Saat sekolah dari rumah, saya tidak banyak menuntut kepada anak. 49 Selama tugas dikerjakan, tidak mengapa jika dikumpulkan malam hari (tapi tetap harus dikomunikasikan dengan guru dan pihak sekolah, kendala yang dihadapi). Pernah beberapa kali anak mogok tidak mau mengerjakan tugas karena merasa terlalu banyak yang dikerjakan. Saat menghadapi situasi tersebut, saya mengizinkan ia main sepuasnya hingga hilang rasa jenuh dan mau mengerjakan tugas. Jika anak masih mogok juga, saya minta ia izin kepada gurunya saat tidak mengerjakan tugas dan memberitahukan alasannya melalui voice note. Hal ini dilakukan untuk melatih anak bertanggung jawab atas konsekuensi pilihannya untuk tidak mengerjakan tugas. Rumah akan selalu menjadi tempat terbaik untuk pulang, maka jadikan ia sebagai griya cinta untuk bicara, tumbuh, dan berkembang bersama. Sehingga dalam situasi apapun, keluarga akan terasa selalu hangat dan menentramkan Semoga pandemi lekas berlalu dan kita bisa hidup normal seperti sediakala [ ].
Bicara, tumbuh, dan berkembang bersama adalah 50 kunci penghilang kebosanan selama berada dirumah saja. Mengerjakan aktivitas yang disukai bersama, saling bicara dan membicarakan banyak hal, mulai yang tidak penting hingga urgent dibicarakan, serta senantiasa meng-update diri dengan ilmu melalui webinar yang bertebaran secara online. -Gitaria Eka Puspitasari-
08 Pandemi Mengajarkan Aku untuk Mensyukuri Hal-hal Kecil At Tachriirotul M. Penulis adalah seorang ibu rumah tangga yang sedang berupaya menekuni kegemarannya menulis dan membuat konten. Ceritanya bisa disimak di sliceofstories.com @attachriirotul At Tachriirotul M
08 Pandemi Mengajarkan Aku untuk Mensyukuri Hal-hal Kecil -At Tachriirotul M.- Bulan terus berganti, tak terasa kita sudah berada di penghujung 52 tahun 2020. Tahun ini kita menjalani hari demi hari yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Kali ini Allah meminta kita menghadapi situasi yang tak biasa, sebuah ujian keadaan yang diberikan kepada seluruh manusia tanpa pandang bulu. Aku kembali teringat saat Cina mengumumkan adanya wabah Covid-19 di kota Wuhan pada Januari 2020 lalu. Saat itu, aku sedang berkumpul bersama keluarga di rumah. Ibu dan adikku datang dari Jogja untuk berkunjung. Kami menghabiskan waktu bersama-sama selama beberapa hari untuk melepas rindu. Sebagai tuan rumah, aku masih bisa mengajak mereka berkeliling ibu kota, mencoba Mass Rapid Transit (MRT) yang belum lama beroperasi, dan berbelanja pakaian di pasar Tanah Abang. Saat itu, kami tidak mengikuti perkembangan berita Covid-19 yang terjadi di kota Wuhan karena menurut kami wabah tersebut tidak akan tersebar hingga ke Indonesia.
Ternyata, makhluk tak bersel yang bernama virus Corona ini 53 ditakdirkan untuk menghampiri seluruh penduduk di berbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia. Sebagai salah satu makhluk ciptaan-Nya, kali ini kita diminta berdiam diri sejenak agar bumi bisa beristirahat dan memulihkan diri. Allah seperti memberi ruang bagi makhluk hidup lain untuk menikmati hak-hak mereka di bumi. Seketika dunia menyepi, setiap orang berada di setiap sudut rumah mereka bersama orang-orang terdekat. Dalam sekejap, dinamika kehidupan kita berubah. Kita tidak memiliki pilihan lain selain harus beradaptasi dengan situasi yang baru. Ruang gerak kita terbatas, kita harus bisa melakukan segalanya dari rumah. Sementara, rumah menjadi satu-satunya tempat paling aman untuk bernaung. Seandainya bisa berbicara, tubuh kita mungkin ingin bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Aku sempat mengalami gejala psikosomatis ringan setiap membaca berita tentang perkembangan kasus Covid-19 di Indonesia, termasuk saat menyimak cerita teman- teman sejawat Apoteker yang bertugas di lini depan layanan kesehatan. Aku tidak bisa membayangkan jika berada di posisi mereka. Situasi seperti ini pasti begitu mendebarkan bagi seluruh tenaga kesehatan. Setiap kali aku membaca cerita di layar ponselku, jantungku berdetak lebih cepat, asam lambungku meningkat, dan kepalaku mendadak pusing. Di dunia ini, tidak ada seorang pun yang siap menghadapi situasi ini. Kita semua sedang berusaha melakukan yang kita mampu, bermula dari hal yang paling sederhana yaitu menjaga kesehatan diri dan keluarga, termasuk kesehatan mental dan pikiran.
Lambat laun, waktu mengajarkan kita untuk terus beradaptasi 54 dengan keadaan. Selama menjalani masa karantina, aku memiliki ruang untuk berkontemplasi. Allah tidak akan memberi ujian tanpa kebaikan di dalamnya. “Sungguh, bersama kesulitan ada kemudahan”\" (QS. Al-Insyirah, ayat 6). Lewat Pandemi, aku belajar mensyukuri hal-hal kecil yang ada. Bisa jadi, hal-hal kecil itu adalah bentuk rezeki yang paling berharga dari-Nya. Waktu adalah bentuk rezeki yang tak bisa terganti Satu tahun adalah waktu terlama buatku untuk tidak bertemu dengan ibu. Aku begitu menyesal sering menunda mengunjungi ibu yang hanya terpaut jarak 600 km, padahal aku bisa saja menemuinya dengan waktu tempuh dua jam perjalanan. Selama Pandemi, kami hanya bisa bertegur sapa lewat layar. Saat aku merasakan rindu yang begitu dalam, aku hanya bisa berdoa, bercerita dan menitipkan salam rindu untuk ibu kepada Allah. Aku terus meminta satu hal kepada- Nya. “Ya Allah, berikan ibuku kesehatan dan umur yang panjang. Pertemukanlah kami dalam keadaan sehat, tanpa kurang suatu apapun.” Pandemi membuatku tersadar bahwa waktu yang telah berlalu bukan milik kita lagi. Jika situasi kian membaik dan kehidupan benar- benar kembali normal, aku ingin memperbaiki satu hal yaitu tidak menunda untuk mengunjungi ibu. Penantian tanpa kepastian itu menyesakkan. Kita tidak pernah tau, seberapa lama Allah memberi kita jatah untuk bernafas.
Kesehatan adalah aset 55 Salah satu pencapaian terbesarku selama pandemi adalah perubahan waktu tidur yang teratur. Bisa dikatakan, waktu tidurku begitu berantakan sejak kelas 3 SMA. Aku seringkali tidur di atas pukul 00.00 yang membuat waktu pagiku begitu berantakan. Saat awal-awal pandemi, aku sempat mengalami sesak nafas dan jantung berdetak lebih cepat. Saat itu aku masih dengan kebiasaan tidur yang lama. Aku mencoba merebahkan badanku, mengatur nafas, namun rasanya hari itu jatah bernafasku akan habis. Aku merasakan keringat dingin dan dirundung ketakutan. Malamnya, aku memaksakan diri beristirahat secepat mungkin. Esok pagi, aku merasa badanku begitu enak. Setelah 14 tahun, rasanya baru kali ini aku merasakan badan yang benar-benar segar sepanjang hari. Suasana hati di waktu pagi pun mulai membaik. Sejak hari itu, aku bertekad untuk memiliki waktu tidur teratur, yaitu pukul 9 pm – 4 am (6-7 jam). Alhamdulillah, kebiasaan tersebut masih terus bertahan hingga sekarang. Sumber rezeki yang masih mengalir dan perspektif baru mengelola keuangan keluarga Di tengah sulitnya situasi ekonomi selama pandemi, aku benar- benar bersyukur karena Allah masih mengalirkan keran rezeki keluarga kami melalui pekerjaan suami. Meski sulit, namun banyak sekali teman-teman yang justru menemukan keran rezeki baru selama Pandemi ini. Allah seperti membuka keran-keran rezeki lain yang tersebar di banyak tempat. Salah satu kebiasaan yang berubah di keluarga kami adalah perilaku konsumtif. Kami berupaya menahan hawa nafsu untuk berbelanja hal-hal yang merupakan kebutuhan tersier.
Pandemi membuka pikiran saya untuk lebih terbuka dalam mengelola 56 perencanaan keuangan keluarga bersama pasangan. Kami sebelumnya juga sering membuat perencanaan keuangan keluarga, namun hanya sekedar sebagai formalitas. Kami sering mengalami kebocoran pengeluaran di banyak tempat. Ada banyak hal yang kami bicarakan dan sesuaikan. Kami mempertimbangkan untuk menambah alokasi pos keuangan yang selama ini tidak kami anggarkan, seperti pos untuk dana darurat, investasi masa depan, tabungan untuk pembelian besar, dan budget untuk kehidupan sosial atau entertainment. Semoga perspektif baru ini dapat membuat kami lebih konsisten dan berkomitmen untuk mengoptimalkan rezeki yang diberikan-Nya secara lebih bijak. Peluang belajar terbuka lebar Sebagai Ibu yang beraktivitas di ranah domestik, aku cukup bersyukur karena memiliki kesempatan belajar yang lebih banyak. Aku mengikuti beberapa webinar dengan topik seputar parenting, content creation, penulisan, dan pengembangan diri. Aku seperti termotivasi lagi karena memiliki kesempatan untuk menimba ilmu secara informal. Pandemi menyatukan manusia untuk bergandengan tangan agar dapat melewati situasi sulit ini bersama-sama. Kita pasti sepakat bahwa Pandemi membuat banyak orang ingin mendermakan dirinya untuk berbagi ilmu sesuai bidang keahliannya masing-masing, baik itu lewat IG Live, webinar gratis maupun berbayar, kuliah whatsapp, dan sebagainya. Meski memiliki keterbatasan ruang gerak, kita sama-sama menyadari bahwa otak kita harus tetap bekerja.
There is no rainbow 57 without rain Selalu ada pelangi setelah hujan. Setiap hari, semua orang di seluruh dunia pasti menyambut pagi dengan harapan yang sama, semoga Pandemi lekas berlalu. Saat ini para peneliti, perusahaan farmasi, dan instansi pemerintah sedang berupaya untuk menemukan vaksin Covid-19, sebuah penawar yang merupakan representasi dari harapan kita semua. Alangkah bijaknya jika kita turut berpartisipasi sesuai kemampuan kita, yaitu menahan diri bepergian dan berkumpul untuk hal yang tidak perlu. Jangan sampai pertahanan yang kita lakukan selama kurang lebih delapan bulan menjadi sia-sia. Kita harus saling percaya bahwa akan ada masa indah setelah pandemi ini berlalu. Akan ada momen dimana kita bisa kembali menghirup udara segar tanpa rasa kawatir yang berlebihan, menikmati menu hidangan di restoran tanpa rasa waspada, menyusuri jalan-jalan di kota kelahiran dan merajut kenangan bersama keluarga tanpa kecurigaan, dan bepergian ke tempat-tempat yang sudah masuk ke dalam wishlist. Saat Pandemi ini berlalu, kita pasti merasa telah menjadi manusia yang berbeda, manusia yang lebih peduli dengan bumi tempat kita berpijak, manusia yang kaya empati, yang menghargai momen berkumpul dengan keluarga dan sahabat, dan mensyukuri setiap hal kecil yang diberikan Sang Maha Pencipta. Sejatinya, jiwa kita seperti terlahir kembali dengan keadaan yang lebih baik [ ].
Selalu ada pelangi setelah hujan. Setiap hari, semua 58 orang di seluruh dunia pasti menyambut pagi dengan harapan yang sama, semoga Pandemi lekas berlalu. -At Tachriirotul M.-
09 Bersama Kesulitan Ada Kemudahan Dewi Nurhasanah Dewi Nurhasanah adalah seorang ibu rumah tangga asal bandung yang merantau ke tangerang selatan. Mempunyai dua orang anak yang salah satunya adalah anak spesial. Tertarik dengan dunia parenting. montessori dan zumba. Ceritaku bisa disimak di brendwie.blogspot.com. @brendwie Dewi Brend
09 Bersama Kesulitan Ada Kemudahan -Dewi Nurhasanah- Awal tahun 2020, dunia mulai dihebohkan dengan adanya wabah 60 virus yang berkembang dengan sangat cepat. Wabah virus ini dikenal dengan Novel Corona Virus 19 atau sekarang lebih dikenal dengan Covid-19. Virus tersebut berasal dari Wuhan, China dan penyebarannya langsung ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Bulan Maret 2020 menjadi awal diberlakukannya lockdown atau PSBB di Indonesia. Semua hal berubah, dan semua aktivitas harus bisa dilakukan di rumah. Rasa resah dan khawatir tentunya menyelimuti kami sekeluarga, apalagi memiliki anak spesial dengan riwayat penyakit yang rentan tertular virus ini. Anak pertama kami memiliki riwayat epilepsi yang baru sekitar awal Februari dirawat di rumah sakit bersama dengan adiknya yang saat itu mendapat diagnosis bronkopneumonia. Di saat yang sama, saya mendapat berita bahwa ciri-ciri orang yang kena infeksi Covid-19 adalah demam, batuk, sesak dan yang paling parah adalah terkena pneumonia. Perasaan saya langsung khawatir dan takut jika anak saya terkena infeksi virus Covid-19.
Tetapi ternyata dokter menyatakan anak saya tidak terinfeksi Covid- 61 19. Syukur Alhamdulillah yang bisa saya ucapkan saat itu, walaupun perjuangan belum berakhir mengingat keduanya rentan tertular virus tersebut kapan saja. Memulai aktivitas di rumah saja membuat iklim di rumah kami pancaroba, berubah-ubah sesuai dengan kondisi hati dan pikiran kami semua. Yang sering terjadi memang seperti hujan angin dan badai, walau tak jarang ada matahari yang langsung bersinar terang dan pelangi pun muncul. Suami yang merasa stres karena kesulitan menyesuaikan diri bekerja di rumah, anak-anak yang merengek tak terkendali karena tak bisa keluar rumah dan bermain bersama teman- temannya, dan saya yang awalnya senang mendapat bantuan ternyata tidak sesuai dugaan karena kondisi rumah menjadi lebih sering kotor, sering mendapat keluhan ini dan itu, belum lagi banyaknya aktivitas online yang saya ikuti. Hal tersebut sempat membuat saya kewalahan, merasa tidak becus jadi istri, ibu dan manajer keluarga. Setelah berjibaku dengan berbagai kondisi sulit, akhirnya saya mencoba berdamai dengan keadaan dan menggugah kreativitas saya dalam mengatur waktu dan cara komunikasi dengan semua anggota keluarga. Dimulai dengan berkomunikasi dengan suami untuk memulai homeschooling lagi bagi anak-anak kami. Saya sudah menyusun berbagai kegiatan dan melakukan screening tumbuh kembang anak secara mandiri dengan bantuan KPSP dan Denver II. Tetapi ternyata pelaksanaannya tidak semudah yang dibayangkan. Anak sulung kami hampir selalu menolak permainan yang saya tawarkan, dia hanya mau melakukan aktivitas yang disukainya. Sempat merasa hopeless, lalu kami berkonsultasi kembali dengan dokter syaraf anak, beliau menyarankan untuk terapi okupasi.
Tetapi, kami lebih memilih untuk mendaftarkannya ke sekolah 62 Montessori milik seorang psikolog yang telah sanggup menangani berbagai keluhan anak spesial kami. Alhamdulillah, setelah berkomunikasi dengan gurunya, saya jadi paham bahwa yang harus saya khawatirkan adalah bukan tentang cara belajar anak, tetapi bagaimana cara menjaga rasa ingin tahu dan gairah belajarnya tidak padam. Berawal dari hal tersebut, akhirnya saya mengikuti berbagai seminar dan workshop mengenai parenting agar bisa memahami anak. Hal yang perlu disyukuri dari kondisi ini adalah banyaknya workshop dengan tema parenting dan semuanya dilakukan dengan cara online. Semakin saya belajar, semakin saya menyadari bahwa yang harus saya lakukan terlebih dahulu adalah memahami diri dan menuntaskan luka masa lalu yang masih menganga. Hal itu juga yang menjadi penyebab seringnya bentakan dan teriakan yang saya layangkan ke anak-anak, padahal jika saya pikirkan kesalahan mereka hanyalah hal kecil, yang terasa besar adalah adanya reaksi berlebih yang saya lakukan tanpa sadar. Belum lagi depresi yang pernah menyapa diri, lalu berniat ingin melarikan diri. Kasih sayang Allah memang sungguh luar biasa, ketika saya sedang berada di titik terendah, dan merasa tak ada orang yang bisa menolong, Allah memberikan jalan cahaya bagi saya untuk terus berjalan menuju jalan-Nya. Lalu, saya bertemu dengan Dandiah Care, melalui mereka saya berproses kembali menyembuhkan luka masa lalu dan juga belajar bagaimana mengontrol anger management. Tak berhenti sampai di situ, ketika saya berniat untuk lebih baik, Allah langsung menunjukkan jalan lain lagi yang lebih terang agar saya bisa sedikit menerangi orang lain yang masih dalam gelap. Alhamdulillah, setelah proses terapi saya diberi kesempatan untuk bersama-sama menulis sebuah buku yang berjudul \"Trip to Forgive\".
Haru, senang, sekaligus merasa tak percaya menyelimuti perasaan saya 63 saat itu. Sempat saya merasa takut akan membuka aib keluarga jika menuliskan masa lalu saya di sebuah buku. Tetapi, project writing for healing ini memang sangat berguna untuk saya. “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. AR- Rahman :13) Setelah saya merasa bisa lebih baik, maka saatnya saya mengajak suami untuk sama-sama bersinergi menyembuhkan diri dari luka pengasuhan masa lalu. Alhamdulillah, suami mau ikut terapi bersama dan kami berniat memperbaiki cara pengasuhan kami terhadap anak- anak kami agar mereka tak merasakan luka pengasuhan seperti yang kami alami, atau setidaknya utang pengasuhan kami tidak terlalu banyak. Hal selanjutnya yang harus kami lakukan adalah upgrade ilmu lagi dengan mengikuti berbagai seminar dan workshop online mengenai Islamic Parenting dan juga mental health di masa pandemi. Dengan memahami berbagai materi dari para narasumber membuat saya berpikir bahwa selain membawa ketakutan, kekhawatiran, rasa curiga terhadap sesama dan silaturahmi yang terbatas, pandemi ini juga membawa hal-hal baik di luar dugaan saya. Bahkan menurut Ust. Harry Santosa, kondisi ini menjadikan semua hal kembali kepada fitrah dan itu bisa saya rasakan sendiri. Idul Fitri dan Idul Adha tidak lagi menjadi lebaran yang tertukar Baru kali ini saya bisa merasakan nikmatnya puasa Ramadan, merasakan betapa sedihnya berpisah dengan malam-malam yang penuh kemuliaan. Kemana saja saya selama ini?
Saya terlalu disibukkan dengan mudik dan persiapan Lebaran. 64 Walau memang rasa sedih tidak bisa berkumpul dengan keluarga ketika Idul Fitri juga memenuhi ruang di hati saya, tapi mungkin inilah yang terbaik. Lalu ketika Idul Adha kami akhirnya menyempatkan datang ke rumah orang tua dan mertua. Sungguh senang akhirnya kami bisa berkumpul bersama keluarga walaupun rasa khawatir selalu menghampiri kami. Ritual Lebaran yang tidak bisa terlaksana ketika hari raya Idul Fitri akhirnya bisa terlaksana sesuai dengan sunahnya yaitu ketika hari raya Idul Adha. Terlaksananya aturan Islam seperti menjaga kebersihan dengan mencuci tangan, memakai masker dan tidak bersentuhan dengan non mahram. Menjaga kesehatan dengan makanan bergizi, istirahat yang cukup dan rutin berolahraga Kami sekeluarga akhirnya mempunyai family project yaitu berolahraga setiap hari selama minimal 30 menit. Anak-anak dengan menggunakan lagu dan gerakan dari sekolah, suami dengan workout dan yoga, sedangkan saya lebih menyukai zumba. Saya bahkan pernah menjadi instruktur zumba secara online dalam rumbel renang komunitas Ibu Profesional Tangerang Selatan. Memang tak mudah bagi saya untuk bisa selalu mengucap syukur ditengah kesulitan, apalagi jika mental korban sangat menguasai pikiran dan perasaan ini. Tetapi saya harus selalu ingat firman Allah, “Maka sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Bersama kesulitan ada kemudahan” (QS. Al- Insyirah : 5-6)
Allah telah menurunkan virus ini pasti dengan maksud baik, salah satunya agar kami selalu mendekat kepada-Nya. Allah telah menunjukkan kuasanya mengubah sesuatu agar kembali kepada fitrahnya dengan sangat mudah jika Allah menghendaki. Allah juga telah memberikan petunjuknya kepada saya ketika saya merasa di titik terendah melalui jalan yang sama sekali tidak pernah saya kira. Saya harus yakin bahwa memang bersama kesulitan yang saya rasakan ketika pandemi ini, pasti ada berbagai kemudahan yang saya dapatkan di saat yang sama. Wallahu alam bishawab [ ]. 65
Setelah berjibaku dengan berbagai kondisi sulit, akhirnya saya mencoba berdamai dengan keadaan dan menggugah kreativitas saya dalam mengatur waktu dan cara komunikasi dengan semua anggota keluarga. -Dewi Nurhasanah- 66
10 Perjalanan Di Masa Pandemi Devi F Y Ibu dari dua orang anak laki-laki dan istri dari seorang arsitek. Menyukai dunia tulis menulis sejak kecil dan menyalurkan bakat menulis dengan aktif di majalah kampus saat kuliah. Pernah bekerja sebagai jurnalis di Majalah arsitektur IDEA dan Renovasi terbitan Kompas Gramedia Majalah. Ceritaku bisa disimak di Diaryibuaga.blogspot.com. @devi_fy Devi Fadhila Yuliwardhani
10 Perjalanan Di Masa Pandemi -Devi F Y- Pandemi adalah masa yang tidak mudah bagi semua orang, 68 termasuk kami yang tinggal di perantauan. Bagaimana tidak, ini karena mudik menjadi hal yang sangat sulit. Mudik tak pernah serumit ini sebelumnya. Jika dulu cukup dengan kesiapan dana dan libur panjang, maka kini mudik yang penuh kebimbangan harus diputuskan lewat sujud istikhoroh. Setelah 3 bulan suami Work From Home (WFH), lebaran Idul Fitri dan Idul Adha di rumah saja, maka akhir Agustus sampai awal September kemarin kami memutuskan untuk mudik ke kampung halaman. Alasan mudik Alasan kami harus melakukan perjalanan ini adalah mengurus kelengkapan administrasi kependudukan. Meski sudah sewindu tinggal di Tangerang Selatan, data kependudukan kami masih berada di Malang, Jatim. Ada KTP saya yang hilang dan harus segera diperbarui, ada juga SIM ayah yang harus diperpanjang.
Di jaman serba online, urusan kependudukan ini tak sepenuhnya 69 bisa mudah. Meski begitu banyak yang bisa dibikin menjadi mudah di Indonesia dengan pertolongan orang-orang tertentu. Inilah yang membuat akhirnya perpanjangan SIM suami selesai tanpa harus pulang ke Malang. Sedangkan KTP, menurut teman yang bekerja di dinas kependudukan justru lebih dianjurkan dilakukan tanpa tatap muka untuk menghindari penularan Covid. Sehingga sebenarnya saya tak perlu mudik untuk mengurus data kependudukan. Alasan terbesar kami nekat melakukan perjalanan ini adalah orang tua. Menengok mereka yang sudah sepuh dan rindu pada cucunya. Tak tega rasanya kami mengabarkan batal mudik karena sudah bisa mengurus segala urusan administrasi dari rumah saja. Mereka terlanjur berbinar mendengar rencana kepulangan kami, hingga urusan Covid sedikit mereka kesampingkan. Asal tetap ikhtiar dengan protokol kesehatan di perjalanan dan tak lupa doa yang utama. Itu pesan mereka. Berbekal restu dan doa orang tua, maka bismillah berangkatlah kami dengan niat birul walidain. Tidak pernah ada yang tahu kapan pandemi akan berakhir. Tidak pernah ada yang tahu juga sampai kapan jatah usia. Sebisa mungkin selama orang tua masih ada kami bahagiakan mereka, semampu yang kami bisa. Persiapan mudik Ada banyak yang harus dipikirkan di mudik kali ini. Mulai dari tanggal kepulangan, moda transportasi dan rute perjalanan yang akan kami tempuh. Kami sempat membuat beberapa pilihan yang membut saya bimbang. Hingga akhirnya mendekati hari-H kami baru memutuskan untuk mudik menggunakan pesawat dengan rute Malang dahulu, baru ke Kudus.
Memilih moda transportasi pesawat artinya kami harus menyiapkan 70 surat keterangan sehat dan hasil rapid test adalah non reaktif. Kami pun memilih Apotek dan klinik Kimia Farma di Bintaro sektor 3 untuk melakukan rapid test. Pertimbangannya adalah harga dan orang yang datang tidak sebanyak di rumah sakit. Rapid test ternyata tak sesakit yang dibayangkan. Bahkan Arfan, anak bungsu saya yang masih balita seolah tak merasakan apa-apa. Biaya rapid dan surat keterangan sehat ini 200.000/orang. Alhamdulillah hasil rapid test semua non reaktif. Sesuai keputusan pemerintah, hasil rapid test ini berlaku selama 14 hari. Karena itu, kami memutuskan menggunakan hasil rapid test yang sama untuk kebarangkatan dan kepulangan kami menggunakan pesawat. Setelah melakukan rapid test kami baru membeli tiket pesawat untuk esok lusa. Rentang waktu dua hari ini kami gunakan untuk mempersiapkan barang bawaan kami. Perjalanan berangkat Kami berangkat di hari Jumat, menggunakan penerbangan pertama pesawat Citilink dari bandara Halim Perdana Kusuma. Saran dari maskapai adalah datang 4 jam sebelum keberangkatan. Akan tetapi karena sudah mengantongi rapid test dan surat keterangan sehat maka kami memilih datang 2,5 jam sebelum keberangkatan. Waktu yang masih sangat cukup untuk menvalidasi surat keterangan sehat, check in online, dan memasukkan bagasi. Situasi bandara pagi buta itu sangat sepi hanya terlihat beberapa orang saja. Ada juga satu keluarga yang melakukan perjalanan seperti saya. Sisanya ada beberapa pasangan dan perorangan. Protokol kesehatan yang digunakan anak-anak adalah mengenakan masker dan faceshield untuk kakaknya.
Sedangkan si bungsu hanya mengenakan masker karena belum 71 terbiasa menggunakan faceshield. Alhamdulillah mereka sudah terbiasa mengenakan masker sehingga tidak sulit untuk memakaikannya saat bepergian. Protokol kesehatan yang digunakan penumpang lainnya pun tak jauh berbeda. Mereka mengenakan masker, ada juga yang ditambah faceshield, bahkan ada seorang lansia yang menggunakan pakaian plastik khusus. Di dalam pesawat tempat duduk dibuat berjarak. Kapasitas pesawat pun tak terisi penuh. Kursi depan kami kosong 2 baris. Kursi belakang kami pun baru terisi di barisan ketiga setelah kami. Alhamdulillah bisa sekali untuk jaga jarak. Kamipun jadi lebih tenang. Di Malang Alhamdulillah sampai juga di Malang. Setelah sekian lama menahan, akhirnya Allah ijinkan kami untuk sejenak melepas rindu. Orang tua saya menjemput di bandara, hanya saja kami menghindari bersalaman dan berpelukan sejenak sampai kami mandi dan berganti baju di rumah. Di Malang kami tak berwisata seperti biasanya. Kami menyewa beberapa mainan dan kolam renang untuk anak-anak bermain. Selebihnya ya hanya di rumah saja, kecuali untuk pergi ke kelurahan menitipkan berkas untuk keperluan KTP. Wisata kulinerpun sepenuhnya mengandalkan ojek daring. Sedangkan suami yang masih harus bekerja memilih pergi mengungsi ke kantor temannya supaya lebih fokus bekerja tanpa gangguan anak-anak. Tentu saja tetap dengan protokol kesehatan. Di Malang, terutama di lingkungan rumah sudah melaksanakan protokol kesehatan dengan baik. Seringkali melihat orang lewat sudah mengenakan masker. Baik itu yang mengenakan kendaraan ataupun yang hanya berjalan hendak ke tetangga lain.
Tamu yang datang pun masih tertib menggunakan masker. Hanya saja 72 penjual yang lewat depan rumah yang tak menggunakan masker dengan baik. Di Kudus Seminggu di Malang, urusan KTP selesai, maka berangkatlah kami ke Kudus dengan menyewa mobil. Alhamdulillah perjalanan lancar dan sampailah kami di Kudus disambut dengan haru oleh ibu mertua. Rasanya saya tidak menyesal memperjuangkan untuk tetap ke Kudus kepada suami karena sebelumnya suami sendiri yang mencoret Kudus dari agenda mudik kami. Ini karena tingkat kepatuhan terhadap protokol kesehatan yang rendah disana. Akan tetapi sungguh tak tega saya. Rasanya tak adil saja, karena mereka pasti memendam rindu yang sama seperti orang tua saya di Malang. Akhirnya kami tetap ke Kudus dengan mengubah rute. Awalnya Kudus adalah kota singgahan pertama sebelum ke Malang, dibalik menjadi kota terakhir untuk disinggahi setelah Malang. Di sini kami tak kemana-mana, hanya di rumah saja. Situasi di Kudus agak berbeda dengan di Tangerang Selatan. Mereka seolah menganggap Covid masih jauh. Tamu yang datang pun seolah menggunakan masker hanya untuk syarat supaya tidak kena tilang polisi saja. Seringkali saat bicara masker mereka turunkan. Begitu pula anak-anak masih bebas berlarian bermain tanpa protokol kesehatan. Bisa dibayangkan betapa sulitnya kami bertahan untuk tetap disiplin dengan protokol kesehatan disana. Pun menjadi terlalu berbeda itu tak mudah. Jadi saya berusaha agak selow sambil terus berdoa dan berikhtiar sebisa mungkin. Perjalanan pulang Kami hanya di Kudus 2 hari. Waktu yang terlalu singkat untuk melepas rindu. Akan tetapi rasanya bersyukur sekali karena meski 2 hari tapi sangat berharga di saat pandemi seperti ini.
Kami pulang di hari Senin, menggunakan pesawat Garuda di siang 73 hari via bandara Semarang. Saat datang, kami terkesan dengan Bandara Semarang yang baru. Akan tetapi dipenuhi dengan was-was karena sudah ada banyak orang disana dengan protokol kesehatan ala daerah yang mengkhawatirkan. Sampai di rumah kembali Lega rasanya sudah melakukan perjalanan yang berat ini. Berat dipikir tetapi senang dirasa. Alhamdulillah, banyak bersyukur karena bisa kembali ke rumah dengan sehat dan selamat. Sesampainya di rumah, kami memilih karantina mandiri kecuali suami yang tetap harus bekerja. Setelah 7 hari kami memilih untuk rapid test mandiri. Alhamdulillah semua non reaktif. Lewat dari 7 hari kami tetap karantina mandiri. Pun anak-anak saya ikhlaskan menonton layar lebih lama dari biasanya supaya tidak main keluar dahulu. Meski jika keluar rumah tetap memakai masker, saya masih was-was karena tetangga satu komplek ada yang positif Orang Tanpa Gejala (OTG) dan sedang isolasi mandiri di rumah. Lepas dua minggu dari mudik, kami mendapatkan kabar yang kurang mengenakkan. Teman suami pemilik kantor yang dipakai suami bekerja saat di Malang ternyata positif OTG. Saat bertemu waktu itu, suami tetap menggunakan masker, hanya saja ada momen saat makan siang bersama mereka melepas masker. Segala pikiran buruk menghantui saya. Bukan pada bagaimana kondisi kesehatan kami yang bisa kami rasakan sendiri, tapi kekhawatian terbesar pada keempat orang tua kami. Kekhawatiran terpapar di Kudus justru terbantahkan dengan fakta bahwa justru orang dekat di Malang-lah yang berpotensi menularkannya. Dan kami bisa saja jadi perantaranya. Astaghfirullah.
Riwayat kontak suami terakhir dengan temannya adalah 13 hari 74 sebelum dia swab test dan dinyatakan positif. Kata tenaga kesehatan, tracing kini dilakukan di 5 hari ke belakang. Berbekal itu maka kami tidak perlu melakukan swab test. Apalagi sudah melakukan rapid test yang hasilnya non reaktif. Bisa jadi saat itu teman suami belum menjadi OTG, tapi bisa jadi juga sudah. Kami tidak tahu pasti. Akan tetapi orang yang serumah dengannya pun ternyata tidak tertular. Mungkin memang benar potensi OTG menularkan virus lebih kecil. Kami sedikit lega tapi tetap was-was dengan kondisi kesehatan teman suami. Alhamdulillah kini dia sudah sembuh dan beraktivitas kembali seperti sedia kala. Banyak pelajaran berharga yang kami dapatkan dari perjalanan ini. Pandemi membuat kami lebih tawakal. Tetap Ikhtiar dan selebihnya tetap pasrah berserah diri. Tidak ada tempat bergantung terbaik selain pada Allah. Tips Melakukan Perjalanan Saat Pandemi Pilih waktu dimana orang-orang tidak sedang bepergian. Ini untuk menghindari kerumunan di fasilitas umum yang mungkin kalian datangi seperti rest area, bandara, stasiun, mini market dsb. Artinya bukan saat libur panjang ataupun akhir pekan. Jika hari libur kalian tidak bisa sefleksibel itu, gunakanlah jatah cutimu. Jika akan pergi ke daerah usahakan jangan pilih akhir pekan. Jika pergi ke kota jangan pilih awal pekan; Pilih moda transportasi yang baik. Tentu saja kendaraan pribadi lebih baik. Tapi jika kalian tidak punya maka gunakanlah moda transportasi yang melaksanakan protokoler dengan baik. Penumpang dibatasi 50% dan tempat duduk ditata agar bisa jaga jarak;
Patuhi protokol kesehatan dengan baik dan disiplin. Jika ingin 75 membuka masker untuk makan jangan lupa jaga jarak dan lebih baik di luar ruangan atau ruangan yang bersikulasi baik (non AC); Saat akan membawa anak kecil bepergian pastikan mereka sudah bisa bertahan memakai masker dalam waktu yang lama. Jika tidak, pastikan dia ada dalam gendonganmu, atau jangkuanmu dan tidak berkeliaran sendiri supaya jaga jarak tetap bisa dilakukan; Pakailah pakaian yang bersaku untuk mengantongi semprotan disinfektan dan hand sanitizer. Jika anak-anak memegang sesuatu yang asing segera beri hand sanitizer sebelum ia memegang area wajah atau area tubuh lainnya. Semprot area yang kira-kira akan dipegang oleh anak; Jika bepergian melewati jam makan, sebisa mungkin bawa bekal yang praktis. Kalaupun harus beli, pastikan kemasannya sudah bersih. Semprot disinfektan dulu kemasannya dan cuci tangan sebelum makan; Sepulang dari perjalanan lakukan karantina mandiri paling tidak 7 hari. Setelah itu lakukan rapid test mandiri. Ini karena konon rapid test baru akan valid hasilnya setelah virus berada 7 hari di dalam tubuh. Meski begitu rapid test adalah screening awal yang tidak bisa dijadikan patokan. Jika ingin lebih yakin lagi bisa melakukan swab test mandiri; Jika akan mengunjungi orang tua sebisa mungkin tetap mengenakan masker di dalam rumah. Kami tidak melakukan ini karena tidak mungkin bagi kami melakukannya. Orang tua kami mungkin bisa menahan diri tidak memeluk dan menciumi kami yang sudah dewasa, tapi tidak untuk cucu-cucunya; Doa. Ini paling penting dan utama. Doa dari diri sendiri. Doa dari orang tua. Menghayati tawakal sepenuhnya. Membarengi segala ikhtiar dengan doa [ ].
Mudik tak pernah serumit ini sebelumnya. Jika dulu cukup dengan kesiapan dana dan libur panjang, maka kini mudik yang penuh kebimbangan harus diputuskan lewat sujud istikhoroh. -Devi F Y- 76
11 Pandemi dan Awal Perubahan Diri Prita Sekarlangit Prita Sekarlangit, lahir dan besar di Batang. Sempat menjadi pendidik selama empat tahun di sekolah berasrama, kini ia memutuskan menjadi seorang ibu rumah tangga yang bahagia membersamai tumbuh kembang ketiga putranya. Aku suka menorehkan cerita lewat www.catatanmamatata.blogspot.com. @pritasekarlangit Prissel Sastroprawiro
11 Pandemi dan Awal Perubahan Diri -Prita Sekarlangit- “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka 78 merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” [Q.S. Ar-Ra’d: 11] Seorang bijak pernah mengatakan bahwa segala sesuatu pasti berubah, kecuali perubahan itu sendiri. Segala hal pasti akan berubah seiring waktu, maka seharusnya manusia juga berubah agar tak hanyut dalam arus perubahan. Betapa beruntung manusia yang bisa berubah menjadi lebih baik dari hari ke hari, namun terkadang banyak manusia yang enggan berubah sebelum mendapati kondisi yang mengharuskannya berubah. Pandemi di tahun ini merupakan salah satu kondisi yang dapat memaksa setiap orang untuk berubah, termasuk saya. Saat awal mendengar kabar adanya wabah ini di Tiongkok, terus terang saya merasa sangat khawatir bahkan muncul rasa takut yang berlebihan setelah menyaksikan video banyak orang yang tiba-tiba berjatuhan di rumah sakit dan kelamnya gambaran lock down di Kota Wuhan.
Terlebih lagi, tatkala mendengar kabar bahwa virus Corona telah 79 menginveksi warga Depok yang tidak jauh dari tempat tinggal. Rasa khawatir dan takut itu semakin bertambah tentunya. Menghadapi ketakutan memang tidak mudah, namun yang membuat saya bangkit saat itu adalah kesadaran bahwa saya adalah orang dewasa yang bertanggung jawab untuk melindungi keluarga saya, terutama anak-anak yang masuk dalam usia rentan. Menerima perasaan takut dan khawatir yang muncul, peluk diri sendiri, kemudian membisikkan kata-kata positif penuh optimisme adalah cara saya untuk melepaskan rasa takut dan khawatir yang berlebih. Di samping itu, tentu saja kehadiran dan dukungan suamilah yang semakin menguatkan. Berkurangnya rasa takut membuat saya bisa berpikir lebih baik. Ibarat sebuah peperangan, maka untuk memenangkannya kita harus mengenali musuh terlebih dahulu. Mengetahui kelebihan dan kekurangannya membuat kita tahu hal apa saja yang harus kita lakukan dan hal apa saja yang harus kita hindari. Saya melakukannya dengan menyimak informasi dari laman resmi terpercaya serta mengikuti beberapa sesi webinar ataupun kuliah daring. Hidup adalah pilihan, begitu kata pujangga. Frase kata tersebut agaknya benar, karena manusia memang selalu diberikan pilihan- pilihan saat menjalani kehidupan. Bila dikerucutkan lagi, sejatinya kita hanya mempunyai dua pilihan, yaitu iya dan tidak. Apakah kita akan memilih ya atau tidak dalam kondisi A, memilih ya atau tidak untuk kondisi B, memilih ya atau tidak untuk kondisi C, dan semisalnya. Seperti saat pandemi ini, kita bisa memilih untuk larut dalam ketakutan, tenggelam dalam kejenuhan, atau berusaha menguatkan kaki agar bisa tegak berdiri dan melaluinya dengan bahagia.
Seperti orang kebanyakan, ada kalanya kami pun merasa jenuh, 80 namun keinginan untuk melindungi keluarga dari paparan virus menjadi motivasi untuk tetap berbahagia meski hanya di rumah. Lebih baik sesekali merasa jenuh, daripada ada anggota keluarga yang sakit bukan? Setelah mengurai ketakukan, kini kami harus belajar mengurai kejenuhan. Tahap ini pun kami diberikan pilihan, akankah larut dalam kejenuhan atau menolaknya dengan mencari jalan kebahagiaan. Kami memilih untuk tidak tergerus ketakutan dan kejenuhan, mengambil langkah untuk berubah. Lebih sadar akan kesehatan dan kebersihan. Mengisi waktu dengan kebiasaan baik, dan berharap menjadi pemenang yang berbahagia. Teringat kisah Ashabul Kahfi, yang bersembunyi dan berdiam diri di dalam gua untuk menghindari fitnah dan bahaya musuh. Kisah tersebut mengajarkan kita bahwa ada kalanya menepi, bersembunyi, berdiam diri, adalah cara terbaik agar tetap selamat. Kita pun bisa mengambil hikmah bahwa para pemuda Ashabul Kahfi tidak sekedar berdiam diri di dalam gua, namun mereka mengisi waktu dengan berdzikir dan memohon pertolongan Allah, sehingga mereka pun diselamatkan. Maka, mengisi waktu dengan kegiatan bermanfaat nan membahagiakan adalah salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mengurai kejenuhan di tengah pandemi ini. Di awal masa pandemi, kami mencoba satu rutinitas di pagi hari yang sebelumnya sangat jarang kami lakukan, yaitu berolahraga. Selain bertujuan untuk menjaga kebugaran tubuh dan meningkatkan sistem imunitas, berolahraga pagi di luar rumah juga kami gunakan sebagai salah satu sarana untuk mengurai rasa jenuh anak-anak, juga membangun mood baik mereka. Ya, mood hari ini ditentukan bagaimana mood saat pagi. Biasanya kalau mood di pagi hari bagus, maka seharian akan mulus, begitu pula sebaliknya.
Anak-anak cenderung lebih menyukai berkegiatan di alam terbuka 81 dan banyak bergerak, sehingga kami harus menyediakan waktu berkegiatan di luar rumah setiap harinya, meski hanya sebatas di lingkungan rukun tetangga saja. Kami tidak melakukan olahraga yang berat, hanya sebatas peregangan dilanjut berjalan kaki hingga mulut gang sambil mandi cahaya matahari. Anak-anak biasanya mengikuti dengan bersepeda. Menyehatkan dan membahagiakan tentunya. Melakukan aktivitas bersama juga bisa mengurai kejenuhan, karena sejatinya kebahagiaan anak-anak bersumber dari kehadiran dan kasih sayang orang tua mereka. Bagi saya, melepas diri dari rutinitas urusan rumah tangga untuk bermain bersama anak-anak adalah semacam ‘me time’ yang berharga. Ketika mengajak anak beraktivitas, selain mencari variasi kegiatan yang beragam, juga perlu diperhatikan waktunya. Saat anak-anak memiliki energi dan semangat yang besar, maka itulah waktu terbaik untuk beraktivitas bersama mereka. Biasanya, kami gunakan waktu antara pukul sembilan hingga pukul dua belas siang. Ragam kegiatan bisa bermacam-macam, dari membuat kerajinan, bermain peran, menyelesaikan tugas sekolah si sulung, eksperimen sains sederhana, membaca buku, atau menonton film bersama saat akhir pekan. Saya juga mencoba mengasah kemampuan baru di masa pandemi ini. Satu hal yang pernah saya sukai namun terhenti selama beberapa waktu karena banyak hal terjadi secara beruntut. Menulis. Saya mencoba untuk mulai menulis kembali dan begabung dalam rumah belajar menulis. Perlahan membuat minimal satu tulisan selama sebulan di media sosial, kini saya belajar untuk meluangkan waktu menulis minimal lima belas menit sehari, agar bisa menjadi kebiasaan baik bagi saya. Barangkali mendapat predikat sebagai seorang penulis masih jauh dari angan, namun dengan mencoba tetap menulis setiap hari semoga bisa menjadi anak tangga-anak tangga kecil yang mengantarkan saya ke sana.
Dalam prosesnya, ternyata menulis juga bisa menguapkan perasaan- 82 perasaan negatif yang muncul. Dengan begitu, saya bisa panen bahagia sedikit demi sedikit setiap harinya. Selain menulis, ada kebiasaan baru yang saya latih beberapa waktu terakhir, yakni desain grafis. Saya memang bukan jagoan di bidang ini, namun ketika melakukannya, saya suka. Ketika ada kesempatan di bidang itu, saya tertarik. Sehingga saya memutuskan untuk melatih kebiasaan mendesain sepekan dua kali. Insya Allah pandemi di ujung tahun ini akan lahir desain pertama saya untuk sebuah majalah elektronik, berikut satu tajuk tulisan di dalamnya. Pandemi kali ini memang sesuatu yang bisa membuat kita takut, jenuh dan setiap lini menjadi berantakan. Kita juga tidak bisa begitu saja menghindari pandemi, karena merupakan ketetapan Yang Maha Kuasa. Keadaan zaman pasti berubah, maka kita pun harus ikut berubah. Mengurai rasa saat menemukan kondisi baru, mencari jawaban akan kesulitan, dan mencoba hal baik setiap hari, siapa tahu bisa menjadi obat ampuh untuk kita beradaptasi [ ].
12 Yang Lama Dinanti Hadir di Kala Pandemi Rizki Kusumaning Gusti Rizki Kusumaning Gusti, ibu yang sedang menikmati perannya sebagai ibu baru. Hobi membaca ,jalan-jalan dan memasak. Menulis adalah caranya dalam bercerita. Ceritaku bisa disimak di rkgusti.com. @rizkigusti Rizki Kusumaning Gusti
12 Yang Lama Dinanti Hadir di Kala Pandemi -Rizki Kusumaning Gusti- Desember 2019 di usia pernikahan yang menginjak tahun 84 keenam, tak pernah terduga bahwa penantian dan ikhtiar kami membuahkan hasil. Aku hamil, ini adalah kehamilan ketigaku. Penuh harap kehamilan kali ini berhasil setelah dua kehamilan sebelumnya aku mengalami keguguran. Serangkaian pemeriksaan lengkap dilakukan demi menghindari kemungkinan keguguran berulang. Bersyukur kami didampingi oleh dokter kandungan yang teliti, sabar dan sangat mengerti kekhawatiran kami. Kontrol rutin setiap dua minggu dilakukan, konsumsi obat pengencer darah rutin karena aku didiagnosa hiperagregasi trombosit. Hari demi hari dilalui dengan bahagia seiring dengan bertambahnya usia kehamilan. Trimester pertama dilalui dengan lancar meskipun harus bedrest total. Istirahat total ini kuanggap sebagai kesempatan untuk me time sebelum memiliki bayi. Hari-hari kulalui di tempat tidur dengan membaca buku-buku kehamilan, membuat birth plan, menonton video tentang perisapan persalinan dan cara merawat
bayi, mencari info tentang kelas-kelas kehamilan, kelas persiapan 85 persalinan, mencari info tentang pendamping persalinan (doula), dan tak lupa juga membuat rencana perjalanan untuk baby moon. Masuk ke trimester kedua, janin dalam kandunganku sudah lebih kuat, dokter memberi lampu hijau untuk melalukan perjalanan jauh dengan syarat tidak boleh terlalu lelah. Rencana yang sudah kubuat 80% dijalankan. Tiket pesawat dan hotel sudah dipesan, sampai 3 hari sebelum kami berangkat, kabar tentang virus Corona mulai santer. Negara tujuan baby moon kami memberikan travel warning untuk sebaiknya tidak berkunjung ke negara tersebut. Awalnya kami mau nekat saja berangkat, tetapi mengingat kehamilan ini adalah kehamilan yang sangat kami tunggu jadi semua kami batalkan. Ada hikmah dibalik setiap rencana yang gagal terwujud Masih lekat dalam ingatan ketika pemerintah mengumumkan bahwa virus Corona sudah masuk ke negara kita, aku yang paling rajin memantau berita dari televisi dan portal berita online. Masih berharap situasi akan baik dengan segera dan kami bisa menikmati kehamilan ini dengan berjalan-jalan sesuai dengan impian kami. Namun ternyata bukannya membaik, virus semakin menyebar, aturan bepergian ke luar rumah makin ketat. Tak pernah terbayangkan aku melewati kehamilan yang sudah lama dinanti di tengah pandemi dan di saat dunia sedang tidak baik. Jadilah dari awal kehamilan aku lebih banyak melewatkan hari-hari di rumah dan masih berlanjut hingga hari ini. Tak jadi baby moon, lalu apa yang harus aku lakukan? Membayangkannya saja terasa sangat membosankan, ditambah aku sudah tak harus lagi berdiam diri di tempat tidur.
Semua makin membuat aku stres saat mendapat kabar bahwa kelas 86 kehamilan dan persiapan persalinan yang sempat ingin aku ikuti tutup. Tak ingin berlarut dalam kekecewaan dan kebingungan, aku mencari info-info tentang kelas-kelas online. Tak disangka, beberapa tempat yang meniadakan program dan kelas mereka ternyata mengadakan kelas online dan beberapa ada yang tak perlu membayar alias gratis, dokter kandunganku pun membuka konsultasi online dan kelas persiapan persalinan online. Semangatku pun muncul lagi, aku daftar kelas kehamilan dan persiapan persalinan yang aku butuhkan. Beberapa tak perlu membayar dan karena semua dilakukan online jadi tak perlu keluar rumah, yang artinya kami bisa lebih berhemat lagi. Hari-hariku melewati trimester kedua diisi dengan mengikuti berbagai kelas online. Kelas yang kuikuti antara lain, kelas nafas bersama Bidan Yesie Aprilia (Bidan Kita), kelas persiapan persalinan bersama Doula Agustina, Yoga bersama Empat Bulan dan Birth I’m With U, kelas perawatan bayi baru lahir, kelas menyusui dan manajemen laktasi bersama Zahra Khayra, dan kelas self healing bersama Reza Gunawan. Di Trimester kedua ini juga kuisi dengan berbelanja baju dan perlengkapan bayi, belanja sesuai dengan daftar yang sudah dibuat, karena belanja juga dari rumah maka tidak ada cerita kalap belanja atau lapar mata. Sisi positif yang aku dan suami ambil adalah, kami bisa memangkas dana hampir 50% dari yang dianggarkan untuk mempersiapkan kelahiran bayi kami. Tantangan hamil di masa pandemi Bosan, rasanya tak hanya aku saja yang merasa bosan, jangankan ibu hamil yang mood-nya naik turun, yang sedang tak hamil pun pasti bosan ketika harus berada di rumah setiap hari. Tantangan berikutnya adalah mengatasi rasa takut berlebihan.
Aku menyadari bahwa sebagai ibu yang sedang hamil risiko tertular 87 virus lebih tinggi karena daya tahan ibu hamil lebih rendah, alhasil aku jadi benar-benar takut ke luar rumah bahkan untuk sekadar berbelanja atau memeriksakan kandungan. Butuh waktu cukup lama sampai akhirnya aku memberanikan diri untuk ke luar rumah, berjalan-jalan (tentunya memilih tempat yang sepi) dan memeriksakan kandungan ke dokter. Nah untuk periksa kandungan, aku bisanya menghubungi rumah sakit terlebih dahulu sebelum datang dan menanyakan kira- kira jam berapa aku akan diperiksa, lalu datang tepat waktu dan ketika selesai diperiksa langsung masuk mobil dan menunggu di mobil, urusan pembayaran dan pengambilan obat diserahkan ke suami. Itulah caraku meminimalisir berada di rumah sakit terlalu lama. Melahirkan di masa pandemi Hari berlalu, tak terasa kandunganku sudah menginjak 30 minggu. Mulailah aku menata baju dan perlengkapan bayi, menyiapkan hospital bag yang akan dibawa saat nanti melahirkan, isi koper yang akan dibawa ke rumah sakit tak hanya baju dan perlengkapan bayi tetapi juga baju dan perlengkapanku dan suami. Sebagai persiapan di rumah, aku mulai mencicil memasak makanan siap saji atau setengah matang yang nantinya akan disimpan di freezer sebagai amunisi saat tak bisa masak pasca melahirkan. Minggu ke 33, hari Senin. Aku merasa sangat sehat hari itu, mengikuti satu sesi yoga kehamilan dan mengobrol dengan mama via telpon membahas rencana kunjungan mama saat aku melahirkan nanti yang tentunya mengikuti protokol kesehatan. Selasa pagi, usai sarapan aku merasa tidak nyaman di bagian perut, rasanya seperti mulas tapi berbeda. Suami menyuruhku istirahat dan tidur. Siang lepas dhuhur rasa mulasnya makin intens, kupikir aku salah makan, tak khawatir karena esok adalah jadwal kontrol ke dokter kandungan.
Makin sore makin mulas dan ada rasa panas menjalar di paha disertai 88 dengan flek. “Wah aku harus bedrest lagi nih,” pikirku saat itu. Segera kuminta suami mengantar ke IGD. Selama perjalanan ke rumah sakit rasa mulas makin rapat dan tak tertahankan, setelah sampai IGD dan diperiksa, ternyata sudah bukaan 5. “Sudah tidak bisa ditahan lagi bu, bayinya harus dilahirkan,” kata bidan jaga saat itu. Tiba-tiba, segalanya terasa sangat cepat dan terburu-buru. Pemerikasaan darah dan rapid test, suami diminta segera mengurus ruang bersalin, aku diminta tetap berbaring di kasur sambil mengatur nafas tak boleh mengejan. “Oh, ternyata rasa mulas yang kurasakan dari pagi itu kontraksi.” Tak terpikir mengingat usia kandunganku baru 33 minggu. Dua jam berselang sudah bukaan 8, bukaan bertambah sangat cepat padahal aku hanya berbaring di kasur. Hasil tes darah di laboratorium keluar, aku terkena infeksi saluran kencing, leukositku sangat tinggi sehingga menyebabkan hormon prostalglandin bekerja dan menyebabkan bukaan bertambah dengan cepat. Beruntung aku dan janin dalam kanduganku dalam keadaan sehat, ketuban jernih, posisi janin sudah optimal sehingga aku bisa melahirkan per vaginam. Malam pukul 21.55 WIB aku melahirkan bayi laki-laki. Bayi yang memilih tanggal lahirnya sendiri, 7 minggu lebih cepat dari HPL sehingga dia tergolong bayi prematur. Bayi prematurku dirawat di NICU selama 16 hari. Kondisi pandemi membuatku tak bisa melakukan PMK (Perawatan Metode Kanguru, biasanya dilakukan pada bayi prematur) karena kebijakan rumah sakit. Selama 16 hari kulalui memompa ASI untuk dikirimkan ke rumah sakit, diselingi dengan belajar merawat dan menangani bayi prematur di rumah. Aku dan suami juga harus menghadapi kenyataan bahwa orang tuaku tak bisa berkunjung dan membantu merawat bayi. Saat itu kami mau tak mau harus siap merawat bayi kami berdua saja.
Pengalaman baru yang luar biasa 89 Enam belas hari berlalu, bayi mungil kami akhirnya pulang ke rumah. Berbekal ilmu yang sudah kami pelajari, kami ternyata bisa merawat bayi kami berdua saja, hal yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Pengalaman mahal bagiku sebagai seorang ibu bisa merawat anak pertama dengan tanganku sendiri. Walau tanpa pengalaman, berbekal ilmu yang cukup ternyata mampu membuatku dan suami melewati masa kehamilan, persalinan dan merawat anak tanpa drama yang berarti. Diiringi dengan doa kepada Allah dan membangun kepercayaan diri juga menjadi kunci dalam melewati masa-masa menjadi orang tua baru di saat pandemi yang segalanya serba terbatas. Pandemi yang membuat kami harus lebih banyak tinggal di rumah ternyata membawa hal baik bagi kami, mengisi waktu dengan ikut kelas-kelas kehamilan dan mempersiapakan barang keperluan bayi supaya tak mati gaya selama di rumah saja dan tidak menunda- nunda adalah hal yang sangat kami syukuri. Andaikan saat itu kami menunda belajar dan melakukan persiapan hingga menunggu trimester tiga, entah apa jadinya karena ternyata bayi kami terlahir prematur. Pandemi ini membawa perubahan yang besar dalam keluarga kecil kami. Belanja seperlunya, berhemat, tetap belajar walau penuh keterbatasan, menjadi lebih percaya akan kemampuan diri sendiri, lebih banyak berbagi adalah sekelumit pelajaran dan hikmah yang kami dapatkan dari pandemi ini. Jika kita bisa melihat suatu kejadian dari sisi yang baik, maka hal baik pula yang akan kita dapatkan [ ].
Andaikan saat itu kami menunda belajar dan 90 melakukan persiapan hingga menunggu trimester tiga, entah apa jadinya karena ternyata bayi kami terlahir prematur. -Rizki Kusumaning Gusti-
13 Mencari Hikmah di balik Pandemi Dhatin Ifadha Dhatin Ifadha lahir di jakarta pada tanggal 25 Juli 1988. Lulus S-1 di Progam Studi Perbankan Islam UIN tahun 2010. Saat ini berprofesi sebagai ibu rumah tangga dan telah dikaruniakan 2 orang anak. Sangat suka mengambil hikmah untuk bisa dijadikan pelajaran bagi hidup dan dalam pendidikan anak. @dhatinifadha Dhatin Ifadha
13 Mencari Hikmah di balik Pandemi -Dhatin Ifadha- Menghadapi makhluk Allah dengan ukuran yang sangat kecil dan 92 mematikan serta tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, sedikitpun tidak pernah terpikirkan olehku. Pandemi coronavirus yang sudah banyak merenggut nyawa manusia di seluruh dunia tidak lagi menjadi hal yang baru, bahkan telah menjadi suatu kebiasaan baru dengan hidup berdampingan bersama Covid-19. Protokol kesehatan yang disampaikan oleh pemerintah merupakan bagian dari usaha manusia untuk pencegahan penularan pada virus tersebut. Faktanya sekarang ini masyarakat tidak lagi terlalu peduli dengan pandemi ini, bahkan sebagian dari mereka masih berkumpul tidak jarang terjadi tanpa menggunakan masker, atau pedagang kaki lima pada saat berjualan tidak lagi menggunakan masker. Tidak ada yang mengetahui siapa yang menularkan atau ditularkan sebab gejala bagi penderita dapat dialami dari mulai berat, ringan, hingga sedang dan akan pulih tanpa penanganan khusus.
Ketika pandemi ini diberitakan masuk ke negara Indonesia pada 93 Maret 2020, muncul kebijakan untuk Work from Home (WFH) atau Work from Office (WFO). Namun, tidak berlaku untuk suamiku. Seluruh pegawai tetap diwajibkan masuk seperti biasa dengan syarat mematuhi protokol kesehatan serta usaha dari kantor dengan memberikan vitamin C bagi para pegawainya. Perasaan khawatir yang menyelimutiku jika suami terjangkit virus tersebut akan menjadi malapetaka bagiku karena satu rumah ada 11 orang yaitu suster, kakek yang terkena dimensia, nenek, adik perempuan beserta suami dan anaknya umur 2,5 tahun, adik laki-laki, suami, aku dan kedua anakku yang masih kecil (4 tahun dan 7 tahun). Hati ini hanya bisa istighfar dan kembali berserah diri kepada Allah SWT. Pengalaman baru yang luar biasa Dengan adanya Pandemi ini membuat aku ingin bermuhasabah, mungkin ini bagian dari teguran Allah SWT untuk hamba-Nya yang semakin menjauh, yah itu memang evaluasi untuk diriku. Dahulu dzikir pagi dan petang, tahajud, tilawah jarang dilakukan namun sekarang ini terasa ingin membuat diri ini menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya. Kembali diri ini berserah diri dan meningkatkan kualitas ibadah yang sudah mulai kendor. Hal ini membuat hati menjadi tenang dan tidak lagi gelisah seperti dulu. Setiap kali diri ini kembali diliputi dengan rasa was-was, hati ini selalu berperang dengan perasaan tersebut sambil bergumam dalam hati. ”Semua ini sudah bagian dari takdir dan bagian dari rukun iman ke-6 yaitu beriman kepada qadha dan qadhar. Corona sudah punya alamat kemana harus berlabuh, sebagai manusia yang tidak berdaya hanya bisa tawakal dan berusaha,” seketika perasaan was-was kembali hilang.
Seperti yang tertuai dalam Al-quran: 94 “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (kitab Lauhul Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah” (QS. Al-Hadid : 22) Sekolah Online Semenjak belum adanya pandemi, memang saya bercita-cita agar si sulung usia 7 tahun bersekolah denganku. Saya selalu mengkhayal, alangkah indahnya jika saya menjadi bagian terbesar dalam proses tumbuh kembangnya dengan cara membuat pondasi yang kokoh pada sang anak dengan memupuk keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Menjaga titipan Allah SWT sudah menjadi kewajiban bagi para orang tua ketika diminta pertanggung jawaban di akhirat kelak. Selain itu, alasan utama terbentuknya cita-cita saya adalah karena pergaulan anak-anak yang sudah semakin bebas. Namun itu hanya cita-cita, pada kenyataanya suami tidak sependapat. Menurutnya jika anak homeschooling tidak bisa berbaur dengan teman-temannya. Hikmah postif dengan adanya pandemi adalah pelaksanaan pembelajaran dilakukan melalui online, dimana siswa tidak lagi bertatap muka dengan guru dan teman-teman untuk menghindari terjadinya penularan virus corona tersebut. Hal ini menjadi salah satu penyamangat bagiku untuk dapat menyekolahkan anakku ke dalam sekolah. Dengan demikian, saya mendapatkan peran yang lebih besar dalam mengajari anak, karena bagiku menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri bila sang anak dapat membaca dan menulis dari seorang ibu. Segala puji bagi Allah salah satu harapan terhadap anakku tercapai meskipun masih banyak tugas harus dilakukan dalam mengkokohkan pondasi anak sebelum memasuki dunia luar.
Suami Positif 95 Adaptasi kebiasaan baru di masa Pandemi telah diterapkan oleh suamiku sesuai dengan anjuran dari pemerintah. Protokol kesehatan telah dilakukan sebagai salah satu bentuk ikhtiar untuk dapat beraktifitas di dalam dunia perkantoran. Awal bulan November, suamiku pergi bekerja seperti rutinitas biasanya, sepulang dari kantor suami mengeluh badannya nyeri disertai dengan demam dan meriang, tidak ada yang curiga dengan gejala yang dialaminya. Obat-obatan yang saya berikan untuk meredakan demam hanya penurun demam dan penghilang nyeri otot. Alhmadulillah paginya demam yang dialami sudah mulai turun, tidak seperti ketika pulang kerja. Suamiku mengambil cuti untuk dapat istirahat total di rumah. Hari silih berganti, keadaan suami sudah semakin membaik, demam yang dialami mulai hilang, hanya saja seluruh badannya terasa gatal dan merah seperti alergi, saya anjurkan suami untuk kontrol ke rumah sakit untuk memastikan keadaannya. Sepulang dari klinik, dokter hanya memberikan vitamin dan sekali lagi puji dan syukur kepada Allah SWT bahwa kondisi suami semuanya dalam keadaan sehat tidak ada yang perlu dikhwatirkan. Keesokan harinya, suami diminta datang ke kantor karena akan diadakan tes rapid bagi seluruh pegawai. Pada saat itu suami hanya mengabari hasil dari tes rapid reaktif sehingga bagi pegawai dengan hasil yang sama akan dirujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan tes lanjutan yaitu Swab-PCR. Doa terus dipanjatkan kepada Allah SWT berharap hasil dari rumah sakit negatif. Hasil yang dinantipun tiba, suami hanya mengabari lewat telepon bahwa hasilnya adalah positif. Dalam sekejap diri ini merasa terpuruk, mengingat banyaknya anggota keluarga yang tinggal, serta saya yang sedang hamil 6 bulan.
Namun, telah menjadi takdir Allah SWT apa yang dikhawatirkan 96 terjadi, diri ini kembali berserah diri kepada Allah agar diberikan kekuatan untuk menghadapi ujian-Nya dan berharap virus tersebut tidak menyebar pada keluargaku. Saya segera mengambil langkah, yaitu membeli kebutuhan nutrisi yang diperlukan untuk dikonsumsi dalam meningkatkan imunitas tubuh (madu, kurma, habbatussaudah, vitamin C dan E, Imboost force) dan melaporkan kepada puskesmas untuk dapat dilakukan tes Swab PCR. Setelah dilakukan tes Swab PCR dan menunggu hasil selama lima hari kerja, segala puji bagi Allah SWT kami sekeluarga negatif. Empat belas haripun berlalu, suami kembali dilakukan tes swab PCR, Alhamdulillah hasilnya negatif. Dengan ujian yang Allah SWT berikan, membuat saya kembali berfikir bahwa manusia itu sebenarnya tidak berdaya, ingin sepintar apapun, sesehat apapun, atau mengikuti protokol kesehatan jika Allah SWT telah berkhendak untuk hamba-Nya tiada daya dan upaya yang dapat dilakukan, dan hanya Allah SWT tempat sebaik-baiknya meminta perlindungan dan pertolongan. Selain itu, hal yang dapat kita lakukan ketika menghadapi ujian adalah dengan segera mengambil tindakan disertai muhasabah, tetap positif thinking, dan tidak mengeluh serta mencela musibah. Insya Allah kita menjadi hamba yang selalu bersyukur karena setiap musibah pasti ada hikmah yang terkandung didalamnya, dan Allah SWT tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kemampuannya (QS Al-Baqarah: 286) [ ].
Buku ini kami persembahkan untuk semua perempuan 97 yang sedang berproses mendaki lika-liku kehidupan di tengah situasi Pandemi. We are stronger together!
Dari dalam bilik rumah, Kita menatap keluar jendela, Setiap pagi, cahaya matahari bersinar menyapa dengan indahnya, Hujan turun, melantunkan irama yang menentramkan jiwa, Langit berubah seiring waktu, mengabarkan hari yang terus berganti, Dari dalam bilik rumah, Setiap doa terjalin padu, mengudara lewat semesta, mendarat penuh harap agar bertemu Sang Tuan Dari dalam bilik rumah, Setiap jiwa belajar dan bertumbuh, Kita laiknya bayi yang sedang meraba dunia, Mari saling percaya, kita akan baik-baik saja. -At Tachriirotul M.-
Search