Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Setangkai-Edelwise-Dari-Puncak-Slamet (1)

Setangkai-Edelwise-Dari-Puncak-Slamet (1)

Published by kurdi5858, 2021-12-22 10:17:05

Description: Setangkai-Edelwise-Dari-Puncak-Slamet (1)

Search

Read the Text Version

Setangkai Edelwise Dari Puncak Slamet By : Eko Purnomo “Please…. Sekali ini aja Ra…” Pinta Edo penuh harap kepada Rara. “Bukankah Mas Edo sudah berkali-kali mendaki gunung slamet?, Tiga bulan lagi kita menikah, kalo ada apa-apa dengan Mas bagaimana?” “Masa Rara nggak percaya pada kemampuan mas…? Edo mencoba beralasan. “Bukan begitu Mas, Aku nggak mau tragedi Februari dua tahun lalu terulang lagi. Badai besar menjebak kita di Puncak. Kejadian itu masih menghantuiku hingga kini Mas, dan Rara nggak mau Mas mengalami hal itu lagi” “Rara kan tahu sekarang musim kemarau, mana ada badai di puncak. Kalo dilihat secara visual dari sini, kondisi puncak dalam tiga hari terakhir cerah. Kemungkinan dalam minggu-minggu ke depan akan cerah. Mas akan membawakan Rara Edelwise untuk adat siraman kita, pelengkap kembang setaman tujuh rupa sebagai simbol keabadian cinta”. Rara terdiam sejenak. Entah apa yang ada dalam benaknya. Dia masih trauma dengan kejadian dua tahun lalu terjebak badai di Puncak. Kejadian itu memaksa Mereka memutar dan menuruni sisi tenggara. Dari peristiwa itu Mereka dekat dan akhirnya tiga bulan yang lalu Edo meminangnya. Tiga bulan lagi mereka akan menikah. Wajar jika Rara amat mengkhawatirkan Edo. “Baiklah, Bukan hak Rara untuk melarang mas mendaki, tapi satu pintaku. Hati-hati disana. Jika cuaca berubah buruk jangan lanjutkan. Setangkai Edelwise Dari Puncak Slamet 1

Lebih baik Mas turun tidak membawa Edelwise daripada memimpikan sesuatau yang berharga dibayar dengan bayaran nyawa. Bawakanlah Edelewise untuk Rara jika itu dapat memuaskan batin mas, dan jangan lupa pulanglah dengan selamat. Rara menanti di rumah”. Akhirnya Rara mengijinkan walau penuh ketidakrelaan. Ada sesuatu yang menghinggapi benak dan pikiranya. Edo dapat melihat dari tatapan matanya yang memandannya tidak seperti biasanya. Mata indahnya berbinar ketika melepas kepergian Edo. Hati Edo mulai gundah, tak biasanya Rara menatap Edo dengan pandangan seperti itu. Ada kabut tipis yang menyelimuti matanya. Edo berkata dalam hati. “Apakah ini akhir pertemuanku dengannya? Padahal tiga bulan lagi kita menikah?” Sejuta pertanyaan melingkupi benak pikiran Edo. Edo segera belalu meninggalkan Rara yang masih memandang Edo di teras rumahnya. **************************** Edo melihat GPS sebuah alat pengukur ketinggian, kelembaban, tekanan, dan suhu udara. Edo dan Galih telah berada di ketinggian 3.100 Mdpl, dengan tipisnya oksigen dan dinginnya suhu udara. Suhu udara 12 derajat celcius sama seperti suhu lemari es jika di kota. Galih membuat api untuk menghangatkan Mereka. Jam menunjukan pukul 17.30. Perjalanan dari Base Camp yang memakan waktu 5 jam cukup melelahkan. Mereka harus berkemah di tempat itu dan perjalanan ke puncak dilanjutkan besok pagi-pagi sekali. “Makan apa kita sore ini Lih?” Edo mulai mengawali pembicaraan setelah beberapa menit Mereka mendirikan tenda tanpa obrolan seperti biasa. “Terserah, yang penting bergizi, enak dan kenyang”. Galih pasrah kepada Edo. Setangkai Edelwise Dari Puncak Slamet 2

“Kayaknya nasi, dengan sarden dan chiken naget enak Lih”. Edo mulai usul. “Kurang Do, minumnya jahe susu hangat terus tambah melon untuk pencuci mulut.” Galih menambahkan. “Seleramu bagus juga Lih..! Wah perutku sudah keroncongan nih… Ayo kita porak-porandakan alat masak dan bahan masakan kita.!” “Oke boss..!!” Edo dan Galih sibuk dengan aktivitas eksperimen masak Mereka masing-masing. Cakrawala sore itu kuning kemerahan. Sang mentari telah menuju peraduannya di sisi barat, tertutup tanah merah. Sisa-sisa cahayanya memberi pantulan penerang bagi langit di atasnya. Sepoi- sepoi angin gunung meniup dengan lembut penuh kesejukan menyuburkan jiwa-jiwa mereka yang penuh harap dan cita-cita. Beberapa ekor burung hutan menyanyikan lagu keAgungan Tuhan. Mereka menyudahi makan sore itu dengan melahap melon muda. Hari sudah gelap, terdengar sayup-sayup kumandang suara adzan maghrib. Segera saja Mereka solat maghrib setelah perut Mereka terisi. Api kecil yang menyembul dari ranting-ranting kering cukup menghangatkan. Memberi pelita bagi Mereka. Tidak kesulitan mencari kayu dan ranting ranting untuk membuat api. Saat itu musim kemarau, kayu dan ranting yang ada mudah sekali terbakar karena kering. Malam mulai menggelar permadani gelapnya di atas langit yang menjadi naungan mereka. Jutaan bintang bertaburan di langit menghiasi. Cahaya bulan purnama yang redup memberi pelita. Sinarnya memberikan kedamaian bagi hati. Beberapa bintang berekor melintas. Kata orang dahulu, itu adalah malaikat yang mengejar setan yang mencoba lari dari neraka. Secara ilmiah itu adala batuan-batuan Setangkai Edelwise Dari Puncak Slamet 3

luar angkasa yang terkena gravitasi bumi dan terbakar terkena atmosfir bumi. Jumlah yang dapat dilihat mata telanjang hanya sedikit sisanya hanya dapat dilihat dengan bantuan teropong bintang atau alat sejenisnya. Pemandangan semacam ini yang menjadi favorit di kalangan orang jika malam hari. “Wah kayaknya kalo tidur dalam tenda sayang Do, Lihat tuh malam ini begitu cerah, benar-benar bersih tanpa awan sedikitpun di atas sana”. Galih berkata sambil menunjuk ke atas. “Wah betul juga Lih, malam ini memang keberuntungan kita, tak biasanya langit secerah itu”. Edo menambahkan. Mereka menggelar matras di luar tenda. Dengan berselimutkan sleeping bag. Sebagai penghangat, Galih memperbesar api yang ia buat agar terasa lebih hangat karena malam hari terasa amat dingin. Ketinggian di atas 3000 Mdpl suhu udara bisa mencapai 5 derajat. “Apa yang ada dalam pikiranmu Do?” Galih mengawali pembicaraan. “Maksudmu?” Edo tak tahu arah perkataan Galih. “Ya… dengan apa keputusanmu, dengan Rara, dengan pernikahanmu, dengan pekerjaanmu..?” “Oh… Hemmm….” Edo menghela nafas panjang. “Waktu memang berjalan begitu cepat. Kurasa aku memang sudah yakin dengan keputusanku. Mulanya aku menganggap Rara seperti adiku sendiri, tapi setelah tragedi februari ada perubahan di antara kita. Secara tidak sadar Aku dan Rara seperti masuk ke dalam genangan air yang tenang, perlahan-lahan tapi pasti. Sang air membiarkan aku di dalamnya dan menjadi bagian dari genangan itu. Genangan air itu adalah kehidupanku dan Rara. Aku yakin dengan apa yang ada dalam hatiku, begitupun Rara. Karena Cinta tak perlu pengungkapan, Setangkai Edelwise Dari Puncak Slamet 4

datangnya hanya bagi Sang “HATI” Tak ada pamrih, dan renik-renik kepemilikan, Ia mengalir, legit, dan manis mengisi jiwa, hanya Sang “HATI” yang bisa merasakannya”. “Lho kok malah kaya Khalil Ghibran”. Galih mulai meledek Edo. “Terus bagaimana dengan Rencana pernikahanmu dengannya? “Orang tua kami sudah mengetahui hubungan kami dan merestui. Maka Aku dan Rara nggak mau membuang kepercayaan mereka, lagi pula umur kami masing-masing sudah mencukupi, ya walaupun pekerjaanku hasilnya pas-pasan. Aku Yakin Tuhan akan memberikan rejeki jika kita mau berusaha. Rara selain mengajar di sekolah swasta, dia juga menjadi pembina Pramuka di sekolah itu”. “Bukankah dulu kamu sempet ditolak Rara, tapi sekarang kalian malah mau menikah, lagian selisih umur kalian sepuluh tahun. Jangan- jangan kamu pake pelet, Do !!!” “Pelet dari Hongkong…. Kamu tahu sendiri aku nggak pernah pelajari ilmu kanuragan atau ikut perguruan silat kaya kamu itu. Memang sih aku beberapa kali mengalami pengalaman ghaib dan aku bisa merasakan aura-aura ghaib, tapi bukan berarti aku pakai ilmu pelet buat menaklukan wanita termasuk Rara.!!. Emangnya aku cowok apakah…..? Lagi pula aku lebih percaya pada Allah. Aku yakin kehendak-Nya itu yang terbaik buat kita. Kau tahu Thomas Alva Edison penemu bola lampu? Dia melakukan 1000 kali percobaan dan dari 1000 itu, 997 gagal, sedang 3 yang terakhir berhasil. Makanya jangan pantang menyerah Lih, Rawe-rawe Rantas Malang-malang Putung.” Mereka larut dalam bayang-bayang kehidupan mereka masing- masing. Sementara Edo mulai menguap, matanya mulai dihinggapi rasa kantuk dan posisinya sudah begitu hangat dengan sleeping bag ALPINE warna hijau. Api yang mereka buat cukup untuk Setangkai Edelwise Dari Puncak Slamet 5

menghangatkan. Tak lama kemudian terdengar suara dengkuran Edo yang kadang membuat Galih terjaga. ******************************** “Lih, bangun.. Lih…. Oiy bangun kamu pengin mati terpanggang apa..?” Edo membangunkan Galih, ketika melihat api membakar semak belukar dan tumbuhan edelwise. “Hah.. Ayam panggang? Mana ada ayam panggang?” nyawa Galih belum penuh, ia belum sepenuhnya sadar. “Ayam panggang dari Arab! Tuh lihat” Edo segera menarik tanganya, memegang kepalanya lau memperlihatkanya ke arah kobaran api yang mulai membesar”. “Wah… api dari mana yah.?” Edo melihat api unggun yang galih buat. ”Apa dari anak-anak di POS V? tapi kok secepat ini, angin tidak begitu besar..” Edo menganalisa munculnya api. “Kurasa bukan Do, waktu kita di POS VI, kau lihat beberapa orang yang sedang membuat kayu bakar di sana, Mereka juga memotong- motong kayu yang tumbang dan sepertinya kayu mereka cukup banyak. Ada kemungkinan kobaranya dari sana Do. “ Galih punya pendapat lain. “Mungkin juga ?Udah lah…, nggak perlu dibahas, ayo kita selamatkan diri daripada kita mati terbakar.” Edo dan Galih segera membenahi perlangkapan. Api telah membakar di kiri dan kanan rute pendakian. Sudah tidak mungkin jalan itu mereka lewati. Jika menunggu siang, dimungkinkan masih ada bara api sehingga mereka memutuskan untuk memutar melalui jalur lain. Jam menunjukan pukul 23.30 mereka hampir tiba di Plawangan, batas vegetasi terakhir. Kobaran api sepanjang POS V Sang Hyang Setangkai Edelwise Dari Puncak Slamet 6

Rangkah sampai POS VII Sang Hyang Ketebon membuat malam itu kelihatan terang diwarnai cahaya merah. Sesekali Edo memandang ke arah kobaran api, dalam benaknya teringat kata-kata Rara dan pandangan matanya yang tak bisa ia lupakan ketika melepas kepergiannya. “Benarkah apa yang ada dalam pikiran Rara kemarin?” Edo bertanya-tanya dalam hati. Di petiknya setangkai Edelwise yang baru saja mekar untuk meredam kerisauan hatinya. “Lebih baik kita ambil kiri Do, melewati punggungan gunung malang III, terus kita memotong hulu sungai lutung dan menuruni sisi tenggara”. Galih mengungkapkan idenya pada Edo. “Bagaimana kalau kita lewati puncak dan turun lewat Baturraden?” “Wah terlalu bahaya jika malam-malam begini. Angin di puncak terlalu kencang, bisa menerbangkan apa saja. Apalagi tubuhmu yang kurus kerempeng kaya gitu. Lagi pula gas belerang yang muncul dari kawah membahayakan pernafasan kita. Kamu mau mati keracunan” “Kamu ini kalo ngomong pasti nyindir fisik …. Ayo kita mulai petualangan kita”. Mereka akhirnya memutuskan untuk menuruni sisi tenggara dengan harapan menuju base camp dengan memutari gunung malang. Dua tahun yang lalu ketika terjebak badai di puncak, Edo dan Rara terpisah dari rombongan, mereka juga memutar melalui sisi tenggara gunung malang III akan tetapi mereka berdua mulai star dari arah yang berbeda. Galih merintis jalur, ia berada di depan dengan mengintari batas vegetasi menuju arah tanggara 135 derajat. Kondisi jalan sepanjang lintasan itu cukup mudah tetapi labil dan gampang sekali longsor, ada Setangkai Edelwise Dari Puncak Slamet 7

kalanya mereka menyebrangi cerukan-cerukan curam yang menghasilkan jurang menganga di sisi kiri lintasan. Sesekali mereka terperosok ke cerukan-cerukan curam karana kerikil yang mereka injak tak kuat menahan berat badan. Tak terasa mereka telah melewati puncak punggungan gunung malang. Kobaran api sudah tidak terlihat oleh mereka. Kini medan semakin sulit, cahaya bulan yang redup tak mampu menerangi jalan yang ditumbuhi semak belukar, dengan tanah yang bercampur debu dan kerikil tajam. Tiba-tiba terdengar suara dari belakang Galih. “Prasak…. Srek… srek…srek krasak..”. Rupanya Edo terperosok ke kiri karena batuan yang diinjaknya tak kuat menahan beban tubuhnya. Ia terjatuh dan bergulingan ke arah semak-semak yang rimbun. Tubuhnya terjerembab ke bawah karena gravitasi. “Lih… Ooiy… Aku terperosok, Lih… tolong gimana nih !!!” Edo berteriak sambil memanggil-manggil Galih. Galih yang barada di depanya spontan kaget dan menengok ke belakang sambil mengimbangi berat badanya agar tidak jatuh. Ia mengarahkan senter ke arah jatuhya Edo, keningnya berkerut mempertajam pandangan karena semak-semak menghalangi pandangannya. “Do…. Kamu nggak papa.?, kamu di sebelah mana.? Arahkan senter ke sini.!” “Sebelah sini Lih.. Senterku jatuh entah kemana, kira-kira 20 meter dari batu yang longsor tadi”. Edo menjawab sambil mencoba meraba- raba senter yang entah kemana karena lepas dari genggamannya. Setelah lima belas menit, Galih baru mendapatkan keberadaan Edo. Tubuhnya tersangkut di batang pohon yang tumbang. Tangan kanannya memar akibat benturan dengan batang-batang pohon dan Setangkai Edelwise Dari Puncak Slamet 8

batuan vulkanik yang labil, sementara bagian pelipis kanannya robek tersayat ranting-ranting tajam saat ia meluncur ke bawah. Galih membongkar isi carrier, ia mencari tali temali untuk evakuasi Edo. Setelah mendapatkan beberapa utas tali, ia mengikat tubuhnya dengan beberapa simpul. Setelah itu ia mencari batu besar sebagai tumpuan ikatan dan membuat simpul di sepanjang tali tersebut untuk pengaman. Ia juga memasang satu lagi tali untuk Edo. Setelah semua simpul terpasang, ia mulai turun perlahan-lahan. “Hati-hati Lih, jangan sampai tubuhmu menjatuhi aku, kayu- kayunya rapuh dan mudah patah” pinta Edo dengan napas tersengal- sengal. “Alah… nggak usah banyak omong jatuh, kalo jatuh ya ayo kita jatuh bareng-bareng..” Galih berhasil mendekati Edo dan berdiri disamping Edo dengan tumpuan pohon yang tumbang dimana Edo tersangkut. “kamu masih bisa jalan kan, ayo, jangan seperti bayi terjatuh, kamu kuat Do.!!” Galih memberi semangat. “Wah, lukamu cukup parah Do, coba lihat keningmu, wih… sobekannya cukup lebar.. Dasar kayu-kayu sialan… Oke ayo kita naik. Slow aja, kita cuma main-main di tebing sialan dengan kayu-kayu runcing yang menjemukan ini. Lepas aja carrier mu, sini biar aku yang bawa”. Mereka naik perlahan-lahan. Edo yang nampak kepayahan setelah insiden itu, naik tertatih-tatih. Meski tubuhnya sangat lemas ia berusaha dengan sekuat tenaga untuk menaiki tebing dengan sudut 60 derajat. Darah yang terus mengucur dari keningnya yang sobek mewarnai kaus blous lengan panjang yang ia pakai. Sementara luka- Setangkai Edelwise Dari Puncak Slamet 9

luka lecet akibat tergores ranting-ranting tajam sesekali membuat ia meringis menahan nyeri bila terkena sentuhan dengan benda lain. Karena luka Edo cukup parah, mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan besok. Lagi pula, semakin jauh, jalanan yang mereka tempuh akan semakin rimbun dengan pohon-pohon liar. Cahaya senter dan bulan tak cukup memberi penerang bagi mereka. Mereka membuat tenda di tempat itu setelah membabat semak belukar dan menemukan tempat yang cukup rata. Galih mencoba mengobati luka Edo dengan kotak P3K yang dibawanya. Selain dengan obat luar, Edo juga menelan Amoxilin dan Paracetamol untuk menghilangkan rasa sakit. Bukan kobaran api yang mereka pikirkan, yang ada dalam benak mereka kini menjaga stamina dan mencari jalan menuju basecamp yang terdekat Malam sudah berganti pagi. Suasana di sekitar gunung malang diselimuti kabut tipis. Cahaya bintang dan rembulan telah pudar, pertanda sepertiga malam terakhir. Suara-suara lolongan anjing hutan terdengar menggaung dari kejauhan. Sementara angin sepoi-sepoi memberi irama pada daun-daun kering yang bergesekan dengan tenda. Tak terasa Edo dan Galih telah melewati hulu sungai lutung. Insiden jatuhnya Edo adalah tebing sebelah selatan sungai, jika musim kemarau, sungai ini kering kerontang. GPS menunjuk angka 2.750 Mdpl, setara dengan ketinggian Alun-alun Suryakencana (Gn. Gede jawa Barat). *************** Malam itu Rara terjaga dari tidurnya, ia bermimpi melihat api berkobar di sekeliling kamarnya. Ia kaget dan terbangun dengan napas tersengal-sengal dan jantung berdegup kencang. Ia mencoba menenangkan diri dengan meminum segelas air putih. Pikiranya Setangkai Edelwise Dari Puncak Slamet 10

langsung menuju Edo, ia khawatir terjadi sesuatu pada Edo. Dia mendapat firasat jelek saat melepaskan kepergian Edo kemarin. Padahal ia sudah tahu kemampuan dan pengalaman Edo dalam mendaki gunung. Kali ini lain, Rara punya firasat buruk, sebenarnya ia tidak mengijinkan Edo mendaki, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Rara berpikir, bukan hak dia melarang Edo mendaki gunung. Lamunan panjang membawanya bergadang sampai pagi. Keesokan harinya ia mendengar berita hutan gunung slamet terbakar dari radio. Sebanyak 15 orang pendaki terjebak kobaran api. Tujuh diantaranya telah berhasil dievakuasi. Delapan lainya masih dalam proses pencarian. Rara langsung terduduk lemas, air matanya menetes membasahi pipinya. Firasat yang ia rasakan benar-benar terjadi pada Edo. Ibunya yang melihatnya duduk lemas sambil menangis segera mndekatinya. “Ada apa Ra..?” tanya ibunya. “Mas Edo Bu. Rara baru mendengar berita, gunung slamet terbakar dan mas Edo berada di sana. Dari kemarin Rara sudah mendapat firasat jelek”. Rara menjelaskan dengan linangan air mata. “Terus bagaimana kondisinya, adakah yang selamat Ra?” Ibu Rara malah ikut-ikutan panik. “Tujuh orang kini berada di Basecamp, delapan orang masih dalam pencarian.” Rara menambahkan. “Tenanglah, Ibu tahu dan yakin akan kemampuann Edo. Ia pasti tahu apa yang harus dikerjakannya dalam posisi yang sulit, mudah- mudahan ia sudah berhasil di evakuasi dan berada di basecamp”. Ibunya mencoba menenangkan. “Terus sekarang bagaimana?” “Rara akan menuju ke Basecamp siapa tahu Mas Edo sudah berada di sana” Setangkai Edelwise Dari Puncak Slamet 11

“Baiklah jaga dirimu baik-baik, cepat-cepat kabari rumah kalau ada perkembangan dan hati-hatilah” ************************ Malam telah berganti siang, sinar mentari yang menyembul diantara Sindoro dan Sumbing merayap masuk ke dalam tenda. Sementara suara burung-burung hutan mulai menyanyikan lagu menyambut kehadiran sinar surya pagi itu. Perlahan-lahan Edo membuka kantung tidur yang melindunginnya dari sengatan udara dingin menusuk tulang. Dipegangnya luka memar, dan lecet yang ia derita. “Auh…” Edo meringis menahan perih. Galih terbangun dari tidurnya mendegar rintihan Edo. “Ah kamu ini Do, selalu membuat aku bangun saat aku lagi enak tidur. Eh… bagaimana lukamu, coba sini aku periksa!” Galih mendekati Edo sambil mengamati lukannya. “Wah… lukannya belum kering juga. Lho kok lengan bajumu merah? Jangan-jangan lenganmu luka!” Galih membuka kaus lengan panjang Edo perlahan memeriksa apakah ada luka, kerena lengan baju Edo terdapat bercak darah. “Wihh… disini juga ada, tunggu dulu, rupanya luka di lengan kirimu lebih lebar Do. Sini biar aku service, kalau nggak cepat-cepat ditangani, kamu akan kehabisan darah.” Galih cepat-cepat memberi betadine pada luka Edo dan membalutnya dengan perban agar pendaharahan dapat dihentikan. Setelah beres dengan luka Edo, mereka sarapan dengan mie instan dan bubur gandum, kemudian jeli sebagai hidangan penutup. Hari telah semakin siang, mentari sudah meninggi, Edo dan Galih segera melanjutkan perjalanan setelah membenahi perlangkapan Setangkai Edelwise Dari Puncak Slamet 12

mereka. Kini mereka akan menuruni punggungan gunung malang setelah melewati hulu sungi lutung. Formasi kini berubah Edo di depan membuka jalur, agar gerakan mereka seimbang. Jika Edo di belakang maka akan terseret-seret oleh langkah Galih karena stamina Galih saat itu lebih prima. Dan galih juga bisa mengamati langkah-langkah Edo yang terseok-seok. Tanaman yang mereka lewati semakin rimbun, pertanda akan memasuki hutan lembah dalam. Jalanan semakin tidak kelihatan karena rimbunnya tumbuhan liar. Mereka mengikuti jalur binatang yang biasa lewat dan mengikuti jalur aliran air. Sinar mentari tak jelas dari pandangan karena dedaunan menutupi radiasinya sehingga pancaranya tak sampai ke tanah. Tumbuhan penyengat dengan daun yang mempunyai sisik seperti rambut tajam (dalam bahasa jawa lugut) membat perjalanan mereka semakin pelan. Belum lagi duri-duri dari akar-akaran benalu setiap pohon yang ada, hal itu membuat Edo menebang dan membabat semua yang menghalangi jalannya. Tepat tengah hari mereka berhenti sejenak. Tenaga mereka telah terkuras dalam perjalanan yang menjemukan itu. Galih membuat lapak dengan membabat rumput-rumput liar untuk tempat beristirahat. Sementara Edo melakukan pekerjaan yang ringan karena lengan kirinya masih sulit digerakan, luka sobekannya cukup lebar. Menu makan siang mereka kali ini adalah nasi putih dengan sarden. Edo dan Galih segera melahap makanan yang masih hangat untuk mengisi perut mereka yang keroncongan. Belum habis makanan yang mereka santap, tiba-tiba terdengar suara aneh dari semak-semak. Semacam suara kucing mengaung, tapi kali ini suara itu terdengar lebih berat. Kemudian terlihat semak-semak bergoyang sangat kuat di arah jam 3. Goyangan semak-semak Setangkai Edelwise Dari Puncak Slamet 13

semakin kuat diikuti suara aungan yang semakin lama semakin mendekat. Edo dan Galih saling berpandangan mata. Mereka menunggu dengan cemas apakah yang akan terjadi dengan mereka. Galih mengambil pisau belati yang diselipkan di pinggang sebelah kirinya. Tiba-tiba dua ekor harimau jawa dengan warna kulit lebih gelap muncul di depan mereka dengan air liur mereka yang menetes. Galih dan Edo mundur beberapa jengkal. Hati mereka berdebar-debar, sementara Galih telah mencabut belati dari sarungnya, ia segera mengarahkannya pada binatang liar itu. “Ssstt… tunggu lih, kita lihat dulu apa maunya…” Bisik Edo pada Galih yang siap dengan belatinya. Galih menatap tajam macan itu dengan belati masih dipegang kuat di tangan kanannya. Macan jawa itu memandang tajam ke arah mereka berdua. Binatang itu mengendus setiap benda yang ada, masing-masing barang tak luput dari endusan binatang yang kelihatan lapar. Edusannya berhenti pada sisa sarden hangat yang masih berada di nasting. Dengan rakus dua binatang itu melahap sarden tanpa tersisa sedikitpun bahkan yang masih dipiring pun dihabiskan dan dilahap dua hewan buas itu. Panthera tigris sondica adalah nama latin dari binatang yang mereka temui. Harimau jenis ini hanya dapat dijumpai di hutan-hutan jawa, maka orang-orang menyebutnya dengan harimau jawa atau macan jawa. Yang membedakan dari harimau yang lain adalah kulitnya yang khas dibadingkan kulit harimau lain. Satwa ini dapat dijumpai di hutan-hutan tropis seluruh pulau jawa. Harimau jenis ini termasuk satwa yang dilindungi sesuai dengan UU no. 5 tahun 1990 Setangkai Edelwise Dari Puncak Slamet 14

dan SK Menteri Kehutanan No. 301Kpts-II/1991, karena populasinya yang sedikit. Macan jawa itu kemudian meninggalkan mereka setelah puas melahap sarden sisa-sisa makan mereka, Galih dan Edo tercengang melihat pemandangan itu. Mereka saling berpandangan mata keheranan. “Gila, kirain tuh macan mo menyantap kita berdua Do, ternyata cuma mo minta sarden. Aku udah siap-siap mau menyikat mereka..” “Mereka cuma lapar, kebetulan aja kita masak sarden dan baunya tercium oleh mereka sehingga menarik mereka kemari” “Udahlah kita makan yang instan aja, nggak usah ada acara masak-memasak, untung bukan dinosaurus yang datang?!!!!” “Kamu ini, mana ada dinosaurus di jaman begini…” Karena sarden telah dihabiskan dua macan kelaparan, akhirnya biskuit menjadi sasaran kelaparan mereka selanjutnya. Tak cukup lama mereka berada di tempat itu, perjalanan yang mereka tempuh masih cukup jauh. Setelah membenahi perlangkapan mereka segera melanjutkan perjalanan. Kini lumut-lumut mewarnai perjalanan mereka, vegetasi mulai berubah, pohon albasia dan pinus-pinus liar menjadi bagian dari perjalanan. Kadang mereka harus jatuh-bagun karena jalan yang mereka lewati cukup licin dan tertutup lumut. Akar-akaran juga menyelingi dan membuat perjalanan mereka menjadi lambat. Belati dan sangkur selalu saja terayun menebas apa saja yang menjadi penghalang perjalanan. Medan yang mereka lewati mulai melandai, gunung malang telah mereka lewati. Menjelang malam, mereka mencari tampat yang landai untuk mendirikan tenda. Perjalanan yang mereka tempuh Setangkai Edelwise Dari Puncak Slamet 15

cukup panjang dan menyita tenaga ditambah perjumpaan mereka dengan macan kelaparan, hal itu membuat Edo dan Gaih harus berpikir dan mengambil keputusan dengan cermat. Tenda telah berdiri, Edo membuat makanan, sementara Galih membenahi perlengkapan dan membuat rencana perjalanan dan logistik besok. “Berapa ketinggian kita Lih?” Edo mengawali pembicaraan. “2.100 Mdpl, 600 meter lebih tinggi dari Basecamp, ketinggian Basecmp 1.500 Mdpl. Arah kita 135 derajat dari mulai start di Plawangan. Apa rencanamu selanjutnya Do?” “Sepertinya kita sudah terlalu jauh, Basecamp kan di 75 derajat, sedangkan kita di 135 derajat, berarti kita putar arah kita 50 derajat, ke arah timur laut, jika kita mengikuti arah 135 derajat maka sudut lintasan kita akan semakin lebar dan kita bisa tersesat ke hutan serang yang letaknya di bawah Basecamp.” Edo menyarankan sambil melahap mie instan hangat buatannya. “Bagus juga analisamu, aku udah muak dengn macan sialan itu tadi, kita butuh tenaga yang cukup, apalagi kamu dengan luka- lukamu itu. Kamu harus minum banyak penambah darah, nih untung aku bawa vitamin penambah darah,”. Oceh Galih sembari melemparkan kotak obat. “Ya,… mudah-mudahan fisiku kuat sehingga kita bisa keluar dari rimba belantara ini.” Edo berharap penuh semangat, tapi itu semua tidak memendam rasa gelisahnya pada Rara yang mungkin sedang menunggunya di Basecamp. ************************* Pagi itu kabut turun begitu tebal. Jarak pandang hanya dua meter. Mentari yang menjadi pelita sama sekali tak terlihat karena Setangkai Edelwise Dari Puncak Slamet 16

tebalnya kabut. Burung-burung yang biasanya bernyanyi riang enggan untuk sekedar mengeluarkan kicaunya. Entah pertanda apa pagi itu? “wah bagaikan negeri di awan…..” Ungkap Edo sembari membuka tenda. “Ini sih bukan di negeri awan lagi Do, jangan-jangan kita di surga atau kayangan”. Pasangan pendaki yang selalu kocak dalam kondisi apapun ini ngelantur macam-macam menghadapi kabut tebal pagi itu. Sebenarnya jarak mereka dengan base camp tinggal 4 km lagi, camp yang sekarang mereka tempati berada di atas bukit yang berada di sisi selatan jalur Bambangan. Setelah menyudahi sarapan pagi itu, mereka segera bergerak cepat menuju 50 derajat. Golok, dan sangkur andalan mereka selalu siap di tangan. Gairah untuk menuju basecamp menggebu-gebu dalam benak mereka. Mereka berjalan sangat cepat bahkan terlalu cepat untuk ukuran pendaki yang tak kenal medan, padahal kabut tebal semakin menutupi pandangan mereka. Saking cepatnya perjalanan, mereka tak menyadarai telah berada di puncak punggungan bukit. Trek berikutnya adalah turunan curam sebesar 70 derajat. Saking semangatnya, mereka langsung saja terobos semak-semak yang menutupi tepi puncak itu dan akhirnya mereka berdua jatuh bergulingan ke arah ladang terakhir penduduk yang ada di bawahnya yang berjarak seratus meter. “Aaaaaaaaaaa…… Tolong…. Edo kamu dimana…. Jalan apa ini……..” Galih berteriak sesumbar sambil memanggil Edo. “Kita dapat bonus khusus lih…….. hati-hati…. Kita ketemu di bawah……..” Setangkai Edelwise Dari Puncak Slamet 17

Mereka tak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Gravitasi telah memaksa mereka turun dengan cepat. Tubuh mereka menggelinding bagaikan bola. Kadang ranting dan tumbuhan semak menggores badan mereka. Edo dan galih mendapat luka robek yang cukup serius di sekujur tubuh. Untunglah mereka tidak menderita patah tulang. Petani setempat yang menemukan mereka pingsan di batas ladang segera meminta bantuan SRU Basecamp untuk membawa mereka turun. Di Basecamp Rara masih menunggu Edo dan berharap ia datang dengan selamat. Ia kaget, kemudian tersadar dari lamunan ketika team SRU datang membawa dua korban pendaki yang terjatuh dari bukit. Dengan cepat ia menghampiri dua tubuh yang berlumuran darah itu. Air matanya segera mengalir deras ketika ia mengetahui dua korban itu adalah Edo dan Galih. Dengan berbagai cara Rara mencoba menyadarkan Edo. “Tenanglah Mba, ia masih hidup”. Sugeng, petugas pos pendakian mencoba menenangkan Rara. “Lukanya memang serius, tapi nampaknya mereka tidak menderita patah tulang. Mungkin mereka pingsan karena seringnya benturan dengan batang-batang pohon. Perlu sedikit waktu untuk menyadarkan mereka, tapi saya jamin kondisi mereka masih sehat”. “Do… Buka matamu…” “Ni aku Do…. Rara” “Ayo dong….” “Aku nggak mau kehilangan kamu….” Mata Edo perlahan-lahan membuka sambil meringis menahan luka sobek di sekujur tubuhnya. “Dimana aku ini?, mana galih.” Edo mulai bersuara. Setangkai Edelwise Dari Puncak Slamet 18

“Aku Rara Do, kamu nggak papa, kamu akan sembuh Do,” “Betulkah engkau Rara?” Pandangan matanya masih belum jelas sehingga ia memastikan. “Ya, aku disini untukmu” “Rara…. Aku berikan apa yang aku janjikan padamu sebelum aku berangkat. Bunga Edelwise yang kujanjikan itu”. Edo membuka kantong saku di celana lapanganya dan menyerahkan bunga edelwise yang dipetiknya sesaat setelah terjadi kebakaran kepada Rara. “Dengar Rara,…” Edo terdiam sejenak. “Selama dua hari aku mencoba untuk survive dalam kondisi seperti tragedi februari yang kita alami dulu, dan percayalah selama tiga hari ini engkau selalu menemaniku disini.” Edo menunjuk dada kirinya, kemudian menempatkan tangan kanan Rara di dada kiri Edo. Kemudian dengan lirih Edo berkata. “Perlu engkau tahu bahwa yang merasakan semua adalah HATI, panca indera kita tak mampu mencerna apa yang ada dalam hati kita. Aku melakukan ini bukan untuk pengorbanan akan tetapi untuk ketulusan. Pengorbanan adalah mengharap balasan dari apa yang pernah kita kerjakan. Tapi ketulusan akan meresap ke dalam inti jiwa walaupun tanpa balasan. Ia akan tumbuh bersemayam di dalamnya menyejukan dan menyuburkan bunga-bunga kehidupan tanpa pamrih dan remeh-remeh posesivitas. Hati adalah inti dari segala rasa, bebaskan ia dari perasaan berharap sesuatu, biarkan dia meniti jalan menuju ketulusan. Benih kebahagian akan tumbuh jika kita melakukan apapun dengan tulus. Kuharap engkau paham dan mengerti apa yang aku katakan. Itulah kenapa aku mendaki untuk setangkai Edelwise, tiada lain hanya untuk ketulusan.” Setangkai Edelwise Dari Puncak Slamet 19

Air mata bahagia Rara menetes menyambut mentari yang mulai meninggi. Kabut tebal yang menyelimuti pegunungan Slamet mulai beranjak pergi menuju ke daerah yang lebih rendah. Suasana di base camp mulai hangat oleh radiasi sang surya. Beberapa anggota team SRU dan pers sibuk dengan aktivitas mereka pasca tragedi kebakaran Gunung Slamet. Dalam tragedi itu ditemukan enam orang tewas terjebak kobaran api sementara sembilan lainya selamat termasuk Edo dan Galih. Edo dan Galih adalah dua orang terakhir yang berhasil menuju basecamp dengan selamat. SAR gabungan atau SRU masih melakukan pencarian, siapa tahu masih ada korban lain. *********************tamat********************* Karangbawang 17 Mei 2007 22.40 wib Copyrigt By : EKO PURNOMO Setangkai Edelwise Dari Puncak Slamet 20


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook