1
1 Rencana “Apasih yang engga buat kalian?” -Lily Kelas yang tenang, gambaran tepat mengenai pandanganku ketika memasuki kelas pada pukul 06.47 pagi. Mata coklatku menyorot ke arah bangku langganannya, bangku belakang yang cocok untuk tidur jika bosan belajar. Dengan segera aku menuju bangku langganannya dan menempatkan tasnya disana. “Halo, Kusuma!” sapaku dengan senyum di balik maskernya. “hum,” Kusuma menjawab dengan singkat, sepertinya dia kelelahan. Aku melihat ke sekeliling kelas, hanya ada 4 orang yakni aku, Kusuma, Bagas, Satriyo, dan Jojo. Sepi sekali, karena sekolah masuk jam 07.15 pagi sudah dipastikan bahwa jam segini teman-teman lainnya sedang dalam perjalanan maupun sedang bersiap-siap masuk sekolah. Kusuma sedang mendengarkan lagu dari video-video toktok menggunakan earphone Bluetooth sambil sibuk menggeser-geser layar handphone-nya ke atas. Sedangkan aku menaruh tas bekal dan botol minumku di atas dua meja lain sebagai tanda bahwa meja tersebut akan dipakai kedua temanku. Begitulah sistem tempat duduk di kelasku, reservasi atau hukum rimba. Setelah melakukan “reservasi tempat duduk”, aku berbincang-bincang dengan teman sekelas lainnya. Hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 07.03 dan beberapa tempat duduk sudah mulai terpenuhi. Aku menyapa Lina dan Nara yang sedang memasuki pintu kelas dan menunjukkan tempat duduk mereka berdua. “Aaa, thank you Lily!” ujar Nara dan Lina penuh senyum. “Urwell apasih yang engga buat kalian?” aku tersenyum pada kedua temanku. “Li, ayo makan angin (jalan-jalan)” Kusuma mengajakku berkeliling koridor sambil menunggu waktu masuk kelas. “Ikut!” Nara memelas kepada kami. “Tungguin bentar, Li!” Lina berteriak. Kami berhenti, menunggu Lina dan Nara. Padahal kami hanya mau berjalan-jalan keliling koridor, paling jauh hanya ke kamar mandi entah apa tujuannya. Tak lama, Lina dan Nara menyusul, kamipun bergandengan bersama berjalan-jalan. 2
Benar saja, ujung-ujungnya kami ke toilet karena Lina ingin “piscur” alias pipis dan Kusuma ingin berkaca. Sambil menunggu Lina “piscur”, kami saling bercerita mengenai pelajaran-pelajaran apa saja hari ini dan siapa saja gurunya. “Ini ga ada senam, kan?” tanya Nara kepadaku. “Ga ada kok, lagipula sudah diumumkan di grup kemarin. Hayo ga nyimak, ya?” jawabku. Nara meringis sambil tertawa kecil, sedangkan Kusuma berkaca sambil menunggu Lina. Tiba-tiba Kusuma berbalik dan menyeplos. “eh, study tour kita beli babi guling, yok!” ceplos Kusuma. “tiba-tiba banget?” tanyaku. “setuju sih, eh tapi apa sempet?” Nara bertanya. “sempet-sempetin, hehe” Linapun keluar dari toilet dan sedikit bingung dengan perbincangan kami. Namun, dengan segera kami menjelaskan rencana kami ke Lina. Kamipun kembali ke kelas dan melanjutkan obrolan kami disana, merencanakan apa saja yang ingin kami lakukan saat study tour. Berbagai usulan muncul, mulai dari mencoba kuliner lokal hingga kembaran baju. Tak lama bel pun berbunyi dan doa pagi dimulai. Selama pelajaran jam pertama hingga jam ke empat, guru-guru terkadang membahas acara study tour seperti memberikan wejangan-wejangan, garis besar acara, hingga mengingatkan bahwa kami memiliki tugas laporan study tour. Sungguh, kenapa study tour harus membuat laporan? Sebenarnya ini menyebalkan, namun sesuai namanya yakni study tour atau tur sambil belajar. Laporan itu digunakan sebagai nilai tambahan di beberapa mata pelajaran yang menyangkut kegiatan tersebut. Tentu saja aku akan mengerjakan laporan ini dengan sepenuh hati nanti, apa sih yang tidak untuk nilai? Tak terasa dua setengah jam pembelajaran telah berlalu dan kamipun istirahat. Setelah bel istirahat berbunyi, setiap murid berhamburan keluar kelas menuju kantin. Untung saja aku dan teman-temanku membawa bekal. Biar kuceritakan, kantin pada jam istirahat pertama terasa seperti neraka yang menyesatkan. Aku pernah masuk ke kantin pada jam ini, rasanya mau mati. Orang-orang berdesak-desakan, sulit untuk masuk maupun keluar kantin, hingga suaraku kalah dengan suara preman-preman sekolah, menyebalkan. Maka dari itu aku sangat bersyukur ketika dibawakan bekal oleh mamaku. Dapat dibayangkan betapa mirisnya keadaanku jika tidak diberi bekal 3
Di kelas, kami makan sambil bercerita apa saja yang akan kami lakukan saat di Bali untuk study tour. Sebagian besar dari kami merencanakan bagaimana cara menghemat di Bali. Maklum, kami para kaum wanita sering kalap jika melihat barang-barang lucu. Bahkan, aku adalah salah satu orang yang rawan kalap dengan barang lucu, apalagi boneka. “Eh destinasinya nanti kemana aja, ya?” tanya Nara. “YNKTS” jawabku “hah?” “Ya ndak tau kok tanya saya,” “ketauan Lily ga dengerin pengumuman, nih. Kita tuh nanti ke Safari Prigen, Tanah Lot, danau Bedugul, GWK, desa adat Panglipuran, pantai Melasti, Puja Mandala, Krisna, Joger, dan terakhir kita bakal ke Gereja Palasari.” Lina menjelaskan. “nah, itu Nar” jawabku. Tak lama bel masuk kelas berbunyi, kamipun segera membereskan bekal kami dan kembali ke tempat duduk masing-masing. Pelajaran selanjutnya merupakan pelajaran bahasa Indonesia. Aku jadi teringat mengenai tugas novel yang harus kukerjakan dan dikumpulkan 2 minggu setelah study tour. Novel inilah tugasku, kuharap novel ini bisa menjadi salah satu rekam jejakku selama study tour dalam bentuk tulisan. 4
2 Kosong ” hari itu menyenangkan, tapi bukan hari yang penuh cerita” Pagi ini aku datang ke sekolah, seperti biasa jam 06.45. Menaiki tangga yang cukup banyak dengan langkah cepat dan bertemu dengan Elisa dan Nara. “jangan kaget pas sampe kelas, ya Ly.” Ucap Elisa sambil sedikit tertawa. Aku sedikit bingung, namun hanya kuiyakan ucapan itu. Kemudian aku melangkah menuju kelas dan melihat papan pengumuman. Keren, 6 orang siswi tidak masuk hari ini, mana sakit semua. Padahal ini H-1 study tour dan teman-temanku sakit? Agak mencurigakan, tapi ya sudah aku tutup mata saja hehe. Dio yang melihatku langsung tertawa. “HAHA Ly lihatlah, sakit semua. Mencurigakan bukan?” ucap Dio. Aku hanya tertawa kecil dan mengatakan “Ya sudah, gimana lagi.” Lalu tak lama kamipun mendapatkan kiriman dari seorang siswi, kaos kelas berjumlah 21 buah. Akupun teringat pesan yang aku terima tadi malam. Agatha: “Ly, besok aku titip kaos jumlahnya 21 ya, tolong dibagiin soalnya besok aku ga masuk hehe” Lily: “shap” Akupun membatin, “oh ini kaosnya” Sejujurnya aku kurang menyukai desain kaus yang dibuat oleh teman-teman sekelasku, karena ada sedikit pertengkaran dalam proses membuat kaus ini. Warna kaus hitam, sablon yang kurang baik, desainnya… AH gatau males. Kalau orang bilang “no comment” yang maknanya sudah benar-benar menyerah dalam mengomentari suatu hal, saking parahnya. Akupun menaruh kaus-kaus tersebut di bawah papan tulis supaya bisa diambil oleh teman-temanku nanti. Kemudian aku keluar kelas untuk bercengkrama dengan Nara dan Elisa. Jika aku boleh jujur, aku kurang dekat dengan Elisa sehingga kurang bisa menyesuaikan percakapan dengannya. Untunglah ada Nara yang mampu menyesuaikan percakapan dengan semua orang, jadi aku bisa tetap membaur meski sedikit kesulitan. Tak lama, Kusuma datang sambil membawa tas putih ikoniknya. Iapun masuk ke kelas dan menaruh tasnya. Kemudian berjalan santai menuju koridor untuk ikut 5
berbincang dengan kami. Dalam perbincangan tersebut, kami membicangkan hal-hal mengenai kejadian 6 orang yang sakit hari ini. Memang benar ada beberapa temanku yang sakit seperti Ningsih, Tia, dan Rani. Namun lainnya masih tanda tanya, ya sudahlah yang penting besok semua temanku bisa hadir untuk study tour. Ketika kami asik berbincang, Lina datang dan nimbrung. Perbincangan kami tambah asik dan ramai. Bagaimana tidak, ada 5 orang yang berbincang-bincang membicarakan hal yang sama. Koridor sekolah seakan milik berlima. Kamipun masuk ke kelas setelah mendengar bel berbunyi, kelas terasa seperti SMK jurusan teknik yang isinya mayoritas anak laki-laki. Jadi hanya ada 5 orang perempuan dan 13 laki-laki. “Sepi sekali kelas ini, yang lainnya kemana?” tanya Bu Titik. “sakit bu,” jawab satu kelas “oh, ya ya ya…” Bu Titik terlihat sedikit kaget karena keadaan kelas yang lebih LAKIK dari biasanya. Ya, bisa dibayangkan betapa janggalnya melihat hanya ada 5 dari 11 perempuan yang ada di kelas, tidak sampai setengahnya. Pelajaranpun tetap berlanjut, meski dengan keadaan kelas yang terkesan sepi, suara kami tetap ramai dalam mendiskusikan soal-soal matematika wajib. Suara paling dominan di kelas, yaitu Dio dan Caesar yang senang berpikir dan menyelesaikan masalah-masalah perhitungan. Suasana diskusi soal matematika memang menyenangkan, namun membuatku menguap dan ingin tidur. Kutahan kantukku karena Bu Titik merupakan guru yang cukup galak jika melihat ada anak yang tidur atau bermain HP di kelas. Jika sedang bosan biasanya aku mengerjakan hal-hal lain seperti soal lain atau membaca buku lain secara diam-diam. Hal tersebut kulakukan supaya aku tidak tertidur di kelas yang dingin ini. 1 jam terasa sangat lama di kelas ini, seakan melewati 1 abad. Aku mulai tidak betah belajar angka dan mulai melihat jam dinding kelas sambil berpikir kapan bel pelajaran selanjutnya berbunyi. Semakin kuamati jam tersebut, semakin lambat berjalannya waktu ini. Ah sudahlah, kemudian aku memutuskan untuk tetap memerhatikan pelajaran, siapa tahu waktu berjalan lebih cepat bukan? Benar saja, waktu menjadi lebih cepat, bel pelajaran selanjutnya berbunyi dan akupun segera berseru. “Bersiap, beri salam!” seruku, diikuti dengan salam terima kasih dari teman- teman kelasku. 6
Pelajaran selanjutnya tak kalah membosankan, sehingga aku merasa bahwa hal tersebut kurang menyenangkan jika kutuangkan dalam novel ini. Bisa-bisa orang tertidur saat membaca tulisan ini. Berbagai guru yang memasuki kelasku terheran-heran dengan keadaan kelasku. Ada yang bertanya-tanya, ada pula yang diam saja namun tetap melayangkan pandangan heran. Hingga waktu istirahat tiba dan 2 siswi kelasku menghilang, pergi ke kantin. Bahkan setelah istirahatpun mereka tidak kembali. Ketika pelajaran biologi, guru memberi tugas dan bertanya mengenai 2 anak tersebut yakni Nara dan Elisa. Tepat saat itu Nara memberiku pesan melalui ponsel bahwa ia berada di UKS bersama Elisa karena sakit. Sehingga guru biologi langsung pergi ke UKS untuk menjenguk mereka. Selama kelas tidak diawasi oleh guru, kami langsung ribut. Entah darimana pesawat kertas terbang melintasi kelas ini. Kelas menjadi ribut dan tugas kami tidak dikerjakan karena sibuk ribut. Tiba-tiba kami ribut membahas mengenai kejadian kelas kami yang berubah menjadi SMK Teknik yang biasanya didominasi murid laki-laki. “ini adalah kelas dari SMK Teknik. Ini bukan SMA, ini SMK.” Celetuk Dio yang mengundang tawa satu kelas. Tak lama setelah itu, guru biologi kami kembali kemudian bercerita kepadaku bahwa Nara dan Elisa benar berada di UKS dan sedang kembali ke kelas. Benar saja, mereka kembali dan duduk di sebelahku. “Tadi, saat pak Wawa menjenguk Nara ngakak banget, sih. Dia malah sembunyi di balik pintu, hahahahaha” cerita Elisa. Nara hanya tertawa malu, tak lama mereka bercerita bahwa mereka dijenguk oleh pak Wawa dan banyak kejadian lucu mulai dari Nara yang panik dan Elisa yang bingung. Karena sebenarnya mereka tidak sakit, hanya lelah berada di kelas. Sehari penuh tawa itupun berakhir ketika bel pulang berbunyi. Tak banyak yang bisa kuceritakan disini, hari itu menyenangkan, tapi bukan hari yang penuh cerita. 7
3 Cerita Cepat Menuju Bebek Laut Nikmatilah perjalanan, meski tidak sesuai ekspetasi Perjalanan study tour adalah bagian yang jujur saja tidak menyenangkan, apalagi sistem pembagian bis bercampur dengan kelas lain. Selama perjalanan aku hanya duduk diam di bis karena aku hanya kenal beberapa teman, itupun teman sekelas dan kami duduk terpisah. Tidak ada yang menarik dari perjalanan, aku hanya tidur karena bosan. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk bertukar tempat duduk dengan anak lain supaya bisa duduk bersama Wati, teman sekelasku. Setelah itu, memang benar aku jadi tidak bosan di bis. Aku jadi bisa ngobrol bersama Wati, meski terkadang ditinggal pacaran dengan Ade yang juga teman sekelasku. Sesampainya pada destinasi pertama yakni taman Safari Prigen, keadaan sudah hujan gerimis. Membuatku menjadi mengantuk dan ingin tidur, tapi aku tidak ingin melewatkan pemandangan hewan-hewan yang jarang ku lihat. Akupun memutuskan untuk tetap bangun. Suasana alami dari taman Safari Prigen membuatku melihat kebiasaan- kebiasaan unik dari setiap hewan yang ada disana, seperti singa yang cenderung diam di teritorinya, harimau lebih cenderung menunjukkan diri, dan masih banyak kebiasaan-kebiasaan hewan yang menarik di mataku. Setelah selesai berputar-putar aku turun dari bis dan mencari teman-temanku bersama Wati. Kami berkumpul dan makan bersama di kafetaria. Singkat cerita, kami mendapatkan free time hingga jam 4 sore. Aku, Nara, Kusuma, dan Lina berjalan-jalan, mencari wahana untuk dimainkan bersama. Namun, tak lama Lina berpisah untuk bermain bersama pacarnya. Aku sedikit sebal, karena kami ingin sekali menghabiskan waktu berempat. Apalagi ini merupakan kesempatan yang baik untuk menghabiskan waktu bersama, kapan lagi kami bisa bermain bersama? Tapi, ya sudahlah, toh itu haknya. Kamipun mengunjungi setiap wahana permainan dan mengahbiskan waktu bersama. Waktu berjalan, seiring dengan terisinya galeri foto di ponsel kami. Kenangan- kenangan semakin menumpuk, bahkan menjadi ratusan foto. Itu baru destinasi pertama, belum destinasi lainnya. 8
Waktupun menunjukkan pukul 15.45, kami segera kembali ke bis masing-masing dan melanjutkan perjalanan. Perjalanan ini terlalu monoton untuk diceritakan, siklus hidupku disini hanyalah tidur, bangun, melihat Wati pacaran, makan snack bersama teman sekelas yang lain, dan kembali tidur. 9
4 Bebek Laut “Bermain untuk Bertengkar” -Kusuma Singkat cerita, setelah sampai di Bali dan berwisata di Tanah Lot, perjalanan ke Danau Bedugul terasa sangat melelahkan. Selama pemandu wisata yang biasa dipanggil mbok Eka menjelaskan budaya Bali dan sedikit bercanda, aku sesekali menutup mata dan nyaris tertidur. Hingga mbok Eka mulai berhenti menjelaskan, akupun tertidur karena sudah mengantuk berat. Siklus tidurku selama di bis sangatlah buruk, mulai dari bangun setiap 1-2 jam hingga tubuh terasa remuk ketika bangun. Sepertinya aku tidak akan bisa pulang dalam keadaan sehat, paling tidak aku akan tidur seharian sesampaiku di rumah. Bus berhenti di daerah Bedugul, tepatnya Danau Bedugul. Danau Bedugul memiliki ciri khas yakni pura di tengah danau. Melihat daerah ini sangatlah menyenangkan, apalagi jika bisa melewati pura, sayang sekali hari itu aku dan satu temanku tidak bisa masuk ke daerah pura karena sedang haid. Kode dari pemandu wisata untuk wanita yang sedang haid adalah bendera Jepang. Cocok sih, hal ini juga membuat kami nyaman karena tidak harus menyebutkan langsung keadaan kami. Tak lama setelah berputar-putar dan berfoto, kami diberikan waktu sekitar 1 jam untuk bermain di daerah Danau Bedugul. Saat itu aku sedang bersama teman- teman sekelas dan berdiskusi ingin menaiki wahana apa. Ada banyak dilema antara lain keuangan, takut wahana, dan masih banyak dilema yang akan memenuhi novel jika disebutkan satu per satu. Kami terus berdiskusi hingga akhirnya aku dan Kusuma memutuskan untuk menaiki bebek yang bisa berputar-putar di danau. Kami patungan berdua, masing-masing dua puluh ribu. Aku melihat tangan Kusuma bergetar ketika menyerahkan uangnya, maklum kami anak sekolahan dengan uang saku terbatas untuk di Bali selama 3 hari. Bahkan kami rela tidak jajan agar bisa membeli oleh-oleh untuk keluarga nanti. Kami berjalan menuju area bebek air dan mulai bermain bebek air. Gelombang air danau yang tidak tenang membuat kami panik. Aku kebingungan dengan mekanisme permainan bebek ini, sehingga bertanya-tanya kepada penjaga wahana. Meski telah dijelaskan, namun aku dan Kusuma masih sering salah arah ketika memainkan bebek air ini. “Ly, YANG BENER SETIRNYA!” teriak Kusuma. “BENTAR-BENTAR INI GIMANA, KUS ADUH PANIK!” 10
Teriakan kami berdua memancing perhatian dari bu Indi yang sedang mendokumentasikan pemandangan sekitar. Bu Indi tertawa sambil mendokumentasikan kami yang kebingungan mengendalikan bebek air ini. Di samping bu Indi ada Lina yang ternyata juga memotret kami dan tertawa melihat kami yang panik. Keadaan cuaca yang cerah dan panas membuat kami makin panik tiap bebek air kami diterpa ombak danau. Kusuma dan aku berteriak-teriak, takut jatuh, hingga kami bertengkar. Lina dari jauh hanya menertawakan kami yang panik di tengah danau. Bagaimana tidak panik, sungguh tidak lucu jika kami berdua jatuh ke danau hanya karena tidak bisa menyetir bebek dengan baik. Selama 45 menit kami hanya berteriak panik sambil berputar-putar menggunakan bebek. Diterpa ombak, angin membuat kami terus saling meneriaki satu sama lain untuk menyetir dengan benar. Suasana di bebek air semakin panas seiring dengan teriknya matahari yang menyengat kepala kami. Kurang lebih 40 menit kami bertengkar sambil berputar-putar di sekitar danau. 11
Search
Read the Text Version
- 1 - 12
Pages: