Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Dataran Tortilla oleh John Steinbeck

Dataran Tortilla oleh John Steinbeck

Published by pustaka, 2022-11-12 06:34:46

Description: Dataran Tortilla oleh John Steinbeck

Search

Read the Text Version

PENERJEmAH DJOKOLELONO DATARAN TORTILLA



DATARAN TORTILLA

Undang-Undang Republik Indonesia Nom or 28 Tahun 20 14 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 1 Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang tim bul secara otom atis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujud- kan dalam bentuk nyata tanpa m engurangi pem batasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan Pidana Pasal 113 (1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak m elakukan pelanggaran hak ekonom i sebagaim ana dim aksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Kom ersial dipidana dengan pidana penjara paling lam a 1 (satu) tahun dan/ atau pidana denda pal- ing banyak Rp10 0 .0 0 0 .0 0 0 (seratus juta rupiah). (2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/ atau tanpa izin Pencipta atau pem egang Hak Cipta m elakukan pelanggaran hak ekonom i Pencipta sebagaim ana dim aksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/ atau huruf h untuk Peng- gunaan Secara Kom ersial dipidana dengan pidana penjara paling lam a 3 (tiga) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp50 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0 (lima ratus juta rupiah). (3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/ atau tanpa izin Pencipta atau pem egang Hak Cipta m elakukan pelanggaran hak ekonom i Pencipta sebagaim ana dim aksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/ atau huruf g untuk Penggu- naan Secara Kom ersial dipidana dengan pidana penjara paling lam a 4 (em pat) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp1.0 0 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0 (satu m iliar rupiah). (4) Setiap Orang yang m em enuhi unsur sebagaim ana dim aksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pem bajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lam a 10 (sepuluh) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp4.0 0 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0 (em pat miliar rupiah).

DATARAN TORTILLA Penerjemah Djokolelono

Dataran To rtilla J ohn Steinbeck Judul Asli Tortilla Flat Copyright by the Estate of J ohn Steinbeck, 1935 Terjem ahan atas izin pem egang hak cipta KPG 59 16 0 120 8 Cetakan pertam a, J uni 20 16 Sebelum nya pernah diterbitkan oleh PT Dunia Pustaka J aya Cetakan Pertam a, 1977 Cetakan Kedua, 20 0 9 Pe n e rje m ah Djokolelon o Perancang Sam pul Deborah Am adis Mawa Teguh Tri Erdyan Pe n atale tak Wendie Artswenda STEINBECK, J ohn Dataran To rtilla J akarta; KPG (Kepustakaan Populer Gram edia), 20 16 xii + 220 hlm .; 14 x 21 cm ISBN: 978-60 2-424-0 12-7 Dicetak oleh PT Gramedia, J akarta. Isi di luar tanggung jawab percetakan.

Daftar Isi P en d a h u lu a n vii 1 Danny Mewarisi Dua Buah Rum ah 1 2 Pilon Menyewa Rum ah Danny 9 3 Tabiat Buruk Pilon Tim bul 15 4 J esus Maria Corcoran Ikut Bergabung 23 5 St. Francis Menghukum Pilon, Pablo, dan J esus Maria 37 6 Kawan-kawan Danny Bersum pah Mengikat 48 Persahabatan 55 7 Danny dan Kawan-kawan Menolong Si Bajak Laut 77 8 Mencari Harta Karun Gaib 10 1 9 Danny Terpikat oleh Mesin Pengisap Debu 116 10 Kisah Sedih Seorang Kopral

vi John Steinbeck 126 11 Big J oe Portugis Dicintai Wanita 133 12 Danny dan Kawan-kawan 149 Mem bantu Si Bajak Laut Menepati Kaul 161 13 Danny dan Kawan-kawan 178 195 Menolong Seorang Nyonya 14 Bersantai di Rum ah Danny 210 15 Danny Kejangkitan Penyakit Gila 16 Kawan-kawan Danny Mem buat Pesta 220 17 J im at Pem ersatu Terbakar Habis, Persahabatan Berantakan Tentang Penulis

PENDAHULUAN INILAH KISAH Danny, kawan-kawan Danny, dan rum ah Danny. Kisah tentang bagaim ana ketiga hal itu m enjelm a m enjadi suatu kesatuan. Di Dataran Tortilla, bila kita bicara tentang rumah Danny, yang kita m aksud bukanlah bangunan kayu berlapiskan kapur pem utih dinding di antara keliaran belukar m awar Castille yang tak terurus. Bukan. Rum ah Danny adalah suatu kesatuan m anusia-m anusia, kesatuan yang m em ancarkan kem anisan dan keriaan hidup, kederm awanan, dan pada akhirnya—kesedihan penuh mistik. Sebab rumah Danny dan kawan-kawan Danny bukannya tidak m irip dengan kesatria-kesatria Inggris kuno dengan Meja Bundar m ereka. Inilah kisah tentang bagaim ana kesatuan itu terbentuk, berkembang, dan menjelma menjadi suatu perkum pulan yang indah dan bijaksana. Kisah ini bertalian dengan petualangan kawan-kawan Danny, am al m ereka, pikiran- pikiran m ereka, dan jerih payah m ereka. Dan pada akhir kisah

viii John Steinbeck akan diceritakan pula bagaimana jimat penghidup kumpulan ini lenyap dan m ereka m enjadi berantakan. Di Monterey, kota tua di pantai California itu, sem ua orang tahu tentang kisah ini. Diceritakan berulang-ulang, kadang- kadang dengan bum bu-bum bu pula. Karenanya, tepatlah bila kisah ini segera dibukukan. Agar para ahli di kem udian hari tidak m enganggap Danny dan kawan-kawannya hanyalah tokoh-tokoh sebangsa Arthur, atau Roland, ataupun Robin Hood. J angan sampai para ahli itu berkata, “Danny, kawan-kawan Danny, dan rumah Danny sebetulnya tidak ada. Danny itu dewa alam setempat. Kawan-kawannya merupakan simbol primitif angin, langit, dan matahari.” Untuk mengusir cibiran para ahli berpandangan kecut ini, sekarang dan untuk selamanya, kisah ini ditulis. Monterey bertengger di punggung sebuah bukit. Di bawah terham par teluk berair biru. Di belakangnya m erim bun hutan pinus berbatang tinggi dan gelap. Bagian kota sebelah bawah didiam i orang-orang Am erika, Italia, nelayan penangkap ikan, dan perusahaan pengalengan ikan. Tetapi di atas bukit, di mana bagian kota berjabatan dengan daerah hutan, di mana jalan- jalan belum mengenal aspal dan sudut jalan tak tahu-menahu tentang lampu jalanan, penduduk asli Monterey bergulat dengan kehidupannya, seperti orang-orang Britania Kuno bergulat di Wales. Mereka disebut kaum paisano. Mereka tinggal di rum ah-rum ah kayu dengan halam an tak terurus, penuh semak. Rumah-rumah itu kadang-kadang berada di antara pohon-pohon pinus. Mereka terlepas dari nafsu per- dagangan, bebas dari keruwetan sistem niaga Am erika. Dan, m ereka tak m em punyai sesuatu apa pun yang bisa dicuri, diperas, ataupun digadaikan, jadi sistem kehidupan Am erika tidaklah begitu bersemangat untuk menguasai mereka. Apakah paisano? Paisano ialah cam puran darah Spanyol, Indian, Meksiko, dan berbagai ras kulit putih Eropa. Nenek

Dataran Tortilla ix m oyangnya telah berdiam di California selam a seratus atau dua ratus tahun lebih. Ia berbahasa Inggris dengan logat paisano, dan berbahasa Spanyol dengan logat paisano pula. Bila ditanya tentang rasnya, ia bersikeras m engaku keturunan Spanyol m urni, lalu m em buktikannya dengan m enyingsingkan lengan kem eja untuk m enunjukkan bahwa bagian lem but lengannya berkulit ham pir putih. Warna kulitnya yang seperti pipa sawo m atang menurut dia disebabkan terbakar oleh sinar matahari. Ia seorang paisano, dan ia tinggal di daerah ketinggian kota Monterey, di daerah yang bernam a Dataran Tortilla, walaupun sebetulnya daerah itu sama sekali tidak datar. Danny seorang paisano. Ia lahir dan besar di Dataran Tortilla. Semua orang menyukainya, walaupun ia tak memiliki keisti- mewaan yang membuatnya menonjol di antara sekian banyak anak-anak Dataran Tortilla yang suka bising itu. Ia memiliki hubungan keluarga dengan hampir semua orang di Dataran Tortilla, entah berdasarkan hubungan darah ataupun percintaan. Kakeknya seorang penting yang memiliki dua buah rumah kecil di Dataran Tortilla, dan sangat dihormati karena kekayaannya. Di masa mudanya Danny lebih suka tidur di hutan, bekerja keras di peternakan untuk mendapat sesuap makanan dari dunia yang kejam ini, tapi ini semua bukan karena Danny tidak mempunyai sanak keluarga yang berpengaruh. Danny bertubuh kecil, berkulit kehitaman, dan berkemauan keras. Pada umur dua puluh lima, kakinya melengkung tepat seperti lengkungan pinggang kuda. Pada waktu Danny berumur dua puluh lima tahun, perang m elawan J erm an dium um kan. Danny dan sahabatnya, Pilon (sam bil lalu, Pilon berarti hadiah kecil untuk pem beli bila suatu jual beli dilakukan), sedang menikmati dua galon anggur waktu m ereka m endengar tentang pengum um an perang tersebut. Big J oe Portugis melihat kilatan botol anggur mereka di antara pohon-pohon pinus, lalu menggabungkan diri.

x John Steinbeck Dengan surutnya anggur di dalam botol, naiklah rasa cinta tanah air di dada ketiga orang tersebut. Begitu anggur habis, mereka menuruni bukit, bergandengan tangan untuk melam- bangkan persahabatan dan juga untuk saling menjaga agar m ereka tidak jatuh roboh. Mereka m enuju Monterey. Di depan kantor pendaftaran tentara, m ereka m eneriakkan sem boyan- sem boyan untuk kem enangan Am erika dan m enantang pihak J erman untuk mengerahkan segala kemampuan. Tak kenal lelah mereka meneriakkan ancaman-ancaman terhadap kekaisaran J erm an, sehingga akhirnya m au tidak m au sersan kepala kantor pendaftaran itu terbangun, m engenakan pakaian seragam nya dan keluar untuk m em buat m ereka diam . Sersan ini akhirnya juga terpaksa duduk untuk mencatat mereka. Danny dan kawan-kawan disuruh berjajar di depan meja. Segala ujian mereka lalui dengan gemilang, kecuali ujian untuk m em buktikan bahwa m ereka tidak m abuk. Kem udian Pilon m ulai d it a n ya i. “Kau ingin m asuk bagian ketentaraan yang m ana?” “Tak peduli yang m ana saja,” sahut Pilon tak acuh. “Bagus. Pasukan infanteri agaknya m em butuhkan orang m acam engkau ini.” Maka Pilon didaftarkan pada pasukan infan- teri. Si sersan kini berpaling pada Big J oe. Orang Portugis ini agaknya sudah m ulai waras. “Dan kau, ingin ke m ana?” “Aku ingin pulang,” jawab J oe sedih. Ia pun dicatat di bagian pasukan infanteri. Kini giliran Danny yang tertidur sam bil berdiri. “Kau ingin ke m ana?” “H eh ?” “Hai, kau ingin m asuk bagian apa?” “Apa yang kau m aksud dengan ‘bagian’?” “Kau bisa apa?”

Dataran Tortilla xi “Aku? Aku bisa m engerjakan apa saja.” “Sebelum ini, apa pekerjaanm u?” “Aku? Aku tukang keledai.” “Sungguh? Berapa ekor keledai bisa kau giring sekaligus?” Danny membungkuk ke depan, ragu-ragu namun bangga akan kebisaannya. “Kau punya berapa ekor?” “Sekitar tiga puluh ribu,” jawab si sersan. Dengan m uka m engejek, Danny m engibaskan tangannya. “Itu m udah,” katanya. Begitulah. Danny dikirim ke Texas untuk m enggem balakan keledai selama perang berlangsung. Pilon dibariskan menjelajahi Oregon dengan pasukan infanteri. Dan Big J oe, seperti akan diceritakan kelak, langsung masuk penjara.



1 DANNY MEWARISI DUA BUAH RUMAH KETIKA DANNY pulang dari dinas ketentaraan, dia m endengar bahwa dia menjadi ahli waris dan pemilik sepetak tanah beserta bangunan di atasnya. Viejo-nya, yaitu kakeknya telah m eninggal. Dua buah rum ah kecilnya yang terletak di Dataran Tortilla diwariskan kepada Danny. Berita ini m em buat hati Danny terasa sedikit berat, m eng- ingat kewajibannya sebagai seorang pem ilik rum ah. Sebelum m elihat m iliknya itu, ia pergi m em beli segalon anggur m erah. Dim inum nya anggur itu hingga ham pir habis. Rasa tanggung jawab sebagai pem ilik lenyap dari pikirannya. Dan tabiatnya yang paling buruk m uncul. Ia m enjerit-jerit sepanjang jalan. Ia m enghancurkan beberapa buah kursi biliar di J alan Alvarado. Ia terlibat dalam dua perkelahian singkat dan menang gemilang.

2 John Steinbeck Nam un tak banyak yang m enaruh perhatian pada Danny. Akhir- nya kaki bengkoknya m em bawa ia sem poyongan m enuju ke derm aga. Hari m asih sangat pagi. Nelayan-nelayan Italia bersiap- siap menuju laut, berjalan dengan sepatu karet. Rasa benci kesukuan m engalahkan kebaikan hati Danny. Ia m eneriakkan ancam an-ancam an pada para nelayan itu, “Orang- orang Sisilia haram jadah!” teriaknya. Kem udian, “Sam pah busuk dari pulau penjara!” Dan, “Anjingnya, anjingnya anjing!” Ia berteriak, “Chinga tu m adre, Piojo!”Ia m enjepit hidungnya. Ia m em buat isyarat-isyarat cabul di bawah pinggang. Nam un para nelayan itu hanya m enyeringai tertawa, m em indahkan dayung di bahu dan m enjawab, “Halo, Danny! Kapan datang? Datanglah ke rum ah nanti m alam . Kam i punya anggur baru.” Danny sangat m urka. Ia m enjerit, “Pon un condo a la cabeza!” Mereka berteriak m enjawab, “Selam at tinggal, Danny! Sam pai jum pa nanti m alam .” Para nelayan itu naik ke atas perahu-perahu kecil m ereka dan m engayuh m enuju kapal-kapal lam para yang tak berapa lam a kem udian m enghidupkan m esin, berangkat ke tengah lautan. Danny m erasa tersinggung. Ia kem bali ke J alan Alvarado, sambil lalu melempari jendela-jendela kaca hingga pecah beran- takan, dan di blok kedua ia ditangkap polisi. Danny sangat m enghorm ati hukum , karenanya sam a sekali ia tak m elawan. Bila saja ia tak baru keluar dari dinas ketentaraan, bila saja Am erika tak baru menang perang melawan J erman, mungkin Danny akan dihukum enam bulan. Karena itu hakim hanya m enghukum nya tiga puluh hari. Demikianlah, selama sebulan Danny duduk di atas balai- balai dalam penjara kota Monterey. Kadang-kadang ia m em buat gambar-gambar cabul di dinding, dan kadang-kadang ia melamun- kan pengalam an-pengalam annya selam a m enjadi tentara. Sulit sekali bagi Danny untuk m elewatkan waktunya dalam penjara.

Dataran Tortilla 3 Sekali-sekali seorang pemabuk dilemparkan ke dalam penjara itu, ditahan sem alam . Nam un sebagian besar waktu yang ada terpaksa dilewatkan oleh Danny seorang diri, sebab kejahatan di Monterey sama sekali beku. Mula-mula ia agak merasa terganggu oleh kutu busuk. Namun setelah kutu-kutu busuk itu terbiasa oleh rasa darahnya, dan Danny terbiasa oleh gigitan m ereka, kedua jenis makhluk itu bisa hidup berdampingan secara damai. Danny pun m em ulai suatu perm ainan satiris. Ditangkapnya seekor kutu busuk, dilum atkannya di dinding, digam barnya sebuah lingkaran mengelilingi bekas kutu busuk tadi, dan di bawahnya dituliskannya, ‘Walikota Clough’. Ia m enangkap kutu busuk lainnya dan dengan perlakuan yang sam a ia m enuliskan nam a seorang anggota dewan kota lainnya. Tak lam a sebidang dinding di kamar itu penuh dihiasi oleh lumatan kutu busuk, masing-masing dengan nama seorang tokoh daerah setempat. Ia pun menggambar telinga, ekor, hidung besar, dan kumis pada kutu-kutu busuk tadi. Tito Ralph, sipir, terkejut juga melihat ulah Danny. Nam un ia tak m elaporkan ulah tersebut sebab Danny tak m enuliskan nam a hakim yang m enghukum nya m aupun salah seorang polisi. Danny memang sangat menghargai hukum. Suatu malam ketika keadaan penjara sangat sepi, Tito Ralph masuk ke dalam sel Danny dengan membawa dua botol anggur. Satu jam kemudian ia pergi ke luar untuk mencari anggur lagi dan Danny ikut. Penjara benar-benar sepi. Mereka pergi ke kedai minum milik Torrelli. Mereka minum dan minum terus sampai akhirnya Torrelli terpaksa m elem parkan keduanya ke luar. Danny terhuyung berjalan ke arah hutan pinus dan jatuh tertidur lelap di sana. Tito Ralph terhuyung kem bali ke penjara dan m elaporkan bahwa Danny m elarikan diri. Ketika m atahari yang cerah membuat Danny terbangun sekitar tengah hari, ia meng- am bil keputusan untuk bersem bunyi sepanjang hari, m eloloskan diri dari kejaran. Ia lari dari semak-semak ke semak-semak. Hati-

4 John Steinbeck hati ia mengintip ke segala arah dari balik rimbun pepohonan seperti rubah buronan. Saat senja hari tiba Danny keluar dari semak-semak untuk melakukan suatu kehendak. Danny langsung saja m elakukannya. Ia pergi ke pintu bela- kang sebuah restoran. “Punya roti sisa untuk anjingku?” tanya dia kepada tukang m asak. Tukang m asak yang m udah ditipu itu segera membungkuskan sisa-sisa makanan, sementara Danny berhasil mencuri dua potong daging babi, empat butir telur, sepotong daging domba, dan sebuah pemukul lalat. “Kapan -kapan in i akan kubayar,” kata Dan n y sam bil menerima bungkusan dari si tukang masak. “Tak usah. Sisa-sisa m akanan ini akan kubuang bila kau tak datang m em intanya.” J awaban si tukang m asak m em buat hati Danny lega. Bila begitu duduk perkaranya, tam paknya ia tak m erasa terlalu ber- dosa. Ia pergi ke kedai Torrelli, menukarkan empat telur, daging domba, pemukul lalat dengan segelas anggur, lalu kembali masuk hutan untuk m em asak m akan m alam nya. Malam itu gelap dan lem bap. Kabut bagaikan tirai tebal m elingkupi hutan pinus hitam di tepian kota Monterey. Danny menundukkan kepala dan bergegas untuk segera bisa men- dapatkan kehangatan di antara pohon-pohon besar itu. Di depan- nya ia m elihat sesosok tubuh sedang berjalan bergegas-gegas juga. Setelah dekat, ia melihat bahwa orang itu adalah sahabat- nya, Pilon. Danny seorang m urah hati, tapi ia ingat bahwa kini m iliknya tinggal dua potong daging babi serta sebungkus roti busuk. “Aku lewati saja si Pilon,” pikir Danny. “Ia berjalan seperti kalkun saja.” Namun tiba-tiba Danny melihat bahwa Pilon mencengkam sesuatu dengan gaya m enyayang, sesuatu di balik jaketnya, dekat dadanya. Danny berubah pikiran.

Dataran Tortilla 5 “Ai, Pilon, am igo!” teriaknya. Pilon mempercepat langkahnya. Danny berlari-lari kecil mem- buru. “Pilon, sobat baik! Kau berjalan begitu cepat, mau ke mana?” Pilon putus harapan. Menyerah pada nasib yang tak dapat dihindarinya lagi. Ia berhenti, m enunggu. Danny m endekat pe- nuh waspada, nam un suaranya m enunjukkan kegem biraan, “Aku m encarim u, kawanku, kawanku yang berhati m alaikat, sebab, lihat ini, dua potong daging babi peliharaan Tuhan sendiri! Dan sebungkus roti putih manis. Mari kita makan bersama, Pilon, sobat manis.” Pilon m engangkat bahu. “Baiklah,” ia m enggeram ketus. Ber- dua berdampingan mereka masuk hutan. Pilon tampak sedikit heran. Akhirnya ia berhenti dan bertanya dengan nada sedih, “Danny, bagaim ana kau tahu aku m em bawa sebotol brendi di balik jaketku?” “Brendi?” seru Danny. “Kau punya brendi? Oh, m ungkin untuk seorang ibu tua yang sakit, ya?” ia bertanya tak acuh. “Atau m ungkin kau m enyim pannya untuk kau persem bahkan pada Tuhan kita J esus bila Dia datang kem bali ke bum i ini. Aku toh hanya sobatm u. Aku tak punya hak untuk m enentukan nasib brendim u selanjutnya. Bahkan aku tak tahu bahwa kau m em pu- nyai sebotol brendi. Lagi pula aku tidak haus. Aku tak akan m e- nyentuh brendim u, percayalah. Kau kuajak untuk ikut m enikm ati daging babi panggang milikku ini. Soal brendimu, terserah, itu m ilikm u .” Pilon m enjawab tegas, “Danny, aku tak keberatan m inum brendi ini bersam am u, m asing-m asing separuh botol. Aku hanya ingin kau tak m enghabiskannya sendiri.” Danny m engalihkan bahan pem bicaraan. “Lihatlah. Di sini aku akan memasak daging babiku. Dan kau memanggang roti di situ. Letakkan botol brendim u di tem pat ini, agar kita berdua bisa m elihatnya dan bisa saling m em perhatikan pula.”

6 John Steinbeck Mereka membuat api unggun, memasak daging babi dan m em akannya dengan roti busuk. Brendi di botol cepat juga habis, mereka minum terus-menerus sehabis makan, sambil duduk m encangkung dekat api. Kabut datang m em buat jaket m ereka kelabu karena lem bap. Angin bagaikan m endesah di antara pohon-pohon pinus di sekelilingnya. Beberapa saat lewat, rasa sunyi m ulai m encengkam hati Pilon dan Danny. Danny m em ikirkan kawan-kawannya yang telah hilang. “Di m ana Arthur Morales?” tanya Danny, dengan kedua tela- pak tangan menengadah dan tangan terangkat sedikit ke atas. “Mati di Prancis,” ia m enjawab pertanyaannya sendiri, m enelung- kupkan tapak tangan dan menjatuhkan lengan lemas ke samping. “Mati untuk negerinya. Mati di negeri asing. Orang-orang asing berjalan di dekat kuburannya dan tak tahu bahwa di kuburan itu terbaring Arthur Morales.” Ia m engangkat lengan lagi, dengan telapak m enengadah. “Di m ana Pablo, si baik hati itu?” “Di bui,” jawab Pilon. “Pablo m encuri seekor angsa dan ber- sem bunyi di sem ak-sem ak, angsa itu m enggigitnya dan Pablo menjerit, lalu tertangkap. Ia dipenjara selama enam bulan.” Danny mendesah, tak meneruskan pembicaraan, karena ia sadar bahwa ia kehabisan bahan yang patut dibicarakan. Tetapi kesepian m asih m encengkam hatinya dan bergolak m encari jalan keluar. “Di sinilah kita duduk,” akhirnya ia berkata. “... dengan hati m erana,” sam bung Pilon, beriram a. “Tidak. Ini bukan sajak,” kata Danny. “Di sinilah kita berdua, tak m em punyai rum ah. Kita telah m enyum bangkan hidup kita pada negara, dan kini tak ada langit-langit untuk berteduh.” “Dahulu pun kita tak punya rum ah,” hibur Pilon. Sambil melamun Danny minum dari botol sampai terpaksa Pilon m eram pas botol itu. “Oh, aku jadi ingat sebuah cerita,” kata Danny kem udian, “cerita tentang seseorang yang m em iliki

Dataran Tortilla 7 dua buah rum ah pelacuran....” Ia tertegun, m ulutnya ternganga, “Pilon!” jeritnya. “Pilon! Sobatku yang baik! Aku baru ingat! Aku seorang ahli waris! Aku m em iliki dua rum ah.” “Dua rum ah pelacuran?” tanya Pilon penuh harap. “Kau pem abuk tukang bohong!” “Tidak, Pilon, aku berkata sebenarnya. Viejo-ku m eninggal. Aku ahli warisnya. Aku, cucu yang paling dicintainya.” “Mem ang cucunya hanya satu,” tukas Pilon yang suka m e- ngatakan apa pun seadanya. “Di m ana rum ah warisanm u itu?” “Kau tahu rum ah viejo di Dataran Tortilla?” “Di Monterey sini?” “Ya. Di Dataran Tortilla sini.” “Baguskah rum ah-rum ah itu?” Danny duduk kem bali, lem as oleh em osi. “Aku tak tahu. Aku lupa bahwa rumah-rumah itu milikku.” Pilon term enung. Mukanya m akin lam a m akin m em bayangkan kesedihan. Ia melemparkan segenggam daun pinus ke dalam api, memperhatikan betapa api melonjak-lonjak di antara daun-daun itu hingga habis. Lam a sekali ia m enatap wajah Danny dengan air muka penuh kekhawatiran, kemudian mendesah keras sekali. Kem udian dengan sedih berkata, “Habis sudah. Masa bahagia kita habis kini. Semua kawanmu pasti berduka. Tapi duka cita m ereka tak akan ada hasilnya.” Danny m eletakkan botolnya, dan Pilon m engam bil botol itu, m em angkunya. “Apa yang habis sudah?” tanya Danny. “Apa m aksudm u?” “Ini bukan kali pertam a,” sahut Pilon. “Bila seseorang dalam kem iskinan, ia berpikir ‘Bila aku punya uang, sem ua kawan- kawanku akan kubagi’. Tetapi begitu ia benar-benar m endapat uang, lenyap sudah hati pem urahnya. Begitu juga dengan kau, bekas sobat. Kini kau diangkat jauh di atas kawan-kawanm u. Kini kau orang berharta. Kau pasti akan m elupakan kawan-kawan

8 John Steinbeck yang dahulu bersedia m em bagi apa saja denganm u, bahkan se- botol brendi sekalipun.” Kata-kata itu m em buat Danny gusar. “Tidak! Aku tak akan m elupakanm u, Pilon!” “Begitulah katam u sekarang,” kata Pilon dingin. “Tapi bila nanti kau telah memiliki dua buah rumah, kau akan berubah. Pilon akan tetap sebagai seorang paisano miskin, sementara kau makan bersama wali kota.” Sem poyongan Danny berdiri dengan berpegangan pada se- batang pohon. “Pilon, aku bersum pah. Apa pun m ilikku adalah m ilikm u juga. Bila aku punya rum ah, kau pun punya rum ah. Nah, berilah aku minum.” “Itu m asih harus kau buktikan,” kata Pilon dengan harap- harap cem as. “Bila terbukti, itu m erupakan suatu m ukjizat! Sem ua orang akan berdatangan ke m ari untuk m enyaksikannya. Tapi botol ini sudah kosong.”

2 PILON MENYEWA RUMAH DANNY AHLI HUKUM yang m engurus persoalan warisan m eninggalkan m ereka di pintu pagar rum ah kedua, naik ke m obil Ford-nya kem udian m enuruni bukit m enuju Monterey. Danny dan Pilon berdiri di depan pagar tak bercat itu, mengagumi rumah yang kini menjadi milik Danny. Sebuah rumah rendah, di sana-sini masih berlapis pemutih dinding. J endela- jendela kosong tak bertirai. Di serambi tumbuh belukar mawar Castille merah, dan bunga-bunga geranium kesayangan kakek, liar di antara rumput-rumput tak terurus di halaman depan. “Ini lebih baik daripada yang satunya,” kata Pilon, “lebih besar.” Danny m em egang sebuah kunci baru. Berjingkat ia m enye- berangi seram bi yang sudah reyot dan m em buka pintu depan.

10 John Steinbeck Ruang utam a m asih tetap seperti saat viejo m asih hidup. Kalender berwarna m awar m erah tahun 190 6, bendera sutra pada dinding, gam bar Fighting Bob Evans m engintip dari kerangka sebuah kapal perang, bunga mawar kertas terpaku di dinding, rangkaian cabai merah dan bawang putih, kompor kedap udara, kursi goyang yang sudah lapuk. Pilon m elihat ke dalam dan m elapor, “Tiga buah kam ar. Sebuah tem pat tidur dan sebuah kom por. Kita pasti akan m erasa bahagia di sini, Danny.” Danny bergerak hati-hati m enjelajahi rum ahnya. Kenangan pahit tentang viejo m elanda benak. Pilon m endahuluinya m asuk dapur. “Tem pat cuci dengan keran!” teriaknya. Ia m em utar keran tersebut. “Tak ada airnya, Danny. Kau harus m inta pada perusahaan air minum untuk mengalirkan air ke sini.” Mereka diam berdiri dan saling tersenyum. Pilon melihat kekhawatiran karena memiliki sesuatu mulai menguasai wajah Danny. Wajah itu tak akan terlihat bebas lagi. Danny tak akan dengan ria hati melempari jendela orang, sebab kini ia sendiri mem- punyai jendela-jendela untuk dipecahkan. Pilon benar—Danny telah berada sederajat lebih tinggi daripada kawan-kawannya. Bahunya kini diberati beban untuk menghadapi keruwetan hidup ini. Sebuah desahan pedih terlepas dari bibir Danny, sebelum ia meninggalkan kehidupan lamanya yang serba sederhana. “Pilon,” desahnya, “alangkah senangnya bila kaulah yang m e- miliki rumah ini, dan aku datang menumpang padamu.” Danny pergi ke Monterey untuk minta agar air minum dialir- kan kem bali ke rum ahnya. Pilon pergi ke halam an belakang. Halam an itu penuh sem ak belukar. Beberapa batang pohon buah- buahan menghitam, menua, berpatahan tak terurus. Terlihat juga kerangka gelang-gelang tong yang berkarat, setum puk abu, dan sebuah kasur lapuk. Dari balik pagar belakang Pilon melihat kandang ayam Nyonya Morales. Setelah berpikir sebentar, Pilon

Dataran Tortilla 11 m em buat beberapa buah lubang di pagar papan itu. Agar ayam - ayam dari tem pat Nyonya Morales bisa m asuk ke halam an belakang rum ah Danny. “Pastilah ayam -ayam itu senang m em buat sarang di antara semak-semak ini,” pikir Pilon. Ia pun mulai m erancang untuk m em buat perangkap bagi ayam -ayam jantan yang m ungkin juga ikut m asuk. Bila ia bisa m enahan ayam jantan di sebelah dalam halam an, pikir Pilon, pastilah ayam -ayam betina yang sudah m asuk tak akan m au kem bali lagi ke tem pat Nyonya Morales. “Dan kita bisa hidup lebih bahagia lagi,” pikir Pilon lagi. Danny tiba dengan wajah suram dari Monterey. “Perusahaan air m inta kita m em bayar uang m uka dulu,” ka t a n ya . “Uang m uka?” “Ya. Tiga dolar. Setelah itu baru air m engalir ke m ari.” “Tiga dolar,” desis Pilon m arah pula. “Itu berarti tiga galon anggur. Lebih baik dibelikan anggur saja. Dan kalau anggur habis, kita toh bisa m inta air pada Nyonya Morales, tetangga kita.” “Tetapi uang tiga dolar itu pun kita tak punya.” “Aku tahu. Kalau begitu kita pinjam saja sedikit anggur dari Nyonya Morales.” Sore hari tiba. “Besok kita akan m ulai tinggal di sini,” kata Danny. “Besok kita m ulai m em bersihkan segalanya dan m engatur barang-barang ini. Kau, Pilon, kuserahi tugas untuk m em babat sem ak-sem ak di halam an belakang. Buanglah kotoran yang ada ke sungai.” “Sem ak-sem ak?” Pilon terkejut. “J angan. Biarkan saja sem ak- sem ak itu.” Ia cepat m enerangkan teorinya tentang ayam -ayam Nyonya Morales. Danny segera juga setuju sepenuhnya atas rencana Pilon. “Kawanku,” katanya, “aku sungguh m erasa senang bahwa kau tinggal di sini bersam aku. Kini aku akan m encari kayu api. Dan kau mencari sesuatu untuk makan malam nanti.”

12 John Steinbeck Pilon teringat akan brendinya, m enganggapnya kurang adil. “Aku bagaikan berutang padanya,” pikir Pilon. “Kebebasanku akan berkurang. Segera aku akan jadi budaknya hanya karena rum ah Yahudi ini.” Tapi berangkat juga ia m encari bahan m akanan untuk makan malam. Dua blok dari rum ah Danny, di pinggir hutan pinus, ia m e- lihat seekor ayam jantan Ply m outh Rock yang m enjelang dewasa. Umur ayam itu mencapai tingkat saat suaranya mulai pecah, dan bulu-bulu di kaki, leher, dan dadanya mulai rontok. Mungkin karena pikirannya terpengaruh oleh kebaikan hati terhadap ayam- ayam Nyonya Morales, runtuh iba Pilon pada ayam jantan ini. Ia berjalan perlahan ke arah hutan. Dan ayam itu lari di depannya. Pikir Pilon, “Kasihan benar kau, dengan bulu-bulu yang mulai rontok. Pastilah kau sangat kedinginan waktu pagi hari, kala em bun m ulai turun dan udara m enjadi dingin oleh fajar. Tuhan yang baik tidak selalu baik terhadap binatang lem ah seperti engkau.” Ia berpikir lagi, “Dan kau berm ain di sini, di jalanan, ayam kecil. Banyak bahaya di sini. Bisa saja sebuah m obil m elindasm u. Bila engkau langsung m ati, tak apalah, itu lebih baik bagim u. Tapi bagaim ana kalau yang kena hanya kakim u, atau sayapm u? Akhir hidupm u selanjutnya akan penuh kesengsaraan. Hidup ini betul-betul sangat kejam terhadapm u, ayam ku sayang.” Pilon bergerak perlahan, hati-hati. Sekali-sekali si ayam mencoba untuk lari kembali ke jalan. Namun Pilon selalu berada tepat di hadapannya. Akhirnya si ayam lenyap m asuk ke dalam hutan. Seolah tak acuh Pilon mengikuti terus. Patut dicatat di sini kemenangan Pilon. Tak terdengar sedikit pun keok kesakitan si ayam . Ayam yang m enurut ram alan Pilon akan hidup dengan penuh kesengsaraan itu m elepas nyawa dengan tenang dan dam ai—setidak-tidaknya tanpa suara. Ini sem ua berkat teknik Pilon yang sudah bertaraf tinggi.

Dataran Tortilla 13 Sepuluh menit kemudian Pilon keluar dari hutan, berjalan ke arah rum ah Danny. Ayam tadi kini telah tak berbulu, dan terpotong-potong, disimpan dalam berbagai tempat pada saku- saku jaket Pilon. Bagi Pilon tak ada tata cara kehidupan yang lebih ketat daripada ini. J angan sekali-kali membawa bulu, kepala atau kaki seekor ayam pulang, sebab tanpa ketiganya seekor ayam tak akan bisa dikenali oleh siapa pun. Malam hari mereka berdua membuat api di perapian kedap udara. Nyala api m elonjak-lonjak pada cerobong asap. Danny dan Pilon, perut m ereka kenyang, hangat dan santai duduk di kursi goyang, bergoyang-goyang. Waktu m akan tadi m ereka m enggunakan sebatang lilin. Tapi kini cahaya hanya datang dari celah-celah perapian. Kebahagiaan m ereka sem purna oleh jatuhnya hujan, berderap di atap. Bocor juga pada beberapa tem pat. Tapi itu pun di tem pat di m ana tak akan ada orang yang mau duduk. “Senang sekali,” kata Pilon, “bayangkan, saat-saat kita harus tidur dalam kedinginan udara terbuka. Ini betul-betul cara hidup yang benar.” “Ya, dan aneh juga rasanya,” sahut Danny. “Bertahun-tahun aku tak m em punyai rum ah. Kini aku m alah punya dua. Aku tak dapat tidur di dua rumah sekaligus.” Pilon tak m em buang-buang waktu lagi. “Hal itu juga yang ku- pikirkan. Bagaim ana kalau kau sewakan saja rum ah yang satunya itu?” Danny berhenti bergoyang. “Pilon,” serunya, “m engapa pikir- anku tak pernah ke situ!” Pikiran Pilon m ulai tertanam di benak- nya. “Tapi, siapa yang m au m enyewanya, Pilon?” “Aku,” jawab Pilon, “akan kubayar sepuluh dolar tiap bulan.” “Lim a belas,” Danny m enuntut, “rum ah baik, pantas untuk disewa lima belas dolar.”

14 John Steinbeck Pilon menggerutu, tapi setuju. Walaupun lebih daripada itu pasti ia juga setuju, sebab ia sadar bahwa bila seseorang tinggal di sebuah rum ah derajatnya akan naik, dan Pilon sudah lam a menginginkan kenaikan derajat itu. “J adi, sudah beres,” kata Danny m enyim pulkan. “Kau m e- nyewa rum ahku. Oh, aku akan m enjadi pem ilik rum ah yang baik, Pilon, aku tak akan mengusik-usikmu.” Pilon, di luar m asa dinas ketentaraannya, belum pernah m em iliki uang sebesar lim a belas dolar seum ur hidupnya. Tapi ia berpikir bahwa m asih ada waktu sebulan untuk m em bayar uang sewa itu. Dan dalam sebulan banyak yang bisa terjadi. Dengan perasaan puas mereka berdua bersantai dekat keha- ngatan api. Beberapa lam a kem udian Danny keluar, dan m asuk kem bali m em bawa beberapa buah apel. “Kalau tidak kuam bil, pasti m em busuk oleh hujan,” katanya seakan m inta m aaf. Pilon tak m au kalah. Ia m enyalakan lilin dan pergi ke kam ar tidur. Kem bali dengan m em bawa baskom dan gayung, dua vas kaca m erah, serum pun bulu jam bul burung unta. “Tak baik ter- lalu banyak m enyim pan barang-barang yang m udah pecah,” katanya, “bila pecah, kau jadi sedih. Karenanya lebih baik tak memiliki barang-barang seperti ini.” Ia mengambil kertas mawar dari dinding. “Akan kupersem bahkan pada Nyonya Torrelli,” ia menerangkan sambil keluar. Cepat juga ia kem bali, basah oleh hujan. Nam un wajahnya penuh kem enangan, sebab di tangannya terlihat satu guci berisi anggur merah. Mereka berdua bertengkar sengit kemudian, namun tak ada yang peduli siapa m enang, karena terlalu capai. J uga anggur m em buat m ereka m engantuk dan keduanya tertidur di lantai. Api m ati, perapian berderik saat m endingin. Lilin terkulai dan padam dalam cairannya sendiri dengan m enyinarkan cahaya biru terakhir. Rum ah itu gelap dan sunyi, dan dam ai.

3 TABIAT BURUK PILON TIMBUL KEESOKAN HARINYA Pilon pindah ke rum ah Danny yang lain. Bentuknya m irip rum ah Danny, hanya lebih kecil. Di seram bi juga terdapat sem ak m awar m erah Castille. Di halam an depan, rum put tum buh liar. Pohon buah-buahan, geranium m erah—dan kandang ayam Nyonya Morales di sebelah pagar. Kini Danny m enjadi orang besar karena m enyewakan rum ah, dan Pilon naik tingkat karena dapat m enyewa rum ah. Sulit diduga apakah Danny benar-benar berharap akan men- dapat uang sewa, atau apakah Pilon benar-benar punya keinginan untuk m em bayar uang sewa. Bila harapan dan keinginan itu ada, keduanya pasti kecewa. Danny tak pernah m enagih dan Pilon tak pernah m enawarkan untuk m em bayar. Kedua sahabat itu sering terlihat bersam a. Kapan saja Pilon m em punyai seguci anggur atau sepotong daging, pastilah Danny

16 John Steinbeck akan m engunjunginya. Dan sebaliknya bila Danny m endapat sedikit rezeki, Pilon pasti m elewatkan m alam nya di rum ah Danny. Kasihan Pilon. Sudah pasti ia m au m em bayar sewanya, asalkan saja ia punya uang. Sialnya ia tak pernah punya—kalaupun punya, tak pernah cukup lam a sam pai ia bisa bertem u dengan Danny. Kadang-kadang pikiran tentang kebaikan hati Danny dan kem iskinan dirinya sering m engganggu hati kecil Pilon, sebab Pilon seorang yang berhati jujur. Suatu m alam ia m em punyai uang satu dolar. Uang itu dida- patnya dengan cara yang begitu aneh, sehingga cepat-cepat ia m encoba m elupakannya. Sebab kapan saja ia ingat bagaim ana mendapat uang itu, ia bagaikan gila. Seseorang di depan hotel San Carlos tiba-tiba saja m enaruh uang dolar itu di tangannya sam bil berkata, “Cepat larilah ke kedai, belikan em pat botol ginger-ale. Hotel ini kehabisan minuman.” Betul-betul suatu m ukjizat, pikir Pilon. Mana ada orang yang begitu tak punya prasangka, m em percayakan uang satu dolar pada orang yang sam a sekali tak dikenalnya? Pilon m em bawa uang itu untuk diberikan pada Danny. Tetapi belum sam pai bertem u Danny, uang itu dibelikannya segalon anggur. Dan dengan anggur itu ia m em ikat dua orang gadis m ontok ke rum ahnya. Danny yang kebetulan lewat di depan rum ah Pilon m endengar suara riuh, dengan gem bira ia bergabung. Pilon m enyerahkan segala sesuatunya pada Danny. Danny m em bantu m engatur salah satu dari kedua gadis itu dan menghabiskan setengah dari anggur yang ada. Kem udian m ereka berkelahi. Danny kehilangan sebuah gigi, sem entara baju Pilon koyak. Kedua gadis tadi m enjerit-jerit, m enyepak siapa saja yang kebetulan berada di posisi bawah. Akhirnya Danny berhasil berdiri, m enghantam perut salah seorang kedua gadis itu. Si gadis lari ke luar rumah, m elolong bagaikan kungkang. Gadis yang satunya m enyam bar dua buah panci dan ikut lari ke luar.

Dataran Tortilla 17 Beberapa saat, Pilon dan Danny m enangis, m eratapi kebu- sukan hati perempuan. “Kau tak tahu, betapa betinanya sem ua perem puan,” Danny mengucapkan kata-kata mutiara. “Aku tahu,” sahut Pilon. “Tidak, kau tak tahu.” “Ta h u !” “Du s t a !” Mereka berkelahi lagi, tapi tak sehebat tadi. Sehabis berkelahi Pilon m erasa hatinya agak longgar. Bukankah ia telah m enjam u pem ilik rum ahnya? Beberapa bulan berlalu. Kem bali pikiran Pilon terisi oleh sewa rum ah yang belum pernah dibayarnya. Makin lam a pikiran itu m akin terasa m engganggu. Akhirnya dalam keputusasaannya ia bekerja sehari suntuk membersihkan cumi-cumi di tempat Chin Kee. Ia berhasil m endapat upah dua dolar. Sorenya ia m eng- ikatkan sapu tangan m erah di lehernya, m em akai topi pening- galan ayahnya dan berangkat ke rum ah Danny dengan m em bawa uang dua dolar di saku. Tapi di tengah jalan ia berhenti, membeli dua galon anggur. “Lebih baik dem ikian,” pikir Pilon, “bila ia kuberi uang, tak akan terasa betapa aku m encintainya sebagai sahabat. Lagi pula, akan kukatakan padanya bahwa kedua galon anggur ini kubeli dengan harga lima dolar.” Pikiran tolol, memang, dan Pilon juga tahu itu. Sebab di Monterey ini tak ada yang lebih tahu tentang harga anggur daripada Danny. Dengan hati bahagia Pilon berjalan terus. Keputusannya sudah tak akan berubah lagi, hidungnya m enunjuk tepat ke arah rum ah Danny. Kakinya bergerak, tidak cepat, nam un tetap pada arah yang benar. Masing-m asing tangannya m em bawa sebuah kantong kertas. Dan di dalam masing-masing kantong kertas terdapat seguci anggur.

18 John Steinbeck Senja kemerah-merahan. Saat waktu tidur siang habis, pem- bicaraan dan keriaan malam belum mulai. Pohon-pohon pinus terbayang hitam berlatar belakang langit dan sem ua benda yang dekat dengan tanah mulai ditelan kegelapan, namun langit masih secerah kenangan. Burung layang-layang beterbangan ke sarang- nya di batu-batu karang, setelah seharian m enghabiskan waktu di perusahaan pengalengan di Monterey. Pilon seorang pencinta keindahan dan mistik. Ia menengadah ke langit dan jiwanya terbang ke angkasa m enem ui sinar-sinar akhir m atahari. Pilon bukan lagi Pilon yang biasa. Bukan lagi Pilon yang tidak terlalu sem purna, yang selalu m erancang siasat, berkelahi, m abuk, m em aki, dan m enjalani hidupnya dengan lam bat dan susah-payah. Yang terbang ke atas itu adalah Pilon yang bersinarkan kebijaksanaan, terbang m engikuti burung layang-layang di kerem bangan m alam . Pilon yang tam pan, yang pikirannya bersih m urni tak ternoda oleh ketam akan dan nafsu. Dan pikirannya pun sungguh indah. “Bapak kam i ada pada sore ini,” ia berpikir, “burung-burung ini beterbangan m elalui dahi Bapak. Burung-burung tercinta, burung layang-layang tercinta, oh, betapa aku m encintai kalian sem ua. Sayapm u yang lentik m engusap jantungku, bagaikan tangan seorang tuan m engusap perut kenyang anjingnya, bagaikan tangan Kristus m engusap kepala anak-anak kecil. Burung-burung tercinta,” ia m elanjutkan pikirannya, “terbanglah m enuju Bunda Kesedihan Manis kam i, bawalah serta hatiku yang terbuka lebar.” Dan diucapkannya kata-kata terindah yang diketahuinya, “Ave Maria, gratia plena....” Kaki Pilon yang jahat berhenti bergerak. J elasnya, saat itu juga Pilon yang berhati buruk tiada lagi di dunia. (Malaikat pencatat, dengarlah ini!) Tak akan pernah ada sebentuk jiwa yang lebih m urni daripada jiwa Pilon saat itu. Baik dahulu, sekarang, ataupun di waktu-waktu m endatang. Anjing Galvez yang biasanya

Dataran Tortilla 19 sangat galak m endekati kaki Pilon yang lena dalam kegelapan itu. Dan anjing itu hanya m encium sedikit, pergi tanpa m enggigit sama sekali. Suatu jiwa yang bersih, suatu jiwa yang selam at dari noda dunia adalah jiwa yang berada dalam bahaya. Sebab segala sesuatu di dunia ini akan m encoba sekuat tenaga untuk m enariknya kem - bali ke kancah dosa. Santa Augustine berkata, “Bahkan jeram i alas kakiku berteriak-teriak untuk m enggoda kekhusyukan doaku.” Dan jiwa Pilon tidaklah kebal, bahkan terhadap kenangan yang ada pada benaknya. Dalam m em perhatikan keindahan burung-burung itu, pikirannya m elantur pada Nyonya Pastano yang biasa m em buat tam ale dari burung layang-layang, m em buat ia m erasa lapar. Dan rasa lapar m eruntuhkan jiwanya dari ang- kasa. Pilon bergerak lagi. Kem bali m enjadi Pilon biasa yang m eru- pakan perpaduan baik dan buruk. Anjing Galvez berpaling pada- nya, m enggeram m arah dan m undur, m enyesal telah m elepaskan kesempatan baik untuk menggigit kaki Pilon. Pilon sedikit membungkuk untuk meringankan beban di t a n ga n n ya . Suatu kenyataan yang dibuktikan dan dicatat oleh berbagai sejarah adalah, suatu jiwa yang m am pu berbuat paling m ulia juga m am pu berbuat sesuatu yang paling busuk. Tak ada yang bisa berbuat lebih keji daripada seorang pendeta yang berkhianat pada gereja. Tak ada yang bisa berbuat lebih tak senonoh daripada seorang perawan yang baru saja kehilangan keperawanannya. Tapi itu semua tergantung dari mana kita tinjau persoalan yang ada. Pilon baru kembali dari surga. Ia tak tahu apa-apa, tetapi sebenarnya ia kini jadi sasaran em puk angin jahat yang m ulai bertiup dari segala arah m engepung dirinya. Mem ang kakinya m asih m elangkah ke arah rum ah Danny. Tetapi di hatinya tak ada lagi m aksud tetap dan iktikad kukuh. Kaki-kaki itu bersiap- siap untuk mengubah arah begitu ada sedikit perintah untuk itu.

20 John Steinbeck Dan Pilon sudah mulai memikirkan betapa mabuk ia dengan dua galon anggur yang dihabiskan sendiri, lagi pula berapa lam a ia tahan mabuk. Hari hampir gelap. J alan tak beraspal itu kini tak terlihat, juga selokan di kiri-kanan jalan. Tak ada kesim pulan yang ditarik di sini, mengapa pada saat Pilon sedang terombang-ambing an- tara kemurahan hati dan rasa tamak, Pablo Sanches justru ter- lihat duduk termenung di tubir selokan merindukan sebatang rokok atau segelas anggur. Ah, doa jutaan m anusia, betapa m ereka harus berkelahi dan saling menghancurkan di sepanjang jalan menuju hadirat Tuhan. Mula-mula Pablo mendengar suara tapak kaki, kemudian m elihat sosok tubuh m endekat, dan akhirnya ia m engenali Pilon. “Ai, am igo,” serunya riang, “beban apa yang sedang kau bawa?” Pilon tertegun seketika. Berpaling. “Oh, kukira kau m asih berada di dalam penjara,” katanya tegas, “aku m endengar cerita tentang seekor angsa.” “Apa yang kau dengar benar, Pilon,” sahut Pablo dengan nada bergurau. “Tetapi aku tak disam but dengan baik di penjara. Hakim berkata, hukumanku tidak membuatku jera. Dan polisi berkata, di dalam penjara aku m enghabiskan m akanan yang dijatahkan untuk tiga orang. J adi,” katanya dengan bangga, “aku mendapat pengampunan.” Pilon terselamatkan dari rasa tamak. Memang benar, ia tak m em bawa anggurnya ke rum ah Danny, nam un saat itu juga ia m engajak Pablo untuk m inum anggur di rum ahnya. Bila dua jalan kem urahan hati bercabang, dan hanya ada satu jalan yang bisa ditem puh, siapa yang bisa m enentukan jalan m ana yang terbaik? Dengan hati gembira Pilon dan Pablo memasuki rumah kecil itu. Pilon m enyalakan lilin dan m engeluarkan dua buah gelas buah-buahan untuk minum.

Dataran Tortilla 21 “Untuk kesehatan kita!” kata Pablo. “Salud!”sahut Pilon. Beberapa saat kem udian, “Salud!” kata Pablo. “Sem oga nasibm u baik!” jawab Pilon. Mereka istirahat sejenak. “Su servidor,” kata Pilon. “Selam at berm abuk-m abukan,” sahut Pablo. Dua galon adalah jum lah anggur yang banyak, bahkan untuk dua orang paisano. Takaran guci anggur itu bisa digambarkan sebagai berikut: Bila anggur dim inum sam pai ke bahu botol per- tama, terjadi percakapan serius dan penuh arti. Dua inci turun, si peminum terkenang akan kenangan sedih dan manis. Tiga inci lagi turun, kenangan tentang percintaan m asa lalu yang m enye- nangkan. Satu inci lagi turun, kenangan tentang percintaan lama yang pahit. Dasar guci pertam a tercapai, kesedihan um um dan tak terarah. Bahu botol kedua tercapai, rasa putus asa yang suram . Dua jari turun, sebuah nyanyian kem atian atau kerinduan. Turun satu jempol lagi, nyanyian apa saja yang teringat. Graik itu ber­ henti di sini, sebab setelah titik ini tercapai tak ada kepastian, apa saja bisa terjadi. Tetapi mari kita kembali pada titik pertama saat terjadi per- cakapan serius dan penuh arti. Sebab di sinilah Pilon mencapai sa sa r a n n ya . “Pablo,” dia berkata, “apakah kau tidak bosan tidur di se- lokan? Basah, tak berkawan, tanpa atap?” “Tidak,” jawab Pablo. Pilon terpaksa m em perlem but suaranya. “Begitu juga aku, kawanku, waktu aku sering tidur di selokan-selokan. Saat itu aku juga sudah merasa puas, sebab aku tak mengenal bagaimana senangnya untuk tinggal di suatu rum ah kecil, dengan atap dan halam an. Ah, Pablo, hidup ini tak sem purna bila kita tak pernah tidur di dalam rumah.” “Ya, m em ang m enyenangkan, tam paknya.”

22 John Steinbeck Pilon langsung m enyerang. “Begini, Pablo, bagaim ana kalau kau sewa sebagian dari rumahku ini? Dengan begitu kau tak usah lagi tidur di atas tanah keras dan dingin. Tak usah tidur di pasir di bawah dermaga di mana ketam masuk ke dalam sepatumu. Bagaim ana kalau kau tinggal di sini bersam aku?” “Tentunya senang sekali.” “Dan, dengar, kau hanya harus m em bayar sewa lim a belas dolar sebulan! Kau boleh m enggunakan apa saja di rum ah ini, kecuali tem pat tidurku. Kau boleh m enggunakan sem ua halam - annya. Coba pikirkan itu, Pablo! Dan kau punya alam at tetap, sehingga bila seseorang ingin mengirim surat kepadamu, ia tak usah bingung menuliskan alamat.” “Wah, bagus sekali!” Pilon m erasa lega. Baru ia sadar betapa berat sebenarnya beban di dalam hatinya karena utangnya terhadap Danny. Ke- nyataan bahwa ia tahu benar Pablo tak akan m am pu m em bayar sewa sam a sekali tak m engurangi kem enangannya. Bila Danny m enagih, dengan m udah ia akan m enjawab, “Akan kubayar bila Pablo m em bayar utangnya padaku.” Anggur m ereka bergerak ke titik berikutnya. Dan Pilon teringat m asa kanak-kanaknya yang penuh kebahagiaan. “Waktu itu aku sam a sekali tak punya beban hidup, Pablo. Aku tak kenal dosa. Aku sangat bahagia.” “Benar. Kita tak pernah lagi m enjum pai kebahagiaan yang setara dengan kebahagiaan masa kanak-kanak kita.” Pablo meng- angguk sedih.

4 JESUS MARIA CORCORAN IKUT BERGABUNG HARI-HARI lewat dengan tenang bagi Pilon dan Pablo. Mereka bangun perlahan, penuh pikiran, saat matahari telah menanjak lebih tinggi daripada pohon-pohon pinus, saat teluk di bawah sana beriak dan m em antulkan cahaya m atahari. Tiap pagi yang cerah m erupakan saat-saat kegem biraan yang penuh kedamaian. Saat embun gemerlap di ujung-ujung daun, bagaikan intan, indah walaupun tak berharga. Saat-saat semacam itu bukannya saat-saat untuk tergesa-gesa. Pikiran-pikiran yang berm unculan di pagi hari selalu pikiran-pikiran yang m atang dan sangat berharga. Dengan memakai blue-jean dan kemeja biru, Pablo dan Pilon pergi ke selokan di belakang rum ah. Berjalan berdam pingan sebagai layaknya sobat kental. Hajat m ereka selesai, berdua

24 John Steinbeck m ereka kem udian duduk dalam cahaya m atahari di seram bi, untuk m endengarkan terom pet penjual ikan di Monterey, untuk membicarakan secara mendalam kejadian-kejadian di Dataran Tortilla. Sebab di Tortilla terjadi peristiwa-peristiwa penting, lebih banyak daripada peristiwa yang terjadi di seluruh dunia dalam sehari. Mereka diliputi kedam aian di seram bi itu. Hanya ujung jari kaki m ereka yang bergerak, yaitu bila lalat-lalat m endarat di sana. “Bila saja sem ua em bun m enjelm a m enjadi intan,” kata Pablo, “kita akan kaya raya. Kita bisa m abuk-m abukan selam a hidup kita.” Pilon yang selalu dibebani oleh kebiasaan m em ikir sesuatu yang hanya m asuk di akal, m enyam but, “Kalau em bun jadi intan, sem ua orang akan m em iliki terlalu banyak intan. Karenanya intan akan m enjadi barang yang tak berharga. Lebih baik bila hujan anggur saja. Sehari saja. Kita tam pung di dalam bak besar.” “Tapi anggur yang baik. Bukan anggur m urahan seperti yang kau bawa kemarin.” “Aku tak m em belinya,” kata Pilon. “Anggur itu tersem bunyi di rerum putan dekat balai dansa. Apa yang kau harap dari anggur yang kau dapati di halam an?” Diam lagi, m asing-m asing sibuk m engusir lalat. Kem udian Pilon berkata, “Cornelia Ruiz m em bacok si orang Meksiko berkulit hitam itu kemarin.” Pablo m em buka m ata, sedikit tertarik, “Mereka berkelahi?” “Oh, tidak. Si Hitam tidak tahu bahwa Cornelia punya pacar baru. Ia m em aksa m asuk. Karenanya Cornelia m em bacoknya.” “Masa soal begitu ia tak tahu,” desah Pablo. “Dia ada di kota waktu Cornelia m endapat kekasih baru. Si Hitam ingin m asuk lewat jendela waktu didapatinya pintu t er ku n ci.” “Tolol benar si Hitam itu,” kata Pablo. “Ia m ati?”

Dataran Tortilla 25 “Tidak. Hanya luka tangannya. Cornelia tak begitu m arah, hanya ingin m encegah si Hitam m asuk.” “Cornelia m em ang perem puan yang tidak setia,” kata Pablo. “Tetapi ia sanggup m em persem bahkan nyanyian m isa untuk ayahnya yang telah m ati sepuluh tahun yang lalu.” “Ayah Cornelia benar-benar m em erlukan m isa itu,” Pilon m engangguk. “Ia bajingan, nam un tak pernah terbukti m elanggar hukum . Setidak-tidaknya tak pernah dibui. J uga tak pernah mengaku dosa pada pendeta. Waktu Ruiz tua itu sekarat, Pak Pendeta datang untuk m enghiburnya. Dan Ruiz m engaku segala dosanya. Menurut Cornelia, wajah Pak Pendeta jadi pucat pasi waktu keluar dari kam ar Ruiz. Berulang kali setelah itu Pak Pendeta berkata bahwa ia tak percaya pada pengakuan Ruiz.” Pablo, dengan gerakan luwes seekor kucing, berhasil mem- bunuh seekor lalat yang hinggap di lututnya. “Ruiz m em ang pem - bohong besar. Nyawanya m em erlukan banyak m isa agar bisa ber- sih. Tetapi bagaimana pendapatmu, apakah sebuah misa bisa ber- arti, bila uang untuk m em biayai m isa itu hasil m encopet dari saku orang-orang yang tertidur karena anggur di rum ah Cornelia?” “Sebuah m isa, ya, sebuah m isa,” jawab Pilon. “Contohnya, seorang penjual anggur toh tak peduli dari mana kau dapat uang untuk m em bayar anggurnya. Begitu juga bagi Tuhan, Ia tak peduli dari mana uang untuk misa itu datang. Tuhan suka pada m isa, seperti kau m enyukai anggur. Pater Murphy sangat gem ar m engail, dan selam a beberapa bulan air suci di gerejanya berbau ikan m ackerel. Tetapi toh air itu tetap air suci. Hal-hal seperti ini hanya bisa diterangkan oleh seorang pendeta. Bukan urusan kita. Di m ana, ya, kita bisa m endapatkan beberapa butir telur untuk makan? Pastilah enak makan telur sepagi ini.” Pablo m enurunkan ujung topinya sehingga m atanya terlin- dung dari cahaya m atahari. “Charlie Meeler berkata bahwa ia m e- lihat Danny bersama Rosa Martin, gadis Portugis itu.”

26 John Steinbeck Pilon terenyak tegak. “Mungkin gadis itu ingin kawin dengan Danny. Gadis-gadis Portugis selalu ingin kawin dan mereka sangat cinta pada uang. Bila Danny kawin dengan Rosa, mungkin Danny akan mengganggu kita dengan urusan uang sewa. Rosa pastilah ingin baju baru. Semua wanita ingin baju baru. Aku tahu itu.” Pablo juga kelihatan khawatir. “Bagaim ana kalau kita bi- carakan hal ini dengan Danny?” “Mungkin Danny punya telur,” kata Pilon, “ayam -ayam Nyo- nya Morales pintar bertelur.” Mereka m em akai sepatu, berjalan perlahan ke rum ah Danny. Pilon terhenti sebentar dan memungut sebuah tutup botol bir. Dengan geram ia m elem parkan benda itu. “J ahat benar orang yang m enaruh tutup botol itu di sini untuk m enipu orang,” kata- nya. “Malam tadi aku juga tertipu oleh tutup botol itu,” kata Pablo. Ia sedang memperhatikan sebidang ladang jagung. Memper- hitungkan kapan jagung-jagungnya cukup tua untuk dipetik. Danny sedang duduk di serambi, di balik semak-semak mawar, menggerak-gerakkan jari kaki untuk mengusir lalat. “Ai, am igos,” Danny m enyapa m alas. Pablo dan Pilon duduk di sam pingnya, m elepas topi dan sepatu. Danny mengeluarkan sekantong tembakau, memberikan- nya pada Pilon dengan kertas sigaret sekalian. Pilon agak terkejut, namun tak memberi tanggapan apa-apa. “Cornelia Ruiz m em bacok si Meksiko hitam ,” kata Pilon. “Aku sudah tahu,” kata Danny. “Perem puan-perem puan itu, tak punya harga diri lagi,” kata Pablo. “Bahaya untuk tidur dengan m ereka,” Pilon m ulai m enyusun serangan, “kudengar ada seorang gadis Portugis di Tortilla sini yang sanggup m em beri surga pada lelaki m ana pun saja asal si lelaki mau sedikit berusaha untuk itu.”

Dataran Tortilla 27 Pablo m em buat suara dengan m endecak-decakkan lidahnya. Ia m enebarkan tangan dan bertanya, “Kalau begini, bagaim ana nasib kaum lelaki? Siapa yang bisa dipercayai?” Keduanya m em perhatikan wajah Danny. Nam un wajah itu sama sekali tidak berubah. “Gadis itu bernam a Rosa,” kata Pilon, “aku tak m au m enye- butkan nam a keluarganya.” “Oh, m aksudm u Rosa Martin?” tanya Danny tanpa m enun- jukkan perhatian sedikit pun. “Yah, apa lagi yang bisa kau harap- kan dari seorang Portugis?” Pilon dan Pablo bernapas lega. “Bagaim ana kabarnya ayam -ayam Nyonya Morales?” tanya Pilon kem udian, seolah-olah sekadar bertanya saja. Danny m enggelengkan kepala sedih. “Mam pus sem ua. Nyo- nya Morales m enyim pan kacang-tali di beberapa guci. Guci-guci itu m eledak. Kacangnya dikasihkannya pada ayam -ayam itu. Dan sem uanya m am pus.” “Di m ana ayam -ayam itu kini?” tanya Pablo seketika. Danny m enggoyang-goyangkan dua batang jarinya tanda sanggahan. “Seseorang berkata pada Nyonya Morales bahwa ayam -ayam itu tak boleh dim akan. Beracun. Tapi kam i berdua berhasil m em bersihkan sem ua jeroannya. Dan m enjual ayam nya kepada jagal.” “Ada berita tentang orang m ati karena m akan ayam itu?” tanya Pablo. “Tidak. Kukira sebetulnya ayam -ayam itu tak beracun.” “Mungkin kau m em beli sedikit anggur dari uang penjualan ayam tersebut?” tanya Pilon hati-hati. Danny tersenyum sinis. “Nyonya Morales yang m em beli anggur. Dan aku dijam unya m alam tadi. Sesungguhnya Nyonya Morales masih cukup cantik. Dan tidak seberapa tua.” Rasa khawatir muncul kembali di wajah Pilon dan Pablo.

28 John Steinbeck “Kata keponakanku, Weelie, Nyonya Morales berum ur lim a puluh tahun.” Danny m engem bangkan kedua belah tangannya. “Apa artinya um ur tua bagi wanita seperti dia?” katanya sok bijak. “Betul- betul memuaskan, dia itu. J uga ia memiliki sebuah rumah, dan simpanan sebesar dua ratus dolar di dalam bank.” Danny tampak agak m alu waktu m elanjutkan, “Aku ingin m em belikan suatu hadiah kecil untuk Nyonya Morales.” Pilon dan Pablo menundukkan kepala. Mencoba mengusir apa yang akan diucapkan oleh Danny dengan kekuatan pikiran. Namun mereka tak berhasil. “Bila saja aku punya sedikit uang,” kata Danny, “aku ingin m em belikan sekotak besar gula-gula untuk Nyonya Morales.” Pe- nuh arti ia m em andang kedua penyewa rum ahnya, nam un tak ada yang m em buka m ulut. “Mungkin aku hanya m em butuhkan dua dolar,” akhirnya ia berkata. “Chin Kee sedang m engeringkan cum i-cum i,” kata Pilon, “kau bisa bekerja padanya untuk setengah hari.” “Tidak bisa,” kata Danny, tandas kini, “tak baik bila seseorang yang m em iliki dua buah rum ah terlihat m em otong-m otong cum i- cum i untuk Chin Kee. Mungkin bila sedikit sewa rum ah dibayar....” Pilon bangkit dengan m arah. “Selalu uang sewa yang kau bi- carakan. Ya. Kau pasti tega m engusir kam i, m em aksa kam i tidur di selokan, sem entara kau tidur di kasurm u yang em puk. Ayo, Pablo. Kita cari uang untuk si kikir ini, si Yahudi ini.” Pablo dan Pilon m eninggalkan rum ah Danny. “Ke m ana kita m encari uang?” tanya Pablo. “Tidak tahu,” jawab Pilon. “Mungkin ia tak akan bertanya lagi tentang sewa itu.” Nam un perm intaan yang di luar batas perikem anusiaan itu telah m erusak kedam aian m ereka. “Kita panggil dia ‘Yahudi Tua’ setiap kali ketem u,” kata Pilon. “Maunya.

Dataran Tortilla 29 Bertahun-tahun dia jadi sahabat kita. Kalau ia lapar, kita beri ia m akan. Kalau ia kedinginan, kita beri ia pakaian.” “Kapan itu?” tanya Pablo. “Yaa... kapan saja. Bila ia m em erlukan sesuatu dan kita m em punyai sesuatu itu. Begitulah hubungan persahabatan kita dengannya. Dan dia? Dia m enghancurkan persahabatan itu hanya karena sekotak gula-gula untuk diberikan kepada seorang wanita tua gem uk!” “Gula-gula tak baik untuk kesehatan,” kata Pablo. Dorongan perasaannya m em buat Pilon m erasa sangat lelah. Ia duduk pada tubir selokan di pinggir jalan, sedih bertopang dagu. Pablo juga duduk, tetapi ia hanya duduk untuk m elepaskan lelah, sebab persahabatannya dengan Danny tidaklah selam a dan seindah persahabatan Pilon dengan Danny. Dasar selokan itu kering, penuh dengan rumput kering dan potongan sem ak-sem ak. Dalam kesedihannya Pilon m em per- hatikan dasar selokan itu. Dan ia melihat sebuah lengan manusia mencuat ke luar dari balik setumpukan semak-semak. Dan di samping lengan itu terlihat sebuah botol ukuran satu galon, berisi anggur separuh. Ia menggamit Pablo, menunjuk. Pablo m em belalakkan m ata. “Mungkin ia sudah m ati, Pilon.” Pilon berhasil m enem ukan kem bali napasnya. J uga daya pikirnya yang luar biasa telah kem bali. “Bila ia m ati, m aka anggur itu tak berguna baginya. Toh tak bisa dikuburkan bersam anya.” Tangan itu bergerak, m enyibakkan sem ak-sem ak dan m un- cullah m uka J esus Maria Corcoran yang kotor berjanggut m erah. “Ai, Pilon. Ai, Pablo,” ia m enyapa ragu-ragu. “Que tom as?” Pilon m elom pat dari tubir selokan, turun. “Am igo, J esus Maria! Kau sakit!” J esus Maria tersenyum m anis. “Tidak. Hanya m abuk,” ia m enggum am , bangkit duduk. “Marilah sobat, m ari m inum . Mi- num banyak-banyak. Masih cukup.”

30 John Steinbeck Pilon menunggingkan botol anggur itu dengan tumpuan lengannya. Em pat kali tegukan, dan satu pint anggur m eninggalkan botol m asuk ke dalam perut Pilon. Pablo m engam bil alih botolnya. Pablo mempermainkan botol tersebut bagaikan seekor kucing m em perm ainkan sehelai bulu. Ia m enggosok bibirnya dengan lengan kem eja lebih dahulu. Kem udian dicium nya m ulut botol. Dicicipnya tiga em pat kali tegukan kecil, m em biarkan beberapa tetes anggur jatuh di sekitar m ulutnya untuk m em ikat seleranya. Akhirnya ia berseru, “Madre de Dios, que vino!” Diangkatnya botol itu, dan anggur merah tersebut mengalir ria melewati teng- gor oka n n ya . Pilon mengambil botol anggur itu sebelum Pablo sempat bernapas lagi. Pilon memandang J esus Maria dengan pandangan lem but penuh kekagum an. “Kau m endapat harta karun, Saha- batku?” tanyanya. “Atau seseorang kaya m ati dan m enunjukm u sebagai ahli warisnya?” J esus Maria seorang yang penuh rasa kem anusiaan. Ia selalu berhati emas. Ia mendeham sekali, dan meludah, baru berkata, “Biar aku m inum dulu. Tenggorokanku kering. Nanti kuceritakan.” Ia m inum bagai m im pi, bagai seorang yang m em punyai anggur cukup banyak sehingga bisa m inum tanpa m enghiraukan waktu, bahkan tanpa m enghiraukan bahwa anggurnya tercecer di luar m ulutnya. “Dua m alam yang lalu aku tidur di pantai,” katanya kem udian. “Di pantai dekat Seaside. Di m alam hari, om bak m en- dorong sebuah perahu dayung ke pantai. Oh, perahu dayung yang cantik sekali, lengkap dengan dayungnya. Aku naik, berdayung ke Monterey. Sebetulnya harganya dua puluh dolar. Tapi pasaran sepi. Aku hanya berhasil m enjualnya tujuh dolar.” “Uangm u m asih ada?” tanya Pilon, berdebar-debar. “Akan kuceritakan nanti,” J esus Maria tahan harga. “Kubeli dua galon anggur. Kusem bunyikan di hutan sini. Kem udian aku

Dataran Tortilla 31 berjalan-jalan dengan Arabella Gross. Untuknya kubelikan celana dalam sutra di Monterey. Oi, dia sangat senang. Celana itu begitu lem but, begitu m erah. Kem udian aku beli satu pint wiski untuk Arabella. Setelah itu kam i bertem u dengan serom bongan tentara. Dan Arabella pergi bersam a m ereka.” “Oh, pencuri uang m ilik orang jujur!” Pilon berseru geram . “Tidak,” jawab J esus Maria bagai m im pi. “Arabella bukan pencuri. Mem ang waktunya ia pergi. Dan aku ke m ari, tidur.” “J adi uangm u habis?” “Entahlah. Mari kita lihat.” Ia m erogoh sakunya. Dan berhasil mendapatkan tiga lembaran kusut uang dolar serta sekeping uang sepuluh sen. “Malam ini,” kata J esus Maria, “akan kubelikan Arabella benda kecil yang dipakai di atas pinggang.” “Kau m aksud kantong-kantong sutra kecil dengan tali itu?” “Ya. Tapi tak sekecil yang engkau pikir,” ia terbatuk-batuk untuk m em bersihkan tenggorokannya. Cepat sekali Pilon m endapat ilham . “Itu akibat angin m alam ,” katanya. “Tak baik tidur di udara terbuka. Mari, Pablo, kita bawa dia ke rum ah kita, agar selesm anya sem buh. Paru-parunya agaknya juga rusak, tapi pasti kita berhasil m enyem buhkannya.” “Apa m aksudm u?” tanya J esus Maria. “Aku sehat!” “Begitulah pikirm u,” kata Pilon. “Dem ikian pula Rudolfo Kelling. Ia m engira dirinya sehat. Tapi toh kau m enghadiri penguburannya sebulan yang lalu. Dem ikian pula pikir Angelina Vasquez. Dan ia m ati sem inggu yang lalu.” J esus Maria ketakutan. “Apa sih sebabnya?” “Tidur di udara terbuka,” jawab Pilon, “paru-parum u tidak cukup kuat.” Pablo membungkus botol anggur J esus Maria dengan segu- lung besar sem ak-sem ak. Maksudnya untuk m enyem bunyikannya dari orang-orang yang kebetulan berpapasan dengannya. Nam un

32 John Steinbeck ia menggulung botol itu sedemikian rupa sehingga pasti akan m em bangkitkan rasa ingin tahu siapa saja yang m elihatnya. Pilon berjalan di samping J esus Maria, sesekali memegang ujung sikunya untuk m engingatkan bahwa dia sedang m enderita sakit. Dengan hati-hati keduanya m em bawa J esus Maria m asuk ke dalam rum ah, m em baringkannya di atas balai-balai. Dan walaupun saat itu udara panas, m ereka m enyelim utinya dengan selem bar selim ut tua. Secara m eyakinkan Pablo bercerita ten- tang orang-orang m alang yang m erana m enderita TBC. Pilon m em bantu dengan m em aniskan suaranya sebisa m ungkin. Ia berbicara tentang nikm atnya hidup di dalam rum ah. Bila m alam makin larut, pembicaraan dan anggur habis, di luar kabut tebal m enyelim uti bum i bagaikan lintah, pantaskah bila seseorang pergi berbaring di atas kelembapan maut dasar sebuah selokan kering? Tidak. Seorang yang m em perhatikan kesehatannya sudah pasti tidur di sebuah kasur lem but, em puk. Tidur nyenyak bagaikan seorang bayi. Waktu cerita Pilon mencapai bagian itu, J esus Maria pun tertidur lelap. Pilon dan Pablo bersusah payah m em bangunkannya, m em berinya m inum air. Kem udian Pilon berbicara lagi secara m eyakinkan tentang pagi hari, saat seseorang bisa dengan senang terus saja menunggu di dalam kehangatan tempat tidur sampai m atahari cukup tinggi guna m em anaskan bum i. Bukannya seperti orang yang tidur di selokan yang harus m enggeletar kedinginan di waktu fajar, terpaksa m enepuk-nepukkan tangan agar tidak membeku. Akhirnya Pilon dan Pablo bersam a-sam a m enjalankan siasat terakhir, bagaikan sepasang anjing pemburu menerkam mangsa tanpa m enerbitkan suara. Mereka m enawarkan rum ahnya pada J esus Maria dengan sewa lima belas dolar sebulan. J esus Maria menerima tawaran itu dengan gembira. Mereka saling berjabat tangan. Botol anggur dikeluarkan dari bungkusnya. Pilon m inum

Dataran Tortilla 33 banyak-banyak, sebab kini tugas yang paling berat harus segera dilaksanakannya. Dengan lem but, dan seolah tak acuh, ia berkata, sedangkan J esus Maria sedang m eneguk anggurnya, “Dan kau ha- nya harus m em bayar kontan tiga dolar dulu sebagai uang m uka.” J esus Maria cepat-cepat m enaruh botolnya. Melihat pada Pilon seraya terkejut. “Tidak!” serunya, “aku telah berjanji pada Arabella Gross untuk m em belikannya benda kecil m ungil itu. Akan kubayar sewa rum ah pada waktunya nanti.” Pilon tahu ia telah berbuat kesalahan. Cepat-cepat ia berusaha m em perbaiki kesalahan itu. “Ketika kau tidur di pesisir Seaside, Tuhan m engirim kan sebuah perahu dayung padam u. Apa kau pikir Tuhan berbaik hati padamu agar kau bisa membelikan celana dalam sutra untuk seorang pelacur pengalengan ikan? Tidak! Tuhan m em berim u rezeki agar kau tidak m ati kedinginan karena tidur di udara terbuka! Kau pikir Tuhan m enaruh perhatian pada buah dada si Arabella? Tapi, baiklah, kam i hanya akan m inta uang muka dua dolar. Toh sisa uangmu masih cukup untuk mem- beli benda yang kau m aksud, cukup besar untuk m engantongi tetek seekor sapi.” J esus Maria tetap menolak. “Dengarlah,” kata Pilon selanjutnya. “Bila kam i tak bisa m em beri Danny uang dua dolar, kam i berdua akan diusirnya dari rumah ini. Dan salah siapa itu? Salahmu! Tanggung jawabmulah bila karena uang dua dolar saja kami mampus di selokan.” Diserang dari banyak jurusan, terpaksa J esus Maria Corcoran m enyerah. Diulurkannya uang dua dolar pada Pilon. Ketegangan lenyap dari ruang itu. Kedam aian, ketenangan dan persahabatan hangat m enggantikannya. Pilon bisa beristirahat lega. Pablo m engam bil selim utnya dari tubuh J esus Maria, diba- wanya kem bali ke tem pat tidurnya sendiri. Percakapan bersa- habat pun mulai. “Uang ini harus segera kita berikan pada Danny.”

34 John Steinbeck Selera awal mereka telah dipuaskan, kini mereka minum anggur dari mangkuk-mangkuk. “Sebetulnya untuk apa sih uang dua dolar ini bagi Danny?” tanya J esus Maria. Pilon tak menahan-nahan rahasia lagi. Ia berbicara dengan ke- dua tangannya bergerak-gerak ke sana ke m ari bagaikan sepasang kupu-kupu. Hanya karena tangan itu m elekat di lengan sajalah yang m enyebabkan keduanya tak terbang lepas ke luar rum ah. “Danny, kawan kita, sedang tergila-gila pada Nyonya Morales. Oh, jangan kalian m engira bahwa Danny tolol. Nyonya Morales m em punyai sim panan dua ratus dolar di bank. Danny ingin m em - belikan sekotak besar gula-gula untuk Nyonya Morales.” “Gula-gula tak baik untuk kesehatan,” Pablo m enyum bangkan pikiran, “m em buat gigi sakit.” “Itu sih urusan Danny,” sahut J esus Maria. “Bila ia ingin Nyonya Morales sakit gigi, terserah. Apa hak kita untuk cam pur tangan dalam urusan gigi Nyonya Morales?” Wajah Pilon diliputi m endung kekhawatiran. “Tapi,” katanya bersungguh-sungguh, “bila sobat kita Danny m em bawa kotak gula-gula itu kepada Nyonya Morales, sudah pasti ia pun akan m akan beberapa buah. Dengan begitu gigi sobat kitalah yang akan sakit.” Pablo m enggelengkan kepala putus asa. “Sungguh tak m enye- nangkan bila kita, sahabat-sahabat Danny, sahabat-sahabat an- dalannya, m em berinya sakit gigi.” “Kalau begitu, apa yang kita lakukan?” tanya J esus Maria. Se- betulnya ia dan kedua orang sobatnya tahu benar apa yang akan mereka lakukan. Tapi masing-masing saling menunggu dengan sopan, masing-masing mengharap agar seseorang mengusulkan apa yang sebetulnya m ereka harapkan bersam a. Hening suasana untuk beberapa lama. Pilon dan Pablo merasa bahwa usul untuk itu seharusnya tidak datang dari m ereka, sebab bila diusut m ereka

Dataran Tortilla 35 m erupakan pihak yang terlibat langsung. J esus Maria diam ka- rena menurut kesopanan ia harus menunggu usul dari tuan rum ahnya. Nam un m elihat Pablo dan Pilon diam ia sadar apa yang diharapkan darinya. Tak tunggu lebih lam a ia m em ecahkan kesunyian, “Segalon anggur m erupakan hadiah yang cukup baik bagi seorang nyonya,” katanya dengan nada m enduga-duga. Pilon dan Pablo seolah-olah sangat terkejut dan kagum atas kecemerlangan usul J esus Maria. “Ya, benar. Kita katakan pada Danny bahwa dem i kesehatan giginya lebih baik ia m em beli anggur dengan uangnya ini.” “Tapi m ungkin Danny m engabaikan peringatan kita. Bila kita berikan uang ini pada Danny, tak bisa kita pastikan apa yang akan dibelinya. Mungkin juga ia m em beli gula-gula, sehingga waktu dan kekhawatiran kita hanya terbuang sia-sia.” Mereka berdua menunggu lagi. J esus Maria mereka jadikan pem ecah persoalan, digiring untuk m enyuarakan apa yang m ereka harapkan. “Mungkin Danny akan terlepas dari bahaya itu bila kita saja yang m em beli anggur, baru kem udian m em berikannya pada Danny,” usul J esus Maria. “Tepat sekali! Betul-betul otakm u encer!” seru Pilon. J esus Maria tersenyum m erendahkan diri oleh pujian itu. Ia tahu bahwa dengan jalan apa pun akhirnya usulnyalah yang pasti keluar. Pablo menuangkan tetes anggur terakhir pada mangkuk me- reka. Mereka bertiga minum bersama, amat lelah setelah begitu keras berusaha memecahkan persoalan pelik tadi. Mereka bang- ga bahwa pem ecahannya begitu cerm at dan disertai rasa peri- kemanusiaan pula. “Kini aku lapar,” kata Pablo. Pilon bangkit. Melihat ke luar rum ah. “Sudah lewat tengah hari,” katanya. “Pablo dan aku akan ke kedai Torreli untuk m em -

36 John Steinbeck belikan anggur bagi Danny. Kau, J esus Maria, pergilah cari m a- kanan ke Monterey. Mungkin Nyonya Bruno di derm aga m au memberimu seekor ikan. Mungkin kau bisa mendapatkan se- bongkah roti entah di mana.” “Aku lebih senang pergi bersam am u,” kata J esus Maria. Ia curiga bahwa suatu pemikiran telah muncul dalam benak kedua tem annya. Pem ikiran yang m erupakan tindak lanjut dari usulnya tadi. Suatu pem ikiran yang cerm at, dan wajar terjadi. “Tidak, J esus Maria,” usulnya. “Ini telah pukul dua, kurang lebih. Sejam lagi pukul tiga. Kem udian kita bertem u di sini dan makan bersama. Dan mungkin kami bisa mendapatkan sedikit anggur untuk teman makan.” Dengan segan J esus Maria m elangkah m enuju Monterey. Dengan gembira Pablo dan Pilon menuruni bukit ke rumah Torrelli.


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook