Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Dataran Tortilla oleh John Steinbeck

Dataran Tortilla oleh John Steinbeck

Published by pustaka, 2022-11-12 06:34:46

Description: Dataran Tortilla oleh John Steinbeck

Search

Read the Text Version

Dataran Tortilla 137 apa. Danny mengira-ngira jarak, seperti seorang pemain golf akan m em ukul bola, dan kem bali kayunya m enghantam punggung Big J oe. Kawannya yang lain m ulai bertindak juga, dengan cerm at dan teliti. J esus Maria m em ukul kaki Big J oe, Danny m em ukul bahu dan dadanya. Big J oe m eraung-raung, bergulung-gulung di atas lantai. Mereka m em ukulinya terus, tak ada bagian tubuh Big J oe yang terlewat, dari bagian leher ke bawah. Setiap pukulan jatuh, m engelupaslah kulit. J eritan Big J oe m em ekakkan telinga. Si Bajak Laut tak bisa berbuat apa-apa, berdiri kebingungan dengan kapaknya. Akhirnya, setelah bagian depan tubuh Big J oe penuh dengan bilur, m ereka berhenti. Pablo berlutut di dekat kepala Big J oe dengan pem buka kalengnya. Pilon m em buka sepatu Big J oe dan m engam bil tongkatnya kem bali. Big J oe hancur ketakutan. “Kupendam di dekat pintu pagar!” teriaknya. “Dem i kasih Kristus, jangan bunuh aku!” Danny dan Pilon keluar. Beberapa m enit kem udian m e- reka m asuk kem bali m em bawa kantong kanvas tem pat uang itu.”Berapa yang kau am bil?” tanya Danny, suaranya datar. “Hanya em pat, dem i Tuhan, hanya em pat talenan! Akan kukem balikan nanti! Sum pah!” Danny m em bungkuk, m encengkeram bahunya dan m eng- gulingkannya hingga Big J oe m enelungkup. Dan kem bali m ereka m em ukulinya lagi dengan sengitnya. J eritan Big J oe m akin lam a m akin lem ah. Tetapi m ereka terus bertindak hingga Big J oe pingsan. Pilon m em buka bajunya. Terlihat punggung Big J oe m e- rah lebam. Dengan pembuka kaleng ia membuat garis-garis silang tipis, hingga pada tiap tem pat yang bengkak keluar darah sedikit. Pablo m engam bil garam , m enggosokkannya pada punggung Big J oe. Akhirnya Danny m enutupi punggung itu dengan selim ut. “Kukira kini ia akan jadi orang jujur, seterusnya,” kata Danny.

138 John Steinbeck “Kita harus m enghitung uang si Bajak Laut,” usul Pilon, “telah lam a kita tak m enghitungnya.” Mereka m em buka guci anggur Big J oe, m engisi m angkuk-m angkuk hingga penuh, sebab mereka sangat lelah, kehabisan tenaga dan perasaan. Kem udian m ereka m enghitung uang talen m ilik si Bajak Laut, tiap tum puk sepuluh keping. Ham pir tak bisa dipercaya jum lahnya, hingga hitungan diulangi lagi dan akhirnya Danny berseru, “Bajak Laut! Ada seribu tujuh talen di sini! Waktum u telah lewat! Tiba saatnya bagim u untuk m em beli tem pat lilin em as bagi St. Francis!” Bajak Laut tak tahan m enerim a berita itu. Ia pergi ke su- dut kam ar, m enaruh m ukanya pada tubuh Fluff dan m enangis tersedu-sedu. Anjing-anjing yang lain gelisah m engitarinya, m en- jilatinya, m endorong-dorongkan kepala padanya. Hanya Fluff yang diam saja, sebab ia m erasa m endapat kehorm atan untuk dipilih tuannya. Danny mengembalikan semua uang itu ke dalam kantong, dan mengembalikan kantong itu ke bawah bantal. Big J oe sadar dari pingsannya, m erintih kesakitan sebab garam di punggungnya m ulai m enyengat. Tak ada yang m em per- hatikannya, sam pai J esus Maria, korban perikem anusiaan, m elepaskan ikatan pada ibu jari Big J oe dan m em berin ya sem angkuk anggur. “Bahkan m usuh J uru Selam at pun, pantas kita beri hiburan sedikit,” katanya sebagai alasan. Tindakan J esus Maria itu menghentikan hukuman terhadap Big J oe. Sem ua m engerum uninya dan m enghiburnya. Dia diangkat bersam a-sam a, perlahan-lahan ditaruh di tem pat tidur Danny. Garam di punggungnya diseka. Kepalanya dikom pres dengan kain basah dan m angkuknya selalu dipenuhi dengan anggur. Big J oe m engerang setiap kali tubuhnya dipegang. Mungkin tabiat buruknya tak tersentuh oleh hukum an yang baru dialam inya,

Dataran Tortilla 139 namun pasti ia tak akan berani mencuri barang paisano-paisano di rum ah Danny. Si Bajak Laut berhenti m enangis. Ia m em inum anggurnya dan m ukanya berseri sem entara Danny m em beberkan rencana u n t u kn ya . “Bila kita bawa uang ini ke kota, ke bank, orang m engira kita m encurinya dari m esin judi. Karenanya kita bawa uang ini kepada Pater Ram on saja dan m enceritakan padanya riwayat uang ini. Kita m inta dia m em belikan tem pat lilin em as, m em berkatinya, dan si Bajak Laut harus hadir di gereja. Mungkin Pater Ram on akan bercerita tentang dirinya di hari Minggu. Si Bajak Laut harus hadir untuk mendengar cerita itu.” Dengan mengerutkan kening Pilon memperhatikan pakaian gem bel si Bajak Laut. “Besok,” katanya tegas, “kau harus m em beli pakaian yang layak dengan uang kelebihan sim pananm u, yang tujuh talen itu. Untuk keperluan sehari-hari pakaian seperti ini cukup baik, tetapi kau tak boleh pergi ke gereja berpakaian seperti tikus selokan begini. Kau akan m em buat tem an-tem anm u m alu ka r en a n ya .” Si Bajak Laut m engangguk gem bira. “Baik. Besok aku akan beli pakaian.” Benar juga, keesokan harinya ia pergi ke Monterey. Ia ber- belanja dengan hati-hati sekali. Menawar dengan kecerdikan yang m engherankan, sebab sudah sekian lam a ia tak pernah ber- belanja. Dengan penuh kem enangan ia pulang ke rum ah Danny. Ia membawa selembar saputangan sutra lebar, berwarna ungu dan hijau, dan sebuah ikat pinggang lebar yang berhias beling-beling berwarna. Semua sahabatnya mengagumi barang-barang itu. “Tetapi apa yang akan kau pakai?” tanya Danny putus asa. “Dua jari jem pol kakim u keluar dari sepatu, dari lubang yang kau buat agar kutilm u tak m enyakitkan. Baju dan celanam u com pang- cam ping. Kau tak punya topi.”

140 John Steinbeck “Kita terpaksa m em injam inya pakaian,” kata J esus Maria, “aku punya jas dan vest. Pilon punya topi, m ilik ayahnya. Kau, Danny, punya kem eja. Dan Big J oe punya celana biru yang bagus.” “Kalau begitu kita tidak bisa ikut hadir di gereja!” bantah P ilon . “Untuk apa, toh yang dipersem bahkan itu bukan tem pat lilin kita,” sahut J esus Maria. “Pater Ram on tak akan m em berikan pujian sedikit pun pada kita.” Malam itu mereka membawa harta itu ke rumah pater. Ia mendengarkan cerita mereka dengan saksama, cerita tentang anjing si Bajak Laut yang sakit. Mata pendeta m elem but waktu si Bajak Laut berkata, “... dan kem udian, Bapak, anjing kecil itu sakit. Hidungnya kering, m atanya bagai beling botol yang terbuang ke laut, dan ia m erintih terus sebab bagian dalam nya sakit. Kem udian, Bapak, aku berjanji untuk m em persem bahkan tempat lilin seribu hari kepada St. Francis. Dialah pelindungku, Bapak. Begitu aku berjanji, terjadi suatu keajaiban. Anjing yang sakit itu m engibaskan ekor tiga kali dan m ulai sem buh. Bukankah keajaiban itu dibuat oleh St. Francis, Bapak?” Pater Ram on m enganggukkan kepala. “Ya, keajaiban itu dibuat oleh St. Francis kita yang pengasih. Aku akan m em belikan tempat lilin emas untukmu.” Bajak Laut sangat gem bira, sebab jarang sekali doa seseorang dikabulkan dengan suatu keajaiban. Kalau saja cerita itu beredar, pastilah kedudukan si Bajak Laut naik tinggi di m ata orang banyak. Bahkan sahabat-sahabatnya kini m em andangnya dengan rasa horm at. Mereka m asih m erem ehkan daya pikir otaknya, tetapi m ereka kini tahu bahwa otak si Bajak Laut yang lem ah itu diperkuat oleh kekuatan Surgawi dan dibantu oleh para orang suci. Mereka berjalan pulang, diikuti oleh anjing-anjing si Bajak Laut. Ia m erasa bahwa dirinya baru saja disiram dengan air

Dataran Tortilla 141 em as pem berkatan. Tubuhnya dirangsang oleh perasaan nikm at. Sahabat-sahabatnya juga m erasa gem bira karena m ereka telah m enjaga hartanya baik-baik. Mereka m erasa kecipratan kesucian sedikit. Pilon merasa lega karena ia tak tergoda untuk mencuri uang si Bajak Laut sekeping pun. Bencana apa yang m enim panya kalau saja ia tak kuat melawan godaan itu. Para sahabat itu merasa seolah-olah mereka baru saja mendapat berkat luar biasa dari gereja. Uang lim a dolar di saku Danny, hasil penjualan barang- barang kapal terdam par, sam pai saat itu terasa bagaikan api. Kini Danny tahu benar untuk apa uang tersebut. Dengan Pilon ia pergi ke pasar, membeli tujuh pon hamburger, satu kantong bawang dan satu kantong besar gula-gula. Pablo dan J esus Maria pergi ke tempat Torrelli, membeli dua galon anggur. Tak setetes pun anggur itu mereka cicipi dalam perjalanan pulang. Malam itu, saat api di tungku telah berkobar, dan dua batang lilin m enyala di atas m eja, para sahabat itu berpesta sepuas hati. Pesta untuk m enghorm ati si Bajak Laut. Si Bajak Laut bersikap anggun sekali dalam pesta itu. Ia tersenyum terus, walaupun sesungguhnya harus bersikap tenang. Tapi ia tak bisa tenang. Setelah m akan sam pai kekenyangan, m ereka duduk-duduk, m inum anggur. “Sahabat tercinta”, orang-orang itu m enam akan si Bajak Laut. J esus Maria bertanya, “Bagaim ana rasanya waktu kau m en- janjikan tem pat lilin dan anjingm u m ulai sem buh? Bagaim ana rasanya? Apakah kau m elihat sesuatu tanda suci?” Si Bajak Laut m encoba m engingat-ingat. “Aku lupa. Mungkin aku m elihat bayangan St. Francis di udara, bersinar bagai m ata- hari.” “Masakan bayangan seperti itu bisa kau lupakan?” tanya Pilon. “Ya, kini aku ingat... St. Francis m elihat padaku... dan terse- nyum , seperti layaknya orang suci. Dan saat itu juga aku tahu

142 John Steinbeck bahwa keajaiban akan terjadi. St. Francis berkata, ‘Pelihara baik- baik anjingm u, m anusia busuk’.” “He, m asa dia m em anggilm u begitu?” “Apa lagi. Aku m em ang m anusia busuk. Dan orang suci tak bisa berdusta, bukan?” “Mungkin ingatanm u kurang baik,” kata Pablo. “Mungkin. Tapi kira-kira begitulah yang terjadi.” Si Bajak Laut begitu bahagia karena sangat dihorm ati dan diperhatikan. “Nenekku pernah m elihat Perawan Suci,” kata J esus Maria, “waktu itu ia sedang sakit parah. Dan aku sendiri m endengarnya berteriak, ‘Oheee! Aku baru saja m elihat Ibu Suci! Ohee! Baru saja kulihat Bunda Maria, penuh rahm at’!” “Hanya ada beberapa orang saja yang bisa m elihat bayangan- bayangan suci seperti itu,” kata Danny. “Ayahku bukanlah seorang yang terlalu baik, tetapi kadang-kadang ia m elihat orang-orang suci. Dan kadang-kadang juga ia melihat hantu. Tergantung saat itu ia sedang baik atau jahat. Kau pernah m elihat bayangan lainnya, Bajak Laut?” “Tidak. Aku akan ketakutan setengah m ati bila dikunjungi lagi,” jawab si Bajak Laut. Pesta malam itu sangat berkesan. Para sahabat tahu bahwa m ereka tidak sendirian. Lewat dinding, atap dan jendela m ereka m erasa pandangan para orang suci yang m em perhatikan segala apa yang terjadi. “H ari Minggu depan tem pat lilinm u akan terpasang di gereja,” kata Pilon. “Kam i tidak akan bisa pergi ke sana, sebab kau akan m em akai pakaian kam i. Kukira Pater Ram on tak akan m enyebut nam am u, tetapi m ungkin ia akan bercerita sedikit tentang tem pat lilin persem bahan itu. Kau harus m encoba m eng- ingat-ingat segala yang dikatakannya, Bajak Laut, jadi kau bisa bercerita kepada kami.”

Dataran Tortilla 143 Dan wajah Pilon tiba-tiba bersungguh-sungguh. “Hari ini, Sahabatku, anjing-anjingmu ikut mengotori rumah Pater Ramon. Hal itu tak apa, untuk hari ini. Tapi hari Minggu kau tak boleh membawa mereka ke gereja. Tak pantas anjing masuk gereja. Tinggalkan mereka di rumah.” Si Bajak Laut kecewa. “Mereka ingin ikut,” katanya, “aku tak tega m eninggalkan m ereka. Lagi pula kutinggalkan di m ana?” Pablo gusar. “Sejauh ini segala tingkahm u baik, Bajak Laut. Kau ingin m erusakkan segala rencana kita?” “Tidak,” jawab Bajak Laut sedih. “Tinggalkan anjingm u di sini. Kam i akan m enjaga m ereka. Haram m em bawanya ke gereja.” Sungguh aneh betapa mereka sanggup minum tapi tak cepat m enjadi m abuk m alam itu. Nyanyian cabul yang pertam a baru terdengar setelah mereka minum tiga jam. Dan hari telah amat larut saat pikiran mereka mulai berkisar pada perempuan jalang. Dan saat mereka mulai ingin berkelahi, mereka telah sangat mengantuk. Malam itu merupakan tonggak kebaikan dalam hidup mereka. Minggu pagi terjadi persiapan luar biasa. Mereka memandi- kan si Bajak Laut, m enggosok hidung dan telinganya. Big J oe, ter- bungkus selim ut, m em perhatikan si Bajak Laut m em akai celana wolnya. Pilon m engeluarkan topi ayahnya. Mereka harus m em - bujuknya agar tidak m em akai ikat pinggang yang berhias beling itu di luar jasnya. Si Bajak Laut baru terbujuk setelah diberi tahu cara agar ikat pinggang itu terlihat, dengan tidak mengancingkan jas. Persoalan sepatu sungguh m em usingkan. Hanya Big J oe yang punya sepatu cukup besar untuk si Bajak Laut. Tetapi sepatu Big J oe lebih buruk dari kepunyaan si Bajak Laut. Kesulitan utam a terletak pada lubang-lubang yang dibuat oleh si Bajak Laut agar kutilnya bisa m enonjol ke luar, jadi tidak sakit. Pilon akhirnya. memecahkan persoalan itu dengan mengecat hitam jempol kaki

144 John Steinbeck si Bajak Laut dengan jelaga. Kini jem pol itu tak bisa dibedakan dengan kulit sepatunya. Akhirnya si Bajak Laut siap. Topi Pilon terpasang tam pan di kepalanya. Baju Danny dipakainya, celana Big J oe, saputangan sutra melilit leher, dan sekali-sekali terlihat kilauan hiasan beling pada ikat pinggangnya. Si Bajak Laut berjalan m ondar-m andir di bawah pem eriksaan para sahabatnya. “Angkat kakim u, Bajak Laut.” “Kalau berjalan, kaki jangan diseret.” “J angan selalu m em egang-m egang saputangan itu.” “Orang akan mengira kau tak pernah memakai pakaian bagus.” Akhirnya si Bajak Laut berpaling pada kawan-kawannya, ber- kata, “Bila saja anjing-anjing itu boleh ikut denganku... aku bisa perintahkan agar mereka tidak masuk ke dalam gereja, menunggu di luar saja.” Tetapi para paisano itu tetap pada pendiriannya. “Tidak,” kata Danny, “m ereka pasti m encoba m enerobos m asuk. Kam i jaga mereka di sini.” “Mereka tak akan m au ditahan di sini,” keluh si Bajak Laut, “m ereka akan kesepian.” Ia berpaling pada anjing-anjingnya, berkata, “Kalian harus tinggal di sini. Tak baik bila kalian ikut masuk ke dalam gereja. Tinggal di sini dengan sahabat-sahabat- ku sam pai aku kem bali.” Kem udian ia m enyelinap ke luar, m e- nutup pintu. Seketika itu juga terjadilah keributan di rumah itu. Anjing-anjing m enggonggong, m enyalak, m eraung. Hanya karena percaya penuh pada para sahabatnya saja yang m em buat si Bajak Laut terus m eninggalkan rum ah. Ia merasa bagaikan telanjang, berjalan di jalan tanpa diikuti oleh anjing-anjingnya. Seakan-akan salah satu indranya hilang. Ia takut berjalan sendiri. Bagaim ana kalau ia diserang orang? Tapi dengan penuh keberanian ia berjalan terus, m enyeberangi kota dan m asuk ke dalam gereja San Carlos.

Dataran Tortilla 145 Sebelum kebaktian dim ulai, pintu gereja terbuka. Si Bajak Laut m encelupkan jarinya ke dalam Air Suci, dan m em buat tanda silang. Membungkuk di depan patung Perawan Suci, melaksa- nakan tugasnya di depan altar dan duduk. Gereja yang panjang itu agak gelap. Tetapi altar bagaikan terbakar oleh banyaknya lilin m enyala di sana. Lilin-lilin persem bahan juga m enyala di hadapan patung-patung. Bau harum dupa m engisi gereja. Lam a sekali si Bajak Laut m em perhatikan altar, tetapi tem - pat itu terlalu jauh, terlalu suci untuk dipikirkan, tak bisa didekati oleh orang m iskin seperti dia. Matanya m encari sesuatu yang lebih hangat, sesuatu yang tidak m enakutkannya. Dan itu, di depan patung St. Francis, sebuah tem pat lilin em as yang indah berdiri, dengan sebatang lilin tinggi m enyala terang. Bajak Laut bernapas lega. Walaupun m akin lam a gereja m akin penuh, dan akhirnya pintu ditutup dan kebaktian dim ulai, serta segala upacara dilakukan dengan patuh, m ata si Bajak Laut terus lekat pada tem pat lilin em as itu. Begitu indah. Ham pir ia tak percaya bahwa benda itu persem bahannya. Ia m em per- hatikan wajah St. Francis. Dan ia yakin wajah itu sekali-sekali tersenyum , senyum seseorang yang sedang m em ikirkan sesuatu yang m enyenangkan. Akhirnya khotbah dim ulai. “Ada suatu keindahan baru di dalam gereja ini,” kata Pater Ram on, “salah satu dari anak gereja ini telah mempersembahkan sebuah tempat lilin emas bagi keagungan St. Francis.” Ia m enceritakan kisah seekor anjing yang sakit, m enceritakan dengan cara yang tak terlalu lancar dengan sengaja. Matanya m encari-cari di antara m uka-m uka jem aahnya, sam pai ia m elihat di sana-sini m uncul senyum an-senyum an kecil. “J angan anggap ini sesuatu yang lucu,” Pater Ram on m elanjutkan ceritanya, “Santo Francis sangat m encintai hewan, begitu besar cintanya hingga beliau juga m em beri khotbah pada m ereka.” Kini pendeta itu bercerita tentang serigala jahat dari Gubbio,

146 John Steinbeck tentang burung tekukur yang liar dan tentang burung-burung beranjangan. Si Bajak Laut terpukau oleh cerita Bapak Pendeta. Tiba-tiba terdengar suara menderas di pintu, suara salakan dan cakaran. Pintu gereja terbuka dan Fluff, Rudolph, Enrique, Pajarito, dan Tuan Alec Thom pson berlari m asuk. Anjing-anjing itu m engangkat kepala sejenak dan m enyerbu ke arah tem pat Si Bajak Laut duduk. Mereka m elom pat ke atas pangkuannya dengan dengkingan gem bira. Mereka m engerubutinya. Pendeta Ramon berhenti berbicara, memandang agak gusar pada pusat keributan itu. Dengan pedih si Bajak Laut m em andang pula pada Pater Ram on. Habis sudah sem uanya, pikirnya, rencananya yang suci jadi buyar oleh anjing-anjing ini. Tetapi Pater Ramon kemudian tertawa, dan semua hadirin tertawa juga. “Bawa anjing-anjingm u keluar,” kata Pater Ram on, “suruh m ereka m enunggu sam pai upacara selesai.” Dengan sangat kem alu-m aluan si Bajak Laut m enggiring anjing-anjingnya ke luar. “Salah sekali,” ia berkata pada m ereka, “aku sangat m arah pada kalian! Aku sangat m alu!” Anjing-anjing itu m eringkik-ringkik kasihan.” Aku tahu apa yang terjadi. Kau menggigit sahabatku, kau mendobrak jendela, dan kau datang ke mari. Sekarang kau tinggal di sini, dan tunggu, tidak boleh masuk, oh, anjing-anjing jahat! Anjing-anjing haram !” Ditinggalkannya anjing-anjing itu di halam an gereja, sedih dan ketakutan. Waktu ia masuk orang-orang masih tertawa, m elihat padanya sam pai ia m em benam kan dirinya di kursi. “J angan m alu,” kata Pater Ram on, “bukannya suatu dosa jika dicintai anjing. Dan bukannya suatu dosa jika m encintai m ereka. Dengarkan betapa St. Francis mencintai binatang-binatang.” Dan ia bercerita banyak lagi tentang orang suci itu. Rasa m alu hilang dari diri si Bajak Laut. Bibirnya bergerak- gerak. “Oh, kalau saja anjing-anjing itu bisa m endengarkan ini sem ua. Mereka pasti akan m erasa sangat bahagia.” Ketika

Dataran Tortilla 147 khotbah selesai, cerita-cerita itu masih terngiang-ngiang di teli- nganya. Secara tak sadar ia m engikuti segala upacara, tapi teli- nganya tak tertuju pada upacara itu. Begitu upacara selesai, si Bajak Laut bergegas ke luar. Ia orang pertam a yang m encapai ha- lam an gereja. Anjing-anjingnya, m asih sedih dan m urung, segera m engerum uninya. “Ayo,” teriak si Bajak Laut, “ada yang ingin kuceritakan pada ka lia n !” Ia berlari-lari kecil mendaki bukit, langsung menuju ke hu- tan pinus. Anjing-anjingnya berlari m enyertainya. Ia telah m a- suk hutan, namun terus saja berlari. Sampai ke suatu tempat di mana puncak pepohonan bertemu, di mana batang-batang berdampingan hingga merupakan suatu lorong beratapkan daun. Beberapa saat ia berdiri kebingungan. “Aku tak ingin m elupakan peristiwa tadi sem ua,” katanya, “kalau saja kalian bisa ikut m endengarkan apa kata Bapak Pen- d e t a !” Ia menaruh sebuah batu di atas batu yang lain, dan berkata lagi, “Nah, umpamakan ini patung St. Francis,” kemudian ia meng- ambil sebilah ranting, dicocokkannya ke tanah, dan berkata pada anjing-anjingnya, “Dan ini tempat lilin, dengan lilin di atasnya.” Di tem pat itu cahaya m atahari agak redup, udara terasa harum oleh getah pinus. Pepohonan saling berbisik, digerakkan angin lem but. Dengan penuh wibawa si Bajak Laut berkata, “Kau, Enrique, duduk di sini. Dan Rudolph, di sini. Fluff di sini karena ia yang paling kecil. Pajarito, kau anjing tolol, di sini, dan jangan ribut. Tuan Alec Thom pson, kau tak boleh berbaring!” Ia mengatur anjing-anjing itu menjadi dua baris, dua di depan, tiga di belakang. “Akan kuceritakan apa yang terjadi. Kalian diam puni wa- laupun telah m asuk ke dalam gereja. Kata Bapak Ram on kali ini kalian bisa dim aafkan. Kini perhatikan. Dengar ceritaku.”

148 John Steinbeck Anjing-anjing itu duduk tenang, dengan penuh perhatian m endengarkan cerita si Bajak Laut. Tuan Alec Thom pson m engi- baskan ekornya, sam pai si Bajak Laut m enegurnya, “Di sini bukan tempat untuk mengibaskan ekor! St. Francis tak keberatan, tetapi aku tak mau kau mengibaskan ekor kalau aku sedang bercerita. Kini aku akan bercerita tentang St. Francis.” Hari itu otaknya sungguh gem ilang. Matahari berhasil m e- nem bus beberapa celah kerim bunan pepohonan, dan sinarnya membuat garis-garis cemerlang pada tumpukan daun pinus di tanah. Anjing-anjing itu tenang, diam , m endengarkan. Si Bajak Laut m engulangi dengan tepat sem ua cerita Bapak Pendeta, se- m ua perum pam aan dan saripatinya. Ham pir tak ada sepatah kata pun yang tertinggal. Selesai bercerita ia m em andang anjing-anjingnya, dan ber- kata, “Itu sem ua dikerjakan oleh Santo Francis.” Pepohonan berhenti berbisik. Sunyi senyap di hutan, bagai- kan terpukau. Mendadak terdengar suatu suara lem but di belakang si Bajak Laut. Anjing-anjing itu m engangkat kepala. Bajak Laut tak berani berpaling. Terasa lama saat berlalu. Dan saat itu berakhir juga. Anjing-anjing kem bali m enun- dukkan kepala. Pepohonan m ulai berisik kembali. Garis-garis cahaya m atahari bergerak tak keruan. Si Bajak Laut begitu bahagia sehingga hatinya terasa sakit. “Kalian m elihat dia?” teriaknya. “Itu tadi Santo Francis? Oh! Kalian anjing yang berbahagia, kalian dikunjungi suatu bayangan gaib!” Anjing-anjing itu m elonjak gem bira m endengar nada suara- nya. Mereka m engangakan m ulut dan m engibas-ngibaskan ekor.

13 DANNY DAN KAWAN-KAWAN MENOLONG SEORANG NYONYA NYONYA TERESINA Cortez dan delapan orang anaknya serta ibunya yang tua renta tinggal dalam sebuah pondok di tepi jurang dalam yang m em batasi bagian selatan Dataran Tortilla. Teresina m em punyai tubuh yang indah walaupun ia telah berum ur tiga puluh tahun. Ibunya, si tua renta, kisut, om pong, sisa dari gene- rasi terdahulu, telah mendekati lima puluh tahun. Hampir telah tak ada yang ingat bahwa nam a si nenek adalah Angelica. Sepanjang m inggu selalu ada saja yang harus dikerjakan si nenek, sebab tugasnya m eliputi, m em beri m akan, m enghukum , membujuk, mengenakan pakaian, dan menidurkan tujuh dari delapan orang anak itu. Teresina sendiri sibuk dengan yang kedelapan serta m em persiapkan diri untuk yang kesem bilan.

150 John Steinbeck Pada hari Minggu, si nenek bebas dari semua tugas itu. Ia memakai baju satin hitam, bertopi jerami warna hitam pula yang berhiaskan dua buah ceri keram ik, dan pergi ke gereja. Di gereja ia duduk diam bagaikan patung orang suci. Sebulan sekali, di sore hari, ia pergi mengaku dosa. Pastilah menarik agar bisa m endengarkan dosa wanita tua ini, kapan dia punya waktu untuk berbuat dosa dan di mana... sebab rumah Teresina begitu penuh dengan anak-anak yang m erangkak, m erayap, tertatih-tatih, m enjerit-jerit, pencekik kucing dan yang suka jatuh dari pohon, dan setiap orang selalu merasa kelaparan setiap dua jam. Tak heran bila si nenek m em punyai saraf sekeras baja dan tak m udah tergoda dosa. Bila bukan dia, sudah pasti nyawanya sudah melesat terbang. Teresina seorang wanita yang cukup m em bingungkan, bila dipandang dari sudut cara berpikirnya. Tubuhnya m erupakan tem pat persem aian bayi yang sangat subur. Bayi pertam a, yang dikandungnya waktu ia berum ur em pat belas tahun, m erupakan suatu kejutan luar biasa baginya. Begitu terkejut sehingga bayi tersebut dilahirkannya di lapangan sepak bola di tengah m alam , dibungkus dalam lem baran surat kabar dan ditinggalkannya di tempat itu untuk ditemukan oleh penjaga malam. Tapi ini suatu rahasia. Bahkan setelah sekian lam a, Teresina bisa saja diancam hukuman bila diketahui orang. Waktu ia berum ur enam belas, Tuan Alfred Cortez m engawi- ninya, m em berikan nam a keluarganya serta dua dasar tum puan untuk anak-anak berikutnya, Alfredo dan Ernie. Tuan Cortez tak keberatan nam anya dipertautkan dengan nam a Teresina, sebab nam a itu sendiri hanyalah nam a sem entara baginya. Sebelum ia datang ke Monterey dan waktu ia meninggalkan kota itu na- m anya Guggliem o. Ia pergi dan tak kem bali lagi setelah Ernie lahir. Mungkin ia punya irasat bahwa kawin dengan Teresina m enyebabkan pusing kepala saja.

Dataran Tortilla 151 Secara teratur Teresina m elahirkan bayi dem i bayi, bahkan ini m em buat ia sendiri heran. Kadang-kadang ia tak ingat, siapa ayah dari bayi yang m enyerobot m asuk ke dalam kandungannya itu. Bahkan kadang-kadang ia yakin tanpa seorang pria pun ia bisa mengandung. Ini terjadi waktu ia diasingkan karena men- derita dipteria. Rasanya tak ada pria yang m enjam ahnya, toh ia m engandung juga. Betapapun, bila soal tentang pria yang bertanggung jawab itu sedem ikian m em usingkan kepalanya, ia m enyerahkan saja persoalan tersebut kepada Bunda Maria. Bagi Teresina, Bunda Maria, ibu J esus itu, lebih banyak m em iliki pengetahuan, perhatian dan waktu tentang hal-hal seperti itu daripada dirinya. Sering Teresina melakukan upacara pengakuan dosa. Ia m erupakan orang yang paling m em buat gem as Pater Ram on. Pendeta itu sering melihat waktu Teresina berlutut mengakui dosa yang diperbuatnya di waktu-waktu yang lewat, m atanya yang tertutup oleh bulu mata lentik melepaskan pancaran menantang membuka jalan untuk dosa-dosa baru. Waktu cerita ini ditulis, bayi kesem bilan Teresina lahir, dan untuk beberapa saat setelah itu perutnya m asih kosong. Bayi kedelapan diserahkan pada si nenek. Alfredo m em asuki tahun ketiganya di kelas satu, Ernie tahun kedua di kelas yang sam a dan Panchito mulai masuk sekolah. Saat itu m enjadi kebiasaan di California bahwa juru rawat sekolah mengunjungi kelas demi kelas untuk menghujani murid dengan pertanyaan tentang segi-segi kehidupan m ereka di rum ah. Di kelas satu, Alfredo suatu hari dipanggil ke kantor kepala sekolah karena ia dianggap kelihatan kurus. J uru rawat sekolah, yang terdidik dalam ilm u jiwa anak- anak, dengan ram ah bertanya, “Freddie, apakah kau cukup ba- nyak m akan?” “Tentu,” jawab Alfredo.

152 John Steinbeck “Bagus. Coba katakan, kalau pagi kau m akan apa?” “Tortilla* dan kacang polong.” J uru rawat mengangguk penuh arti pada kepala sekolah. Kem udian bertanya lagi, “Lalu apa yang kau m akan kalau kau pulang waktu istirahat makan siang?” “Aku tidak pulang.” “Siang hari kau tidak m akan?” “Makan. Aku m em bawa kacang polong yang terbungkus tortilla.” Mata si J uru rawat m em bayangkan kekagetan, tetapi ia m asih bisa m enguasai diri. “Di m alam hari, apakah yang kau m akan?” “Tortilla dan kacang polong.” Penyidikan dengan ilm u jiwa selesai sudah, si J uru rawat m em bentak Alfredo, “Bagaim ana bisa kau begitu tenang m enga- takan padaku bahwa yang kau m akan tiap hari hanyalah tortilla dan kacang polong?” Alfredo tercengang. “Yesus Kristus! Kau ingin aku ini m akan apa?” Dokter sekolah segera dilapori atas keadaan yang sungguh m enyeram kan ini. Suatu hari dokter itu pergi ke rum ah Teresina untuk m enyelidiki hal itu. Waktu dokter itu m elangkah di halam an, si perangkak dan si perayap m enjerit-jerit dalam suatu paduan suara. Dokter itu berdiri di ambang pintu dapur. Dengan mata kepala sendiri ia melihat si nenek pergi ke tungku, mencelupkan sebuah gayung pada panci di atas tungku itu. Gayung tadi keluar penuh dengan kacang polong yang segera ditaburkan di atas lantai. Sekejap saja semua suara berhenti. Si perangkak dan si perayap, sem ua bekerja keras tanpa banyak suara, ke sana ke m ari m encari kacang polong rebus itu di lantai. Mereka hanya berhenti untuk m em asukkan kacang polong yang m ereka tem ui ke dalam * Tortilla = roti tanpa ragi, tipis,bundar, dibuat dari tepung jagung, dipanggang.

Dataran Tortilla 153 m ulut, sesudah itu bergerak lagi. Si nenek kem bali ke kursinya, menikmati kedamaian suasana. Di bawah tempat tidur, di bawah kursi, di bawah meja, di bawah tungku anak-anak merangkak- rangkak dengan kerajinan seperti serangga. Dokter itu tinggal di rumah tersebut selama dua jam, sebab ia benar-benar tertarik. Ia pulang sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ia juga menggelengkan kepala waktu membuat laporan. “Sem ua anak itu aku uji dengan ujian yang kuketahui. Gigi, kulit, darah, kerangka, mata, keseimbangan. Tuan-tuan, mereka se- m ua hidup dengan m akan apa yang sebenarnya adalah racun. Mereka makan makanan itu sejak lahir. Tapi Tuan-tuan, mereka sam a sekali sehat! Belum pernah selam a hidupku aku bertem u dengan anak-anak yang sesehat itu!” Dokter itu tak bisa m enahan perasaan. “Binatang-binatang cilik itu! Belum pernah aku m elihat anak yang m em iliki gigi sesehat gigi m ereka. Belum pernah aku m elihat gigi seperti itu!” Orang m ungkin bertanya-tanya dalam hati, bagaim ana Teresina m encukupi m akanan untuk keluarganya. Bila m esin tresher* lewat, di tempat-tempat perhentian akan bertumpuk kulit-kulit kacang polong. Nah, kita tinggal menghamparkan selembar selimut di tanah, dan bila angin bertiup kita hamburkan kulit-kulit tadi ke udara di atas selimut itu. Mesin tresher tidak bisa disalahkan bila di antara gundukan kulit itu masih terdapat beberapa butir kacang polong. Dalam satu sore dengan jalan dem ikian bisa didapatkan kacang polong sebanyak dua puluh pon atau lebih. Di m usim rontok si nenek dan anak-anak yang sudah bisa berjalan pergi ke ladang-ladang kacang polong. Mereka menguliti kacang polong yang belum dikuliti m esin tresher. Pem ilik ladang tidak keberatan sebab ia tahu si nenek tidak akan merusak atau * Tresher = mesin yang menguliti kacang polong.

154 John Steinbeck mencuri. Paling sedikit si nenek dapat mengumpulkan tiga atau empat ratus pon kacang polong. Dengan empat ratus pon kacang polong, kita tak usah takut akan kelaparan. Bahan-bahan lain, seperti gula, tom at, m erica, kopi, ikan, atau daging bisa m enyusul secara ajaib, kadang- kadang dengan perantaraan Perawan Suci, kadang-kadang hasil kerja atau kecerdikan. Yang penting kacang polong itu. Ada kacang polong berarti selam at. Kacang polong m erupakan atap pelindung perut, selim ut hangat untuk m enangkis dinginnya tekanan ekonomi. Hanya ada satu hal yang dapat m engancam kehidupan dan kebahagiaan keluarga Nyonya Teresina Cortez, yaitu gagalnya panen kacang polong. Bila kacang telah m asak, tua, sem ak-sem aknya dikum pulkan, ditumpuk, dikeringkan untuk dikeringkan kemudian dengan mesin tresher. Waktu itulah orang harus berdoa agar hujan tidak turun. Bila tum pukan sem ak-sem ak kacang polong telah berjajar berbaris-baris, gundukan-gundukan kuning di ladang yang hitam , petani-petani dengan gelisah mulai memperhatikan langit. Sedikit saja awan hitam muncul, mereka jadi cemberut. Sebab bila hujan jatuh, tumpukan kacang itu harus dibolak-balik lagi, dijemur hingga kering lagi. Setiap kali kehujanan, harus dikeringkan lagi. Bila hujan sam pai turun tiga kali, kacang-kacang polong itu akan m em busuk, dan hasil panen lenyap. Waktu-waktu penjemuran kacang polong itulah si nenek rajin m enyalakan lilin di depan patung Perawan Suci. Di tahun cerita ini terjadi, kacang-kacang polong pun sedang m enanti keringnya. Lilin m enyala di depan patung Perawan Suci. Dan di rumah Teresina karung-karung goni siap digunakan. Mesin-m esin tresher dim inyaki dan dibersihkan. Hujan lebat turun.

Dataran Tortilla 155 Buruh-buruh ladang kacang dikerahkan dan ditam bah untuk m em bolak-balik tum pukan kacang polong yang basah. Si nenek menambah lilin di depan patung Perawan Suci. Hujan turun lagi, lebih lebat. Si nenek membeli dua batang lilin dengan sekeping uang em as yang disim pannya bertahun-tahun. Pekerja-pekerja ladang m em bolak-balik kacang lagi. Dan kem udian hujan yang paling hebat datang melanda. Di seluruh daerah Monterey panen kacang polong gagal seluruhnya. Sem ak-sem ak kacang yang kini telah membusuk terpaksa diolah oleh mesin-mesin pembajak, dibenamkan lagi ke dalam tanah. Oh, kesedihan m elanda rum ah Nyonya Teresina Cortez. Sum ber kehidupan m ereka tertutup rapat, pelindung nyawa m ereka hancur berantakan. Kacang polong yang dahulu selalu hadir dalam kehidupan m ereka akan lenyap! Di m alam hari anak- anak m enangis ketakutan akan bahaya kelaparan yang m akin mendekat. Mereka belum diberi tahu, tapi entah bagaimana anak-anak itu mengerti. Si nenek seperti biasa duduk di gereja, bibirnya m enggam barkan garis kem arahan saat ia m enatap patung Perawan Suci. “Kau m engam bil lilinku,” tuduhnya dalam hati, “oh, ya, Kau begitu tam ak akan lilin. Oh, Kau yang tak punya perasaan.” Dengan hati m engkal ia beralih m em beri persem bahan pada Santa Clara. Diadukannya pada Santa Clara tentang ketidakadilan Perawan Suci. Bahkan dia berpikir m elewati batas tentang bagaim ana Perawan Suci m elahirkan J esus. “Kau tahu,” katanya dengan hati m urka pada Santa Clara, “kadang- kadang Teresina juga lupa siapa ayah anaknya.” Telah dikatakan bahwa J esus Maria Corcoran seorang yang berhati m ulia. Ia juga punya bakat, sebagai orang yang m e- mentingkan perikemanusiaan, ia tertarik pada lingkungan kehi- dupan di m ana kem urahan hatinya sangat dibutuhkan. Entah

156 John Steinbeck sudah berapa kali tanpa disadarinya ia ‘terdam par’ pada wanita- wanita m uda yang m em butuhkan hiburan dari kesedihan m ereka. Selalu ada kekuatan yang m enyeretnya ke pusat-pusat kesedihan, kekuatan gaib yang tak bisa dipaham inya. Seperti berikut ini. Entah berapa bulan ia tak pernah sekali jua pun singgah di rum ah Teresina. Bagaim ana bisa terjadi tiba-tiba saja ia m uncul di rum ah nyonya itu pada saat kacang terakhir dari tahun lalu dicurahkan ke dalam belanga? Itulah bukti bahwa ada suatu daya tarik gaib antara kepedihan hati dan rasa perikemanusiaan. J esus Maria duduk di dapur Teresina, dengan lembut mem- bebaskan kakinya dari cengkeram an anak-anak kecil yang ber- tebaran di lantai. Dengan pandang sopan tapi penuh kepedihan ia memperhatikan Teresina saat Teresina bercerita tentang bencana yang m enim pa keluarganya. Ia bagai terpukau saat si nyonya membalik karung kacang terakhir untuk memperlihatkan bahwa tak sebutir kacang pun yang tertinggal. Ia m engangguk iba saat nyonya rum ah m enuding pada anak-anak yang tak lam a lagi akan menjadi kerangka hidup, tak lama lagi akan mati kelaparan. Kem udian si nenek ikut berbicara. Dengan nada pahit ia bercerita tentang bagaim ana Perawan Suci telah m enipunya. Tetapi cerita itu sama sekali tak menimbulkan rasa iba di hati J esus Maria “Kau tahu apa, Nenek tua?” katanya gusar. “Mungkin Perawan Suci sedang sibuk di tempat lain hingga tak bisa mendengar d oam u .” “Tetapi aku telah m em persem bahkan em pat batang lilin!” si nenek bersikeras. J esus Maria m em perhatikannya dengan pandang dingin. “Apa artinya em pat batang lilin bagi Dia? Pernah kulihat di se- buah gereja Dia mendapat persembahan seratus lilin. Ia sama sekali bukan orang yang kikir terhadap lilin.”

Dataran Tortilla 157 Tetapi benak J esus Maria terbakar oleh penderitaan Teresina. Malam itu dengan penuh keyakinan dan nada m engiba ia bercerita pada sahabat-sahabatnya di rum ah Danny. Dari lubuk hatinya yang m ulia itu m engalirlah pidato yang m enggugah hati, perm ohonan m engharukan untuk kesejahteraan anak-anak yang kini kehabisan kacang itu. Begitu tergerak hatinya untuk m em o- hon pertolongan para sahabatnya, sehingga hati para sahabatnya pun hangus oleh rasa iba. Mereka bangkit berdiri. Mata mereka bersinar penuh semangat. “Anak-anak itu tak boleh m ati kelaparan!” m ereka berseru. “Tanggung jawab kitalah keselam atan m ereka!” “Kita hidup dalam kem ewahan diban din gkan den gan mereka,” kata Pilon. “Harus kita berikan sari dari kehidupan kita,” Danny m e- nyetujui, “kalau perlu m ereka boleh tinggal di sini.” “Besok kita akan m ulai!” Pablo berteriak. “Buang sem ua kem alasan! Bekerja! Banyak yang harus kita kerjakan!” J esus Maria merasa gembira, segembira seorang pemimpin yang m endapat dukungan penuh dari pengikutnya. Mereka tidak m em bual sem ata. Bergotong-royong m ereka m engum pulkan ikan. Ladang sayuran hotel Del Monte m ereka serbu. Itu sem ua m erupakan perm ainan yang sangat m enarik, ge- m ilang. Pencurian yang tidak disertai dosa pencurian. Kejahatan yang dikerjakan dem i kesejahteraan orang lain. Kerja apa lagi yang lebih m em uaskan dari itu? Si Bajak Laut m enaikkan harga kayu apinya m enjadi tiga puluh sen dan tiap pagi restoran yang dikunjunginya bertam bah tiga buah. Berkali-kali Big J oe m encuri kam bing Nyonya Palochio, tetapi setiap kali kam bing itu dikem balikannya lagi. Dan makanan pun mulai berdatangan di rumah Teresina. Di serambi bertumpuk-tumpuk peti berisi daun selada. Ikan-ikan busuk mengisi udara daerah itu dengan bau menusuk hidung.

158 John Steinbeck Dan masih saja api perikemanusiaan berkobar untuk menolong keluarga Teresina. Bila anda dapat m elihat buku catatan keluhan di kantor polisi Monterey, ternyatalah bahwa pada saat itu suatu gelom bang kejahatan kecil sedang melanda daerah itu. Mobil polisi sibuk bergegas dari satu tem pat ke tem pat lainnya. Di sini seekor ayam dicuri, di sana sejalur sem angka lenyap. Perusahaan Paladini m elaporkan hilangnya dua peti berisi seratus pon daging bistik. Rumah Teresina jadi penuh sesak. Dapur dijejali bahan- bahan m akanan. Seram bi belakang m elim pah dengan sayur- m ayur. Bau gudan g m akan an m en cem arkan udara Dataran Tortilla. Keenam sahabat m asih juga giat m encuri, dan rencana- rencana baru dilahirkan bersama Teresina. Mula-m ula Teresina ham pir gila kegirangan m elihat banjirnya makanan itu, ia terharu oleh perhatian kawan-kawan Danny terhadapnya. Tetapi setelah sem inggu berlalu, ia jadi ragu-ragu, apakah akan gem bira ataukah sedih. Bayinya sakit batuk, Ernie sakit perut, dan m uka si Alfred m em erah tidak sehat. Mereka yang m erangkak dan m erayap selalu m enangis. Teresina m alu untuk m engatakan kesulitannya pada para sahabat Danny.Tetapi setelah beberapa hari hal ini berlangsung terus, ia jadi nekat. Lagi pula tetangga-tetangga m ulai m em andang curiga padanya. Teresina mengundang semua kawan Danny ke dapur. Dengan hati-hati, dengan rendah hati ia menceritakan kesulitan yang dihadapinya. Ia khawatir kalau-kalau perasaan m ereka t er sin ggu n g. “Hijau-hijauan dan buah-buahan tak baik bagi anak-anak,” ia m enerangkan. “Susu m em buat bayi yang sudah disapih m en- derita sem belit.” Teresina m enunjuk pada anak-anaknya yang m em perlihatkan tan da-tan da tidak sehat. “Lihatlah, m ereka sem ua sakit. Mereka tidak m em peroleh m akanan yang seharusnya mereka peroleh.”

Dataran Tortilla 159 “Lalu m akanan apa yang tepat bagi m ereka?” tanya Pilon. “Kacang polong,” sahut Teresina. “Kacang polong bisa kita percayai sepenuhnya. Kacang polong tidak hanya lewat saja di usus.” Tanpa banyak bicara para sahabat keluar dari tem pat itu. Mereka menipu diri sendiri dengan mengatakan bahwa perasaan mereka waktu itu adalah suatu kegundahan. Tapi dalam hati m ereka tahu, sem angat yang begitu berkobar-kobar dulu kini telah mulai padam. Di rumah Danny mereka berunding. Dan yang berikut ini haraplah dirahasiakan, sebab bila keta- huan pihak-pihak tertentu m aka akibatnya tidak m enyenangkan. J auh setelah lewat tengah m alam em pat sosok tubuh, yang nam anya tak usah disebutkan, m enyelinap-nyelinap bagai ba- yangan di dalam kota. Em pat bentuk m anusia yang sam ar-sam ar m erayap m em anjat panggung Perusahaan Pergudangan. Penjaga malam setelah peristiwa itu terjadi berkata bahwa saat itu ia m endengar suara yang m encurigakan dan segera m enyelidikinya. Tapi ia tak m elihat apa-apa yang patut dicurigai. Ia tak bisa menerangkan bagaimana sebuah tembok telah dipecahkan dan dengan paksa pintu gudang dibuka. Hanya ada em pat orang di seluruh Monterey yang tahu bahwa waktu itu sebenarnya si penjaga tidur nyenyak. Tetapi keem pat orang ini tak m au m eng- adukan hal tersebut kepada yang berwajib. Keem pat bayangan itu tak lam a berada di dalam gudang. Me- reka segera m enyelinap keluar lagi, m asing-m asing terbungkuk- bungkuk karena harus m em bawa beban yang sangat berat. Suara napas terengah-engah. J am tiga pagi Teresina terbangun karena pintu belakang terbuka. “Siapa itu?” teriaknya. Tak ada jawaban, namun terdengar empat suara berdebum yang m engguncangkan seluruh rum ah. Teresina m enyalakan se-

160 John Steinbeck batang lilin dan pergi ke dapur dengan kaki telanjang. Di dapur dilihatnya em pat karung berisi kacang m erah tersandar pada dinding, masing-masing karung berisi seratus pon. Teresina bergegas m em bangunkan si nenek. “Suatu keajaiban telah terjadi!” serunya. “Ayo, m ari lihat, di dapur!” Dengan rasa penuh malu si nenek memperhatikan karung- karung berisi kacang m erah itu. “Oh, aku yang penuh dosa! Oh, aku m anusia busuk!” rintihnya. “Oh, Bunda Suci, am punilah kiranya tua bangka tolol ini. Setiap bulan akan kupersem bahkan sebatang lilin untukm u, selam a aku m asih hidup!” Di rum ah Danny, em pat orang sahabat terbaring kelelahan dengan hati bahagia di bawah selimut masing-masing. Mereka tidur nyenyak, sebab bantal yang terbaik adalah hati nurani yang tenteram damai. Mereka tidur terus sampai sore tiba, sebab kini pekerjaan mereka telah selesai. Dan dengan caranya yang tak pernah keliru Teresina tahu bahwa dirinya sedang m ulai m engandung lagi. Sam bil m enuang- kan seperem pat pon kacang ke dalam belanga ia bertanya-tanya dalam hati, siapa di antara kawan-kawan Danny yang bertanggung jawab bagi bayi yang dikandungnya itu.

14 BERSANTAI DI RUMAH DANNY PARA PAISANO di Dataran Tortilla tak pernah m enggunakan arloji atau jam sebagai pengukur waktu. Sekali-sekali pernah juga di antara kawan-kawan Danny yang entah bagaim ana berhasil m em iliki arloji. Tapi arloji itu hanya bertahan sebentar, segera ditukarkan dengan sesuatu yang lebih m ereka perlukan. Bagi Danny dan kawan-kawan, arloji m em ang m em punyai harga, tetapi harganya hanyalah sebagai bahan penukar saja. Untuk mengukur waktu mereka menggunakan arloji emas matahari. Matahari lebih baik daripada arloji, dan juga lebih aman, sebab dengan cara apa pun ia tak bisa jatuh ke dalam cengkeraman Torrelli sebagai penukar beberapa galon anggur. Di musim panas, bila jarum jam menunjukkan pukul tujuh, itu berarti waktu yang m enyenangkan untuk bangun pagi. Tetapi di m usim dingin jam tujuh tidak punya nilai apa pun, walaupun

162 John Steinbeck angkanya sam a-sam a tujuh. Lain dengan m atahari. Asal m atahari sudah berada di puncak-puncak pohon pinus dan sinarnya m erayap di seram bi depan, itulah saatnya untuk bangun—pada musim apa pun. Sebab saat itu tangan kita tidak lagi menggigil kedinginan dan perut tidak lagi berkeruyukan. Si Bajak Laut dan anjing-anjingnya tidur di ruang tengah, nyam an dan hangat di sebuah sudut. Pilon, Pablo, J esus Maria, Danny, dan Big J oe Portugis tidur di kam ar tidur. Walaupun ia baik hati, walaupun ia pem urah, Danny tak pernah m engizinkan tem pat tidurnya ditem pati siapa pun. Big J oe pernah m encoba meniduri tempat tidur Danny dua kali. Dan ia mendapat hukuman pukulan keras di telapak kakinya, hingga otaknya yang bebal pun tahu bahwa tempat tidur Danny tak boleh dijamah oleh siapa saja. Kecuali Danny, sem ua tidur di lantai, dan alas tidur m ereka sungguh luar biasa. Alas tem pat tidur Pablo terbuat dari tiga lem bar kulit dom ba yang dijahit jadi satu. J esus Maria tidur dengan m em asukkan sebuah kakinya ke lengan sebuah jas panjang tua dan kaki yang lain ke lengan satunya. Pilon m enggulung dirinya dengan sepotong perm adani. Big J oe biasanya hanya m enggulungkan dirinya seperti anjing, dan biasanya tanpa m em buka pakaian. Big J oe, walaupun tak punya bakat untuk memiliki sesuatu dalam jangka waktu lama, tetapi ia memiliki keahlian untuk m enukarkan apa saja yang m elewati tangannya dengan anggur, entah berapa ukuran. Begitulah m ereka tidur. Kadang-kadang riuh rendah oleh dengkur, tetapi selalu nyam an dan nyenyak. Pada suatu m alam yang dingin pernah Big J oe m encoba m em injam seekor anjing si Bajak Laut untuk penghangat kaki. Tetapi kakinya jadi luka oleh gigitan anjing itu, sebab anjing si Bajak Laut tak bisa dipinjam kan. J endela di rum ah itu tak ada yang bertirai. Alam telah memberi tirai dengan sarang laba-laba, debu, dan bekas-bekas air hujan pada kaca.

Dataran Tortilla 163 Pernah Danny berkata, “Pasti lebih m enyenangkan bila jendela-jendela itu kita bersihkan dengan air dan sabun.” Otak Pilon yang tajam segera bangkit, tetapi persoalan itu terlalu em puk untuk ditanggulangi otaknya, tak m em butuhkan daya pikir yang paling kecil pun. “Kalau jendela dibersihkan cahaya akan m akin banyak yang m asuk,” katanya untuk m enghindari pekerjaan, “kalau di sini banyak cahaya kita akan m alas pergi ke luar. Dan bila malam hari, saat udara penuh racun, kita toh tak m em erlukan cahaya langit.” Danny terpaksa m undur teratur. Bila kalim at yang tak acuh itu sudah m enim bulkan bantahan yang begitu berbelit-belit, apa yang akan dihadapinya bila ia m em aksakan agar kehendaknya dikerjakan? J adi jendela-jendela tetap saja kotor. Waktu berlalu, lalat dem i lalat m enjadi m akanan keluarga laba-laba yang berkuasa di tiap jendela, tubuh, dan darah mereka melekat pada kaca, debu dem i debu berkum pul hingga akhirnya jendela kaca itu benar-benar tidak tem bus cahaya, hingga bahkan di siang hari bolong sekalipun kita bisa tidur tanpa terganggu silaunya cahaya m a t a h a r i. Begitulah para sahabat itu tidur nyenyak. Tetapi bila cahaya m atahari hinggap di kaca pada waktu pagi, lain ceritanya. Cahaya yang tak bisa m asuk itu m em buat debu berwarna keperakan, dan tubuh-tubuh lalat biru berpendar-pendar, dan ini membuat para sahabat itu terbangun, menggeliat, dan mencari sepatu masing- m asing. Mereka tahu apa yang terjadi di kaca itu berarti seram bi depan telah hangat oleh sinar matahari. Mereka tidak bangun secara tiba-tiba, tidak melemparkan selimut atau menghidupkan tata kehidupan mereka dengan gerakan yang m endadak. Tidak, m ereka bangun dengan gerakan selem but gelem bung sabun yang baru keluar dari pipanya. Kem udian berm alas-m alasan m ereka pergi ke sungai di belakang rumah, masih setengah tidur. Sedikit demi sedikit semangat

164 John Steinbeck hidup mereka mulai terkumpul. Mereka membuat api, memasak teh dan m inum dari m angkuk. Akhirnya m ereka m enem patkan diri m asing-m asing di bawah cahaya m atahari di seram bi depan. Lalat-lalat beterbangan m engelilingi kepala. Kehidupan m ulai membentuk di sekeliling mereka, bentuk-bentuk kemarin dan besok. Perlahan pembicaraan dimulai, sebab masing-masing masih ingin mempertahankan keadaan tidur mereka lebih lama. Dari waktu itu hingga lewat tengah hari berkembang persahabatan intelektual. Lewat waktu tersebut m ereka m ulai bekerja, mengangkati atap, mengintipi isi rumah-rumah orang lain, merundingkan latar belakang peristiwa-peristiwa, menceritakan pengalam an-pengalam an. Biasanya yang m uncul dalam pikiran m ereka pertam a kali ialah Cornelia Ruiz, sebab jarang sekali ada hari atau m alam yang lewat tanpa Cornelia m engalam i sesuatu yang aneh dan m enarik. Dan anehnya, dari sekian banyak pengalam an Cornelia tak ada satu pun yang m em beri pelajaran m or a l. Matahari bersinar cem erlang di antara rim bunnya daun- daun pin us. Bum i berbau segar dan kerin g. Bun ga-bun ga m awar Castille m ewan gikan dun ia den gan keharum an n ya. Saat-saat begini adalah surga bagi Danny dan kawan-kawan. Perjuangan untuk hidup jauh dari pikiran mereka. Mereka duduk-duduk membicarakan tingkah laku sesama manusia Monterey, m em pertim bangkan segala tindakan m ereka. Bukan m em pertim bangkan nilai m oralnya, tetapi apa yang m enarik atau tidak m enarik. Tiap anggota persahabatan Danny yang kebetulan m enem ukan sesuatu yang patut diceritakan, m enyim pan hal itu baik-baik sam pai saatnya m ereka duduk-duduk santai begini. Sementara kupu-kupu cokelat dan besar hinggap pada bunga- bunga m awar, m elam bai-lam baikan sayap perlahan-lahan, seolah-olah m engisap m adu dengan tenaga sayap itu.

Dataran Tortilla 165 “Aku m elihat Albert Rasm ussen,” kata Danny, “keluar dari rum ah Cornelia. Cornelia itu, selalu ada-ada saja m asalah yang dihadapinya. Tiap hari ia m em peroleh kesulitan.” “Mem ang begitulah cara hidupnya,” kata Pablo, “bukan aku sembarangan menuduh, tetapi sering aku berpikir bahwa Cornelia terlalu lincah. Dua hal selalu ada dalam kehidupannya, cinta dan pertengkaran.” “Tapi, apa lagi yang kau cari dalam hidup ini?” tanya Pilon. “Cornelia tak pernah m enikm ati ketenangan dalam hidup- nya,” kata J esus Maria dengan nada sedih. “Dia m em ang tak m em butuhkan ketenangan,” kata Pilon, “beri dia ketenangan, dan Cornelia pasti m ati. Cinta dan perteng- karan. Bagus sekali apa yang kau katakan, Pablo, cinta dan pertengkaran, dan sedikit anggur. Dengan ketiga hal itu kita bisa senantiasa m uda, senantiasa bahagia. Apa yang terjadi dengan Cornelia kem arin?” Dengan wajah menunjukkan kemenangan, Danny m em andang Pilon. J arang sekali terjadi hal-hal yang lolos dari perhatian Pilon. Dari pandang kegusaran di mata Pilon ia bisa menduga bahwa Pilon tak m engerti apa-apa tentang peristiwa yang terjadi dengan Cor n elia . “Kalian sem ua kenal Cornelia,” kata Danny, “kadang-kadang orang m em berinya hadiah, seekor ayam atau seekor kelinci atau sebuah kubis. Benda-benda kecil—tetapi Cornelia m erasa senang sekali. Nah, kem arin Em illio Murietta m em beri Cornelia seekor anak babi, m asih kecil, kecil sekali. Anak babi yang m asih m erah dan manis. Emilio mendapat anak babi itu di dekat sungai. Induk babi m engejarnya waktu Em ilio m engam bil anaknya. Tetapi Em ilio dapat berlari cepat, dan berhasil m encapai rum ah Cornelia dengan selamat. Emilio pandai sekali berbicara. Ia berkata pada Cornelia, ‘Tak ada yang lebih m enyenangkan daripada bayi babi. Ia m au m akan apa saja. Ia m erupakan binatang m ainan yang

166 John Steinbeck m enyenangkan. Kau pasti akan sangat m encintainya. Tetapi kem udian ia akan tum buh m em besar dan sifatnya berubah. Sebagai babi besar ia akan jahat, dan mudah marah. Suatu hari babi itu akan menggigitmu, dan kau marah. Maka kau akan m enyem belih babi itu dan kau m akan’.” Para sahabat itu mengangguk membenarkan. Pilon berkata, “Dari beberapa sudut pandangan, Em ilio m em ang bukannya orang yang berotak tum pul. Lihat berapa banyaknya kepuasan yang bisa diam bilnya dari seekor babi—kem esraan, cinta, kepuasan balas dendam , dan m akanan. Aku harus berkenalan lebih baik lagi dengan Em ilio kapan-kapan.” Tetapi sem uanya tahu benar bahwa dalam hati Pilon m erasa iri karena ada orang lain yang bisa berpikir begitu cemerlang. “Lanjutkan ceritam u tentang babi itu,” kata Pablo. “Begitulah,” Danny m elanjutkan ceritanya. “Cornelia m eng- am bil babi itu, dan ia bersikap am at m esra pada Em ilio. Cornelia berkata kalau waktunya telah tiba, dan ia m arah pada babinya, Em ilio akan diundangnya untuk m akan bersam a. Kem udian Em ilio pergi. Cornelia m em buat sebuah kotak untuk tem pat tidur babinya, ditaruh dekat perapian. Tak lam a kem udian datanglah beberapa orang nyonya bertam u. Cornelia m em am erkan babinya, m em biarkan m ereka m enim ang dan m em belainya. Setelah beberapa lama, tanpa sengaja si Manis Ramirez menginjak ekor anak babi itu. Oh, lengkingan si anak babi mengalahkan suitan peluit kereta api. Saat itu pintu depan terbuka, dan induk babi yang m endengar lengking anaknya segera m enerjang m asuk. Sem ua m eja, sem ua cangkir dan piring yang ada di atasnya porak- poranda jatuh berham buran. Kursi-kursi juga. Dan induk babi m enggigit si Manis Ram irez dan m enarik gaun Cornelia. Para nyonya itu lari berlindung ke dapur, m engunci pintu. Induk babi pergi, m em bawa serta anaknya. Oh, alangkah m arahnya Cornelia. Ia bersumpah akan memukuli Emilio.”

Dataran Tortilla 167 “Mem ang dem ikianlah kehidupan itu,” kata Pablo, “sem uanya berjalan jauh dari apa yang telah kau rencanakan. Tepat seperti cerita Bob Sm oke J angkung yang bunuh diri.” Muka para sahabat berpaling pada Pablo dengan penuh p en a n t ia n . “Kalian pasti m engenal Bob Sm oke,” Pablo m ulai, “tam pang- nya seperti tam pang koboi pada um um nya, kakinya panjang, tubuhnya kurus, tapi ia tak pandai m enunggang kuda. Dalam rodeo lebih sering terjatuh. Nah, Bob Sm oke ini orang yang paling ingin dihorm ati dan dikagum i orang banyak. Dalam parade, dia selalu ingin berjalan paling depan, m em bawa bendera. Bila ada perkelahian, ia selalu ingin jadi wasit. Dan bila ia sedang m enonton pertunjukan, ia selalu yang pertam a kali berteriak, ‘Yang di depan duduk!’ Ya, dia ingin sekali jadi orang besar, orang yang ditonton orang banyak, dikagum i. Dan ada lagi, ia juga ingin dicintai orang banyak. Kasihan sekali, sungguh malang ia. Ia ditakdirkan selalu jadi bulan-bulanan dan ejekan. Ada sem entara orang yang kasihan padanya. Tetapi kebanyakan orang m entertawakannya. Dan tawa itu bagaikan tusukan m aut bagi Bob Sm oke J angkung. Mungkin kalian ingat, waktu parade di m ana Bob Sm oke naik kuda paling depan m em bawa bendera. Ia duduk tegak, naik kuda putih yang besar dan gagah. Tapi tepat di hadapan juri, tiba-tiba saja kuda besar tolol itu pingsan karena teriknya panas. Bob terlem par jatuh lewat kepala kuda, bendera yang dibawanya terlem par bagaikan lem bing, m enancap terbalik di tanah di depannya. Begitulah selalu nasibnya. Kapan saja ia m encoba m enjadi tokoh, selalu ada saja yang m enghalanginya, dan ia jadi bahan tertawaan. Ingat waktu ia menjadi tukang jerat anjing? Sepanjang sore ia mencoba seekor anjing. Seluruh isi kota datang untuk m elihatnya. Tiap kali ia m elem par jerat, anjingnya menunduk berbaring di tanah, hingga jerat itu terlempar tak m engena, dan si anjing berhasil m elarikan diri. Oh, gem uruhnya

168 John Steinbeck orang tertawa! Bob begitu m alu sehingga ia berpikir, ‘Aku akan bunuh diri, sehingga sem ua orang akan sedih, m enyesal m e- ngapa m ereka m entertawakan aku.’ Tetapi ia berpikir lagi, ‘Bila aku m ati, aku tak akan tahu bagaim ana penyesalan m ereka.’ Karenanya ia m em buat rencana seperti berikut, ‘Akan kutunggu sam pai ada orang datang ke kam arku. Kem udian akan kuarahkan pistolku ke kepalaku. Pasti orang tadi akan membujukku, minta agar aku tidak bunuh diri. Ia m enyuruh aku berjanji agar tidak bunuh diri. Sem ua orang pasti akan m erasa m enyesal karena tawa m ereka m em buat aku ingin bunuh diri.’ Begitulah pikirnya. Ia pulang, dan setiap orang yang m elewati rum ahnya berseru, ‘Hey, Bob! Sudah kau tangkap anjing itu?’ Ia sangat sedih. Diam bilnya sepucuk pistol, diisinya peluru, dan ia duduk m enunggu sam pai ada orang datang ke kam arnya. Rencananya sudah m atang, dan ia m engadakan latihan de- ngan pistolnya itu. Sahabatnya pasti akan berkata, ‘Ai, sedang apa kau? J angan bunuh diri, orang malang.’ Dan kemudian ia akan berkata bahwa ia tidak ingin hidup lebih lama lagi karena semua orang begitu kejam. Diulang-ulanginya latihan dan percakapan itu. Tapi tak seorang pun yang datang. Keesokan harinya ia pun begitu juga. Tidak juga ada yang datang. Baru m alam berikutnya Charlie Meeler m uncul. Bob m endengar langkahnya di seram bi. Ia m e- m asang ujung pistolnya di kepala, dikokangnya agar kelihatan sungguh-sungguh. Pasti ia akan membujukku, dan aku akan berpura-pura terbujuk,’ pikir Bob. Charlie Meeler m em buka pintu. Ia m elihat Bob m en g- acungkan pistol ke kepalanya sendiri. Tapi Charlie Meeler tidak berteriak apa-apa, ia m elom pat dan m encoba m erebut pistol Bob. Pistol itu m eletus, pelurunya m enyam bar ujung hidung Bob. Dan orang jadi lebih ram ai lagi m entertawakannya. Bahkan dim uat di surat kabar juga! Seluruh kota m entertawakan Bob.

Dataran Tortilla 169 Kalian tentu pernah m elihat hidung Bob, dengan ujungnya hilang bekas tembakan. Orang-orang tertawa, tetapi agak lain. Mereka merasa tidak enak untuk tertawa, mengerti akan perasaan Bob. Dan sejak itu m ereka selalu m em perbolehkan Bob J angkung m em bawa ben dera dalam setiap parade. J uga Dewan Kota m em belikannya jaring anjing agar ia lebih m udah m enangkap anjing gelandangan. Tetapi dengan hidung seperti itu Bob tidak pernah m erasa bahagia,” Pablo m engakhiri ceritanya dengan air muka sedih. Ia mengambil sebatang ranting dan dilecut- lecutkannya pada kakinya. “Aku ingat hidung Bob, bentuknya,” kata Danny. “Sebetulnya ia bukanlah orang buruk. Bila si Bajak Laut pulang pasti ia bisa bercerita tentang kebaikan Bob. Si Bajak Laut sering m em injam - kan anjing-anjingnya pada Bob, untuk ditaruh di dalam kereta penangkap anjing. J adi orang-orang yang m elihat kereta itu berisi anjing banyak akan berkata, ‘Bob tukang jerat anjing yang baik.’ Memang sukar untuk menangkap anjing bila memang peker- jaanmu sebagai penangkap anjing.” Selam a itu J esus Maria m erenung terus, m enyandarkan kepalanya pada dinding. Ia pun angkat bicara, “Mem ang, daripada ditertawakan orang lebih baik dihukum cambuk. Tomas Tua, si peniup terompet, begitu sering ditertawakan orang sehingga akhirnya ia m ati sedih. Dan orang-orang m enyesal karena telah m entertawakannya.” “Dan,” kata J esus Maria lagi, “ada m acam tertawa yang lain. Cerita tentang Bob J angkung m em ang lucu, tetapi waktu kau ingin tertawa karena kelucuannya, kau m erasa ada sesuatu yang m em ijit jantungm u. Aku tahu tentang Pak Ravanno yang tua itu, yang m enggantung diri tahun lalu. Ceritanya juga lucu, tetapi kelucuannya tak m enyenangkan untuk ditertawai.” “Aku telah m endengar sedikit tentang Pak Ravanno. Tapi tak begitu mendalam,” kata Pilon.

170 John Steinbeck “Akan kuceritakan kisahnya,” kata J esus Maria. “Coba, kau bisa tertawa atau tidak. Waktu aku kecil, aku sering bermain de- ngan Petey Ravanno. Seorang anak baik yang cekatan, Petey itu, tetapi selalu m endapat kesulitan. Ia punya dua saudara lelaki dan em pat saudara perem puan. Dan ayahnya juga ada, Pete Tua. Keluarga Ravanno kini telah tiada sem uanya. Seorang saudara lelaki Petey tinggal di San Quentin. Yang seorang lagi dibunuh tu- kang kebun bangsa J epang karena mencuri semangka segerobak penuh. Dan saudara-saudaranya yang perem puan, ah, kalian tahu sendiri bahwa m ereka perem puan—m ereka pergi sem ua. Susy tinggal di rumah pelacur J enny Tua di Salinas saat ini. “J adi tinggal si Petey dan ayahnya, Pete Tua. Petey jadi de- wasa, dan selalu m endapat kesulitan. Ia pergi ke Sekolah Anak- anak Nakal untuk beberapa lama, tetapi kemudian dilepaskan. Tiap Sabtu ia mabuk, dan tinggal di dalam penjara sampai Senin. Ayahnya orang yang baik dan ram ah. Tiap m inggu ia m abuk bersam a Petey. Ham pir selalu m ereka berdua dipenjarakan ber- sama-sama. Pete Tua merasa kesepian bila Petey tak berada ber- sam anya dalam penjara. Pete Tua sangat m encintai Petey, apa saja yang dikerjakan anaknya selalu dikerjakannya, walaupun sampai ia berumur enam puluh tahun. “Mun gkin kalian in gat Gracie Mon tez. Sesun gguhn ya tabiatnya agak buruk. Waktu Gracie berum ur dua belas tahun, sebuah arm ada berlabuh di Monterey. Dan segera juga Gracie m elahirkan bayinya yang pertam a. Dalam um ur sem uda itu! Ia sangat cantik, lincah, dan lidahnya tajam , seolah-olah ia selalu m elarikan diri dari lelaki, dan lelaki-lelaki selalu m engejarnya. Kadang-kadang m ereka dapat m enangkapnya, tetapi m ereka tak pernah bisa m endapatkan sesuatu yang istim ewa, sesuatu yang sangat m anis yang selalu disem bunyikannya. Pandangan m atanya seolah berkata, ‘Bila aku benar-benar suka padam u,

Dataran Tortilla 171 aku akan m em berim u sesuatu yang tak akan bisa diberikan oleh wanita lain.’ Aku tahu tentang itu, sebab aku pun pernah m engejar Gracie. Dan Petey juga m engejar Gracie. Hanya Petey berbeda dari lelaki la in n ya .” J esus Maria m enatap m ata kawan-kawannya dengan tajam untuk m em beri tekanan pada kalim atnya. “Petey begitu ingin m em iliki Gracie hingga badannya kurus, m atanya lebar dan kosong seperti m ereka yang m engisap m ariyuana. Petey tidak m au m akan. Ia sakit. Si tua Ravanno m endatangi Gracie dan berkata, ‘Bila kau tak m au bersikap m anis pada Petey, ia akan m ati.’ Tapi Gracie hanya tertawa. Tabiatnya m em ang tidak baik. Kem udian adiknya, si Tonia, m asuk ke kam ar itu. Tonia berum ur em pat belas tahun. Si Pete Tua m elihat Tonia dan sesak napasnya. Tonia seperti Gracie, m em iliki sesuatu yang selalu dikejar-kejar pria. Tak terasa Pete Tua berkata, ‘Ke m arilah, gadis cilik.’ Tetapi Tonia bukannya gadis cilik. Ia telah tahu apa yang dikehendaki pria. Ia tertawa dan lari ke luar. Pete Tua pulang. Petey melihat perubahan pada muka ayahnya dan berkata, ‘Ada sesuatu yang m engganggu pikiranm u, Aya h ?’ ‘Tidak, Petey,’ jawab si orang tua, ‘aku hanya khawatir kalau kau tak bisa m endapatkan Gracie. Lupakan saja gadis itu, dan sem buhlah’.” “Keluarga Ravannos m em ang berdarah panas!” “Apa yang terjadi kem udian?” J esus Maria m elanjutkan ceritan ya, “Petey bekerja m em oton g cum i-cum i un tuk Chin Kee, dan ia m em beli hadiah untuk Gracie. Berbotol-botol Agua Florida, pita, dan kutang. Ia bahkan m em bayar tukang potret agar m em otret Gracie, dan m em berinya warna pula! “Gracie m enerim a sem ua hadiah itu, kem udian lari m ening- galkannya, sam bil tertawa. Kalau kalian m endengar tertawanya,

172 John Steinbeck pasti kalian ingin m encekik gadis itu, m erobek dadanya untuk m elihat apa isinya. Begitulah perasaanku, sebab aku pun pernah m engejarnya. Dan begitu juga perasaan Petey. Tawa Gracie m em - buat Petey gila. Ia tak bisa lagi tidur. Ia berkata padaku, ‘Kalau Gracie mau kawin denganku di gereja, ia tak akan berani lagi me- larikan diri, sebab ia telah diikat perkawinan dan meninggalkan perkawinan berarti berbuat dosa.’ Petey melamar Gracie. Tapi Gracie tertawa dengan tawa yang sangat m enjengkelkan. “Oh, Petey bagaikan gila! Ia pulang, m engam bil tali. Mengikat tali itu pada tiang rumah dan membuat jerat pada salah satu ujungnya untuk dilingkarkan di lehernya. Ia naik ke kotak dan mendepak kotak itu. Tepat pada saat itu Pete Tua datang. Dipu- tuskannya tali yang m enggantung anaknya dan ia m em anggil dokter. Dua jam baru Petey bisa membuka mata, dan empat hari kemudian baru ia bisa bicara.” J esus Maria berhenti sejenak. Dengan bangga ia melihat bahwa sem ua sahabatnya m engulurkan kepala karena m endengarkan ceritanya dengan teliti. “Begitulah kisahnya,” katanya lagi. “Tapi Gracie Montez kawin dengan Petey Ravanno itu,” seru Pilon tergesa-gesa, “aku kenal padanya. Ia seorang wanita yang alim. Selalu mengunjungi gereja, dan sekali sebulan ikut upacara pengakuan dosa.” “Mem an g begitulah keadaannya sekarang,” J esus Maria m engangguk, “Si Pete Tua sangat m arah waktu itu. Ia lari ke rum ah Gracie dan berteriak, ‘Lihat, kau telah m em bunuh anakku dengan ketololanmu. Ia mencoba membunuh diri karena ting- kahm u, sam pah m asyarakat!’ “Gracie sangat takut, tapi ia m erasa senang juga. Tak banyak wanita yang bisa m endorong seorang pria sam pai sejauh itu. Ia pergi m engunjungi Petey yang terbaring dengan leher bengkok. Dan setelah beberapa waktu, mereka kawin.

Dataran Tortilla 173 “Kawinnya m enurut apa yang direncanakan Petey, dan sega- lanya terjadi sesuai dengan apa yang dikatakannya dahulu. Gereja m em erintahkan agar Gracie jadi istri yang baik, dan Gracie pun jadi istri yang baik. Ia tak pernah tertawa pada pria lain. Dan ia tak pernah lari hingga tak pernah dikejar pria. Petey bekerja pada Chin Kee sebagai pem otong cum i-cum i. Segera juga ia naik pangkat menjadi tukang pengosong kotak cumi-cumi. Dan tak lam a kem udian ia m enjadi m andor dari perusahaan cum i-cumi itu. Kau lihat sendiri,” kata J esus Maria, “bahwa sampai pada bagian ini ceritaku merupakan cerita yang baik. Cerita yang layak diceritakan oleh seorang pendeta. Kalau cerita itu berakhir di sini.” “Oh, ya,” kata Pilon, “banyak sekali yang bisa dipelajari dari cerita itu.” Para sahabat menganggukkan kepala setuju, mereka sangat suka pada cerita yang m engandung arti. “Aku pernah m engenal seorang gadis di Texas yang sifatnya seperti Gracie,” kata Danny, “bedanya ia tak m au m engubah ta- biatnya. Ia diberi gelar sebagai istri seluruh anggota Peleton Dua. ‘Nyonya Peleton Dua’, begitulah sebutannya.” Pablo m engangkat tangannya. “Ceritanya tidak habis di situ. Biarkan J esus Maria m elanjutkan ceritanya.” “Ya, m asih ada lanjutannya,” kata J esus Maria, “tetapi di- pandang dari akhir ceritanya nanti, cerita ini bukannya cerita yang baik. Sekarang cerita si Pete Tua, si kakek, yang um urnya sudah enam puluh tahun lebih. Petey dan Gracie pindah rumah. Si Kakek Ravanno kesepian jadinya, sebab sebelum nya ia selalu bersam a-sam a Petey. Ia tak tahu lagi bagaim ana m em pergunakan waktunya. Ia hanya term enung-m enung saja setiap hari. Sam pai akhirnya suatu hari ia m elihat Tonia lagi. Tonia waktu itu su- dah berum ur lim a belas tahun, dan lebih cantik daripada Gracie. Hampir separuh dari jumlah prajurit di Presidio selalu meng- ikutinya bagaikan anjing-anjing kecil.

174 John Steinbeck “Seperti juga dengan Petey, dem ikian juga terjadi pada si tua. Nafsu berahinya m em buat seluruh tubuhnya terasa sakit- sakitan. Ia tak bisa tidur ataupun m akan lagi. Pipinya jadi cekung, dan m atanya kosong bagaikan pengisap m ariyuana. Ia memberi Tonia gula-gula. Tetapi Tonia merebut gula-gula itu dan m entertawakannya. Si Tua berkata, ‘Datanglah padaku, si kecil sayang, sebab aku sahabatm u.’ Tonia tertawa lagi. Si kakek m engadu kepada Petey. Tetapi Petey juga tertawa, dan berkata, ‘Kau tua bangka tolol, bukankah kau telah kenyang dengan perem puan seum ur hidupm u. J angan lagi m engejar bayi- bayi.’ Tetapi tak ada hasilnya. Kakek Ravanno jadi sakit karena rindu. Mem ang keluarga Ravanno itu sem ua berdarah panas. Si kakek biasanya bersem bunyi di antara rerum putan, m engintai Tonia lewat, dengan hati tercengkam rindu. “Ia butuh uang untuk m em beli hadiah bagi Tonia. Ia bekerja di Standard Service Station, m eratakan kerikil dan m enyiram i bunga-bunga. Ia mengisi radiator mobil dan membersihkan kacanya. Dengan setiap sen penghasilannya ia m em beli hadiah- hadiah untuk Tonia, gula-gula, pita, pakaian. Ia juga m em bayar potret untuk Tonia, bahkan m em bayar untuk m em beri warna potret itu. Tonia terus saja m entertawakannya. Si kakek ham pir gila. Ia berpikir, ‘Dengan kawin di gereja, Gracie jadi wanita baik-baik. Kukira Tonia juga akan berubah bila telah kawin di gereja.’ Si kakek m elam ar Tonia. Tonia m akin hebat ketawanya. Ia m engi- baskan gaunnya pada si kakek dan lari. Oh, Tonia betul-betul set a n .” ‘Tapi si kakek m em ang tolol,” sela Pilon, “orang setua dia tak boleh m engejar bayi. Orang tua m estinya duduk-duduk saja berjemur diri di bawah matahari.” “Ravanno itu m em ang luar biasa,” kata J esus Maria agak gusar, “m ereka berdarah panas.”

Dataran Tortilla 175 “Tetapi perbuatannya tidak sopan,” kata Pilon, “m em buat malu Petey saja.” Pablo berpaling pada Pilon. “Biarkan J esus Maria m elanjutkan ceritanya. Ini ceritanya, Pilon, bukan ceritam u. Lain kali kam i akan mendengarkan ceritamu.” Dengan pandang terima kasih pada Pablo, J esus Maria m elanjutkan ceritanya, “Baiklah, kuteruskan. Si kakek sudah tak tahan lagi. Tetapi otaknya sudah terbatas, tak m am pu m em ikirkan sesuatu yang baru. Ia tak secerdik Pilon. Ia tak bisa m enem ukan suatu cara istim ewa. Si kakek berpikir begini, ‘Gracie m au kawin dengan Petey karena Petey m enggantung diri. Aku akan menggantung diri juga, dan dengan demikian Tonia mungkin m au kawin denganku.’ Kem udian ia berpikir, ‘Tetapi bila aku tak segera diketemukan orang, aku akan mati benar-benar. Harus kuatur agar aku diketemukan orang.’ “Harus kalian ketahui, di bengkel servis itu ada sebuah gudang. Setiap pagi, sebelum bengkel dibuka, si kakek membuka gudang, m eratakan kerikil dan m enyiram i bunga-bunga. Suatu pagi si kakek masuk ke gudang itu dengan membawa tali, mema- sangnya untuk m enggantung diri. Ia m enunggu sam pai jam delapan. Waktu orang-orang datang, ia memasang jerat pada lehernya dan m elom pat dari bangku tem patnya berdiri. Dan tepat pada saat itu pintu gudang ditiup angin hingga tertutup rapat.” Senyum lebar tam pak di wajah para pendengar J esus Maria. Kadang-kadang, pikir m ereka, alam sungguh-sungguh am at lucu. “Para pekerja bengkel tidak segera m engetahui ketidak- hadirannya,” J esus Maria m elanjutkan. “Mereka berkata, ‘Mung- kin si kakek tua itu m abuk.’ Baru kira-kira satu jam kem udian salah seorang di antara mereka masuk ke dalam gudang untuk mengambil suatu alat.” J esus Maria berhenti bercerita, melihat b er kelilin g.

176 John Steinbeck Senyum tadi m asih terlihat, tetapi bukannya senyum secerah sebelum nya. “Begitulah,” kata J esus Maria, “m em ang lucu. Tapi lucunya m em buat hati kita pedih.” “Apa kata Tonia?” desak Pilon. “Dia m engam bil pelajaran dari peristiwa itu dan m engubah cara hidupnya?” “Tidak, ia tidak peduli. Petey yang m enceritakan kejadian yang m enim pa ayahnya pada Tonia. Dan Tonia tertawa. Petey juga ikut tertawa. Tetapi Petey merasa malu. Tonia berkata, ‘Orang tua itu benar-benar tolol.’ Dan Tonia m em andang Petey dengan pandangan khasnya. “Dan Petey berkata, ‘Senang sekali punya adik seperti engkau, Tonia. Kapan-kapan ayo kita berjalan-jalan di m alam hari di hutan.’ Tonia tertawa dan lari m enjauh, dan bertanya, ‘Apakah aku lebih cantik daripada Gracie?’ Petey mengikuti Tonia masuk ke dalam rumah.” Pilon m enggerutu. “Ceritam u kurang baik. Terlalu banyak m engandung arti, terlalu banyak pelajaran di dalam nya. Dan pelajaran-pelajaran yang ada di dalam nya banyak yang saling bertentangan. Cerita sem acam itu tidak baik untuk diingat-ingat. Ceritanya tak m em beri bukti apa pun!” “Tapi aku senang pada cerita begitu,” kata Pablo. “Aku senang karena tidak jelas-jelas menampakkan sesuatu arti. Tetapi aku tahu cerita itu m em punyai arti. Hanya aku tak tahu apa artinya.” Matahari sedang melewati puncak langit. Udara terasa sangat panas. “Apa kira-kira yang dibawa oleh si Bajak Laut untuk m akan nanti, ya,” kata Danny. “Ada arm ada pen an gkap ikan m akerel di teluk,” Pablo memberi tahu. Mata Pilon bersinar-sinar. “Aku punya suatu rencana yang mungkin bisa kita lakukan. Waktu aku kecil, aku tinggal di dekat jalan kereta api. Setiap kali ada kereta lewat, aku dan saudara-

Dataran Tortilla 177 saudaraku m elem pari m asinisnya dengan batu. Dan karena ia tak punya batu untuk m em balas, ia m elem pari kam i dengan batu bara. Kadang-kadang kam i berhasil m engum pulkan satu kotak penuh batu bara dan kam i berikan pada ibu kam i. Kini, m ungkin kita bisa m em bawa sedikit batu ke derm aga. Bila perahu-perahu yang m em bawa ikan m akerel itu lewat, kita lem pari m ereka dengan batu. Bagaim ana para nelayan itu bisa m em balas kita? Tak m ungkin m ereka m elem par kita dengan dayung atau jala. Mereka terpaksa m em balas dengan m elem parkan ikan-ikan itu!” Danny bangkit dengan gem bira. “Bagus sekali!” teriaknya. “Pilon ini betul-betul sahabat kita yang sejati! Tanpa Pilon kita tak akan bisa berbuat apa-apa. Mari kita pergi. Aku tahu tem pat yang banyak terdapat batu untuk m elem par.” “Aku paling suka m akan ikan m akerel,” kata Pablo.

15 DANNY KEJANGKITAN PENYAKIT GILA SEGALANYA HAMPIR tak pernah berubah di Monterey. Ham pir tiap hari, di pagi hari, m atahari m enyinari jendela-jendela di pinggir barat jalan-jalan Monterey, dan sore harinya m enyinari yang di sebelah tim ur jalan. Tiap hari bis-bis m erah berdentang- dentang berjalan antara Monterey dan Paciic Grove. Tiap hari pabrik-pabrik pengalengan ikan m enyiarkan bau ikan-ikan busuk ke udara. Tiap sore angin bertiup dari teluk, m enggoyangkan batang-batang pinus di bukit. Tukang-tukang kail duduk di atas batu-batu karang dengan wajah yang m em bayangkan kesabaran dan ejekan. Di Dataran Tortilla, di atas Monterey, juga tak terjadi per- ubahan, sebab jum lah petualangan asm ara Cornelia Ruiz terbatas

Dataran Tortilla 179 sekali, ia bahkan terpaksa m engam bil kem bali pacar-pacar yang dahulu pernah dicam pakkannya. Di rum ah Danny, perubahannya lebih sedikit lagi. Para sahabat m em iliki jalur kehidupan yang begitu tak berubah hingga kalau bukan paisano sudah pasti mereka telah mati karena bosan. Bangun tiap pagi—duduk berjem ur diri di seram bi, sam bil m em ikirkan m akanan apa yang akan dibawa oleh si Bajak Laut. Si Bajak Laut m asih berjualan kayu api di sepanjang jalan Monterey. Tetapi kini ia m em beli m akanan dengan uang hasil penjualannya. Sekali-sekali salah seorang dari mereka berhasil mendapatkan anggur, dan di rum ah itu terdengar nyanyian dan perkelahian. Waktu m erupakan sesuatu yang lebih rum it di dekat laut. Sebab kecuali ditandai oleh lewatnya m atahari dan m usim , om bak laut juga m enandai berlalunya waktu dengan hem pasannya di atas batu-batu karang, dan air pasang naik turun dengan ketepatan pengukur waktu yang besar. Danny m ulai m erasakan rongrongan waktu pada hidupnya. Ia m em perhatikan kawan-kawannya, m em perhatikan tingkah laku m ereka setiap hari. Bila m alam -m alam ia bangun, dan m elangkahi paisano-paisano yang tidur bergelim pangan di lantai, hatinya m erasa m arah karena m ereka tinggal di rum ahnya. Saat-saat ia duduk di serambi, Danny mulai memimpikan masa- masa silam, saat ia memiliki kebebasan penuh. Oh, betapa senangnya waktu itu. Ia biasa tidur di hutan di m usim panas, dan di gudang-gudang jeram i yang hangat di m usim dingin. Ia bebas dari beban hak milik. Ia masih ingat bagaimana dulu nama Danny selalu disifatkan sebagai badai yang perkasa dan disegani. Oh, perkelahian-perkelahian yang dilakukannya saat-saat itu! Lari lintang pukang m enerobos hutan dengan m em bawa seekor ayam yang m engam uk dalam kepitannya! Bersem bunyi di lekuk-lekuk jurang bila ada suam i yang ingin m em balas dendam ! Badai dan kekejam an, kekejam an yang m anis! Bila m em ikirkan m asa silam ,

180 John Steinbeck Danny bisa m erasakan betapa lezatnya m akanan hasil curian. Oh, ingin sekali ia kembali ke masa itu. Sejak warisan mengangkat dirinya, ia ham pir tak pernah berkelahi lagi. Ia sering m abuk, tetapi tak begitu m enyeram kan. Selalu ia ditekan oleh rum ahnya, oleh tanggung jawab terhadap kawan-kawannya. Danny mulai duduk murung di serambi, sehingga kawan- kawannya m engira dia sakit. “Kau harus diobati dengan ram uan teh dari yerba buena,” kata Pilon, “tidurlah Danny, dan akan kam i letakkan batu panas pada kakimu.” Danny tak membutuhkan perawatan, ia membutuhkan kebe- basan. Sebulan lam anya ia selalu term enung lesu, m enunduk m em perhatikan tanah, m em andang kawan-kawannya yang selalu bertebaran di sekelilingnya dengan m ata m uram , m enendang anjing-anjing yang kebetulan m endekatinya. Akhirnya Danny tak sanggup lebih lam a lagi m enahan ke- rinduan. Suatu m alam ia kabur. Ia m asuk hutan dan lenyap. Pagi harinya sem ua bangun, dan m endapatkan Danny tidak ada. Pilon berkata, “Mungkin ia tergoda seorang wanita. Ia sedang jatuh cinta.” Mereka tak berpikir lebih jauh dari itu, dan tak bertindak apa-apa, sebab setiap orang punya hak untuk bercinta. Para sahabat meneruskan cara hidup seperti sediakala. Tapi seminggu telah lewat, dan tak ada tanda-tanda Danny akan muncul. Mereka m ulai khawatir. Bersam a-sam a m ereka pergi ke hutan untuk m encarinya. “Cinta m em ang nikm at,” kata Pilon. “Kita tak boleh m enya- lahkan seseorang m engejar gadisnya. Tetapi sem inggu adalah se- minggu. Pastilah gadis itu luar biasa karena bisa menahan Danny selama seminggu.” Pablo berkata, “Sedikit cinta seperti sedikit anggur. Kalau kebanyakan bisa m em buat orang sakit. Mungkin Danny sudah sakit. Mungkin gadis yang diikutinya terlalu luar biasa.”

Dataran Tortilla 181 J esus Maria juga m erasa khawatir. “Tak seperti biasanya Danny meninggalkan kita begitu lama. Mungkin suatu kemalangan m enim pa dirinya.” Si Bajak Laut m engajak sem ua anjingnya ke dalam hutan. Para sahabat berkata pada anjing-anjing itu, “Cari Danny. Mungkin ia sakit. Mungkin pula ia m ati entah di m ana, oh Danny yang begitu baik m em perbolehkan kalian tidur di rum ahnya.” Si Bajak Laut berbisik pada anjing-anjing itu, “Oh, anjing jahat yang tak tahu berterim a kasih! Carilah sahabat kita!” Tetapi anjing-anjing itu hanya m elam bai-lam baikan ekor dengan riang, m encari seekor kelinci dan beram ai-ram ai m engejarnya. Sepanjang hari paisano-paisano itu menjelajahi hutan, me- m anggil-m anggil nam a Danny. Mereka m encari tem pat-tem pat yang m ungkin akan m ereka pilih sendiri bila m ereka sedang bersem bunyi di dalam hutan, ruangan gelap di antara akar-akar pohon, tem pat terbuka berlapiskan daun pinus yang dikelilingi rapat oleh sem ak-sem ak. Mereka tahu tem pat-tem pat yang baik untuk tidur, tetapi m ereka tak m enem ukan jejak Danny. “Mungkin ia gila,” kata Pilon, “sesuatu persoalan telah m em - buat otaknya m iring.” Mereka pulang menjelang sore, membuka pintu rumah dan masuk. Seketika itu juga tahulah mereka bahwa sesuatu telah terjadi. Seorang pencuri merajalela waktu mereka pergi tadi! Selim ut-selim ut Danny hilang, sem ua m akanan lenyap, dua buah panci juga tiada. Pilon cepat berpaling pada Big J oe Portugis, tetapi ia m eng- gelengkan kepala, “Tidak, kau tadi bersam a kita terus. Pasti bu- kan kau yang m encuri.” “Danny yang m encuri,” kata Pablo, “ia benar-benar gila! Ia lari ke hutan bagai binatang buas!” Kekhawatiran m ulai m enyelim uti rum ah Danny. “Kita harus segera m enem ukannya,” usul salah seorang di antara para sahabat

182 John Steinbeck itu. “Dalam kegilaannya m ungkin ia m endapatkan celaka. Kita harus mencari ke seluruh dunia sampai ketemu.” Mereka melepaskan kemalasan. Setiap hari mereka mencari Danny, dan desas-desus aneh m ulai terdengar. “Ya, Danny ada di sini malam tadi. Oh, dia mabuk sekali! Oh, dia maling! Dengar, Danny memukul kakek dengan sebilah papan dan mencuri sebotol grappa. Kalian ini m acam apa, m em biarkan sahabatnya begitu gila?” “Ya, kam i m elihat Danny. Matanya tertutup rapat dan ia m enyanyi, ‘Mari ikut aku ke hutan, gadis-gadis m anis, m ari m enari bersam a.’ Tentu saja kam i tak m au m engikutinya. Kam i takut. Danny kelihatannya tidak bisa diam .” Di dermaga mereka memperoleh bukti-bukti lagi tentang kehadiran kawannya. “Ia di sini,” kata seorang nelayan, “m engajak berkelahi siapa saja. Benito m em ukulkan dayungnya ke kepala Danny sam pai dayung itu patah. Kem udian Danny m erusak beberapa jendela dan polisi m enangkapnya, m em bawanya ke p en ja r a .” Para sahabat itu bergegas ke penjara. “McNear m enangkapnya tadi m alam ,” kata sersan polisi penjara, “tetapi entah bagaim ana ia berhasil lolos sebelum pagi. Kalau ia tertangkap lagi, ia bisa dihukum enam bulan.” Para sahabat itu sudah lelah mencari-cari. Mereka pulang. Betapa terkejutnya m ereka waktu m elihat bahwa sekantong kentang yang baru diperoleh Pilon pagi tadi telah lenyap. “Ini sudah keterlaluan,” teriak Pilon. “Danny gila, ia dalam bahaya. Pasti ia akan celaka kalau kita tidak sem pat m enolongnya.” “Kita cari dia sam pai ketem u,” kata J esus Maria. “Kita cari di belakang setiap pohon, dalam setiap gubuk,” janji Pablo. “Di bawah perahu di pantai,” usul Big J oe. “Anjing-anjingku akan ikut m encari,” kata si Bajak Laut.

Dataran Tortilla 183 Pilon m enggelengkan kepala. “Bukan begitu caranya. Setiap kali kita pergi ke suatu tempat, Danny baru saja pergi dari tempat itu. Kita harus m enunggu di tem pat yang m ungkin akan dikun- jungi Danny. Kita harus cerdik, jangan berbuat tolol.” “Tetapi ke m ana dia akan pergi?” Sem ua m enduga tem pat yang sam a. “Tem pat Torrelli! Cepat atau lam bat Danny pasti pergi ke tem pat Torrelli. Kita harus m e- nangkapnya, m enahannya sebelum kegilaan itu m encelakakan d ir in ya .” “Ya,” m ereka setuju, “kita harus m enolong Danny.” Bersam a-sam a m ereka m engunjungi Torrelli. Tetapi Torrelli tak m em perbolehkan m ereka m asuk. “Apakah aku m elihat Danny?” Torrelli berteriak dari balik pintu. “Apakah aku m elihat Danny? Danny ke m ari dengan tiga lem bar selim ut dan dua panci. Aku tukar benda itu dengan satu galon anggur. Lalu apa yang dilakukan setan itu? Ia m enggoda istriku. Ia m em aki-m aki diriku. Ia memukuli anakku. Ia menendang anjingku! Ia mencuri tem pat tidur gantung di seram bi!” Torrelli sam pai terengah-engah kehabisan napas. “Aku kejar dia hendak m engam bil kem bali tempat tidur gantung itu. Waktu aku pulang, kudapati dia sedang bercum bu dengan istriku! Si perayu itu! Maling! Pem abuk! Itulah sahabat kalian, Danny! Mudah-m udahan ia segera dijebloskan ke dalam penjara!” Mata para sahabat m en yin arkan kem arahan . “Oh, babi Corsica!” geram Pilon, “Berani benar kau m engoceh tentang saha- bat kam i! Sahabat kam i sedang sakit!” Torrelli mengunci pintu. Mereka bisa mendengar suara kunci bergeser, tetapi Pilon terus saja ngom ong, “Oh, Yahudi! Kalau saja kau sedikit berm urah hati dengan anggurm u, kau tak akan m engalam i peristiwa ini. Lidahm u bagai kodok, jagalah jangan sampai lidah itu mengotori sahabat kami! J angan berani m engganggu sahabat kam i itu, bersikaplah lem but padanya, sebab

184 John Steinbeck ia m em punyai banyak sahabat. Kam i akan m erobek perutm u bila kau tak bersikap baik padanya!” Torreli tak bersuara sedikit pun dari balik pintu. Tetapi tubuhnya gem etar m enahan m arah dan juga m enggeletar keta- kutan m endengar seram nya nada suara Pilon. Ia baru bisa ber- napas lega waktu didengarnya langkah kaki m ereka m enjauh. Malam itu, saat semua sudah tidur, terdengar suara mencu- rigakan di dapur. Pilon dan yang lain tahu bahwa itu suara Danny. Tetapi Danny telah lenyap waktu m ereka m encoba m e- nangkapnya. Mereka m encari-cari dalam gelap, berseru-seru, “Danny, Sahabatku! Kawan tercinta, datanglah ke m ari. Kam i m em butuhkanm u!” Tak ada jawaban, hanya sebutir batu m enyam bar perut Big J oe, m em buatnya jatuh tersungkur. Oh, betapa kecewanya para sahabat itu, oh, betapa beratnya hati m ereka. “Danny tak m ungkin berhenti sebelum m ati,” dengan sedih m ereka berkata, “sahabat kita m em butuhkan pertolongan, tetapi kita tak bisa m enolong dia!” Sulit kini untuk merawat rumah. Hampir semua barang yang ada telah dicuri Danny. Sebuah kursi dijual pada seorang penyelundup m inum an keras. Sem ua bahan m akanan am blas. Dan sekali, waktu mereka mencari-cari Danny di hutan, Danny m encoba m encuri tungku yang kedap udara. Tetapi benda itu terlalu berat, hingga terpaksa ditinggalkan di tepi sungai. Mereka tak punya uang lagi, sebab Danny telah m encuri gerobak si Bajak Laut dan m enukarkannya dengan sebotol wiski di kedai J oe Ortiz. Kedam aian tiada lagi di rum ah Danny. Yang ada hanya kekhawatiran dan kesedihan. “Kebahagiaan kita telah hilang,” keluh Pablo, “apakah dosa kita? Ini hukum an Tuhan. Kita harus m engikuti upacara peng- akuan dosa!”

Dataran Tortilla 185 Mereka tak punya waktu lagi untuk m em perbincangkan pe- tualangan Cornelia Ruiz. Mereka tak bisa lagi m em perbincangkan tentang nilai-nilai m oral, perikem anusiaan telah tiada. Kehidup- an mereka hancur. Dan kabar angin makin mencengkamkan ke- kh a wa t ir a n . “Danny ham pir m elakukan perkosaan m alam tadi.” “Danny m encuri susu kam bing Nyonya Palochio.” “Kem arin dulu m alam Danny berkelahi dengan beberapa orang prajurit.” Para sahabat sangat sedih atas kem erosotan akhlak Danny. Tetapi m ereka juga m erasa iri akan segala petualangannya. “Bila ia tidak gila, pasti ia akan dihukum ,” kata Pilon. “Ya- kinlah tentang itu. Danny m em buat dosa yang m elebihi jum lah segala dosa yang pernah aku dengar. Oh, betapa m engerikan hu- kum an yang akan dijatuhkan Tuhan padanya bila otaknya telah waras lagi. Dalam beberapa minggu saja dosa Danny telah ber- tum puk m elebihi seluruh dosa yang pernah dibuat oleh Kakek Ruiz sem asa hidup!” Malam itu Danny, tanpa gangguan anjing-anjing si Bajak Laut yang telah kenal baik dengannya, m erayap ke dalam rum ah dan m encuri sepatu Pilon. Di pagi hari, tak m em erlukan banyak waktu lagi Pilon segera m engerti apa yang telah terjadi. Dengan geram ia pergi ke seram bi dan m erenungi kakinya. “Ia sudah keterlaluan,” kata Pilon, “berbagai godaan telah di- tim pakannya pada kita, dan kita m asih juga sabar. Tetapi kini ke- jahatannya m elebihi batas. Ini bukannya Danny yang kita kenal. Ini orang lain, orang yang jahat. Kita harus m enangkap orang jahat ini.” Pablo dengan tenang m em perhatikan kakinya sendiri yang m asih bersepatu. “Mungkin ia hanya bercanda,” katanya. “Tidak,” Pilon m enyahut sengit, “ini kejahatan. Sepatuku memang buruk, tetapi adalah suatu kejahatan terhadap persaha- batan bila ia sam pai m encuri sepatu itu. Kalau ia sudah tega

186 John Steinbeck m encuri sepatu sahabatnya, tak ada kejahatan lain yang tak akan d iker ja ka n n ya .” Sahabat-sahabatnya m engangguk setuju. “Ya, harus kita tangkap dia,” kata J esus Maria si jago perikem anusiaan. “Kita tahu ia sakit. Kita ikat dia pada tem pat tidur dan kita coba m enyem - buhkannya. Kita harus m encoba m enghapuskan kegelapan dari b en a kn ya .” “Tetapi m ulai saat ini,” usul Pablo, “sebelum kita berhasil m enangkap dia, kita harus m enyem bunyikan sepatu kita di bawah bantal setiap kali kita tidur,” Rumah itu porak poranda. Danny menghantui selalu. Dan Danny m enikm ati petualangannya sepuas hati. Wajah Torrelli biasanya selalu m enunjukkan perasaan curiga dan am arah saja, perasaan lain jarang tam pak. Dalam peranannya sebagai penyelundup m inum an keras, dan dalam pelayanannya pada penduduk Dataran Tortilla, kedua perasaan itu paling sering terpaksa m uncul di hatinya, dan m eninggalkan bekas yang dalam pada wajahnya. Di sam ping itu, Torrelli tak pernah berkunjung pada siapa pun juga. Mem ang tak ada gunanya berkunjung, sebab walaupun ia tinggal di rumah saja, hampir setiap orang datang berkunjung padanya. Karenanya orang jadi sangat heran waktu suatu pagi Torrelli tam pak berjalan m enuju rum ah Danny. Bukan itu saja, m ukanya juga tam pak cerah, dihiasi senyum padat yang m enunjukkan kegem biraan dan rasa senang. Anak-anak m engintainya lewat celah-celah pagar, anjing-anjing m engepit ekor dan lari menjauh, sambil sekali-sekali melihat ketakutan padanya. Orang-orang yang berpapasan dengannya m enepi jauh- jauh, mengepalkan tinju seolah bersiap-siap untuk menghadapi orang gila. Pagi itu kabut menutupi langit. Matahari, setelah berjuang keras m engalahkan kabut, akhirnya terpaksa m undur ke balik tirai kelabu. Pohon-pohon pinus menitikkan embun berdebu ke


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook