JURNAL REFLEKSI DWIMINGGUAN Calon Guru Penggerak Angkatan 5
Eva Rahmawati Seorang guru TK dari Ngawi Jawa Timur yang merupakan calon guru penggerak angkatan 5 01
02 MODEL DRISCOLL Pada refleksi dwimingguan ini saya memilih menggunakan metode refleksi model ke-8 yaitu Model Driscoll yang diadaptasi dari refleksi yang digunakan para praktik klinis. Model yang dikenal dengan “Model What?”
WHAT? Deskripsi dari peristiwa yang terjadi Jadwal kegiatan pembelajaran setiap pagi di kelas adalah berdoa, presensi, menambah dan mengulang hafalan surat pendek, hafalan doa-doa keseharian, maupun hadist- hadist anak. Kegiatan pada sesi ini kemudian akan dilajutkan dengan membacakan buku cerita sesuai topik belajar. 03
04 Pada kegiatan materi pagi ini, saya mengharapkan anak-anak mampu duduk rapi dan tenang untuk bersama-sama aktif menghafal dan mendengarkan pembacaan buku cerita yang saya pimpin. Namun yang terjadi adalah ada-ada saja keusilan beberapa anak yang mengganggu temannya. Seperti menolek-colek telinga teman, posisi duduk melingkar yang semakin maju-maju sehingga menutupi pandangan temannya, ada yang “ndelosor” atau rebahan pada kondisi duduk yang melingkar tadi. Sehingga kadang saya meninggikan suara hafalan atau pembacaan buku cerita, atau bahkan saya harus menegur dan menata posisi duduk anak-anak. Keadaan duduk rapi dan anak-anak terlihat manis mengikuti pembelajaran ini tidak akan bertahan lama, padahal untuk merapikan dan menegur anak-anak yang usil tadi juga membutuhkan waktu. Keadaan anak-anak yang duduk tenang di lingkaran itu hanya belangsung sebentar saja, karena setelahnya tangan-tangan usil itu akan mulai lagi “njawil” teman di sebelahnya lagi, atau mulai sesi ngobrol sendiri dengan teman di sebelahnya.
05 Selain teguran agar tenang, biasanya saya acungkan jari jempol ke anak yang ramai biar bisa mengikuti hafalan bersama teman. Atau kadang saya akan berpindah duduk di sebelah anak yang saya lihat sebagai sumber pemecah konsentrasi kelas saat belajar. Atau bahkan sesekali saya akan mengancam, jika tidak mau ikutan menghafal maka nanti tidak akan diajak bermain atau harus berani menghafal sendiri.
SO WHAT (Analisis dari peristiwa yang terjadi) Saat merasa kelas saya tidak dalam kondisi tenang, rapi dan anteng sesuai keinginan saya, tentunya saya merasa sedih dan kesal. Saya hanya ingin anak-anak terbiasa mengucapkan bacaan-bacaan tersebut biar lama-kelamaan akan hafal. Tentunya saya sebagai seorang guru akan senang jika target sekolah terkait hafalan anak-anak bisa tercapai dengan bagus, begitupun harapan dari para orang tua. Pasti akan senang jika anaknya sudah lancar menghafal surat-surat pendek, hadits dan doa-doa keseharian sebagai ciri sebagai individu yang memiliki nilai religious serta memiliki nilai kerohanian beriman dan bertakwa.
07 Namun, setelah saya belajar pada modul 1.1 tentang filosofis pemikiran Ki Hajar Dewantara saya menyadari bahwa tindakan saya ini tidak benar. Anak-anak itu sebagai makhluk, manusia, dan benda hidup yang hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Kita sebagai pendidikan hanya dapat menuntun hidup atau tumbuhnya kekuatan-kekuatan itu, agar mereka dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya).Bahwa anak-anak memiliki cara, minat, dan gaya belajar yang berbeda- beda. Anak-anak yang saya sebut usil, sebenarnya mereka lebih nyaman belajar secara kinestetik. Anak-anak yang suka delosoran mungkin mereka tidak nyaman dengan kegiatan yang hanya mengandalkan mulut untuk berbicara atau menghafal. Atau ada anak yang diam saja namun sejatinya telah merekam semua kegiatan tersebut dengan kemampuan auditorinya. Dan lain sebagainya.
Setiap anak memiliki keunikannya sendiri- sendiri. Allah sang pencipta sudah memberi bekal masing-masing kepada mereka. Sehingga seharusnya saya bisa mengetahui karakteristik setiap anak, sehingga semua anak-anak bisa terfasilitasi belajar sesuai dengan gaya belajarnya. Anak-anak yang tidak bisa diam tangan dan kakinya, seharusnya saya memberikan arahan hafalan dengan kode-kode gerakan tangan dan tubuh, sehingga sambil menghafal mereka tetap bisa sambil bergerak. Dengan ada gerakan-gerakan yang terlihat maka anak visual juga bisa melihatnya sambil belajar. Untuk anak-anak yang suka belajar dengan mendengar, maka pada kegiatan tersebut saya sebagai seorang guru seharusnya memperhatikan suara, gaya bicara dan juga intonasi. 08
Pendidikan sejatinya menciptakan manusia yang mencintai nilai-nilai kemanusiaan. Saya seharusnya bisa mengerti bahwa anak-anak usia PAUD yang saat ini ada di kelas saya secara kodratnya masih sangat senang dengan bermain, oleh sebab itu pembelajaran yang seharusnya saya lakukan harus selalu membuat anak senang dan gembira saat bermain. Bukan ancaman ataupun hukuman. 09
10 NOW WHAT? Tindak lanjut dari peristiwa yang terjadi) Dari berbagai kejadian tiap hari di kelas saya tentunya akhirnya banyak hal yang harus saya perbaiki. Saya tidak akan marah atau mengancam anak-anak lagi, yang saya lakukan adalah mengganti cara belajar anak- anak. Hafalan dengan kegiatan berdiri melingkar dan berputar, bermain tulis bintang atau pemberian reward untuk anak yang fokus, metode lomba siapa cepat dapat point, dan lain sebagainya. Kegiatan- kegiatan seperti itu esensinya tetap dapat yaitu menghafal surat-surat pendek, hadits dan doa dan tentunya kegiatan tersebut akhirnya juga sangat disenangi anak-anak, mereka gembira saat belajar.
Selesai kegiatan sekolah, semua guru satu jenjang biasanya akan secara otomatis akan menceritakan keadaan kelasnya hari ini. Baik keluhan, berita baik, atau hal-hal yang tak terduga terjadi di kelas. Maka kegiatan guru selepas anak pulang sekolah bias any digunakan untuk sharing informasi terkait praktik belajar di kelasnya tadi. Dan saya pun juga akan membagikan kejadian baik di kelas saya setelah saya mencoba berbagai cara agar tujuan belajar yang sudah terencana bisa tercapai.
Terima kasih o85649014168 [email protected] Guru TK Harum Eva Rahmawati CGP #5 Ngawi
Search
Read the Text Version
- 1 - 13
Pages: