Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore BONEKA_ISTIMEWA_Antologi_Dongeng_Cerita

BONEKA_ISTIMEWA_Antologi_Dongeng_Cerita

Published by e-Library SMPN 8 Talang Ubi, 2020-01-07 16:13:12

Description: BONEKA_ISTIMEWA_Antologi_Dongeng_Cerita

Keywords: antologi,dongeng,cerita

Search

Read the Text Version

IBstoimneekwaa Nomine Hasil Lomba Penulisan Dongeng/Cerita Anak bagi Guru TK/PAUD Daerah Istimewa Yogyakarta 2016 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN BALAI BAHASA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 2016

Boneka Istimewa Nomine Hasil Lomba Penulisan Dongeng/Cerita Anak bagi Guru TK/PAUD Daerah Istimewa Yogyakarta 2016 Penyunting : Umar Sidik Penerbit KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN BALAI BAHASA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Jalan I Dewa Nyoman Oka 34, Yogyakarta 55224 Telepon: (0274) 562070; Faksimile: (0274) 580667 Cetakan pertama November 2016 viii + 40 hlm., 16 x 23,5 cm. ISBN : 978-602-6284-63-1 Hak Cipta ada pada Penulis Dilindungi Undang-Undang Sanksi Pelanggaran Pasal 72, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit RP. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)

KATA PENGANTAR Kami panjatkan puji syukur ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang selalu melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga buku antologi dongeng/cerita anak ini dapat terwujud dengan baik. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada Kepala Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta yang telah memberikan kepercayaan kepada kami untuk mengelola penerbitan buku antologi ini. Buku antologi ini berisi dongeng/cerita anak yang semula merupakan hasil lomba penulisan dongeng/cerita anak bagi guru TK/PAUD Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada tahun ini karya peserta yang masuk sejumlah 37 judul. Selanjutnya, semua karya yang masuk dilakukan penilaian oleh dewan juri yang terdiri atas orang-orang yang berpengalaman di bidang penulisan dongeng/cerita anak, yaitu Dr. Rina Ratih Sri Sudaryani, M.Hum., RUA Zainan Fanani, M.M., N.L.P., dan Drs. Umar Sidik, S.I.P., M.Pd. Sesudah melalui proses penyeleksian oleh dewan juri, ter­ pilihlah sepuluh karya dongeng/cerita anak terbaik. Kesepuluh karya tersebut diterbitkan dalam bentuk buku antologi ini. Semoga buku antologi ini bermanfaat bagi pembaca, terutama bagi guru-guru TK dan PAUD. Yogyakarta, November 2016 Ketua Panitia Lomba, Rijanto iii

KATA PENGANTAR KEPALA BALAI BAHASA PROVINSI DIY Satu hal mendasar yang sangat penting dalam bidang ke­ budayaan adalah budaya literasi (keberaksaraan). Tanpa tradisi literasi dapat dibayangkan betapa dunia dan kehidupan ini kosong tanpa arti (makna). Tanpa tradisi literasi pula dapat dipastikan kita kehilangan sejarah kemanusiaan; dan kehilangan sejarah kemanusiaan berarti kita tidak mungkin dapat merancang sinar terang di masa depan. Karenanya, tradisi literasi perlu terus dipupuk dan dikembangkan melalui riset- riset sosial, budaya, pendidikan, agama, teknologi, seni, dan lain-lainnya. Hanya melalui riset-riset semacam itu kita akan menemukan pola, struktur, dan konsep literasi yang baru dan terbarukan. Hanya dengan konsep yang baru dan terbarukan kita dapat menemukan “sesuatu” yang semakin mempertinggi derajat dan eksistensi kemanusiaan kita. Dalam upaya mendukung kian kuatnya tradisi literasi itulah pada tahun 2016 Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta kembali menyediakan bahan-bahan bacaan melalui penyusunan dan penerbitan sejumlah buku kebahasaan dan kesastraan (hasil penelitian, pengembangan, puisi, cerpen, esai, dongeng/ cerita anak, dan lain-lain). Penyediaan bahan bacaan ini tidak sekadar untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, Permendikbud Nomor 21 Tahun 2012, dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2014 yaang semua itu mengatur tugas dan fungsi lembaga kebahasaaan dan kesastraan, salah satunya adalah Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta, tetapi yang lebih penting adalah iv

bahwa berbagai terbitan ini diharapkan menjadi saksi sejarah yang ikut mewarnai perjalanan sejarah kemanusiaan kita. Buku berjudu Boneka Istimewa hasil karya Lomba Penulisan Dongeng/Cerita Anak bagi Guru TK/PAUD DIY 2016 ini diharapkan bermanfaat sebagai media pendidikan. Akhir kata, Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada seluruh tim kerja, penulis, penilai, penyunting, maupun panitia penerbitan sehingga buku ini layak dibaca oleh masyarakat. Kami yakin bahwa tak ada gading yang tak retak, dan karenanya, kehadiran ini terbuka bagi kritik dan saran. Kami ingin buku ini memperkukuh tradisi literasi dan meninggikan eksistensi kemanusiaan kita. Yogyakarta, November 2016 Dr. Tirto Suwondo, M.Hum. v

f DAFTAR ISI f AKU TAK SENDIRI ............................................................... 1 Putri Novita Sari, PAUD SPS Permata Hati, Karangduwet, Paliyan, Gunungkidul SEKOTAK SENYUM UNTUK ICA .......................................... 5 Margareth Widhy Pratiwi, Sanggar Anak Alam Ngestiharjo, Kasihan, Bantul KISAH UNTUK NUEL ........................................................... 9 Fitriana, TK ABA Wonosobo, Banjarejo, Tanjungsari, Gunungkidul BONEKA ISTIMEWA ............................................................. 13 Dyah Kusumaning Harini, Taman Balita dan TK Ceria Yogyakarta, DemanganBaru,Gondokusuman,Yogyakarta TAS GAMBAR BURUNG MERAK BUATAN EMAK ............. 20 Maulani, TPA Praba Dharma Yogyakarta, Timoho, Umbulharjo, Yogyakarta AZZAM DAN SEPATU BOLANYA ....................................... 21 Rina Afriani, Kelompok Bermain Mawar, Kaligayam, Kulur, Temon, Kulon Progo vi

SAUDARA-SAUDARA SENA ................................................ 25 Mugi Artiningsih, TK Pelangi Indonesia, Depok, Sleman, DIY AYO SEKOLAH! .................................................................... 29 Bernadus Sutan Hartanto, TK Pelangi Indonesi, Depok, Sleman, DIY POHON KELAPA YANG SOMBONG .................................... 33 Yatirah, TK Negeri Semin, Pundungsari, Semin, Gunungkidul HORE... VALENT MENANG, BUNDA! ................................. 37 Dewinta Elfandani, A.Md., TPA Praba Dharma Yogyakarta, Timoho, Umbulharjo, Yogyakarta vii

f ff ff f f f f f f viii

ff ff f Akuf f ff TAK SENDIRI f Sekar terbangun saat sinar mentari pagi menerobos masuk ke kamarnya. Ia bergegas mandi, lalu sarapan bersama ibunya. “Sekar, pulang sekolah nanti, Bulik Sari yang akan menjemput dan menemanimu di rumah. Ibu pulang agak malam hari ini,” kata ibunya sambil membantu Sekar memakai sepatu. 1

Sekar lama terdiam. Kemudian, ia berkata, “Tapi, Sekar kesepian Bu…! Ibu kerja terus dan jarang mene­ mani Sekar bermain …!” Sejak ayahnya meninggal tiga bulan lalu karena kecelakaan, hati Sekar sangat terluka. Ia terlihat sering menangis dan melamun. Sekar merasa ibunya sudah tak sayang lagi kepadanya. Ibunya sering meninggalkan Sekar di rumah bersama Bulik Sari, adik ibu, yang rumah­nya tidak jauh dari tempat tinggalnya. Bulik Sari memang baik, tetapi Sekar lebih senang jika ibunya yang menem­ ani di rumah. Sekar sudah berkali-kali protes kepada ibunya. Namun, ibunya tetap saja pergi bekerja. “Maafkan ibu, Sayang ….! Ibu tidak bermaksud meng­abaikanmu. Sejak ayah tidak ada, ibu harus be­ kerja agar Sekar tetap bisa sekolah, bisa membeli baju dan makanan kesukaan Sekar,” kata ibunya sambil mem­ belai lembut rambut Sekar yang panjang dan berwarna hitam. “Sekar tidak mau ditinggal terus Bu! Sekar takut sendirian. Sekar bosan!” teriak Sekar dengan nada marah. Ibunya hanya bisa diam. Sambil menahan kesedihan, ibunya mengantarkan Sekar ke sekolah. *** Beberapa hari kemudian, bu guru mengajak murid- murid berkunjung ke sebuah panti asuhan. Sekar dan 2

teman-temannya menyambut gembira karena ini merupakan pengalaman pertama bagi mereka. “Anak-anak, hari ini adalah hari ulang tahun ke-20 sekolah kita, TK Pelita Hati. Oleh sebab itu, bu guru mengajak kalian untuk berbagi kebahagiaan di sebuah panti asuhan. Kita akan berbagi bingkisan dan makanan untuk teman-teman di sana,” kata Bu Ambar. “Horeeeeeeee……!” sahut teman-teman Sekar riang. Sesampainya di panti asuhan, Sekar dan teman- temannya diajak berkeliling oleh bu guru. Sekar melihat banyak anak-anak. Ada anak yang seusianya, ada pula yang masih bayi. Sekar mencoba menghitung jumlah anak dengan jarinya. Namun, ia kesulitan karena sepuluh jari tangannya tak cukup untuk menghitungnya. Setelah puas berkeliling, bu guru mengajak semua anak untuk berkumpul di sebuah ruangan. Lalu, bu guru membagi bingkisan dan makanan. Sekar bisa melihat ada pancaran kebahagiaan di mata anak-anak yang ada di panti asuhan itu. Anak-anak terlihat sangat gembira. Padahal, kata bu guru, mereka sudah tidak punya ayah dan ibu. Mereka juga harus tinggal di panti asuhan dengan kondisi yang serba terbatas. Sekar merasa bahwa dirinya jauh lebih beruntung dari mereka. Meskipun Sekar sudah tidak punya ayah, tetapi masih punya ibu yang bisa dipeluknya. Sekar juga masih punya rumah yang cukup nyaman untuk 3

ditinggali. Tiba-tiba, Sekar merasa menyesal karena ia sering marah-marah kepada ibunya. *** “Ibuuu….!” panggil Sekar ketika mendengar suara langkah kaki masuk ke dalam rumah sore itu. Sekar berlari dan memeluk ibunya erat-erat. Ibunya tampak kaget. Biasanya Sekar selalu cemberut saat menyambut ibunya pulang kerja. “Ibu, maafkan Sekar ya..., Sekar berjanji mulai saat ini, Sekar tidak akan marah-marah lagi. Ibu boleh bekerja,” kata Sekar sambil mencium kedua pipi ibunya. “Terima kasih sudah mau mengerti ibu, Sayang,” sahut ibu Sekar. “Ibu juga berjanji akan lebih memperhatikan Sekar.” Kini, hati Sekar terasa ringan. Luka hati Sekar karena kepergian ayahnya perlahan mulai hilang. Sejak saat itu, Sekar tidak pernah merasa sendiri lagi. Sekar tahu bahwa di luar sana banyak anak-anak yang lebih susah. *** Putri Novita Sari PAUD SPS Permata Hati Karangduwet, Paliyan, Gunungkidul 4

f ffSfEKOunTAtuKk SIECNAYUMf ff f f f Ica tidak segera bisa tidur. Sudah dua cerita dibacakan oleh ibunya. Namun, tetap saja tidak merasa ngan­ tuk. Gadis kecil itu nampak resah. “Kenapa, Ica? Ayo tidurlah, besok harus sekolah kan?” kata ibunya. Ica tidak menyahut. Diambilnya selimut untuk ber­ sembunyi. Sekolah, itulah yang ditakutkan. Besok ia akan sekolah tanpa ditemani ayah atau ibunya. Peraturan 5

sekolah tidak membolehkan lagi ditunggui. Padahal, Ica masih ingin ditunggui, tapi ia takut mengatakannya. “Ica…, besok sudah sekolah sendiri ya? Sudah tidak boleh ditunggui lagi. Ica sudah berani kan?” begitu kata ibunya. Keesokannya Ica tidak bersemangat pergi ke sekolah. Saat ibu membangunkan, Ica enggan turun dari tempat tidur. Membayangkan sekolah sendiri sangat membuatnya sedih. “Ica…, sudah siang loo…. Nanti terlambat sekolah,” kata ibunya lembut. Air mata Ica mulai mengalir mendengar perkataan ibunya. “Ica nggak mau sekolah, Bu,” katanya pelan. “Kenapa, Ica?” Ica hanya menggeleng. “Baiklah, Ica boleh tidak sekolah. Tapi, coba katakan pada ibu, kenapa tidak mau sekolah? Kemarin kan Ica senang bermain sama Deva, Aziz, Ivan…dan siapa lagi temannya?” “Naya….” Ica menyebutkan nama teman akrabnya. “Nah, nanti kalau Ica tidak berangkat Naya akan mencari loo...” Ica tetap menggeleng. “Ica takut,” katanya dengan suara lirih. Ibu tersenyum manis, “Kenapa takut, kan ada bu guru.” Ica tetap menggeleng. “Kalau ditunggu ibu, Ica mau?” 6

Ica menatap ibunya yang tersenyum. Ica agak ragu. “Bagaimana, Ica? Apakah Ica mau ke sekolah kalau ditunggui?” Ica mengangguk pelan. “Baiklah,” kata ibunya. Lalu, ibunya ke ruang tengah mengambil kotak bekal berwarna ping, bergambar bunga mawar. “Lihat, Ica,” katanya. Ica melihat kotak bekalnya. Di situ ada gambar ibu dan ayah yang sedang tersenyum sambil melambaikan tangan. Kemudian, ibu berkata lagi. “Ica, ibu dan ayah juga ingin menunggui Ica. Tapi, bu guru bilang, kalau Ica sudah harus berani sendiri. Nah, kalau Ica ingin bertemu dengan ayah dan ibu, lihat gambar di kotak bekalmu.” Ica kembali melihat kotak bekalnya. Melihat senyum ayah dan ibunya. Ica agak ragu. “Bagaimana?” Ica menggigit bibirnya. Ia senang melihat senyum ayah dan ibunya di gambar itu. Akhirnya, Ica men­ gang­ guk. Ica segera mandi, lalu berangkat sekolah tanpa harus ditunggui. Ayah dan ibunya memeluk Ica, kemudian mengan­ tar­kannya masuk ruang kelas. Saat kedua orang tuanya berpamitan, Ica mengangguk dan melirik kotak makan yang ditaruh di meja. Dicarinya Naya, teman akrabnya sejak masuk sekolah TK itu. Ica menemukan Naya sedang tersedu di dekat tangga perosotan. “Kenapa?” 7

“Huuuhuuuu uuuu….ibuuu…ibuu….” Naya terus menangis. Ica berlari masuk kelas. Mengambil kotak bekalnya, ditunjukkannya pada Naya sambil berkata. “Aku juga tidak ditunggu. Tapi lihat, ada foto ayah dan ibuku di sini!” Naya melihat sekilas dan mulai berhenti menangis. “Hei, kalian di sini!” tegur Bu Siska. “Hebat, Ica pinter,” puji Bu Siska melihat kotak bekal bergambar milik Ica. “Jangan menangis lagi. Besok Naya boleh menempel gambar ayah dan ibu di kotak bekal,” kata Bu Siska. Naya mengangguk, lalu mengusap air matanya. Akhirnya, mereka beriringan masuk kelas tanpa menangis lagi. Margareth Widhy Pratiwi Sanggar Anak Alam Ngestiharjo, Kasihan, Bantul 8

f f KISAH ff f ff untuk NUEL f f f Nuel duduk di kursi bambu di teras rumah neneknya. Kedua tangannya dilipat di depan dadanya. Nuel memalingkan kepalanya kepada siapa pun yang mengajaknya berbicara. Hidangan makanan beraneka ragam yang ada di depannya juga tidak disentuh. Padahal, di meja itu ada cemplon, naga­ sari, pathilo, setoples klethek, dan beberapa makanan lainnya.. 9

“Ini enak loh, Dik!” Yolen berkata sambil duduk di samping Nuel. “Heemmm…, manisnya.” “Nggak mau! Nuel nggak mau makan sebelum dibelikan sepeda seperti milik Idam.” “Yakin…? Enak loh!” Yolen mengambil sebuah naga­sari dan mengupasnya sekali lagi. “Pokoknya Nuel nggak mau makan sebelum dibelikan sepeda,” Nuel berteriak dan berlari menuju kamarnya dengan muka cemberut. Melihat hal itu, neneknya menyusul Nuel ke kamar dan duduk di sampingnya. “Nanti nenek dan Kak Yolen mau ke ladang mem­ bantu kakek panen kacang tanah. Nuel ikut ya!” Nenek­ nya mencoba mengalihkan perhatian cucunya itu. “Nggak mau! Pokoknya Nuel minta dibelikan sepeda,” Nuel berkata ketus. “Tapi Nuel masih punya sepeda. Itu yang ada di halaman rumah masih bagus. Lagi pula, sepeda seperti milik Idam terlalu besar untuk Nuel,” ayah Nuel ikut menasehati. “Nuel mau sepeda seperti milik Idam! Titik!” Nuel tetap kukuh pada keinginannya. “Ya sudah, nanti siang biar ayah belikan sepeda seperti milik Idam. Tapi, sebelumnya kamu dengarkan cerita nenek, ya!” pinta neneknya. “Cerita apa, Nek?” Nuel bertanya serius. “Ini cerita tentang seekor monyet yang tidak pan­ dai bersyukur pada Tuhan,” nenek Nuel mengawali 10

ceritanya. Sejenak neneknya terdiam sambil mengubah posisi duduknya. Kemudian, nenek melanjutkan cerita­ nya. Begini Nuel…, dengarkan! Agar terlihat gagah, Monyet ingin sekali memakai bulu burung merak. Pada suatu hari, Monyet mem­ beranikan diri meminjam bulu burung merak. Monyet ingin menunjukkan kepada hewan lainnya di hutan. Burung merak pun dengan senang hati meminjam­ kan bulunya kepada Monyet. Kemudian, monyet keluar dari rumahnya dengan memakai bulu burung merak. Akan tetapi, setiap hewan yang melihatnya malah me­ nertawakan. Monyet menangis. Ia sadar dan menyesal karena me­ makai sesuatu yang bukan miliknya. Kemudian, monyet pun mengembalikan bulu burung merak dengan rasa menyesal. “Begitulah Nuel …, Monyet itu ditertawakan oleh teman-temannya karena tidak bersyukur dengan apa yang dimilikinya,” kata neneknya. “Jadi, seharusnya bersyukur dengan apa yang kita miliki ya Nek,” tanya Nuel. “Iya, kita tidak boleh iri dengan sesuatu yang dimiliki oleh orang lain. Kita juga tidak boleh merasa lebih baik dari yang lain,” jawab neneknya. “Berarti monyet itu tidak bersyukur ya, Nek?” “Iya. Monyet sudah memiliki ekor yang pas untuk­ nya. Tapi, ia masih menginginkan bulu burung merak yang menurutnya lebih baik.” 11

Nuel merenung. Ia membenarkan perkataan neneknya. Tak berselang lama, ayah Nuel memanggil. “Nuel …, ayo kita ke Wonosari! Ayah belikan sepeda seperti keinginanmu.” Nuel berlari keluar kamar dan menghampiri ayah­ nya. “Tidak jadi Yah …! Nuel pakai sepeda yang lama saja. Itu masih bagus kok,” kata Nuel. Dari ruang tamu, ayah Nuel melihat nenek meng­ acungkan dua jempol. Kemudian, ayah Nuel tersenyum. Ia tahu bahwa nenek telah menasehati Nuel, seperti cara menasehati dirinya di waktu kecil.*** Fitriana TK ABA Wonosobo Banjarejo, Tanjungsari, Gunungkidul 12

f f BONEKA ff f ff ISTIMEWA f f f “Aku mau ini…!” Lara merajuk sambil men­dekap boneka di tangannya. Untuk kesekian kalinya, ibunya mengingatkan ke­ pada Lara pada tumpukan mainan di kamarnya. Akan tetapi, melihat mata Lara berkaca-kaca, hati ibunya luluh dan terpaksa membelikan boneka yang dimintanya. Malam itu Lara menghabiskan waktu untuk ber­ main boneka barunya. Boneka gadis kecil berkepang 13

dua dengan bola mata yang terbelalak manja. Ia sangat me­nyukai boneka itu. Saat tidur pun tak lupa dibawanya. Tiba-tiba terdengar suara, “Lara tidak menyay­a­ ngiku lagi…!” Lara kaget. Ia ingin turun dari tempat tidur, tetapi badannya terasa berat. “Waktu kecil, aku selalu dibawanya. Lara tidak bisa tidur tanpa memelukku, tetapi sekarang …? “Sekarang Lara punya banyak boneka bagus,” katanya. Lara mendengar suara itu berasal dari sudut almari. Sebuah boneka gajah kecil sedang berbicara kepada boneka anjing pudel di sebelahnya. “Pudel…, kamu beruntung masih sering dimain­ kan­nya, sedangkan aku tidak. Aku hanya boneka usang. Lara tidak pernah menyentuhku lagi. Andaikan ada yang mau memiliki dan merawatku, tentu aku akan senang,” gumam boneka gajah kecil dengan muram. Lara heran, bagaimana mungkin boneka gajah bisa berbicara. “Lara, Lara .... bangun sayang. Katanya mau ikut Ibu ke pasar,” suara lembut ibu membangunkannya. Larabangundanbergegasturundaritempattidurnya. Lara menghampiri sudut lemari dan memperhatikan boneka gajah yang teronggok di situ. Boneka itu hanya diam saat Lara menatapnya. “Oh…, ternyata hanya mimpi,” ucap Lara lega. Lara berjinjit dan meraih boneka gajah tersebut. Belalainya yang kumal menjuntai dan bergoyang saat 14

Lara menggerakkan badannya. Lara sudah lama sekali tid­ak bermain dengannya. Bahkan, namanya saja sudah lupa. Dulu Lara memberi nama pada semua boneka miliknya. Akan tetapi, karena semakin banyak bonekanya, Lara tidak pernah lagi bisa mengingat semua namanya, terutama nama bonekanya yang lama. “Sebenarnya aku masih menyukaimu, tetapi kamu terlalu usang. Apa kata teman-temanku nanti saat me­ lihatmu. Kamu bukan lagi boneka yang keren!” gumam Lara pelan sambil meletakkannya kembali di sudut almari. Pagi itu ibu mengajaknya belanja. Lara senang ke pasar, ada banyak jajanan dan bermacam-macam ikan di sana. Tiba-tiba pandangan Lara tertuju pada anak kecil yang sedang duduk bersimpuh di dekat penjual gorengan. Ia sibuk bermain boneka bayi yang kakinya sudah tidak utuh lagi. Ia membelai dan menggendong bonekanya dengan sayang. Lara merasa iba. Lara ingat boneka gajah usang di sudut almarinya; juga banyak mainan lain yang tidak pernah disentuh lagi. Lara memegang lengan ibunya dan berbisik, “Bu, bolehkah aku berikan mainanku yang ada di almari kepada anak itu?” Ibu menoleh ke arah yang ditunjuk Lara. Lalu, men­ jawab sambil tersenyum, “Tentu saja. Pilihlah mainan yang hendak kamu berikan. Ibu akan mengantarmu ke sini lagi.” 15

Sesampainya di rumah, Lara memilih mainan- maina­n yang sudah tidak dipakainya. Dengan ragu ia mengambil boneka gajahnya sambil berbisik pelan, “Terima kasih, kamu sudah menemaniku. Tapi, anak kecil di pasar itu mungkin akan menyukaimu….” Ibu mengantar Lara kembali ke pasar. Anak kecil itu menerima pemberian Lara sambil tersenyum lebar. Dengan mata berbinar ia menatap boneka gajah di tangannya lalu berkata, “Ini boneka yang sangat istimewa….” Lara terharu, ia senang bisa berbagi kebahagiaan dengannya. Dalam hati Lara berjanji tidak akan mem­ beli mainan lagi. Ia juga akan merawat boneka dan mai­ nan­nya dengan penuh kasih sayang. Dyah Kusumaning Harini Taman Balita dan TK Ceria Yogyakarta Demangan Baru, Gondokusuman,Yogyakarta 16

f f TAS GAMBAR f f BURUNG MERAK f f ff buatan EMAK f f Pagi itu burung-burung bernyanyi merdu. Sinar matahari mulai menyembul dari balik pe­po­ ho­na­n. Emak menyiapkan bekal untuk Mia. Nasi kecap dengan lauk orak-arik tahu. Lalu, Emak menatanya di dalam kotak makan warna merah jambu. “Ayo Mia, segera berangkat ke sekolah,” kata Emak dengan lembut. Akan tetapi, Mia masih cemberut. Tangannya memegang telinga boneka Teddy. Telinga 17

boneka itu dicubit-cubit. Begitu memang kebiasaan Mia saat marah. “Mia malu, Mak,” ucap Mia dengan suara parau. Matanya mulai basah. Mia menangis tersedu-sedu. “Malu kenapa, Sayang?” tanya Emak sambil mengusap kepala Mia. Mia melirik tas yang terteletak di sampingnya. Lantas, Emak meraih tas berwarna biru muda itu. “Sebenarnya Emak tahu, tas Mia sudah rusak. Rislitingnya jebol. Banyak lubang di bagian sisi bawah dan depan tas.” “Oh iyaaa Mia, Emak punya hadiah untukmu.” Kemudian, Emak berjalan menuju mesin jahit tak jauh dari tempat Mia duduk. Emak mengeluarkan sesuatu dan memberikan pada Mia. “Apa ini, Mak?” tanya Mia sambil mengusap air matanya. “Tas buatan Emak untuk Mia,” jawab Emak sambil tersenyum. Kening Mia berkerut. Wajahnya tampak kusut. Tangannya masih meraba-raba tas buatan Emaknya. Sepertinya ia tak suka dengan tas itu. “Mia mau yang kayak punya teman-teman, Mak,” suara Mia melengking diiringi isak tangis. Emak masih belum bisa berkata-kata. Wajah Emak menjadi sedih. Matanya berkaca-kaca. “Mia pengin yang kayak punya Dila, gambar Tuan Putri,” Mia melempar tas rajut buatan Emak. Tangisannya bertambah keras. 18

“Maaf ya Mia, Emak belum bisa belikan tas baru,” Emak memeluk Mia yang masih menangis. “Kemarin Emak mau belikan tas untuk Mia, tapi uangnya belum cukup. Emak harus beli obat untuk Bapak,” kembali Emak memeluk Mia lebih erat. Perlahan tangis Mia mulai reda. Ia ingat bapaknya yang sudah seminggu dirawat di rumah sakit. Mia jadi rindu bapaknya. “Mia berdoa ya, agar Bapak segera sembuh. Emak akan mengumpulkan uang untuk belikan tas baru buat Mia,” kata Emak sambil mengusap air mata di pipi Mia. Mia bergegas mengambil tas buatan Emak yang tadi ia lempar. “Mak…! Ini buatnya sampai nggak tidur, ya?” tanya Mia sambil memasukkan buku-buku ke dalam tas rajut itu. “Emak kok bisa bikin gambar burung merak ini sih?” Mia sudah berceloteh riang. “Mia suka?” tanya Emak, sembari merapikan rambut ikal Mia “Sukaaaaa..., sukaaaaa …,” Mia menjawab sambil tertawa. Terlihat lesung pipit di kedua pipinya. “Insya-Allah kalau ada rezeki, besok Emak belikan tas gambar Tuan Putri, ya,” katanya. “Uangnya untuk beli obat saja, Mak! Biar Bapak cepat pulang ke rumah. Mia kangen…,” jawab Mia manja. 19

Hari ini Mia berangkat sekolah lebih percaya diri. Sudah tidak ingin lagi tas gambar Tuan Putri. Mia sudah punya tas rajut buatan emaknya sendiri. Ada hiasan yang lucu. Ada gambar burung merak di sisi tas sebelah kiri. Saat diboncengkan oleh Emak dengan sepeda, Mia berdoa. “Ya, Allah … segera sembuhkan Bapak sehingga Mia bisa bermain dengan Bapak lagi.” Maulani TPA Praba Dharma Yogyakarta Timoho, Umbulharjo, Yogyakarta 20

f f AZZAM f f f dan f f ff SEPATU BOLANYA f Kukuruyuuuuuuk…! Kukuruyuuuuuuk…! Petok…! Petok…! Petok…! Ayam jantan berkokok dan ayam betina berkotek dengan riuhnya. Azzam membuka mata setengah sadar. Ia baru tahu kalau hari sudah mulai pagi. Braaaakk…! “Aduuuh…, lututku!” rintihnya kesakitan. Ibunya bertanya dari bilik tirai kamar. 21

“Ada apa Zam? Apa yang jatuh ?” “Tidak Bu! Tidak ada apa-apa!” jawabnya sambil menahan sakit. “Azzam menggeser kursi,” sambungnya lagi. “Apa? Kamu beser, Nak? Kemarin kamu makan apa? Cepatlah ke kamar mandi!” sahut ibunya. Azzam tersenyum geli mendengar jawaban ibunya. Pendengaran ibunya memang telah berkurang sejak lima tahun yang lalu. Hal itu terjadi akibat kecelakaan lalu lintas yang juga merenggut nyawa ayahnya. Namun, Azzam tetap berusaha menjadi anak yang berbakti, bersabar, tidak berkata kasar. Azzam mengerti jerih payah ibunya yang telah membesarkannya seorang diri. Ayahnya meninggal sejak ia masih berusia dua tahun. Azzam dan ibunya tinggal di sudut batas kota, jauh dari kerumunan warga. Lingkungannya dipenuhi bebatuan dan jalan berliku. Namun, itu semua tidak menyurutkan semangat belajarnya. Azzam sering be­ rang­kat sekolah berjalan kaki, sepatu yang hampir jebol, dan tas ransel yang juga sudah sobek. Terkadang ia berangkat sekolah diboncengkan oleh ibunya sambil pergi ke pasar. Kebetulan pasarnya satu arah dengan sekolah Azzam. Suatu hari kaki ibu Azzam terkilir dan tidak dapat pergi berjualan ke pasar. Karena rasa berbakti kepada ibunya, Azzam berniat membawakan belanjaan ibunya ke pasar. Azzam menyadari bahwa dirinya belum lancar 22

naik sepeda. Lalu, ia memutuskan untuk berjalan kaki. Dengan tergopoh-gopoh, Azzam bawa baki hijau berisi kue dan makanan kecil dagangan ibunya. Tangan kanannya membawa payung yang sudah lusuh. Pagi itu hujan gerimis menemani perjalanan Azzam. Jalan pun licin sehingga ia melepas sepatunya karena takut basah. Sepatunya ditenteng di bawah payung. Namun, tiba-tiba… syuuuuut….. bruuuuuk! Azzam jatuh terpeleset bebatuan di pinggir jalan. “Aduuuuh…!” teriaknya spontan. “Sepatuku….? Sepatuku di mana…?” katanya ke­ bingungan. Ternyata di kejauhan terlihat sepatunya terbawa arus sungai. Azzam tidak mungkin dapat mengejarnya. Padahal, sebentar lagi ada pertandingan sepak bola di tingkat kabupaten dan sepatu itu satu-satunya yang ia punya. Ingin rasanya Azzam menangis, tetapi air matanya tertahan ketika melihat dagangan ibunya masih terbungkus rapi di atas baki. “Alhamdulillah…, dagangan ibunku masih utuh. Aku harus segera membawanya ke pasar,” hatinya se­ dikit lega. Azzam segera bangkit dan melanjutkan perjalanan­ nya. Sesampainya di pasar, Azzam bertemu dengan sahabat ibunya. Azzam menitipkan dagangannya dan mengatakan akan menghampirinya ketika pulang sekolah. Sesampainya di sekolah Azzam ditertawakan 23

oleh teman-temannya karena bajunya kotor dan berjalan tanpa sepatu. Namun, itu semua tidak membuatnya patah semangat. Azzam menceritakan kejadian yang dialamin­ ya kepada ibu guru. Ia tetap mengikuti pel­ajar­ an seperti biasa. “Kriiiiiiing…!” Bel berdering dengan nyaring, tanda pelajaran te­ lah usai. Anak-anak segera bergegas pulang ke rumah masing-masing. Namun, Azzam tidak. Ia pergi ke pasar. Setelah ia menye­le­saikan tugasnya di pasar, Azzam menyusuri sungai tempat sepatunya hanyut tadi pagi. Setelah cukup lama, akhirnya Azzam menemukan sepatunya. Sepatu itu ters­angkut di akar pohon bakau. Hatinya begitu lega karena besok pasti dapat mengikuti pertandingan sepak bola. Saatnya pertandingan berlangsung, Azzam bertugas sebagai kapten. Dengan semangat dan kekompakan tim, Azzam dan kawan-kawannya berhasil memenangkan pert­andingan. Betapa gembiranya Azzam dan kawan- kawannya. Mereka dapat mengharumkan nama baik sekolahnya. Kegembiraan Azzam bertambah karena tim­nya memperoleh mendali dan hadiah sepatu baru.*** Rina Afriani Kelompok Bermain Mawar Kaligayam, Kulur, Temon, Kulon Progo 24

f f SAUDARA-SAUDARA ff f ff f SENA f f “Sena, kenapa kau tampak murung hari ini?” sapa Ara, si Laba-Laba kepada Sena Semut. Saat itu Sena Semut sedang duduk di bawah pohon tempat Ara tinggal. Sena adalah nama dari seekor semut merah. Ia sudah lama bersahabat dengan Ara. “Hai, Ara…! aku merasa tidak bersemangat hari ini,” kata Sena Semut sambil menghela napas. 25

Ara Laba-Laba turun dari sarangnya dan mendekati Sena Semut. “Apa yang membuatmu tidak bersemangat, temanku?” tanya Ara. “Aku baru saja bertengkar dengan salah satu saudaraku. Terus, ibu memarahiku,” jawab Sena. “Kenapa kau bertengkar dengan saudaramu?” tanya Ara lagi. Sena menghela napas. “Aku kan merasa lelah dan ingin beristirahat, tetapi saudaraku justru bermain di dalam kamar. Aku menegurnya. Akhirnya, kami bertengkar sehingga membuat ibuku marah.” “Ooo…, karena itu. Sudahlah! Kamu bisa beristirahat di sini dahulu,” Ara mencoba menenangkan sahabatnya. “Iya…! Benar, Sena. Tinggallah di rumahku!” suara Uli, si Ulat. Uli juga merupakan teman Sena. Rumahnya tidak jauh dari sarang Ara. “Uli… bagaimana kabarmu?” tanya Sena kepada Uli. “Baik dan sehat. Lihat saja, badanku semakin bertambah gemuk. Hahaha….ha ha…” Ketiga sahabat itu pun tertawa. “Sena, aku sungguh-sungguh. Kau boleh tinggal di sini bersamaku. Aku senang jika kau mau menemaniku.” kata Uli kepada Sena. “Aku justru ingin seperti kalian yang tinggal sendiri. Jadi, aku tidak perlu terganggu oleh kebisingan tindakan saudara-saudaraku.” 26

Di rumah Sena Semut ada orang tua dan saudara- saudaranya. Keluarga semut memang memiliki banyak anggota keluarga. Berbeda dengan Ara dan Uli yang tinggal sendiri. “Saudara-saudaraku suka membuat kegaduhan. Terkadang mereka bermain dan bercanda hingga lupa waktu. Aku juga harus selalu berbagi semua hal dengan saudara-saudaraku, baik makanan maupun minuman. Aku dan saudara-saudaraku juga hanya memiliki satu kamar untuk tidur.” “Bukankah itu menyenangkan, Sen? Aku juga memiliki saudara. Tetapi, kami tidak tinggal bersama. Tempat tinggalku terasa sangat sepi,” kata Uli. Ara turut memberi komentar, “benar kata Uli. Tinggal sendiri tidak selalu menyenangkan….” “Setuju!” seru Uli menyela perkataan Ara. “Sena, kau memiliki banyak saudara yang selalu membantumu. Dengan dikerjakan bersama, tentu tugasmu menjadi ringan. Kalian juga pergi mencari makan bersama-sama. Sebaliknya, aku melakukan semuanya sendiri. Mencari makanan sendiri. Menyelesaikan pekerjaan rumah sendiri. Kamu juga bisa saling bertukar cerita dengan saudara-saudaramu. Saat sedih, saudara-saudaramu akan menghiburmu. Ketika kau sakit, mereka yang akan merawatmu,” imbuh Ara. “Lihat induk burung itu!” Uli menunjuk seekor burung di kejauhan yang tengah membuat sarang. “Ia harus membuat sarangnya sendiri. Ia harus terbang ke 27

sana ke mari untuk mengambil ranting dan rumput. Lalu, menyusunnya menjadi sebuah sarang yang nyaman di puncak pohon.” Sena teringat saudara-saudaranya. Walau terkadang suka berbuat gaduh, mereka selalu membantunya. Bersama saudara-saudaranya, Sena dapat dengan mudah melakukan berbagai tugas dan pekerjaan. “Terima kasih teman-teman. Kalian membuatku sadar. Kalian kuat dan besar sehingga mampu untuk tinggal sendiri. Namun, aku memiliki badan yang kecil. Meskipun demikian, aku memiliki saudara-saudara yang selalu membantuku. Sekali lagi terima kasih, Ara…, Uli…. kalian sahabat yang sangat baik.” Sena lalu pamit kepada dua sahabatknya. Ia kembali ke sarangnya dengan perasaan senang dan lega.*** Mugi Artiningsih TK Pelangi Indonesia Depok, Sleman, DIY 28

f f SEKAOYLOAH! ff f ff f f f Hari Senin…. Uuh…! Rasanya malas sekali! Nindy menggeliat di tempat tidurnya. Nindy belum ingin meninggalkan kasurnya yang empuk dan nyaman. “Nindy… Nindy…, sudah saatnya mandi loo…. Kamu tidak mau terlambat sekolah kan?” ujar ibunya mengingatkan dengan lembut. Dengan ogah-ogahan Nindy bangun dari tempat tidurnya. Lalu, mengambil handuk di jemuran, kemudian mandi. Selesai mandi, Nindy berganti baju, 29

memakai sepatu, lalu makan pagi bersama ibu dan ayah. Nindy makan dengan ogah-ogahan. Ibu dan ayah memperhatikannya, tetapi tidak berkata apa-apa. Setelah selesai makan, ayah bertanya, “Kenapa, Nindy? Kamu kelihatan lesu dan tidak bersemangat.” “Nindy malas sekolah, Yah. Rasanya capek sekali. Boleh tidak Nindy tidak masuk hari ini?” “Kenapa? Nindy sakit?” tanya ayah sambil memegang kening Nindy. “Tidak sih, Nindy hanya malas berangkat sekolah.” “Nindy …, kalau tidak sakit, sebaiknya kamu tetap pergi ke sekolah,” ujar ayahnya. “Ayah tahu, kamu masih malas atau enggan, setelah menikmati liburan kenaikan kelas yang panjang. Akan tetapi, kalau kamu tetap semangat, perasaan enggan itu akan hilang sendiri.” “Uuh!” desah Nindy. Meski sambil menggerutu, Nindy tetap berangkat ke sekolah diantar oleh ibunya. Sesampainya di sekolah, Nindy minta ditemani ibu duduk di bangku kayu di halaman sekolah. “Kamu tidak mau bermain dulu?” tanya ibu. “Lihat itu, Keira dan Syefa bermain ayunan. Kamu tidak mau bermain dengan mereka?” “Malas ah,” jawab Nindy. “Bu, kita pulang saja, yaa…!” lanjutnya dengan merengek. “Selamat pagi Nindy…,” tiba-tiba terdengar suara sapaan yang ramah. Nindy menoleh. Dilihatnya 30

Bunda Alia menghampirinya. Senyum yang ramah mengembang di bibirnya. Nindy tersenyum segan sambil membalas sapaan wali kelasnya itu. “Eh Nindy, yang semangat ya, kalau membalas sapaan Bunda Alia,” tegur ibu. “Tidak apa-apa, Bu,” kata Bunda Alia. “Mungkin Nindy masih mengantuk.” Hari ini hari pertama masuk sekolah, setelah liburan kenaikan kelas. Sekarang Nindy ada di TK B. Pada hari pertama ini, Bunda Alia mengajak anak-anak menonton tayangan video. Tayangan itu berisi gambar- gambar anak sekolah di berbagai daerah di Indonesia. Video pertama, tampak anak-anak sekolah sedang meniti jembatan rusak. Jembatan itu hanya dihubungkan dengan satu tali yang terbentang di atas sungai. Mereka merayap perlahan-lahan dan dengan hati-hati supaya tidak tergelincir ke sungai yang dalam dan deras arusnya. Video kedua, tampak tiga anak sekolah sedang meniti jembatan gantung di atas sungai yang lebar dan deras arusnya. Video ketiga, terlihat lima anak sekolah menyusuri jalan setapak, mendaki bukit yang terjal. Video keempat, tiga orang anak sedang mendayung perahu menuju ke sekolahnya. “Nah, anak-anak,” kata Bunda Alia setelah tayangan video selesai, “hari ini semua anak kembali masuk sekolah. Yang dalam video, anak-anak juga akan pergi ke sekolah. Mereka harus menempuh perjalanan yang 31

jauh dan sulit untuk sampai ke sekolahnya. Mendaki bukit terjal, meniti jembatan gantung yang rusak, atau mendayung perahu…. Akan tetapi, mereka tetap semangat. Mereka tetap ingin sekolah, ingin belajar seperti kalian.” Anak-anak terdiam, membayangkan kesulitan yang harus dilalui teman-teman mereka itu. Nindy juga terdiam. Kemudian, anak-anak berjanji mulai sekarang akan selalu semangat untuk sekolah, untuk belajar. Mereka juga berdoa agar anak-anak hebat tadi tetap tabah dan semangat dalam bersekolah dan belajar.*** Bernadus Sutan Hartanto TK Pelangi Indonesi Depok, Sleman, DIY 32

f f POHON KELAPA f f f yang f f ff SOMBONG f Di ladang Pak Mamat tumbuh bermacam-macam tanaman: ada jagung, padi, ketela, kelapa, dan sebagainya. Di ladang itu juga tumbuh rerumputan dengan subur. Terdapat juga gubug kecil tempat istirahat Pak Mamat saat kecapaian atau ketika hujan tiba. Di dekat gubug ada sebuah sumur yang digunakan untuk mengairi tanaman bila datang musim kemarau. 33

Di antara tanaman Pak Mamat, ada satu pohon kelapa yang sangat tinggi, batangnya kokoh, daun- daunya rimbun, buahnya besar-besar dan sangat lebat. Keadaan itu membuat pohon kelapa menjadi sombong dan suka menghina tanaman di dekatnya. Ia merasa yang paling hebat. Padahal, semua ciptaan Tuhan punya kelebihan dan kekurangan. Pada pagi yang cerah dan matahari bersinar terang, semua tanaman memuji keagungan Tuhan. Mereka bersyukur karena rahmat dan karunia-Nya. Namun, tiba-tiba terdengar suara keras dari batang kelapa yang tinggi. “Hai para tanaman tidak berguna! Apa yang kalian kerjakan di pagi ini? Lihatlah aku! Gagah kan! Batangku kokoh dan tinggi, daunku panjang dan hijau mengkilat. Buahku lebat dan besar-besar. Dari akar sampai daun semua berguna. Buahku yang muda sangat disukai oleh siapa saja. Benar kan? Mendengar kesombongan pohon kelapa, si rumput yang tumbuh di bawah pohon kelapa angkat bicara. “Hai pohon kelapa, aku mengingatkanmu! Kita ini semua ciptaan Tuhan. Masing-masing diberi kelebihan dan kekurangan. Kita harus selalu bersyukur atas pemberian-Nya. Kita harus saling menghargai dan hidup rukun, tidak boleh menghina yang lain serta tidak boleh sombong.” Mendengar perkataan si rumput, pohon kelapa tertawa keras. 34

“Ha ha ha….! Apa katamu? Semua punya kelebihan? Apa kelebihanmu rumput jelek? Tempatmu saja sangat hina, hanya di bawahku, tidak punya buah, bungamu jelek dan tidak wangi. Apa kelebihanmu? Apa yang kau banggakan, hai rumput jelek! Menjauhlah dariku!” Mendengar perkataan pohon kelapa, pohon padi angkat bicara. “Rumput juga punya kelebihan! Rumput sangat berguna bagi hewan ternak! Mereka menjadi gemuk dan sehat karena rumput! Hewan jika dijual akan mendapat uang yang sangat banyak! Dagingnya lezat dan gurih dan membuat sehat bagi yang memakannya!” Mendengar perkataan pohon padi, pohon ketela pun bicara. “Memang benar, kita punya kelebihan dan ke­ kurangan. Kita tidak boleh menghina, harus menghargai satu sama lain.” Mendengar perkataan pohon ketela, pohon kelapa amarahnya meluap. Pohon kelapa pun membentak. “Coba lihat aku! Apa aku punya kelemahan? Tunjukkan padaku! Apa kelemahanku? Tidak ada bukan? Akulah yang paling sempurna dan hebat, tidak seperti kalian yang tidak berguna. Aku tidak mau bersahabat dengan kalian!” Akhirnya pohon jagung juga angkat bicara. “Saudara-Saudaraku, mari kita akhiri pertengkaran ini. Yang penting, kita tetap bersyukur atas pemberian Tuhan. Kita saling menghargai, tidak boleh sombong dan tidak boleh menghina yang lain.” 35

Setelah pertengkaran itu pohon kelapa tidak punya teman. Ia tetap berdiri kokoh dengan kesombongannya. Ia tetap merasa kalau dia yang paling hebat. Akhirnya, musim huja pun tiba. Semua tanaman sorak gembira dan bersyukur kepada Tuhan atas rahmat- Nya. Di sela-sela hujan, kadang-kadang terdengar suara petir yang dasyat dan menakutkan. Akan tetapi, kejadian itu tidak mengubah kesombongan pohon kelapa. Ia tetap tidak mau bersyukur atas karunia Tuhan. “Deerrrr… Deerrrr!” Tiba-tiba petir menyambar pohon kelapa yang sombong. Saat itu juga daun-daunya layu. Ia mengaduh kesakitan, tetapi tidak ada yang mampu menolongnya. Semakin lama daunya kering kerontang, batangnya tampak gosong, dan akhirnya mati tidak ada yang bisa dimanfaatkan lagi.*** Yatirah TK Negeri Semin Pundungsari, Semin, Gunungkidul 36

f f VALENT HORE... BUNDA! f f f MENANG, f f ff f Pagi itu tidak seperti biasanya, Valent bangun lebih awal. Diambilnya selimut, lalu dilipat. “Valent … Sayang! Tumben sudah bangun?” ujar Bunda sambil penuh keheranan. “Nanti ada lomba Bunda, Valent boleh ikut ya?” “Baiklah, anak Bunda yang cantik boleh ikut, tetapi jangan terlalu dekat dengan anak tetangga baru kita ya! Siapa itu namanya? Rafa ya?” kata bunda. 37

Valent menghampiri bundanya dengan wajah cemberut. “Kenapa tidak boleh, Bun?” “Bunda bukan melarang Valent berteman dan bermain dengan Rafa, cuma jangan terlalu dekat. Jika bermain dengan Rafa juga jangan terlalu sore pulangnya. Kita kan belum terlalu kenal dengan dia.” “Baik bunda,” kata Valent dengan wajah lesu sembari menuju kamar mandi. Setelah mandi dan makan pagi, Valent kemudian berangkat ke sekolah. “Bunda, Valent berangkat dulu,” ucap Valent sambil mencium tangan bundanya. “Hati-hati di jalan ya, Nak,” kata bunda sambil memeluk dan mencium Putri semata wayangnya itu. Sampai di sekolah Valent segera mencari Rafa. Dicarinya di sekitar sekolah tidak ketemu. Sampai di dekat kantin, Valent melihat banyak anak berkerumun. “Rafa, aku dua ya!” kata Ibra. “Rafa, aku mangga sama jeruk, ya!” ucap anak yang berambut ikal sambil mengulurkan uangnya. Oooo…. ternyata Rafa sedang berjualan es. “Rafa…, kamu tak cariin, tahu? Nanti ikut lomba tidak? Aku mau ikut,” kata Valent sambil memainkan bajunya. “Aku tidak ikut, aku mau jualan es!” Sepulang sekolah Valent langsung istirahat dan sorenya bergegas menuju lapangan. Valent akan mengikuti berbagai lomba. Setelah mengikuti lomba. 38

“Horeeee …, aku dapat dua!” teriak Valent. Sampai di rumah Valent langsung mencari bundanya. Tidak sabar ingin bilang kepada bundanya kalau berhasil mendapatkan hadiah. “Bunda, Bunda…, di mana?” teriak Valent. Sambil berlari tergesa-gesa, bunda menghampiri Valent, “Ada apa Sayang…! Bunda baru membersihkan halaman belakang. Kamu jatuh? Ada yang terluka?” “Bunda…, Bunda…, Valent menang! Dengan wajah ceria Valent mengangkat bingkisan yang dibawanya. Melihat wajah ceria putrinya, Bunda senang. Namun, seketika itu wajah ceria Valent berubah sedih. “Anak bunda yang paling cantik…, kok malah sedih. Ada apa to? Harusnya senang dong, bisa dapat dua hadiah.” “Valent, ingat Rafa Bun.” Sambil mengambilkan minum untuk Valent, bundanya berkata, “Emang Rafa kenapa, Sayang?” “Bunda jangan marah ya! Valent bantuin Rafa jual es.” Dengan wajah masih setengah tidak percaya, bunda menghampiri Valent dan memeluknya. “Kenapa bunda harus marah. Bunda bangga punya anak yang perhatian dan penolong.” Setelah minum, Valent mulai bercerita. “Valent sedih Bunda. Ayahnya Rafa sakit, tidak dapat bangun dari tempat tidur. Jadi, tidak dapat bekerja.” Tidak terasa air mata Bunda mengalir. 39

Kemudian Valent mengambil hadiahnya. “Bunda, hadiahku tak kasih Rafa saja, ya!” Sambil mencium Valent, bunda berkata, “Alhamdulillah, anak Bunda sudah banyak berubah sekarang. Tidak hanya perhatian, tetapi juga penolong dan mau berbagi, Bunda bangga dengan Valent. Kalau begitu nanti kita ke rumah Rafa bersama-sama, ya. Sekalian silaturahmi, Bunda juga mau memberikan sedikit bingkisan juga.” Dewinta Elfandani, A.Md. TPA Praba Dharma Yogyakarta Timoho, Umbulharjo, Yogyakarta 40


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook