dari lembah itu. Anak Pak Kikir segera menganjurkan orang- orang agar segera meninggalkan desa dan lari ke atas bukit. “Cepat tinggalkan desa ini, larilah ke atas bukit yang aman!” “Tapi sawah dan ternak kita bagaimana?” “Kalian pilih harta atau jiwa? Sudah tidak ada waktu untuk membawa harta lagi!” Anak Pak Kikir yang bijak itu terus berteriak-teriak mengingatkan penduduk desa. Ia juga membujuk ayahnya agar segera keluar rumah. ”Ayah, cepat tingga;lkan rumah ini, kita harus segera keluar menyelamatkan diri!” ”Apa? Lari begitu saja? Tolol! Aku harus mengambil peti hartaku yang kusimpan di dalam tanah dulu!” Karena tidak ada waktu, anak Pak Kikir segera berlari menyelamatkan diri, sementara Pak Kikir terus mengumpulkan harta bendanya. Dia terlambat menyelamatkna diri, akhirnya tenggelam dalam arus air bah. Sebagian besar penduduk desa termasuk putera Pak Kikir selamat. Mereka sedih melihat desanya tenggelam. Kemudian mereka memutuskan untuk mencari daerah baru. Mereka mengangkat anak Pak Kikir sebagai pemimpin desa mereka yang baru. Putera Pak Kikir lalu menganjurkan penduduk untuk mengolah tanah yang telah dibagi rata. Pimpinan desa baru itu mengajari penduduk menanam padi dan bagaimana mengairi sawah secara baik. Desa itu kemudian disebut desa Anjuran, penduduk desa selalu mematuhi anjuran pimpinannnya. Lama kelamaan desa itu berkembang menjadi kota kecil disebut Cianjur. Ci berarti air. Cianjur berarti daerah yang cukup mengandung air. Anjuran pemimpin desa dijadikan pedoman para petani dalam mengolah sawah, maka sampai sekarang ini bersa Cianjur dikenal sangat enak dan gurih.
4 Nyi Anteh Si Penunggu Bulan Pada jaman dahulu kala di Jawa Barat ada sebuah kerajaan bernama kerajaan Pakuan. Pakuan adalah kerajaan yang sangat subur dan memiliki panorama alam yang sangat indah. Rakyatnya pun hidup damai di bawah pimpinan raja yang bijaksana. Di dalam istana ada dua gadis remaja yang sama- sama jelita dan selalu kelihatan sangat rukun. Yang satu bernama Endahwarni dan yang satu lagi bernama Anteh. Raja dan Ratu sangat menyayangi keduanya, meski sebenarnya kedua gadis itu memiliki status sosial yang berbeda. Putri Endahwarni adalah calon pewaris kerajaan Pakuan, sedangkan Nyai Anteh adalah hanya anak seorang dayang kesayangan sang ratu. Karena Nyai Dadap, ibu Nyai Anteh sudah meninggal saat melahirkan Anteh, maka sejak saat itu Nyai Anteh dibesarkan bersama Putri Endahwarni yang kebetulan juga baru lahir. Kini setelah Nyai Anteh menginjak remaja, dia pun diangkat menjadi dayang pribadi Putri Endahwarni. “Kau jangan memanggilku Gusti Putri kalau sedang berdua denganku,” kata Putri. “Bagiku kau tetap adik tercintaku, tidak peduli satatusmu yang hanya seorang dayang. Sejak bayi kita dibesarkan bersama, maka sampai kapan pun kita akan tetap bersaudara. Awas, ya! Kalau lupa lagi, kamu akan aku hukum!” “Baik, Kakak!” jawab Nyai Anteh. “Anteh, sebenarnya aku iri padamu,” kata Putri. “Ah, iri kenapa, Kak. Saya tidak punya sesuatu yang bisa membuat orang lain iri,” kata Anteh heran.
5 “Apa kau tidak tahu bahwa kamu lebih cantik dariku. Jika kamu seorang Putri, pasti sudah banyak pangeran yang meminangmu,” ujar Putri sambil tersenyum. “Hahaha.. Kakak bisa saja. Mana bisa wajah jelek seperti ini dibilang cantik. Kemarin saja waktu pangeran dari kerajaan sebrang datang, dia sampai terpesona melihat Kakak. Iya kan, Kak?” jawab Anteh dengan semangat. “Ah, kamu bisa saja. Itu karena waktu itu kau memilihkan baju yang cocok untukku. Oh ya, kau buat di penjahit mana baju itu?” tanya Putri. “Itu…itu…saya yang jahit sendiri, Kak.” jawab Anteh. “Benarkah? Wah aku tidak menyangka kau pandai menjahit. Kalau begitu lain kali kau harus membuatkan baju untukku lagi ya. Hmm…mungkin baju pengantinku?” seru Putri. “Aduh, mana berani saya membuat baju untuk pernikahan Kakak. Kalau jelek, saya pasti akan dimarahi rakyat,” kata Anteh ketakutan. “Tidak akan gagal! Kemarin baju pesta saja bisa… jadi baju pengantin pun pasti bisa,” kata Putri tegas. Suatu malam ratu memanggil Putri Endahwarni dan Nyai Anteh ke kamarnya. “Endah Putriku, ada sesuatu yang ingin Ibu bicarakan,” kata ratu. “Ya, Ibu,” jawab Putri. “Endah, kau adalah anakku satu-satunya. Kelak kau akan menjadi ratu menggantikan ayahmu memimpin rakyat Pakuan,” ujar ratu. “Sesuai ketentuan keraton kau harus memiliki pendamping hidup sebelum bisa diangkat menjadi ratu.” “Maksud Ibu, Endah harus segera menikah?” tanya Putri. “Ya Nak, dan Ibu juga ayahmu sudah berunding dan sepakat bahwa calon pendamping yang cocok untukmu adalah Anantakusuma, anak adipati dari Kadipaten Wetan. Dia pemuda yang baik dan terlebih lagi dia gagah dan tampan. Kau pasti akan bahagia bersamanya,” kata ratu. “Dan kau Anteh, tugasmu adalah menjaga dan menyediakan keperluan kakakmu supaya tidak terjadi apa-apa padanya.” “Baik, Gusti Ratu,” jawab Anteh. Malam itu Putri Endahwarni meminta Nyai Anteh untuk menemaninya. “Aku takut sekali, Anteh,” kata Putri dengan sedih. “Bagaimana aku bisa
6 menikah dengan orang yang sama sekali tidak aku kenal. Bagaimana kalau dia tidak mencintaiku?” “Kakak jangan berpikiran buruk dulu,” hibur Anteh. “Saya yakin gusti Raja dan Ratu tidak akan sembarangan memilih jodoh buat kakak. Dan pemuda mana yang tidak akan jatuh hati melihat kecantikan kakak. Ah sudahlah, kakak tenang dan berdoa saja. Semoga semuanya berjalan lancar.” Suatu pagi yang cerah, Anteh sedang mengumpulkan bunga melati untuk menghias sanggul Putri Endahwarni. Anteh senang menyaksikan bunga-bunga yang bermekaran dan kupu-kupu saling berebut bunga. Dia mulai bersenandung dengan gembira. Suara Anteh yang merdu terbang tertiup angin melewati tembok istana. Saat itu seorang pemuda tampan sedang melintas di balik tembok taman istana. Dia tepesona mendengar suara yang begitu merdu. Ternyata pemuda itu adalah Anantakusuma. Dia sangat sakti, maka tembok istana yang begitu tinggi dengan mudah dilompatinya. Dia bersembunyi di balik gerumbulan bunga, dan tampaklah olehnya seorang gadis yang sangat cantik. Anantakusuma merasakan dadanya bergetar, “alangkah cantiknya dia, apakah dia Putri Endahwarni calon istriku?” batinnya. Anantakusuma keluar dari persembunyiannya. Anteh terkejut ketika tiba-tiba di hadapannya muncul pemuda yang tidak dikenalnya. “Siapa Tuan?” tanya Anteh. “Aku Anantakusuma. Apakah kau…..” Belum sempat Anantakusuma bertanya seseorang memanggil Anteh. “Anteh! Cepat! Putri memanggilmu!” kata seorang dayang. “Ya. Saya segera datang. Maaf, Tuan, saya harus pergi,” kata Anteh yang langsung lari meninggalkan Anantakusuma. “Dia ternyata bukan Endahwarni,” pikir Anantakusuma. “Dan aku jatuh cinta padanya. Aku ingin dialah yang jadi istriku.” Beberapa hari kemudian, di istana terlihat kesibukan yang lain daripada biasanya. Hari ini Adipati Wetan akan datang bersama anaknya, Anantakusuma, untuk melamar Putri Endahwarni secara resmi. Raja dan Ratu menjamu tamunya dengan sukacita. Putri Endahwarni juga tampak senang melihat calon suaminya yang sangat gagah dan tampan. Lain halnya dengan Anantakusuma yang terlihat tidak semangat. Dia kecewa karena ternyata bukan gadis impiannya yang akan dinikahinya.
7 Tibalah saat perjamuan. Anteh dan beberapa dayang istana lainnya masuk ke ruangan dengan membawa nampan-nampan berisi makanan. “Silahkan mencicipi makanan istimewa istana ini,” kata Anteh dengan hormat. “Terima kasih Anteh, silahkan langsung dicicipi,” kata Raja kepada para tamunya. Anantakusuma tertegun melihat gadis impiannya kini ada di hadapannya. Kerongkongannya terasa kering dan matanya tak mau lepas dari Nyai Anteh yang saat itu sibuk mengatur hidangan. Kejadian itu tidak luput dari perhatian Putri Endahwarni. Pahamlah ia bahwa calon suaminya telah menaruh hati pada gadis lain, dan gadis itu adalah Anteh. Putri Endahwarni merasa cemburu, kecewa dan sakit hati. Timbul dendam di hatinya pada Anteh. Dia merasa Antehlah yang bersalah sehinggga Anantakusuma tidak mencintainya. Setelah perjamuan selesai dan Putri kembali ke kamarnya, Anteh menemui sang Putri. “Bagaimana, Kak? Kakak senang kan sudah melihat calon suami Kakak? Wah, ternyata dia sangat tampan, ya?” kata Anteh. Hati Putri Endahwarni terasa terbakar mendengar kata-kata Anteh. Dia teringat kembali bagaimana Anantakusuma memandang Anteh dengan penuh cinta. “Anteh, mulai saat ini kau tidak usah melayaniku. Aku juga tidak mau kau ada di dekatku. Aku tidak mau melihat wajahmu,” kata Putri Endahwarni. “A..apa kesalahanku, Kak? Kenapa Kakak tiba-tiba marah begitu?” tanya Anteh kaget. “Pokoknya aku sebal melihat mukamu!” bentak Putri. “Aku tidak mau kau dekat-dekat denganku lagi…Tidak! Aku tidak mau kau ada di istana ini. Kau harus pergi dari sini hari ini juga!” “Tapi kenapa, Kak? Setidaknya katakanlah apa kesalahanku?” tangis Anteh. “Ah jangan banyak tanya. Kau sudah mengkianatiku. Karena kau, Anantakusuma tidak mencintaiku. Dia mencintaimu. Aku tahu itu. Dan itu karena dia melihat kau yang lebih cantik dariku. Kau harus pergi dari sini Anteh, biar Anantakusuma bisa melupakanmu!” kata Putri.
8 “Baiklah kak, aku akan pergi dari sini. Tapi kak, sungguh saya tidak pernah sedikitpun ingin mengkhianati kakak. Tolong sampaikan permohonan maaf dan terima kasih saya pada Gusti Raja dan Ratu.” Anteh beranjak pergi dari kamar Putri Endahwarni menuju kamarnya lalu mulai mengemasi barang-barangnya. Kepada dayang lainnya dia berpesan untuk menjaga Putri Endahwarni dengan baik. Nyai Anteh berjalan keluar dari gerbang istana tanpa tahu apa yang harus dilakukannya di luar istana. Tapi dia memutuskan untuk pergi ke kampung halaman ibunya. Anteh belum pernah pergi kesana, tapi waktu itu beberapa dayang senior pernah menceritakannya. Ketika hari sudah hampir malam, Anteh tiba di kampung tempat ibunya dilahirkan. Ketika dia sedang termenung memikirkan apa yang harus dilakukan, tiba-tiba seorang laki-laki yang sudah berumur menegurnya. “Maaf Nak, apakah anak bukan orang sini?” tanyanya. “Iya, Paman, saya baru datang!” kata Anteh ketakutan. “Oh, maaf, bukan maksudku menakutimu, tapi wajahmu mengingatkanku pada seseorang. Wajahmu mirip sekali dengan kakakku Dadap,” “Dadap? Nama ibuku juga Dadap. Apakah kakak paman bekerja di istana sebagai dayang?” tanya Anteh. “Ya….! Apakah….kau anaknya Dadap?” tanya paman itu. “Betul, Paman!” jawab Anteh. “Oh, kalau begitu kau adalah keponakanku. Aku adalah pamanmu Waru, adik ibumu,” kata paman tersebut yang akhirnya mengenalkan diri sebagai Waru dengan mata berkaca-kaca. “Benarkah? Oh, Paman akhirnya aku menemukan keluarga ibuku!” kata Anteh dengan gembira. “Sedang apakah kau disini? Bukankah kau juga seorang dayang?” tanya Paman Waru. “Ceritanya panjang, Paman. Tapi bolehkah saya minta ijin untuk tinggal di rumah Paman? Saya tidak tahu harus kemana,” pinta Anteh. “Tentu saja, Nak, kau adalah anakku juga. Tentu kau boleh tinggal di rumahku. Ayo kita pergi!” kata Paman Waru.
9 Sejak saat itu Anteh tinggal di rumah pamannya di desa. Untuk membantu pamannya, Anteh menerima pesanan menjahit baju. Mula-mula Anteh menjahitkan baju-baju tetangga, lama-lama karena jahitannya yang bagus, orang-orang dari desa yang jauh pun ikut menjahitkan baju mereka kepada Anteh. Sehingga ia dan keluarga pamannya bisa hidup cukup dari hasilnya menjahit. Bertahun-tahun telah berlalu. Anteh kini sudah bersuami dan memiliki dua orang anak. Suatu hari di depan rumahnya berhenti sebuah kereta kencana dan banyak sekali pengawal yang menunggang kuda. Begitu pemilik kereta kencana itu melongokkan kepalanya, Anteh menjerit. Ternyata itu adalah Putri Endahwarni. Putri Endahwarni turun dari kereta dan langsung menangis memeluk Anteh. “Oh Anteh, sudah lama aku mecarimu! Kemana saja kau selama ni? Kenapa tidak sekalipun kau menghubungiku? Apakah aku benar-benar menyakiti hatimu? Maafkan aku, Anteh. Waktu itu aku kalap, sehingga aku mengusirmu padahal kau tidak bersalah. Maafkan aku…” tangis Putri. “Gusti…jangan begitu. Seharusnya aku yang minta maaf karena telah membuatmu gusar,” kata Anteh. “Tidak. Akulah yang bersalah. Untuk itu Anteh, kau harus ikut denganku kembali ke istana!” pinta Putri. “Tapi Putri, aku sekarang punya suami dan anak. Saya juga bekerja sebagai penjahit. Jika saya pergi, mereka akan kehilangan,” jawab Anteh. “Suami dan anak-anakmu tentu saja harus kau bawa juga ke istana,” kata Putri sambil tertawa. “Mengenai pekerjaanmu, kau akan kuangkat sebagai penjahit istana. Bagaimana? Kau tidak boleh menolak, ini perintah!” Akhirnya Anteh dan keluarganya pindah ke istana. Putri Endahwarni telah membuatkan sebuah rumah di pinggir taman untuk mereka tinggal. Namun Anteh selalu merasa tidak enak setiap bertemu dengan Pangeran Anantakusuma, suami Putri Endahwarni. Pangeran Anantakusuma ternyata tidak pernah melupakan gadis impiannya. Kembalinya Anteh telah membuat cintanya yang terkubur bangkit kembali. Mulanya Pangeran Anantakusuma mencoba bertahan dengan tidak memperdulikan kehadiran Anteh. Namun semakin lama cintanya semakin menggelora. Hingga suatu malam Pangeran Anantakusuma nekat pergi ke taman istana, siapa tahu dia bisa bertemu dengan Anteh. Benar saja. Dilihatnya Anteh
10 sedang berada di beranda rumahnya, sedang bercanda dengan Candramawat, kucing kesayangannya sambil menikmati indahnya sinar bulan purnama. Meski kini sudah berumur, namun bagi Pangeran Anantakusuma, Anteh masih secantik dulu saat pertama mereka bertemu. Perlahan-lahan didekatinya Anteh. “Anteh!” tegurnya. Anteh terkejut. Dilihatnya Pangeran Antakusuma berdiri di hadapannya. “Pa..Pangeran? kenapa Pangeran kemari? Bagaimana kalau ada orang yang melihat?” tanya Anteh ketakutan. “Aku tidak perduli. Yang penting aku bisa bersamamu. Anteh tahukah kau? Bahwa aku sangat mencintaimu. Sejak kita bertemu di taman hingga hari ini, aku tetap mencintaimu,” kata Pangeran. “Pangeran, kau tidak boleh berkata seperti itu. Kau adalah suami Putri Endahwarni. Dia adalah kakak yang sangat kucintai. Jika kau menyakitinya, itu sama saja kau menyakitiku,” kata Anteh sambil memeluk Candramawat. “Aku tidak bisa… Aku tidak bisa melupakanmu! Kau harus menjadi milikku, Anteh! Kemarilah, biarkan aku memelukmu!” kata Pangeran sambil berusaha memegang tangan Anteh. Anteh mundur dengan ketakutan. “Sadarlah, Pangeran! Kau tidak boleh mengkhianati Gusti Putri.” Namun Pangeran Anantakusuma tetap mendekati Anteh. Anteh yang ketakutan berusaha melarikan diri. Namun pangeran Anantakusuma tetap mengejarnya. “Oh Tuhan, tolonglah hamba-Mu ini!” doa Anteh, “Berilah hamba kekuatan untuk bisa lepas dari Pangeran Anantakusuma. Hamba tahu dia sangat sakti. Karena itu tolonglah Hamba. Jangan biarkan dia menyakiti hamba dan kakak hamba!” Tiba-tiba Anteh merasa ada kekuatan yang menarik tubuhnya ke atas. Dia mendongak dan dilihatnya sinar bulan menyelimutinya dan menariknya. Pangeran Anantakusuma hanya bisa terpana menyaksikan kepergian Anteh yang semakin lama semakin tinggi dan akhirnya hilang bersama sinar bulan yang tertutup awan. Sejak saat itu Nyai Anteh tinggal di bulan, sendirian dan hanya ditemani kucing kesayangannya. Dia tidak bisa kembali ke bumi karena takut pangeran Anantakusuma akan mengejarnya. Jika rindunya pada keluarganya sudah tak dapat ditahan, dia akan menenun kain untuk dijadikan tangga. Tapi sayang
11 tenunannya tidak pernah selesai karena si kucing selalu merusaknya. Kini jika bulan purnama kita bisa melihat bayangan Nyai Anteh duduk menenun ditemani Candramawat.
12 Asal Usul Telaga Warna Dahulu kala sebuah kerajaan berdiri di Jawa Barat. Kerajaan itu diperintah oleh seorang Prabu yang arif bijaksana. Rakyatnya hidup sejahtera. Sayang sekali Prabu dan permaisurinya tidak dikaruniai keturunan. Bertahun- tahun mereka menunggu kehadiran seorang anak, hingga sang Prabu memutuskan untuk pergi ke hutan dan berdoa. Ia memohon kepada Yang Maha Kuasa untuk memberinya keturunan. Seluruh kerajaan ikut bergembira ketika akhirnya doa Prabu dan Permaisuri dikabulkan. Permaisuri mengandung dan melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik. Puteri tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik. Karena ia puteri satu- satunya dan kelahirannya dulu begitu lama dinantikan, ia sangat dimanja. Semua keinginannya dituruti. Sekarang sang puteri sudah dewasa. Sebentar lagi ia akan berusia tujuh belas tahun. Rakyat kerajaan mengumpulkan banyak sekali hadiah untuk puteri tercinta mereka. Sang Prabu mengumpulkan semua hadiah dari rakyat dan berniat akan membagi-bagikannya kembali kepada mereka. Ia hanya menyisihkan sedikit perhiasan emas dan beberapa batu permata. Ia kemudian meminta tukang perhiasan untuk melebur emas itu dan membuatnya menjadi sebuah kalung permata yang indah untuk puterinya. Pada hari ulang tahun sang puteri, Prabu menyerahkan kalung itu.
13 “Puteriku, sekarang kau sudah dewasa. Lihatlah kalung yang indah ini. Kalung ini hadiah dari rakyat kita. Mereka sangat menyayangimu. “ “Pakailah kalung ini, Nak.” Rakyat kerajaan sengaja datang berduyun-duyun untuk melihat sang puteri pada hari ulang tahunnya. Mereka ingin melihat kalung yang sangat elok bertaburan batu permata berwarna-warni itu menghias leher puteri kesayangan mereka. Puteri hanya melirik kalung itu sekilas. Prabu dan Permaisuri membujuknya agar mau mengenakan kalung itu. “Aku tidak mau,’ jawab Puteri singkat. “Ayolah, Nak,” kata permaisuri, ia mengambil kalung itu hendak memakaikannya di leher puterinya. Namun puteri menepis tangan permaisuri hingga kalung itu terbanting ke lantai. “Aku tak mau memakainya! Kalung itu jelek! Jelek!” jeritnya sambil lari ke kamarnya. Permaisuri dan semua yang hadir terpana. Kalung warna-warni yang indah itu putus dan permatanya berserakan di lantai. Permaisuri terduduk dan mulai menangis. Lambat laun semua wanita ikut menangis, bahkan para pria pun ikut menitikkan air mata. Mereka tak pernah mengira puteri yang sangat mereka sayangi dapat berbuat seperti itu. Tiba-tiba di tempat kalung itu jatuh muncul sebuah mata air yang makin lama makin besar hingga istana tenggelam. Tak hanya itu, seluruh kerajaan tergenang oleh air, membentuk sebuah danau yang luas. Danau itu sekarang tidak seluas dulu. Airnya nampak berwarna-warni indah karena pantulan warna langit dan pohon-pohonan di sekelilingnya. Namun orang percaya bahwa warna-warna indah danau itu berasal dari kalung sang puteri yang ada di dasarnya.
14 Kesetiaan Seekor Harimau Pada jaman dahulu, ada sepasang suami istri yang hidup bersama di Tasikmalaya. Kehidupan mereka cukup tentram dan bahagia. Pada suatu hari mereka menemukan seekor harimau kecil yang ditinggal mati oleh induknya. Harimau itu dipelihara oleh oleh mereka, dididik dan diperlakukan seperti anggota keluarga sendiri. Ternyata hewan itu tahu diri, ia menjadi penurut kepada sepasang suami istri itu. Harimau pun tumbuh menjadi besar, ia cerdas dan tangkas. Kemudian sepasang suami istri itu menamainya Si Loreng. Demikian erat hubungan Si Loreng dengan suami istri itu sehingga ia dapat mengerti kata- kata yang diucapkan suami istri itu. Kalau ia disuruh pasti menurut dan mengerjakan perintah suami istri itu dengan baik. Suami istri yang bekerja sebagai petani itu semakin berbahagia ketika lahir anak mereka seorang bayi laki-laki yang sehat dan menyenangkan. Inilah saat bahagia yang mereka tunggu-tunggu sejak lama. Apabila mereka pergi bekerja ke sawah, bayinya ditinggal di rumah. Si Loreng ditugaskan untuk menjaga keselamatan bayi itu. Hal ini berlangung selama beberapa bulan. Sepasang suami istri itu semakin sayang kepada Si Loreng kerna hewan itu ternyata dapat dipercaya menjaga keselamatan anak mereka. Pada suatu siang yang terik, istri petani pergi ke sawah untuk mengirim makanan kepada suaminya. Melihat kedatangan istrinya si suami segera menghentikan pekerjaannya. Disana si suami melahap makanan yang dihidangkan istrinya. Baru saja setelah makan dan minum, tiba-tiba mereka mendengar suara gerengan si Loreng. Si Loreng nampak lari pontang-panting melewati pematang
15 sawah terus menuju dangau. Si Loreng mengibaskan ekorna berkali-kali dengan lembut sembari menggosok-gosokkan badannya kepada suami istri itu. \"Kakang, mengapa tingkah Si Loreng tidak seperti biasanya?\" tanya si istri. \"Iya Istriku... Aneh sekali. Ada apa gerangan?\" sahut sang suami. \"Kakang, lihat! Mulut Si Loreng penuh dengan darah!\" teriak sang istri. Sang suami tersentak kaget, mulut Si Loreng memang berlumuran darah. \"Loreng...? Jangan-jangan kau telah menerkam anakku. Kau telah membunuh anakku!\" kata sang suami. Si Loreng menggeleng-gelengkan kepalanya, sehingga darah dibagian mulutnya berhamburan. Si suami seketika meluap amarahnya. Ia segera mencabut goloknya dan memenggal kepala Si Loreng. Si Loreng tak menduga disreang secara tiba-tiba sehinnga ia pun tak sempat mengelak. Harimau itu mengeram kesakitan, ia tidak melawan, hanya sepasang matanya memandang kearah sepasang suami istri itu dengan penuh rasa penasaran. Karena hewan itu belum mati, si suami segera mengayunkan goloknyadengan penuh kemarahan hingga tiga kali. Putuslah leher Si Loreng dari badannya. Hewan itu tewas dengan cara mengenaskan. \"Kakang! Cepat kita Pulang!\" Mereka segera berlari ke rumahnya. Sampai di rumah, mereka mendapati anaknya masih berada dalam ayunannya. Bayi itu nampak tertidur nyenyak. Dirabanya tubuh anak itu, diguncang-guncang tubuhnya. Si bayi pun terbangun dan tersenyum melihat kedatangan orang tuanya. Kedua suami istri itu bersyukur karena bayinya selamat dan masih hidup. Setelah puas memandangi anaknya, mereka merasa lega atas keselamatan anaknya. Kini mereka celingukan, mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Perhatian mereka terpusat pada tempat sekitar ayunan anaknya bagian bawah. Mereka mendapatkan bangkai seekor ular yang sangat besar berlumuran darah tergeletak di bawah ayunan. Sadarlah kedua suami istri itu bahwa Si Loreng telah berjasa menyelamatkan jiwa anaknya dari bahaya, yaitu dari serangan ular besar. Mereka sangat menyesal, terlebih sang suami karena telah tergesa-gesa membunuh harimau kesayangannya. Kisah ini memberikan pelajaran kepada kita
16 agar tidak bertindak gegabah. Berpikirlah dengan cermat sebelum mengambil tindakan yang nantinya merugikan.
Search
Read the Text Version
- 1 - 17
Pages: