Tetapi pandangan Yesus terhadap Perjanjian Lama tidak terbatas pada dua hal tersebut. Yesus dalam hidup-Nya adalah seseorang yang hidup di lingkungan Perjanjian Lama. Bagi Dia Perjanjian Lama itu tidak merupakan kumpulan buku yang kuno tetapi Firman Allah yang hidup, yang mendasari hubungan-Nya dengan Allah Bapa. Ia memakai cerita, tokoh, dan peristiwa dari Perjanjian Lama dalam ajaran-Nya. C. Pandangan Perjanjian Baru terhadap Perjanjian Lama Penulis-penulis Perjanjian Baru memakai Perjanjian Lama sebagai dasar penjelasannya tentang Yesus Kristus. Yesus hanya dapat dimengerti sebagai penggenapan dari pengharapan Perjanjian Lama. Yesus adalah perlengkapan dari apa yang masih kurang dalam Perjanjian Lama. Yesus adalah kelanjutan sejarah dan keselamatan Perjanjian Lama. Ada empat pendekatan utama terhadap masalah hubungan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. 1. Perjanjian Baru sebagai Alkitab yang hakiki Orang-orang yang memiliki pandangan ini, misalnya Bultman, memandang Perjanjian Lama sebagai buku sejarah yang mendahului Perjanjian Baru tetapi tidak merupakan sejrah Kristen. Hanya Perjanjian Baru yang dianggap sebagai Firman Allah bagi orang Kristen secara langsung. Perjanjian Lama itu hanya dapat dianggap sebagai Firman Allah secara tidak langsung.Perjanjian Lama hanya dianggap sebagai pra-sayarat bagi Perjanjian Baru. Bultman percaya bahwa ada diskontinuitas secara total antara Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru. Perpisahan ini dilihat menurut dia dalam beberapa dikotomi, misalnya Hukum/ Anugerah, Umat Israel/ Gereja.Bagi Bultman walau ada anugerah dalam Perjanjian Lama, anugerah itu hanya dialami di dalam dan melalui ketaatan kepada Hukum Taurat. Keselamatan dalam Perjanjian Baru adalah karena anugerah yang dialami melalui Kristus dan anugerah itu jauh berbeda dari apa yang dialami orang dalam Perjanjian Lama. Anugerah dalam Perjanjian Lama akhirnya gagal dan hanya berguna untuk menunjukkan kegagalan Hukum Taurat dan menunjukkan anugerah yang benar, yang ditemukan dalam Kristus. Jadi, menurut Bultman, anugerah dalam Perjanjian Lama terikat oleh Hukum Taurat dan hanya berlaku untuk orang Israel dan tidak berarti sama sekali bagi orang Kristen. Bultman menganggap bahwa keselamatan dalam Perjanjian Lama adalah keselamatan kolektif dan bukan individu. Cukuplah bagi seseorang terlibat dalam upacara 51
agama supaya dianggap selamat dan anggota umat Allah.Sikap pribadinya tidak diperhatikan.Tetapi dalam Perjanjian Baru, menurut Bultman, tidak demikian. Gereja terdiri dari individu-individu yang memiliki hubungan pribadi dengan Allah dan upacara bersama tidak berarti sama sekali dalam kehidupan keselamatan. Dia menganggap bahwa sejarah Perjanjian Lama merupakan kegagalan saja, dan karena itu tidak berhubungan dengan sejarah Kristen. Sejarah Perjanjian Lama hanya menunjukkan kekurangan usaha manusia dan tidak berhubungan dengan kekristenan. Kegagalan Perjanjian Lama menghasilkan pengharapan, tetapi pengharapan itu hanya dipenuhi dengan suatu tindakan Allah yang baru sama sekali. Tindakan Allah itu begitu baru sehingga tidak punya hubungan lagi dengan tindakan-tindakan Allah yang lain. Arti dari tindakan baru itu tidak berakar dalam Perjanjian Lama dan tidak dapat dimengerti berdasakan Perjanjian Lama. Pendekatan Bultman tersebut tentu tidak benar. Mengatakan bahwa keselamatan dalam Perjanjian Lama hanya berkaitan dengan Israel dan Hukum Taurat tidak benar. Dalam Perjanjian Lama anugerah selalu mendahului hukum (misalnya Abraham sebelum Musa, Keluaran sebelum Hukum Taurat). Dalam Perjanjian Lama keselamatan tidak persis sama dengan menjadi anggota umat Allah, sebaliknya justru anggapan inilah yagn merupakan salah satu kegagalan Israel yang terbesar. Keselamatan hanya diebrikan kepada umat Israel hanya dengan syarat keaatan (Ul. 30:15-20) dan menjangkau lebih jauh daripada Israel (misalnya Rahab, Rut). Gereja Kristean adalah lanjutan baik dari segi sejarah maupun dari segi teologia.Pengikut pertama dari gereja adalah orang Israel walaupun hanya suatu sisa. Bahwa orang kafir akan masuk kepada umat Allah sudah jelas dari Perjanjian Lama sendiri di mana Israel dilukiskan sebagai alat atau terang di tengah-tengah dunia yang gelap, yang akan membawa kebenaran kepada dunia. Dengan demikian jelas bahwa gereja memiliki kesamaan dengan umat Israel dalam hal adanya kesatuan teologis dan keberadaan secara sosiologis. Namun demikian memang ada perbedaan, umat Allah dalam Perjanjian Lama sebagai bangsa yang didasarkan pada kuasa politik dan militer, dan umat Allah dalam Perjanjian Baru sebagai persekutuan rohani yang bertaraf internasional dan tanpa kuasa duniawi. 52
Kalau Perjanjian Lama itu dianggap sebagai kegagalan saja, persiapan Allah untuk keberhasilan diabaikan. Mesias itu muncul dari dan di tengah umat Israel, dan pengharapan Perjanjian Lama ditentukan dalam seseorang dari Israel dan bukan dari luar. 2. Perjanjian Lama sebagai Alkitab yang hakiki Orang yang memiliki pandangan ini, misalnya Arnold Ruler, memandang Perjanjian Lama itu sebagai Firman Allah yang sebenarnya, yang memiliki prioritas baik dari segi sejarah maupun teologis di atas Perjanjian Baru, khususnya dalam konsep Kerajaan Allah. Kerajaan Allah dianggap memiliki prioritas di atas keselamatan. Keselamatan dianggap sebagai cara untuk membawa Kerajaan Allah ke dunia, dan yang terpenting adalah Kerajaan Allah. Menurut Van Ruler,Perjanjian Lama adalah penyataan bagi orang-orang Kristen, dan hal itu berarti orang-orang Kristen adalah Israel ataupun ada hubungannya dengan orang Israel sehingga apa yang berlaku pada orang Israel berlaku juga bagi orang Kristen. Perjanjian Lama berakar dalam sejarah Israel, sehingga penyataan tersebut hanya dapat diteruskan sepenuhnya jika ada “pengulangan” Israel, yakni pembentukan suatu umat Israel yang lain. Tujuan akhirnya adalah titik tolak Israel, yakni teokrasi. Jadi pemberitaan Perjanjian Lama secara Kristen bukan sekedar pemberitaan tentang Kristus tetapi juga pemberitaan tentang Kerajaan Allah. Yesus sering dianggap sebagai perbaikan kegagalan Israel saja, dan kalau Israel tidak gagal Yesus tidak diperlukan. Perjanjian Baru dianggap lebih seperti tafsiran Perjanjian Lama bagi orang Kristen, sama dengan Talmud adalah tafsiran Perjanjian Lama bagi orang Yahudi. Pandangan teologi Perjanjian Lama dianggap lebih lengkap daripada pandangan teologi Perjanjian Baru. Dikatakan bahwa Perjanjian Baru itu hanya terbatas kepada keselamatan pribadi, tetapi Perjanjian Lama memiliki pandangan teologi lain, misalnya tentang tanah, hkmat, penciptaan. Secara teologi, Perjanjian Lama dikatakan memiliki kelebihan dibandingkan dengan Perjanjian Baru. Ada dua masalah dalam pandangan ini.Pertama, kalau dikatakan bahwa Perjanjian Baru hanya berbicara tentang keselamatan pribadi dan bukan Kerajaan Allah, jelas tidak benar.Yesus terus menerus berbicara tentang Kerajaan Allah. Kalau dikatakan bahwa Perjanjian Lama itu tidak berbicara tentang keselamatan pribadi, itu juga tidak benar. Kalau teologi penciptaan dianggap memiliki prioritas secara teologi atas teologi keselamatan, juga 53
tidak benar. Hal tersebut jelas nampak dalam ajaran Perjanjian Baru di mana Yesus tidak dianggap sebagai perbaikan kegagalan orang Israel , tetapi pusat rencana Allah untuk menyelamatkan manusia sejak sebelum dunia ini diciptakan. Masalah yang kedua, pandangan ini tidak cukup memperhatikan Yesus sebagai sesuatu yang baru.Yesus dilukiskan sebagai sesuatu yang baru yang melebihi yang diharapkan dalam Perjanjian Lama. Perjanjian Lama itu menunjukkan kepada Kristus dengan nubuatan-nubuatan-Nya, tetapi penggenapan nubuat-nubuat itu di dalam Kristus jauh melebihi apa yang diharapkan oleh nabi sendiri. Yesus bukan hanya lanjutan dari sejarah Perjanjian Lama tetapi adalah pusat sejarah itu dan melanjutkannya ke masa depan sampai dinyatakan Kerajaan Allah. Tidak satupun bentuk-bentuk pemerintahan yang dialami oleh Israel – persekutuan di padang gurun, hakim-hakim, kerajaan, persekutuan sesudah pembuangan – berhasil menjadi teokrasi, dan hanya pada kedatangan Yesuslah Kerajaan Allah akhirnya dibuka. 3. Kedua Perjanjian sebagai sejarah keselamatan Pandangan ini dikemukakan oleh Gerhard Von Rad, yang menafsirkan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sebagai dua bagian dari satu sejarah yang memberitakan perbuatan Allah dalam sejarah. Sejarah itu disebut Sejarah Keselamatan atau “Heisgeschichte.” Sejarah keselamatan adalah sejarah yang bergerak mulai dari penciptaan sampai kepada akhir zaman dan mengikutsertakan Israel, bangsa-bangsa serta dunia tersebut dalam sebuah karya penyelamatan Allah, di mana Allah menyatakan diri-Nya baik melalui perkataan maupun perbuatan. Dan sesuai dengan kedua jenis penyataan itu ada dua jenis bahan dalam Perjanjian Lama, yaitu bahan teologis (peristiwa disertai tafsiran dengan maknanya) dan bahan prateologis (peristiwa itu dicatat tanpa tafsiran). Bahan prateologis itulah yang membuat Perjanjian Lama bercirikan sebagai buku sejarah, walaupun bahwan itu lebih sedikit dibandingkan bahan teologis. Menurut Von Rad, tulisan-tulisan Perjanjian Lama berdasarkan beberapa “kredo atau pengakuan” yang menceritakan perbuatan- perbuatan Allah dalam sejarah. Dalam kitab-kitab Perjanjian Lama pengakuan-pengakuan ini terus menerus ditafsirkan kembali dan diterapkan kepada konteks-konteks yang berbeda. Tafsiran kembali ini menghidupkan tradisi-tradisi kuno untuk setiap generasi dan menjadi dasar untuk mengerti perbuatan-perbuatan Allah yang sedang terjadi. 54
Von Rad mengatakan bahwa para nabi itu menafsirkan tradisi Israel mengenai Sinai, Hukum Taurat, dan kegagalan orang Israel taat kepada Hukum Taurat bukan karena tidak mau tetapi karena mereka tidak mampu. Karena itu para nabi mencari suatu perbuatan Allah yang baru dengan raja Daud, dunia baru, dan uamt Allah baru.Akhirnya peristiwa baru itu terjadi di dalam Kristus.Kelahiran, kematian, dan kebangkitan Yesus menghasilkan suatu tafsiran kembali dalam Perjanjian Baru dari pengakuan-pengakuan Perjanjian Lama.Tafsiran itu kita sebut Perjanjian Baru. Hubungan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru menurut Von Rad adalah proses reinterpretasi tradisi-tradisi kuno menurut perbuatan-perbuatan Allah baru. Perjanjian Lama dibutuhkan dalam gereja sebagai sumber tradisi-tradisi yang dapat ditafsirkan kembali dan menjadi dasar untuk mengerti Kristus. Sebaliknya, tradisi-tradisi itu hanya dapat dimengerti kalau ditafsirkan menurut Kristus. Jadi Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru saling bergantung. Masalah besar untuk pandangan ini adalah sikapnya terhadap sejarah. Pengakuan atau tradisi Perjanjian Lama tidak dianggap sebagai peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi (oleh orang Israel dipercayai sebagai peristiwa sejarah tetapi sejarahwan modern tidak menerimanya). Tafsiran kembali dari cerita-cerita itu secara teologis dipengaruhi oleh perbuatan-perbuatan Allah yang baru dan oleh pendekatan teologis penafsir.Setiap tafsiran kembali memindahkan tradisi-tradisi kuno itu semakin jauh dari akarnya dalam bentuk sejarah. Akhirnya, yang ditemukan dalam Perjanjian Lama bukan sejarah lagi tetapi interpretasi teologis yang ditulis dalam bentuk sejarah. Menurut pandangan ini yang kita miliki dalam Perjanjian Lama itu bukan sejarah perbuatan Allah lagi tetapi sejarah perkembangan pemikiran teologis. Pandangan tersebut harus ditolak, karena baik iman Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru berakar dalam sejarah. Kalau peristiwa-peristiwa yang tertulis dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tidak terjadi seperti yang ditulis, maka tidak ada dasar yang kuat untuk iman. 4. Kedua Perjanjian adalah Firman Allah Sarjana-sarjana yang mengajukan pandangan ini, misalnya Wilhelm Vischer, memandang Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sebagai Firman Allah yang sederajat. Dua-duanya merupakan Firman Allah bagi orang Kristen. Menurutnya Perjanjian Lama 55
harus ditafsirkan menurut Kristologi karena keseluruhan Perjanjian Lama menunjuk kepada Kristus. Perjanjian Lama memberikan konsep Kristus atau Mesias, dan Perjanjian Baru memberikan nama Yesus. Dalam Kristus, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru bertemu. Karena Yesus ditemukan dalam Perjanjian Lama, Perjanjian Lama itu menjadi milik gereja Kristus. Pandangan tersebut benar, namun tidak seluruhnya benar.Bahaya metode ini adalah kunci Kristus dipakai tanpa memperhatikan konteksnya dalam Perjanjian Lama, supaya Kristus dilihat dan dicari dalam setiap orang dan institusi. Dengan demikian, pengertian Perjanjian Baru dibaca ke dalam Perjanjian Lama walaupun dalam Perjanjian Lama belum ada wahyu itu. Perlu diperhatikan bahwa pandangan ini tidak mengatakan bahwa setiap ayat berbicara tentang Kristus, tetapi tujuan secara keseluruhan adalah kepada Kristus. Keselamatan dalam Perjanjian Lama tidak terlalu berbeda dari keselamatan dalam Perjanjian Baru sebab Kristus ada dalam dua-duanya. Imanuel dari Perjanjian Lama bukan Yesus dalam Perjanjian Baru, tetapi persamaannya dapat dijelaskan. Setiap ayat atau perintah dalam Perjanjian Lama tidak bisa langsung diterapkan kepada orang Kristen. Ada bagian-bagian yang bergantung kepada budaya orang Israel atau kepada keadaan tertentu dalam sejarah.Perkataan-perkataan itu sering tidak bisa langsung diterapkan kepada orang Kristen, tetapi prinsip yang terkandung di dalamnya masih relevan atau mencapai penggenapan dalam Kristus. Perjanjian Baru, misalnya, menjelaskan keimamatan Perjanjian Lama dengan hukum dan ritusnya digenapi dalam Kristus. Satu contoh lagi adalah nhubuat-nubuat para nabi tentang kejatuhan Israel Utara dan Yerusalem sudah terpenuhi dalam sejarah dan tidak dapat diterapkan secara langsung kepada masa kini, tetapi prinsip-prinsip yang melatarbelakangi nubuat itu tentang keselamatan dan hukuman masih berlaku dan harus ditanggapi secara serius sebagai Firman Allah oleh orang Kristen. Seperti dikatakan dalam Teologi Perjanjian Lama, hakikat sebuah Teologi Perjanjian Lama yang alkitabiah adalah keselamatan. Bagi orang Kristen, pusat dari keselamatan adalah Yesus Kristus, dan di dalam Yesus kita memiliki kunci yang menghubungkan Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru secara teologis. Sebagai orang Kristen, Perjanjian Lama itu dapat diterima sebagai Firman Allah karena ituterus menerus menunjuk kepada Yesus. 56
57
Search