Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) Penulis: Safridah, Eka Septrina, Neneng Arisandi, Daris, Kandadestra, Tengku Muhammad Hanafi Mustafa, Wahyu Arif, Marlina Armansyah, Ilmawati, Agustrianita, Umi Salamah, Riska Cahyati, Mia Prima Putri ISBN 978-602-497-745-0 Editor: Adrianus Yudi Aryanto Penata Letak: @timsenyum Desain Sampul: @timsenyum Copyright © Pustaka Media Guru, 2020 xii, 132, 14,8 x 21 cm Cetakan Pertama, Januari 2020 Diterbitkan oleh PT. Mediaguru Digital Indonesia Grup Penerbit Pustaka MediaGuru (Anggota IKAPI) Rukan Exclusive Mediterania Blok G No. 39 Kemal Muara, Penjaringan Jakarta Utara Dicetak dan Didistribusikan oleh Pustaka Media Guru Hak Cipta Dilindungi Undang‐Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, PASAL 72
Wajah Berbalut Taman Surga Tanpamu aku tiada. Perihmu berhias senyum tanpa duka. Alunan bisikan dongeng malam. Dekapmu serasa pelukan hangat purnama. Letih dalam guratan wajah. Berbalut taman surga penuh pesona kasih. Tertatih sembunyi dalam usaha. Mendayung sampan capai dalam doa. Senyum menghijab derai air mata. Hiasi lintasan waktu merajut kisah. Nada keluh kesah jeritan hati. Tak hiasi raut muka. Denting waktu pelita hati dewasa. Sadari pengharapan akan bakti ananda. Menjalar ke seluruh nadi dan aliran darah. Sembah sujud dalam untaian doa. Rentamu kubalut segenap bakti. Tawa kubasuh perih dalam senja. Raihku kini Tuhan berikan. Ijabah doamu sepertiga malam Untukmu wahai wanita mulia. Hal apa bisa selimuti pengorbanan cinta kasihmu. Hal apa bisa sambut senyuman dalam senjamu. Hal apa aku bisa obati letihmu, Ibu. (Safridah, M.Pd.) *** Ibu adalah matahariku di siang hari, bulanku di malam hari, ombak di lautanku, dan dentuman di hatiku. Aku mencintaimu, Mama. (Tengku M. Hanafi Mustafa) *** Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | iii
Ibu, Engkau mampu menggantikan semua peran siapa pun. Engkau mampu menjadi Ibu bijak dan lembut, Engkau mampu menjadi ayah yang mengajarkan kuat bertahan. Engkau mampu menjadi guru yang siap mendidik. Engkau mampu menjadi superhero yang siap membela kapan pun. Namun, tak seorang pun mampu menggantikanmu .Ke mana pun kaki melangkah, Engkau tetaplah rumah bagiku. Ibu, surga di bawah telapak kakimu. Robbghfirlana waliwa lidaina, warhamhuma, kama rabbayani sagjira. (Umi Salamah) *** iv | Safridah Dkk
Kata Pengantar Safridah, M.Pd. Assalamualaikum Wr. Wb. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia‐Nya sehingga buku antologi yang berjudul “Wajah Berbalut Taman Surga” dapat diterbitkan dan dinikmati oleh seluruh pembaca. Salawat dan salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia ke jalan yang terang penuh dengan ilmu pengetahuan dan kebaikan. Menulis adalah salah satu dari kebaikan. Hal yang baik insyaallah akan diberikan kemudahan. Salah satunya adalah kemudahan dalam menyelesaikan buku antologi ini. Buku ini merupakan petualangan saya kesekian kalinya dalam membuat karya tulis yang berbentuk antologi. Untuk kali saya membuatnya bersama teman‐teman guru yang tergabung dalam forum MGMP Bahasa Inggris SMP Kota Pekanbaru, Riau. Bersempena dengan Hari Ibu, semua penulis menyelesaikan tulisan spesial tentang ibu‐ibu mereka. Tentunya kisah‐kisah yang diceritakan oleh para penulis menjadi sebuah kenangan sekaligus sebagai bentuk ungkapan rasa sayang, cinta, dan hormat kepada sosok yang selalu dipanggil “Ibu”. Sosok ibu yang digambarkan dengan ungkapan Wajah Berbalut Taman Surga dalam judul buku ini adalah orang yang Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | v
terdekat yang tak pernah jauh dari seorang anak sejak dilahirkan hingga dewasa. Tentunya hubungan seorang anak dan ibu dalam kehidupan mengalami kisah‐kisah menarik yang yang patut diabadikan dalam bentuk tulisan. Hubungan anak dan ibu juga memiliki sebuah rasa yang sepertinya memang lebih mudah untuk menuangkan rasa tersebut dalam sebuah tulisan daripada mengungkapkannya. Membaca tulisan semua guru penulis ini membuat saya semakin yakin bahwa banyak guru Pekanbaru, Riau khususnya, berbakat dalam menulis. Bakat tersebut terbukti dengan para penulis dapat menyelesaikan tulisan mereka di sela‐sela kesibukan luar biasa di akhir tahun dalam menyelesaikan tugas‐tugas pentingdi sekolah masing‐masing. Saya berani menjanjikan bahwa akan lebih banyak lagi teman‐teman guru yang akan saya ajak untuk bersilaturahmi dalam sebuah komunitas dan menghasilkan sebuah karya yang berkualitas. Dengan bangga saya menyampaikan kepada pembaca dan peminat buku agar segera memiliki buku ini. Mudah‐ mudahan dengan memiliki dan membacanya menjadikan sosok individu yang selalu memuliakan serta membanggakan ibu di setiap denyut nadi dan langkah dalam menjalani kehidupan. Terima kasih kepada Bunda Marlina sebagai Ketua MGMP Bahasa Inggris SMP Kota Pekanbaru yang telah memberikan kontribusi yang luar biasa dalam memberikan dukungan kepada para penulis dalam penerbitan buku ini. Terima kasih pula kepada seluruh penulis yang sudah menghadirkan kisah‐ kisah indah bersama ibu mereka dengan ragam tulisan dan vi | Safridah Dkk
gaya bahasa yang mencerminkan karakter menulis mereka. Tak lupa terima kasih pula disampaikan kepada tim editor yang membantu dalam penerbitan buku ini. Kritik dan saran untuk perbaikan ke depan sangat diharapkan. Mohon maaf bila ada yang salah. Semoga buku ini bermanfaat bagi kita semua. Aamiin. Pekanbaru, 22 November 2019 Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | vii
Kata Pengantar Hj. Marlina, S.Pd. Assalamualaikum Wr. Wb … Buku Antologi kisah Wajah Berbalut Taman Surga adalah buku antologi kisah pertama yang ditulis oleh rekan guru bahasa Inggris yang tergabung dalam Komunitas MGMP Bahasa Inggris SMP Kota Pekanbaru. Buku ini ditulis bersempena dengan Hari Ibu. Buku ini bercerita tentang kenangan tidak terlupakan pengarang bersama ibu tercinta. Membaca buku ini seolah‐olah kita ada di dalam cerita karena kita semua memiliki ibu, wanita terbaik dan terhebat dalam hidup kita. Ibu adalah sebaik‐baik sahabat yang kita miliki. Ketika kita gundah, ketika masalah datang mendera, ibu selalu ada menenangkan jiwa. Dekapannya menghangatkan raga dan hati selalu merasa damai ketika berada dalam pelukannya. Ibu selalu berkata bahwa beliau baik‐baik saja ketika kita menanyakan kabarnya. Itu beliau lakukan agar kita tidak gulana. Ibu selau ingin anaknya bahagia. Apa pun akan dilakukan oleh seorang ibu demi membuat anaknya bahagia. Kadang kala ibu berkata,” Makanlah, Ibu masih kenyang.” Padahal, perutnya melilit menahan lapar. Ibu melakukan hal itu agar makanan yang hanya sedikit itu dapat dimakan oleh anak‐anaknya. Ibu ... Tidak akan habis kata untuk bercerita tentangmu. Tidak akan lelah lidah ini melantunkan doa‐doa untukmu. Apa viii | Safridah Dkk
pun ingin kami lakukan untuk membuatmu bahagia. Kami ingin menjadi penyejuk matamu. Kami ingin menjadi anak yang berbakti padamu. Terima kasih kepada semua kontributor buku ini. Teruslah menulis. Dengan menulis namamu akan selalu ada meskipun engkau telah tiada. Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penerbitan buku ini. Semoga Allah mencatatnya sebagai amal saleh. Pekanbaru, 22 Desember 2019 Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | ix
Daftar Isi Wajah Berbalut Taman Surga ..................................................... iii Kata Pengantar Safridah, M.Pd. ................................................ v Kata Pengantar Hj. Marliana, S.Pd. ......................................... viii Daftar Isi ..................................................................................... x 1. Ibu Wanita Luar Biasa Oleh: Safridah M.Pd. ...................................................... 1 2. Maafkan Aku Mak Oleh: Eka Septrina, S.Pd. ............................................... 9 3. Nadi Asa Emak Oleh: Neneng Arisandi, S.Pd. ....................................... 19 4. Selamanya Rindu Oleh: Daris Kandadestra ............................................. 30 5. Jejak Kasih Ibu Oleh: Tengku Muhammad Hanafi Mustafa, M.Pd. .... 45 6. Jika Cinta Dia Oleh: Wahyu Arif ......................................................... 54 7. Sampadeh Daging Buatan Emak Oleh: Marlina Armansyah ............................................ 62 8. Ibu Khayalan Oleh: Ilmawati, S.Pd. .................................................... 71 9. Ibu, Jangan Bedakan Aku Oleh: Agustrianita, M.Pd. ............................................ 82 10. Tangan Mamak Oleh: Umi Salamah, S.Pd. ............................................ 93 x | Safridah Dkk
11. 2 M 2 A Oleh: Riska Cahyati, S.Pd.I. ........................................ 100 12. Malaikat Tanpa Sayap Oleh: Mia Prima Putri. S.Pd. ....................................... 107 Profil Pengarang ..................................................................... 119 Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | xi
xii | Safridah Dkk
Ibu Wanita Luar Biasa Oleh: Safridah M.Pd. (Guru MTsN 3 Kota Pekanbaru, Riau) M alam makin larut, jangkrik‐jangkrik di luar sana semakin memperlihatkan eksistensinya. Namun, mata ini tetap saja tak mau terpejam. Sementara gadis kecil di samping saya sudah terlelap. Saya tatap wajahnya, polos dan lugu. Betapa nikmat menjadi usia seperti itu. Tanpa ada beban. Pernah terlintas ingin rasanya kembali kepada usia itu, tetapi segera sadar bahwa itu adalah keinginan dari mereka yang berputus asa. Hmm... Suara jangkrik masih terdengar. Kali ini sayup‐ sayup. Saya bangun dari ranjang dengan sangat pelan karena khawatir gerakkan badan yang semakin hari semakin gemuk akan membuat malaikat kecil terbangun. Lalu saya buka laptop. Aku mencoba melanjutkan paragraf yang saya tulis tadi siang. Benar saja, larut malam mengundang imajinasi dalam menulis. Paragraf demi paragraf meluncur dengan derasnya. Ide tadi siang yang mentok kembali terbuka. Hingga tak terasa saya telah menulis empat halaman malam ini. Setelah menulis kalimat paling akhir, saya alihkan layar laptop ke halaman pertama. Saya pun mulai membaca dan menikmati kalimat demi kalimat yang sudah tertulis malam ini. Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 1
”Kasih ibu kepada beta. Tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi tak harap kembali. Bagai sang surya menyinari dunia”. Lirik lagu ini dulu sering sekali saya nyanyikan bersama guru dan teman‐teman ketika masih di taman kanak‐kanak. Lirik lagu ini pula membuat saya ingin mengabadikan maknanya dalam sosok seorang ibu yang telah menghadirkan saya ke dunia ini. Kata demi kata saya rangkai di saat hari ulang tahunnya semakin dekat. Saya abaikan aktivitas penting lainnya untuk menulis tentangnya. Sebelum ide dalam pikiran saya hilang, saya segera memulai merangkai kata per kata. Sebagai bentuk ucapan terima kasih yang jarang sekali saya sampaikan kepadanya, sekali ini saya ungkapkan lewat tulisan IBU WANITA LUAR BIASA. Di hati ini, selamanya, ibu adalah seseorang yang sangat luar biasa. Betapa tidak, begitu banyak pengorbanan yang sudah beliau berikan kepada saya dan anak‐anaknya yang lain. Jika saya menatap mundur waktu yang sudah berjalan, tepatnya ketika saya masih kanak‐kanak, kemudian menginjak masa remaja, tak pernah rasanya ibu saya berkeluh kesah tentang kehidupan yang bisa dikatakan kekurangan. Tak pernah kulihat Ibu menunjukkan kesusahannya bersama bapak ketika harus membiayai anak‐anaknya yang saat itu memerlukan biaya banyak untuk kebutuhan sehari‐hari dan keperluan sekolah kami. Ibu sanggup mengasuh ketujuh anaknya, padahal dia sendiri juga harus bekerja sebagai guru MDA pada siang harinya. Bayangkan saja, jarak umur kami kakak beradik yang berjarak satu atau dua tahun satu sama lainnya, tentu menjadi sebuah kerepotan luar biasa dalam membesarkan 2 | Safridah Dkk
kami semua. Saat itu saya bersekolah di sebuah Taman Kanak‐kanak, namanya TK Pertiwi yang terletak di kota kecil bernama Rengat. Setiap hari ibu menyiapkan bekal dan mengantar saya dengan menggunakan sepeda “Sanki” yang kala itu lagi tren dan banyak ibu menggunakannya sebagai sarana tranportasi. Di bagian belakang sepeda terdapat sebuah tempat duduk dari besi. Lumayan sakit bila duduk terlalu lama di atasnya. Saya selalu gembira diantar ibu ke TK tempat saya bersekolah. Ibu dengan sabar menunggui saya di sekolah sampai pada masanya saya sudah bisa pulang sendiri. Sementara itu masih ada satu abang yang jarak umurnya satu tahun dari saya dan 3 adik lelaki saya yang masih kecil‐ kecil yang harus dia urus di rumah. Namun, ibu terlihat enteng saja mengasuh meraka yang luar biasa nakal seperti perilaku anak laki‐ laki pada umumnya. Beranjak remaja ketika saya mulai bersekolah di sekolah dasar, pernah terjadi sebuah cerita yang sampai saya berkeluarga selalu ibu ceritakan kepada kami. Biasanya ketika kami berkumpul di rumah ibu. Cerita tersebut selalu menjadi intermezo dalam mengenang kehidupan masa lalu anak‐ anaknya. Ketika ibu mulai bercerita, saudara‐saudara saya menertawakan dan mengejek saya karena hal tersebut merupakan hal yang mereka anggap lucu. Namun, sepertinya ibu selalu mengingat itu. Di mana ketika ketika saya baru bersekolah di sekolah dasar, saya meminta ibu memotong rambut saya. Namun, hasil potongannya terlalu pendek menurut pemikiran saya pada usia masa itu. Saya menangis sepanjang hari dan tidak mau masuk sekolah. Saya meminta Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 3
agar rambut saya dikembalikan seperti semula. Saya tidak terima dengan potongan rambut seperti itu. Tentu saja hal ini impossible. Saya mogok datang ke sekolah dikarenakan hal tersebut. Akhirnya, agar saya tetap mau bersekolah ibu terpaksa harus menunggui saya beberapa hari dari sejak mengantar sampai jam pulang sekolah usai. Begitu sabar ibu menghadapi saya waktu itu. Tidak pernah rasanya ibu memarahi saya pada masa itu. Atau … saya lupa dan tidak ingat bahwa ibu juga pernah marah karena kecengengan saya? Entahlah. Saya lupa akan hal itu. Ketika saya sudah berada di kelas empat sekolah dasar, saya pun menghabiskan waktu bersekolah di SD Komplek yang letakknya di tengah kota. Pada siang harinya saya belajar di MDA. Saya sesekali membantu ibu membawakan kerupuk jajanan ke MDA sebagai sampingan ibu untuk tambahan keuangan. Tapi kalau dipikir‐pikir untungnya tidaklah seberapa. Apabila bersisa dan tidak laku menjadi bagian saya dan adik‐adik menghabiskannya. Bagi saya ibu juga seorang yang selalu pasang badan dalam membela anak‐ anaknya. Walaupun sebenarnya kami sering melakukan kesalahan. Hal yang saya ingat ketika ibu melindungi adik lelaki saya dari pukulan bapak. Adik pulang malam ketika itu. Padahal, bapak sudah melarangnya untuk tidak keluar pada malam hari. Di rumah kami selalu diajarkan bahwa malam hari semuanya berada di rumah. Namun, memang dasar adik saya ini agak gaul, dia melanggarnya. Bapak langsung mencarinya seketika dia tahu adik saya tidak di rumah malam itu. Setelah pulang bapak marah besar kepadanya. Bapak mau mengangkat sebuah kursi rusak yang 4 | Safridah Dkk
ada di dekatnya dan akan mengarahkannya ke kepala adik saya. Melihat hal tersebut ibu langsung menghalangi dan marah sekali kepada bapak. ”Hantamkan saja kursi itu kepada saya, jangan kepada anakku!” Dengan suara garang dan menangis menghalangi amarah bapak saat itu. Tapi rupanya ibu selalu merasakan sedih kesusahan di masa itu. Hal tersebut baru saya ketahui setelah saya, abang, dan adik‐adik tumbuh dewasa. Rupanya ibu yang kulihat tegar, menyimpan tangis dalam hatinya selama membesarkan kami. Betapa tidak, pendapatan bapak dan ibu sebenarnya tidaklah cukup untuk kehidupan sehari‐hari. Dia harus berhemat agar kami tetap kami sejahtera. Dia bahkan sering merasa lapar dikarenakan makanan yang dibuatnya diberikan kepada saya dan adik‐adik. Bahkan pakaiannya tidak sering berganti baru karena lebih mengutamakan membeli pakaian untuk kami dalam setahun sekali. Baju yang masih kuingat dibelikan oleh ibu adalah setelan baju dan rok berwarna merah bergaris‐garis. Baju itu saya pakai ketika hari lebaran tiba. Ya, tentu saja bukan hanya saya yang mendapat baju dari ibu. Semuanya mendapatkan, satu orang satu pasang. Kenapa saya mengingat baju itu? Karena saat mengenakan baju itulah kami sekoluarga berfoto bersama di sebuah studio foto yang letaknya di tepi Sungai Indragiri yang lokasinya juga berada di pusat kota. Saya masih menyimpan foto tersebut dalam album foto yang saya punya. Di kala usia saya mencapai remaja, saya dan keluarga pindah ke rumah sendiri. Bapak dan ibu membeli sebuah Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 5
tanah yang letaknya jauh dari keramaian. Bisa dikatakan di tengah hutan dan semak belukar. Di sana ada beberapa gubuk kecil tempat si empunya tanah tempat istirahat di kala mereka datang untuk berkebun. Saya menyebutnya rumah baru kami dengan sebutan rumah papan. Lantai dan dindingnya memang terbuat dari kayu dan papan. Hanya tiang rumah saja yang terbuat dari batu yang tingginya sama dengan kepala saya pada usia masa itu. Rumah tersebut dibangun bapak dan ibu di hari libur kerja. Bahkan ibu turut serta membantu bapak mengangkat batu untuk membuat tiang rumah karena tidak cukup uang untuk mengupah tukang. Sebenarnya saya tidak ingin mengenang hal‐hal menyedihkan yang dialami ibu dalam membesarkan kami. Hingga dewasa saya selalu beranggapan bahwa ibu tidak pernah mengeluh akan kesulitan yang dihadapinya. Saya tidak pernah ingin menanyakan lagi hal pedih apa yang pernah dia alami dalam membesarkan kami. Walaupun saya tahu banyak hal yang dia simpan dalam cerita kehidupannya. Yang saya tahu kini dia sudah memasuki usia di mana seharusnya menikmati kesenangan dan kebahagiaan karena kami semua sudah dewasa. Saya tidak ingin merepotkannya dengan masalah‐masalah dan urusan pribadi saya. Walaupun saya sudah berprinsip tidak akan menyusahkannya, tetap saja alur kehidupan melibatkannya dalam menyelesaikan masalah‐masalah yang saya hadapi. Ketika saya berumur 26 tahun, Ibu selalu kelihatan gelisah kenapa jodoh saya tak kunjung ada. Dia selalu bertanya apakah ada calon yang saya sembunyikan darinya. Sampai 6 | Safridah Dkk
akhirnya dia pun mencarikan jodoh untuk masa depan saya. Saat itu saya memutuskan untuk berjumpa dulu dengan calon mantu pilihannya. Namun, keputusan akhirnya saya mengatakan bahwa saya tidak cocok dengan lelaki yang dipilihkannya. ”Maafkan saya, Ibu.“ Hanya itu yang bisa kukatakan padanya. Dia kelihatan kecewa dan sedih saat itu. Karena dia menganggap pilihannya tersebut berasal dari keluarga baik‐ baik dan dia sangat mengenal keluarganya. ”Masalah hati tidak bisa dipaksakan, Bu.” Namun, dia selalu menutupi rasa kecewanya dengan mengatakan,” Ibu selalu mendoakan agar kamu mendapat jodoh yang terbaik dalam hidupmu, Nak!” Setelah saya sudah berkeluarga dan mengandung anak pertama saya sedikit frustasi karena belum juga mendapatkan pekerjaan sebagai PNS. Dalam keadaan hamil muda saya mengikuti pendaftaran penerimaan guru di Kementerian Agama Provinsi Riau. Berdiri dan berdesak‐ desakan di depan loket antrean pendaftaran menjadi kenangan yang tidak bisa saya lupakan ketika itu. Dalam suasana panas sambil menahan mual di perut saya tetap mengantre di antara pengantre lainnya. Ingin rasanya membatalkan niat untuk mendaftar waktu itu karena sudah tidak tahan berdesakan dalam antrean yang semakin tidak teratur. Namun, nasihat ibu agar selalu bersabar selalu terngiang‐ngiang di telinga ini. Bayangan ibu yang selalu khusyuk berdoa dalam setiap ibadah lima waktunya terbayang dalam pikiran saya ketika saya pernah bertanya Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 7
kepadanya, apa saja yang dia minta kepada Sang Khalik. Dia mengatakan sambil tersenyum bahwa dia mendoakan supaya saya lulus dalam tes yang saya ikuti kali ini. Selang beberapa bulan saya pun mendapat berita bahagia. Memang doa seorang ibu makbul di mata Tuhan semesta alam. Semua yang dia harapkan dalam setiap untaian doa‐doanya benar terwujud. *Tidak ada kemewahan di dunia ini yang mampu menandingi buaian seorang ibu. * 8 | Safridah Dkk
Maafkan Aku Mak Oleh: Eka Septrina, S.Pd. ( Guru SMP Negeri 42 Pekanbaru) ”A nak gadis itu jangan keluyuran lagi kalau sudah mau magrib. Ingat waktu kalau main. Besok jangan diulangi lagi,” celoteh makku magrib ini. Ya, ini untuk kesekian kalinya aku kembali pulang ke rumah pas‐pas azan magrib. ”Ah, mak ini cerewet kali,” ujarku dalam hati. Tapi tak berani ngomong. Kalau aku ngomong bakal panjang ceritanya. Bisa‐bisa baru selesai pas azan magrib berkumandang. Masa‐masa remaja memang masa‐masa yang indah. Aku bersama teman akrabku, Yane dan Metty suka ngumpul bareng. Pokoknya, ada saja yang kami candain, tentang sekolah, teman dan pastinya tentang cowok. Satu lagi yang kami suka lakuin adalah pergi “raun‐raun“ dengan motor. Kami biasanya pergi setelah Shalat Asar. Kami berkeliling dari satu desa ke desa lain. Biasanya di jalan kami berjumpa anak‐ anak cowok atau cewek dari desa lain lalu kami berkenalan. Jadinya kami punya banyak teman. Kalau sudah ngumpul waktu itu berjalan dengan cepat sehingga terkadang aku sering pulang telat. ”Ka, besok kita pergi ke Payakumbuh, yuk!“ ajak Yane kepadaku sore itu. Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 9
”Mau ngapain?” tanyaku. ”Nggak ada pergi jalan aja.” ”Nanti kita ke tempat atuak Ane, sekalian minta duit,” jawab Yane. ”Ooo, yalah, nanti Eka izin amak dulu ya,” jawabku. ”Kita pergi jam 10‐an ya?” kata Yane lagi. Payakumbuh adalah ibu kota kotamadya di kampungku. Orang‐orang biasanya pergi ke sana untuk membeli barang‐ barang guna mendapatkan harga yang lebih murah dan bagus. Pilihan barang‐barang yang mau dibeli juga lebih banyak dibandingkan membeli barang di pasar‐pasar dekat kampung. Jarak antara desaku, Jopang Manganti dengan kota Payakumbuh kurang lebih 17 kilometer atau 30 menit naik motor. Kakek Yane (yang biasa dia panggil atuak memang tinggal di kota itu. Dia memiliki sebuah toko yang menjual barang‐barang antik di sana. *** ”Mak, Eka besok pergi ke Payakumbuh sama Yane, ya?” ucapku sama Mak yang lagi menjahit baju pelanggan. ”Ngapain ke sana?” ”Yane mau ke tempat atuaknya.” ”Ooo yalah, jangan pulang lama‐lama.” Senangnya hatiku karena diizinkan pergi oleh amakku. Namun, hatiku was‐was juga karena aku nggak bilang kalau aku perginya dengan motor bukan dengan mobil sago (nama mobil angkutan umum di desaku, mobilnya kurang lebih seperti mobil carry). Aku yakin kalau aku bilang perginya dengan motor dia pasti tidak akan mengizinkan. *** 10 | Safridah Dkk
Pukul 09.00 WIB aku sudah pergi ke rumah Yane. Tentunya setelah menyelesaikan tugas wajibku yaitu mencuci piring. Aku memiliki dua saudara perempuan. Jadi, kami punya tugas masing‐masing. Kakakku yang paling tua, aku biasanya memanggilnya dengan nama Uni Ira bertanggung jawab masalah dapur. Dia kokinya di rumahku. Adikku yang bungsu, namanya Nisa biasanya dia tukang bersih‐bersih rumah seperti menyapu. ”Assalamu’alaikum.” Aku mengucapkan salam sesampai di rumah Yane. ”Wa’alaikumsalam,” jawab Mama Yane. ”Yane mana, Tek?” tanyaku. ”Lagi mandi, masuk aja.” Aku langsung masuk menuju ke kamar Yane dan menunggunya di sana. Aku bukannya tidak sopan, tapi karena memang Yane sahabatku. Aku sudah biasa langsung masuk ke kamarnya. Begitu juga dia kalau main ke rumahku. ”Dari tadi Ka?” tanya Yane begitu masuk ke dalam kamar. ”10 menitlah,” jawabku. ”Kita jadi pergi, kan?” ”Jad diooong,” jawabku bersemangat. Setelah selesai berkemas, Yane langsung minta izin ke mamanya. ”Kami berangkat ya, Ma.” Mamanya berpesan supaya hati‐hati dan menyuruh langsung ke toko kakek Yane. *** Azan Asar sudah berkumandang dan kami sampai di rumah Yane. Sesampainya di rumahnya. Mama Yane bilang Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 11
padaku,” Eka tadi makmu mencari, katanya kok pergi ke Payakumbuhnya lama sekali.” ”Lalu Etek bilang kalian perginya dengan motor jadi mungkin pelan‐pelan aja.” ”Makmu terkejut, katanya kamu nggak bilang mau pergi dengan motor. Dia kira kalian pergi dengan Sago.” Deg, jantungku berdebar. ”Mati aku! Aku ketahuan pergi dengan motor, bakal kena marah nih,” ujarku dalam hati. Aku melangkah gontai pulang ke rumah. Sudah terbayang wajah makku yang pasti marah karena aku tidak bilang akan pergi ke Payakumbuh dengan sepeda motor. Semakin dekat sampai ke rumah, jantungku semakin berdebar kencang. ”Assalamu’alaikum,” ucapku sambil membuka pintu. Kulihat tak ada orang dalam rumah. Aku langsung buru‐ buru masuk kamar. ”Rupanya kamu pergi dengan sepeda motor ya? Kenapa tak bilang Mak?” Tiba‐tiba terdengar suara makku yang membuatku terkejut. Aku diam saja. ”Mobil ke Payakumbuh tuh rame, nanti kalau terjadi apa‐ apa gimana?” ”Sejak tadi dibilang Iin kalau kalian pergi dengan sepeda motor, Ambo cemas terus,” lanjut makku. Makku orangnya memang suka cemas. Makanya dia sering tak mengizinkan aku dari SD pergi main sepeda dengan teman‐teman ke jalan raya. Sekarang setelah aku SMP pun 12 | Safridah Dkk
tak mengizinkan aku mengendarai sepeda motor ke tempat‐ tempat yang rame. ”Nanti‐nanti jangan diulangi lagi,” katanya menutup omelan. Aku hanya diam karena aku tahu kalau aku memang bersalah. *** ”Kak, nanti siang kawankan Yane pergi baralek ke Mungka ya,” kata Mama Yane ketika aku sedang main d rumah Yane. Mungka adalah desa tetangga dari desaku ”Baik Tek, jam berapa?” tanyaku. ”Sekitar jam 11‐anlah.” ”Oyalah, Eka ganti baju dulu “ Aku pulang ke rumah untuk ganti baju dan bilang sama makku menemani Yane untuk pergi pesta ke Mungka. Begitu sampai di rumah Yane, mamanya sedang mempersiapkan bingkisan yang akan dibawa ke pesta. Ada beras, telur, kue bolu, beras rendang dan ada kado berisi pecah belah. Karena yang punya hajatan masih bersaudara dengan keluarga Yane. Mereka maiimbau keluarga Yane (bahasa kampungnya maiimbau, yaitu mengundang tetapi tidak dengan menggunakan kartu undangan, hanya secara lisan saja dengan membawa sirih). Jika masih kerabat dekat yang dirasa patut, maka mengundang dengan membawa nasi mangkuak (nasi dan lauk, lauknya terdiri dari rending daging ditambah dengan irisan kepala yang diiris kecil‐kecil). Maka yang diundang dengan nasi mangkuak tersebut harus membawa kado yang isinya pecah belah seperti mangkuk, piring, gelas dan lain‐lain. Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 13
”Hati‐hati, ya! Selesai ke tempat pesta langsung pulang,” pesan Mama Yane. Sesampai di sana “alek” sedang ramai‐ramainya karena marapulai (pengantin laki‐laki) dan keluarganya baru datang. Disambut oleh pihak keluarga anak daro (penganten perempuan) dengan petatah petitih dan tari persembahan (di mana pihak laki‐laki disuguhi daun sirih untuk dikunyah). Setelah selesai penyambutan tari persembahan, sebelum mempelai laki‐laki naik ke pelaminan, pihak bako anak daro (keluarga ayah dari pengantin perempuan membentangkan kain panjang untuk jalan si marapulai. Marapulai menjatuhkan uang logam di kain panjang tersebut. Pihak bako tadi mengumpulkan uang tersebut setelah itu penganten laki‐ laki dan penganten perempuan dipersilakan duduk di pelaminan. Filosofi di atas menurut cerita nenekku sebagai penghormatan kepada bako (keluarga ayah) dari anak pisang (pengantin perempuan) yang mana sebagai izin bagi penganten laki‐laki untuk memiliki pengantin perempuan. Setelah semua acara adat selesai, barulah kami menikmati hidangan yang sudah disajikan oleh keluarga pengantin. Aku mengambil gulai daging dan rebung. Gulai ini merupakan gulai wajib atau orang‐orang biasa bilang sebagai lauk adat yang di setiap acara pesta nikah. ”Ka, yuk kita ambil bingkisannya,” ucap Yane begitu kami selesai makan. ”Ayuk,” jawabku. Kami langsung ke tempat parkir motor selesai mengambil bingkisan. Pesta semakin ramai ketika kami beranjak dari 14 | Safridah Dkk
sana. Begitu sampai di persimpangan Yane bilang,” Ka, kita gak usah langsung pulang, kita ke Mungo, yuk!” Mungo adalah kampung papa Yane. Di sana tinggal neneknya. Mungo lebih jauh dari kota Payakumbuh yang dulu aku pernah pergi dengan motor tanpa sepengetahuan makku. ”Nanti kita kena marah,” jawabku. ”Tak apa‐apa, kita hanya sebentar kok. Setelah jumpa sama nenek, kita langsung pulang.” ”Hm…hm yalah,” jawabku. Terbayang aku akan kena marah sempat ketahuan nanti. Tapi Yane bilang hanya sebentar, jadi kami bisa buat alasan lain nanti entah pestanya rame atau kami bantu‐bantu tempat pesta dulu. *** Kurang lebih 45 menit kami sampai dengan selamat di Mungo. Senangnya hati kami bisa jalan‐jalan dengan motor membuat kami lupa akan pesan orang tua. Kami di sana hanya kurang lebih 15 menit. Setelah itu kami pulang karena kalau lama‐lama takut nanti ketahuan. Pusssssshhhhh …. Ada bunyi ban kempes ketika kami sedang di perjalanan pulang. Setelah dilihat ternyata benar. Ban bagian belakang kempes karena terkena paku. Ya, Rabb. Sedangkan kami di tengah jalan yang jauh lumayan agak sepi dan tidak terlihat tanda‐tanda ada tambal ban di sana. Akhirnya, kami mendorong motor kurang lebih selama 30 menit. ”Ne, tuh ada bengkel, alhamdulillah.” ”Alhamdulillah, capeknyaaaaa.” ”Kenapa, Nak?” tanya bapak tukang bengkel. Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 15
”Motor kami kena paku Pak,” jawab Yane. ”Ooo, sini Bapak lihat, mudah‐mudahan bisa ditambal.” ”Aduh, kalau tak bisa ditambal, alamat harus ganti benen (ban),” kataku dalam hati. ”Ne, kamu ada bawa uang, seandainya gak bisa ditambal, tentu harus ganti benen?” tanyaku pada Yane. ”Ada, tenang aja.” ”Alhamdulillah.” ”Sepertinya udah ndak bisa dipake lagi benennya, Nak, tadi bocornya jauh, ya?” tanya bapak tukang bengkel. ”Iya, Pak. Kami dorong sampai setengah jam,” jawab Yane. ”Pantesan benennya dah kayak gini, jadi gimana?” ”Kalau gak bisa ditambal, ganti aja, Pak.” Kami melanjutkan perjalanan setelah motor selesai diganti benen. Jam sudah menunjukkan pukul 14.30 WIB tapi kami masih di perjalanan. Hatiku mulai deg‐deg karena kalau nanti bakal kena marah. ”Ne, dah pukul 14.30 Ne, kita masih si Taeh.” Yane diam saja. Mungkin dia juga lagi gelisah karena perjalanan kami masih harus melewati 4 desa lagi, Simalanggang, Koto Tuo, Mungka, dan Koto Baru. Kurang lebih 20 menit lagi baru sampai di desa kami, Jopang Manganti. Brukkk... Tiba‐tiba kami dikejutkan dengan suatu bunyi hantaman dari belakang. Sekonyong‐konyong kami sudah tergeletak di aspal jalan raya. Celana yang saya pake koyak, lutut dan siku berdarah. Yane kakinya terimpit motor. Alhamdulillah, cepat 16 | Safridah Dkk
dibantu oleh orang yang lewat. Ternyata motor kami ditabrak dari belakang oleh pengemudi motor yang lain. Dia mau menghindari mobil sago di depan. Masih bersyukur kami tidak jatuh ke sawah karena di sisi sebelah kiri jalan adalah sawah. Yane meringis kesakitan karena kakinya yang terimpit sepeda motor. Setelah dibawa ke sebuah kedai oleh penduduk setempat, kaki Yane diurut oleh seorang warga. ”Alhamdulillah, tidak terkilir, hanya memar aja,” kata si bapak. ”Kalian mau ke mana?” tanya si bapak lagi. ”Ke Jopang, Pak.” ”Oooo, tapi kayaknya knalpot motornya rusak nih agak bengkok, harus diperbaiki ke bengkel dulu, kalian tunggu di sini biar Bapak yang ke bengkel.” ”Terima kasih, Pak,” ucapku. Untung ada bapak yang baik itu kalau tidak kami pasti kebingungan. Mana kaki Yane masih sakit. Dia masih meringis saat dibawa berdiri. Kemudian si bapak balik lagi dan bilang kalau kami harus menunggu agak lama karena knalpotnya harus dilas ada yang patah. Ya Tuhan, hatiku tambah cemas terbayang wajah makku yang cemas karena sudah mau asar anak gadisnya belum juga pulang. Aku merasa sangat bersalah. Mungkin musibah‐ musibah yang kami alami ini karena Allah marah sebab kami sudah berbohong dengan orang tua, tidak menjaga amanahnya. Bagaimana seandainya tabrakan tadi menyebabkan sesuatu yang lebih menakutkan kepada kami, mungkin kaki patah, tangan patah, atau bahkan kami meninggal. Aku tak sanggup membayangkannya. Kami Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 17
menunggu sampai pukul 17.30 karena tempat mengelas knalpot motornya gak jauh. ”Motornya sudah siap ni Nak, hati‐hati di jalan ya, gimana kamu bisa bawa motornya?” tanya si bapak kepada Yane. ”Insyaallah bisa Pak,” jawab Yane. ”Berapa biayanya, Pak?” tanya Yane. ”Gak usah dipikirkan, Bapak juga punya anak seumuran kalian, anggap saja sedekah Bapak.” ”Terima kasih banyak, Pak,” jawabku dan Yane. ”Sama‐sama dan hati‐hati, pelan‐pelan saja bawa motornya.” Di atas motor kami sama‐sama terdiam. Sibuk dengan pikiran masing‐masing. Seperti dugaanku. Mak dan abahku sudah berada di rumah Yane menunggu kami. Tampak sekali wajah cemas di wajah mereka. Begitu sampai di rumah Yane. Kami sama‐sama minta maaf kepada orang tua masing‐ masing dan menceritakan kejadian yang kami alami. ”Besok‐besok jangan diulangi lagi. Kemarin sudah mak ingatkan tapi kamu langgar juga. Coba lihat apa yang terjadi. Masih untung kamu hanya lecet‐lecet. Allah masih melindungimu,” nasihat makku. Kali ini nasihatnya terdengar merdu di telingaku. Sejak itu aku tidak pernah berbohong lagi. Kalau mau pergi aku selalu izin baik‐baik dan pergi sesuai janjiku. Terima kasih, Mak, mungkin berkat doamu aku masih diselamatkan Allah Yang Maha Menjaga dari kecelakaan itu. I love You, Mak. 18 | Safridah Dkk
Nadi Asa Emak Oleh: Neneng Arisandi, S.Pd. Guru Bahasa Inggris SMPS Tuah Negeri, Pekanbaru A wan yang gelap, angin yang kencang menggoyang tiang rumah yang sudah dimakan rayap. Suasana hening, terdiam di kala seorang tulang punggung keluarga telah meninggalkan kami untuk selamanya, go on and on. Terlihat kesedihan yang begitu mendalam di balik wajah emak yang pasrah menerima kepergian seorang suami yang terlebih dahulu dijemput oleh Sang Maha Pencipta Allah SWT. Melewati hari hari tanpa belaian kasih sayang seorang ayah. Namun, emak tak ingin terlarut dan membuat keadaan semakin sukar. Emak berjuang dan bertahan hidup bersamaku, dua orang kakakku serta kakek dan nenekku. Kamilah penyemangat emak di setiap harinya. Saya anak ketiga di antara tiga bersaudara. Kakak sulungku bernama Mitra Ewinda dan kakak keduaku bernama Popi Yulianasari. Terkadang di sela keseharian sering terlihat olehku bahwa emak pasti menyimpan rasa kerinduan yang teramat mendalam. Begitu juga dengan kakak‐kakakku. ”Bapak kapan kau pulang? Di mana Bapak sekarang? Bagaimana keadaan Bapak? Apakah Bapak tahu keadaan kami di sini?” tanyaku selalu dalam hati. Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 19
Tapi ya sudahlah, kami ikhlas semuanya. Waktu terus berjalan dan berlalu. Kebutuhan hidup pun semakin lama semakin meningkat. Pagi menyapa emak, angin membisikkan ke telinganya untuk melangkah mencari nafkah. Tok... tok...tok. Kakakku membuka pintu. Terlihat seorang ibu yang mencari emak. ”Mit, mana mak kamu?” ”Ada di dalam. Silakan masuk, Bu.” ”Terima kasih.” Ibu itu pun duduk di tikar yang terbuat dari daun kelapa. ”Silakan minum dulu airnya, Bu,” ujarku sambil menyuguhkan segelas air dari kakak. Aku melihat yang datang itu adalah Bu Hj. Ana. Beliau masih saudara emak. Beliau tinggal di Kota Bukittinggi. Ibu Hj. Ana mempunyai satu orang anak perempuan. Anaknya sudah menikah dan ikut dengan suaminya ke Kota Padang Panjang. Emak pun datang dan duduk bersama. ”Begini, saya mau mengajakmu ke Bukittinggi bekerja di tempat saya. Kebetulan saya tinggal sendiri di rumah, anakku sudah pergi ke Kota Padang Panjang ikut suaminya. Jadi, bagaimana kalau kamu yang menemani saya sambil bekerja di tempat saya?” Suara itu terdengar keluar dari mulut Bu Hj. Ana. ”Kerja apa itu, Uni?” sahut emak. Uni itu panggilan kakak di ranah Minang. ”Membuat kue. Kue tersebut langsung dibungkus untuk dipasarkan,” jawab Bu Hj. Ana. Emak terdiam dan melihat wajah kakakku. 20 | Safridah Dkk
”Bagus itu Mak. Gak apa‐apa. Biar kami tinggal di rumah bersama kakek dan nenek,” kata kakakku. ”Begini Uni, saya bicarakan dulu sama mak dan bapak saya, ya.” ”Baiklah, itu lebih bagus. Besok saya akan ke sini lagi untuk memastikannya.” ”Terima kasih, Uni.” Jarum jam sudah berputar 30 menit. Selesai bersilahturahmi Bu Hj. Ana pun pergi dari rumah kami. Aku memasuki sekolah dasar (SD). Saat itu aku ingin membeli seragam sekolah. Namun, emak belum mempunyai uang yang cukup. Aku tetap memaksa emak untuk membelikan. Hingga selepas Shalat Isya, emak pergi ke rumah adik Bu Hj. Ana yang tidak jauh dari rumah kami. Emak pun pulang dengan membawa uang. ”Nak, besok kita ke pasar membeli seragam barumu.” Aku pun merasa senang karena akan memiliki seragam baru. Aku tidak pernah tahu, dari mana emak mendapatkan uang itu. Karena di pikiranku hanya berangkat ke sekolah dengan memakai seragam merah putih. Ketika aku berada di bangku Sekolah Dasar, aku tidak pernah mendapatkan prestasi. Tapi emak tak pernah marah kepadaku. Dia hanya berkata,” Belajar yang rajin lagi ya, Nak.” Aku hanya bisa melemparkan senyumanku kepadanya. Saat itulah emak meninggalkan kami dikampung bersama kakak kakakku serta kakek dan nenekku. Emak pergi bekerja mencari nafkah untuk kami ke kota Bukittinggi tempat Bu Hj. Ana. Sebelum emak meninggalkan kami, beliau berpesan,” Nak, belajarlah dengan sungguh‐sungguh, hingga suatu saat Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 21
kalian bisa mencapai apa yang kalian cita‐citakan. Emak tak bisa memberikanmu harta yang banyak karena Mak tak punya itu semua. Hanya doa Mak yang bisa mengiringi setiap langkah kalian. Semoga kelak kalian menjadi orang sukses.” Kami hanya bisa tersenyum dalam kesedihan karena mak akan pergi untuk bekerja di tempat yang jauh. Kakakku berjalan menuju ke kamarnya. Di kamar dia menumpahkan dan meluapkan semua kesedihan. Aku hanya bisa terdiam dan tidak memahami semuanya karena aku masih kecil. Belum punya banyak pemikiran seperti kakak kakakku yang sudah dewasa. Bulan berganti bulan, aku dan kakak‐kakakku melakukan kegiatan masing masing begitu juga dengan kakek dan nenekku yang mengolah kebunnya. Dari hasil kebun itu belum mencukupi kebutuhan sehari‐hari kami karena itu emak mengirimkan kami uang untuk menambah kebutuhan kami di kampung setiap bulannya. Emak bekerja sebagai pembuat kue ’karak kaliang talua’ dan aneka kue lainnya. Kue ini terbuat dari tepung ketan, telur, dan garam. Langkah pembuatan kue ini cukup mudah. Garam dan 6 butir telur diaduk rata. Kemudian masukkan tepung ketan ke dalam adonan garam dan telur. Lalu diaduk sampai tidak lengket di tangan. Setelah itu adonan tersebut dibentuk memanjang lalu diputar menyerupai sanggul dan ujungnya ditekan agar tidak lepas pada saat penggorengan. ”Bawalah oleh‐oleh dan uang ini untuk anak‐anakmu di kampung,” kata Bu Hj. Ana. ”Terima kasih ya, Uni. Untuk satu minggu ini saya libur kerja dulu ya Uni. Sudah tiga bulan saya tidak pulang 22 | Safridah Dkk
kampung. Saya rindu dengan anak‐anak saya serta mak dan bapak saya.” ”Baiklah, sampaikan salam saya untuk keluarga di kampung, ya!” ”Baiklah, Uni.” Embun pagi yang masih membasahi rumput. Emak menunggu mobil bus yang menuju ke kampung. Dua kali naik mobil pada saat itu. ”Assalamualaikum, Mak pulang.” Aku yang saat itu lagi bermain bersama teman‐teman di depan rumah, kebetulan hari libur sekolah. Aku memeluk emak. Tak kuat rasanya meluapkan kerinduan ini. Kakak‐ kakakku serta kakek dan nenekku pun merasa senang menyambut kedatangan emak yang sudah tiga bulan tidak pulang. ”Mak bawa apa? Wah, banyak sekali ya Mak oleh‐ olehnya.” ”Iya Nak, ini titipan dari Bu Hj. Ana untuk kalian.” Dari wajah emak kelihatan rasa syukurnya bisa berkumpul dengan keluarga meski hanya seminggu saja. Sehari sebelum emak berangkat ke Bukittinggi, mak membuatkan kami kue ‘karak kaliang talua’. Sungguh enaknya kue buatan emak. Dari tangannya yang sudah kasar, bekerja untuk kami sekeluarga pengganti tulang punggung karena tiadanya ayah tercinta. Saatnya emak kembali ke Kota Bukittinggi. Tak terasa waktu begitu cepat. Namun, kami melepas emak dengan kerinduan yang belum usai. Aku selalu mengingat kata‐kata emak untuk terus rajin belajar. Di sini aku mulai berpikir dan saya terus berusaha, berjuang untuk meraih prestasi. Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 23
Perjuanganku tersebut mulai menemui titik terangnya ketika aku duduk di bangku SMP. Di sinilah aku mulai percaya bahwa aku memiliki potensi yang akan menolong hidupku kelak. Kakak keduaku pun sudah pergi merantau untuk bekerja. Kakakku merantau ke kota bertuah, Pekanbaru. Kakak bekerja dan tinggal bersama sepupu yang ada di Pekanbaru. Setahun kakak di Pekanbaru beliau merantau ke Kota Medan, juga bekerja bersama sepupu. Tidak lama kemudian kakak pun pindah ke Riau kembali, tepatnya di Kota Bengkalis dan tinggal bersama sepupu. Di Kota Bengkalis kakakku membuka usaha toko baju dan sukses. Di sanalah kakak mendapatkan jodohnya seorang pengusaha sukses. Mereka menikah. Dari kakak kedualah yang membiayai sekolah saya. Tiga tahun berlalu, emak pun diajak ke Kota Padang Panjang oleh Dr. Faisal, menantu dari Bu Hj. Ana. Emak bekerja di rumah Dr. Faisal selama empat tahun. Tergerak oleh kakekku untuk mengunjungi emak ke Bukittinggi saat itu. Kami berangkat selepas Shalat Subuh. Setiba kami di Bukittinggi di rumah Bu Hj. Ana kami dengar kabar kalau emak sudah tidak di Bukittinggi lagi. Kami pun kaget mendengar penjelasan Bu Hj. Ana. Ternyata emak sekarang di Kota Padang Panjang bersama anaknya Bu Hj. Ana. Sudah dua bulan mak di Padang Panjang tanpa kabar. Namun, emak tetap mengirimi kami uang tiap bulannya. Senja menyapa, kami pun pulang ke kampung dengan perasaan sedih. Mendengar kabar itu kakak keduaku kaget dan memutuskan supaya emak tidak usah lagi bekerja. Beberapa minggu kemudian emak berbicara kepada Dr. Faisal. 24 | Safridah Dkk
”Etek mau istirahat dulu ya, Faisal, sudah lama etek tidak pulang kampung dan anak etek pun sudah bekerja semua. Anak‐anak etek semua menyuruh pulang untuk beristirahat dan menjaga nenek dan kakeknya.” Dr. Faisalpun terdiam. Ada raut kesedihan di wajahnya karena emak sudah dianggap seperti orang tuanya sendiri. ”Baiklah, Tek, kalau begitu Etek saya izinkan pulang kampung. ”Terima kasih banyak ya, Tek, atas semua bantuan Etek dalam mengurus rumah dan anak saya.” ”Iya, sama‐sama, Sal, Etek pun begitu.” Emak pun sudah berhenti bekerja karena kakak kedua menyuruh emak untuk beristirahat. Emak kembali tinggal di kampung bersama kakak sulungku, nenek, dan kakekku. Kakak sulungku juga sudah mempunyai usaha sendiri saat itu. Sehingga aku bisa menyelesaikan sekolah menengah pertamaku. Tahun pun berganti, kakek dan nenekku menghadap Sang Ilahi. Tinggallah kami bertiga saat itu. Saatnya aku menduduki bangku SMA. Salah seorang sepupuku membawaku bersekolah dan tinggal bersamanya di Kota Perawang, Riau. Emak pun menyetujui permintaan sepupuku karena dia melihatku ada potensi dan berprestasi. Saatnya berpisah dengan keluargaku. Aku ikut saja apa keputusan mereka. Tujuanku hanya satu, mengejar cita‐cita. Sebelum berpisah emak memberi nasihat kepadaku. ”Hati‐hatilah di rantau orang, Nak. Gapailah cita‐citamu. Jangan tinggalkan shalat. Berbuat baiklah kepada orang‐ orang.” Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 25
Aku memeluknya dengan erat seakan tak mau berpisah, Di sinilah aku baru sadar bahwa kasih sayang seorang ibu tak pernah putus sampai kapan pun. Emak takkan tergantikan oleh siapa pun. Saatnya aku memulai hidup baruku di bangku SMA. Berpisah jauh dari keluarga rasanya tak sanggup kubendung. Setiap malam air mata ini membasahi pipi. Namun, aku selalu mengingat nasihat emak agar rajin belajar biar kelak menggapai cita‐cita dan menjadi orang sukses. Tiap bulan kakak‐kakakku berkirim uang belanja untukku. Karena tinggal bersama sepupu itu tak senyaman tinggal bersama keluarga sendiri. Banyak liku tetesan air mata yang kuusap dengan tanganku selama tinggal bersama sepupuku dalam menggapai cita‐citaku. Namun, emak selalu menguatkanku. Tiap minggu emak meneleponku dan memberi semangat dan kekuatan agar tetap bertahan demi cita‐citaku. Sepuluh tahun aku tinggal bersama sepupuku sampai aku menduduki bangku perkuliahan. Aku masuk Universitas Lancang Kuning di Kota Pekanbaru. Aku mengambil perkuliahan nonreguler, jurusan bahasa Inggris, di mana kuliahnya hanya tiga hari dalam seminggu. Jam lima aku sudah bangun. Selesai Shalat Subuh semua pekerjaan rumah aku kerjakan. Beginilah tinggal di rumah sepupuku. Aku kerjakan dengan ikhlas. Karena apa yang kulakukan belum sebanding dengan pekerjaan emakku dalam menghidupi kami tanpa seorang ayah. Hampir setiap malam aku menangis karena begitu banyak kelelahan yang aku hadapi di rumah sepupuku. Tapi tidak, pikirku dalam hati,” Aku harus melawan ini demi cita‐citaku.” Aku harus 26 | Safridah Dkk
semangat, berjuang untuk keluargaku demi sebuah nasihat emakku. Saatnya kujemput toga. Hari wisudaku telah tiba. Aku lulus dengan nilai sangat memuaskan. Aku menyampaikan kabar bahagia ini kepada emak. Keluargaku datang dari kampung untuk menghadiri hari wisudaku. Setelah sepuluh tahun aku berjuang. Tibalah saatnya aku membahagiakan emakku dengan toga dan baju wisuda yang kupakai. Saat itu aku wisuda di “Hotel Labersa”, Pekanbaru. Pagi‐pagi semua peserta sudah duduk di bangku yang sudah ada tertera nama‐ nama peserta wisuda. Saya selalu melihat ke arah pintu masuk gedung. ”Mak kok belum datang ya?” pikirku. Aku sudah tidak sabar menunggu kedatangan keluargaku yang selama ini selalu mendoakanku, memberi dukungan kepadaku. Lima belas menit lagi acara akan segera dimulai, namun emak belum memasuki ruangan. Satu peserta wisuda mendapatkan undangan untuk dua orang. Undangan tersebut sudah kuberikan kepada sepupu dan kakak keduaku yang sudah lebih dulu datang dari Bengkalis. Namun, sepupuku belum datang. Aku meneleponnya. ”Kak, lagi di mana?” ”Kami mengajak anak‐anak jalan dulu. Mungkin kami tidak sempat lagi datang.” ”Oh, gak apa‐apa, Kak,” ucapku sedih. Aku pun masih melihat ke arah pintu masuk. Namun, emak belum juga datang. Aku menelepon kakak yang di luar hotel. ”Kak, apakah Mak sudah datang?” Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 27
”Belum, tunggu saja sebentar lagi.” ”Tapi acaranya mau dimulai, Kak.” Waktu pun berjalan. Saatnya namaku dipanggil untuk pemindahan tali togaku. Aku berharap sangat emakku bisa menyaksikannya. Kakiku melangkah terasa berat. Air mataku tak bisa kubendung karena mak belum juga datang. Setelah selesai aku pun berjalan menuju kursiku sambil melihat ke arah kursi tamu undangan yang berada di belakang kursi peserta wisuda. Aku melihat dari kejauhan seorang ibu yang berdiri, memakai baju berwarna kuning bertepuk tangan. Ternyata itu emak. Aku pun berjalan cepat sekali ke arah emak sambil membawa air mata kebahagiaan. Aku memeluk emak dengan kuat sekali. Bahagia bercampur haru. ”Sekarang aku sudah jadi sarjana, Mak. Terima kasih atas doa, nasihat, kekuatan Mak selama ini sehingga aku bisa menggapai cita‐citaku seperti yang Emak inginkan.” ”Iya, Nak. Mak bangga sama kamu. Tetaplah menjadi orang yang rajin beribadah, kuat, baik terhadap orang dan jangan sombong.” ”Hanya doa Mak yang senantiasa mengiringi langkahku, hingga aku sukses nanti.” Acara wisuda pun selesai. Aku pun keluar dari gedung bersama emak dan menjumpai kakak‐kakakku yang di luar gedung karena tidak dapat undangan untuk masuk gedung. Bahagianya aku saat itu. Orang‐orang yang kusayangi datang menghadiri hasil perjuanganku selama ini. Kami pun pergi melepaskan kerinduan, makan, dan jalan‐jalan. 28 | Safridah Dkk
”Terima kasih ya Allah, atas perlindungan‐Mu selama aku berjuang dalam menggapai cita‐citaku. Kini aku telah menjadi seorang guru. Terima kasih, Emak. Sampai sekarang memori itu tidak akan hilang dari otakku. Di mana aku mulai pertama kali pengorbanan yang sangat berarti bagiku. Pengorbanan emak yang takkan pernah kulupakan walau nanti aku yakin waktu tidak akan abadi. Thank you Mother, for all that you do. I Love You Mom. Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 29
Selamanya Rindu Oleh: Daris Kandadestra (Guru SDIT Al Fityah Pekanbaru) S ejauh mana kaubawa nama bunda dalam hidupmu? Sebanyak apa kisah yang kau ingat tentang sosok seorang ibu? Seindah apa kenangan yang kausimpan tentang sosok tangguh emak? Sedalam apa kerinduanmu pada sosok umi? Sosok mulia yang mungkin saat ini tak lagi ada di sampingmu. Sungguh, bagiku tak pernah hilang dan tak pernah habis untuk menceritakan betapa indah setiap detik bersama emak. Ya, “emak” begitu aku memanggil perempuan surga yang tak pernah terganti oleh sosok mana pun di dunia ini. Seingatku, segala hal tentang emak semuanya indah. Setiap detik bersamanya adalah bahagia. Semua tentang emak adalah kenangan terindah dalam hidupku. Kenangan terindah yang membuatku selamanya rindu. Hanya ingin bertutur tentang kerinduan akan kenangan pada sosok mulia dalam surga hatiku. Jika kau bertanya padaku apa arti rindu Aku pun akan bertanya yang sama padamu Karna aku saat ini sedang merindu Rindu dan selalu rindu Rindu yang teramat rindu Rindu pada sosok yang penuh kerinduan 30 | Safridah Dkk
Rindu pada dia yang selalu menitipkan rindunya lewat doa‐ doa syahdunya. Doa‐doa rindu yang terucap bersama bulir air mata rindu Berharap mampu menggetarkan Arasy Nya sekali lagi. Saat usiaku baru 5 tahun, aku sangat ingin bersekolah, tapi karena peraturan, aku harus menunggu setahun lagi untuk masuk sekolah dasar. Sementara di era 90‐an untuk sekolah Pendidikan Usia Dini belumlah ada sebagaimana saat ini dapat dijumpai di banyak tempat. Maka aku harus menahan keinginan untuk bersekolah. Ya, tahun ini di bulan Juli. Namun, mak sangat mengerti perasaanku. Mak tak hanya menunggu, mak pernah membawaku bertemu kepala sekolah, tempat kakakku dan anak‐anak di sekitarnya bersekolah. Aku masih merekam jelas semuanya. ”Putra ingin sekali sekolah, Bu guru,” ujar mak saat itu sambil mengelus rambutku. Mencoba mendamaikan perasaanku yang gelisah. Sejenak ibu kepala sekolah, Bu Nelma, memandangku. ”Namanya Putra, ya?” Suaranya lembut namun berwibawa. ”Putra boleh ke sekolah kapan saja, tapi belum pakai seragam seperti kakak, ya,” tambahnya. ”Sekarang Ridwan boleh bermain dulu di luar, ya,” ucap bu guru itu memberikan kelegaan luar biasa padaku. Aku mengangguk senang seraya tersenyum memandang mak. Mak mengangguk dan aku pun berlari keluar ruangan diiringi pandangan mak yang juga tersenyum. Aku tentu saja tidak tahu makna senyuman mak sesungguhnya. Bahwa di Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 31
dalam ruangan tadi percakapan emak dan ibu kepala sekolah berlanjut. Ibu Nelma menghela napas. ”Usia anak ibu baru 5 tahun, Bu. kami belum bisa menerima anak seusia anak ibu untuk bersekolah di sekolah dasar. Kalau di kota usia itu masuk TK dulu.” Mak hanya terdiam. ”Begini saja, Bu. Putra boleh datang ke sekolah kapan saja dia mau untuk mengenal lingkungannya,” ujar ibu kepala sekolah kembali memecah kebisuan. ”Nanti saat usianya 6 tahun bulan Juli nanti, saya langsung mendaftarkannya sebagai murid baru,” jelas ibu kepala sekolah menutup percakapan memberikan kelegaan buat emak. Setelah hari itu, nyatanya aku tidaklah benar‐benar datang setiap hari ke sekolah seperti keinginannya semula. Memang sekali waktu aku ikut kakak ke sekolah. Tapi itu sangat jarang yakni tiga atau empat bulan saja ketika ayah dan mak pergi ke pasar untuk berbelanja keperluan harian ke kecamatan. Selebihnya, ia masih malas bangun dan mandi di pagi hari. Emak tidak mempermasalahkan hal itu. Namanya juga masih anak‐anak. Belum mengerti benar apa itu keinginan begitu pikir mak. Tapi setelah resmi sebagai murid sekolah dasar, aku rajin bangun dan mandi pagi. Memakai seragam sekolah dan menyandang tas di pundak. Bahkan aku selalu mendapat juara 1 di kelas. Meskipun jumlah muridnya tidak banyak. Biasalah di kampung, apalagi murid perempuan. Umur 10 tahun sudah dinikahkan. Bahkan saat aku kelas 6, aku hanya 32 | Safridah Dkk
berdua dengan seorang temanku, Rukiah dan tamat SD dia pun dinikahkan. Sementara aku melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Tarbiyah Islamiyah di kecamatan. Juli tahun itu, aku pun diantar oleh emak. Kali ini aku telah cukup umur untuk diterima di sekolah dasar. ”Ibu, saya titip anak saya untuk diajar dan didik di sekolah ini. Kalau dia nakal pukul saja, Bu,” demikian ucapan mak saat menyerahkanku pada kepala sekolah. Sejak saat itu aku resmi berstatus anak SDN 032 Pambaru. *** Mengisi liburan di kampung sangatlah indah menurutku. Ada banyak kegiatan yang biasa dilakukan anak‐anak seusiaku. Mandi di sungai, bermain kelereng, bermain karet, bermain petak umpet, berburu burung hingga bertualang ke hutan ala My Trip My Adventure (MTMA) zaman dulu adalah beberapa hal yang sering aku dan teman‐temanku lakukan. Namun, liburan kali ini aku dan kakak ingin mencoba sesuatu yang lain. Ya, kami akan ikut berkebun bersama mamak dan ayah. Kebetulan mamak dan ayah membuka lahan baru di ujung kampung. Kata ambo lahan itu akan ditanami jagung dan pisang. Berkebun jagung membutuhkan waktu sekitar 4 bulan sejak hari tanam hingga jagung siap panen. Sebelum ditanami lahan harus dibersihkan dari rumput liar agar tanaman tumbuh dengan baik. Pagi‐ pagi sekali, mamak dan ambo sudah mempersiapkan segala keperluan yang akan diperlukan. Mulai dari peralatan berkebun seperti cangkul, parang, dan bakul. Demikian pula bahan makanan yang nanti akan dimasak di kebun. Wah, terbayang bagaimana asyiknya Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 33
makan di dalam suasana kebun. Aku dan kakakku pun telah siap berangkat. Berangkatlah mereka anak beranak menuju kebun di ujung desa. Kira‐kira satu jam kemudian mereka pun tiba. Hamparan lahan yang terlihat masih kosong terhampar di depan mata. Ada sebuah pondok mungil tak jauh dari tempat di mana kami berdiri. Tampak beberapa pohon pisang tampak berdiri berjejer di sepanjang jalan. Perlahan semilir angin meniupkan aroma khas kebun tanah gambut. Ayah, mamak, aku, dan kakak beriringan menuju ke arah pondok mungil di tengah kebun. Cukup memakan waktu untuk sampai ke kebun tersebut. Di sepanjang jalan kampung kami berpapasan dengan beberapa warga dengan berbagai aktivitasnya. Saat melintas di depan rumah Pak Amat tampah beliau berserta anak dan empat anaknya sedang membersihkan kebun kelapa mereka. Tak lama setelah itu kami berpapasan dengan Pak Idrus bersepeda ontel yang rupanya akan ke pasar kecamatan. Warga saling menyapa dan tersenyum, berbicara sebentar lalu berpisah. Akhirnya, setelah berjalan kaki hampir satu setengah jam kami tiba. ”Nah, kita sampai. Ini kebun kita. ”Ayah, kenapa kita berkebunnya di sini? Kenapa tidak dekat rumah saja?” ”Di sini lahannya masih baru, baik untuk berkebun jagung dan tanaman semusim lainnya. Kalau di dekat rumah kita itu sudah ditumbuhi pohon kelapa. Tanahnya sudah terlindung rindangnya pohon kelapa jadi tidak lagi baik untuk berkebun tanaman musiman seperti jagung,” jelas ayah. 34 | Safridah Dkk
”Kita tinggal di sini aja ya,” timpal Putra. ”Ini kan ada rumahnya ”Ini pondok, nggak ada dindingnya Adek, banyak nyamuk,” tukas kakak. ”Iya, nanti mungkin kita akan bermalam di sini sesekali bila tanaman jagungnya sudah ditanam harus dijaga dari hama binatang seperti babi dan monyet,” jelas mamak. Aku tersenyum penuh kemenangan memandang kakak. Kakak manyun. ”Tapi babi dan monyet itu datang dari mana?” tanyaku. ”Mereka datang dari sana.” Ayah menunjuk suatu arah. ”Dari hutan di ujung desa ini,” tambahnya. ”Wah, Putra mau ke hutan itu boleh, Yah?” ”Heh, nanti kamu dimakan harimau! Aum,” kakak menirukan wajah harimau sambil tangannya dibentuk seperti ingin mencakar. ”Hush, jangan begitu. Tidak boleh disebut begitu kakak,” ujar mamak serius. ”Kenapa, Mak? Itu kan memang namanya,” tukas kakak. ”Orang‐orang biasa menyebut dengan “nenek” untuk menghormatinya sebagai raja rimba. ”Oooo..” aku dan kakak hanya mampu mengucapakn itu tanda kami masih bingung. ”Ayo, kita mulai berkebunnya,” ajak ayah. Aku dan kakak segera bermain sesukanya. Bermain di alam yang masih asri. Berlarian mengejar belalang, memetik bunga‐bunga dari perdu dan semak, melihat jamur di kayu‐ kayu lapuk. Ya, sejatinya aku dan kakak tidaklah berkebun. Kami asyik bermain. Kakak membuat pondok‐pondok Wajah Berbalut Taman Surga (Kumpulan Cerpen) | 35
atapnya dari kain yang memang dia bawa agar tidak kotor. Aku dan kakak menumpuk rerumputan untuk tempat kami duduk. Terasa empuk seperti sofa. Aku sangat senang di alam seperti ini. Aku terobsesi jadi petualang seperti dalam buku “Melacak Alam”. Buku itu diberikan oleh kepala sekolah saat aku membantunya membersihkan rumahnya. Sesekali aku melihat ke arah pondok. Mamak melihatku dari pondok dengan tersenyum. Senyum terindah yang selalu membuatku merasa paling bahagia di dunia. Sementara ayah terlihat bersemangat membersihkan lahan dari potonngan‐ potongan kayu, menumpuknya yang kemudian nanti akan dibakar untuk diambil abunya sebagai pupuk. Tubuh ayah telah basah bersimbah keringat. Orang‐orang kampung seperti ayah sehat fisiknya karena setiap hari berolahraga dan berkebun berkeringat di bawah sinar matahari hingga pukul sebelas nanti saat matahari telah sangat panasnya membuat tubuh tak kuat menerimanya. Mamak di pondok saja mempersiapkan minum ayah dan makan siang saat nanti istirahat siang. ”Putra, Sarah, ayo ke sini!” suara mamak memanggil kami. Aku dan kakak segera berlari ke arah mamak. ”Jangan lari‐lari, banyak kayu. Nanti jatuh,” seru mamak khawatir. Aku sampai lebih dulu dari kakak. ”Mak, haus Mak, minum,” aku terengah. Mamak menuangkan air putih ke dalam gelas plastik dan menyodorkan padaku. Aku meminumnya. Segar sekali. 36 | Safridah Dkk
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148