William Marsden dalam kitabnya yang bertajuk Grammer of The Malayan Language tahun 1812, berpendapat; dua baris pertama yakni sampiran merupakan kiasan terhadap dua baris berikutnya yakni isi pantun. Pendapat ini didukung pula oleh John Craufurd dalam kitabnya Grammer and Dictionary of The Malayan Language terbitan pertama, tahun 1852. William Marsden berkesimpulan, atas sampiran sebagai kiasan terhadap isi, dipakai dengan teliti oleh orang Melayu. Sedangkan John Craufurd melihat hubungan sampiran dengan isi, bagaikan teka-teki, yakni teka-teki pengertian, karena kiasan yang dikandungnya. Abbe P. Favre dalam kitabnya bertajuk Grammair de la language Malaise tahun 1876 menyatakan; dua baris pantun yang mula-mula sampiran) berfungsi sebagai lambang terhadap dua baris berikutnya (maksud/isi), bukan untuk menentukan maksud atau isi pantun. Pendapat ini disokong oleh W.R. van Hoevell dan L.K. Harmsen, mengatakan bahwa; dua baris pertama pada pantun sering menyatakan suatu yang bukan-bukan, sebab yang dipentingkan di situ hanyalah keindahan bunyi, sebab pantun itu dilagukan oleh orang Melayu. (134). Kemudian daripada itu, Pijnappel membandingkan kata pantun dalam bahasa Melayu dengan umpama dalam bahasa Batak Toba dan kata Wangsalan dalam bahasa Jawa, yang merupakan teka-teki bunyi dalam perkataan. Dia berkesimpulan, seloka kadang-kadang disamakan dengan pantun. Beliau berkesimpulan kata pantun dalam bahasa Melayu itu berasal dari perubahan perkataan pribahasa, sehingga dua baris pertama pantun menjadi kiasan terhadap dua baris berikutnya, seperti yang diterangkannya dalam kitabnya Over der Maleische Pantoen’s. Ch. A. Van Ophuysen dalam pidatonya ”Het Malaische Volkgedicht” menduga bahwa pantun berasal dari bahasa daun-daun, setelah dia menjumpai ende-ende orang Mandailing yang memakai bahasa daun-daun untuk mengganti surat-surat percintaan. (BUATKAN 51
CONTOH). Sedangkan R. J. Wilkinson dan R.O. Winsted justru mengatakan sebaliknya; bukan pantun berasal dari bahasa daun-daun, tetapi bahasa daun-daunlah yang berasal dari pantun. Selanjutnya Wilkinson dan Winsted menyatakan bahwa asas pantun yang utama ialah dua baris pertama berisi sugesti bunyi, yaitu bunyi yang memberi petunjuk kepada dua baris terakhir. Kebiasaan mempergunakan sugesti bunyi itulah yang akhirnya melahirkan pantun. H. Overbeck juga melihat hubungan bunyi dalam pantun. Pantun mempunyai hubungan bunyi dan hubungan fikiran, seperti yang diterangkannya dalam kajiannya tentang pantun yang bertajuk The Malay Pantun yang disiarkan tahun 1922. UU. Hamidy. JAGAD MELAYU DALAM LINTASAN BUDAYA DI RIAU. (Pekanbaru: Bilik Kreatif Press, 2006). oooOOOooo 3. Nama dan Istilah Lain Pantun Pantun merupakan salah satu jenis puisi lama yang sangat luas dikenal dalam bahasa-bahasa Nusantara. Dalam bahasa Jawa, misalnya, dikenal sebagai parikan, dalam bahasa Sunda dikenal sebagai paparikan, dan dalam bahasa Batak dikenal sebagai umpasa (baca: uppasa). Kata pantun terdapat juga dalam kesusastraan Sunda, tetapi dengan arti yang lain, yaitu sebuah cerita panjang berbentuk prosa, diselingi dengan bagian-bagian yang berirama dan berima, membicarakan tentang riwayat dari zaman dahulu dan dengan iringan kacapi, berganti- ganti dideklamasikan dan dinyanyikan (kecapi adalah semacam alat musik). Dalam perbedaan arti antara pantun Melayu dan pantun Sunda inilah terdapat keberatan terhadap uraian- uraian Prof. Pijnappel yang tajam pandangannya mengenai etimologi kata Melayu pantun, meskipun tentu saja kita tak 52
usah a priori menerima bahwa dua kata itu mempunyai asal yang sama. Barangkali kita masih dapat memperkuat pernyataan Pijnappel dengan menunjuk dalam buku Winter Javaansche Zamenspraken (jilid II, halaman 207) pada peribahasa sugih pari angawak-awakkaké, yaitu kaya akan pari untuk membandingkan atau memperolok-olok orang lain dengan sesuatu. Menurut keterangan, di sini pari berarti basa, babasan ialah peribahasa, perbandingan, dan peribahasa itu diterapkan pada seseorang karena ia suka membuat perbandingan yang mengandung ejekan, misalnya dikatakan \"hidung N.N. seperti. terong glatik\" (semacam buah). Selanjutnya untuk lebih menjelaskan bentuk krama Jawa pantun untuk pari singkatan dari paribasa yang diambil dari bahasa Sanskerta paribhāsjā, kita menunjuk pada kata Melayu intan, ‘permata, bahasa Jawa ‘inten‘, bentuk krama dari bahasa Sanskerta hira. Juga kita menunjuk pada kata Melayu jintan (semacam biji), bahasa Jawa jinten, bentuk krama dari bahasa Sanskerta jira. Pantun memang mengandung arti paribasan, Melayu peribahasa. Tetapi dalam hal ini, suatu etimologi yang lain untuk kata ini mencakup juga pantun Sunda. http://melayuonline.com/article/? a=THFtL3FMZVZBUkU4Ng%3D%3D=&l=latar- belakang-magis-yang-mendasari-arti-pantun-melayu Oleh: R.A. Hoesein Djajadiningrat Orang pertama yang sengaja mempelajari pantun adalah Dr. J. Pijnappel Gzn. dalam karangannya yang berjudul Over de Meleische Pantuns dan diterbitkan dalam Bijdragen van het Koninldijk Instituut voor de taal-, land-, en volkenkunde van Nederlands-Indië pada kesempatan kongres para orientalis internasional yang keenam di Leiden, tahun 1883. 53
Pijnappel berpendapat bahwa keterangan tentang adanya pantun harus berdasar atas keterangan tentang kata pantun. Lebih dahulu dalam penjelasannya dia pusatkan perhatiannya pada pengamatan Van Der Tuuk akan adanya persamaan antara umpama Toba-Batak dan pantun Melayu berdasarkan keterangan Van Der Tuuk tentang kedua bentuk sajak itu, yaitu bahwa dua baris yang pertama hanya dimaksudkan untuk rima dan hanya dalam pengecualian mempunyai hubungan arti dengan dua baris terakhir. Pijnappel membandingkan umpama Batak dan pantun Melayu dengan wangsalan Jawa, semacam teka-teki bunyi dan kata. Dalam teka-teki ini, hanya bunyi kata-kata yang merupakan kunci pemecahannya. Selanjutnya dia mengemukakan bahwa di satu pihak seloka Melayu, sebuah sajak ungkapan, dan pantun pernah dijelaskan sebagai sinonim; di pihak lain seloka Jawa yang dalam arti kiasannya umpama dan paribasan yang dalam arti kiasannya peribahasa, begitu saja dibedakan yang satu dari yang lain. Sesudah akhirnya mengemukakan bahwa kata-kata paribasan dan wangsalan dalam artinya semula, artinya itu hanya terdapat dalam bagian kedua, tetapi kemudian menjadi arti untuk seluruhnya, dan kata umpama dalam bahasa Melayu juga berarti gambaran atau peri, maka sampailah dia pada kesimpulan bahwa pantun Melayu tidak lain hanya perubahan dari paribasan dengan menghilangkan bagian terakhir kata itu dan kemudian memberikan pada kata pari, sesuai dengan arti Jawa, sebuah bentuk yang lebih gagah ialah pantun. Kesimpulannya demikian: \"Sebuah pantun sebenarnya adalah sebuah kuplet yang mengandung suatu gambaran yang sedikit kurang jelas dan diterangkan oleh yang lain, tidak peduli isinya, meskipun dengan sendirinya gambaran-gambaran seperti itu yang digunakan sebagai sindiran mempunyai semangatnya sendiri.\" 54
Kesimpulan ini diujikan kebenarannya pada pantun tentang telur itik yang datang dari Sanggora yang telah saya rebut tadi. Pijnappel berkata bahwa baris pertama bermaksud memberikan suatu gambaran adanya jarak yang jauh, dan yang kedua adanya jarak yang dekat sekali; dengan gambaran rangkap ini dimaksudkan bahwa pembunuhan dilakukan berjarak jauh dari tempat mayat dimakamkan. Dia masih menambahkan bahwa gambaran itu dapat juga dinyatakan dengan bunyi, seperti dalam wangsalan Jawa. Tentu saja ada juga gambaran-gambaran yang tidak jelas sehingga seluruh perbandingan itu tetap gelap bagi kita. http://melayuonline.com/article/? a=THFtL3FMZVZBUkU4Ng%3D%3D=&l=latar- belakang-magis-yang-mendasari-arti-pantun-melayu Oleh: R.A. Hoesein Djajadiningrat Ilmuwan Swiss, Dr. R. Brandstetter, yang mengadakan studi perbandingan bahasa-bahasa Indonesia, dalam deretan bukunya Wir Menschen der Indonesischen Erde, dalam salah satu jilidnya (jilid IV) menulis tentang Die indonesischen Termini der schönen Künste and der künstlerisch verklärten lebensführung (terbit tahun 1925). Dalam karyanya ini (halaman 20 dan 25) kata Sunda pantun dia salurkan dari akar tun, yang juga ditemukan dalam bahasa Pampanga tuntun, ‘teratur‘, bahasa Tagalog tonton, ‘membacakan sesuatu menurut aturan‘, Jawa Kuno tuntun, ‘alur‘, atuntun, ‘dalam barisan‘, dan matuntunan, ‘membimbing‘, bahasa Bisaya panton, ‘mendidik‘, dan bahasa Toba pantun ‘kesopanan; sopan-santun‘. Jadi akar tun menunjuk pada ‘yang teratur, yang lurus‘, baik konkret maupun abstrak. http://melayuonline.com/article/? a=THFtL3FMZVZBUkU4Ng%3D%3D=&l=latar- belakang-magis-yang-mendasari-arti-pantun-melayu Oleh: R.A. Hoesein Djajadiningrat 55
Menurut pakar perbandingan bahasa-bahasa Polynesia-Austronesia Brandstetter, kata “Pantun” berasal dari akar kata tun yang terdapat juga dalam bahasa-bahasa di Nusantara, misalnya bahasa Pampanga tuntun, yang berarti teratur; dalam bahasa Tagalog tonton, mengucapkan sesuatu dengan susunan yang tertentu; dalam bahasa Jawa Kuno tuntun berarti benang, atuntun, teratur, dan matuntun, berarti memimpin. Dalam bahasa Bisaya, panton bermakna mendidik; bahasa Toba, pantun adalah kesopanan atau kehormatan. Ringkasnya akar kata tun dalam bahasa- bahasa Nusantara merujuk pada sesuatu yang teratur, yang lurus, baik secara konkret atau abstrak (lihat Piah 1989 Harun Mat Piah. 1989. Puisi Melayu Tradisional: Satu Pembicaraan Genre dan Fungsi. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.:105—106 ; Liaw Yock Fang Liaw Yock Fang. 1993. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: Erlangga.1993:195). Banyak pakar juga yang mengaitkan kata tun dengan arti sebagai kiasan atau perumpamaan dengan maksud mengandung unsur-unsur pepatah dan peribahasa. Bahkan dalam Kamus Besar Melayu Nusantara (2003:1981) pengertian yang kedua entri kata pantun adalah sejenis peribahasa yang digunakan sebagai sindiran. Sesungguhnya pengertian pantun sebagai pepatah atau peribahasa ada kaitannya dengan perkataan dan pengertian yang sama dalam bahasa- bahasa Nusantara yang lain. R. Hoesein Djajadiningrat, memetik keterangan Winter dalam Javaansche Zamenspraken bahwa pari yang berarti basa, babasan, yaitu peribahasa atau perbandingan; dan peribahasa itu dipakai bagi orang yang suka 56
membuat perbandingan untuk mengolok-olok. Dalam bahasa Jawa, kata pantun itu adalah bentuk krama dari kata pari, yaitu bentuk pendek dari kata paribahasa atau pribha‘sja‘ dalam bahasa Sanskrit. Artinya, kata pantun berarti juga paribasa atau peribahasa dalam bahasa Melayu.[2 [2] Harun Mat Piah, 1989, Puisi Melayu Tradisional: Satu Pembicaraan Genre dan Fungsi, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, halaman 107.] Bahkan dalam bahasa Dayak Suhaid di Kapuas Hulu Kalimantan Barat, ada satu tradisi yang disebut Sandai, yaitu sejenis puisi tradisional yang memiliki bentuk dan struktur yang mirip dengan Pantun Melayu. Sandai ini dalam tradisi lokal Dayak Suhaid disamakan maknanya dengan perumpamaan, kiasan atau peribahasa.[3] Perhatikan contoh berikut. Abis pehame‘ kami-kami de bahe‘ Baju yang gahe‘ sama-sama sepakai Lain de lage‘ kami-kami de bahe‘ Daun de munte‘ pakai-pakai belambai Ante kunyahuk jadi-jadilah sampuk Udahlah kutebuk de tiang pelempai Antelah ante setahun lage Ngante behue betubah jadi huai http://melayuonline.com/article/? a=aUxvL3FMZVZBUkU4Ng%3D %3D=&l=ungkapan-rasa-dan-pikir-dalam-pantun- melayu-kalimantan-barat Oleh : Dedy Ari Asfar oooOOOooo Nama dan bentuk lain pantun: 57
disebut ‘peparikan’ di Jawa, ‘kayat’ di Kuantan-Riau, ‘pepantunan’ di Bali, Nenggung di Palembang, dan Jantuk di Betawi. a. Paparikan (Sunda) b. Wangsalan (Jawa) c. umpasa baca: uppasa (Batak) d. pantoum atau pantoun Pantun merupakan salah satu dari lima jenis puisi Melayu tradisional (Mohd. Taib Osman, 1978), selain syair, gurindam, seloka, dan ikatan puisi bebas (seperti teromba, endui, mantera, pepatah, petatah-petitih). Berdasarkan minat dan sambutan masyarakat, pantun ternyata telah mendapat perhatian yang luas daripada sarjana, khususnya sarjana Barat dan peminat puisi antarabangsa. (ix). Bilakah pantun mula dibawa berlayar ke Barat? Mungkin orang Portugis dan Belanda telah mengenali pantun lebih awal berbanding dengan orang Inggris, karena orang Portugis dan Belanda lebih dahulu meneroka dan menjelajah dunia sebelah Timur. Tetapi walau bagaimanapun, terdapat suatu bukti yang kukuh tentang peranan Inggeris membawa pantun Melayu ke Barat. Dalam A Dictionary and Grammar of Malayan Language susunan William Marsden yang diterbitkan di london pada tahun 1812, telah memuat pantun berkait (yang dimuatkan dalam buku Marsden-Inggris yang diterjemahkan oleh Ernest Fouinet-Prancis sebelum diberikan kepada Victor Hugo dalam bahasa Melayu sebagai berikut: Kupu-kupu terbang melintang Terbang di laut di hujung karang Hati di dalam menaruh bimbang Dari dahulu sampai sekarang (The butterflies are flying about on their wings; 58
The fly towards the sea, close to the chain of rocks. My heart has been feeling sick in my bosom Ever since my first days to the present hour) Terbang di laut di hujung karang Burung nazar terbang ke Bandan Dari dahulu sampai sekarang Banyak muda sudah kupandang (The fly towards the sea, close to the chain of rocks. The vulture directs its flight towards Bandan Ever since my first days to the present hour) Many of youth have I admired) Burung nazar terbang ke Bandan Bulunya lagi jatuh ke Pattani Banyak muda sudah kupandang Tiada sama mudaku ini (The vulture directs its flight towards Bandan Its lets some of its feathers fall on Pattani Many of youth have I admired But none to be compared with the one I have chosen) Bulunya lagi jatuh ke Pattani Dua puluh anak merpati Tiada sama mudaku ini Sungguh pandai memujuk hati Its lets some of its feathers fall on Pattani Here are two (sic) young pigeons But none to be compared with the one I have chosen) Clever as he is to touch the heart)(x-xi) Menurut seorang penulis dan pengkaji sastra dari Prancis. Francois-Rene Daillie (1988), kemungkinan sahabat Victor Hugo (Victor Marie Hugo: 1802-1885) penulis Prancis dalam bidang novel, drama dan puisi; menjadi sangat terkenal karena novel sejarahnya The Hunchback of Notre Dame (1831). Antara kumpulan puisinya yang terpenting adalah Les Feuilles 59
d’Automne (1831) dan Les Chatiment (1853) yang bernama Ernest Fouinet telah membaca buku Marsden dan terpengaruh dengan pantun tersebut. Fouinet kemudian menyerahkan terjemahan dalam bahasa Prancisnya saja kepada Hugo, dan diterimanya tanpa pindaan. Demikian bermula tumbuhnya istilah Pantoum dalam persuratan Prancis yang kemudian dikembangkan oleh penyair Theophile Gautier melalui Les Papilons (Pantoum) pada tahun 1838. (xi). Pantun yang sampai ke Barat, lalu mempengaruhi persuratan Prancis yang ditemui dalam karya-karya Victor Hugo sebagaimana yang diperkatakan oleh C. Hugh Holman, begitu pula peneliti seperti Daillie juga membicarakan pengaruh pantun dalam karya Hugo (xi) Pantun (khususnya pantun berkait) dalam buku Marsden telah diperkenalkan melalui bahasa Inggris, kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Prancis. Sedang di Jerman, pantun diperkenalkan pada masa yang lebuh kurang sama melalui kajian seorang ilmuan dan budayawan Jerman Wilhelm von Humboldt, akhirnya juga diketahui oleh penyair romantis Jerman Adolbert von Chamisso yang dikatakan telah mencipta sejumlah pantun Jerman. Keseimpulannya Hans Overbeck sebagai perintis awal dan istimewa mengenai kajian sastra Melayu dari Jerman yang pernah diperkenalkan dalam Pantum Chamisso dan Pantun Victor Hugo (xii). ANWAR RIDHWAN dan E.U KRATZ. HATI MESRA ; PANTUN MELAYU SEBELUM 1914 SUNTINGAN HANS OVERBECK. (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2004). oooOOOooo Delapan untai pantun yang dipakai Marsden yang membangkitkan alun pengaruh kepada sgolongan penyair Romantisme di Perancis sebagaimana dibentangkan baik oleh Jaques Jouet dalam tulisannya ’Le Pantoum, genre Francais’ (1988) juga oleh 60
Francois Rene Daille yang bahkan menjadikan untaian tersebut dalam huruf jawi sebagai hiasan sampul bukunya (1990) terdapat pula dalam buku Haji Ibrahim (1877, hlm. 138). Hal ini menunjukkan kedelapan pantun tersebut, boleh dinamakan sebagai pantun Kupu-kupu terbang melintang – memanglah untaian pantun yang tergolong piawai di antara korpus pantun yang luas itu. HAJI IBRAHIM PANTUN-PANTUN MELAYU KUNO Penyelenggara / Pengantar : Hasan Junus, Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau, cet. III 2004 http://melayuonline.com/article/? a=RmlUL3FMZVZBUkU4Ng%3D %3D=&l=jatuh-ke-laut-menjadi-pulau- mengamati-hubungan-pantun-melayu-dan- pantoum-barat Oleh : Profesor Dr. Md. Salleh Yaapar (Universiti Sains Malaysia) Pendahuluan Perhubungan sastera antara pantun Melayu dengan pantoum atau pantoun Barat belum banyak diketengahkan untuk pengetahuan umum. Walhal ia amat menarik dan penting bagi memahami liku- liku perhubungan budaya dan silang-penyuburan dalam bidang sastera, khususnya yang melibatkan dunia Melayu dan Barat. Perbincangan ilmiah dalam kalangan pengkaji sastera tentang dua bentuk puisi yang jelas mempunyai afiniti ini juga belum dikendalikan dengn cukup meluas. Dalam lingkungan perbincangan yang agak terhad itu pula kerap timbul gambaran seolah-olah 61
perhubungan tersebut tidak begitu signifikan dan genre pantoum itu pula tidak berkekalan. Kertas kerja ini bertujuan mengamati dan memahami corak dan sifat sebenar perhubungan sastera antara pantun yang semenjak zaman berzaman terkenal di seluruh dunia Melayu dan pantoum yang mulai muncul di Barat dalam abad ke-19. Perhatian akan ditumpukan kepada arah-alir hubungan, bersama parameter geografis dan jangka masanya, serta tokoh-tokoh yang terlibat dengan penghasilan dan perkembangan pantoum. Tentunya aspek struktur dan latar budaya bagi kedua-dua jenis puisi tidak akan diabaikan. Bagi mencapai tujuan tersebut pendekatan kajian genetik (geneologi) dan kajian generik (genologi) dalam ilmu Kesusasteraan Bandingan akan dimanfaatkan. Perlu dicatat bahawa perbincangan dalam kertas ini masih pada tahap awal. Hal ini kerana banyak bahan yang berkaitan, terutama dari Eropah dan Amerika Utara, yang belum dapat dikumpul dan dikaji oleh penulis2. Pantun dan Pantoum: Serumpun Tidak Serupa Banyak yang telah ditulis tentang pantun. Ini termasuklah tulisan-tulisan yang dihasilkan oleh pengkaji dan sarjana Pengajian Melayu di Timur dan Barat seperti Harun Aminurrashid, Muhammad Haji Salleh, Suripan Hadi Hutomo, Goh Thean Chye, H. Overback, A.W. Hamilton dan Francois-Rene Daillie3. Tulisan-tulisan ini 62
meliputi aspek-aspek struktur atau bentuk, jenis atau kategori, fungsi, latar budaya pantun, dan estetika yang mendasarinya. Justeru itu untuk tujuan perbincangan dalam kertas ini hanya beberapa perkara asasi sahaja yang akan ditonjolkan. Pantun ialah puisi Melayu tradisional dari khazanah lisan. Pada asasnya ia terdiri dari empat baris yang mandiri dengan skema rima abab. Dua baris pertama merupakan pembayang atau sampiran, manakala dua baris berikutnya mengandungi isi. Biasanya bahagian pembayang menampilkan imej-imej atau unsur-unsur alam, sementara bahagian isi merujuk kepada dunia manusia yang meliputi perasaan, pemikiran, dan segala macam keperihalan hidupnya. Selain bentuk asas yang amat dikenali ini, terdapat juga pantun dua baris, enam baris, lapan baris, dan bentuk yang berkait yang dikenal sebagai pantun berkait. Berbanding dengan pantun, tulisan tentang pantoum tidak begitu banyak. Genre ini, dan kaitannya dengan pantun, masih belum luas diketahui di dunia Melayu. Kajian tentang perkaitan antara keduanya juga belum benar-benar dilaksanakan di sini.Umumnya pembaca di Malaysia mula mengetahui sedikit tentang pantoum dan kaitannya dengan pantun melalui buku Daillie, iaitu Alam Pantun Melayu: Studies on the Malay Pantun, yang diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, pada tahun1988. Bagi para pengkaji pula, maklumat awal sudah boleh didapati melalui beberapa ensiklopedia, glosari puisi dan tulisan-tulisan tertentu. Dalam konteks akademia mulai sekitar 63
masa tersebut penulis kertas ini sendiri telah menjadikan pantun dan pantoum sebagai bahan perbandingan tetap yang dalam kuliah-kuliah dan tutorial Kesusasteraan Bandingan di Universiti Sains Malaysia4. Pantoum ialah suatu bentuk puisi moden Barat dari tradisi tertulis yang dilengkapi dengan nama pengarangnya. Bermodelkan pantun Melayu, ia terdiri dari beberapa kwatrin yang berkait, dengan baris kedua dan keempat tiap stanza dijadikan baris pertama dan ketiga bagi stanza berikutnya, dan begitulah seterusnya hingga ke stanza yang terakhir. Baris pertama sesebuah pantoum juga menjadi baris penamatnya5. Umumnya pantoum mempunyi skema rima abab. Dalam tiap stanzanya pula terdapat dua tema atau perkara yang selari, satu pada kuplet pertama dan satu lagi pada kuplet berikutnya. Perlu juga disebut bahawa dalam pantoum tidak wujud keperluan khusus pada imej-imej alam seperti yang terdapat dalam pantun. Jatuh Ke Laut Menjadi Pulau: Dari Pantun Ke Pantoum Pantun dari dunia Melayu mula menarik perhatian beberapa penyair romantik Eropah abad ke-19 apabila Victor Hugo, pengarang agong Perancis, menyelitkan sebuah terjemahan pantun di bahagian “Nota” bagi koleksi puisinya Les Orientales yang terbit pada tahun 1829. Pantun tersebut, yang dalam konteks Eropah kelihatan eksotik, ialah sebuah pantun berkait tentang cinta sebanyak empat rangkap yang bermula dengan baris “Kupu-kupu terbang melintang.” 64
Besar kemungkinn karya terjemahan Perancis itu diberikan kepada Hugo oleh temannya Ernest Fouinet, seorang sarjana Pengajian Ketimuran. Fouinet telah menterjemahkannya dari terjemahan Inggeris yang terdapat di dalam sebuah buku William Marsden. Buku Marsden yang bertajuk A Dictionary and Grammar of the Malayan Language diterbitkan di London pada tahun 1812 dengan menyertakan pantun asal berbahsa Melayu dalam tulisan jawi6. Teks penuh pantun tersebut dalam tulisan rumi adalah seperti berikut: Kupu-kupu terbang melintang Terbang di laut di hujung karang Hati di dalam menaruh bimbang Dari dahulu sampai sekarang. Terbang di laut di hujung karang Burung nasar terbang ke Bandan Dari dahulu sampai sekarang Banyak muda sudah kupandang. Burung nasar terbang ke Bandan Bulunya lagi jatuh ke Patani Banyak muda sudah kupandang Tiada sama mudaku ini. Bulunya jatuh ke Patani Dua puluh anak marpati Tiada sama mudaku ini Sungguh pandai membujuk hati. Sejak tersiarnya terjemahan karya dari dunia Melayu itu dalam buku Hugo maka bentuk pantun berkait mula menjadi model bagi beberapa orang 65
penyair romantik Perancis yang melihat keunikan atau keistimewaan bentuk tersebut. Penyair- penyair ini juga memang cenderung kepada pencarian pengucapan bentuk baru dan ghairah pula dengan unsur-unsur eksotik, khususnya dari Timur. Justeru itu mereka telah mengusahakan suatu tulisan yang berbeza dari bentuk-bentuk puisi Perancis yang sedia ada. Bentuk baru dari benih pantun ini lama kelamaan dikenali sebagai pantoum. Turut terlibat dalam penghasilan dan pembinaan genre ini di Perancis dalam abad ke-19 ialah tokoh-tokoh seperti Theodore de Banville, Louisa Siefert, Leconte de Lisle, dan penyair agong Charles Baudelaire. Patut disebutkan di sini bahawa walaupun pantoum mempunyai ciri-ciri struktur yang ketat seperti yang telah dijelaskan tidak semua penyair mematuhi semua ciri-ciri tersebut dalam penghasilan karya mereka. Umumnya yang kerap dipertahankan hanyalah stanza yang berbentuk kwatrin, kaitan antara stanza dengan stanza, dan dua tema atau persoalan yang selari dalam sesuatu stanza. Lihatlah, umpamanya, pantoum Baudelaire berikut ini, iaitu “Harmonie du Soir” dari koleksi tersohornya Les Fleurs du mal yang diterbitkan pada tahun 1857: Voice venire les temps ou vibrant sur sa tige Chaque fleur s‘evapore ainsi qu‘un encensoir; Les sons et les parfums tournent dans l‘air du soir; Valse melancolique et langoureux vertige! 66
Chaque fleur s‘evapore ainsi qu‘un encensoir; Le violon fremit comme un coeur qu;on afflige; Valse melancolique et langoureux vertige! Le ciel est triste et beau comme un grand reposoir. Le violon fremit comme un Coeur qu‘on afflige, Un ceour tender, qui hait le neant vaste et noir! Le ceil est triste et beau comme un grand reposoir; Le soleils‘est noye dans son sng qui se fige. Un Coeur tender, qui hait le neant vaste et noir, Du passé lumineux recueille tout vestige! Le soleil s‘est noye dns son sang qui se fige… Ton souvenir en moi luit comme un ostensoir! Karya ini jelas tidak mengikuti skema rima abab dan tidak juga menggunakan semula baris pertama sebagai penamat puisi. Namun, ia tetap dianggap pantoum dan dinilai sebagai karya yang cukup bermutu. Malah, Peter Broome dan Graham Chesters, umpamanya, memandang tinggi karya ini dan memasukkannya dalam buku apresiasi puisi Perancis moden mereka. Hal ini kerana perkaitan dan pergerakan dalaman pantoum tersebut yang amat indah, yang bersesuaian pula dengan lukisan keharmonian petang bersama ulitan memori personanya. Imej-imej agama dan nada rohaninya pula didapati membangkitkan kesan yang cukup syahdu8. Pandangan seperti ini tentunya jauh berbeza dari pandangan rendah seperti yang pernah diberi oleh Daillie9. 67
Dari perspektif bandingan, genre pantoum sebenarnya memang mempunyai untung nasib yang baik. Hal ini kerana dari Perancis ia telah berjaya pula menjelajah Eropah dan diterima masuk, umpamanya, sebagai satu bentuk pengucapan puisi dalam kesusasteraan Inggeris. Penulisan pantoum dalam kesusasteraan ini melibatkan tokoh-tokoh seperti Austin Dobson dan Brander Matthews. Selain dari penerimaan di kalangan penulis dan khalayak kesusasteraan Inggeris pantoum terus memperlihatkan perkembangannya seperti yang akan ditunjukkan nanti. Pantoum: Suatu Kejayaan Re-kreasi Generik Dalam perbincangan mengenai hubungan pantun dan pantoum terdapat pihak yang meyuarakan rasa kesal kerana mersakan para penyair romantik Perancis tidak memahami tatacara pantun sebagai satu bentuk pengucapan puisi yang indah. Justeru itu apabila penyair-penyair ini menghasilkan pantoum maka bentuk itu tidak sama dengan bentuk yang asal. Daillie, umpamanya, menganggap kisah yang terjadi sebagai “…a rather confusing love story between some French poets and what they believed to be the Malay pantun.” 10 Sebenarnya hakikat bahawa bentuk pantoum tidak sama dengan bentuk pantun tidak perlu dilihat sebagai satu masalah atau kerugian. Sebaliknya, ia harus dilihat sebagai satu keuntungan. Ini kerana apabila para penyair Perancis menghasilkan 68
pantoum, sedar atau tidak, mereka menghasilkan suatu genre yang baru, walaupun istilah pantoum mulanya digunakan untuk merujuk kepada pantun, dan pantun memang menjadi model mereka. Sesungguhnya, penyair-penyair Perancis yang berkenaan adalah individu-individu yang menghasilkan puisi moden dalam konteks tradisi tertulis, bukan puisi tradisional dan dalam bentuk lisan seperti pantun. Latar budaya mereka juga jauh berbeza dari latar masyarakat Melayu di Timur. Dalam konteks ini ubahsuaian dan perbezaan adalah sesuatu yang sewajarnya dijangka. Sebenarnya apa yang mereka lakukan ialah satu re-kreasi generik. Dalam proses ini genre pantun yang asing tapi menarik itu telah dicerna dan dicipta semula menjadi pantoum, genre yang lebih sesuai dengan keperibadian, pengalaman dan persekitaran mereka. Sebenarnya, sebagai fenomena sastera yang melibatkan dua kelompok manusia dan budaya yang berbeza, persamaan memang tak mungkin wujud. Dalam konteks ini kes hubungan pantun dan pantoum sepatutnya dilihat sebagai kes genre yang bergerak atau mengembara secara aktif dari suatu sastera dan budaya ke suatu sastera dan budaya lain. Dalam kes seperti ini perubahan pasti akan berlaku ke atas genre berkenaan. Apabila pantun tiba di Eropah dan dihidupkan dalam persekitaran sastera dan budaya yang baru, dalam ertikata penghasilan karya-karya baru, maka banyak atau sedikit perubahan pasti berlaku ke atasnya. Lainlah halnya jika yang dimaksudkan ialah sekadar kehadiran pasif karya-karya dari genre pantun itu, umpamanya untuk bacaan semata. 69
Dari sudut lain pula, adalah tidak mungkin untuk transplant pantun di Eropah atau Barat umumnya. Hal ini kerana pantun kuat berakar di bumi Melayu. Perlu ditegaskankan di sini bahawa sebagai puisi lisan tanpa hakcipta perseorangan sifat pantun kuat dipengaruhi oleh latar hidup dan budaya masyarakat Melayu tradisional. Di zaman dahulu orang Melayu tinggal di kampung dan cukup akrab dengan alam. Mereka juga terkenal dengan kehalusan budi bahasa, yang antaranya menjadikan mereka cenderung kepada ekspresi yang tidak bersifat terang-terangan. Justeru itu sebagai karya sastera yang halus dan indah, dalam pantun imej dan keperihalan manusia tidak terus dipaparkan, sebaliknya ia dibayangkan dahulu. Inilah yang menimbulkan kuplet yang dinamakan sampiran. Seterusnya, yang menjadi pembayangnya pula tidak lain tidak bukan ialah imej-imej alam, yakni fauna dan flora yang mereka dampingi setiap hari. Walaupun penyair-penyair romantik Perancis dan Eropah mungkin tertarik kepada latar dan cara hidup seperti yang terpancar dalam pantun, hakikatnya mereka tidak dapat mengalaminya sendiri. Sebaliknya, mereka tetap terikat dengan cara hidup bandaran dan pengalaman manusia moden di Eropah. Justeru itu walaupun bertitiktolak pada pantun mereka tetap menghasilkan genre yang berbeza, bersama ciri- cirinya yang sesuai dengan pengalaman dan persekitaran mereka sendiri. Genre baru ini seiras atau serumpun dengan pantun, tapi tidak benar- benar sama, dan tidak perlu jadi demikian. Namun, irasan itulah bukti wujudnya kaitan genetik antara pantoum dengan pantun sekaligus menjadi unsur 70
yang akan terus mengingatkan hakikat hubungan antara keduanya. Dari Abad 19 Ke Abad 21: Genre Pantoum Terus Maju Seperti yang dibayangkan terdahulu, pantun wujud bukan sahaja wujud di dalam kesusasteraan Perancis dan Inggeris dan bernafas dalam abad ke- 19. Sebaliknya, ia telah masuk ke dalam kesusasteraan lain di Eropah dan Amerika Utara dan hidup hingga ke abad 20, malah telah melangkah pula ke abad 21 ini. Salah sebuah negara Eropah yang dalamnya pantoum diterima dan dihidupkan ialah Czechoslovakia. Sebenarnya pantoum dan pantun sudah dikenali dalam kesusasteraan Czecho semenjak abad ke-19 lagi. Namun, manifestasinya yang jelas ialah dalam abad ke-20, khususnya melalui penglibatan pengarang agung Czecho, Jaroslav Seifert11. Seifert mempunyai seorang teman penyair, Konstantin Biebl, yang pernah mengembara ke Indonesia lantas menghasilkan kumpulan puisi tentang kapal dengan muatan kopi dan rempah pada tahun 1927. Puisi yang eksotik ini amat popular dalam kalangan masyarkat Czecho. Melalui teman rapatnya itu Seifert mendapat gambaran yang jelas tentang dunia Melayu yang ia sendiri sudah lama berminat untuk mengetahui. Pada tahun 1937 Seifert menghasilkan pantoum dengan tajuk Dvanact pantoumu o lasce (Dua belas pantoum tentang cinta). Puisi ini amat 71
digemari oleh khalayak Czecho tua dan muda. Justeru itu ia ikut dimuatkan dalam bunga rampai puisi Seifert yang bertajuk Ruce Venusiny (Tangan-tangan Dewi Venus) yang terbit pada tahun 1984. Pada tahun yang sama Seifert dianugerahkan Hadiah Nobel untuk bidang kesusasteraan. Sepanjang abad ke-20 dan di awal abad ke-21 ini pantoum terus digemari dan dihasilkan di Eropah serta di Amerika Syarikat dan Kanada. Di Amerika Syarikat ia melibatkan, antaranya penyair-penyair dari New York School seperti John Ashberry dan penyair-penyair Iowa Writers Workshop seperti Donald Justice. Penyair-penyair ini menghasilkan pantoum dengan variasi tersendiri dan mempunyai pengikut dan peminat masing-masing. Dalam era siber sekarang pun pantoum masih tetap mengalami perkembangan. Kini terdapat banyak sekali laman web tentang kesusasteraan di Eropah dan Amerika Utara yang memberi ruang kepada penggiat dan peminat pantoum. Malah, terdapat juga laman-laman yang didedikasikan untuk pantoum12. Dalam kedua-dua jenis laman ini terdapat contoh-contoh pantoum yang terkenal, perbincangan tentang pantoum, bengkel atau latihan penulisan, dan penerbitan karya-karya baru oleh penyair-penyair terkenal dan amatur dari seluruh dunia. Karya Sherley Geok-lin Lim, seorang pengarang berbahasa Inggeris yang berasal dari Malaysia, umpamanya, turut dipaparkan dalam sebuah laman web pantoum13. 72
Karya-karya pantoum yang dipaparkan di dalam laman web amat menarik, kerana ia meliputi pelbagai tema dan perkara. Selain dari tema-tema yang agak biasa, terdapat pantoum yang mengenai penjagaan anak, ada yang berbentuk catatan harian dengan fungsi terapi, dan ada pula yang mengungkapkan kisah atau ajaran dari Bible. Berikut ialah petikan tiga rangkap pertama karya keagamaan yang terdapat dalam sebuah laman web: “Psalms 23 in Pantoum” The Eternl is my Shepherd I shall lack nothing He gives me rest in green pastures He directs me to peaceful waters. I shall lack nothing He restores my soul He directs me to peaceful waters He leds down path of justice. He restores my soul For the sake of his name He leads me down path of justice When I walk in the valley of Death‘s shadow. 14 Perkembangan seperti yang baru dihuraikan jelas menunjukkan bahawa pantoum yang muncul pada abad ke-19 ialah suatu genre sastera yang berkekalan kedudukannya. Ia bukanlah satu “penyimpangan genre belum tentu wujudnya satu genre yang lain” atau sekadar “jelmaan pantun 73
dalam satu singgahan” seperti yang pernah dianggap oleh Abdul Ahmad. 15 Kesimpulan Perbincangan di atas menunjukkan kaitan yang jelas dan bermaka antara pantun Melayu dengan pantoum Barat. Pada abad ke-19 pantun telah menarik minat penyair-penyair Perancis. Justeru itu dengan bermodelkan pantun, khususnya pantun berkait, mereka telah mencipta satu bentuk baru yang dikenali sebagai pantoum. Ciri-ciri bentuk ini tidak sepenuhnya sama dengan ciri-ciri pantun. Justeru itu walaupun ia berasal dari pantun ia merupakan suatu genre yang tersendiri. Pantoum menduduki tempat yang tersendiri dalam kesusasteraan Perancis dan telah ikut memperkayakan kesusasteraan itu. Dari Perancis pantoum diterima pula masuk ke dalam kesusasteraan Inggeris. Pada abad ke-20 pantoum telah mempengaruhi kesusasteraan lain di Barat seperti kesusasteraan Czechoslovakia dan kesusasteraan Amerika. Kini ia ikut disuburkan dan dikembangkan di dalam ruang siber. Hubungan antara pantun dengan pantoum adalah sesuatu yang istimewa. Jika diambil tanaman sebagai analogi, pantun ialah benihnya sementara pantoum adalah pohon. Benih itu tercampak jauh ke laut, tetapi kerana baik mutunya maka tumbuhlah pohonnya hingga merendang, hatta menjadi pulau. Begitulah halnya dengan pantoum, kerana berasal dari genre yang ampuh dan indah maka ia menjadi bentuk yang digemari di sana sini dan tahan zaman berzaman. 74
Arah-alir hubungan antara dua genre ini juga amat istimewa. Dalam bidang sastera dan budaya umumnya yang kerap menonjol ialah arah-alir dari Barat ke dunia Melayu. Genre novel berasal dari Barat. Begitu juga sajak, cerpen dan drama moden. Tetapi dalam kes yang dibincangkan arah-alirnya terbalik, iaitu dari dunia Melayu ke dunia Barat. Nota Hujung 1 Kertas yang dibentang di Seminar Antarabangsa Pantun, anjuran bersama Dewan Bahasa dan Pustaka dan Universiti Sains Malaysia, di Kuala Lumpur, 1-3 Julai 2002. 2 Kini penulis sedang mengusahakan penyelidikan yang lebih menyeluruh ke atas bahan-bahan di Eropah dan Amerika Utara. 3 Untuk senarai kajian dan kumpulan pantun yang agak panjang sila lihat Suripan Hadi Hutomo, “Pengaruh Pantun Melayu Pada Pantun Kentrung Jawa,” Jurnal Pengajian Melayu, Jil. 4 (1992), h. 60-63. 4 Salah seorang bekas pelajar saya, Abdul Ahmad, telah menerbitkan esei tentang subjek ini, iaitu “Pantoum: Suatu Singgahan Dalam Perjalanan Seni Melayu,” dalam Kesusasteraan Bandingan Sebagai Satu Disiplin (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1994), h. 164-173. 75
5 Lihat umpmanya entri pantoum dalam Princeton Encyclopedia of Poetry and Poetics, ed. Alex Preminger (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1977), h. 597. 6 Untuk maklumat-maklumat ini lihat Daillie, 1988, h. 17-35; Princeton Encyclopedia of Poetry nd Poetics, 1972, h. 597; William Marsden, A Dictionary and Grammar of the Malayan Language (Singapore: Oxford in Asia Historical Reprints, 1984). 7 Charles Baudelaire: The Flowers of Evil, ed. Marthiel dan Jackson Matthews (New York: New Directions Publishing Corporation, 1962); Baudelaire, ed. Francis Scarfe (Panguin Books, 1964), h. 143. 8 Peter Broome dan Graham Chesters, The Appreciation of Modern French Poetry 1850-1950 (Cambridge: Cambridge University Press, 1976), h. 77-79. 9 Daillie, 1988, h. 31. 10 Daillie, 1988, h. 35 . 11 Untuk semua maklumat tentang pantoum dalam kesusasteraan ini penulis merujuk sepenuhnya kepada tulisan Eva Vanicek, “Pantun Dalam Puisi Ceko,” Sempana: Himpunan Esei Penelitian oleh Sarjana Kesusasteraan Melayu Antarabangsa, ed. Ahmad Kamal Abdullah et.al. (Kuala Lumpur: 76
Dewan Bahasa dan Pustaka, 1994), h. 550-570. 12 Dalam pengamatan penulis laman khas untuk pantun hanya ada satu! 13 “Pantoum for Chinese Women,” http://woods.bianca.com/ shacklet/the_biki/pantoum.html. 14 http://www.locustandhoney.com/pslms. html 15 Abdul Ahmad, 1994, h. 171 Rujukan Abdul Ahmad. 1994. “Pantoum: Suatu Singgahan Dalam Perjalanan Seni Melayu,” Kesusasteraan Bandingan Sebagai Satu Disiplin. Ed. Abdul Ahmad. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Broome, Peter dan Graham Chesters. 1976. The Appreciation of Modern French Poetry 1850-1950. Cambridge: Cambridge University Press. Daillie, Francois-Rene. 1988. Alam Pantun Melayu: Studies on the Malay Pantun. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Hamilton, A.W. 1959. Malay Pantuns. Singapore: Eastern University Press. Marsden. William. 1984. A Dictionary and Grammar of the Malayan Language. 77
Singapore: Oxford in Asia Historical Reprints. Marthiel dan Jackson Matthews. Ed. 1964. Charles Baudelaire: The Flowers of Evil. New York: New Directions Publishing Corporation Preminger, Alex. Ed. 1977. Princeton Encyclopedia of Poetry and Poetics. Princeton, New Jersey: Princeton University Press. Scarfe, Francis .Ed. 1964. Baudelaire. Panguin Books. Stallnecht, Newton. P. dan Horst Frenz. Ed. 1973. Comparative Literature: Method and Perspective. London & Amsterdam: Feffer & Simon, Inc. Suripan Sadi Hutomo. 1992. “Pengaruh Pantun Melayu Pada Pantun Kentrung Jawa,” Jurnal Pengajian Melayu, Jilid 4, hh. 37- 63. Zainal Abidin Bakar. 1983. Kumpulan Pantun Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Sumber 4. Pengertian Pantun a. Etimologi 78
Kata pantun itu dua artinya, pertama arti biasa yakni sanjak. Kedua pengumpamaan, kiasan. Pantun dalam arti pertama banyak dipakai, untuk memaparkan hati yang asyik pada maksyuknya. Contoh pantun jawaban Tun Teja pada ayahnya pada waktu raja Melaka hendak meminang dirinya, katanya: ”karena seperti pantun orangtua-tua” yang enggang itu sama enggang juga, yang pipit sama pipit juga. (8) Adapun perkataan pantun itu mempunyai pokok kata tun, dan pokok kata tun ini berarti mengatur, merangkai, menyusun. Telah maklum kepada kita akan arti perkataan pantun yakni kiasan ataupun perumpamaan, dan sanjak. (24) AMIR HAMZAH. SASTRA MELAYU LAMA DAN RAJA-RAJANYA Jakarta: Dian Rakyat, cet I, 1942; cet III, 1996. oooOOOooo Za'ba dalam bukunya Ilmu Mengarang Melayu menjelaskan, \"Perkataan pantun itu pada mulanya dipakai orang dengan makna seperti atau umpama.\" Ada pendapat mengatakan perkataan pantun adalah daripada bahasa Minangkabau iaitu panuntun yang bermaksud pembimbing/penasihat yang berasaskan sastera lisan dalam pengucapan pepatah dan petitih yang popular dalam masyarakat tersebut http://dbp.gov.my/lamandbp/main.php? Content=vertsections&SubVertSectionID=826&Ve rtSectionID=25&CurLocation=208&IID=&Page=1 BIMBINGAN BERKARYA PANTUN oooOOOooo http://www.usm.my/pantun/sejarah.asp 79
Sejarah dalam Empat Baris (Nukilan Prof Muhammad Haji Salleh) SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PANTUN Sekiranya kita meluangkan waktu untuk menggalurkan secara ringkas sejarah pantun ini kita akan mendapati bahawa bentuk terawalnya adalah bentuk berbaris dua. Orang Melayu selalu melihat alam sebagai cermin untuk dirinya, guru untuk keadaan dan nasibnya. Jadi padanya dunia dilihat sebagai terbagi dua – dunia alamraya, yang menjadi pembayang atau cermin untuk hidupnya, dan dunianya sendiri – dunia manusia. Kita menemukan pembahagian dunia ini dalam peribahasa, yang mungkin mendahului pantun. Tetapi keduanya berakar kepada sebuah falsafah alam yang sama – alam membayangkan manusia. Misalnya dalam peribahasa `Seperti kijang terlepas ke rimba,’ metafora kebebasan dilihat pada nasib seekor kijang,’ tetapi maksudnya merujuk keadaan manusia sendiri. Begitu jugalah ribuan peribahasa lainnya yang bercerminkan pengajaran alamraya. Belahan pengalaman alamraya-manusia ini sering juga diterjemahkan dari bunyi-bunyi onomatopeaia yang didengarkan anak-anak, yang juga menjadi sebahagian daripada alam ini, misalnya dalam pantun berikut, yang dinyanyikan oleh ibu-ibu daerah Logan apabila bayi dibenarkan mencecah tanah dalam suatu lagu yang dinamakan rendai bermain cuit-cuitan (Zainal Arifin Aliana, Ahamd Rozi Zakaria, Hasfi Yusuf, 1984) Cuit-cuit pandai, Elalang jungkit-jungkit Ecuit dengan pandai, Agak dengan kuungkit-ungkit. Atau anak-anak ini mungkin menjajarkan bunyi- bunyi dengan maksud yang akan disampaikan – yang 80
menjadi landasan dan sifat estetika yang penting: Tang-tang tut keladi wawa Siapa terkentut dia ketawa Atau pantun berikut ini dari Logan, Hong labi-labi Pembohong pagi tadi. Kepada seorang pemantun yang matang dan berpengalaman bentuk dua baris amat terbatas dalam kemungkinan ejekan, permainan kontras bunyi/metafora dan juga maknanya. Dari sinilah dikembangkan pantun empat kerat yang akhirnya menjadi bentuk tersempurna dalam khazanah sastera Nusantara, dan menarik perhatian seluruh penduduknya. Dalam bentuk empat kerat ini dunia alamraya boleh dipersembahkan melalui dua citra, yang membawakan kontras, permaianan, keindahan, perbandingan dan genius metafora, diikuti oleh penyelesaian makna pertama dan kedua, setiap peringkatnya menenangkan pendengar setelah kiasan dirongkai tahap demi tahap. Dalam pantun berikut dua citra pembayang menimbul sedikit keresahan kepada pendengar yang tidak tahu arah makna yang akan dibawa baris pertama, yang seterusnya dirumitkan oleh baris kedua. Tapi apabila baris ketiga mula nyatakan, maknanya mula menyerlah, hinggalah makna penuhnya bahawa kerinduan orang dagang itu menyebabkan dia tidak pun dapat makan sesenduk nasi, Petang-petang pergi ke rimba, Pergi ke rimba menarah papan; Petang-petang hatiku hiba, Nasi sesenduk tiada termakan. 81
Begitulah juga arah penyelesaian makna dalam pantun berikut, Sirih ada pinang ada, Saja saya tak bubuh di tepak, Kasih ada sayang pun ada, Sajalah saya tak beri nampak. Pantun mempunyai penyertaan khalayak yang amat luar biasa. Bentuk ini membenarkan penggunanya melenturkan jumlah baris, dan malah jumlah sukukatanya; nama kampung seseorang pemantun dapat dimasukkan ke dalam pembayangnya, begitu jugalah perasaan peribadi yang sedang dialaminya. Bentuk yang umum dapat disusun menjadi bentuk peribadi dan akrab. Lihatlah bagaimana dalam pantun Baemah berikut sukakata tradisional Semenanjung dan Sumatera disesuaikan dengan watak dan keperluan setempat, Kecici urak-urak, Abang palahe, Nak benci nak berendak Ribang pokokhe. Burung yang bernyanyi Merah kepalanya Nak benci nak berendak Cintalah pokoknya. Selain menyesuaikan syarat jumlah suku kata terdapat beberapa orang pemantun yang cuba bereksperimen dengan bentuk enam kerat, yang memanjangkan kedua-dua bahagian pembayang dan 82
maksud dengan sebaris setiapnya. Kita dapati bentuk enam kerat ini dalam beberapa pepatah Minangkabau dan hikayat serta koleksi kita sezaman. Tetapi bentuk ini tidak sampai menjadi popular, dan begitu jugalah nasib bentuk-bentuk lapan, sepuluh, dua belas, dan dua puluh kerat, kerana dalam bentuk lisan nampaknya bentuk empat baris sudah cukup penuh untuk pendengar yang harus menyimpan semuanya dalam ingatan. Rima seterusnya membantu penyimpanan metafora dan maksud. Bentuk enam kerat, walau pun dapat dijadikan lirik lagu, namun masalah yang sama masih timbul – ingatan kita tidak dapat menyimpan enam citra secara efisien, dan lagunya pul semakin rumit. Ternyata salah satu sifat yang menawan ramai khalayak dan pengguna pantun ialah bentuknya yang mudah, tetapi di sebaliknya di dalamnya boleh dimuatkan sebahagian kerumitan hidup. Bentuk enam dan lapan kerat dan seterusnya yang lebih panjang, tidak lagi mudah, dan sulit untuk dijadikan dasar bentuk lisan. Tetapi suatu bentuk lagi yang dikenali sebagai pantun berkait, yang masih boleh dikatakan sebagai bentuk empat kerat, terkecuali dari nasib benuk panjang tadi. Seperti kita maklum baris kedua dan keempat bait pertama bentuk ini diulangkan dalam bait seterusnya sebagai baris pertama dan ketiga. Magik bentuk empat kerat masih dipergunakan sebaiknya. Di beberapa buah daerah Nusantara, bentuk pantun itu seperti dikawinkan dengan syair, di mana kita masih melihat wujudnya pembahagian dua dunia pembayang dan maksud, tetapi rimanya dikekalkan sebagai sebagai rima syair – iaitu aaaa. Variasi ini mencipta pula suatu jenis betnuk lainnya yang sering kita temui dalam puisi naratif akhir kurun kesembilan 83
belas. Semua ini menunjukkan dinamisme bentuk ajaib ini - yang membenarkan pembaruan, membesaran, penciptaan kembali, rujukan kepada pantun lain, rentak dan minat tempatan, dan lebih dari itu dapat dijadikan lagu dan boleh dijadikan bentuk bersambung, berbalas dan bersambut. Bertalian dengan arti kata pantun, baik Wilkinson maupun Winstedt memberikan tekanan bahwa kata itu dalam kesusastraan Melayu abad XVI hanya terdapat dalam arti \"persamaan, peribahasa\" dan baru dalam tulisan-tulisan abad XVII mempunyai arti \"kuatren\". Untuk membuktikan ini digunakan Hikayat Hang Tuah yang menurut Wilkinson (lihat halaman 16) berasal dari pertengahan abad XVI menurut beberapa hal dalam tulisan itu. Dalam susunan cerita- cerita yang diketahui sekarang, kata pantun terdapat dalam kedua arti tersebut di atas. Selain itu, meskipun kita akan dapat menunjukkan bahwa penggunaan kata pantun dalam roman sejarah Hang Tuah dari abad XVI, hanya berarti \"persamaan\", kita belum dapat mengatakan ada kebiasaan penggunaan semacam itu dalam kesusastraan Melayu abad XVI. Dalam Sejarah Melayu yang disusun dalam tahun 1612, kata pantun digunakan dalam arti kuatren, dan tidak ada alasan untuk menerima bahwa penggunaannya pada waktu itu masih baru. Benar dapat kita katakan bahwa kata pantun dalam arti \"persamaan\" dan sebagainya, terdapat juga dalam kuplet-kuplet pantun masa kini, seperti terbukti pada contoh-contoh yang dikemukakan oleh Van Ophuijsen. Dalam bahasa tulisan hal itu jarang terdapat, begitu jarangnya sehingga Marsden dalam 84
bukunya Dictionary of the Malayan Language membedakan kata itu dalam artinya sebagai pantan dengan pantun yang berarti kuatren. Tentang prioritas yang mana bagi kedua arti kata pantun itu, tidak dapat diselidiki dalam kesusastraan. Sedangkan, kalau kita renungkan, arti \"persamaan, peribahasa\" dapat berasal dari arti kuatren, yaitu suatu bentuk yang di dalamnya dituangkan persamaan-persamaan, peribahasa-peribahasa dan ungkapan-ungkapan, dari pada arti yang kedua berasal dari yang kesatu. Menurut pernyataan Van Ophuijsen, di pantai barat Sumatra dan Bengkulu, bentuk pantun yang lebih dari empat baris disebut ibarat, sebuah kata pungut dari bahasa Arab yang berarti juga \"persamaan\", jadi dalam bahasa Melayu belum sangat tua. http://melayuonline.com/article/? a=THFtL3FMZVZBUkU4Ng%3D%3D=&l=latar- belakang-magis-yang-mendasari-arti-pantun-melayu Oleh: R.A. Hoesein Djajadiningrat oooOOOooo b. Terminologi Pantun adalah bentuk kuatren dengan empat baris, tiap baris terdiri atas dua atau tiga suku kata dan bersajak silang; sebagai pengecualian terdapat juga bentuk yang keempat barisnya saling bersajak atau saling berima. http://melayuonline.com/article/? a=THFtL3FMZVZBUkU4Ng%3D%3D=&l=latar- belakang-magis-yang-mendasari-arti-pantun-melayu Oleh: R.A. Hoesein Djajadiningrat oooOOOooo Dalam pengertian umum, pantun merupakan salah satu bentuk sastra rakyat yang menyuarakan nilai-nilai dan kritik budaya masyarakat. Biasa digunakan dalam 85
folkslore yang bersifat lisan sebagaimana terlihat dalam dendang yang diiringi berbagai alat musik seperti salung dan rebab di Minanghkabau, atau gendang dan kecapi serta berbagai alat musik tradisional Melayu lainnya. http://www.rajaalihaji.com/id/opinion.php?a=Y2cvcw %3D%3D= 15 Mei 2008 09:42 Wacana: Pantun dan Pencerahan Budaya Melayu Oleh: Leon Agusta[2] Ciri-ciri khas orang Melayu dapat kita cermati melalui untaian puisi Sastrawan Negara (Malaysia) Usman Awang berikut ini: Melayu itu orang yang bijaksana Nakalnya bersulam jenaka Budi bahasanya tidak terkira Kurang ajarnya tetap santun Jika menipu pun masih bersopan Bila mengampu bijak beralas tangan. 86
Melayu itu berani jika bersalah Kecut takut kerana benar, Janji simpan di perut Selalu pecah di mulut, Biar mati adat Jangan mati anak. Melayu di tanah Semenanjung luas maknanya: Jawa itu Melayu, Bugis itu Melayu, Banjar juga disebut Melayu, Minangkabau memang Melayu, Keturunan Acheh adalah Melayu, Jakun dan Sakai asli Melayu, Arab dan Pakistani, semua Melayu, Mamak dan Malbari serap ke Melayu, Malah mua’alaf bertakrif Melayu. Dalam sejarahnya Melayu itu pengembara lautan Melorongkan jalur sejarah zaman Begitu luas daerah sempadan Sayangnya kini segala kehilangan Melayu itu kaya falsafahnya Kias kata bidal pusaka Akar budi bersulamkan daya Gedung akal laut bicara Malangnya Melayu itu kuat bersorak Terlalu ghairah pesta temasya Sedangkan kampung telah tergadai Sawah sejalur tinggal sejengkal tanah sebidang mudah terjual Meski telah memiliki telaga Tangan masih memegang tali Sedang orang mencapai timba. 87
Berbuahlah pisang tiga kali Melayu itu masih bermimpi Walaupun sudah mengenal universiti Masih berdagang di rumah sendiri. Berkelahi cara Melayu Menikam dengan pantun Menyanggah dengan senyum Marahnya dengan diam Merendah bukan menyembah Meninggi bukan melonjak. Watak Melayu menolak permusuhan Setia dan sabar tiada sempadan Tapi jika marah tak nampak telinga Musuh dicari ke lubang cacing Tak dapat tanduk telinga dijinjing Maruah dan agama dihina jangan Hebat amuknya tak kenal lawan Berdamai cara Melayu indah sekali Silaturrahim hati yang murni Maaf diungkap senantiasa bersahut Tangan diulur sentiasa bersambut Luka pun tidak lagi berparut Baiknya hati Melayu itu tak terbandingkan Selagi yang ada sanggup diberikan Sehingga tercipta sebuah kiasan: “Dagang lalu nasi ditanakkan Suami pulang lapar tak makan Kera di hutan disusu-susukan Anak di pangkuan mati kebuluran” Bagaimanakah Melayu abad dua puluh satu Masihkan tunduk tersipu-sipu? Jangan takut melanggar pantang Jika pantang menghalang kemajuan; 88
Jangan segan menentang larangan Jika yakin kepada kebenaran; Jangan malu mengucapkan keyakinan Jika percaya kepada keadilan Jadilah bangsa yang bijaksana Memegang tali memegang timba Memiliki ekonomi mencipta budaya Menjadi tuan di negara Merdeka. Usman Awang, 26 Novermber 1999. 89
Search