Selembar Kertas Tak Bermakna Penulis: Fabiyan Almahri Kelas: VII B Penyunting: Irgi Ilham Fahrezi Mentor pengarang naskah: Irgi Ilham Fahrezi Barang Siapa Yang Mencetak Hasil Karya Seseorang Hukumnya Haram Dan melanggar Undang-Undang Hak Cipta
Prolog Aku adalah seorang pelajar yang terlahir dari rahim seorang seniman dan Ayahku pekerja kemanusiaan. Kini aku menduduki bangku kelas 12 SMA, yang di mana sebentar lagi aku akan lulus dari tingkat pendidikan SMA. Di dalam dunia pendidikan, keluargaku, terutama adalah Ibuku selalu menerapkan kepada anak-anaknya, bahwa nilai-nilai yang kau peroleh di sekolah itu adalah hanyalah sebuah angka-angka saja, yang terpenting adalah bagaimana kamu bisa memberikan etika yang baik untuk guru-guru di sekolah. Buku ini kutulis karena kebingunganku dalam memandang dunia pendidikan yang terjadi terus menerus di negeri ini. Mungkin kalian yang sedang membaca buku ini, sedang merasakan hal yang sama denganku. Aku atau kalian mungkin sangat bingung bagaimana cara mengembangkan pengetahuan-pengetahuan yang diluar dari pembelajaran sekolah, untuk dibawa ke dalam sekolah, karena didalam sekolah terlalu fokus dengan kemampuan yang hanya dimiliki oleh guru-guru saja,
tanpa melihat suatu potensi muridnya yang diluar dari pelajaran yang ada didalam sekolah. Dan ditambah lagi dengan kurikulum yang hampir setiap pergantian para pemimpin atau menteri, kurikulum pun ikut berganti, sedangakan kurikulum yang sedang berjalan saja belum menemukan benang merah dalam Kegiatan Belajar dan Mengajar, pada akhirnya, gurunya kebingungan dan apalagi muridnya. Pendidikan itu sejatinya adalah mendidik manusia agar mempunyai karakter, sehingga ia menemukan pembelajaran dari karakter itu sendiri, bukan dididik oleh pembelajaran-pembelajaran yang ditentukan oleh kurikulum. Bukankah setiap orang yang terlahirkan mempunyai kemampuan atau potensi yang dimiliki? Tetapi mengapa di dalam pendidikan selalu memaksakan seekor ikan yang memainkan peran seekor kera? Bukankah itu suatu hal yang sangat mustahil? seperti halnya para pengajar kera yang hanya bisa mengajarkan
kera untuk memanjat, lalu disuruh mengajarkan ikan untuk berenang atau menyelami dalamnya lautan. Apakah bisa? Ya, tentu, itu suatu hal yang sangat mustahil dalam kenyataan hidup yang sedang terjadi. Karena lebih dari rata-rata, seorang pengajar hanya bisa mengajarkan ke muridnya dengan kemampuan yang hanya dia kuasai saja, dan ada berapa banyak pengajar di dalam pendidikanmu? Profesi Ibuku adalah seorang guru tingkat SMA, Ibuku salah satu guru yang sangat disenangi oleh murid- muridnya, kata teman mainku yang sekolah di tempat Ibuku mengajar, Ibu adalah guru yang adil, kalau ada murid-murid yang menjawab soal dengan benar, Ibu selalu memujinya, juga kalau ada murid-murid yang menjawab soal salah, Ibu selalu memperbaiki atau memberitahu jawaban yang benarnya, bukan di marahi, atau di permalukan loh. Tapi kalau ada yang nakal, barulah dia akan menjadi guru yang tegas. Dan juga Ibuku guru yang jarang sekali mengasih tugas Pekerjaan Rumah, entah mengapa seperti itu, awalnya aku juga bingung, dan sampai akhirnya aku menanyakan tentang cara Ibu mengajar di dalam kelasnya. Yang dikatakan oleh Ibu
adalah “memberi materi pelajaran kepada murid agar mereka berpikir, bukan memberi Pekerjaan Rumah agar orang lain yang berpikir” setelah aku mendengar perkataan Ibu seperitu itu, aku mulai berpikir, “siapakah sebaik-baiknya guru yang sebenar-benarnya guru dalam hidupku?” jika aku mengatakan “dia adalah guruku yang menjadi guru di dalam hidupku” tetapi itu bukan jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaanku. Pada akhirnya aku mendapatkan jawaban dari Ibu ketika dia memberi nasihat kepadaku “teruslah kau belajar dari pengalaman hidup kau sendiri” maka dari itu aku menyimpulkan bahwa “guru dalam hidupku adalah diriku sendiri” karena bagiku guru itu tidak hanya berada di sekolah. Aku melihat pendidikan yang sedang terjadi sampai saat ini, kok begitu mengejamkan ya. Murid- murid yang mempersiapkan diri untuk berangkat ke sekolah dari pagi buta, dan ketika sampai di kelas, diberikan berbagai macam mata pelajaran dengan waktu selama 8-9 jam belajar, dengan diberikan jeda 1-2 jam istirahat, dan itu hanyalah waktu normal dalam Kegiatan Belajar dan Mengajar, belum lagi jika ada pembelajaran
tambahan di sekolah. Dan ketika di rumah pun, masih dihantui oleh Pekerjaan Rumah yang diberikan oleh guru. Dan itu terus berulang selama 5 hari dalam seminggu. Entah mengapa yang aku rasakan dalam pendidikan di sekolah saat itu, guru mengajarkanku untuk mempelajari fakta-fakta. Bukan diajarkan bagaimana cara melatih otak untuk berpikir. Ya, pendidikan seperti kata Albert Einstein “pendidikan bukan untuk mempelajari fakta-fakta, tetapi untuk melatih otak agar berpikir” dan juga Ibuku pernah berkata “pendidikan itu bukan mengajarkan lima tambah lima sama dengan berapa, tetapi bagaimana caranya agar mendapatkan hasil sepuluh itu” aku menyimpulkan perkataan Ibu, bahwa di pendidikan sudah pasti ada hasilnya, tentang bagaimana para pengajar itu mengajarkan berbagai macam cara, agar bisa memperoleh hasil yang sudah diberikan di pendidikan itu. entah mau ditambah, dikurang, dibagi, atau dikali. Aku percaya dengan istilah “kebaikan menular dan keburukan menular” ketika sedang berada di rumah, siapa yang kita contoh kalau bukan Ibu dan Ayah. dan
ketika berada di sekolah atau di dalam kelas, siapa yang kita contoh kalau bukan guru-guru. Ya, tentu, sekolah adalah rumah ke-2 bagi para pelajar, dan kelas adalah kamar-kamar yang berada di dalam rumah tersebut. Apakah mungkin kamar anak usia 8 tahun akan disamakan dengan kamar usia 16 tahun? Apakah Ibu atau Ayahku menyuruh Adikku yang usianya 5 tahun sama seperti menyuruh aku yang berusia 15 tahun? Hei! Dimana akal sehatnya? Seorang murid yang baru lulus dari SD, di suruh membuat tulisan puisi atau novel sebanyak 50 halaman. Waktu yang dijalankan selama pendidikan tidak sedikit, 6 tahun menempuh pendidikan tingkat Sekolah Dasar, 3 tahun menempuh pendidikan tingkat Sekolah Menengah Pertama, dan 3 tahun menempuh pendidikan tingkat Sekolah Menengah Atas dan setaranya. Selama itu kita belajar, selama itu kita mengikuti kegiatan apapun yang ada di sekolah. Tapi standarisasi kelulusan di tentukan hanya dengan Ujian Nasional untuk apa? Lalu yang di dapatkan hanya selembar kertas yang tak bermakna itu untuk apa? Untuk bekerja? Tapi pada
faktanya, banyak para pekerja yang masuk bekerja yang tidak sesuai dengan kejuruan atau bidang yang telah dipelajari saat di sekolah dahulu. Dan juga banyak pekerja yang bekerja melalui orang dalam. Lalu untuk apa selembar kertas tak bermakna itu? untuk melanjutkan pendidikan tingkat tinggi? Pada nyatanya banyak juga mereka yang masuk Universitas favorit yang terbantu karena latar belakang keluarganya. Untuk apa selembar kertas tak bermakna itu? nilai-nilai yang tertulis di dalamnya, tapi tidak dengan moral yang tertanamkan di dalam dirinya.
Aku dan Keluargaku Namaku Jingga, jenis kelamin laki-laki. Kira-kira waktu masih usia 6 tahun aku ingin sekali menjadi ikan, tetapi itu tidak mungkin kata Ibukku, karena aku hidup di darat, dan aku berubah keinginan menjadi kera, lagi dan lagi itu tidak mungkin kata Ibukku, karena dengan usiaku yang masih 6 tahun aku belum bisa memanjat pohon. Aku hanya bisa cemberut kecewa mendengar Ibu berkata seperti itu. Dikeluargaku, aku anak ke 2 dari 3 bersaudara, kakak ku bernama Selly, jenis kelamin perempuan, ia sedang menjalani kuliah di Universitas Negeri Jakarta, semester 4 Fakultas Bahasa dan Seni, ia sangat
menyebalkan bagiku, tetapi kalau ia sedang pergi keluar kota, aku merasa kesepian. Dan adikku bernama Dylan, jenis kelamin laki-laki, adikku baru menduduki tingkat pendidikan SMP, tepatnya baru di tingkat kelas 8 SMP, dan adikku begitu pandai bermain alat musik piano. Nama adikku tercipta karena ibu terinspirasi dari penyanyi sekaligus penulis lagu ternama, yaitu Bob dylan. Aku lahir di Jakarta, dari seorang Ibu yang biasa dipanggil BU (Butuh Uang) oleh anaknya ketika mereka ingin meminta uang, ketika dipanggil seperti itu oleh anak-anaknya, tidak langsung dikasih uang, justru malah ditanya oleh Ibu dengan logat Medan “punya apa kau yang membuat Ibu bisa memberi kau uang?” dan ketika ditanya seperti itu bisanya hanya bisa menjawab “aku bisa membantu Ibu untuk membelikan kebutuhan Ibu ke warung atau membersihkan tempat tidurku sendiri” dan setelah selesai memberi sesuatu kepada Ibu, barulah dikasih uangnya oleh ibu. -----------------------------
Nama Ibuku, Alinda, dia perempuan kelahiran tanah Jawa, tepatnya di kota Yogyakarta. Dia menjadi alumnus ISI Yogyakarta, jurusan Seni Murni. Ayah dari Ibuku kelahiran daerah Sumatera, tepatnya di kota Medan, Ayahnya terkenal sebagi penulis buku di daerahnya. Meskipun Ibuku kelahiran tanah Jawa, tetapi gaya bicaranya tak lepas dari darah Ayahnya. Dahulu Ibu juga menjadi kembang desa pada masa mudanya. Ibuku adalah Ibu yang mempunyai banyak sekali anak selain dirumahnya, karena Ibuku seorang guru SMA. Setelah Ibu menikah dengan Ayah, dia dibawa merantau ke kota Jakarta, mereka berdua hidup di Jakarta hingga lahirlah kakakku, aku, dan adikku. Waktu aku duduk di kelas 5 SD, aku pernah bermasalah dipendidikanku, karena saat itu aku mendapatkan nilai rapot dibawah standar nilai rata-rata di sekolah. hingga Ibuku dipanggil kesekolah untuk menghadap wali kelasku. Tetapi ibuku tidak pernah memarahiku ketika aku mengalami hal yang serupa seperti itu, justru Ibuku berkata kepadaku “tak usah kau pikirkan, nilai rapot kau hanyalah angka-angka saja, yang terpenting jaga etika kau
kepada guru-guru di sekolah” perkataan itu selalu diterapkan oleh Ibuku kepada anak-anaknya. Tentang kemampuan kata Albert Einstein. Semua orang jenius, tapi jika anda menilai seekor ikan dari kemampuan memanjat pohon, ia akan menjalani hidupnya dengan percaya bahwa itu bodoh. ----------------------------- Waktu aku duduk di kelas 9 SMP, aku pernah diajak pergi sama Ibu ke acara pameran lukisan milik rekannya yang akan diadakan di Bandung, kami berdua berangkat menuju ke lokasi pameran menggunakan mobil Civic Estilo milik Ayah. Kami berdua berpakaian senada, menggunakan vest dan flat cap juga memakai sepatu kulit model loafers. Kami berangkat hari Sabtu jam 9 pagi dari Jakarta dan sampai tepat jam 12 siang di lokasi pamerannya, Kami pun turun dari mobil dan menuju ke bangunan yang bernuansa klasik itu, Ibu memimpin jalan
untuk masuk kedalam. Ketika sudah berada di dalam, kulihat sekeliling ruangan sudah dipenuhi oleh pengunjung yang hendak melihat-lihat, bahkan tak sedikit kolektor yang mengunjungi pameran tersebut, ada beberapa kolektor yang sudah membungkus sebuah karya lukisan yang cukup besar. Di saat kami sedang melihat- lihat lukisan, tiba-tiba ada yang menyapa Ibuku dari belakang. “hallo Alinda,” Ibu pun membalikan badan dan aku mengikutinya. “ya ampun Rini, akhirnya jumpa lagi kita,” kata Ibu penuh semangat dan sambil bersalaman dan cipika- cipiki. “ini anakmu jingga ya Lin?” tanya Tante Rini. “iya Rin, ini anakku Jingga,” jawab Ibu. “Sudah besar ya sekarang, dulu mah masih sering kugendong-gendong ya Lin,” kata Tante Rini sambil tersenyum.
“hallo tante,” kataku sambil cium tangan Tante Rini. “hallo jingga, kamu dulu sering tante ajak main pas masih kecil loh,” kata Tante Rini kepadaku sambil mengulurkan tangan. “he he he, iya tante,” kataku malu-malu. “sudah makan kalian? Ayo kita makan dulu.” kata Tante Rini kepada kami sambil memimpin jalan. Kami pun mengikuti tante Rini untuk pergi makan siang terlebih dahulu, sambil jalan menuju tempat makan, Ibuku sambil ngobrol dengan Tante Rini. “hebat sekali kamu Rin, ketika masih SMA, padahal kau sangat di remehkan sekali oleh guru-guru, sekarang kau sudah buka pameran sendiri” kata Ibu dengan rasa kagum. “ha ha ha, kita tidak pernah tau apa yang sedang menunggu di masa depan kita, kalau kita fokus dengan kemampuan yang kita punya, maka percayalah tuhan sendiri yang akan membuktikan semua omongan orang
lain itu” kata Tante Rini dengan bijak “dan ini juga pameran perdanaku Lin.” “aku bangga padamu Rin,” Kata Ibu dengan bangga. “terimakasih Alinda.” Akhirnya kami pun sampai di tempat makan yang semacam cafe atau cofee shop. Kami pun makan bersama, Ibu terlihat sangat menikmati pertemuan dengan teman lamanya, ngobrol ngebahas tentang masa lalu nya mereka, terkadang menanyakan tentang pendidikan aku. Dan tak terasa makanan sudah habis disantap. Kami pun kembali ke tempat pameran tadi. Tak terasa waktu sudah masuk malam hari, dan pengunjung acara pameran sudah mulai sepi. Setelah cukup puas melihat-lihat berbagai macam karya seni yang dipamerkan disini. Kami pun ingin kembali ke Jakarta, sebelum meninggalkan gedung ini, kami izin kepada Tante Rini untuk pulang ke Jakarta. “Rini, aku balik ya?” tanya Ibu.
“aku kira kamu mau nginep di tempatku Lin,” jawab Tante Rini. “lain waktu aku nginep di tempatmu Rin,” kata Ibu. “tante aku pamit balik ya.” kataku sambil cium tangan Tante Rini. “iya, Jingga. Jangan nakal-nakal ya sama Ibumu,” kata Tante Rini sambil memberi sebuah lukisan karyanya “ini bawa untuk dirumah ya Jingga.” “siap, Tante. Terimakasih Tante,” Kataku. “haduh repot-repot banget sih kamu Rini” kata Ibu Terimaksih banyak ya Rin, sukses selalu dalam berkaryanya,” “sama-sama Alinda,” kata Tante Rini.” “aku tinggal Rini,” kata Ibu “iya, hati-hati dijalannya ya kalian.” Kami pun pergi meninggalkan gedung pameran yang bernuansa klasik ini. Sesampainya di parkiran, Ibu
meletakan lukisan Itu di belakang. Kemudian kami masuk kedalam mobil dan bergegas pulang ke Jakarta. Kami berangkat dari Bandung jam 8 malam dan sampai di rumah tepat di jam 12 malam, dan setelah itu kami kembali beristirahat. Tak hanya sekali Ibu mengajak aku mengunjungi ke acara pameran kesenian, dan aku sangat senang sekali setiap Ibu mengajak aku untuk mengunjungi pameran seni, bagi Ibu kesenian itu sudah mendarah daging kedalam tubuhnya. Ibuku adalah sebaik-baiknya Ibu dari Ibu-ibu tetangga yang senang sekali ngerumpi. ----------------------------- Dan, nama Ayahku, Ridwan, laki-laki perkasa kelahiran tanah Sunda, tepatnya di kota Bandung. Ayahku bekerja di Lembaga Pemerintah Non Kementrian, tepatnya adalah BASARNAS. Dia selalu menanamkan jiwa sosial kepada anak-anaknya dari sejak dini. Aku ingat Ayah pernah berkata “jangan ragu untuk membantu
orang di sekitarmu, jika kamu sudah ragu, bagaimana kamu bisa membantu dirimu sendiri” pesan ini begitu membekas didalan diriku. Meskipun Ayahku terlihat begitu perkasa ketika sedang ada penyelamatan dalam bencana alam maupun pencarian orang hilang di gunung maupun di laut. Tetapi jika di rumah, Ayah akan menjadi sosok laki-laki yang humoris untuk anak-anaknya, dan juga selain humoris, Ayah juga bisa menjadi laki-laki yang romantis untuk istrinya. Dia begitu pandai dalam menghibur anak- anaknya, seperti halnya ketika aku masih berusia 7 tahun, Aku masih ngompol di saat tidur, aku pernah di sidang oleh Ayah. “mengapa kamu masih ngompol?” kata Ayah dengan serius. “aku kan masih kecil,” jawab aku dengan spontan. “Ayah seusia kamu sudah tidak pernah ngompol,” kata Ayah.
“terus sampe sekarang Ayah sudah tidak pernah ngompol?” tanyaku dengan polos. “masih sih kalau Ibumu sedang memarahi Ayah,” jawab Ayah dengan berbisik “ha ha ha.” Tawa kami berdua. ----------------------------- Ayah ketika sedang ada pekerjaan gawat darurat, dia bisa sampai berminggu-minggu bahkan hingga berbulan-bulan meninggalkan kami di rumah. Pernah, ketika aku usia 11 tahun, Ayah mendapatkan tugas menggerakan timnya untuk mengevakuasi korban bencana alam yang terjadi di penghujung tahun 2004, tepatnya adalah bencana tsunami di Aceh. Dia hingga berbulan-bulan berada di lokasi bencana tersebut. Hal yang selalu Ayah sering lakukan kepada kami ketika dapat tugas SAR-nya adalah dia selalu berpesan “doakan Ayah, supaya lancar tugas Ayah, dan kamu Jingga, jaga kekasih Ayahmu ini” dia Ayahku memang laki-laki yang
tegas dalam memimpin keluarga, namun sangat romantis kepada kekasihnya adalah Ibuku. Ayah berangkat ke bandara siang hari, untuk terbang menuju Aceh. Menjelang tahun baru, Ayah mengirimkan pesan melalui surat yang dititipkan kepada rekannya yang sedang kembali ke Jakarta, surat itu berisi: Untukmu Alinda dan Anakku Alinda istriku, bersyukurlah kamu yang tidak merasakan dampak bencana yang sangat dahsyat ini, ratusan jiwa yang gugur dalam bencana ini. Bangunan-bangunan hancur lebur tanpa sisah, jenazah yang terhampar disetiap sudut, entah aku pun tidak mengerti bagaimana semua ini bisa terjadi, doakan lah para korban jiwa supaya mendapatkan tempat yang terbaik di alam sana.
Anakku. Selly, Jingga, dan Dylan, maafkan Ayah yang tidak bisa menemani kalian pada saat menyambut tahun baru nanti, Ayah sedang membantu saudara-saudari kita di sinni, yang sedang tertimpa musibah bencana alam. Belum tahu sampai kapan Ayah di sini, doakan Ayah supaya dilancarkan tugas Ayahmu ini, dan doakan juga untuk korban jiwa yang tertimpa musibah bencana alam ini. Peluk hangat Ayah dari sini, Ridwan Aceh, 30 Januari 2004 Ayah memang selalu menyepatkan diri untuk memberi kabar kepada kami di saat sedang tugas, karena bagi Ayah, komunikasi hal yang sangat penting dalam kehidupan, besar atau kecilnya masalah, alangkah baiknya ada komunikasi di antara kedua belah pihak. Ketika ada anaknya yang sedang kesulitan dalam mengerjakan sesuatu, maupun tugas sekolah atau yang lainnya, dia selalu bisa membangkitkan semangat anaknya untuk bisa menyelesaikannya. Dan biasanya dia selalu menghampiri anaknya untuk berbicara, aku selalu
ingat dia berkata “setiap masalah, pasti memiliki jalan keluarnya, kalau cara yang kamu miliki tidak berhasil menyelesaikannya, carilah cara yang lain.” Perkataan Ayah ini selalu membekas sampai kapan pun. ----------------------------- Saat aku duduk di bangku kelas 7 SMP, Ibu dan Ayah pernah meninggalkan rumah untuk melaksanakan pekerjaannya. Dan, aku ditinggal di rumah bersama, Kak Selly, Adikku Dylan, dan Bi Sumi. Ayah pergi meninggalkan rumah terlebih dahulu, untuk melaksanakan tugas evakuasi korban bencana alam longsor di daerah Garut, Jawa Barat. Dan, 3 hari kemudian, disusul oleh keberangkatan Ibu untuk sebagai perwakilan dari sekolah tempat Ibu mengajar. Ibu pergi menghadiri sosialisasi tentang kesenian yang diselenggarakan di kota Bandung. Meskipun Ibu dan Ayah sedang tidak berada di rumah, namun aku, kakakku, dan adikku, tetap menjalankan aktivitas dengan seperti biasanya. Kami tetap berangkat ke sekolah dengan tepat waktu dan mengerjakan tugas pekerjaan rumah yang diberikan oleh guru di sekolah dengan sebaik mungkin. Karena Ibu dan Ayah sedang tidak berada di rumah, aku berangkat ke sekolah dengan diantarkan oleh teman baiknya Ayahku, dia bernama Komar, aku biasa Memanggilnya Mang Komar, dia bekerja sebagai tukang ojek. Namun, siapa sangka dia sebagai tukang ojek yang berpendidikan tinggi lulusan Universitas Negeri Jakarta,
fakultas Ekonomi Akuntansi. Tetapi, Mang Komar begitu menyesal karena telah salah untuk menentukan fakultas, akibatnya dia tidak bisa menjadi ahli atau menjiwai ilmu yang selama ini sudah dia geluti. Dan hal seperti ini bukan hanya terjadi kepada Mang Komar saja, banyak sekali pemuda-pemudi yang baru saja lulus dari tingkat SMA sederajat yang hendak melanjutkan ke perguruan tinggi, namun salah dalam menentukan fakultas apa yang dipilih, dan akhirnya menyebabkan hal yang sama terjadi terhadap Mang Komar, bahkan ada yang pendidikannya berhenti di tengah perjalanan. Jika seperti ini, siapa yang salah? System Error atau Human Error? Mang Komar selalu datang ke rumah sebelum aku siap untuk berangkat, dia menunggu di ruang tamu. Aku yang baru saja selesai mandi, bergegas untuk memakai seragam sekolah, dan Bi Sumi sedang sibuk mempersiapkan makanan untuk sarapan. Setelah aku sudah siap untuk berangkat, aku keluar kamar menuju ruang tamu, dan terdapat Mang Komar yang sedang ngobrol dengan Bi Sumi, pembicaraan mereka aku potong, untuk mengajaknya sarapan bersama-sama. “Mang Komar, sarapan dulu yuk,” ajak Jingga. “yah, baru aja saya sarapan,” jawab Mang Komar. “hsssttt, ronde ke-2 atuh mang, ini spesial dibuatin Bi Sumi untuk Mang Komar,” jawabku. “iya kan Bi?” “iya atuh buru sarapan, nanti Jingga telat ke sekolahnya,” jawab Bi Sumi sambil jalan menuju dapur. “yaudah, gaskeun ronde ke-2 sarapan,” jawab Mang Komar.
“nah begitu atuh mang, ayo nyendok mang.” Jawabku sambil ngambil piring. Akhirnya Mang Komar mau diajak sarapan. Dan setelah selesai sarapan, aku dan Mang Komar bergegas berangkat menuju ke sekolah. Tidak lupa berpamitan dengan Bi Sumi. “aku berangkat Bi,” pamitku. “iya, hati-hati di jalan,” kata Bi Sumi. “Mang Komar, jangan lupa ya, nanti antar Dylan ke sekolah,” Kata Bi Sumi. “siap laksanakan!” jawab Mang Komar sambil melajukan motornya. Seperti itu lah kalau sedang tidak ada Ibu dan Ayah di rumah. Mang Komar yang menjadi panitia sibuk antar jemput kami. Dia sangat baik, dengan penampilan yang lumayan menyeramkan untuk orang yang tidak mengenalnya. Berambut panjang dan berkumis tebal. Dan ternyata setelah ngobrol-ngobrol di motor, Mang Komar sudah tidak lagi menjadi ojek pangkalan, dia sedang merintis usaha konveksi sablon kaos. ----------------------------- Disaat aku baru menduduki pendidikan tingkat SMK, Ayah mengajak aku pergi kerumah temannya, jarak menuju rumah temannya yang berada di daerah Menteng,
Jakarta Pusat. Tidak begitu jauh dari rumahku yang berada di Pulo Mas, Jakarta Timur. Kami pergi menggunakan motor Ayah, yaitu Vespa Super tahun 1974. Kami berangkat dari jam 9 pagi, karena Ibu belum pulang dari pasar, kami hanya berpamitan dengan Kak Selly yang sedang menikmati hari minggu dengan main gitar. “Kak, kalau Ibu sudah pulang dari pasar, Ayah sama Jingga mau ke rumah teman dulu Si Danang gitu,” kata Ayah. “Ayah lama gak di sananya?” tanya Kak Selly. “lama ya Yah? 14 hari mungkin,” jawabku dengan muka sedikit meyakinkan ke Ayah. “Aku gak nanya kamu Jingga!” jawab Kak Selly dengan nada kesal. “sebentar doangan Kak, mau ngambil barang pesanan Ayah doang,” jawab Ayah. “yaudah, nanti aku sampaikan ke Ibu,” jawab Kak selly. “Ayah berangkat sekarang, biar gak kelamaan,” jawab Ayah. “iya, Ayah hati-hati bawa motornya.” Jawab Kak Selly sambil cium tangan Ayah. Setelah pamit dengan Kak Selly, Ayah pergi ke luar menuju motor yang sedari tadi sudah menyala. Aku menyusul Ayah pergi keluar sambil meledek Kak Selly.
“tolong ya, ketika kami sampai di rumah, makanan harus sudah siap,” katakku meledek. “BODO AMAT!” jawab Kak Selly dengan nada emosi. Ayah sudah menunggangi vespa dengan sangat keren, dan aku naik di belakang dengan jok yang terpisah dari jok yang diduduki oleh Ayah. Dan kami pergi menuju ke rumah teman Ayah yang bernama Danang. Karena hari minggu, sepanjang perjalanan kami sangat lancar tanpa terhambat oleh kemacetan. Setelah 20 menit perjalanan, kami pum tiba di rumah temannya Ayah, dengan di sambut oleh sejumlah motor vespa yang terparkir rapih di halaman rumahnya yang cukup luas dengan dikelilingi rerumputan. Aku sangat terpesona melihat sederet vespa yang sangat mulus dan rapih itu. Disaat Ayah sedang memarkirkan vespanya bersama vespa yang lainnya. Om Danang menghampiri kami, dan berkata; “awas lecet vespaku itu,” kata Om Danang. “aman Nang,” kata Ayah. Setelah vespa Ayah sudah rapih terparkir, Om Danang mengajak kami masuk ke dalam. “ke dalam saja yuk langsung Wan,” kata Om Danang. “biar enak ngobrolnya” “bebas aku mah,” kata Ayah.
Kami pun berjalan menuju ke dalam rumahnya Om Danang, disaat di teras rumahnya, Ayah ingin nyantai di teras saja. “di sini saja Nang, suntuk di dalam ruangan terus,” kata Ayah. “oh yaudah, aku kedalam dulu, buatin minuman. Mau kopi atau teh?” tanya Om Danang. “aku kopi hitam pahit ya, Nang,” jawab Ayah. “kamu Jingga, mau kopi atau teh,” tanya Om Danang. “aku es teh manis aja om,” jawabku. “oke, tunggu sebentar ya,” kata Om Danang. Om Danang masuk ke dalam untuk membuatkan minuman, sementara aku dan Ayah sedang melihat vespa milik Om Danang yang sedang terparkir di halaman rumahnya dan sambil ngobrol. “ini punya Om Danang semua Yah?” tanyaku “iya, punya Om Danang semua, kecuali yang itu,” jawab Ayah sambil menunjuk vespa punya Ayah. “yaa itu mah aku tau, itu punya Ayah,” jawabku. “kalau di suruh milih, mau yang mana kamu?” tanya Ayah. “ehm, aku naksir yang itu, yang warna biru sendirian,” jawabku sambil menunjuk vespa super warna biru.
“diminum dulu nih minumannya,” kata Om Danang yang sudah selesai membuat minuman. “terimakasih Nang,” kata Ayah. “iya, terimakasih Om,” kataku. Aku minum, minuman yang telah disajikan oleh Om Danang, sementara Ayah sedang asik berbincang dengan Om Danang, di sini aku hanya jadi pendengar yang baik saja. hanya beberapa kali Om Danang menanyakan tentang pendidikanku, tentang perempuan kepadaku. Entahlah, ketika menanyakan tentang perempuan, aku belum tertarik untuk mencari perempuan untuk dijadikan kekasih. Meskipun ada perempuan yang mendekatiku, aku hanya merespon biasa saja bagaikan teman, tidak lebih dari itu. Setelah panjang lebar Ayah ngobrol dengan Om danang, ternyata tak terasa sudah hampir 1 jam mereka ngobrol, karena Ayah juga sudah berjanji dengan Kak Selly di rumah Om Danang hanya sekitar 1 jam saja, maka kami pamit untuk kembali ke rumah, di saat pamit aku dibuat kaget, dengan perkataan Ayah. “Nang, sampai disini dulu pembicaaran kita ya,” kata Ayahku. “oke Wan, jangan segan-segan untuk main-main lagi ke sini,” kata Om Danang “siap, Nang. Yaudah, Nang, anakku suka nya sama vespa super kau yang biru tuh,” kata Ayah. “oke, siap, ini surat-suratnya, ini kuncinya, dan kalau ada kendala mesinnya langsung kabarin aku aja,”
kata Om Danang sambil memberikan surat-surat STNK dan BPKB beserta kuncinya. “Ayah beli vespanya Om Danang?” tanyaku. “iya, masa minta,” jawab Ayah sambil meledek. “un….” “untuk kamu sekolah,” “yaudah lah Yah langsung pulang” “ha ha ha, semangat kali kau” kata Ayah “Nang, aku pulang sekarang,” “iya hati-hati Wan,” kata Om Danang. “Om Danang, izin balik kanan, dan terimakasih vespanya,” kataku dengan bersemangat. “ha ha ha, iya hati-hati Jingga, sama-sama, jaga baik-baik itu vespa Om ya,” kata Om Danang. “siap grak!” kataku sambil sikap hormat. Dan, kami kembali ke rumah dengan menunggangi motor sendiri-sendiri, sungguh aku tidak menyangka, dengan Ayah yang mengajakku ke rumah Om Danang, ternyata membelikan motor vespa untukku. Dan aku sangat senang sekali menggunakan vespa ini, meskipun motor ini sudah tua, tapi motor ini sangat terawat sekali, aku sangat merasakan dari suara mesinnya. Dan, kami sampai rumah tepat waktu, juga Ibu sudah ada di rumah dan sudah selesai memasak.
Sebenarnya masih banyak hal yang ingin ku ceritakan tentang masa laluku bersama keluarga, tetapi aku sudahi sampai Ayah membelikan aku sebuah motor vespa untukku. Karena kalau masih aku lanjutkan bercerita, buku ini akan penuh diisi cerita-cerita tentang Ibu dan Ayah. Dan terutama Ibuku, dia yang akan memenuhi, lebih dari sebagian isi buku, jika aku bercerita tentang keluargaku. Ya, di sini aku ceritakan hanya sedikit tentang Ibuku, karena aku tidak rela membagi sebuah ke seruan aku bersama Ibu. Biarlah semua itu menjadi kenangan yang tersimpan sangat baik di dalam kepalaku.
Masa Pertumbuhanku Masa yang paling menyenangkan, memang disaat masih anak-anak. iya, tentu, aku bisa melakukan hal apa saja sesuka diriku. Aku bisa mencoret-coret canvas punya Ibu, bahkan aku bisa mencoret-coret kemeja Ibuku tanpa harus dimarahi oleh Ibu. Mungkin kalau sekarang, bisa- bisa aku namaku yang dicoret dari Kartu Keluarga oleh Ibuku. Aku bisa memainkan peran sebagai penunggang kuda bersama Ayahku yang pura-pura menjadi kudanya. Menaiki badan Ayah yang sedang memainkan perannya sebagai kuda. Tak hanya sekedar posisi kuda berdiri yang Ayah tampilkan di depanku, bahkan suaranya juga mirip seperti kuda yang sedang berpacu di arena balap.
Namun, usia terus bertambah, tubuh terus bertumbuh, dan akal terus meluas. Semua sudah tidak semenyenangkan main-main pada masa anak-anak. Kini yang dihadapi adalah masalah demi masalah, masalah di dalam pendidikanku, masalah kemampuan yang ada di dalam diriku, masalah yang ada setelah aku lulus dari pendidikanku nanti. Seperti pertanyaan-pertanyaan Ibu yang akan berbeda disaat aku pulang sekolah dari tingkatan SD, SMP, dan SMA. “kau sudah makan belum?” tanya Ibu. “belum,” jawabku sambil menggelengkan kepala. “yasudah kita makan dahulu,” kata Ibu. “kau mau makan apa?” “aku mau makan apa saja, asalkan masakan Ibu,” kataku. “baiklah, Ridwan Junior, kau memang seperti Ayahmu Nak,” kata Ibu. “kan aku anaknya,” kataku dengan polos. “bagaimana di sekolah tadi? Menyenangkan bukan? Ada PR tidak dari gurumu? Kalau ada kerjakan, nanti kalau ada kesulitan, tanyakan pada Ibu,” “siap Ibu negara.” Begitulah percakapan-percakapan dan pertanyaan disaat aku masih SD. Ketika SMP akan berbeda, bahkan disaat SMA akan lebih berasa berbeda. Yang
membedakan adalah sebuah pertanyaannya saja, tidak dengan karakter Ibu, yang selalu bisa membawa suasana percakapan terasa tidak kaku. Aku seringkali mendengar Ibu sedang berpuisi, dari sering mendengarkan Ibu membaca puisi, terkadang aku suka mencoba-coba berperan sebagi Ibu yang sedang membaca puisi di depan Ayah, dan Ayah berkata: “pandai sekali kamu membaca puisinya, seperti Ibumu saja, merayu Ayah dengan puisi-puisi indahnya itu,” kata Ayah “iya Ayah, seperti pepatah bilang, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya,” kataku. “jalankan saja apa yang menurut kamu menyenangkan dan baik untuk dirimu sendiri.” kata Ayah. Juga, melihat Ibu sedang melukis, bahkan melihat Ibu dan Ayah sedang bermain musik dan bernyanyi, Ibu dan Ayah pandai dalam bermain musik, Ibu memainkan gitar dan Ayah memainkan Piano. Mereka berdua sering kali memainkan lagunya Rolling Stones, bahkan tak hanya karya-karya orang saja yang mereka mainkan. Mereka juga sering kali membawakan karya puisi Ibu dijadikan Musikalisasi Puisi.
Bisakah Kau Berhenti Sejenak? Kepadamu aku memohon, Bisakah kau berhenti sejenak? Menikmati masa yang sangat sulit untuk bisa kembali kurasakan, Menyimpul tali-tali kenangan agar tidak bisa dirusak. -Jingga-
Masa Remaja Waktu aku kelas 3 SD, aku selalu berangkat sekolah menggunakan sepeda, aku membiasakan berangkat sekolah sendiri, karena sekolahanku masih berada dekat dengan rumahku, kurang-lebih hanya berjarak 500 meter saja dari rumah. Waktu kelas 5 SD, aku pernah dihukum oleh guruku, karena aku telat sampai sekolah. Padahal aku telat bukan karena aku kesiangan bangun tidur, karena ketika aku sedang berangkat sekolah menggunakan sepeda, di jalan aku melihat bapak-bapak tua yang sedang mendorong motornya, lalu aku mendekatinnya, dan bertanya kepadanya.
“permisi Pak,” kataku. “iya dek, kenapa ya?” tanya Bapak tua itu. “motornya kenapa Pak?” tanyaku. “mati dek, kehabisan bensin,” jawab Bapak tua. “di sana ada tukang bensin Pak (sambil menunjuk) tapi lumayan jauh, boleh aku bantu untuk belikan bensin Pak?” kataku. “jadi bapak tunggu sini aja, gausah lanjut dorong motor. “boleh dek, Bapak terimakasih banyak dek, sudah mau membantu, bapak dorong motor sudah hampir 15 menit,” kata Bapak tua. “ini uangnya dek, untuk beli bensinnya” “iya Pak sama-sama,” kataku. “aku tinggal belikan bensinnya dulu ya pak.” Lalu, aku pergi meninggalkan Bapak tua itu sebentar, untuk membelikan bensin, agar motor tersebut bisa dinyalakan kembali. Sekitar 10 menitan aku sudah kembali dengan membawakan 1 plastik berisikan bensin, dan aku berikan kepada Bapak tua tersebut. “ini Pak bensinnya,” kataku. “oh, iya. Terimakasih banyak dek, ini untuk kamu jajan, peganglah,” kata Bapak tua itu sambil memberikan uang untukku. “baik Pak, aku terima nih pak uangnya,” kataku. “terimakasih ya pak,”
“sama-sama dek.” Setelah aku membantu untuk membelikan bensin, dan motor Bapak tua itu sudah menyala kembali, lalu aku melanjutkan perjalanan menuju sekolah, karena aku tidak memakai jam tangan, aku tidak tahu kalau sekarang sudah jam berapa, aku terus melajukan sepedaku sampai akhirnya tiba di sekolah. Ternyata, ketika sampai di sekolah. Jam pelajaran sudah dimulai, tandanya aku telat ke sekolah. Dengan cuek aku masuk kedalam gebang, dan meletetakan sepedaku pada parkiran sepeda. Aku berjalan dari parkiran sepeda menuju ke dalam kelas, sesampainya di depan kelasku, ternyata pintu kelasku sudah di tutup rapat. Dan aku mengetuknya dan mengucapkan salam. Lalu membuka pintunya dan melangkah masuk menuju ke guruku yang bernama Pak Yadi, lalu beliau bertanya kepadaku. “sudah jam berapa ini Jingga?” tanya Pak Yadi. “gak tau pak, karena ga bawa jam,” kataku. “kamu telat 20 menit Jingga,” kata Pak Yadi. “kenapa kamu telat sampai 20 menit gini?” “aku tadi dijalan menuju sekolah, bertemu orang yang sedang dorong motor Pak, dan orang tersebut sudah tua. Lalu aku berhenti dan menanyakan, kenapa motornya, ternyata kehabisan bensin, lalu aku coba menawarkan diri untuk membantu membelikan bensin eceran supaya bisa nyala lagi motornya,” kataku dengan jujur menjelaskan alasan telat ke sekolah.
“tidak ada alasan, kamu tau kan? Kalau telat hukumannya apa?” kata Pak Yadi. “Bapak bertanya kenapa aku bisa telat, sudah aku jawab dengan jujur! Aku diajarkan oleh orang tuaku untuk bisa membantu orang yang sedang kesulitan!” kataku dengan keras. “tidak sopan ya kamu, bicara seperti itu,” kata Pak Yadi. “tidak sopan mana orang yang tidak bisa menghargai penjelasan orang lain!” kataku. “dan kata Ibuku, tidak ada kata telat dalam menimba ilmu,” “sudah-sudah kamu hari ini, tidak usah masuk, balik saja kamu, kalau tidak bisa ngikutin peraturan saya.” Tanpa berkata apa-apa lagi, aku pergi meninggalkan kelasku dan pulang menuju rumah. Sesampainya di rumah, aku langsung di interogasi oleh Ibuku, yang kebetulan hari itu Ibuku sedang berada di rumah, karena nanti siang akan melakukan pembawa materi sebagai perwakilan dari sekolahannya, untuk di acara seminar dari sekolahan lain. “kau kenapa pulang?” tanya Ibu. “aku telat sampai di sekolah,” jawabku. “lalu kenapa kau bisa telat?” tanya Ibu. “aku telat, karena habis membantu orang yang sedang dorong motor karena kehabisan bensin, aku menawarkan diri untuk belikan bensin eceran, karena
orang itu sudah tua, kasihan Bu, kalau dorong motor sampai ke tukang bensin lumayan masih jauh, apalagi Bapak tua itu sudah dorong motor selama 15 menit sampai akhirnya ketemu aku,” kataku. “terus guruku nanya kenapa aku telat, ketika aku jelaskan, malahan dijawab tidak ada alasan, aku jawab dengan kesal kepada dia apa yang Ibu ajarkan untuk membantu orang yang sedang kesulitan, lalu aku disuruh pulang olehnya,” “sudah, gausah khawatir dengan pendidikanmu. dengan cara kamu seperti itu, kamu sudah dapat pembelajaran yang lebih berharga dari pada di kelasmu. Nanti Ibu ke sekolahanmu, biar Ibu yang jelaskan kepada gurumu itu.” Sajak Kemanusiaan Hei! Bung! Jangan Kau berharap bisa dimanusiakan oleh manusia, jikalau kau tidak bisa memanusiakan manusia, Usia bagi saya hanya angka, Gelar pada namamu, hanya huruf-huruf biasa. Ketika kau duduk bersamaku, tidak ada sedikit yang kupandang tentang semua itu, yang kulihat hanyalah; adabmu, bagaimana caranya menghargai orang yang sedang berbicara di depanmu. -Jingga-
----------------------------- Waktu terus berjalan dengan cepat, dan akhirnya aku duduk di bangku SMA, aku sudah tidak lagi bawa sepeda ke sekolahan, karena sekolahku lumayan jauh, bisa-bisa kalau bawa sepeda aku akan telat setiap hari untuk kesekolah. apalagi kalau ketemu gurunya yang seperti Pak Yadi, beuh bisa di suruh pulang terus aku. Aku berangkat sekolah menggunakan motor vespa yang telah di belikan oleh Ayah dari Om Danang untukku, motor tersebut hadiah Ayah untuk aku berangkat sekolah di tingkat SMA. Aku lebih sering nongkrong bersama teman- temanku setelah pulang sekolah, biasanya kami kumpul di warung yang tidak jauh dari sekolahan, warung Mang Aji tempat basecamp kami, di sana tempat paling nyaman untuk bersenda gurau bersama teman-teman, apalagi pemilik warung tersebut Mang Aji orangnya sangat humoris. Hari ini, guru-guru sekolahanku sedang ada rapat, maka kami semua murid, dipulangkan cepat. Ya, itu adalah yang sangat di tunggu-tunggu oleh hampir semua murid. Aku bersama temanku Bagas, sedang merapihkan buku kedalam kelas. Dan ingin menuju ke warung Mang Aji. “Ngga mau kemana kita ini?” tanya Bagas. “kemana lagi atuh, ya ke Mang Aji lah,” kataku
“oke siap bos,” kata Bagas “eh, tapi uangku habis euy” kata Bagas. “masih mikirin uang? Tenang sih,” kataku. “bayarin jajananku nih ya Ngga?” tanya Bagas. “yehh, enak aja, kan Mang Aji mah punya buka dosa anak-anak yang jajan ga punya uang,” kataku. “kalau itu mah namanya ngutang,” kata Bagas. “yaudah buruan, kita ke Mang Aji.” Aku dan Bagas bergegas menuju ke warung Mang Aji, tempat teman-temanku pada kumpul. Sesampainya di warung Mang Aji, ternyata sudah ramai saja dengan teman-temanku. “udah pada duluan aja ya kalian,” kataku sambil nepuk pundaknya Asep. “iya Ngga, kami sudah mendengar bocoran kalau guru-guru pada mau rapat dan akan pulang cepat, yaudah kami duluan ke sini,” kata Asep. “ga bilang-bilang kamu mah Sep,” kata Bagas. “ya, kan kita beda kelas Gas,” kata Asep. “kirim WA atuh kabarin,” kataku. “nah itu,” kata Bagas. “hp aku kan lagi di sita Ngga, sama Bu Rani,” kata Asep.
“jajan dulu jajan dulu, ngobrol aja ga haus apa?” kata Mang Aji. “hooh, haus nih Mang, habis dari gurun pasir tadi,” Kataku. “bener-bener disana jadi bos pasir, kenapa make ke warung, nanti pada nambahin catatan dosa doang,” kata Mang Aji sambil nyengir. “udah bikinin aku es teh manis Mang, Haus nih,” kata Bagas. “SIAP GRAK!” kata Mang Aji. Semua yang ada di warung Mang Aji adalah teman-teman komunitas motor klasik di sekolahku, dan aku menjadi ketua umum di dalam komunitas ini. “Ngga pusing aku mah, sama Bu Rani, aku kan ga ahli Matematika, tetap aja di banding-bandingin sama si Dian yang memang keahliannya di Matematika,” kata Tono. “yaudah ngapain dipikirin omongannya Bu Rani mah, dia aja bisannya ngajar 1 mata pelajaran doang Matematika,” kataku. “justru hebatan kita dibandingkan Bu Rani, kita mah pelajari semua mata pelajaran, bahkan mesin motor kita pelajarin meskipun gaada pelajarannya di sekolah,” kataku. Bu Rani adalah guru yang mengajar Matematika di sekolahanku, ia memang selalu memaksakan semua murid harus dapat nilai bagus untuk di mata pelajarannya, dan rata-rata temanku mengeluhkan hal itu.
“es teh manis nya,” kata Mang Aji. “makasih mang,” kata Bagas. “uangnya mana?” kata Mang Aji. “biasanya juga belakangan,” kata Bagas. “kalau belakangan pasti catat buku dosa kamu mah Gas,” kata Mang Aji. “He He He, iya Mang, paham betul Mang, tanggal tua ini kita,” Kata Bagas. “tua terus tanggalnya, kaya muka,” kata Mang Aji. “Ha Ha Ha,” tawa semua teman-teman. “koplok sia Mang.” Hari sudah mulai sore, kami semua bergegas pulang menuju rumah masing-masing. Kami konvoi bersama teman-temanku, karena arah kami terpecah di simpang Jalan Raya Rawamangun.
Aku Aku adalah Aku Aku akan tetap menjadi Aku Meski kau tak bisa mengakui Aku Aku tetaplah Aku. -Jingga-
Menyelesaikan Masalah Dengan Masalah Baru Seperti biasa, dari hari Senin sampai hari Jum’at adalah hari aktivitas wajib untuk ke sekolah, dan hari ini adalah hari Jum’at, hari yang sangat di nantikan oleh murid-murid, kenapa? Karena setelah hari jum’at yaitu hari Ibu, bukan-bukan, melainkan hari Sabtu. Yang di mana hari Sabtu itu, hari libur anak sekolah. Hari Jum’at di dalam kelas dan di jam akhir, sedang menghadapi mata pelajaran Bahasa Indonesia, yang di mana mata pelajaran tersebut di ajarkan oleh guru
bernama Pak Yapto, guru yang berkumis tebal dan melengkung. “di jam terakhir ini, sebelum pulang, saya minta buatkan Karya Tulis kalian dalam bentuk Puisi, dengan tema bebas dan minimal 2 bait,” ujar Pak Yapto di depan papan tulis Pak Yapto memberi tugas Karya Tulis dalam bentuk puisi, bagiku itu adalah hal yang sangat mudah, karena di rumah sudah banyak sekali terlahir puisi- puisiku. Dan bagiku ini momen juga untuk menyinggung Pak Yapto melalui karyaku. Namun tugas Karya Tulis itu menyeramkan bagi Bagas yang pandai menghadapi soal-soal fisika maupun biologi. “duh ilah, pusing aku mah Ngga bikin-bikin puisi gini” kata Bagas. “kerjain sebisa kamu aja Gas,” kataku. “gausah dipaksakan,” “iya deh Ngga aku kerjain aja sebisa aku.” Aku dengan tenang mulai menari-narikan pulpenku diatas tubuh kertas yang bersih itu, perlahan pulpen itu mulai melucuti disetiap tubuh kertas, dan kertas ternodai oleh pulpen dengan hasil karya puisi karya tanganku. Ku beri judul puisi itu “Untuk Kau Yang Sedang Membacanya”
Untuk Kau Yang Sedang Membacanya Hei! Kau! Iya kau yang sedang membaca ayat-ayatku, Sudah lama sekali aku ingin menyampaikan ini, Mengapa kau terpatung sambil memegang kertas itu, Rupanya kau menanti makian ini. Hei! Kau! Iya kau yang sedang membaca ayat-ayatku, Baiklah, kau pahami ayat-ayat ini, Untuk apa suara diciptakan, jikalau selalu dibungkam oleh dirimu, Jika suara di bungkam, maka biarkan puisi terus berbunyi -Jingga-
Aku sindir melalui puisi, mengapa kubuatkan puisi seperti itu, karena ia adalah guru yang tidak mau di kritik oleh muridnya, ia sangat feodal sekali, bahwasanya kedudukan ia lebih tinggi dibandingkan murid yang sedang ia ajarkan. Aku melihat dari gestur tubuhnya sepertinya ia merasa tesindir dengan puisiku itu, karena ia meletakan dengan keras puisiku yang kutuliskan di selembar kertas itu ke atas mejanya. Bagas pun telah berhasil menyelesaikan puisi 2 bait itu, meskipun 2 bait terlihat sedikit, bagi Bagas itu begitu banyak. “akhirnya selesai juga,” kata Bagas. “bagus lah Gas, mudah bukan?” tanyaku. “lumayan menguras otak, aku lebih baik mengerjakan 10 soal fisika deh Ngga,” kata Bagas. “Ha Ha Ha,” tawaku. “tapi kamu bikin puisi kaya gimana tadi?” tanya Bagas penasaran. “aku bikin puisi sindiran untuk Pak Yapto,” jawabku. “sindiran seperti apa tuh?” tanya Bagas. “ku sindir, untuk dia yang selalu menolak kritik murid-muridnya,” Jawabku.
“Ha Ha Ha, gila kamu mah Ngga,” kata Bagas. “Pak Kumis (Yapto) tuh yang gila.” Akhirnya suara lonceng pulang berbunyi, aku pun mulai merapihkan semua buku-buku diatas meja untuk kumasukan kedalam tas. “kamu ke warung Mang Aji dulu ga Ngga?” tanya Bagas. “belum tau nih, nanti aku tentukan sepanjang perjalanan menuju parkiran sekolah,” jawabku. “oke dah, aku ikutin kamu aja lah Ngga,” kata Bagas. “aku mau ke WC ayo,” kataku. “kamu aja, ngapain ajak aku,” kata Bagas. “labil kamu mah Gas, katanya mau ikutin aku aja, aku ajak ke WC nolak.” ----------------------------- Begitulah kehidupan di sekolahku, aku yang bertemu dengan berbagai permasalahan yang berbeda, dari mulai mata pelajaran yang kuhadapi, hingga guru- guru yang mengajari murid tetapi belum bisa mengajari umtuk dirinya dia sendiri.
Search