Theresa 145 Michaud tersenyum lebar. Dia berpendapat Theresa m em erlukan seorang suam i yang gagah. Adapun bagi Madam e Raquin, perkataannya itu seakan-akan secercah cahaya yang m enerangi hatinya. Dalam sekilas saja dia sudah dapat m elihat keuntungan-keuntungan yang akan diperolehnya bagi dirinya sendiri dari perkawinan Theresa dengan Laurent. Perkawinan itu pasti akan lebih m engukuhkan lagi tali yang telah m engikat dia dan kem enakannya dengan sahabat anaknya, laki-laki yang baik hati yang setiap m alam datang m enghiburnya. Dengan jalan ini dia tidak akan memasukkan orang asing ke dalam lingkungan keluarganya, tidak akan ada risiko yang dapat m em buatnya tidak berbahagia. Sebaliknya, dengan m em berikan Laurent kepada Theresa, berarti dia akan m enam bah kebahagiaan untuk dirinya sendiri di hari tuanya, dia akan m endapatkan lagi anak kedua dalam diri Laurent yang dalam waktu tiga tahun terakhir ini telah m enunjukkan rasa sayang kepadanya. Selanjutnya, dengan m engawini Laurent, Theresa tidak akan m erasa terlam pau tidak setia kepada Cam illus. Hati m anusia m em ang banyak anehnya. Madam e Raquin yang pasti akan m enangis sedih apabila m elihat ada orang lain m encium Theresa, hatinya rela m enyerahkan Theresa kepada pelukan sahabat anaknya. Menurut pendapatnya, sesuai dengan ungkapan, segala-galanya akan tetap berada dalam keluarga. Sepanjang m alam itu selagi para tam u asyik berm ain dom ino, Madam e Raquin tak henti-hentinya m em andangi kedua pasangan m uda itu dengan penuh kelem butan, yang m em buat Theresa dan Laurent m engerti bahwa sandiwaranya berhasil dan babak terakhir harus segera dimainkan. Sebelum pulang, Michaud berbicara dahulu sebentar dengan suara ditahan dengan Madame Raquin. Setelah itu dengan hati-hati m enarik tangan Laurent dan berkata bahwa ia ingin berjalan pulang bersam a-sam a. Ketika hendak berangkat, cepat-cepat Laurent m elem parkan pandangan penuh arti kepada Theresa.
146 Emile Zola Michaud berhasil m engorek isi hati Laurent. Dia dapat tahu bahwa anak m uda itu sangat m enyayangi kedua perem puan itu tetapi terkejut ketika mendengar saran mengawini Theresa. Dengan suara penuh perasaan, Laurent m enam bahkan bahwa dia m encintai janda sahabatnya hanya sebagai saudara, dan kawin dengan Theresa bagi dia berarti suatu pencemaran kepada kem urnian sikapnya. Pensiunan polisi itu m endesak. Dia membeberkan serangkaian alasan-alasan baik untuk membuat anak m uda itu m enyerah, bahkan bertindak cukup jauh dengan m engatakan bahwa m enjadi kewajibannya untuk m engem balikan seorang anak pada Madame Raquin dan suami pada Theresa. Sedikit dem i sedikit Laurent m em biarkan dirinya diyakinkan. Dia berpura-pura tersentuh, dan menganggap gagasan kawin ini sebagai sesuatu yang langsung datang dari sorga, penjelm aan dari kasih, dari kewajiban seperti yang dikatakan oleh Michaud tua. Ketika Michaud sudah m en erim a persetujuan Lauren t, dia m inta diri berpisah. Dia m engusap-usap kedua tangannya karena gem bira. Pikirnya, dia telah m eraih hasil gem ilang, dia m engucapkan selam at kepada dirinya sendiri karena bangga dialah yang pertam a-tam a m em ikirkan perkawinan itu yang akan m engakibatkan kem balinya kegem biraan setiap m alam J um at. Pada saat Michaud berbicara dengan Laurent sam bil berjalan sepanjang dermaga, Madame Raquin pun mengadakan pem bicaraan yang sam a dengan Theresa. Ketika kem enakannya dengan wajah pucat dan badan lemah seperti biasa hendak beranjak m asuk ke kam arnya, Madam e Raquin m enahannya sebentar. Dia m enanyakan dengan suara lem but dan m em intanya berterus terang, apa sebenarnya yang m em buat Theresa begitu tertekan. Ketika dia m endengar jawaban-jawaban sam ar m ulailah dia berbicara tentang keham paan seorang janda, dan akhirnya bertanya secara langsung kalau-kalau Theresa m em punyai keinginan tersem bunyi untuk kawin lagi. Theresa m em bantah
Theresa 147 keras dan mengatakan bahwa dia bahkan tidak pernah m em ikirkannya, bahwa dia akan tetap setia kepada Cam illus. Madam e Raquin m ulai m enangis lagi. Bertentangan dengan hati nuraninya sendiri dia m encoba m eyakinkan Theresa bahwa orang tak dapat selam anya berduka. Akhirnya, ketika Theresa berteriak bahwa dia tidak akan mengambil orang lain sebagai pengganti Cam illus, oleh Madam e Raquin dijawab dengan tiba-tiba saja m enyebut nam a Laurent. Lalu, dengan kata-kata yang m em banjir, dibesar-besarkannya kebaikan dan keuntungan-keuntungan dari perkawinan itu; dicurahkannya seluruh isi hatinya, diulanginya dengan lantang sem ua yang ada dalam pikirannya sepanjang m alam . Dengan m enonjolkan kepentingan diri pribadinya yang naif dia m enggam barkan kebahagiaan-kebahagiaan duniawinya yang terakhir didam pingi oleh kedua anaknya tersayang. Theresa m endengarkan, kepalanya m enunduk, hatinya m enyerah dengan lembut, siap untuk memenuhi keinginan-keinginan terakhir b ib in ya . “Saya m encintai Laurent sebagai saudara,” katanya sedih sesudah bibinya selesai. “Karena Bibi m enghendakinya, saya akan m encoba m encintainya sebagai suam i. Saya ingin m em buat Bibi bahagia.... Tadinya saya m engharap Bibi akan m em biarkan saya berkabung dengan tenang, tetapi saya bersedia m engeringkan air m ata dem i kebahagiaan Bibi.” Dia m encium perem puan tua itu, yang sekarang m erasa ngeri dan heran karena dialah yang tadi lebih dulu m elupakan anaknya. Ketika m asuk ke kam arnya dia m enangis pedih, m enyalahkan dirinya sendiri karena tidak sekuat Theresa, karena secara egois m enginginkan perkawinan itu, sedang Theresa m enyetujuinya dengan pengorbanan perasaan. Keesokan harinya Michaud dan Madam e Raquin m engadakan pem bicaraan di depan pintu toko. Keduanya m enceritakan hasil tugasnya, lalu sepakat untuk tidak m em buang-buang waktu
148 Emile Zola m ewujudkan gagasannya. Mereka akan berusaha keras agar kedua anak muda itu bertunangan pada malam itu juga. Sore itu pukul lima Michaud sudah berada di toko ketika Laurent datang. Segera setelah anak m uda itu duduk pensiunan polisi itu berbisik kepadanya, “Dia setuju.” Pernyataan yang tanpa liku-liku itu terdengar oleh Theresa yang tetap pucat. Tanpa m alu-m alu m atanya m enatap Laurent. Kedua kekasih ini saling berpandangan beberapa saat lam anya, seakan-akan saling m em inta nasihat. Mereka faham bahwa m ereka harus m enerim a keadaan ini tanpa ragu agar segalanya cepat selesai. Laurent berdiri, m engham piri Madam e Raquin, lalu m engam bil tangannya. Ketika perem puan tua itu dengan segala daya m encoba m enahan air m atanya, Laurent berkata sam bil tersenyum , “Ibu yang baik, saya m em bicarakan kebahagiaan Ibu tadi malam dengan Tuan Michaud. Putra-putra Ibu ingin membuat Ibu bahagia.” Tatkala perem puan tua itu m endengar dirinya disebut “Ibu yang baik” dia m elepaskan seluruh air m atanya yang tertahan. Cepat-cepat dia m enarik tangan Theresa dan m eletakkannya ke tangan Laurent. Dia tidak dapat berkata-kata. Terasa ada arus listrik di sekujur tubuh kedua anak muda itu ketika kulit mereka bersentuhan. Mereka berpegangan dengan jari-jem ari kaku dan m em bara. Dengan nada ragu-ragu Laurent berkata lagi, ‘Theresa, betulkah m enjadi keinginanm u kita akan m em bangun kehidupan yang gem bira dan bahagia untuk bibim u?” “Ya,” jawab perem puan itu pelan, “kita m em punyai kewajiban yang harus kita tunaikan.” Lalu Laurent berpaling kepada Madam e Raquin, wajahnya sangat pucat, “ketika Cam illus tercebur, dia berteriak kepada saya, “Selam atkan istriku! Aku percayakan dirinya kepadam u. Saya percaya dengan m em peristri Theresa saya m em enuhi kein gin a n n ya .”
Theresa 149 Ketika m endengar kata-kata ini, Theresa m elepaskan tangan Laurent. Seakan-akan dia m enerim a suatu pukulan berat dalam hatinya. Kelancangan kekasihnya tidak m enyedapkannya. Dia m enatap Laurent, m atanya m em ancar liar. Dalam pada itu Madam e Raquin berkata terputus-putus oleh isak tangis, “Ya, ya, Anakku, kawinilah dia, bahagiakanlah dia. Anakku akan sangat berterim a kasih dari kuburnya.” Laurent m erasa hendak rubuh. Cepat dia bersandar ke punggung sebuah kursi. Michaud yang cepat tersentuh oleh derai air m ata, m endorongnya ke arah Theresa, berkata, “ayoh, saling mencium, dengan itu kalian telah bertunangan.” Laurent m erasakan sesuatu yang aneh tidak m enyedapkan ketika bibirnya m enyentuh pipi Theresa. Theresa sendiri m undur terkejut, seakan-akan cium an kekasihnya m em bakar kedua pipinya. Baru pertam a kali inilah laki-laki itu m encium nya disaksikan orang lain. Seluruh darahnya naik ke wajah, dia m erasa m ukanya m em erah, pipinya panas, padahal dia tidak pernah mengenal kesopanan, tidak pernah merasa malu dalam b er cin t a . Setelah m elam paui krisis ini keduanya dapat bernafas lega lagi. Perkawinan m ereka telah pasti. Akhirnya m ereka berhasil m encapai yang telah diikhtiarkannya begitu lam a. Segala- galanya selesai diatur m alam itu juga. Pada J um at m alam berikutnya perkawinan Theresa dan Laurent dium um kan kepada Grivet, kepada Oliver dan istrinya. Michaud tak dapat m enahan pcrasaannya ketika dia m enyam paikan berita itu. la m engusap- usap tan gan n ya dan berulan g-ulan g berkata, “akulah yan g m em ikirkannya, akulah yang bertanggung jawab atas perkawinan m ereka itu.... Kalian akan lihat betapa serasi m ereka nanti!” Dengan diam-diam Suanne mencium Theresa. Perempuan pucat tanpa gairah hidup ini m akin lam a m akin m enyukai janda yang m urung dan tegang itu. Dia m encintainya seperti
150 Emile Zola cintanya seorang anak kecil, disertai sem acam rasa horm at bercam pur takut. Oliver m engucapkan selam at kepada bibi dan kem enakannya. Grivet m elontarkan beberapa olok-olok kurang senonoh yang disam but baik oleh yang lain. Pendeknya, sem ua tamu menunjukkan bahwa mereka turut gembira dan mengatakan bahwa segala-galanya dem i kebaikan. Sebenarnya, dalam hati, m ereka m em bayangkan turut m enikm ati pesta perkawinannya. Sikap Theresa dan Laurent tetap sopan dan terkendali. Mereka saling menunjukkan keramahan seorang sahabat, tak lebih dari itu. Mereka m em berikan kesan bahwa m ereka hanya sem ata-m ata menjalankan kesetiaan dan kewajiban belaka. Tak ada segaris pun dalam raut wajah m asing-m asing yang dapat m enunjukkan ketakutan dan gairah berahi yang m enggoncangkan batin m ereka. Sam bil tersenyum lem but Madam e Raquin m em perhatikan m ereka dengan hati gem bira penuh rasa terim a kasih. Ada beberapa form alitas yang harus dijalankan dahulu. Laurent harus m enyurati ayahnya m em inta persetujuannya. Petani tua dari J eufosse yang telah lupa bahwa ia m em punyai anak laki-laki di Paris, m em balas bahwa anaknya boleh kawin atau m enggantung diri apabila dikehendakinya. Dia m enegaskan bahwa ia telah m em buat keputusan untuk tidak m em berinya uang sekeping pun, tetapi m em beri kebebasan sepenuhnya untuk berbuat sesuka hatinya. Laurent m erasa bahwa izin yang diberikan dengan kata- kata seperti itu sangat aneh dan m engganggu hatinya. Reaksi Madam e Raquin kepada surat yang tidak wajar dari seorang ayah itu berupa kebaikan yang terburu-buru, yang m enyebabkan dia m elakukan sesuatu yang sangat bodoh. la m em berikan seluruh hartanya, yang em pat puluh ribu frank itu kepada Theresa sebagai hadiah perkawinan. Dia memiskinkan dirinya dem i kedua bakal pengantin itu, m em percayakan nasibnya sendiri kepada kebaikan hati mereka, mengharapkan segala kebahagiaan akan datang dari m ereka. Laurent sendiri tidak
Theresa 151 m em berikan sesuatu pada warisan bersam a, bahkan sebaliknya m enegaskan dia akan m eninggalkan pekerjaannya dan m ungkin sekali akan kembali melukis. Suatu hal telah pasti, masa depan keluarga kecil itu sudah terjam in. Penghasilan dari uang yang em pat puluh ribu frank itu ditam bah dengan keuntungan dari toko akan dengan mudah menghidupi ketiga orang itu. Mereka akan m em punyai cukup uang untuk bisa berbahagia. Persiapan-persiapan untuk perkawinan dipilih yang penting- pentingnya, segala tetek-bengek form alitas dipersingkat sedapat- dapatnya. Tam paknya ham pir setiap orang sangat berkehendak untuk m endorong Laurent ke dalam pelukan Theresa. Akhirnya hari yang diharap-harapkan itu pun tibalah.
BAB XX PAGI ITU Laurent dan Theresa bangun di kam ar m asing-m asing den gan pikiran m en yen an gkan yan g sam a. Keduan ya yakin m alam buruk yang m enakutkan telah berakhir. Mereka tidak akan lagi tidur sendiri; mereka akan bersama-sama melawan serangan laki-laki yang m ati tenggelam itu. Theresa m elihat ke sekeliling, lalu tersenyum aneh ketika m atanya m engira-ngira ukuran ranjangnya yang besar. Dia bangun, lalu berpakaian, m enunggu Suzanne yang akan datang m em bantunya berdandan untuk perkawinan. Laurent duduk di ranjangnya. Dia tetap dalam posisi itu selama beberapa menit, melemparkan pandangan-pandangan perpisahan terakhir ke setiap sudut kam ar yang dirasakannya sebagai tem pat yang sangat m em uakkan. Akhirnya ia akan m eninggalkan kandang ini dan akan m em punyai seorang perem puan m iliknya sendiri. Waktu itu bulan Desem ber. la
Theresa 153 m enggigil. Ketika m elom pat dari ranjang, ia yakin m alam nanti tubuhnya akan hangat. Sem inggu sebelum nya, Madam e Raquin yang m engetahui bahwa Laurent tidak m em punyai uang, m enyelipkan sebuah dom pet ke tangannya berisi lim a ratus frank, seluruh sim panannya. Anak m uda itu m enerim anya tanpa banyak bicara dan dengan uang itu membeli seperangkat pakaian baru. Pemberian itu juga m em ungkinkan dia m em beli hadiah perkawinan yang lazim untuk Theresa. Celana hitam , jas, rom pi putih, kem eja lena yang halus dan syal bergantungan di dua kursi. Laurent m em basuh diri, m engharum i badannya dengan eau de Cologne, lalu berdandan dengan cerm at sekali. Dia ingin tam pak tam pan. Ketika sedang m em asangkan kerah yang tinggi dan keras ia m erasakan sesuatu yang pedih di lehernya. Kancing kerah terlepas dari jari-jarinya dan ia m enjadi tak sabar. Ternyata kerah yang keras itu m elukai lehernya. Karena ingin m elihat, ia m engangkat dagunya dan tam paklah bekas gigitan Cam illus m enjadi m erah. Laurent m enggigit bibir dan wajahnya m em ucat. Bintik di leher itu sangat m engganggu hatinya, dia m erem as-rem as kerah itu, m engam bil lagi yang lain, lalu m em asangnya dengan sangat hati-hati. Akhirnya dia selesai. Ketika berjalan ke bawah, pakaian baru itu m em buatnya kaku. Dengan leher terikat ketat oleh kerah dan kemeja ia tak berani memalingkan kepala. Dalam setiap gerakan, lipatan kain di lehernya itu m enjepit bekas luka. Sungguh, keadaan yang tidak m enyenangkan ini m em buat dia sangat m enderita, sehingga terpaksa naik kereta ke Passage untuk menjemput Theresa pergi ke gedung Kotapraja dan gereja. Sebelum ke Passage dia menjemput seorang pegawai Orleans dan Michaud tua yang akan bertindak sebagai saksi. Ketika m ereka tiba di toko, yang lain-lain sudah siap: Grivet dan Oliver, saksi-saksi dari pihak Theresa, dan bersam a m ereka juga
154 Emile Zola Suzanne, yang sedang asyik m engam ati pengantin perem puan seperti seorang anak kecil m em perhatikan boneka yang baru didandaninya. Madam e Raquin, sekalipun ham pir tidak bisa berjalan, bersikeras untuk turut. Dia dipangku naik ke dalam kereta, lalu berangkat. Di gedung Kotapraja dan di gereja segalanya berjalan lancar. Ketenangan dan kesopanan kedua m em pelai m enarik perhatian dan m enyenangkan orang yang m elihat. Kata “y a” yang sakral itu mereka ucapkan dengan begitu penuh perasaan, sehingga Grivet yang kasar pun tersentuh hatinya. Laurent dan Theresa m erasa seperti dalam m im pi. Ketika duduk atau bertekuk lutut berdampingan, bermacam pikiran liar berseliweran mengganggu benak m ereka tanpa dapat dikendalikan. Keduanya m enghindari beradu pandang. Ketika kem bali ke dalam kereta, m ereka m erasa asing satu sam a lain lebih daripada sebelum nya. Sudah ditetapkan bahwa jam uan m alam akan bersifat kekeluargaan saja dan mereka akan makan di sebuah restoran kecil di bukit Belleville. Hanya keluarga Michaud dan Grivet saja yang diundang. Sambil menunggu sampai pukul enam sore, mereka m enghabiskan waktu berkereta sepanjang jalan-jalan raya, setelah itu baru masuk ke dalam rumah makan. Di situ sebuah m eja yang dipersiapkan untuk tujuh orang sudah m enunggu di sebuah ruang terpisah dengan dinding berwarna kuning diliputi bau apak dan anggur. Hidangannya tidak terlalu m ewah. Air m uka pengantin tidak cerah. Sejak pagi m ereka m engalam i perasaan-perasaan aneh yang tidak m au m ereka coba m em aham inya. Sejak perm ulaan m ereka sudah dibosankan oleh kecepatan form alitas dan upacara yang m em persatukan m ereka satu sam a lain untuk selam anya. Lalu, perjalanan lam a sepanjang jalan raya nyaris m em buat m ereka tertidur. Bagi m ereka seakan-akan berlangsung berbulan-bulan
Theresa 155 lam anya. Walau dem ikian, perjalanan yang m enjem ukan itu m e- reka terima dengan sabar, memperhatikan toko-toko dan orang- orang lalu lalang dengan pandangan sayu, term enung dalam keham paan dan kadang-kadang m encoba m enghilangkannya den gan tawa m eledak yan g dipaksakan . Ketika m em asuki restoran, badan sudah terasa sangat letih, sikap m asa bodoh yang meningkat menguasai batin. Duduk berhadap-hadapan m enghadapi m eja, Laurent dan Theresa m em aksakan diri tersenyum nam un selalu terlem par kembali ke dalam kehampaan. Mereka makan, menjawab pertanyaan dan bergerak seperti m esin. Ke dalam benaknya yang sudah lelah itu, kilasan-kilasan pikiran yang beraneka ragam m asuk tanpa henti-hentinya. Mereka sudah m enikah, nam un tidak m enyadari perubahan itu. Mereka sendiri pun heran. J urang yang dalam m asih terasa terham par di antara m ereka. Sebentar-sebentar hati bertanya bagaim ana m enyeberanginya. Mereka m asih m em punyai perasaan seperti sebelum m elakukan pem bunuhan, adanya penghalang. Lalu, tiba-tiba m ereka teringat bahwa m alam nanti m ereka akan tidur bersam a, hanya beberapa jam lagi. Berbarengan dengan datangnya ingatan itu m ereka saling pandang penuh keheranan, tanpa mengerti bahwa adalah hak mereka untuk berbuat begitu. Mereka tidak merasa telah dipersatukan secara hukum . Yan g terasa justru sebalikn ya, merasa baru saja secara paksa dipisah-jauhkan. Tam u-tam u, sam bil tersenyum dungu, m em inta agar Laurent dan Theresa berengkau dan beraku saja supaya yang lain pun hilang kekakuannya. Keduanya terkejut, m uka m ereka m erah. Mereka tidak dapat bermesraan di hadapan orang lain. Walaupun telah mereka tunggu-tunggu, tapi gairah mereka telah melemah, seluruh masa lalu mereka telah menghilang. Mereka kehilangan nafsu berahi m ereka, bahkan kepada kegem biraan yang dirasakan tadi pagi pun, kegem biraan yang
156 Emile Zola m em bawa harapan yang seharusnya tidak lagi dilanda rasa takut, m ereka sudah lupa. Pendeknya, m ereka telah lelah dan m enjadi bingung oleh segala yang terjadi. Kejadian-kejadian hari itu berulang-ulang terbayang, tanpa dapat dim engerti dan tak m asuk akal. Mereka duduk tenang, tersenyum tanpa m engharapkan sesuatu, tanpa mendambakan sesuatu. Namun dalam kebekuan perasaan itu m asih ada sesuatu yang m enyakitkan. Dan Laurent, setiap kali ia m enggerakkan leher, m erasakan sesuatu yang pedih m enggerogoti dagingnya. Kerah kem ejanya m enyobek dan m enjepit bekas gigitan Cam illus. Selam a Walikota m em bacakan hukum perkawinan kepadanya, selam a pendeta m em berinya khotbah tentang Tuhan, pada setiap detik dari hari yang panjang itu, dia m erasakan gigi Cam illus m encabik-cabik kulit dan dagingnya. Ada saat-saat dia m em bayangkan beberapa tetes darah m engucur ke dadanya dan m enodai rom pi putihnya dengan warna merah. Dalam hati, Madame Raquin sangat berterima kasih kepada kedua pengantin itu karena ketenangan sikap mereka. Setiap demonstrasi kegembiraan dari mereka akan melukai hati ibu yang m alang itu. Bagi dia Cam illus berada di sana, tanpa kelihatan, m em percayakan Theresa kepada Laurent. Grivet lain lagi pikirannya. Menurut pendapatnya pesta ini sangat kaku dan dingin, dan m erasa gagal m enghangatkannya karena pandangan Michaud dan Oliver yang m em akunya di kursi setiap kali dia hendak berdiri akan melucu. Tetapi suatu saat ia berhasil juga berdiri. la mengusulkan minum untuk memberi selamat. “Aku m inum untuk anak-anak sahabat m uda kita,” katanya dengan air muka sinis. Ajakan itu harus dipenuhi. Theresa dan Laurent m enjadi pucat ketika m endengar kata-kata Grivet ini. Tak pernah terpikir bahwa m ereka m ungkin m em punyai anak pada suatu ketika. Pikiran itu mengalir ke seluruh tubuh bagaikan air dingin.
Theresa 157 Mereka mengangkat gelas dengan gugup, saling berpandangan, dan terkejut dan takut mendapatkan diri mereka berada di situ berhadapan muka. Acara m akan pun berakhir lebih cepat. Para tam u bersikeras mau mengantar ke rumah pengantin. Sekitar pukul setengah sepuluh rom bongan tiba di toko di Passage. Perem puan yang m enjual perhiasan im itasi m asih berada dalam toko kecilnya, duduk di belakang kotak beledu biru. Dia mengangkat kepala ingin tahu, lalu m elihat kepada pengantin baru sam bil tersenyum . Laurent dan Theresa m enangkap pandangannya dan tubuhnya terasa bergetar. Dugaannya, m ungkin sekali perem puan itu mengetahui tentang pertemuan-pertemuan mereka dahulu, m ungkin dia m elihat Laurent m enyelinap m asuk ke kam ar Th er esa . Dengan segera Theresa m asuk ke dalam kam arnya diiringkan oleh Madam e Raquin dan Suzanne. Yang laki-laki tinggal di ruang makan sementara pengantin perempuan mempersiapkan diri di kam ar. Laurent, lem ah dan lam ban, sam a sekali tidak m erasa tidak sabar. Dengan tersenyum puas dia m endengarkan kelakar- kelakar kasar yang dilepaskan Michaud dan Grivet karena kaum perem puan sedang tidak ada. Ketika Suzanne dan Madam e Raquin keluar dari kamar pengantin dan perempuan tua itu memberitahukan kepada pengantin laki-laki dengan suara penuh perasaan bahwa pengantin perem puan telah m enunggu, Laurent agak terkejut, dan untuk beberapa saat bingung; kemudian dengan gem etar dia m enjabat sem ua tangan yang diulurkan kepadanya, dan m em asuki kam ar Theresa sam bil m em egang pintu erat-erat seperti orang mabuk.
BAB XXI DENGAN HATI-HATI Laurent m enutup pintu, lalu bersandar kepadanya untuk beberapa saat, m elihat ke dalam kam ar. la tam pak gugup dan bingung. Di tungku api m enyala terang, sinar- sinar kuning menari-nari di langit-langit dan di dinding, menerangi ruangan dengan kuatnya sehingga lam pu di atas sebuah m eja menjadi tampak terang temaram. Madame Raquin menghendaki kam ar itu rapi dan sem erbak seperti untuk pengantin yang betul- betul baru. Dia sendiri yang m enghias ranjang dengan beberapa potong renda dan mengisi kedua jambangan di perapian dengan m awar. Kehangatan dan wewangian yang m engantukkan m eliputi seluruh ruangan. Suasananya dam ai penuh kebebasan. Dalam kesunyian, suara kayu terbakar terdengar beriram a tak m enentu. Kam ar itu m erupakan tem pat terpencil yang m em bahagiakan, tersem bunyi, hangat dan wangi, bebas dari segala hiruk-pikuk di luar, suatu tem pat yang sengaja diciptakan untuk m elepaskan gairah tanpa terganggu.
Theresa 159 Theresa duduk di sebuah kursi rendah di sebelah kanan perapian. Dagunya bertopang tangan, m atanya terarah kepada nyala api. Dia tidak m enoleh ketika Laurent m asuk. Dengan rok dalam nya disinari cahaya api dia tam pak seputih salju. Pundaknya yang ham pir jingga sedikit kelihatan m enguak dari segumpal rambut hitam. Laurent m aju beberapa langkah tanpa bicara. la m em buka jas dan rom pi. Setelah itu ia m elihat lagi kepada Theresa yang tetap diam . Seakan-akan dia ragu. Lalu tam pak kepadanya kulit pundak Theresa, dan dengan gem etar m em bungkuk untuk m encium nya. Theresa m enghindarkan pundaknya, lalu berpaling m arah. Dia m enatap Laurent dengan pandangan yang aneh, lam a, penuh penolakan dan ketakutan, sehingga m em buat Laurent m undur bingung dan gugup, seakan-akan dia sendiri yang dihinggapi rasa takut dan jijik. Laurent duduk di sebelah kiri perapian m enghadap kepada Theresa. Mereka diam, tidak bergerak, tidak berbicara untuk selam a lim a m enit. Dari waktu ke waktu nyala api yang m erah m elom pat-lom pat dan cahayanya m enerangi wajah kedua pembunuh itu. Inilah pertam a kalinya m ereka berada berdua dalam kam ar terkunci sejak ham pir dua tahun yang lewat, tanpa saksi, bebas untuk saling m enyerahkan diri. Mereka belum pernah lagi tidur bersam a sejak Theresa m endatangi Laurent di kam arnya, m enerbitkan gagasan untuk m em bunuh Cam illus. Pertim bangan kewaspadaan telah memisahkan tubuh mereka. Mereka harus cukup puas dengan berpegangan tangan sekali-sekali, berciuman sem bunyi-sem bunyi, dan itu pun tidak sering. Sejak pem bunuhan Cam illus, pernah nafsu m enggelora lagi, tetapi m ereka m enahan diri, m enunggu m alam pengantin, sam bil m em bayangkan kepuasan dan kenikm atan apabila keam anannya sudah terjam in. Akhirnya m alam itu tiba, dan sekarang m ereka berhadap-hadapan,
160 Emile Zola tetapi rasa cem as dan gugup m encekam tiba-tiba. Begitu dekat jarak antara m ereka, hanya tinggal m erentangkan tangan saja untuk saling mendekap, namun tangan mereka lumpuh, seakan- akan lem as kekenyangan cinta. Tekanan-tekanan di siang hari tadi terasa makin berat. Mereka saling pandang tanpa gairah, dikuasai keengganan dan kebingungan, menderita karena masing-masing begitu diam dan begitu dingin. Impian-impian muluk berakhir dengan kenyataan yang aneh: m ereka telah m em bunuh Cam illus, m ereka telah berhasil m enikah, dan sekarang bibir Laurent ham pir m enyentuh bahu Theresa, nam un itu saja sudah cukup m em bawa m ereka ke puncak kekenyangan, bahkan m encapai titik jijik, titik ngeri. Mulailah keduanya bersusah payah lagi m encari sisa-sisa gairah yang pernah m em bakar m ereka dahulu. Yang didapatnya hanyalah perasaan seakan-akan otot-otot dan urat- urat sudah m eninggalkan tubuh. Kebingungan dan kegugupan meningkat, sehingga membuat mereka muram dan bungkam sekalipun sadar sedang duduk berdam pingan. Ingin rasanya m ereka m em punyai kekuatan untuk saling tangkap dan rem as supaya tidak kelihatan seperti dungu di m ata m asing-m asing. Aneh! Bukankah m ereka sudah saling m em iliki, bukankah m ereka telah m em bunuh dan m em ainkan sandiwara yang m engerikan dengan tujuan agar dapat berpesta pora m elam piaskan nafsu sepanjang m asa dengan bebas? Tetapi setelah saatnya tiba, m ereka hanya duduk di kedua sisi perapian, kaku, letih, pikiran kacau, daging seakan beku. Akhirnya m ereka sadar bahwa akhir seperti itu sungguh m engerikan dan kejam m enggelikan. Laurent mencoba berbicara tentang cinta, berusaha keras menghidupkan kem bali kelem butannya untuk m enggugah kenang-kenangan indah masa lalu. “Theresa,” katanya sam bil m em bungkuk m endekat, “ingatkah engkau pada pertem uan-pertem uan kita dalam kam ar ini?.... Aku biasa masuk dari pintu itu.... Sekarang aku masuk lewat pintu
Theresa 161 ini.... Kita bebas sekarang. Mulai sekarang kita dapat saling mencintai dengan perasaan tentram.” Suaranya ragu, tanpa sem angat. Theresa tetap m em andang api, tidak mendengarkan. “Ingat?” Laurent m elanjutkan. “Aku pernah berm im pi.... Aku ingin bersamamu semalam suntuk, tidur dalam pelukanmu dan bangun pagi dijem put cium anm u. Aku akan m ewujudkan im pian itu.” Theresa m em buat gerakan yang cepat, seakan-akan terkejut m endengar suara orang m erem bes ke dalam telinganya. Dia berpaling kepada Laurent, yang kebetulan sekali wajahnya sedang diterangi cahaya api. la m enatap wajah yang m erah itu, dan seluruh sarafnya bergetar. Laurent m eneruskan lagi dengan lebih sukar dan lebih gugup, “Kita telah berhasil, Theresa, kita berhasil m elam paui semua rintangan, dan engkau sekarang menjadi milikku dan aku m ilikm u.... Masa depan adalah m ilik kita, m asa depan yang tenang dan bahagia, penuh dengan kepuasan cinta.... Cam illus sudah tidak ada....” Laurent berhenti, tenggorokannya kering, rasanya seperti tercekik. Tak dapat ia m elanjutkan bicaranya. Nam a Cam illus m em buat Theresa sangat terkejut. Kedua pem bunuh itu saling pandang, bengong, pucat dan gem etar. Cahaya-cahaya kuning masih menari-nari di langit-langit dan dinding, wangi mawar yang sam ar-sam ar m asih m elayang-layang, suara kayu terbakar m asih beriram a tak m enentu dalam kesunyian. Kenangan m em ang telah tergugah. Tetapi bukan yang indah. Hantu Cam illus telah datang terpanggil oleh kata-kata Laurent, duduk di depan perapian di antara kedua pengantin baru itu. Theresa dan Laurent m erasakan dinginnya dan basahnya orang m ati tenggelam itu dalam udara hangat yang sedang m ereka hirup. Mereka m erasakan ada m ayat di sana, dekat sekali, lalu
162 Emile Zola m ereka saling pandang, tanpa berani bergerak. Lalu, seluruh kisah kejahatan m ereka yang m engerikan terpancar dalam ingatan bagai ilm yang diputar kembali. Nama korban sudah cukup untuk mengingatkan mereka kepada seluruh kejadian masa lalu, untuk memaksa mereka merasakan kembali kepedihan- kepedihan akibat pem bunuhan. Mereka bungkam , hanya saling pandang, dan keduanya seperti sedang m engalam i m im pi buruk yang sam a, m ata m asing-m asing m enceritakan kisah kejam yang sam a pula. Pancaran m ata yang m engerikan itu, tanggung jawab yang hendak m ereka saling geserkan m em buat m ereka sangat cemas. Tekanan dalam diri masing-masing hampir meledak. Mungkin mereka akan berteriak histeris, atau barangkali saling hantam . Untuk m enghilangkan bayangan-bayangan buruk itu dengan sekuat tenaga Laurent m elawan kekuatan yang m em - buat pandangannya terpaku pada m ata Theresa. Dia berjalan hilir-m udik dalam ruangan sebentar, m elepaskan sepatunya, m enggantinya dengan sandal lalu kem bali dan duduk lagi dekat api dan m encoba berbicara tentang soal-soal yang tidak berarti. Theresa m engerti apa yang dikehendaki Laurent. Dia berusaha m elayani. Lalu m ereka bercakap-cakap tentang segala m acam dengan m em aksakan diri. Laurent m engatakan udara di kamar panas. Theresa menjawab tak apa sebab ada hawa dingin m asuk dari bawah pintu. Lalu m ereka berpaling ke pintu dengan badan yang m endadak gem etar. Cepat-cepat Laurent berbicara tentang bunga mawar, tentang api, tentang segala sesuatu yang dia lihat. Theresa berusaha m engeluarkan sepatah dua patah kata, semata-mata demi kelangsungan percakapan. J arak sudah semakin lebar, sikap sudah sama-sama tidak peduli. Mereka m encoba m elupakan siapa dirinya dan m em perlakukan yang lain seperti orang asing yang hanya karena kebetulan saja d ip er t em u ka n .
Theresa 163 Walau dem ikian, karena tarikan suatu gaya ajaib, selam a bercakap-cakap, masing-masing mencoba membaca pikiran lawan bicaranya yang disem bunyikan di balik percakapan ham pa itu. Keduanya tahu bahwa lawan bicaranya tidak dapat m em bebaskan pikiran dari Cam illus. Mata m ereka tetap berdialog tentang kisah lam a yang pahit tanpa terganggu oleh percakapan m ereka yang dilakukan dengan nyaring. Kata-kata yang diucapkan ham pa belaka, tak ada hubungan satu sama lain, bahkan kadang-kadang bertentangan. Keduanya sibuk saling tukar kenangan pahit lewat pandangan m ata. Kalau Laurent berbicara tentang m awar atau api atau tentang yang lain, Theresa tahu benar bahwa Laurent sedang m engingatkannya kepada pergulatan dalam perahu, tentang terceburnya Cam illus. Dan kalau Theresa m enjawab ya, atau tidak, pada pertanyaan yang tidak berarti, Laurent mengerti bahwa Theresa mengatakan masih ingat atau tidak ingat lagi tentang beberapa hal kecil dalam kejahatan mereka. Begitulah m ereka bercakap-cakap dengan sangat jujur, tanpa memerlukan kata-kata, sambil berbicara keras-keras tentang hal lain. Tentu saja m ereka tidak m enyadari apa yang diucapkan m ulut, sebab m ereka asyik m engikuti kalim at dem i kalim at yang m engalir secara rahasia dalam pikirannya. Sebenarnya m ereka bisa meneruskan membicarakan rahasia masing-masing secara betul-betul terbuka karena sudah ada saling pengertian dalam batin. Tapi bayangan Cam illus yang tidak m au hilang-hilang lambat laun membuat mereka betul-betul panik. Dengan jelas sekali m asing-m asing dapat m elihat pikiran yang lain, sehingga kalau mereka tidak berhenti berbicara pasti akan keluar kata-kata tentang diri m asing-m asing, akan tersebut nam a laki-laki yang tenggelam itu dan soal pembunuhan itu akan terbicarakan lagi. Sebab itu mereka memaksa diri menutup mulut dan berhenti bercakap-cakap.
164 Emile Zola Tetapi dalam kesunyian yang m enekan, kedua pem bunuh itu tidak dapat menahan mata masing-masing bercakap-cakap tentang korban pem bunuhannya. Masing-m asing m erasa bahwa pandangan m atanya dapat m enem bus tubuh yang lain sam bil memasukkan kalimat-kalimat tajam dan jelas ke dalam hati. Sesaat mereka merasa seperti mendengar masing-masing berkata keras. Akal m ulai kacau, penglihatan m enjadi sem acam pendengaran. Masing-m asing dapat m em baca air m uka yang lain dengan jelas sehingga pikiran yang terbaca itu seakan-akan m eniupkan suara yang aneh, jelas m enggetarkan. Mereka tak akan dapat lebih saling m engerti seandainya m asing-m asing berteriak keras, “kita telah m em bunuh Cam illus, dan m ayatnya ada di sini tergeletak di antara kita, m em bekukan anggota tubuh kita.’’ Pengakuan- pengakuan batin yang m engerikan ini berlangsung terus, m akin jelas, m akin keras di dalam kam ar sunyi yang lem bap. Laurent dan Theresa m em ulai percakapan lewat pandangan m ata tentang pertem uan m ereka pertam a kali di toko. Lalu ingatan mereka muncul secara teratur, satu per satu; mereka saling m enceritakan tentang saat-saat puas m elam piaskan nafsu, tentang saat-saat penuh keraguan dan kekesalan, tentang saat- saat m engerikan ketika terjadinya pem bunuhan. Mulai dari titik inilah mereka betul-betul menutup mulut, berhenti berbicara tentang apa saja, karena takut akan tanpa sengaja terlontarkan nam a Cam illus. Tetapi pikiran m ereka tidak berhenti, m elainkan m enggiringnya terus sam pai kepada saat-saat m ereka resah, kepada detik-detik m enanti yang penuh dengan ketakutan sesudah terjadinya pem bunuhan. Dengan dem ikian m ereka dipaksa ingat pula kepada m ayat yang diperlihatkan di kam ar m ayat. Dengan satu pancaran m ata Laurent m enceritakan sem ua rasa ngerinya kepada Theresa, dan Theresa, yang sudah terdorong sam pai ke puncak kepanikan, seakan-akan dipaksa pula oleh suatu tangan besi untuk membuka mulut; tiba-tiba melanjutkan percakapan itu lewat mulut.
Theresa 165 “Engkau m elihatnya di kam ar m ayat?” tanyanya kepada Laurent tanpa m enyebut nam a Cam illus. Laurent seperti telah m enduga akan datangnya pertanyaan ini. Dia dapat m em bacanya pada wajah pucat Theresa beberapa detik sebelum nya. “Ya,” katanya dengan suara tertahan. Kedua pem bun uh itu bergidik. Mereka bergeser m akin mendekat ke perapian, merentangkan tangan ke dekat api seakan- akan tiba-tiba ada udara dingin merembes ke dalam kamar. Sejenak m ereka terdiam , m enggigil seperti kedinginan. Lalu dengan nada jem u Theresa bertanya lagi, “apakah dia kelihatan m en d er it a ?” Laurent tak dapat m enjawab. la m em buat gerakan orang yang ketakutan, seperti sedang m enghalau bayangan yang m enyeram kan. Lalu bangkit, berjalan ke arah ranjang, cepat- cepat kembali lagi dengan kedua lengan terbuka menuju Theresa. “Cium aku,” katanya, sam bil m encondongkan lehernya ke arah Theresa. Theresa pun bangkit. Dalam pakaian tidurnya yang putih kelihatan ia sem akin pucat. Dia m enarik badannya jauh sekali ke belakang, m enelekankan siku pada perapian. Matanya m enatap leher Laurent. Baru sekarang dia m elihat ada bintik m erah m encuat di kulit leher Laurent yang putih. Kesiap darah Laurent m em buatnya kelihatan lebih besar dan lebih m erah lagi. “Cium aku, cium aku,” Laurent m engulangi, wajah dan lehernya terasa panas sekali. Theresa m enarik kepalanya m akin jauh ke belakang untuk m enghindari cium an, dan sam bil m eletakkan ujung jarinya pada bekas gigitan Cam illus ia bertanya kepada suam inya, “apa ini? Aku tak pernah tahu ada bekas luka di sini.” Ujung jari Theresa terasa oleh Laurent seperti m enem bus kerongkongannya. Begitu jari itu m enyentuhnya, dia m undur terkejut dibarengi teriak kepedihan.
166 Emile Zola “Ini,” katanya terbata-bata, “ini....” Dia ragu, namun tak dapat berbohong. Terpaksa diceritakan- n ya . “Di sinilah Cam illus m enggigit, engkau ingat, bukan? Di dalam perahu. Tak apa-apa, sudah sem buh.... Cium aku, cium aku.” Dan laki-laki keparat itu kem bali m enyodorkan lagi leher- nya. Dia ingin Theresa m encium bekas luka itu. Dia yakin bahwa cium annya akan m enghilangkan tusukan-tusukan pedih yang selalu m enyiksanya. Dengan dagu terangkat dan leher terjulur, ia m engharap. Theresa yang lebih banyak berbaring daripada bersandar pada perapian, m em buat gerakan yang m enunjukkan rasa jijiknya lalu berteriak dengan sangat m em ohon, “oh, jangan di sana.... Ada darahnya.” Dia terjatuh kem bali ke kursi rendahnya, badan gem etar, kepala di kedua tangannya. Laurent bengong. Diturunkannya dagunya, lalu m em andang dengan penuh ragu kepada Theresa. Tiba-tiba, dengan cengkeraman seekor binatang buas ia pegang kepala Theresa dengan kedua belah tangannya yang besar-besar dan m em aksa bibir Theresa m encium lehernya, m encium bekas gigitan Cam illus. Sejenak dia tekan terus kepala Theresa pada dagingnya. Theresa m enjadi lem ah lunglai, nafasnya berdesah sesak karena hidungnya tersum bat di leher Laurent. Ketika dia berhasil m elepaskan diri ia m enghapus m ulutnya dengan kasar lalu m eludah ke dalam api. Sepatah pun tak ada kata yang keluar. Malu karena kekasarannya, Laurent bolak-balik perlahan- lahan antara ranjang dan jendela. Hanya karena penderitaan akibat tusukan-tusukan pedih itu dia mengharapkan sekali cium an dari Theresa, dan ketika ia m erasakan bibir Theresa yang dingin m enyentuh luka yang panas m em bakar, penderitaannya m alah m akin m enghebat. Cium an yang dia peroleh dengan paksa m em buat dia lebih celaka lagi. Tak ada sesuatu di dunia ini yang akan dapat lebih m enyiksanya. Begitu m em edihkan kejutan
Theresa 167 itu. Dia m em andang perem puan yang akan m enjadi tem an hidupnya yang sekarang sedang duduk gem etaran terbungkuk- bungkuk dekat api m em belakanginya. Berkali-kali dia katakan kepada dirinya bahwa ia sudah tidak m encintainya lagi dan bahwa Theresa pun sudah tidak cinta lagi kepadanya. Ham pir sejam lam anya Theresa berada dalam keadaan dem ikian sedang Laurent berjalan bolak-balik tanpa berkata sepatah pun. Dengan rasa cem as keduanya m engaku kepada diri m asing-m asing bahwa gairahnya sudah m ati, bahwa m ereka telah m em bunuh gairah m ereka begitu m ereka m em bunuh Cam illus. Kayu bakar di tungku terbakar habis perlahan-lahan, tinggal lagi baranya memancar di antara abu. Sedikit demi sedikit ruangan meningkat panas m enyesakkan. Bunga-bunga m elayu dan m em buat ruangan sem akin m enyesakkan karena baunya yang m enusuk. Tiba-tiba Laurent m erasa m elihat suatu bayangan. Ketika dia kem bali dari jendela ke ranjang, dia m elihat Cam illus di sudut gelap antara perapian dan lem ari pakaian. Wajah korbannya itu kehijau-hijauan dan tegar, seperti yang dia lihat di rum ah m ayat. Laurent berdiri seakan terpaku, ham pir pingsan bersandar pada sebuah kursi. Karena teriakannya yang keras Theresa pun mengangkat kepala. “Itu, itu!” kata Laurent penuh ketakutan. Tangannya terangkat dan ia m enunjuk ke sudut tem pat ia m elihat wajah Cam illus yang celaka itu. Terdorong oleh ketakutan Laurent, Theresa bangkit dan m endekapkan dirinya kepada Laurent. “Potretn ya,” bisik Theresa, seakan -akan takut suaran ya terdengar oleh lukisan bekas suam inya. “Potretnya?” kata Laurent, bulu rom anya berdiri. “Ya, en gkau in gat, potretn ya yan g kau lukis. Bibi m enghendaki dipasang di kam arnya m ulai hari ini. Rupanya dia lupa m em bawanya....” “Ya, tentu saja, itu potret Cam illus....”
168 Emile Zola Tidak segera pembunuh itu dapat mengenali kembali lukisan itu. Dalam kekacauannya dia lupa bahwa dia sendirilah yang m em buat lukisan kasar itu, yang m em berinya warna-warna kotor yang sekarang sangat m enakutkannya. Rasa takut m em buat dia m elihat lukisan itu sebagaim ana adanya, am at buruk, kotor, wajahnya yang berlatar belakang hitam m enyeringai bagai m ayat. Hasil karyanya sendiri am at m engejutkannya, karena keburukannya yang tidak terhingga. Terutam a sekali kedua m ata putih yang seakan-akan terlepas dari kelopaknya yang kekuning-kuningan, yang benar-benar m engingatkan dia kepada m ata rusak Cam illus di rum ah m ayat. Beberapa saat lam anya dia tetap terengah-engah dan m enyangka bahwa Theresa berbohong karena hendak m enenangkannya. Akhirnya dia dapat m elihat piguranya dan lam bat laun m enjadi tenang. “Bawa dia ke bawah,” katanya berbisik kepada Theresa. “Oh tidak, aku takut,” jawab Theresa dengan suara bergetar. Laurent pun terbawa takut lagi. Sejenak pigura itu seperti lenyap, yang kelihatan sekarang hanyalah kedua m ata putih itu, m enatap lam a kepadanya. “Ayo Th eresa, aku m in ta,” ia m em bujuk istrin ya, “kelu a r ka n la h .” “Tidak, tidak.” “Kita balikkan saja, dengan begitu kita tidak akan m erasa takut.” “Tidak, aku tak bisa.” Dengan kepengecutannya pem bunuh itu m endorong istrinya ke dekat lukisan, dan dia sendiri bersem bunyi di balik punggung istrinya m enghindari tatapan m ata lukisan. Theresa berlari dan Laurent m encoba m em beranikan diri. Dia m endekati lukisan dan m engangkat tangannya m encari gantungannya. Tetapi m ata dalam lukisan itu begitu kuat daya tem busnya begitu jelek dan begitu m antap m enatap m atanya sendiri, sehingga Laurent
Theresa 169 sekalipun telah m encoba keras, m enyerah kalah dan m enggerutu, “Tidak, engkau benar Theresa, kita tak dapat. Biarlah bibim u m engangkatnya besok.” Laurent m eneruskan lagi berjalan bolak-balik dengan kepala m enunduk, sam bil m erasakan potret itu m engikutinya dengan m atanya. Sesekali dia tidak dapat m enahan dirinya untuk menoleh ke arah lukisan, dan di kegelapan ia tetap melihat mata m uram orang yang tenggelam itu. Pikiran bahwa Cam illus berada di sana di suatu sudut, m enanti, m engintip m alam pengantinnya, m engawasi m ereka, akhirnya betul-betul m em buat Laurent ketakutan setengah gila. Sesuatu yang bisa m em buat orang lain tersenyum pada Laurent dapat m em buat dia kehilangan akal sam asekali. Ketika melewati perapian ia mendengar suara bergeret. la terbelalak, m engira geretan itu datang dari potret, m engira bahwa Cam illus keluar dari piguranya. Baru kem udian dia sadar bahwa suara itu datang dari pintu kecil yang berhubungan dengan tangga. Dia m em andang Theresa yang juga dicekam rasa takut. “Ada orang di tangga,” bisik Laurent. “Siapa yang datang lewat sana?” Theresa tidak menjawab. Pikiran mereka tertuju kepada Cam illus. Keringat dingin m em basahi pelipis m ereka. Keduanya berlari ke ujung lain dari kam ar, m enyangka pintu akan terbuka tiba-tiba dan m enjatuhkan tubuh Cam illus ke lantai. Suara tadi terdengar lagi, lebih jelas dan lebih tidak teratur. Mereka m em bayangkan bahwa Cam illus sedang m enggaruk-garuk pintu dengan kukunya, berusaha untuk m asuk. Akhirnya terdengarlah suara m engeong. Sam bil m endekat Laurent m elihat kucing Madam e Raquin yang rupanya terkunci dalam kam ar dan sekarang sedang m enggarut-garut pintu kecil dengan kukunya dalam usahanya agar bisa keluar. Francois takut kepada Laurent. Kucing itu m elom pat ke atas kursi. Dengan bulu-bulunya berdiri dan
170 Emile Zola kuku-kukunya yang tegang, binatang itu m em andang m ajikannya yang baru dengan tatapan garang. Laurent tidak m enyukai kucing, bahkan dia hampir-hampir merasa takut oleh Francois. Dalam keadaan batinnya seperti sekarang ini dia m engira kucing itu hendak m enerjang m ukanya untuk m em balaskan dendam Cam illus. Binatang itu m esti m engetahui segala-galanya. Hal ini seakan-akan terpancar dari m atanya yang bundar terbelalak aneh itu. Laurent m enunduk, tidak sanggup beradu pandang dengan tatapan mantap binatang itu. Ketika dia hendak m enendang Francois, Theresa berteriak, “jangan ganggu dia!” Teriakan ini m em beri pengaruh yang aneh pula kepada Laurent. Sekilas pikiran gila hinggap di benaknya. “Roh Cam illus m asuk ke dalam kucing ini,” pikirnya. “Aku harus m em bunuhnya.... Ia seperti m anusia.” Ia batal menendang karena takut Francois akan berkata padanya dengan suara Cam illus. Lalu dia teringat kepada seloroh Theresa dahulu, ketika mereka berpesta pora melampiaskan nafsu, ketika kucing itu m enyaksikan m ereka bercium an. Laurent berkata kepada dirinya sendiri bahwa kucing itu tahu terlalu banyak dan karena itu ia harus m elem parkannya dari jendela. Nam un dia tak m em punyai keberanian untuk m elaksanakannya. Francois m asih m em pertahankan sikap m enantangnya, kukunya terlihat jelas, punggungnya m elengkung karena m arah, dan dia m engikuti setiap gerakan Laurent dengan penuh kewaspadaan. Laurent m erasa terganggu oleh kebeningan m ata binatang itu. Cepat-cepat dia m em buka pintu yang berhubungan dengan kam ar makan dan melompatlah Francois keluar sambil mengeong keras. Theresa duduk kem bali di depan api yang sudah tidak m enyala. Laurent m eneruskan berjalan bolak-balik antara ranjang dan jendela. Begitulah m ereka m enanti pagi. Sam a sekali tidak terpikir untuk tidur. Tubuh dan hati mereka dingin.
Theresa 171 Keduanya hanya m em punyai satu keinginan: segera keluar dari kam ar yang m enyesakkan itu. Mereka m erasa sangat gelisah berada berdua dalam kam ar itu, m enghirup udara yang sam a. Mereka m engharapkan sekali ada orang lain yang hadir untuk m enghentikan dialog tanpa kata, untuk m enyelam atkan m ereka dari kebingungan yang kejam yang tim bul akibat sam a-sam a berada di situ tanpa berkata-kata dan tanpa kuasa menghidupkan kem bali gairah. Kebisuan yang berlanjut itu sangat m enyiksa m ereka. Mereka terdiam penuh kepedihan dan penyesalan, penyesalan batin yang berteriak-teriak. Akhirnya pagi pun tiba, berkabut dan sangat dingin m enusuk. Ketika cahaya pagi m ulai m enerangi kam ar, Laurent m erasa sedikit tenang. Dengan m antap dia m em andang potret yang dia lukis sendiri dan m enem ukannya sebagaim ana adanya, biasa dan kekanak-kanakan. Dia m enurunkannya, dan m engangkat bahu ketika m erasa dirinya tolol. Theresa sudah bangkit dan sedang m engusutkan alas ranjang untuk m enipu bibinya, untuk memberikan kesan malam bahagia. “Nah,” kata Laurent kasar kepada Theresa, “nanti m alam aku harap kita dapat tidur.... Laku kekanak-kanakan ini tidak boleh berjalan terus.” Theresa m em andangnya dalam -dalam dengan sendu. “Kau tentu tahu,” sam bungnya, “aku kawin bukan untuk m enghabiskan m alam -m alam tanpa tidur.... Kita ini seperti anak kecil.... Engkaulah yang m em buat aku bingung dengan khayalan- khayalanm u yang tak m asuk akal itu. Nanti m alam , aku harap engkau berusaha gembira dan jangan membuat aku takut.” Laurent m em aksakan diri tertawa tanpa m engetahui apa sebabnya harus tertawa. “Akan kucoba,” jawab perem puan itu datar. Dem ikianlah m alam pengantin Theresa dan Laurent.
BAB XXII MALAM-MALAM BERIKUTNYA lebih kejam lagi. Pernah kedua pembunuh itu mendambakan berada berdua di malam hari untuk bersama-sama mempertahankan diri terhadap gangguan hantu laki-laki yang m ati tenggelam itu. Nam un aneh, setelah keinginannya terpenuhi ketakutannya justru m akin m eningkat. Kehadiran yang satu m engganggu yang lain. H anya karena bertukar beberapa patah kata dan beradu pandang biasa belaka, kecemasan dan ketakutan mereka dapat memuncak. Setiap kali terjadi percakapan betapapun pendek dan tidak berartinya, batin m ereka m engam uk seperti m engam uknya banteng m elihat kain merah. Sifat gelisah Theresa m enim bulkan hanya satu akibat saja pada sifat Laurent yang kasar dan garang. Dahulu, pada m asa- m asa penuh kepuasan, perbedaan sifat ini m em buat laki-laki dan perem puan itu m enjadi pasangan yang erat terikat satu sam a lain dengan jalan saling m engim bangi dan saling m elengkapi. Yang
Theresa 173 laki-laki m enyum bang dengan gelora darahnya, yang perem puan dengan saraf-saraf yang selalu tegang, yang satu tergantung kepada yang lain, keduanya saling m em butuhkan cium an untuk m enyeim bangkan m ekanism e di dalam dirinya. Nam un sekarang ada kerusakan. Saraf-saraf Theresa yang kelewat tegang dom inan sekali. Secara tiba-tiba saja Laurent m enjadi cepat tersinggung. Di bawah pengaruh Theresa sifatnya berubah m enjadi ham pir serupa dengan sifat seorang gadis yang dirongrong penyakit saraf yang kuat. Menarik sekali m em pelajari perubahan-perubahan yang kadang-kadang tim bul pada organism e tertentu sebagai akibat dari suatu keadaan tertentu. Perubahan yang berakar pada tubuh segera menjalar ke otak, lalu ke seluruh tubuh. Sebelum m engenal Theresa, Laurent adalah seorang yang tegar jiwanya, penuh perhitungan dan tenang, biasa m enikm ati kehidupan bebas seorang anak petani. Dia tidur, makan, dan m inum seperti binatang. Setiap saat, apa pun yang terjadi pada dirinya sehari-hari, dia dapat bernafas lega, puas dengan keadaan dirinya, sekalipun kegem ukannya agak sedikit m engganggu. Kadan g-kadan g ada juga dia rasakan suatu ran gsan gan kem anusiaan yang sangat sam ar-sam ar di dalam dirinya. Rangsangan inilah yang dikem bangkan oleh Theresa m enjadi sem acam daya reaksi yang kuat. Ke dalam gum palan daging besar empuk berlemak itulah Theresa seperti menanamkan suatu jaringan saraf yang sangat peka. Laurent yang dahulu m enikm ati kehidupannya lebih banyak berdasarkan gejolak darahnya daripada rangsangan saraf-sarafnya, kini tiba-tiba saja m enuntut lebih banyak kenikm atan. Kenikm atan baru yang sangat m enyenangkannya itu diperkenalkan kepadanya m elalui cium an Theresa yang pertam a kali. Kepekaan jaringan sarafnya membuat kenikmatan meningkat berpuluh kali, membuat kenikm atan dem ikian rupa, sehingga pada m ulanya nafsunya seperti tak m engenal puas. Dirinya terhanyut dalam puncak
174 Emile Zola kenikm atan yang tidak pernah dikenal sebelum nya, ketika dia m asih sem ata-m ata dikendalikan naluri kebinatangan. Lalu, suatu proses yang aneh terjadi pada dirinya. Kepekaannya berkem bang dan m engalahkan naluri kebinatangannya, dan ini m erubah seluruh dirinya. Dia kehilangan ketenangan, kekebalan perasaan. Ia tidak lagi m enjalani kehidupan m ati. Ada saat di m ana sarat dan darah berim bang, yaitu saat tercapainya kenikm atan yang sangat m endalam , saat tim bulnya kesadaran diri yang sem purna. Kem udian saraf m enjadi lebih dom inan dan terlem parlah Laurent ke dalam kepedihan-kepedihan yang m enyiksa. Proses inilah yang m enyebabkan Laurent bisa gem etar ketakutan di tem pat gelap seperti anak kecil yang sangat penakut. Pribadi baru hasil perubahan dari pribadi binatang kepada manusia petani kasar kini merasakan rasa takut dan kecemasan m anusia dengan segala sifat-sifat dan wataknya yang peka. Cum bu rayu Theresa yan g seperti cum buan kucin g betin a, akibat pem bunuhan, penantian yang m enegangkan, sem ua itu telah m em buatnya gila, karena bertam bah panasnya perasaan yang diakibatkan oleh kejutan-kejutan m endadak pada saraf secara berulang-ulang. Akhirnya insom nia tak terhindarkan dan m elanda dengan m em bawa bayangan-bayangan m engerikan. Sejak itulah Laurent hidup penuh ketakutan dan kecem asan yang selalu harus dilawannya. Penderitaannya itu m urni lahiriah saja. Hanya tubuh, saraf-saraf, dan daging sajalah yang terkena takut oleh laki-laki yang m ati tenggelam itu. Nuraninya sam a sekali tidak tersentuh. Sedikit pun tak ada rasa penyesalan karena m em bunuh Cam illus. Kalau sedang tenang dan hantu korbannya tidak terasa hadir, dia akan sanggup m em bunuhnya sekali lagi kalau kepentingan pribadinya m enuntut begitu. Siang hari dia m entertawakan ketololannya sendiri di m alam hari, bersum pah akan m enguatkan diri, m enyalahkan Theresa karena suka m em buatnya gugup dan bingung. Menurut dia, Theresalah yang
Theresa 175 gem etar ketakutan, Theresalah yang m engakibatkan terjadinya adegan-adegan mengerikan di kamar mereka setiap malam. Tetapi begitu terkunci lagi dalam kam ar bersam a istrinya, peluh dingin m em basahi kulitnya, ketakutan seperti ketakutan seorang anak m enggoncangkan jiwanya. Begitulah dia m engalam i krisis- krisis yang datang m enyerang berulang-ulang setiap m alam , yang m em buat akalnya hilang dihantui wajah kotor kehijau- hijauan dari korbannya. Serangan itu seperti serangan penyakit yang m engerikan, sem acam histeria akibat m em bunuh. Istilah ‘penyakit’ betul-betul satu-satunya istilah yang cocok untuk rasa takut yang m encekam Laurent. Ini adalah kekacauan saraf. Air m ukanya m enjadi tegar, anggota badannya kaku, urat-uratnya jelas sekali kelihatan m enegang. Tubuhnya sangat m enderita, tetapi hati nuraninya tetap tidak terlibat. Laki-laki keparat ini sam a sekali tidak m erasakan penyesalan sedikit pun. Nafsu berahi Theresa telah m enularkan suatu penyakit dahsyat kepadanya. Hanya itu. Theresa pun m enjadi korban dari kejutan-kejutan yang sangat. Tetapi pada dia hanya terjadi pengem bangan tanpa batas dari watak aslinya saja. Sejak berusia sepuluh tahun dia sudah disulitkan oleh gangguan-gangguan emosi, sebagian disebabkan oleh pertum buhannya di dalam kam ar hangat m em ualkan, tem pat Cam illus tidur berbaring di am bang kem atian. Berbagai gejolak yang bertum puk dalam batinnya akhirnya m erupakan suatu kekuatan besar yang pada suatu ketika nanti akan m eledak seperti taufan dahsyat. Kehadiran Lauren t dalam hidupn ya m em berikan pengaruh kepadanya sebagaim ana dia sendiri m em pengaruhi Laurent, yaitu sem acam tekanan yang kasar. Sejak pelukan bernafsu pertam a jiwa pem berontaknya dan watak m eledak-ledaknya berkem bang binal. Dia hanya hidup dem i pem enuhan nafsu belaka. Penyerahan diri secara berlebih- lebihan kepada gejolak gairah yang m em bakarnya itu akhirnya
176 Emile Zola m em bawa dia kepada keadaan seperti sekarang ini. Keadaan telah m enghim pitnya, segala sesuatu m endorongnya kepada m eninggalkan akal sehat. Dalam kepanikan nuraninya lebih m enonjol daripada Laurent. Dia m erasakan adanya sem acam penyesalan. Ada saat-saatnya dia m au bertekuk lutut m em inta m aaf kepada Cam illus dan bersum pah akan m en en an gkan arwahnya dengan penyesalan yang m endalam . Mungkin sekali Laurent m engetahui hal ini. Itulah barangkali sebabnya kalau m ereka diguncangkan ketakutan yang sam a dia selalu m enyalahkan Theresa dan m em perlakukannya dengan kasar. Malam-malam pertama mereka tidak dapat tidur. Mereka menanti pagi dengan duduk dekat api atau berjalan bolak-balik. Pikiran untuk berbaring berdampingan selalu saja menimbulkan rasa jijik. Seperti ada perjanjian tak diucapkan mereka sama- sam a m enghindari bercium an. Bahkan m ereka tidak m au m elihat ranjang yang setiap pagi dikacaukan alasnya oleh Theresa. Apabila kantuk tak tertahankan m ereka tidur satu-dua jam di atas kursi, tetapi segera terbangun terkejut lagi karena mimpi buruk. Ketika terjaga itu, tubuh terasa kaku dan wajah kebiru-biruan, m ereka berpandangan dungu, m asing-m asing m erasakan adanya sem acam rasa rendah diri yang aneh pada diri yang lain, seperti malu karena takut. Sebanyak m ungkin m ereka m encegah tidur. Masing-m asing mengambil tempat di sebelah perapian dan bercakap-cakap tentang seribu macam tetek bengek. Dengan hati-hati sekali mereka berusaha agar percakapan tidak terputus. Di hadapan perapian ada suatu tem pat yang cukup luas. Kalau m elihat ke arah itu terbayang oleh m ereka Cam illus m enarik kursi dan duduk di sana m enghangatkan kedua kakinya, seakan-akan sedang berm ain-m ain. Bayangan yang pertam a kali m ereka lihat pada m alam pengantin, selanjutnya setiap m alam kem bali lagi. Mayat yang dengan air m uka m engejek turut m endengarkan
Theresa 177 percakapan m ereka, tubuh rusak yang selalu hadir, m encem askan mereka secara berkelanjutan. Mereka tak berani bergerak, mereka m em butakan diri dengan terus-m enerus m enatap nyala api, dan kalau tanpa disadarinya m ereka m enoleh ke arah lain, m aka di depan m ata yang sudah disilaukan api terpam pang bayangan Cam illus, dan dari m ata itu seakan-akan m em ancar cahaya m erah m enyinari bayangan itu. Akhirnya Laurent tak m an duduk, sekalipun dia tidak m au berterus terang tentang alasannya kepada Theresa. Theresa paham , bahwa Laurent pun m elihat bayangan yang sam a seperti dia. Dia sendiri memberikan alasan bahwa udara panas sangat m engganggunya, sehingga m erasa nyam an agak jauh dari api. Itulah sebabnya Theresa m enarik kursinya ke dekat kaki ranjang dan duduk m eringkuk di sana, sem entara suam inya terus berjalan hilir-m udik. Kadang-kadang dia m em buka jendela m em biarkan udara dingin bulan J anuari masuk ke dalam kamar. Dengan itu hatinya agak tenang. Sem inggu lam anya pengantin baru ini m enghabiskan m alam - m alam nya secara dem ikian. Mereka agak m erasa tenang dan dapat beristirahat sedikit di siang hari. Theresa di belakang meja bayar di toko, Laurent di belakang m eja di kantor. Bila m alam tiba, kembali mereka menjadi korban kepedihan dan ketakutan. Yang paling aneh dari segala-galanya adalah sikap m asing- m asing kepada yang lain. Tak sepatah pun kata m esra keluar dari mulut masing-masing, seakan-akan mereka telah lupa kepada pengalaman manis masa lalu. Mereka saling memperlakukan dan saling bersikap seperti dua orang sakit yang sependeritaan. Keduan ya berharap dapat m en yem bun yikan rasa jijik dan takut, dan tak seorang pun dari mereka merasakan keanehan m alam -m alam yang m ereka lalui, m alam yang m em aksa m ereka m em bukakan rahasia batin yan g seben ar-ben arn ya. Kalau mereka terjaga sampai pagi, setelah hampir bungkam sepanjang
178 Emile Zola malam dan selalu terkejut karena suara sehalus apa pun, mereka beranggapan bahwa sem ua orang yang baru kawin m engalam i hal-hal yang serupa pada hari-hari pertam a perkawinannya. Benar-benar kemunaikan dua orang gila. Dalam tem po yang tidak terlalu lam a keletihan m ereka itu telah sedemikian rupa, sehingga pada suatu malam mereka m em utuskan un tuk berbarin g di ran jan g. Keduan ya tidak berganti pakaian. Mereka merebahkan diri di atas seprai dengan berpakaian, karena takut tubuhnya akan bersentuhan. Rupanya mereka mengira persentuhan sedikit pun akan mengakibatkan rasa pedih. Lalu, setelah dua m alam m ereka lakukan dengan cara begini, barulah tidurnya terasa terganggu karena pakaian. Akibatnya m ereka m em beranikan diri m em buka pakaian. Nam un mereka tetap berjauhan, menjaga agar badan tidak bersentuhan. Theresa yang selalu lebih dahulu naik ranjang m engam bil tem pat di tepi dekat tem bok. Laurent m enunggu sam pai Theresa selesai m em benahi dirinya, setelah itu barulah dia berani berbaring di tepi yang sebelah lagi. Ada ruang yang lebar di antara m ereka. Mayat Cam illus terbaring di sana. Kalau kedua pem bunuh itu telah terlentang di bawah satu selim ut dan m em ejam kan m ata, m ereka m erasakan dinginnya tubuh m ayat tergolek di tengah-tengah ranjang, m em buat badan mereka sendiri menjadi kaku. Dia merupakan penghalang m enjijikkan di antara keduanya. Kekacauan pikiran pun terjadi lagi dengan hebatnya, sehingga penghalang itu tam pak lebih m ewujud: rasanya m ereka m enyentuh tubuh dingin kaku itu, m elihatnya tergeletak seperti barang rom bengan busuk kehijau- hijauan, m encium baunya yang busuk m enusuk. Seluruh bagian dari akalnya sudah dem ikian lem ah, sehingga khayalan- khayalan itu benar-benar m erupakan suatu kenyataan yang sangat m engerikan. Kehadiran kawan seranjang yang sangat busuk membuat mereka sama sekali tidak dapat berkutik, diam
Theresa 179 bungkam dalam ketakutan yang sangat. Kadang-kadang terpikir oleh Laurent untuk m endekap Theresa keras-keras, nam un ia tak berani bergerak. Ia merasa tak dapat menggerakkan tangan tanpa m enyentuh tubuh Cam illus. Kem udian terpikir lagi, bahwa laki-laki tenggelam itu sengaja berbaring di antara mereka untuk m encegah m ereka berm esraan. Kesim pulan berikutnya adalah bahwa m ayat itu cem buru. Walau demikian dengan malu-malu mereka mencoba bercium an untuk m elihat apa yang akan terjadi. Laurent m encem oohkan istrinya dan m em erintah untuk m encium nya. Tapi bibir mereka begitu dingin seakan-akan kematian datang m engetengahi. Tim bul rasa m ual pada keduanya. Theresa gem etar karena panik; Laurent, yang m endengar suara giginya gem eretak, marah. “Mengapa engkau gem etar?” tanyanya keras. “Engkau takut kepada Cam illus, tentu. Sudah, jangan pikirkan lagi, laki-laki itu sudah mati.” Keduanya tidak m au m engakui penyebab ketakutannya. Kalau salah seorang dari m ereka, yaitu yang m em ejam kan m ata, m elihat bayangan Cam illus, dia bungkam karena takutnya, tak berani m engatakan kepada yang lain, karena takut kata-katanya sendiri akan m em bawa krisis yang lebih parah lagi. Kalau Laurent didesak oleh kekalutan menjadi gila karena putus asa, lalu m enuduh Theresa sebagai takut oleh Cam illus, m aka nam a yang diucapkannya dengan nyaring itu m elipatgandakan siksaannya sendiri. Laurent kehilangan kendali diri. “Ya, ya,” katanya gugup sam bil berpaling kepada istrinya, “engkau takut..., aku tahu, dem i Tuhan.... Engkau pengecut, nyalim u lebih kecil daripada nyali tikus. Lupakan dia dan tidurlah. Apa kaukira m ayat suam im u itu akan m enarik kakim u karena aku tidur seranjang denganmu...?”
180 Emile Zola Pikiran bahwa laki-laki yang m ati tenggelam itu m ungkin akan m enarik kaki m ereka, m em buat bulu kuduk Laurent sendiri meremang. Dia melanjutkan lagi berkata, masih keras dan kasar seakan-akan m endera dirinya sendiri, “harus kubawa engkau suatu m alam ke kuburan. Kita akan buka peti m ayat Cam illus dan akan engkau lihat sendiri betapa jauh sudah dia dari kita! Mungkin setelah itu engkau akan berhenti takut.... Dia tidak tahu kita m elem parkannya ke dalam air.” Theresa, dengan kepala di bawah selimut, terisak-isak. “Kita m elem parkan dia karen a dia m en ghalan gi kita,” kata Laurent lagi. “Kita harus dan akan m engulanginya lagi sekarang, bukan? Sudah, jangan seperti anak kecil. Gila kalau kita menghancurkan sendiri kebahagiaan kita.... Theresa, kalau kita sudah mati nanti, kita tidak akan merasa lebih berbahagia atau lebih tidak berbahagia karena telah melemparkan seorang gila ke dalam Seine. Kita harus m enikm ati kebahagiaan kita dengan damai.... Mari, ciumlah aku.” Theresa m encium nya, dingin dan gugup, dan suam inya pun gemetaran sama seperti dia. Dua m inggu lam anya Laurent m em ikirkan apa yang dapat dilakukannya untuk m em bunuh Cam illus yang kedua kalinya. Dia sudah m elem parkannya ke dalam sungai, nam un belum cukup mati, masih kembali setiap malam untuk berbaring di ranjang Theresa. Kedua pem bunuh itu m engira bahwa m ereka telah berhasil melaksanakan pembunuhan, bahwa mereka akan bergelimang dengan damai dalam kenikmatan bermesraan, tetapi ternyata korban m ereka hidup kem bali untuk m em bekukan ranjang m ereka. Theresa ternyata bukan janda. Laurent m erasa m enikahi perem puan yang m asih bersuam ikan laki-laki yang mati tenggelam.
BAB XXIII SECARA BERANGSUR-ANGSUR Laurent m endekati puncak kegilaan. Dia sudah bertekad hendak m engusir Cam illus dari ranjangnya. Mula-m ula dia tidur dengan berpakaian, lalu tanpa pakaian, tetapi masih menghindari persentuhan dengan Theresa. Akhirn ya, dalam pun cak keputusasaan m em beran ikan diri m endekap istrinya. Ia m em ilih itu daripada harus m enyerahkan Theresa kepada hantu korban pem bunuhannya. Ini, suatu keputusan berani yang sangat hebat. H akekatnya keputusan itu hanyalah m erupakan suatu harapan bahwa ciuman dan dekapan Theresa akan merupakan obat sukar tidur yang telah m enggiring dia ke kam ar tidur Theresa. Tetapi, setelah berada dalam kam ar itu dan m enguasainya sekali, tubuhnya yang seakan-akan koyak-koyak karena siksaan- siksaan yang sangat m engerikan, sudah tidak berkeinginan lagi untuk m encoba obat itu. Tiga m inggu lam anya ia lupa bahwa sem ua tindakannya dahulu itu sem ata-m ata ditujukan untuk
182 Emile Zola dapat menguasai dan memiliki Theresa, dan sekarang, setelah m em ilikinya, ia tak dapat m enyentuhnya tanpa m eningkatnya p en d er it a a n . Puncak dari keadaannya itu m em buat dia sadar kem bali kepada tujuan sem ula. Pada m ulanya, karena bingung dan ketidakberdayaan di m alam pengantin, dapat saja dia lupa pada alasan-alasan mengapa dia kawin. Tetapi, akibat dari sergapan m im pi-m im pi buruk yang berulang-ulang, bangkitlah sem acam gelora dalam dirinya, m em buatnya m am pu m engatasi kepengecutan dan kembali ingat kepada pemikiran dahulu. Dia ingat bahwa dia kawin agar dapat berpeluk erat-erat kepada istrinya untuk m engusir m im pi-m im pi buruk itu. Itulah sebabnya pada suatu malam tiba-tiba dia memeluk Theresa dengan m engabaikan Cam illus, lalu m endekapnya kuat-kuat. Theresa pun sudah sam pai ke batas daya tahannya. Mau rasanya dia m elem parkan diri ke dalam api kalau dia yakin api itu akan dapat m enyucikan dirinya dan m em bebaskannya dari rasa dosa yang tak henti-hentinya m enyergap. Maka berpelukanlah mereka erat-erat dalam ketakutan. Takut dan pedih m enggantikan peranan berahi. Ketika tubuh berlekatan mereka merasa seakan-akan terjatuh ke atas bara. Batin m enjerit dan pelukan bertam bah erat untuk m encegah hadirnya m ayat Cam illus di antara m ereka. Nam un Cam illus tetap terasa memualkan, membekukan daging di tempat-tempat yang tidak terasa m em bara. Mereka bercum bu kasar sekali. Bibir Theresa m enyerbu bekas gigitan Cam illas di leher Laurent yang kekar, lalu dia m enekankan m ulutnya seperti kesurupan. Di situlah letaknya luka batin itu. Sekali dia sembuh, maka akan damailah kedua pembunuh itu. Theresa m em aham inya, itu sebabnya dia m encoba m em bakar racun-racun luka itu dengan api cium annya. Tetapi ternyata bibirnya sendiri yang terbakar dan Laurent m endorongnya kasar
Theresa 183 dengan desah sesak. Laurent m erasakan seakan-akan ada besi panas diletakkan di lehernya. Theresa bersikeras m au m encium bekas luka itu. Sekalipun terasa panas ada sesuatu kenikmatan kalau bibirnya m enyentuh kulit leher yang pernah ditem bus gigi-gerigi Cam illus itu. Perasaannya saat itu, sekaligus dia m enggigit suam inya, m enyobek kulitnya, m em buat luka baru di tem pat yang sam a yang dapat m enghapus bekas yang lam a. Dia yakin tidak akan m enjadi takut lagi kalau dia tahu luka itu adalah hasil giginya sendiri. Tetapi Laurent m engam ankan lehernya dari cium an-cium an Theresa. Bagi Laurent cium an itu bagaikan api. Setiap kali Theresa m endekatkan bibirnya, setiap kali itu pula Laurent m endorongnya jauh-jauh. Akibatnya mereka bergumul, meliuk-liuk dan memekik-mekik dalam cumbu rayu gila. Mereka sadar sekali bahwa sebenarnya dengan itu penderitaan makin meningkat saja. Tak terpenuhi niat masing- masing untuk saling menghancurkan dengan pelukan-pelukan gila. Batin m ereka dapat m enjerit pedih, m ereka dapat saja saling bakar dan saling m enyakiti, nam un m ereka tidak berhasil m enenangkan saraf-saraf yang resah gelisah. Setiap pelukan hanya m em buat rasa m uak dan jijik m eningkat. Bahkan pada saat m ereka bercium an, bayangan-bayangan yang m enakutkan tetap saja m enghantuinya. Rasanya m ayat Cam illus m enarik-narik kaki m ereka, m engguncang-guncang ranjang dengan hebatnya. Untuk sementara mereka saling melepaskan. Rasa muak terhadap yang lain m enjadi-jadi lagi, batin berontak tak terkendali. Nam un m ereka m enolak m enyerah dan kem bali mereka bergumul dalam pelukan-pelukan baru. Dan sekali lagi mereka harus saling melepaskan, karena seakan-akan ada besi m em bara ditusukkan ke dalam daging m asing-m asing. Berulang- ulang m ereka m encoba m engatasi kepedihan dengan cara yang sama, mencoba melupakan segala sesuatu. Dan setiap kali gairah berahi bangkit selalu pula diakhiri dengan kekecewaan yang dapat
184 Emile Zola membuat mereka mati lemas andaikata mereka tidak segera saling melepaskan lagi. Pergulatan melawan diri sendiri ini membuat mereka geram. Mereka bersikeras mau memenangkan pergulatan ini. Nam un akhirnya usaha yang paling keras pun m elum puhkan tekadnya. Kekerasan hatinya patah. Mereka m erasa gagal total. Laurent terlem par ke tepi ranjang yang satu dan Theresa ke tepi yang lain. Dengan badan panas dan hati terpukul keduanya mulai menangis. Dan dalam tangisnya itu m ereka m endengar tawa kem enangan Cam illus yang sudah berada lagi di bawah selim ut di antara m ereka, m engejek. Mereka belum berhasil m engusirnya dari ranjang. Mereka kalah. Dengan tenang Cam illus berbaring di antara keduanya, sedang Laurent m enangisi ketidakm am puannya dan Theresa gem etaran kalau-kalau m ayat itu m em anfaatkan kem enangannya dengan m enggenggam nya sebagai pem ilik yang sah. Mereka m encoba lagi upaya terakhir. Dalam kekalahannya itu mereka sempat sadar untuk tidak mencoba-coba berani bercium an lagi, sekalipun hanya berupa sentuhan bibir belaka. Cinta gila yang ingin m ereka coba puaskan untuk m em bunuh ketakutan hanyalah m enyebabkan m ereka terjerem bab ke dalam kepedihan yang lebih dalam lagi. Sam bil m erasakan kebekuan m ayat yang akan m em isahkan m ereka untuk selam a-lam anya, mereka menangis pedih sekali, seakan-akan berurai air mata darah, dan bertanya-tanya sendiri dalam sedih apa yang akan terjadi dengan mereka nanti.
BAB XXIV SESUAI DENGAN apa yang diharapkan Michaud tua ketika dia m engusahakan perkawinan Theresa dan Laurent, segera setelah perkawinan, acara tiap malam J umat berlangsung lagi seperti dahulu. Pernah acara itu terancam hilang sebab kematian Cam illus. Selam a itu m ereka datang dengan hati ragu, diganggu kekhawatiran acara malam J umat akan dihentikan dan mereka dipersilakan pulang. Pikiran bahwa pintu toko pada suatu hari akan tertutup bagi mereka, benar-benar mencemaskan Michaud dan Grivet yang sudah terbiasa sekali kepada acara itu dengan naluri dan kekerasan hati seekor binatang. Sudah kuat sekali persangkaan mereka bahwa ibu tua dan janda muda itu pada suatu hari akan pindah ke Vernon atau tem pat lain untuk m elanjutkan berkabung dan mereka sendiri pada setiap malam J umat terpaksa harus berkeliaran di jalan-jalan tanpa tujuan tertentu. Mereka m em bayangkan diri berada di Passage, berjalan hilir-m udik
186 Emile Zola sam bil m em im pikan perm ainan dom ino yang m enyenangkan. Seraya m enanti tibanya hari sial itu, m ereka benar-benar m em anfaatkan kesem patan-kesem patan terakhir m enikm ati kebahagiaan berdomino. Mereka datang ke toko dengan rasa cem as tetapi air m uka m anis—bahkan terlalu m anis—dan setiap kali disertai perasaan m ungkin itulah kunjungan m ereka yang terakhir. Setahun lam anya kecem asan ini m enghantui. Tak berani mereka bersantai-santai dan tertawa lepas di hadapan Madame Raquin yang sedih dan Theresa yang selalu bungkam . Mereka tidak lagi m erasa sebebas seperti di zam an Cam illus m asih hidup. Boleh dikatakan setiap kali berkum pul di ruang m akan itu, sikap mereka seperti orang mencuri-curi kesempatan. Dalam keadaan inilah kepentingan pribadi Michaud m endorongnya m elakukan tindakan jitu mengawinkan janda muda itu. Pada m alam J um at pertam a setelah perkawinan, Grivet dan Michaud masuk disertai rasa kemenangan. Mereka berhasil m engatasi ancam an lenyapnya acara dom ino. Ruang m akan itu kini menjadi milik mereka kembali, mereka tidak perlu lagi m erasa khawatir akan dipersilakan m eninggalkannya. Dengan penuh semangat mereka bebas dan berani lagi mengeluarkan cerita-cerita lucu satu dem i satu. Kegem biraan dan ketenangan hati mereka jelas sekali menunjukkan bahwa mereka menganggap telah terjadi perubahan besar di rum ah itu. Kenangan kepada Cam illus sudah sirna. Suam i yang m ati dan hantunya yang m enggigilkan telah didesak oleh kehadiran suam i yang hidup. Kegem biraan m asa lalu telah pulih kem bali. Lauren t telah m enggantikan kedudukan Cam illus, sem ua alasan untuk bersedih punah, tamu-tamu dapat tertawa bebas tanpa memedihkan hati yang lain. Tentu saja m ereka m enganggap m enjadi kewajiban untuk tertawa m enggem birakan keluarga yang telah berbaik hati m enerim a m ereka. Michaud dan Grivet yang ham pir selam a satu tahun setengah datang dengan pura-pura untuk menghibur
Theresa 187 Madame Raquin, mulai sekarang dapat mengesampingkan kemunaikan kecil itu dan selanjutnya dapat datang tanpa was- was, bahkan dengan kemungkinan akan jatuh tertidur berhadap- hadapan dalam buaian gem erisiknya kartu dom ino. Setiap m inggu ada acara yang baru, setiap m inggu ruang m akan dipenuhi wajah-wajah m ati m enggelikan yang sudah dem ikian lam anya m enjengkelkan Theresa. Pernah Theresa membicarakan kemungkinan untuk menolak kedatangan mereka, karena tawa gila dan pembicaraan dungu mereka sangat m engesalkan hatinya. Nam un Laurent m eyakinkah Theresa bahwa itu keliru. Keadaan sekarang harus sebanyak m ungkin sam a dengan keadaan dahulu. Dan di atas segala-galanya, m ereka harus tetap bersahabat dengan polisi dan dengan bedebah- bedebah lainnya yang dapat m enyem bunyikan Laurent dan Theresa dari segala bentuk kecurigaan. Theresa setuju. Tamu- tam u yang tetap diterim a dengan hangat, dengan rasa bahagia m elihat serangkaian m alam m enyenangkan di hadapannya. Pada saat inilah pasangan suami-istri itu menjalani semacam kehidupan rangkap. Di pagi hari, ketika cahaya siang telah m engusir hantu-hantu m alam , Laurent berpakaian cepat-cepat. Dia gelisah. Dia belum akan merasa tenang sebelum berada di ruang makan, duduk m enghadapi secangkir kopi dan susu panas yang disediakan The- resa. Madam e Raquin yang sudah begitu lem ah, sehingga ham pir- ham pir tidak sanggup lagi turut ke toko, m engam ati Laurent m akan dengan senyum keibuan. Dengan perut terisi lam bat laun Laurent m endapatkan kem bali kepercayaan dirinya. Setelah kopi, disusul dengan segelas brendi. Berkat brendi ketenangannya pulih sam a sekali. Setelah itu dia biasa berkata, “sam pai nanti malam,” kepada Madame Raquin dan Theresa, tetapi tanpa pernah m encium m ereka. Lalu dia berjalan m enuju kantor. Musim semi sudah tiba. Pohon-pohon sepanjang dermaga telah
188 Emile Zola mulai berdaun, hijau muda kepucat-pucatan. Di bawah, air sungai m engalir dengan desir m erayu; di atas, m atahari m enebarkan kehangatan yang nyam an. Di udara terbuka yang segar Laurent m erasa dirinya hidup kem bali. Dihirupnya udara kehidupan baru yang m em ancar dari langit di bulan April dan Mei. Dia m encari tem pat yang hangat, berhenti, untuk memandangi arus Sungai Seine yang gem erlap keperak-perakan, m endengarkan hiruk-pikuk pelabuhan, m em biarkan udara pagi m em belainya dan m enikm ati pagi yang cerah ini dengan sem ua panca-indranya. Tentu saja, Cam illus tidak ada di pikirannya. Kadang-kadang tanpa disadari sepenuhnya dia m elihat ke rum ah m ayat di seberang sungai. Lalu dia berpikir tentang Cam illus sebagai seorang pem berani, berpikir tentang ketakutan konyol yang pernah m enyergapnya. Dengan perut penuh dan air muka segar dia mendapatkan kem bali ketenangannya. Sesam pai di kantor, waktunya dia habiskan dengan m enguap m enunggu waktu pulang. Laurent hanya seorang pegawai kecil, bodoh dan tak bersem angat, kepalanya kosong. Satu-satunya pikiran yang ada di benaknya waktu itu ialah m em inta berhenti dan m enyewa sebuah studio. Samar-samar dia memimpikan kehidupan baru penuh dengan kem alasan, dan ini sudah cukup m em buatnya sibuk sam pai petang. Dan selama itu toko di Passage tidak pernah mengganggu pikirannya. Petang hari, setelah sehari penuh m enanti waktu tutup kantor, dia meninggalkan kantor dengan hati sedih, berjalan pulang sepanjang pelabuhan. Matinya m ulai gelisah lagi. Sengaja dia berjalan perlahan-lahan, nam un tak ada gunanya, sebab akhirnya toh, sam pai di rum ahnya juga. Teror sudah m enantinya di sana. Theresa pun m engalam i hal yang sam a. Selam a Laurent tidak berada di dekatnya hatinya sangat tenang. Ia telah m em berhentikan pelayan dengan alasan bahwa pekerjaannya
Theresa 189 tidak beres, segala sesuatu tetap kotor dan tidak terpelihara. Dia m ulai m em ikirkan tentang kerapihan. Alasan sebenarnya adalah dia sangat membutuhkan kesibukan, bekerja untuk melemaskan otot-otot yang tegang. Sepanjang pagi dia m enyibukkan diri dengan m enyapu, m em bersihkan debu, m em benahi kam ar- kam ar, m encuci piring, m elakukan kewajiban-kewajiban yang dahulu tidak pernah disukainya. Pekerjaan ini m em buatnya bergerak terus sampai tengah hari, aktif sambil bungkam, tak ada waktu untuk memikirkan hal-hal lain kecuali sarang laba- laba yang m erentang dari langit-langit dan lem ak yang m elekat di piring-piring. Setelah itu ia terus ke dapur mempersiapkan makan siang. Madame Raquin merasa iba melihat Theresa tak henti-hentinya bolak-balik m engam bil m akanan dari dapur. Kesibukan Theresa sangat m engharukannya. Madam e Raquin m enyalahkan Theresa m em ecat pelayan, tapi Theresa m enjawab bahwa dia harus m enghem at apa yang dapat dihem at. Setelah makan Theresa berganti pakaian, lalu duduk m enem ani bibinya di belakang m eja bayar. Di sana kantuk m ulai m enyerangnya. Karena letih dan tidak tidur sem alam an, segera saja dia m enyerah kepada kantuk yang m enyergapnya begitu dia duduk. Nam un dia hanya dapat tidur sebentar-sebentar saja, cukup untuk m elem askan saraf-saraf. Saat itu Cam illus hilang dari pikirannya. Dia m enikm ati istirahat ini seperti seorang penderita m enikm ati keringanan dan kelegaan hati karena rasa sakitnya tiba-tiba berhenti. Theresa m erasakan tubuhnya rileks, pikirannya bebas. Ia terhenyak ke dalam sem acam kekosongan pikiran yang hangat m enyegarkan. Dengan dem ikian dia m endapatkan lagi tenaga baru untuk m enahan derita sepanjang m alam berikutnya. Sebenarnya dia tidak pernah benar-benar jatuh tertidur, hanya tidur-tidur ayam , terbang ke kedam aian m im pi. Kalau ada langganan datang segera ia bangkit, m elayaninya, lalu kem bali ke m im pi yang tadi. Dengan cara itu dia m elewatkan waktunya
190 Emile Zola selam a tiga atau em pat jam , m erasa sangat berbahagia m elayani percakapan bibinya dengan sepatah dua patah kata, dengan sepenuh hati m em biarkan dirinya hanyut dalam ketidaksadaran sem entara yang dapat m em buatnya berhenti berpikir. Sesekali dia m elem parkan pandangan ke Passage. H atinya tenang apabila keadaan agak gelap, sehingga dapat m enyem bunyikan kelelahannya. Passage yang buruk dan lem bap itu penuh dengan orang-orang m iskin, baginya m erupakan pintu m asuk ke dalam sarang kejahatan, sem acam jalan yang kotor dan m enyeram kan nam un tak seorang pun akan datang m engganggunya. Ada saat- saat kalau m elihat cahaya suram di sekelilingnya, m encium ban udara yang lem bap dia m erasa seakan-akan baru dikuburkan hidup-hidup. Dia merasa berada di dalam tanah, di dalam kubur. Perasaan ini m enyenangkan hatinya, m elem askan sem ua ketegangannya. Ia m erasa bahwa dirinya am an, bahwa dia akan mati, bahwa dia tidak akan menderita lebih lama lagi. Ada pula kalanya dia terpaksa tetap m em buka m atanya karena Suzanne datang m enjenguknya, lalu duduk dekat m eja bayar m enyulam sepanjang hari. Istri Oliver dengan air m ukanya yang lem bek, gerakannya yang lam ban itu, sekarang m enjadi m enyenangkan hati Theresa yang m erasakan keringanan hati yang aneh kalau m elihat perem puan m alang yang seperti tidak bertulang punggung itu. Mereka sekarang bersahabat. Theresa m erasa senang Suzanne berada di dekatnya, m enyungging senyum lem ah, tanpa gairah, m em berikan suasana suram ham bar ke dalam toko. Kalau m ata Suzanne yang biru, bening seperti kaca m enatap m atanya sendiri, Theresa m erasakan sesuatu perasaan sejuk nyam an yang aneh di dalam tulang sum sum nya. Begitulah Theresa m enghabiskan waktunya sam pai pukul em pat sore. Setelah itu dia kem bali ke dapur, m enyibukkan diri dengan m em persiapkan m akan m alam untuk Laurent secara tergesa-gesa. Kalau suam inya m uncul di am bang pintu,
Theresa 191 kerongkongannya terasa m enegang lagi dan lagi-lagi rasa takut dan sedih m enyiksa seluruh dirinya. Setiap hari keduanya m engalam i perasaan-perasaan yang sungguh-sungguh serupa. Siang hari, selama tidak berdekatan, keduanya dapat m enikm ati saat-saat istirahat yang m enyenangkan. Petang hari, segera setelah bersam a lagi, kegelisahan yang m em edihkan m encekam nya. Walau dem ikian, saat-saat sebelum waktunya tidur cukup tenang. Theresa dan Laurent, yang selalu gem etaran kalau ingat waktu tidur, berusaha masuk kamar selambat mungkin. Dengan duduk setengah berbaring di kursi besar Madame Raquin berada di antara mereka, berbicara dengan suara tenang. Dia berbicara tentang Vernon, ingatannya selalu kepada anaknya, tetapi tetap m enahan diri untuk tidak m enyebut nam anya, karena m erasa tak sopan m elakukannya di depan Theresa dan Laurent. Sesekali ia tersenyum m anis kepada kedua anaknya, m em buat rencana- rencana untuk m asa depan. Lam pu m em ancarkan cahaya pucat ke wajahnya yang putih. Kata-katanya terdengar lem but dalam suasana sunyi itu. Di kiri kanannya, kedua pem bunuh duduk bungkam seperti sedang mendengarkan dengan penuh perhatian. Sebenarnya, m ereka sam a sekali tidak m au m engikuti kata-kata perem puan tua yang sim pang siur itu. Mendengar cericis kata- kata itu saja pun mereka sudah merasa bahagia, karena dapat mencegah mereka mengikuti jalan pikiran sendiri. Theresa dan Laurent tidak berani saling pandang. Pandangan m ata diarahkan kepada Madam e Raquin untuk m enyem bunyikan kebingungan m asing-m asing. Tak pernah seorang pun dari keduanya m engajak tidur. Mau rasanya m ereka tetap tinggal di situ sam pai pagi m en- dengarkan ocehan yang m enenangkan, terbuai dalam kedam aian yang dipancarkan Madam e Raquin, kalau saja orang tua itu sendiri tidak m enyatakan keinginannya untuk tidur. Baru setelah itu mereka meninggalkan ruang makan masuk ke kamar tidur
192 Emile Zola dengan segala kegelisahan, seakan-akan hendak menjerumuskan diri ke dalam jurang yang dalam . Dalam waktu singkat m ereka sudah lebih m enyukai pertem uan malam J umat dibandingkan dengan pertemuan keluarga setiap senja. Kalau m ereka hanya bertiga saja Theresa dan Laurent tidak dapat melepaskan diri secara sempurna. Suara lemah dan kebahagiaan bibinya tidak dapat m em bungkam sepenuhnya jeritan-jeritan yang m engoyak-ngoyak batin. Saat harus tidur selalu saja terasa mendekat. Mereka bergidik kalau kebetulan pandangan mata jatuh ke pintu kamar tidur. Perasaan harus berdua lagi di kamar makin lama makin terasa memedihkan berbarengan dengan bertam bah larutnya m alam . Lain halnya dengan m alam J umat, mereka terbuai oleh segala macam ketololan. Theresa dapat m elupakan kehadiran Laurent dan begitu pula sebaliknya. Akhirnya sekali Theresa sendirilah yang m endam bakan sekali pertem uan -pertem uan itu. Kalau Michaud dan Grivet tidak datang, dia sendiri pergi m enjem putnya. Apabila ada orang lain dalam ruang m akan itu di sam ping Laurent hatinya m enjadi lebih tenang. Dia m engharap sekali supaya selalu saja ada tam u, ada hiruk-pikuk dan hingar-bingar, sesuatu yang dapat m em buat dia bengong dan m enjauhkannya dari kehadiran Laurent. Dalam pertemuan-pertemuan itu dia pun turut melakukan berbagai ketololan. Adapun Laurent, m erasa senang karena dapat kem bali kepada kelakar-kelakar kasarnya seorang petani, dapat tertawa terbahak-bahak dan menceritakan lelucon-lelucon. Tak pernah rasanya acara m alam J um at itu segem bira dan segaduh sekarang. Dengan demikian sekali dalam seminggu Theresa dan Laurent dapat saling m enghadapi tanpa bergidik. Nam un, segera pula kecem asan lain m engganggunya. Secara berangsur-angsur Madame Raquin diserang kelumpuhan dan m ereka sudah m em bayangkan pada suatu hari nanti Madam e Raquin tak akan lagi m am pu m eninggalkan kursinya. Perem puan
Theresa 193 tua yang m alang itu sudah m ulai ngawur bicaranya, suaranya pun sudah m akin lem ah. Satu dem i satu anggota tubuhnya lem as tak berdaya. Dia sudah ham pir m enjadi benda m ati belaka. Dengan penuh kekhawatiran Theresa dan Laurent m enyaksikan kehancuran orang yang m asih dapat m em isahkan m ereka dan yang suaranya dapat m engusir m im pi-m im pi buruk m ereka. Suatu saat nanti, kalau akal sudah meninggalkan perempuan tua itu dan dia bisu tak berdaya duduk di kursinya, m aka Theresa dan Laurent terpaksa harus tinggal berdua. Mereka tak akan lagi dapat m elarikan diri dari dialog batin yang m enggetirkan sepanjang senja. Berarti, kebim bangan, kecem asan dan ketakutan akan m ulai m enyerang m ereka sejak pukul enam , bukan lagi m ulai pukul dua belas. Ini akan membuat mereka betul-betul gila. Mereka berjuang sekuat tenaga memulihkan kesehatan Madame Raquin yang begitu penting artinya bagi m ereka. Beberapa dokter telah dipanggil, m ereka m enjagainya terus-m enerus, bahkan dalam merawat Madame Raquin itu mereka menemukan kenikmatan yang m erangsang m elipatgandakan kerajinan m erawat. Mereka tidak ingin kehilangan orang yang dapat m em buat waktu-waktu senja tertahankan. Tidak dikehendakinya ruang m akan dan seluruh rum ah itu m enjadi tem pat yang kejam dan m em edih- kan seperti kam ar tidurnya. Madam e Raquin sangat senang dan terharu karena rawatan dan perhatian m ereka. Air m ata gem bira m eleleh ke pipinya, karena m erasa m em persatukan m ereka itu benar dan karena merasa tidak keliru telah memberikan uang yang em pat puluh ribu frank lebih itu kepada Theresa. Tak pernah dia, setelah anaknya m eninggal, m engharapkan kasih sayang seperti ini. Ketuaannya terhangatkan oleh kelem butan kedua anak tersayang ini. Tak terasa olehnya kelum puhan yang tak m engenal kasihan itu, yang m eski diikhtiarkan benar, tetap m em buatnya m akin tidak berdaya setiap hari.
194 Emile Zola Sem entara itu Theresa dan Laurent terus m enjalankan kehidupan rangkapnya. Dalam diri m asing-m asing boleh dikatakan ada dua pribadi yang berbeda, satu pribadi yang gelisah dan cem as begitu m alam tiba, dan satu pribadi lain lagi yang m alas dan pelupa dan dapat bernafas lega begitu m atahari terbit. Mereka menjalani dua kehidupan. Mereka menjerit takut bila berduaan, dan m ereka tersenyum dam ai bila ada orang lain.hadir. Di hadapan orang lain tak pernah air muka mereka menunjukkan kepedihan. Mereka tampak tenang dan bahagia. Secara naluriah m ereka m enyem bunyikan kesukaran-kesukaran m ereka. Tak seorang pun yang m elihat m ereka begitu tenang di siang hari akan m enyangka bahwa setiap m alam m ereka disiksa khayalan-khayalan buruk. Tam paknya m ereka seperti sepasang suam i-istri yang diberkahi, hidup dalam kebahagiaan. Dengan genit Grivet m enyebut m ereka ‘sepasang tekukur’. Ketika kekurangan tidur m enyebabkan adanya lingkaran- lingkaran gelap sekeliling m ata m ereka, Grivet bertanya kapan pem baptisan bayi akan dilaksanakan. Dan sem ua tertawa. Air m uka Laurent dan Theresa ham pir tak berubah dan m em aksakan diri tersenyum . Mereka sudah terbiasa kepada kelakar kerani tua itu. Selama berada di ruang makan mereka mampu mengatasi kecam uk batinnya. Tetapi m ereka tidak bisa m engatasi perubahan m engerikan yang berlangsung pada diri m asing-m asing segera setelah berada berdua terkunci di kamar tidur. Terutama sekali pada malam J umat, perubahan itu drastis sekali, sehingga seakan- akan berlangsung di alam gaib. Drama malam-malam hari itu dengan segala keanehannya dan kekasaran em osinya, sukar untuk bisa dipercaya dan tetap tersem bunyi dalam kedalam an diri yang sudah terkoyak-koyak itu. Kalaupun m ereka m enceritakannya takkan ada yang m au m em percayainya. “Betapa bahagia pengantin kita ini!” Michaud tua sering berkata begitu. “Mereka tidak banyak bicara, tetapi lebih banyak
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284