Proses Penyusunan Peraturan Daerah 43 BAB IV PERANAN PERANCANG PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH BPSDM HUKUMSetelah Memperlajari Modul ini Peserta Diharapkan Mampu DANMenjelaskan Mengenai Peranan Perancang Peraturan Perundang- HAMUndangan Dalam Penyusunan Peraturan Daerah Jumlah Materi Kegiatan Pengajar Kegiatan Peserta Jam Pelajaran 5 Peranan Perancang Peraturan Pengajar Mempelajari, (1 JP) Perundang-undangan dalam menjelaskan dan mendiskusikan, Penyusunan Peraturan Daerah. memandu peserta di baik secara dalam memahami perorangan atau a. Peranan Perancang; kelompok terkait b. Peranan Perancang Instansi dengan tugas yang diberikan pengajar. Vertikal; c. Peranan Perancang dalam penyusunan Peraturan Daerah. A. Peran Perancang Secara normatif pengertian Perancang tercantum di dalam Penjelasan Pasal 98 ayat (1) UU P3, yang menyatakan bahwa: yang dimaksud dengan Perancang Peraturan Perundang-undangan adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak, secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan menyusun Rancangan Peraturan Perundang-undangan dan/ atau instrumen hukum lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. 43
BPSDM 44 Proses Penyusunan Peraturan Daerah HUKUM DAN Dalam Keputusan Bersama Menteri Kehakiman dan Hak HAM Asasi Manusia Republik Indonesia dan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor M.390-KP.04.12 Tahun 2002 Nomor 01 Tahun 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan dan Angka Kreditnya, telah diterangkan bahwa peran Perancang adalah menyiapkan, melakukan, dan menyelesaikan seluruh kegiatan teknis fungsional perancangan peraturan perundang-undangan di lingkungan unit perundang- undangan instansi Pemerintah, dengan tugas pokok menyiapkan, mengolah, dan merumuskan rancangan peraturan perundang-undangan dan instrumen hukum lainnya. Ruang lingkup kegiatan Perancang meliputi berbagai kegiatan di bidang perancangan peraturan perundang-undangan atau yang terkait dengan bidang peraturan perundang-undangan. Selain itu, Pasal 98 ayat (1) UU P3, menyatakan secara tegas bahwa setiap tahapan pembentukan peraturan perundang- undangan mengikutsertakan Perancang. Untuk pertama kali diangkat menjadi Perancang, selain seorang Pegawai Negeri Sipil harus memenuhi persyaratan berijazah serendah-rendahnya Sarjana Hukum atau Sarjana lain di bidang hukum, pangkat serendah-rendahnya Penata Muda golongan ruang III/a, telah mengikuti dan lulus pendidikan pelatihan fungsional dibidang perancangan peraturan perundang-undangan, serta setiap unsur penilaian prestasi kerja sekurang-kurangnya bernilai baik dalam 1 (satu) tahun terakhir sebagaimana diatur dalam keputusan bersama tersebut.
Proses Penyusunan Peraturan Daerah 45 BPSDM Selain kriteria teknis normatif persyaratan untuk dapat HUKUM diangkat menjadi seorang Perancang, terkait dengan DAN tugasnya sehari-hari seorang Perancang harus memiliki HAMkriteria: 1. memiliki penalaran dan logika hukum yang kuat serta pengetahuan yang baik mengenai asas-asas hukum dan perundang-undangan; 2. menguasai teknik dan lampiran Undang-Undang tentang P3 dengan baik; 3. mampu mengidentifikasi permasalahan bernegara dan kebutuhan hukum dimasyarakat, untuk selanjutnya memberikan alternatif solusi di dalam format/sistematika RUU; 4. mampu menganalisis permasalahan bernegara dan kebutuhan hukum di masyarakat dengan kondisi peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk kemudian mengharmonisasikan dan mensinkronkan substansi pengaturannya dengan RUU yang sedang disusun; 5. dapat berargumentasi dan mempertahankan pendapat dan pemikirannya secara lugas, terstruktur, dan sistematis, akan tetapi terbuka dengan pemikiran yang lebih baik; dan 6. lebih disukai memiliki pengetahuan dibidang lain selain dibidang perancangan yang mampu menunjang fungsinya. Selanjutnya, adapaun peran dari Perancang Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut (Suhariyono, 2010):
BPSDM 46 Proses Penyusunan Peraturan Daerah HUKUM DAN a. menentukan pilihan-pilihan (alternatif) yang dikehendaki HAM oleh penentu kebijakan; b. merumuskan substansi secara konsistens atau taat asas; c. merumuskan substansi yang tidak menimbulkan penafsiran (ambigu); d. merumuskan substansi yang adil, sepadan, atau tidak diskriminatif; e. menjamin bahwa peraturan yang dirancang dapat dilaksanakan dengan mudah oleh pelaksana; f. menjamin bahwa peraturan yang dirancang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya atau melanggar kepentingan umum; g. menjamin bahwa peraturan yang dirancang dapat memecahkan masalah yang dihadapi oleh penentu kebijakan; h. menjadi penengah dalam penyelesaian tumpang tindih kewenangan dan pengaturan dalam pembahasan di tingkat antardepartemen atau antarlembaga; i. melakukan negosiasi atau pendekatan-pendekatan psikologis terhadap penentu kebijakan demi tercapainya tujuan yang diinginkan. Pada Bab II Pasal 2, dan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2015 tentang Keikutsertaan Perancang Peraturan Perundang-undangan Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Pembinaannya menyebutkan terkait dengan Kedudukan dan Tugas Perancang, yaitu sebagai berikut :
Proses Penyusunan Peraturan Daerah 47 BPSDM Pasal 2 HUKUM 1. Perancang berkedudukan sebagai pelaksana teknis DAN HAM fungsional Perancang pada unit kerja yang mempunyai tugas dalam Pembentukan Peraturan Perundang- undangan dan penyusunan instrumen hukum lainnya. 2. Unit kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di lingkungan lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, lembaga nonstruktural, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Pasal 3 (1) Perancang mempunyai tugas menyiapkan, mengolah, dan merumuskan Rancangan Peraturan Perundang- undangan serta instrumen hukum lainnya. (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perancang harus melakukan pengharmonisasian. B. Peran Perancang Dalam Penyusunan Peraturan Daerah Pada Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa : (1) Setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengikutsertakan Perancang Peraturan Perundang-undangan. (2) Ketentuan mengenai keikutsertaan dan pembinaan Perancang Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BPSDM 48 Proses Penyusunan Peraturan Daerah HUKUM DAN Selanjutnya pada Pasal 1 angka 1 menjelaskan bahwa HAM Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Oleh karena itu Perancang Peraturan Perundang-undangan berperan dalam tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan peraturan perundang-undangan. Pada Pasal 70 ayat (3) Perpres UU P3 menyebutkan bahwa salah satu unsur keanggotaan tim penyusun Rancangan Peraturan Daerah Provinsi adalah Perancang Peraturan Perundang-undangan. Demikian juga untuk keanggotaan tim penyusun Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. (Lihat dalam Pasal 77 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). Selanjutnya, dalam Bab III Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2015 tentang Keikutsertaan Perancang Peraturan Perundang-undangan Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Pembinaannya menguraikan terkait keikutsertaan perancang, yaitu sebagai berikut: Pasal 5 (1) Lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, lembaga nonstruktural, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota mengikutsertakan Perancang dalam setiap tahap
Proses Penyusunan Peraturan Daerah 49 BPSDM Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. HUKUM (2) Keikutsertaan Perancang dalam Pembentukan DAN HAM Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan pada tahap: a. perencanaan; b. penyusunan; c. pembahasan; d. pengesahan atau penetapan; dan e. pengundangan. Pasal 6 Keikutsertaan Perancang pada tahap perencanaan Peraturan Perundang-undangan dilaksanakan dalam rangka kegiatan penyusunan: a. Naskah Akademik atau keterangan dan/atau penjelasan; b. Prolegnas atau Prolegda; c. program perencanaan Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden; dan/ atau d. program perencanaan Rancangan Peraturan Perundang-undangan lainnya. Pasal 7 Keikutsertaan Perancang pada tahap penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan, dilaksanakan dalam rangka kegiatan penyusunan: a. pokok-pokok pikiran materi muatan; b. kerangka dasar atau sistematika; c. rumusan naskah awal; d. Rancangan Undang-Undang;
BPSDM 50 Proses Penyusunan Peraturan Daerah HUKUM DAN e. Rancangan Peraturan Perundang-undangan di bawah HAM Undang- Undang di tingkat pusat; f. Rancangan Peraturan Daerah; dan/atau g. Rancangan Peraturan Perundang-undangan dibawah Peraturan Daerah. Pasal 8 (1) Keikutsertaan Perancang pada tahap pembahasan Rancangan Undang-Undang di Dewan Perwakilan Rakyat atau Rancangan Peraturan Daerah di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dilaksanakan dalam rangka kegiatan pada pembahasan: a. Pembicaraan Tingkat I; dan b. Pembicaraan Tingkat II. (2) Keikutsertaan Perancang pada tahap Pembicaraan Tingkat I di Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi kegiatan dalam rapat: a. kerja; b. panitia kerja; c. tim perumus/tim kecil; dan/atau d. tim sinkronisasi. (3) Keikutsertaan Perancang pada tahap Pembicaraan Tingkat I di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf meliputi kegiatan dalam rapat: a. komisi; b. gabungan komisi; c. badan legislasi daerah; dan/atau d. panitia khusus.
Proses Penyusunan Peraturan Daerah 51 BPSDM (4) Keikutsertaan Perancang pada tahap Pembicaraan HUKUM Tingkat II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, DAN meliputi kegiatan dalam pengambilan keputusan dalam HAM rapat paripurna. Pasal 9 Keikutsertaan Perancang pada tahap pengesahan atau penetapan dilaksanakan dalam rangka kegiatan penyiapan naskah Peraturan Perundang-undangan yang akan disahkan atau ditetapkan. Pasal 10 Keikutsertaan Perancang pada tahap pengundangan dilaksanakan dalam rangka kegiatan penyiapan naskah Peraturan Perundang-undangan yang akan diundangkan. Pasal 11 Selain Keikutsertaan Perancang pada setiap tahap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Perancang juga dapat diikutsertakan dalam rangka kegiatan: a. penyebarluasan naskah Rancangan Peraturan Perundang-undangan; b. penyebarluasan naskah Peraturan Perundang-undangan; dan/atau c. penyusunan instrumen hukum lainnya. Pasal 12 Kegiatan Perancang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 dilaksanakan dengan berpedoman pada ketentuan Peraturan Perundang-undangan mengenai jabatan fungsional Perancang.
52 Proses Penyusunan Peraturan Daerah C. Rangkuman Peran perancang dalam penyusunan perundang-undangan mempunyai peran yang sangat penting. Mengingat seorang perancang mempunyai peran mulai dari menyiapkan, melakukan, dan menyelesaikan seluruh kegiatan teknis fungsional perancangan peraturan perundang-undangan di lingkungan unit perundang-undangan instansi Pemerintah, dengan tugas pokok menyiapkan, mengolah, dan merumuskan rancangan peraturan perundang-undangan dan instrumen hukum lainnya. D. Latihan 1. Jelaskan menurut pendapat Saudara peran seorang perancang dalam penyusunan peraturan daerah? 2. Menurut Saudara, apakah peraturan perundang- undangan terkait dengan perancang yang ada sekarang ini sudah mendukung pelaksanaan tugas perancang itu sendiri? BPSDM HUKUM DAN HAM
Proses Penyusunan Peraturan Daerah 53 BAB V EVALUASI RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAN KLARIFIKASI PERATURAN DAERAH BPSDM HUKUMSetelah Mempelajari Modul ini Peserta Diharapkan Mampu DANMenjelaskan Mengenai Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah HAMDan Klarifikasi Peraturan Daerah Jumlah Jam Materi Kegiatan Pengajar Kegiatan Peserta Pelajaran Evaluasi Rancangan Pengajar menjelaskan Mempelajari, 6-7 Peraturan Daerah dan dan memandu mendiskusikan,baik (2 JP) Klarifikasi Peraturan peserta di dalam secara perorangan atau Daerah. memahami kelompok terkait dengan tugas yang diberikan a. Evaluasi pengajar. Rancangan Peraturan Daerah. b. Klarifikasi Peraturan Daerah. A. Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Secara khusus kata-kata “evaluasi” dalam proses pembentukan Peraturan Daerah memiliki arti yang berbeda dengan pengertian kata “evaluasi” pada umumnya. Pada umumnya kata “evaluasi” dimaksudkan untuk objek yang telah dilaksanakan, namun kata “evaluasi” pada konteks ini ditujukan untuk objek yang belum ditetapkan, yaitu Rancangan Peraturan Daerah. Baik Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Perpres UU 53
BPSDM 54 Proses Penyusunan Peraturan Daerah HUKUM DAN P3, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun HAM 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, mengatur mengenai Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah. Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut, definisi dari Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah adalah: pengkajian dan penilaian terhadap rancangan Perda dan rancangan Perkada untuk mengetahui bertentangan dengan kepentingan umum, dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Menteri yang diberi kewenangan untuk mengevaluasi Rancangan Perda adalah Menteri Dalam Negeri. Rancangan yang harus dilakukan evaluasi menurut Pasal 245 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah adalah Rancangan Perda tentang : a. RPJPD (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah); b. RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah), c. APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah); d. Perubahan APBD; e. Pertanggungjawaban pelaksanaan APBD; f. Pajak Daerah; g. Retribusi Daerah; dan h. Tata Ruang Daerah. Perhatikan bunyi Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 berikut : “Rancangan Perda Provinsi yang mengatur tentang RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD,
Proses Penyusunan Peraturan Daerah 55 BPSDM pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah, HUKUM retribusi daerah dan tata ruang daerah harus mendapat DAN evaluasi Menteri sebelum ditetapkan oleh gubernur”. HAM Dengan demikian Menteri (dalam hal ini Menteri Dalam Negeri) yang melakukan evluasi perlu berkoordinasi dengan Menteri yang terkait dengan substansi masing-masing. Dapat disebutkan di sini, untuk evaluasi terhadap Rancangan Perda tentang RPJPD dan RPJMD, perlu berkoordinasi dengan Menteri Perencanaan Pembangunan/Bappenas. Untuk evaluasi terhadap APBD, Perubahan APBD, Pertanggungjawaban APBD, Pajak Daerah dan retribusi Daerah perlu berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. Sedangkan untuk evaluasi terhadap Rancangan Perda tentang Tata Ruang Daerah perlu berkomunikasi dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Namun dalam dalam Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Rancangan Peraturan Peraturan Daerah yang harus dievaluasi hanya yang berkaitan dengan: a. APBD; b. Pajak Daerah; c. Retribusi Daerah; dan d. Tata Ruang Daerah. Perhatikan bunyi Pasal 121 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 dan Pasal 76 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014, berikut:
BPSDM 56 Proses Penyusunan Peraturan Daerah HUKUM DAN Pasal 121 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 : HAM (1) Gubernur menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berkaitan dengan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, pajak daerah, retribusi daerah, dan tata ruang daerah sebelum diundangkan dalam Lembaran Daerah Provinsi kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang dalam negeri untuk dievaluasi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. (2) Selain Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur juga menyampaikan Rancangan Peraturan Gubernur tentang: a. penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; b. penjabaran perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; atau c. penjabaran pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Sedangkan menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014, Rancangan Perda yang harus dievaluasi meliputi: a. APBD; b. Pajak Daerah; dan c. Retribusi Daerah; Perhatikan bunyi Pasal 6 Ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014:
Proses Penyusunan Peraturan Daerah 57 BPSDM “Gubernur menyampaikan Rancangan Perda provinsi HUKUM tentang APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban DAN APBD, pajak daerah, retribusi daerah paling lama 3 (tiga) HAM hari setelah mendapatkan persetujuan bersama dengan DPRD termasuk rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD, penjabaran perubahan APBD dan penjabaran pertanggungjawaban APBD kepada Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal Keuangan Daerah untuk mendapatkan evaluasi.” Terlihat di antara ketentuan-ketentuan tersebut ada perbedaan mengenai, rancangan perda apa saja yang harus dievaluasi. Hal ini terjadi karena, yang pertama kali ditetapkan adalah Permendagri No. 1 Tahun 2014, baru kemudian Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 dan terkahir baru menyusul disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Namun demikian, dilihat dari hirarki peraturan perundang-undangan, maka Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 merupakan rujukan utama dalam melakukan evaluasi rancangan peraturan daerah. B. Klarifikasi Peraturan Daerah Arti kata “klarifikasi” yang dibangun dalam konteks “Klarifikasi Peraturan Daerah” ditujukan terhadap objek yang telah berjalan, yaitu Peraturan Daerah yang berlaku secara positif. Dengan demikian, pada hakekatnya klarifikasi ini ditujukan untuk mengevaluasi perda yang telah ditetapkan. Klarifikasi Peraturan Daerah tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maupun UU
BPSDM 58 Proses Penyusunan Peraturan Daerah HUKUM DAN P3. Namun diatur dalam Perpres UU P3 dan Peraturan HAM Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah. Berdasarkan ketentuan tersebut, definisi Klarifikasi Peraturan Daerah adalah: pengkajian dan penilaian terhadap Perda, Perkada dan Peraturan DPRD untuk mengetahui bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 18 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014). Konsekuensi dari klarifikasi ini adalah pembatalan suatu perda, jika hasil dari klarifikasi menunjukkan adanya pertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan dan/ atau dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Melihat dari definisi dan konsekuensi dari proses klarifikasi terhadap peraturan daerah, maka sebenarnya maknanya sama dengan ketentuan tentang Pembatalan Perda dan Perkada yang diatur dalam Pasal 249 sampai dengan Pasal 252 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Disebutkan dalam ketentuan tersebut bahwa pembatalan dapat dilakukan terhadap perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, bertentangan dengan ketertiban dan /atau kesusilaan. Oleh karenanya, jika ditunjau dari hirarki peraturan perundang-undangan, rujukan utama untuk masalah klarifikasi perda ini adalah Pasal 249 sampai dengan Pasal
Proses Penyusunan Peraturan Daerah 59 BPSDM252 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang HUKUMPemerintahan Daerah yang mengatur mengenai Pembatalan DANPerda dan Peraturan Kepala Daerah (Perkada). HAM C. Rangkuman Evaluasi Rancangan Perda adalah pengkajian terhadap Rancangan Perda apakah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, ketertiban dan/atau kesusilaan. Sedangkan klarifikasi atau pembatalan Perda adalah pengkajian terhadap Perda yang sudah berlaku. Objek evaluasi Rancangan Perda dan klarifikasi Perda adalah yang berkaitan dengan: RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah. D. Latihan 1. Apakah yang dimaksud dengan Evaluasi rancangan peraturan perda? 2. Rancangan perda Apa saja yang harus dievaluasi? 3. apakah klarifikasi dan pembatalan terhadap perda memiliki makna yang sama? Apakah rujukan yang harus diutamakan untuk masalah klarifikasi dan pembatalan perda tersebut?
BPSDM HUKUM DAN HAM
Proses Penyusunan Peraturan Daerah 61 BAB VI PEMAHAMAN MENGENAI PERATURAN DESA BPSDMSetelah Mempelajari Modul ini Peserta Diharapkan Mampu HUKUMMenjelaskan Mengenai Pemahaman Mengenai Peraturan Desa. DAN HAMJumlah JamMateriKegiatan Pengajar Kegiatan Peserta Pelajaran Pemahaman mengenai Pengajar Mempelajari, 8 Peraturan Desa. menjelaskan dan mendiskusikan,baik (1 JP) a. Kedudukan Desa dalam memandu peserta secara perorangan atau di dalam kelompok terkait dengan Pemerintahan Daerah. memahami tugas yang diberikan b. Kedudukan Peraturan pengajar. Desa dalam Hirarki Peraturan Perundang- undangan. c. Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Desa. A. Kedudukan Desa Dalam Pemerintahan Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara. Berdasarkan pengaturan tersebut, pemerintah memberikan keleluasaan pada desa untuk mengatur rumah tangganya 61
BPSDM 62 Proses Penyusunan Peraturan Daerah HUKUM DAN sendiri. Selain itu, pemerintah desa juga dapat diberikan HAM penugasan ataupun pendelegasian dari pemerintah ataupun pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu. Pengertian mengenai desa kemudian dipertegas dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang menyatakan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perbedaan definisi desa dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 yakni bahwa dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang dapat berdasarkan prakarsa masyarakat. Namun secara esensi, definisi mengenai desa ini tidak berbeda. Kesemua definisi tersebut menggambarkan bahwa pemerintah masih konsisten memberikan keleluasaan pada desa untuk mengatur rumah tangganya sendiri. I nti dari otonomi sejatinya adalah adanya transfer kewenangan dari tingkatan pemerintahan. Mengingat adanya otonomi yang telah diberikan kepada desa, maka pemberian kewenangan Pemerintah Desa merupakan hak yang dimiliki oleh sebuah desa untuk dapat mengatur rumah tangganya sendiri.
Proses Penyusunan Peraturan Daerah 63 BPSDM Dimana pemerintah desa adalah kepala desa atau yang HUKUM disebut dengan nama lain, dan dibantu perangkat desa DAN sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa. HAM Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah, setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945, pengaturan desa atau disebut dengan nama lain tidak dapat ditemukan rumusannya secara jelas dalam Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945 hanya mengatur kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya, sebagaimana tertulis pada Pasal 18B ayat (2). Selanjutnya, Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menentukan bahwa pengaturan desa atau disebut dengan nama lain dari segi pemerintahannya mengacu pada ketentuan Pasal 18 ayat (7) yang menegaskan bahwa: Susunan dan tata cara penyelenggaraan Pemerintahan Daerah diatur dalam Undang-Undang. Hal ini berarti bahwa pengaturan tentang desa diintegrasikan ke dalam susunan pemerintahan daerah dalam sistem pemerintahan Indonesia. Lebih lanjut Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyatakan, dengan digabungkannya fungsi self-governing community dengan local self government, diharapkan kesatuan masyarakat hukum adat yang selama ini merupakan bagian dari wilayah
BPSDM 64 Proses Penyusunan Peraturan Daerah HUKUM DAN desa, ditata sedemikian rupa menjadi desa dan desa adat HAM yang pada dasarnya melakukan tugas yang hampir sama. Sedangkan perbedaannya hanyalah dalam pelaksanaan hak asal usul, terutama menyangkut pelestarian sosial desa adat, pengaturan dan pengurusan wilayah adat, sidang perdamaian adat, pemeliharaan ketentraman dan ketertiban bagi masyarakat hukum adat, serta pengaturan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli. Ditetapkannya pengaturan desa dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, sebagaimana ditegaskan pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa merupakan penjabaran lebih lanjut dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (7) dan Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu (Ni’matul Huda: 2015: 211): a. memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia; c. melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat desa; d. mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat desa untuk pengembangan potensi dan asset desa guna kesejahteraan bersama;
Proses Penyusunan Peraturan Daerah 65 BPSDM e. membentuk Pemerintahan Desa yang professional, HUKUM efisien dan efektif, terbuka serta bertanggungjawab; DAN HAM f. meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum; g. meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat desa guna mewujudkan masyarakat desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional; h. memajukan perkeonomian masyarakat desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan ansional; dan i. memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan. B. Kedudukan Peraturan Desa Dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dinyatakan bahwa jenis peraturan di desa terdiri atas Peraturan Desa, Peraturan Bersama Kepala Desa, dan Peraturan Kepala Desa. Sementara dalam perspektif yuridis formal, peraturan desa bukan bagian dari produk hukum daerah. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah menyebutkan bahwa produk hukum daerah berbentuk peraturan meliputi peraturan daerah atau nama lainnya, peraturan kepala daerah, peraturan bersama kepala daerah,
66 Proses Penyusunan Peraturan Daerah peraturan DPRD, dan berbagai keputusan meliputi keputusan kepala daerah, keputusan DPRD, keputusan pimpinan DPRD dan keputusan kepala badan kehormatan DPRD. Hal ini sejalan dengan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dimana peraturan desa tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Dalam Tabel di bawah ini akan terlihat kedudukan Peraturan Desa jika ditinjau dari beberapa peraturan perundang- undangan terkait, yaitu sebagai berikut: BPSDM HUKUM DAN HAM Tabel. 3 Kedudukan Peraturan Desa Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan Terkait No Peraturan Perundang- Kedudukan Peraturan Desa undangan Terkait 1 Undang-Undang Nomor 10 Peraturan Desa termasuk dalam jenis peraturan Tahun 2004 (Pasal 7 ayat (2) perundang-undangan, bagian dari Peraturan huruf c) Daerah 2 Undang-Undang Nomor 32 Tidak menjelaskan kedudukan Peraturan Desa namun keberadaannya diakui sebagai sebuah Tahun 2004 (Pasal 209, 211 peraturan yang dibuat oleh Badan dan 212) Pemusyawaratan Desa bersama Kepala Desa 3 Undang-Undang Nomor 12 Tidak termasuk dalam hierarki peraturan Tahun 2011 (Pasal 8) perundang-undangan tetapi merupakan salah satu peraturan perundang-undangan yang diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan 4 Undang-Undang Nomor 6 Merupakan peraturan perundang-undangan yang Tahun 2014 (Pasal 1 angka 7) ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati dengan Badan Pemusyawaratan Desa 5 Undang-Undang Nomor 23 Tidak mengakomodir Peraturan Desa Tahun 2014 6 Peraturan Pemerintah Nomor Hanya mengatur tata cara penyusunan Peraturan 43 Tahun 2014 (Pasal 83 dan Desa Pasal 84)
Proses Penyusunan Peraturan Daerah 67 BPSDM Dalam UU P3, Peraturan Desa tidak disebutkan secara HUKUM eksplisit sebagai salah satu jenis peraturan perundang- DAN undangan namun kedudukan Peraturan Desa masih HAMtermasuk peraturan perundang-undangan. Hal tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU P3 selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Diakuinya keberadaan Peraturan Desa dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan dipertegas dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Hal tersebut menunjukkan bahwa kedudukan Peraturan Desa sebagai suatu produk hukum. Konsekuensinya bahwa Peraturan Desa tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (harus memperhatikan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011).
BPSDM 68 Proses Penyusunan Peraturan Daerah HUKUM DAN Kosekuensi lainnya Peraturan Desa sebagai produk hukum HAM berdasarkan Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, Peraturan Desa tidak boleh merugikan kepentingan umum. Maskud kepentingan umum dalam Penjelasan Umum angka 7 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 meliputi : a. terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat; b. terganggunya akses terhadap pelayanan publik; c. terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum; d. terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa; dan e. diskriminasi terhadap suku, agama, dan kepercayaan, ras, antar golongan, serta gender. C. Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Desa Dalam Penjelasan Umum Angka 7 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dinyatakan bahwa penetapan peraturan desa merupakan penjabaran atas berbagai kewenangan yang dimiliki desa mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan demikian materi muatan peraturan desa terdiri atas penjabaran atas berbagai kewenangan yang dimiliki desa; dan mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pada prinsipnya pelimpahan kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dapat dibagi dalam 2 (dua) bentuk, yaitu: pelimpahan kewenangan delegasi dan pelimpahan kewenangan atribusi. Pelimpahan
Proses Penyusunan Peraturan Daerah 69 BPSDM kewenangan delegasi adalah pelimpahan kewenangan untuk HUKUM DAN membentuk peraturan perundang-undangan yang diberikan HAM oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang sejenis atau yang lebih rendah, baik pelimpahan dinyatakan tegas maupun tidak. Sementara pelimpahan kewenangan atribusi adalah pemberian kewenangan membentuk peraturan perundang- undangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar atau Undang-Undang kepada suatu Lembaga Negara/Pemerintahan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa materi muatan peraturan desa tidak terlepas dari kewenangan atribusi berupa penjabaran dari berbagai kewenangan yang dimiliki desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan kewenangan delegasi dengan mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan bahwa kewenangan desa meliputi: a. kewenangan berdasarkan hak asal-usul; i. Pasal 103 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyatakan bahwa kewenangan hak asal usul meliputi: i. Pengaturan dan Pelaksanaan Pemerintahan berdasarkan susunan asli; ii. Pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat; iii. Pelestarian nilai sosial budaya Desa Adat; iv. Penyelesaian Sengketa Adat; v. Penyelenggaraan sidang perdamaian Peradilan Adat Desa sesuai peraturan perundang-undangan; vi. Pemeliharaan ketentraman dan ketertiban masyarakat desa adat berdasarkan hukum adat; dan vii. Pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat adat.
BPSDM 70 Proses Penyusunan Peraturan Daerah HUKUM DAN b. kewenangan lokal berskala desa; HAM Kewenangan lokal berskala desa merupakan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat desa yang telah dijalankan oleh desa atau mampu dan efektif dijalankan oleh desa atau yang muncul karena perkembangan desa dan prakarsa masyarakat desa, antara lain tambatan perahu, pasar desa, tempat pemandian umum, saluran irigasi, sanitasi lingkungan, pos pelayanan terpadu, sanggar seni dan belajar, perpustakaan desa, embung desa, dan jalan desa. (Penjelasan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa) c. kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota; dan Kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota kepada desa meliputi Pertama, penyelenggaraan pemerintahan desa; Kedua, pelaksanaan pembangunan desa; Ketiga, pembinaan kemasyarakatan desa; dan Keempat, pemberdayaan masyarakat desa. (Pasal 22 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa) d. kewenangan lain yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota. Kewenangan-kewenangan di atas dapat dijabarkan dalam peraturan desa. Dengan kata lain materi muatan peraturan desa antara lain adalah penjabaran dari keempat kewenangan tersebut. Selanjutnya, disamping kewenangan atribusi, dalam materi muatan peraturan desa memuat kewenangan delegasi dimana peraturan perundang-undangan yang memerintahkan pembentukan peraturan desa antara lain: 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (Pasal 73 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014).
Proses Penyusunan Peraturan Daerah 71 BPSDM 2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa HUKUM dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (Pasal 120 DAN ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014). HAM 3. Perubahan Rencana Pembangunan Jangka Mennegah Desa dan rencan Kerja Pemerintah Desa (Pasal 120 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014). 4. Perencanaan, Pemanfaatan, dan Pendayagunaan Aset Desa dan Tata Ruang Dalam Pembangunan Kawasan Perdesaan (Pasal 125 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014). 5. Pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) (Pasal 88 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014). 6. Pembentukan Lembaga Kemasyarakatan Desa (Pasal 150 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014). 7. Pembentukan Lembaga Adat Desa (Pasal 152 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014). D. Rangkuman Pemerintah memberikan keleluasaan pada desa untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Dalam hal ini, pemerintah desa juga diharapkan dapat diberikan penugasan ataupun pendelegasian dari pemerintah ataupun pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu.
72 Proses Penyusunan Peraturan Daerah E. Latihan 1. Bagaimanakan kedudukan Desa dalam Pemerintahan Daerah? 2. Apabila peraturan desa tidak termasuk dalam produk hukum daerah serta tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan, dimanakah kedudukan peraturan desa? BPSDM HUKUM DAN HAM
Proses Penyusunan Peraturan Daerah 73 BAB VII PENUTUP BPSDM A. Dukungan Belajar Peserta HUKUM DAN Dalam memberikan dukungan kepada peserta, tentunya HAM tidak luput dari peran pengajar yang akan mengampu materi ini. Untuk itu ada beberapa persyaratan bagi tenaga pengajar, adalah sebagai berikut: 1. Pengajar sub pembelajaran yang bersifat pemahaman konseptual adalah mereka yang menguasai prinsip- prinsip ilmu perundang-undangan. Pengajar dapat merupakan dosen tamu yang berasal dari universitas untuk memberikan kuliah umum yng bersifat konsep, teori dan asas. 2. Pengajar sub pembelajaran yang bersifat penguasaan konseptual adalah mereka yang menguasai prinsip- prinsip ilmu perundang-undangan serta memiliki spesialisasi di bidang teknik penyusunan Peraturan Daerah. Di samping hal-hal tersebut di atas, pegajar dalam hal ini diharapkan mampu berperan sebagai coach yang akan mampu memberikan pembimbingan dan dukungan dalam proses pembelajaran ini. Oleh karena itu, Pengajar/fasilitator akan berperan sebagai tenaga pengajar yang akan mengajarkan materi Peraturan 73
BPSDM 74 Proses Penyusunan Peraturan Daerah HUKUM DAN Daerah, dan melatih peserta untuk menuangkan HAM argumentasi dan analisis refleksi keilmuan terhadap permasalahan yang terjadi dalam bidang penyusunan Peraturan Daerah. Disamping itu, pengajar juga akan memberikan dukungan atau memfasilitasi proses pembelajaran dengan memberikan masukan dalam pertanyaan dan diskusi, sesuai dengan materi yang disusun berdasarkan kurikulum yang telah direncanakan. Cara belajar dalam proses pembelajaran ini adalah dengan menggunakan metode ceramah dan self study bagi peserta dengan cara diberikan bahan-bahan untuk pekerjaan masing- masing. Ada beberapa metode yang dapat digunakan oleh pengajar, diantaranya sebagai berikut: 1. Diskusi Diskusi pembelajaran kepada peserta ditekankan dengan berbasis kepada permasalahan berbasis kepada problem base learning dan praktek menyusun sebuah norma. Peserta diminta untuk melakukan analisis terkait dengan kasus dalam penyusunan norma peraturan perundang-undangan yang diberikan oleh pengajar, mendiskusikannya, mencari bahan secara mandiri/ kelompok, memberikan penjelasan baik secara kelompok maupun secara perorangan. Hal ini bertujuan untuk membuka pemikiran peserta terkait dengan kasus di lapangan dan melatih keterampilan analisis peserta terhadap suatu permasalahan.
Proses Penyusunan Peraturan Daerah 75 BPSDM Peserta akan diberikan tugas kelompok/diskusi pada HUKUM setiap kegiatan pembelajaran. Tugas kelompok ini DAN bertujuan untuk melatih argumentasi dan kolaboriasi HAM kerja tim di dalam penugasan secara berkelompok. Diskusi kelompok peserta dilakukan pada saat pembelajaran, dan kelompok mempresentasikan argumentasinya kepada kelompok lain dan membuka kesempatan untuk menerima tanggapan dan menanggapi tanggapan yang disampaikan. 2. Tugas Peserta akan diberikan tugas seputar permasalahan materi Peraturan Daerah yang telah dipelajari peserta. Tugas dapat diberikan dalam bentuk Tugas Jurnal Pembelajaran Harian atau Tugas Karya Tulis. a. Tugas Jurnal Pembelajaran Harian Pemberian tugas kepada peserta dapat diberikan terkait dengan tugas menyusun jurnal pembelajaran harian yang berisi rangkuman materi, yang disusun perorangan, atau tugas terkait dengan kasus yang diberikan oleh pengajar untuk dilakukan analisis baik oleh perorangan atau kelompok. b. Tugas menyusun karya tulis Peserta juga dapat ditugaskan untuk menyusun karya tulis berupa makalah/ essay singkat terkait dengan kasus yang tematik diberikan oleh pengajar atau penyelenggara, yang bertujuan untuk menggali
BPSDM 76 Proses Penyusunan Peraturan Daerah HUKUM DAN pemahaman dan melatih keterampilan analisis dan HAM menulis karya ilmiah terkait dengan argumentasi pada sebuah permasalahan. a. Esay singkat adalah responsi terhadap perundang-undangan terkait dengan tema dalam sub pembelajaran. b. Esay singkat disusun dengan jumlah halaman maksimal 3 lembar A4, tidak menggunakan halaman sampul dan minimal 1, 5 lembar halaman. c. Standar penulisan:Arial 11, jumlah spasi 1,5 spasi, dan mencantumkan sumber penulisan. d. Tugas dikumpulkan pada saat akhir pembelajaran materi modul Metodologi Penyusunan Peraturan Perundang-undangan. c. Tugas Kelompok Tugas dapat diberikan secara kelompok untuk latihan mandiri penyusunan Naskah Akademik, dimana tugas diberikan pada saat awal pembelajaran, dikerjakan pada saat jam mandiri/ praktek, dan dikumpulkan pada saat selesai materi pembelajaran modul. Peserta diminta mendiskusikan, menganalisis dan mempresentasikan mengenai: 1) bagaimana penuangan kajian terhadap implikasi penerapan pengaturan baru terhadap beban keuangan negara yang efektif dalam sebuah Naskah Akademik. 2) perlu tidaknya Naskah Akademik bagi sebuah RUU/RPP tentang pengesahan Perjanjian/ Konvensi Internasional.
Proses Penyusunan Peraturan Daerah 77 BPSDM B. Tindak Lanjut HUKUM DAN Setelah mempelajari modul ini, para peserta diharapkan HAM mampu memahami dan mengimplementasikan penyusunan peraturan daerah. Untuk itu peserta perlu, melakukan hal- hal sebagai berikut: 1. Peserta harus membaca terlebih dahulu modul sebelum mengikuti pembelajaran di kelas; 2. Mengikuti kegiatan pembelajaran dengan Widyaiswara atau fasilitator dalam kelas secara tertib dan aktif; 3. Peserta harus proaktif terlibat dalam diskusi pembahasan isu-isu terkait peraturan daerah. C. Penilaian Peserta 1. Komponen Penilaian Penilaian kepada peserta dapat dilakukan dengan berbagai cara. Bahan yang diujikan dan diberikan penilaian komponennya adalah: a. Tes formatif pembelajaran (Kuis pada akhir pembelajaran modul). b. Tugas essay/ review materi c. Tugas kelompok dan keaktifan 2. Jenis Penilaian a. Kuis Kuis ini dapat dilakukan pada saat sesi pembelajaran dengan mengedepankan pemahaman kepada peserta. Kuis ini merupakan bentuk ujian tertulis
78 Proses Penyusunan Peraturan Daerah pada pelaksanaan proses pembelajaran setelah selesai pembelajaran. b. Tugas-tugas Pengajar juga dapat menggunakan tugas-tugas dalam kegiatan pembelajaran di kelas untuk mengukur pemahaman peserta terhadap materi peraturan daearah. c. Ujian Essay Peserta akan diminta untuk menyusun essay terkait dengan peraturan daerah, dimana peserta akan menyusun karya tulis singkat yang berisi analisis dan argumentasi terhadap masalah peraturan daearah dalam praktek. d. Sikap Sikap peserta akan dinilai oleh fasilitator pada setiap proses pembelajaran dan diskusi kelompok. BPSDM HUKUM DAN HAM
Proses Penyusunan Peraturan Daerah 79 DAFTAR PUSTAKA BPSDM A. Buku Bacaan HUKUM DAN Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar HAM Bahasa Indonesia, Jakarta: PN. Balai Pustaka, 2005. Hassan Shaddily, dkk., Ensiklopedia Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1973. L.M. Gandhi, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Yang Responsif, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap FH-UI, dalam Moh. Hasan Wargakusumah, dkk., Perumusan Harmonisasi Hukum Tentang Metodologi Harmonisasi Hukum, Jakarta: BPHN Departemen Kehakiman, 1996/1997. M. Dahlan Al Barry, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Yogyakarta: Arkola, 1995. Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Desa: Dalam Konstitusi Indonesia Sejak Kemerdekaan Hingga Era Reformasi, Malang: Setara Pers, 2015. Suhariyono, Bahan Kuliah Diklat Penyusunan dan Perancang Peraturan Perundang-undangan di BPSDM Kementerian Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2010. B. Makalah, Jurnal, Tulisan Ilmiah Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Kelautan
BPSDM 80 Proses Penyusunan Peraturan Daerah HUKUM DAN dan Perikanan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia HAM bekerja sama dengan Mitra Pesisir/Coastal Resources Management Project II, Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia, Jakarta: 2005. Qomaruddin dan Nasruddin, Pengharmonisasian, Pembulatan dan Pemantapan Konsepsi Peraturan Perundang-undangan: Modul Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang- undangan Tingkat Pertama, Jakarta: Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Hukum dan HAM, 2014. Rudy Hendra Pakpahan, Disharmoni Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah Dengan Beberapa Undang-Undang Terkait Regulasi Pembatalan Peraturan Daerah, Jakarta: Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 2, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, Juni 2014. Suhariyono, Peranan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Dalam Penyusunan Prolegda, Dalam Bimbingan Teknis Proglam Legislasi Daerah, Jakarta, 2007. Wahiduddin Adams, Prioritas Legislasi Daerah, Disampaikan pada Acara Panel Forum Nasional Program Legislasi Daerah 2006-2009 diselenggarakan oleh Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia, Jakarta, 15 Maret 2006.
Proses Penyusunan Peraturan Daerah 81 BPSDM C. Peraturan yang relevan HUKUM DAN Undang-Undang Dasar 1945 sebelum Amandemen. HAM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomorm 6 Tahun 2014 tentang Desa Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2015 tentang Keikutsertaan Perancang Peraturan Perundang-undangan Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Pembinaannya menyebutkan terkait dengan Kedudukan dan Tugas Perancang Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah Keputusan Bersama Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor M.390-KP.04.12 Tahun 2002 Nomor 01 Tahun 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional
82 Proses Penyusunan Peraturan Daerah Perancang Peraturan Perundang-undangan dan Angka Kreditnya. Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 41/KEP/M.PAN/12/2000 tentang Jabatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan dan angka Kreditnya. Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 41/KEP/M.PAN/12/2000 tentang Jabatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan dan angka Kreditnya. BPSDM HUKUM DAN HAM
Search