Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore TALI_SURGA_Antologi_Cerpen_2017_.pdf

TALI_SURGA_Antologi_Cerpen_2017_.pdf

Published by e-Library SMPN 8 Talang Ubi, 2020-01-25 16:27:04

Description: TALI_SURGA_Antologi_Cerpen_2017_.pdf

Search

Read the Text Version

“Ya kami telah memilikinya, lalu bagaimana cara mengguna- kannya?” tanya mereka lagi. “Ikatlah batu itu dan jadikan kalung untuk salah satu dari kalian, maka pemakai kalung itu akan dapat bernafas dalam air selama 30 menit,” jawab kaktus. “Baiklah, akan aku coba,” jawab Roni. “Tapi, berhati-hatilah, di dalam sana banyak tipu daya,” kata kaktus mengingatkan. “ “Baiklah, aku mengerti.” Kemudian Roni berpamitan, “teman-teman, doakan aku agar dapat kembali lagi!” “Tentu, Ron, hati-hati, ya, semoga kamu selamat,” pesan Agus dan Cahyo. *** Di dalam danau, Roni menemukan banyak rintangan. Semua tanaman dan penghuni danau itu dapat berbicara dan selalu ingin menghalangi Roni agar tidak bisa menemukan kalung permata. Walaupun begitu, Roni tetap berusaha menyusuri danau. Waktu tinggal 1 menit lagi. Tanpa menyerah Roni terus mencari kalung itu, dan akhirnya ketemu juga. Waktu tinggal 15 detik lagi, de- ngan cepat Roni naik ke daratan. Setelah menghela napas agak panjang, Roni memberikan kalung permata itu kepada sang kaktus dan sebagai balasannya mereka menerima batu hijau. Sama seperti kejadian sebelumnya, tiba-tiba mereka sudah berada kembali di dalam gubuk tua. Sekarang adalah permainan yang terakhir. Giliran Cahyo yang melempar dadu, dan mereka mendapatkan angka 2, simbol air biru. Seperti yang sudah- sudah, mereka masuk lagi ke dalam lubang dimensi. Kali ini mereka terpapar di pasir putih yang dingin. Ya, mereka berada di pantai lepas, entah daerah mana itu, yang tampak hanya ham- paran air dan pasir yang sangat luas. Mereka mendapatkan daun lontar lagi, isinya, “Temukan batu biru bercahaya, maka akan kukembalikan kalian semua!” Antologi Cerpen Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia 85

Mereka bertiga berdiskusi. Tak disangka, mereka menemu- kan kura-kura yang dapat berbicara. Mereka hampiri kura-kura itu dan bertanya di mana letak batu biru yang mereka cari. De- ngan sangat ramah kura-kura itu memberitahu mereka. Batu itu dimiliki oleh naga laut yang sangat kejam. Mereka lalu meminta bantuan sang kura-kura agar dapat mengalahkan naga itu. Atas kebaikannya, mereka diberi batu berwarna ungu. Pesan kura- kura itu, batu ungu itu dapat melindungi diri dari api. Kini Cahyo memutuskan dirinya yang akan menyelam. Sekarang Cahyo telah memasuki laut lepas. Ia membawa bekal batu delima merah yang dikalungkan pada lehernya, batu hijau, dan batu ungu untuk menghadapi naga itu. Cahyo sudah siap untuk menghadapi naga itu. Tak berapa lama Cahyo telah me- nemukan persinggahan naga itu. Dengan lembut Cahyo meminta izin agar dapat memiliki batu biru itu pada sang naga, tetapi naga menolaknya. Naga itu hanya akan memberikan batu itu jika dia dapat mengalahkannya. Dengan semanagat membara, Cahyo bertarung melawan naga itu. Semburan demi semburan telah dikeluarkan oleh sang naga, tetapi tidak terjadi apa-apa pada diri Cahyo. Itu pasti berkat batu ungu yang diberikan oleh kura-kura itu. Cahyo me- ngalahkan naga itu dengan bantuan kekuatan batu hijau pem- berian katus’ batu itu memiliki kekuatan seperti pedang, dan dalam sekejap kepala naga itu telah putus. Dengan cepat Cahyo mengambil batu biru itu dan naik ke daratan. Setelah sampai di daratan. Cahyo menyatukan ketiga batu itu, dan keluarlah caha- ya yang berkilauan menyinari mereka dan dalam sekejap mereka sudah berada di gubuk itu. Tiga buah batu yang telah mereka dikumpulkan kemudian mereka susun di atas papan ular tangga. !Wush…! Mereka telah kembali berada di kebun mangga Pak Samat. Mereka menatap langit, dan memang benar, mereka telah pulang kembali ke dunia mereka. Cahyo, Roni, dan Agus segera mengambil sepeda dan 86 Tali Surga

buru-buru pergi meninggalkan kebun. Dalam perjalanan pulang mereka hanya diam seribu bahasa. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing, setelah mengalami beberapa peristiwa aneh yang telah terekam di otak mereka. *** Fitria Puspitawati. Lahir di Sleman, 6 Januari 2001. Saat ini tercatat sebagai pelajar di SMK Negeri 1 Cangkringan, Jurusan Kimia Analisa. Info lebih lanjut bisa menghubungi nomor HP/WA: 089633052846. Antologi Cerpen Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia 87

Harapan Kosong Puteri Bunga Gupita SMA Negeri 1 Seyegan [email protected] Cerita ini berawal ketika Ava duduk di bangku kelas satu SMA. Ava tidak seperti anak-anak lainnya yang bisa bermain bersama keluarganya, bermanja-manja dengan Ayah ibunya, bahkan sangat diperhatikan secara baik segala keperluan mereka. Ingin sekali rasanya Ava seperti mereka, tapi itu tidak mungkin. Kenapa? Karena sejak SD, Ava sudah sering ditinggal oleh kedua orang tuanya. Dia hanya tinggal bersama bibi pembantu. Ditam- bah lagi kedua orang tuanya selalu bertengkar, sampai dia tidak kuat melihatnya. Ingin rasanya Ava mengasingkan dirinya agar tidak mendengar percekcokan mereka yang tidak berguna dan hanya akan membuat hatinya tersayat-sayat. Ava memandang halaman sekolah yang kosong. Hening, seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan, hanya terlihat karya- wan yang berlalu lalang. Ava mengedarkan pandangannya untuk kesekian kalinya, namun ia tetap tidak menemukan mobil ayah- nya yang biasa menjemputnya. “Lagi-lagi lupa,” keluh Ava. Ava berjalan gontai keluar dari kompleks sekolah. Sore-sore begini sudah jarang angkot yang lewat, kalau pun terpaksa, ya, harus naik ojek yang ada di ujung jalan sana. “Huft! Cuma menjemput anak semata wayangnya saja lupa. Apa, sih, yang kalian sibukkan? Hanya bertengkar, kan?” gerutu Ava di sepanjang jalan. 88 Tali Surga

Lumayan lama Ava menunggu angkot yang lewat di depan kompleks sekolah. Sepertinya itu angkot terakhir. Ava buru- buru masuk angkot karena takut penuh. Tidak sampai 30 menit Ava sudah sampai di rumah. Ava masuk ke dalam, sepi, seperti tidak ada penghuninya. Tapi Ava melihat mobil ayahnya terparkir rapi di dalam garasi. Di mana ayah dan ibunya saat ini? “Maa..., Ayah…, aku pulang! teriak Ava sambil mencari-cari Ayah dan ibunya. Ternyata mereka ada di ruang tengah. Lagi- lagi dilihatnya pemandangan yang tidak mengenakkan matanya. Mereka bertengkar, entah apalagi yang mereka ributkan. “Hobi, kok, bertengkar, emangnya ngga ada kegiatan yang lebih baik?” gerutu Ava. Ava buru-buru masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu dengan rapat-rapat. Hanya itu satu-satunya cara untuk lari dari perdebatan kedua orang tuanya tadi. Brukk! Ava membuang tasnya di sudut kamar dekat meja belajarnya, tanpa ia hiraukan ternyata tasnya mengenai sebuah pigura. Ava merebahkan badan di atas kasur yang empuk. Mata- nya menerawang jauh, pikirannya kembali pada pertengkaran tadi. Kapan semua konflik ini tersudahi. Kata orang, hidup Ava itu sempurna. Dia dilahirkan di te- ngah-tengah orang berada. Kedua orang tuanya dapat dikatakan sebagai orang yang sukses dalam bidang pekerjaannya. Masih kata mereka, Ava seperti anak raja. Ya, anak raja yang selalu dipenuhi segala permintaaannya. Namun, itu hanyalah barang, bukanlah kasih sayang. Bahkan Ava rela menukar semua barang yang ia dapatkan di dunia ini dengan kasih sayang kedua orang tuanya secara utuh. Sudah jelas sekarang? Apakah hidup di tengah keluarga se- perti itu bisa dikatakan bahagia? Kebahagian hanyalah ilusi se- mata. Setiap orang berhak mengatakan apa pun, tapi tidak semua orang bisa berpikir dengan jernih. Dengan demikian, memamg benar bahwa manusia itu pandai berkhayal, namun mereka tidak tahu tentang hal yang sesungguhnya. Antologi Cerpen Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia 89

Hari ini adalah pengulangan hari kemarin, tidak ada yang istimewa, bahkan boleh dikatakan sangat membosankan. Seperti biasa Ayah selalu lupa menjemputnya, entahlah, lupa atau memang disengaja. Tak terkecuali dengan pertengkaran antara kedua orang tuanya. Sungguh seperti sinetron yang lagi di tengah-tengah episode. Ya, di puncak permasalahan, mereka ber- tengkar sangat hebat kadang-kadang terjadi juga kekerasan fisik dalam pertengkaran itu. Ayah memukul Mama, menendang Mama dan seterusnya. Sungguh pemandangan yang sangat me- nyakitkan mata dan mengiris-iris ulu hatinya. Sampai-sampai malam itu mamaku tidak pulang ke rumah juga pada hari-hari selanjutnya. “Mendung!” gumam Ava sambil memandang langit. Ava mencari-cari mobil yang menjemputnya. Tapi sedari tadi tidak tampak mobil ayahnya. “Tik…tik…tik...tik….,” tetes air hujan semakin lama sema- kin deras terdengar. Ava menerobos rintik hujan untuk mencari tempat berteduh. Satu menit, lima menit, sepuluh menit, rasa bosan mulai menyelimutinya. Sesekali ia melirik keluar untuk melihat apakah hujan sudah berhenti. Di sana ia malah melihat angkot sedang lewat. Ava memutuskan untuk menaiki angkot daripada me- nunggu ayahnya yang tak tahu kapan datangnya. Selain itu, hari juga sudah mulai senja. Matahari pagi masih malu-malu untuk menampakkan diri. Hanya terlihat semburat kekuningan di ufuk timur. Ava mencoba bangun. Ia merasakan kepalanya berkunang-kunang. Tubuhku ringkih sekali, hanya karena kehujanan kemarin harus seperti ini. Tiba-tiba ada tetesan cair berwarna merah yang keluar me- lalui hidungnya. Ava menyeka hidungnya dengan tisu. Darah.. darah itu lagi. Buru-buru dia buang tisu itu ke bak sampah. Ava tidak tahu kenapa dia selalu mimisan. Saat tubuh ringkihnya berontak, dia pasti datang lagi. Penyakitkah itu? Ava 90 Tali Surga

tidak tahu. Kau pikir, dengan segala materi yang Ava punya, dia akan berobat ke dokter. Lagi pula tak ada gunanya dia pergi ke sana. Toh, tak ada yang mempedulikannya. Ava membuang tisu untuk kesekian kalinya karena darah tak mau berhenti. “Tok…tok..tok...,” suara pintu kamar diketuk. “Non, kenapa dari tadi belum keluar dari kamar, mau be- rangkat ke sekolah tidak?” Suara bibi di depan pintu kamar. Ava membukakan pintu, bibinya kemudian bertanya kembali menanyakan apakah Ava mau berangkat sekolah atau tidak, karena waktunya juga sudah tidak memungkinkan. “Loh, Non sakit? Kenapa hidung Non berdarah, baju Non juga kotor kena darah?” Tanya bibi khawatir. Ava tidak menjawab pertanyaan bibinya, sebaliknya ia malah menanyakan keberadaan ayahnya, apakah sudah berangkat ke kantor atau belum. Ternyata ayah Ava tidak berangkat ke kantor, dia sedang mengemasi baju-bajunya di kamar. Siang nanti ayahnya akan pergi ke luar kota untuk urusan kantor, mungkin untuk beberapa hari. Dia tidak menanyakan kenapa hari ini anaknya tidak be- rangkat sekolah, bahkan tidak memperhatikan Ava yang sedang berdiri di depan pintu kamarnya. Kemudian dia hanya berpamit- an pada Ava kalau dia akan pergi ke Surabaya untuk beberapa hari. Setelah Ayah pergi, Ava kembali masuk ke kamar untuk sekadar berbaring karena kepalanya masih terasa pusing. Ke- mudian Ava mengambil buku diary yang biasanya ia tulisi setiap hari. Kali ini Ava menuliskan tentang kejadian yang ia alami pagi ini. Hampir sama isinya dengan yang kemarin-kemarin, yaitu tentang keluarganya. Entah sudah berapa kali Ava mem- buat surat semacam itu dalam diary-nya Sudah berhari-hari Ava terisolasi dengan dunia luar. Ava tidak pergi ke sekolah karena sakit. Rasa bosan pun mengham- pirinya, ingin sekali rasanya ke sekolah bertemu teman-teman- nya, dan bercerita tentang semua hari-harinya kepada sahabat- Antologi Cerpen Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia 91

nya, Kanya. Kanya adalah salah satu dari sekian teman yang bisa Ava percaya, selain juga sebagai motivator. Bila berada di dekatnya, Ava selalu merasa betah dan tak ingin jauh-jauh dari- nya. Semua itu karena kemurahan hati Kanya yang mau men- dengarkan curahan hatinya, dan selalu memberi Ava motivasi. Dia juga mampu menjaga rahasia masalah keluarga Ava. Ava memutuskan untuk menelepon Kanya. Ava berjalan gontai keluar kamar menuju telepon rumah yang ada di ruang tengah. Kemudian ia mengambil gagang telepon, segera ia pen- cet nomor telepon Kanya. Akan tetapi Ava tiba-tiba berhenti me- mencet nomor telepon itu, karena dia teringat bahwa jam itu adalah jam pelajaran di sekolah. Maka dia kembalikan lagi ga- gang telepon itu ke tempatnya dan dia putuskan untuk mene- lepon saat jam pulang sekolah nanti. Ava mengajak Kanya untuk bermain di taman dekat kom- pleks rumah Ava. Saat ia mengambil sepeda di garasi ia bertemu dangan mamanya yang sudah beberapa hari tidak pulang. Ava menanyakan di mana keberadaan mamanya pada waktu itu, na- mun mama Ava dia tak menjawab, mungkin dia masih lelah dan sedang sibuk mengambil barang bawaannya yang ada di mobil. Mama kemudian memanggil bibi untuk membawakan semua itu ke dalam rumah. Setelah selesai membereskan barang bawa- an itu Ava berpamitan akan pergi bermain dengan Kanya. Saat beberapa langkah keluar dari garasi sambil mendorong sepeda- nya, mamanya memanggil Ava, Ava senang sekali akhirnya Mama mau memanggilnya. Dia menanyakan kenapa Ava sudah hampir seminggu tidak berangkat ke sekolah. Kemudian Ava berpikir siapa yang memberitahu Ayah kalau Ava tidak berang- kat ke sekolah karena sakit, ah mungkin bibinya. “Ava, ditanya Mama, kok, malah diam,” teriak Mama. “Eh…ehh gapapa, kok, Ma, biasalah hanya sakit kumatan,” jawab Ava terbata-bata karena kaget. “Gapapa kok sampai tidak berangkat sekolah berhari-hari. Nanti Eva Mama bawa ke rumah sakit, ya?” 92 Tali Surga

“Tidak perlu, Ma. Ava cuma sakit biasa, kok, kepala pusing dan masuk angin biasa. Maklum kumatnya saat pagi-pagi, jadi Ava sering tidak bisa masuk sekolah,” jawab Ava menutupi keadaan sakitnya. Ava tidak ingin merepotkan mamanya. Setelah selesai ber- cakap-cakap, Ava segera mengayuh sepedanya menuju ke taman. Ava memaksakan diri untuk ke sana meskipun kepalanya masih terasa sakit. Ava buru-buru ke sana karena dia takut Kanya me- nunggu terlalu lama. Ava juga tidak lupa membawa buku diary kesayangannya. Sampai di taman Ava mencari Kanya. Tidak samapi lima menit, Ava menemukan Kanya berada di bawah pohon beringin, tempat biasa Ava dan Kanya menikmati pemandangan. Ava me- minta maaf karena dia datang terlambat. Mereka berdua sangat menikmati suasana, sampai lupa jika hari sudah mulai petang. Orang-orang yang berada di taman itu satu per satu pergi. Tinggal mereka berdua. Mereka bercanda tawa, sungguh bahagianya mereka melepas rindu satu sama lain di taman itu. Setelah panjang lebar Ava bercerita kepada Kanya, tiba-tiba pandangannya mulai berkunang-kunang dan darah kembali me- ngalir dari hidungnya. Kanya berteriak-teriak histeris mem- bangunkan Ava. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ta- man, taman yang akan ia tinggalkan. Ava memejamkan mata, ia rasakan damai saat matanya tertutup. Ava tersenyum menutup mata, dan tertidur. Tertidur untuk selamanya… *** Desember kelabu… Semua orang tampak bersedih, berusaha menahan tangis. Satu per satu orang-orang berpakaian hitam-hitam meninggalkan tempat itu. Tak lupa mereka memeluk dua orang yang sepertinya sangat terpukul, hingga akhirnya semua telah pulang, hanya ting- gal Kanya di sana. Kanya menggenggam sebuah buku diary milik Ava. Dia menghampiri wanita dan laki-laki itu dan menyerahkan Antologi Cerpen Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia 93

diary. Tampak laki-laki itu membuka buku diary milik Ava dan membaca halaman terakhir yang telah ditulis rapi oleh Ava. Rabu, 9 Desember “Untuk Ayah dan Mamaku tercinta. Seribu kata maaf kuucapkan untukmu. Maaf, jika aku pernah berbuat salah. Maaf, jika aku belum pernah membuat kalian bahagia. Maaf, jika aku menyembunyikan penya- kitku dari kalian, aku tidak mau merepotkan kalian. Aku ingin kalian seperti dulu, utuh tidak ada cekcok mulut, entah tentang masalah apa yang akan membuyarkan kepalaku. Itu semua hanya membuat hatiku tersayat-sayat dan membuat penyakitku kumat. Aku tak butuh semua barang-barang itu aku hanya ingin perhatian dari kalian, seperti anak seusiaku kebanyakan. Bisa bermain ke sana kemari bersama keluarganya yang harmonis. Meskipun kalian sibuk, namun setidaknya ada waktu untukku cukup hanya beberapa menit dalam hariku mungkin aku sudah sangat bahagia. Namun, aku tetap bersyukur, aku masih mempunyai kalian. Tuhan memang adil, aku yakin kita akan kembali bersatu kelak nanti. Tuhan tidak akan memberikan cobaan melampaui batas kemampu- an hambanya, di sini pasti ada jalan keluarnya. Akan kujalani kehidupan ini dengan perasaan yang nyaman. Dan aku akan terus berusaha agar kita akan kembali bersatu…” Salam sayang Ava *** Puteri Bunga Gupita. Biasa dipanggil Puteri. Lahir di Sleman, 19 April 2001. Saat ini tercatat sebagai pelajar di kelas X, SMA Negeri 1 Seyegan. Hobi: membaca dan menulis cerpen. Ia juga gemar menghafal nama- nama kereta api dan mengoleksi foto kereta api. Alamat sekolah: Tegal Gentan, Margoagung, Seyegan, Sleman. Alamat rumah: Semingin, Sumbersari, Moyudan, Sleman, Yogyakarta. Moto hidup: “Not today but the future”. Info lebih lanjut bisa menghubungi nomor HP/WA: 083838450445; 085868799776. 94 Tali Surga

Sahabat Sejati Siti Hasna Farhataini SMA Negeri 1 Kalasan [email protected] Pakaian modis, selalu mengikuti tren, aktif di media sosial, dan menjadi idaman semua orang, itulah Viona! Tak ada satu pun orang yang tidak ingin berteman dengannya. Hampir semua siswa sekolah tak ada yang tak mengenalnya, kalau pun ada, bisa dihitung dengan jari. Yaps! Viona memang terkenal di ling- kungan sekolahnya. Bahkan sejak kecil Viona banyak disenangi oleh teman-temannya karena sikap ramah dan sikap baiknya. Setiap hari waktunya dihabiskan untuk kegiatan bersama dengan teman-temannya. Namun, Viona tidak merasa terbebani dengan itu semua. Dia merasa sebagai orang yang paling ber- untung dibandingkan dengan teman-teman lainnya, karena bisa memiliki begitu banyak teman di sekolah dan lingkungan sekitar- nya. “Test... test… mohon perhatian sebentar,” terdengar suara agak sedikit parau dari arah pojok atas kelas. Semua pandangan mata langsung tertuju ke arah alat pengeras di pojok kelas, ter- masuk Viona. Selang beberapa detik kemudian suara itu muncul kembali, “Pengumuman! Ditujukan kepada seluruh siswa kelas X, XI, dan XII bahwa besok pelajaran hanya sampai jam ke-4, karena besok akan diadakan peringatan hari sahabat nasional, setiap orang diwajibkan mengikuti kegiatan yang ada, dan setiap orang wajib membawa tiga buah kado untuk diberikan kepada tiga sahabat terbaiknya, terima kasih.” Antologi Cerpen Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia 95

Tanpa memedulikan guru yang sedang mengajar di kelas, semua siswa spontan berteriak gembira. Viona dan teman-teman- nya mulai memikirkan kado apa yang akan diberikan kepada sahabatnya. Viona membayangkan akan mendapat kado paling banyak dari teman-temannya. “Hmmm, kira-kira hadiah apa, ya, yang harus aku berikan kepada sahabatku,” Viona bergumam sambil membayangkan betapa serunya acara besok. Pulang sekolah Viona pergi ke toko untuk mencari kado. Setelah berjam-jam berkeliling keluar masuk toko, akhirnya Viona menemukan juga kado yang diinginkannya. *** Udara dingin terasa menusuk di sel sel kulit, burung-burung berkicau di atas langit yang biru. Pohon-pohon yang rindang di seputar halaman membuat suasana terasa sejuk. Dedaunan yang sudah menguning satuper satu mulai melepaskan diri dari ran- ting. Gambar-gambar berisi pesan moral yang tertempel di setiap sudut dinding halaman sekolah membuat halaman tampak se- makin berwarna. Bunga-bunga mulai bermekaran, menghiasi halaman. Suasana pagi yang hening perlahan-lahan menjadi berisik karena suara mesin motor mulai berdatangan memasuki halaman sekolah. Halaman itu berlapiskan semen tebal berbentuk persegi panjang berukuran besar yang diberi sedikit polesan garis dan warna sehingga menjadi bentuk lapangan basket yang indah. Tiang-tiang tinggi berwarna putih berdiri di pojok kanan dan kiri lapangan basket. Berbagai aktivitas sekolah dilakukan di halaman ini. Di sudut kiri arah pandanganku terdapat bangunan yang tinggi. Bangunan itu sangat tidak asing lagi. Bangunan bercat putih dengan pagar yang terbuat dari besi yang juga dicat dengan warna putih. Ya, bangunan itu adalah bangunan sekolahku. Di bagian atas bangunan terdapat sebuah tulisan besar berwarna biru yang menempel pada dinding banguan, tulisan itu adalah nama sekolahku. 96 Tali Surga

Pagi ini langkah Viona terasa lebih ringan dibandingkan hari-hari biasanya saat pergi ke sekolah. Yaps! Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu Viona, bahkan mungkin bagi semua siswa. Hari ini adalah hari sahabat nasional. Semua siswa sibuk membawa barang-barang yang akan digunakan untuk kegiatan nanti, termasuk sibuk membawa kado spesial untuk para saha- batnya. Begitu pula dengan Viona, dia telah mempersiapkan sesuatu yang spesial untuk diberikan kepada sahabatnya. Pelajaran pertama hari ini adalah matematika. Putaran jarum jam terasa sangat lama bagi Viona, sehingga ia merasa bosan. Viona lalu minta izin keluar untuk pergi ke kamar mandi. Lang- kahnya terhenti ketika melihat suasana halaman sekolah berbeda dari biasanya. Panitia mulai mendekor semuanya sebagus mung- kin untuk acara yang akan diselenggarakan pukul 10.15 nanti. “Kring...kring...kring.....” tanda pelajaran keempat selesai. Itu berarti tanda acara akan segera dimulai. Satu per satu para siswa mulai berdatangan ke halaman sekolah dengan membawa kotak yang spesial. Semua orang bersenang-senang, menggam- bar, melukis, dan memberikan hadiah. Sampai di puncak acara, yaitu setiap siswa harus membawa tiga hadiah untuk diberikan kepada tiga siswa yang dianggap sebagai temannya. Viona menikmati tugas memilih tiga dari semua lusinan temannya. Dia menyerahkan satu per satu hadiah yang berbentuk kotak yang berlapiskan kertas kado yang ber- gambar dua sahabat sedang bergandengan dengan tambahan pita di atasnya kepada tiga teman pilihannya. Semua siswa ter- alihkan pandangannya ke arah Viona. Viona yang merasa sedang diperhatikan oleh banyak orang segera mengalihkan pandang- annya ke kado yang dia bawa. Kadonya kini tinggal satu. Tanpa berpikir panjang lagi dia segera menyerahkan kado tersebut ke salah satu temannya. Kini tinggal giliran Viona menunggu untuk menerima hadiah dari teman-temannya. Viona duduk sambil menyilangkan kakinya di bangku halaman sekolah. Dia mulai penasaran dengan hadiah apa yang kira kira akan diterimanya. Antologi Cerpen Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia 97

Namun, saat semua hadiah telah dibagikan, Viona adalah satu-satunya siswa yang belum menerima hadiah! Dia merasa malu dan menangis hingga berjam-jam. Bagaimana mungkin? Begitu banyak usaha yang telah dilakukannya selama ini untuk mendapatkan banyak teman, tetapi akhirnya tidak ada satu teman pun yang menganggap Viona sebagai teman mereka. Banyak orang yang datang dan mencoba menghiburnya untuk sementara waktu. Tapi mereka hanya tinggal sebentar lalu pergi meninggal- kannya. Dia menyadari bahwa dia mungkin adalah teman dan kenalan yang baik, tetapi dia bukan teman sejati bagi siapa pun. Dia telah mencoba untuk tidak berdebat dengan siapa pun, dia telah berusaha memperhatikan semua orang, tapi sekarang dia tahu bahwa itu tidak cukup untuk menciptakan persahabatan sejati. Ketika sampai di rumah, Viona bertanya kepada ibunya di mana dia bisa menemukan teman sejati. “Viona, sayangku,” jawab ibunya, “Kamu tidak bisa membeli teman sejati hanya dengan memberikan senyuman atau beberapa kata bagus. Jika kamu benar-benar menginginkan teman sejati, kamu harus memberikan mereka waktu dan kasih sayang yang nyata. Untuk bisa menjadi teman sejati kamu harus selalu ada, baik pada saat suka maupun duka.” “Tapi aku ingin menjadi teman bagi semua orang!” protes Viona. “Sayangku, engkau gadis yang baik,” kata ibunya, “Tapi kamu tidak bisa menjadi teman dekat bagi semua orang. Tidak akan cukup waktumu jika harus berbagi dengan semua orang, jadi mungkin hanya akan ada beberapa teman sejati. Yang lain akan menjadi teman bermain atau kenalan, tapi mereka bukan sebagai teman dekat.” Mendengar ini, Viona memutuskan untuk mengubah cara- nya agar dia bisa memiliki beberapa teman sejati. Malam itu, di tempat tidur, dia memikirkan apa yang bisa dia lakukan untuk mendapatkannya. 98 Tali Surga

Dia memikirkan ibunya, ibunya yang selalu membantunya, menghadapi semua kesulitan Viona, dan selalu memaafkannya. Viona sangat mencintai ibunya. Seperti itulah teman sejati! Viona tersenyum, menyadari bahwa dia sudah memiliki teman terbaik yang diinginkan siapa pun. *** Siti Hasna Farhataini, biasa di panggil “Hasna”. Lahir di Sleman, 27 Juli 2000. Saat ini tercatat sebagai pelajar di SMA Negeri 1 Kalasan. Hobi: membaca novel, bermain basket, dan travelling. Ia juga mem- punyai kegemaran unik, yaitu mengoleksi gelang. Alamat sekolah: Bogem, Tamanmartani, Kalasan, Sleman. Alamat rumah: Kadisono, Tegaltirto, Berbah, Sleman. Info lebih lanjut bisa menghubungi nomor HP/WA 085743085220 atau instagram @nhasna_ . Antologi Cerpen Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia 99

Hutan Ajaib Noer Shabrina Ramadhanty SMA Negeri 1 Kalasan [email protected] Aku keluar dari sebuah bangunan klasik yang sangat indah di tengah-tengah hutan. Aku berjalan menuju titik keramaian, melihat orang-orang sedang beraktivitas dengan wajah penuh dengan pancaran kebahagiaan. Aku berjalan ke sana kemari la- yaknya orang yang sedang linglung. Ini adalah sebuah pedesaan yang sebelumnya belum pernah kukunjungi. Terlihat wajah orang-orang asing di mataku. Hingga aku bertemu dengan se- orang gadis berparas cantik yang berjalan membawa keranjang pakaian sambil menari dan bernyanyi. Kuikuti gadis itu. Gadis yang sangat cantik dengan gaun berwarna putih yang dikenakan dan pita merah yang disematkan pada rambut panjangnya. Gadis cantik ini terus berjalan menari- nari menuju ke sebuah sumur yang besar. Sumur ini tampak sangat ramai. Banyak gadis-gadis yang datang kemari dengan membawa keranjang pakaian. Ya, tempat ini adalah tempat yang biasa digunakan warga pedesaan untuk mencuci. Mereka di- bantu oleh seekor keledai yang berputar mengelilingi sumur, seolah-olah keledai ini berfungsi seperti mesin cuci. Setelah selesai mencuci, gadis cantik ini pergi meninggalkan sumur dan menjemur pakaiannya di tanah lapang. Ia menjepitkan setiap pakaian pada tali penjemur agar tidak berterbangan. Kemu- dian ia duduk di bawah pohon bersama anak-anak kecil untuk 100 Tali Surga

menunggu pakaiannya kering. Beberapa tetesan keringat mengu- cur di wajahnya membuat ia terlihat semakin cantik. Kuikuti terus ke mana gadis ini akan pergi. Ia pergi ke salah satu rumah sederhana yang berada di bawah bukit. Rumah se- derhana ini adalah rumahnya. Sederhana tetapi terlihat sangat indah. Terdapat taman bunga berukuran mini di depan rumah- nya dihiasi dengan bunga berwarna-warni yang sedang ber- mekaran. Ia tinggal bersama dengan ayahnya tanpa ibunya. Gadis cantik ini tampak sangat dibenci oleh tetangganya karena gadis ini sering mengajarkan membaca dan menulis pada anak-anak kecil padahal orang-orang di sini beranggapan bahwa membaca itu adalah suatu hal yang salah dan tidak berguna. Sehari-hari ia menghabiskan waktunya sendirian tanpa seorang teman yang mau bermain dengannya. Kali ini ia sedang duduk di depan rumah sambil memakan buah apel dan membaca buku. Ingin kudekati gadis cantik ini, tetapi aku tidak memiliki keberanian. Aku memperhatikan gadis itu di seberang rumahnya dengan diam-diam. Angin yang berhembus sepoi-sepoi membuatku sadar bahwa aku memijakkan kaki tepat di sebuah kandang ayam. Tercium bau kotoran yang sangat menusuk di hidung. Dan bulu-bulu- bulu ayam ini berterbangan mengganggu. Hingga akhirnya…. “Hacihhhhh.” Tak sengaja aku bersin dan mengeluarkan suara. Sontak gadis itu berdiri dan langsung keluar dari rumah. Ia melihat ke kanan dan ke kiri. Aku takut jika ketahuan, kemudian aku berlarian pergi untuk bersembunyi dan menghindar dari peng- lihatan si gadis ini, tetapi gadis itu malah mengejarku. Gadis itu berlari sangat cepat dan lincah membuatku kewalahan. Aku ber- larian melewati jalanan kecil yang berlumpur. Aku tidak tahu bahwa jalanan ini ternyata sangat licin. Akhirnya aku terjatuh, dan.… Aku membuka mata. Melihat keatas langit yang tertutup oleh dedaunan rimbun. Perlahan kukedipkan kedua bola mata Antologi Cerpen Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia 101

ini. Kutarik nafas dalam-dalam dan kuhempaskan pelan-pelan. Aku tersadar aku baru saja tertidur. Sudah hampir genap tiga bulan terakhir ini aku susah tidur. Mata ini sulit sekali untuk dipejamkan padahal aku merasa sangat lelah. Wajahku berubah menjadi pucat pasi dan kantung mataku tiap hari makin membesar. Sudah aku paksakan untuk tidur, tetapi selalu saja gagal. Aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada diriku ini. Tidak ada seorang pun yang tahu bahwa aku memiliki permasalahan seperti ini. Bahkan orang tuaku saja belum tahu. Karena aku bersikap biasa saja seolah tidak ada sesuatu yang terjadi. Saat ayam berkokok pagi-pagi tadi sebelum matahari terbit aku membuka pagar yang ada di depan rumah. Aku memang sudah berniat untuk pergi ke suatu tempat. Aku pergi ke sebuah hutan yang tidak jauh dari tempat tinggalku, yang berada di pinggiran kota dekat dengan pedesaan. Banyak orang yang bilang jika suasana di hutan ini sangat sunyi, tenang, dan damai. Aku mendapatkan ketenangan untuk beristirahat sejenak dan mungkin ini akan menjadi solusi terbaik untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang ada dalam diriku. Suara gemercik air dari sebuah sugai terdengar dan terasa sangat menyentuh hati. Kicuan burung pun juga terdengar bersahutan di atas pepohonan. Aku duduk di atas sebilah batang kayu di antara pepohonan. Kupejamkan mata sambil kurasakan betapa segarnya hawa di dalam hutan. Dan inilah yang mem- buatku tadi sempat tertidur dan bermimpi bertemu dengan se- orang gadis cantik. Berjam-jam sudah aku berada hutan ini, dari sebelum matahari terbit sampai sekarang sudah terbit dan memancarkan sinarnya hingga menembus dedaunan. Satu per satu daun berguguran meninggalkan tangkainya. Terbang ke sana dan kemari mengikuti arahan angin yang sangat bersahabat. Dilengkapi dengan beberapa kupu-kupu yang ter- bang berlalu lalang. Sungguh pemandangan yang bagus. 102 Tali Surga

Ini adalah hal yang paling kunantikan. Akhirnya aku bisa merasakan rasanya tidur dengan tenang tanpa terbangun walau hanya sebentar. Seharusnya dari dulu aku datang ke sini saja jika aku stress tidak bisa tidur. Kurasa sudah cukup, aku segera balik ke rumah. Kuambil salah satu handuk tanpa motif yang terjemur di atas jemuran. Dan aku bergegas ke kamar mandi untuk member- sihkan badan. Segar sekali rasanya. Air ini sangat segar mengucur dari sebuah gagang shower dan membasahi seluruh tubuhku. Setelah mandi aku merasa ada yang kurang. Aku belum makan sama sekali dari tadi pagi. Pantas saja perutku menge- luarkan nyayian. Kemudian kubuka tudung saji berwarna hijau di atas meja makan. Setelah kubuka, hanya ada secarik kertas tanpa ada satu pun makanan yang tersedia. Kertas ini berisikan pesan bahwa Ibu sedang ada keperluan lain jadi Ibu tidak sempat memasakkan aku sebuah makanan. Alhasil aku mengambil beberapa bahan makanan dari kulkas dan aku memasaknya. Sebelumnya aku belum pernah memasak sama sekali. Aku sebenarnya tidak bisa membedakan bumbu- bumbu. Dengan modal nekat saja, terpaksa daripada aku mati kelaparan, aku mencobanya. Yeee..., sayur sop a la-a la akhirnya jadi. Tampilannya tidak terlalu buruk, tetapi setelah kucicipi, ter- nyata rasanya seperti sampah. Oh tidak, sepertinya aku salah memilih bumbu-bumbunya. Daripada perutku sakit, akhirnya aku menyeduh mie instan dan kunikmati di teras rumah. Sambil aku menikmati makanan ini terpikirkan kejadian tadi pagi saat aku tertidur. Gadis dalam mimpi tadi sangat cantik bak bidadari. Wajahnya senyumannya terbayang-bayang di otakku ini. Hari semakin gelap. Tanda waktu sudah berganti. Ibu belum juga pulang. Aku menyalakan TV kemudian kutonton sambil menunggu Ibu datang. Semua acara TV terlihat sangat mem- bosankan. Aku mencari kesibukan lainnya. Kurogoh laci di bawah meja, hanya ada koran minggu lalu. Sungguh sangat mem- Antologi Cerpen Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia 103

bosankan. Aku menguap terus-menerus tetapi tidak bisa tidur. Sudah kucoba memejamkan mata, tetapi lagi dan lagi penyakitku ini datang lagi. Apa aku harus datang ke hutan itu lagi supaya bisa tidur? Hari ini aku sungguh sangat lelah. Ingin sekali tidur. Tetapi, tetap saja mataku tidak bersahabat dengan otakku. Seperti biasanya, pagi ini aku harus berangkat ke sekolah dengan mata sayu dan wajah yang tidak segar. Aku berjalan ke halte bus, berharap bus yang akan mengantarkan aku ke sekolah datang tidak lama karena aku sudah sangat lelah. Aku meman- dangi jalanan yang sudah terlihat ramai. Banyak orang dengan keperluannya masing-masing berpergian. Jalanan itu terdengar bising, banyak kendaraan bermotor mulai melintas berlalu lalang. Sayang, bus ini tidak berhenti di depan gerbang sekolah, jadi aku harus berjalan beberpa meter. Rasa malas untuk berse- kolah mulai menyerang pikiranku. Aku ingin membalikkan ba- dan dan pergi mencari ketenangan lagi, tetapi pasti aku akan dimarahi Ibu. Saat jam pelajaran telah berakhir aku mengemasi barang- barangku yang berserakan di atas meja. Kupakai sweater ber- warna marun ini, kugendong tas ransel di pundak, dan aku ber- gegas pergi. Kali ini aku tidak akan langsung pulang ke rumah. Aku akan pergi ke hutan. Berharap akan bisa melepaskan lelah yang aku pikul. Beda dari sebelumnya, hutan ini tertutup kabut yang luma- yan tebal. Tidak ada suara kicauan burung dan sinar matahari yang masuk melalui sela-sela dedaunan. Hanya ada beberapa petani karet yang masuk ke dalam hutan. Mereka terlihat me- makai pakaian yang berlapis-lapis dengan membawa bakul yang diikatkan di atas pundaknya. Masa bodoh. Aku tidak peduli dan aku tetap akan masuk ke dalam hutan ini walaupun sebe- narnya udara di sini terasa menusuk sampai ke lapisan terdalam kulit. Kuletakkan tas di ujung batang kayu. Tas ransel yang kugen- dong akan kugunakan sebagai bantal. Hmm..., rasanya sangat 104 Tali Surga

nyaman walaupun batang kayu ini terasa sangat keras dan dingin. Kedua tanganku kusedekapkan di dada untuk menahan dinginnya udara. Kupejamkan kedua mataku ditemani dengan desiran angin yang menambah kesyahduan. Beberapa pohon di hutan telah ditebang oleh seorang gadis dengan tudung cokelat di kepalanya. Ia membawa sebuah kapak dan disebelahnya ada sebuah gergaji kayu. Perlahan aku men- dekat dengan gadis itu. Kulangkahkan kakiku dengan sangat berhati-hati supaya tidak menimbulkan suara. Belum sampai di dekat gadis itu, tiba-tiba ia menoleh ke belakang. Aku langsung menunduk ke bawah berpura-pura se- dang mengikat tali sepatu. “Huh..., untung saja tidak ketahuan.” Aku berkata dalam hati. Kuperhatikan dengan jeli. Sepertinya gadis itu mirip dengan gadis yang pernah menggunakan gaun putih dan pita merah. Raut wajahnya sama persis. Kuikuti gadis ini dan ia pulang ke rumah sederhana di bawah bukit. Sama dengan gadis bergaun merah. Gadis itu kemudian pergi membawa batang-batang kayunya yang sudah ia dapatkan. Ia pergi ke belakang rumahnya. Di belakang rumahnya terdapat satu pohon besar yang tinggi men- julang. Sepertinya kali ini ia akan membuat sebuah rumah pohon. Ia memulai memasang potongan kayu dari bawah untuk mem- buat tangga. Terlihat kantong berisi paku di tangan kirinya, se- dang tangan kanannya membawa sebuah palu. Perlahan tapi pasti akhirnya tangga itu sudah terbentuk. Setelah tangga terbentuk, ia mulai membuat bagian utama- nya. Ia menyusun kayu untuk bagian utamanya di bawah, kemu- dian ia kerek ke atas menggunakan tali tambang. Saat bagian utamanya sudah ada di atas, ia langsung menyambungkannya dengan batang pohon menggunakan paku. Gadis ini sangat terampil dan cerdas. Dan akhirnya rumah pohon yang ia buat sudah jadi. Ia tersenyum melihat hasil kerja kerasnya untuk membuat rumah pohon ini berhasil. Antologi Cerpen Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia 105

Aku hanya memperhatikan gadis ini dari kejauhan karena aku tidak ingin gadis ini terganggu dengan keberadaanku lagi. Setelah selesai membangun rumah pohon tersebut, ia pergi ma- suk ke dalam rumahnya. Aku juga langsung pergi meninggal- kan gadis itu. Mataku terbuka dan semua yang ada di depan mataku sangat gelap. Hanya bulan satu-satunya yang terlihat ditemani suara burung hantu yang membuat suasana semakin menakutkan. Aku tersadar bahwa aku sedang berada di dalam hutan. Dengan cepat aku mengambil tas kemudian aku lari pergi me- ninggalkan hutan ini menggunakan senter dari ponselku. Aku takut sekali jika ada binatang buas di sekitarku. Tidak ada orang sama sekali di sini. Mungkin hanya aku satu-satunya orang yang berada di sini. Sudah dua kali setiap aku pergi mendatangi hutan itu aku selalu tertidur dan anehnya setiap aku tertidur di dalam hutan aku selalu mendapatkan mimpi bertemu dengan orang yang sama. Apakah ini sebuah kebetulan atau nyata adanya? Kebetulan besok ini adalah tanggal merah. Jadi aku tidak masuk sekolah. Aku berencana untuk mendatangi hutan tersebut dan mengulang tidur di sana. Aku ingin membuktikan sebenar- nya apa yang terjadi dan apakah itu benar-benar ada atau tidak. Langit sudah mulai terlihat terang. Aku segera bersiap-siap pergi ke hutan. Jalanan di luar rumah tampak basah, banyak genangan bekas hujan tadi malam. Beruntung cuaca pagi ini lumayan bagus, jadi aku tidak perlu khawatir. Sesampainya di hutan, aku melakukan hal yang sama seperti yang sudah-sudah. Aku kembali mencoba tidur dan berharap aku bisa menemukan jawaban dari kejanggalan-kejanggalan yang aku alami. Saat aku membuka mata, aku berada di dalam rumah pohon, tempat yang dibangun oleh gadis cantik kemarin. Kemudian, ketika aku ingin turun dan pergi dari rumah pohon ini, datanglah gadis cantik itu. 106 Tali Surga

“Ini minumnya,” kata gadis itu. “Minum apa? Aku tidak meminta minum,” jawabku. “Tadi kamu ada di bawah pohon ini. Kamu tertidur. Aku sudah mencoba membangunkanmu tetapi kamu tidak bangun- bangun, jadi aku bawa kamu ke atas sini biar lebih aman.” Gadis itu berkata dengan lemah lembut. “Omong-omong, kamu siapa? Dan di mana rumahmu? Kamu terlihat asing,” tambah si gadis. Aku tidak menjawab apa-apa, tetapi kemudian gadis itu me- nebak dengan benar. Gadis itu berpendapat bahwa aku pasti sudah tertidur di dalam hutan sehingga aku bisa masuk ke dalam dunia ini. Ini memang benar-benar nyata adanya. Semua orang di da- lam bumi bisa masuk ke dalam dunia ini, tetapi hanya bisa di- masuki ketika kita tertidur di dalam hutan ajaib tersebut. Ke- tika kita terbangun, otomatis kita sudah keluar dari dalam dunia ajaib ini. Dan kejadian-kejadian yang sudah terjadi di dalam dunia ini tidak akan terlupakan walaupun orang bumi sudah keluar dari hutan ajaib. *** Noer Sabrina Ramadhanty. Biasa dipanggil Anty. Lahir di Purbalingga, 4 Januari 2000. Saat ini tercatat sebagai pelajar kelas XI, SMA Negeri 1 Kalasan, Alamat sekolah: Bogem, Tamanmartani, Kalasan, Sleman. Alamat rumah: Perum Bumi Avia Permai 78, Bayen, Purwomartani, Kalasan, Sleman. Info lebih lanjut bisa menghubungi nomor HP/WA 087839292898. Antologi Cerpen Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia 107

Simfoni yang Hilang Fika Cahayaning Putri SMA Negeri 1 Prambanan. Fikacahyaning [email protected] “Tik..., tok..., tik..., tok..., tik..., tok.” Dentingan jam bergerak secara konstan dipadukan dengan dinginnya udara pagi. Mega merah yang perlahan-lahan sirna berganti dengan seberkas cahaya yang menyilaukan mata. Hembusan angin lembut menggugurkan daun-daun tak berdosa. Kumeraba tak tahu arah hingga tanganku menjangkau alat bantu melihat yang disebut kacamata. Perlahan kunormalkan kembali mataku, segera menyingkir dari lilitan selimut yang membabi buta, dan beranjak dari kenyamanan kasur yang merajalela. Berat langkahku untuk memulai aktivitas di hari yang nampak ber- sahabat, ditambah hari ini adalah hari sekolahku mengadakan kunjungan ke Museum. Sejenak berpikir untuk kembali melan- jutkan mimpi-mimpi dan bergelut dengan kenyamanan. “Huffft....’’ Kutarik nafasku dalam-dalam. Aku pun mulai menuruni tangga secara perlahan namun pasti. “Tidak... (kaki kanan), iya... (kaki kiri), tidak... (kaki kanan), iya... (kaki kiri), tidak... (kaki kanan), iya... (kaki kiri), TIDAK (kaki kiri), uhhh..., mengapa anak tangga terakhir ini menyuruh- ku untuk tidak membolos,” desahku. Lucu memang, aku terbiasa menggunakan anak tangga yang menghubungkan kamarku dengan ruang keluarga untuk 108 Tali Surga

memutuskan sesuatu bila aku ragu dengan keputusannku. Sungguh sulit dipercaya, kebiasaanku ini muncul sedari usiaku 7 tahun. Saat itu Ayah memberiku dua pilihan, ingin dibelikan sepeda atau tamasya ke luar kota. Karena bingung aku pun me- nyuruh anak-anak tangga ini yang memutuskan. Beberapa menit kemudian, sesampainya di sekolah tampak segerombolan siswa-siswa mulai mengatur barisannya yang sepertinya sebentar lagi akan masuk bus. Aku berusaha berlari sekencang mungkin agar tidak ketinggalan bus. “Selamat pagi semua,” sapaku kepada teman-teman yang sepertinya sudah duduk manis di kursinya masing-masing. “Pagi juga, Vir, tumben telat?” tanya Laura. Aku hanya tersenyum sambil menepuk bahunya dan sepertinya dia mengerti jawaban dari gerak-gerikku, terlihat dari wajahnya yang mengangguk-angguk. Tak banyak percakap- an, bus mulai berjalan dan aku masih berusaha mencari kursi yang kosong. “Sepertinya hanya ada satu kursi yang tersisa di sana,” gu- mamku. Beberapa langkah sebelum aku menduduki kursi tersebut, seketika bus mengerem tiba-tiba. “Byur....” Habislah, minuman yang belum sempat kututup rapat akhirnya jatuh dan mebasahi baju yang dipakai Andrea. Semua teman-teman melihat ke arahku layaknya pemeran utama yang menghancurkan perannya sendiri. Wajahku berubah menjadi pucat, tubuhku terasa kaku, tela- pak tanganku sedingin bongkahan es, sedangkan Andrea sendiri tidak menampakkan ekspresi merah padamnya. “Mau sampai kapan berdiri terus?” tanya Andrea sambil membersihkan seragamnya menggunakan tisu. “Maafkan aku,” ucapku. Tanpa banyak bicara aku pun menempati kursi kosong yang kebetulan tepat di sebelahnya dan tentu saja suasana bus berubah Antologi Cerpen Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia 109

menjadi sunyi yang membuatku merasa canggung sampai akhir- nya suasana berubah seperti semula ketika bus kembali berjalan lagi. “Memang benar, harusnya aku membolos saja hari ini,” gumamku. Tak banyak kegiataan maupun pembicaraan di dalam bus. Karena jarak sekolah ke museum cukup jauh para siswa lebih memilih memanfaatkan waktunya untuk beristirahat sebelum memulai agenda yang begitu padat. Tepat waktu menunjukkan pukul 12.00. Tibalah kami di suatu tempat yang sedikit gelap karena dikelilingi oleh pepohonan yang rantingnya menjulur kemana-mana dan daunnya seolah merambat menutupi bangunan. Suasana sepi senyap dan aroma museum yang khas yang membuat aku ingin kembali pulang ke rumah. Sebelum memasuki Museum kami duduk di halaman depan unuk mendengarkan pemandu Museum menyampaikan pengan- tar materi dan tata krama selama berada di Museum. Lima belas menit berlalu. Rombongan dibagi menjadi de- lapan kelompok, yang masing-masing terdiri atas 4 sampai 5 orang. Namaku ada di kelompok terakhir diikuti dengan Silla, Tani, dan Andrea. Kami pun mulai menyusuri museum, menulis informasi yang dianggap penting, memotret beberapa benda yang dianggap menarik, dan sedikit berdiskusi sembari berjalan melihat benda- benda Museum. Karena terlalu asyik berdiskusi aku baru menya- dari bahwa jam tangan pemberian ayahku sepertinya jatuh saat menyusuri Museum. “Sil, sepertinya jam tanganku jatuh di halaman depan, aku izin kembali ke halaman bentar, ya,” pintaku. “Ya, udah, buruan dicari, kita tungguin kamu di sini ya,” jawabnya. “Oke, oke,” jelasku. “Hati-hati nanti tersesat,” ejeknya. 110 Tali Surga

Aku pun berlari kecil menuju halaman depan. Tampaknya jam tanganku benar-benar hilang. Kucari di setiap sudut, tapi tak kutemukan. Karena merasa putus asa aku dengan berat hati merelakan jam kesayangku dan kembali masuk ke Museum menyusul te- man-teman di dalam. Belum sampai 3 meter kuberjalan, aku berhenti sejenak menoleh kanan dan kiri. Entah hanya perasaanku atau memang nyata, aku merasa patung-patung ini sepertinya berubah posis tidak sama dengan posisi awal saat aku melihatnya. Aku ingat betul patung manusia purba yang membawa kapak itu seharus- nya berada di sudut timur dan patung-patung manusia purba yang nampaknya masuk dalam jenis Pithecantropus itu berada di ujung koridor. Tapi, mungkin itu semua hanya efek karena perasaan sedihku akibat jam tangan pemberian Ayah yang hilang entah ke mana. Aku pun melanjutkan langkahku untuk bertemu teman-teman. Di persimpangan aku kembali menghentikan lang- kahku. Sepertinya kali ini benar-benar nyata aku melihat bayang- an sosok pria yang sangat besar dari ujung sana. Karena rasa penasaran aku memberanikan diri menuju lorong sebelah selatan dan memaksa otot tanganku untuk membuka pintu biorama lima tersebut. “Krreeekkk....” Mulai kuayunkan perlahan gagang pintu, lalu kubuka perlahan pintu itu. “Plookk.” Sepertinya seseorang menepuk bahuku. Karena sangat gugup aku tak mampu menengok untuk melihat siapa orang yang be- raninya menepuk bahu Elvira Maharani Regret. “Beraniii, Viraaa, harus berani,” bisikku perlahan. Keringat mulai membasahi pelipisku bukan karena cuaca yang panas atau ruangan yang gerah, melainkan karena keta- kutanku. Aku mencoba membalikkan badan sambil menutup mata lalu berencana lari secepat dan sejauh mungkin pada hi- tungan ketiga. Antologi Cerpen Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia 111

Aku membalikkan badanku sembari mulai menghitung satu..., dua..., dan sekarang! Bukannya berlari cepat aku malah lari di tempat karena kerah bajuku ditarik oleh si sialan ini. “Kamu ke mana aja, tadi aku susul kamu ke halaman tapi kamunya gak ada?” Sepertinya aku mengenali suara ini. Secepat mungkin aku menghadap ke arahnya. “Huuft..., kamu ternyata,” tuturku. “Kenapa? Kaget, ya? Tadi aku sebenarnya mau manggil kamu, tapi takutnya suaraku menggema ke mana mana. Itulah sebabnya aku menahan untuk memanggilmu,” balasnya. Walaupun jantung ini masih berdebar, namun aku sedikit lega terrnyata yang kulihat tadi bukan siapa-siapa melainkan hanya bayangan Andrea yang mungkin tersorot cahaya sehingga nampak besar dan tinggi. Kami pun melanjutkan perjalanan. “Vir, kamu ngerasa gak kalau dari tadi kita gak sampai- sampai? Kita udah jalan selama lima belas menit, nih.” “Ah, yang bener? Tahu sendiri, kan, museum ini besar banget?” Di tengah-tengah perjalanan tiba-tiba lampu ruangan sema- kin meredup dan seketika semua menjadi gelap gulita. Karena kami tak membawa alat penerang atau semacamnya, kami pun hanya mampu meraba dalam kegelapan yang mengakibatkan tersandung oleh benda-benda di sekitar. “Bruuukkk....” “Kamu gak papa, Vir?” tanya Andrea. “Iya, aku gak papa,” ucapku sedikit menutupi kesakitan. Dan perlahan cahaya nampak menyoroti. Cahaya masuk dari celah-celah dedaunan yang terkena hembusan angin yang mampu mengaktifkan kerja pupil mataku. Kumelihat ke seluruh penjuru, nampak pepohonan yang usianya cukup tua mengelilingiku. Kicauan burung yang me- lengking merdu seakan tahu akan kehadiranku di sini. Gesekan dedauan yang berirama membuatku terhanyut dalam alunan 112 Tali Surga

kesunyian. Ya, berharap Andrea juga menikmatinya, kuusikkan pandanganku menuju Andrea. Terlihat wajah Andrea yang sedikit kebingungan tanpa berkata apa-apa lagi. Jujur saja aku juga tidak mengerti dengan situasi dan kondisi ini. Yang kutahu aku terjatuh bersama Andrea karena tersandung sesuatu. Tak tahu apakah ini hanya sebuah mimpi, ilusi, atau imajinasi tak terkendali. Namun, mengapa semua ini nampak nyata dan benar adanya? Aku beranjak bangun dari posisiku. Aku mencoba me- mastikan dengan berkeliling di sekitar hutan, nampak terdapat gua-gua tua, kulit-kulit binatang buas yang berserakan, serta jejak kaki manusia yang mulai terkikis udara. Aku mulai meyakini bahwa ini adalah nyata bukan dari imajinasiku atau yang lainnya. Lalu aku mendekati Andrea yang nampaknya sedang member- sihkan bajunya dari debu-debu dan menyingkirkan dedaunan yang menyelimutinya. “Ndre, sepertinya kita berada di tempat yang berbeda, bu- kan di Museum lagi,” jelasku. “Iya, aku tahu, Vir, aku gak bisa berpikir jernih, aku gak bisa menggunakan logikaku untuk mengartikan semua ini.” “Terus kita harus gimana?” “Kita harus mencari jalan keluar, tapi sebaiknya kita harus mencari perkampungan untuk bersinggah sejenak sebelum hari semakin gelap.” Akhirnya kami memutuskan untuk menelusuri hutan men- cari persinggahan. Sudah tiga jam berjalan menelusuri hutan, namun kami tak menemukan tanda-tanda perkampungan. Akhirnya Andre me- nemukan jejak kaki baru yang terlihat jelas. Kami pun mengikuti jejak kaki tersebut sebagai petunjuk. Selang berapa lama jejak kaki mulai memudar bahkan terputus di antara semak-semak. Kami pun mulai putus asa hingga kami berhenti sejenak untuk beristirahat. Karena tempatnya sedikit kotor dan berair aku me- mutuskan untuk mencari daun yang sedikit lebar untuk menjadi alas duduk kami. Setelah berjalan sedikit ke arah utara, aku Antologi Cerpen Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia 113

menemukan semak berdaun lebar dan besar. Dengan perasaan sedikit senang kuambil daun tersebut dengan bertenaga. Sulit dipercaya, ternyata di balik daun lebar tersebut terlihat sebuah perkampungan yang sebenarnya tidak layak disebut perkam- pungan apalagi didukung dengan penduduknya yang sedikit aneh, mungkin makhluk prasejarah sejenis Pithecantropus, tarzan, suku dalam, atau bahkan makhluk primitif. Aku pun memanggil-manggil Andrea untuk menyuruhnya mendekat. Ia berlari dan bertanya, “Ada apa?” Aku menunjuk-nunjuk kampung tersebut, tanpa berkata apa pun. Ia langsung berlari ke arah perkampungan tersebut. Aku pun ikut menyusulnya dari belakang. Saat sampai di depan salah satu rumah, makhluk-makhluk tersebut keluar. Tak kusangka aku kini melihatnya dari jarak dekat. Mereka memiliki badan yang sangat besar dan tinggi, namun mereka sepertinya menaruh kecurigaan terhadap kami. Aku berharap mereka menerima ke- datangan kami. Tiba tiba dari arah timur keluar sebuah makhluk yang lebih besar dari pada makhluk-makhluk di depanku ini. Kalau boleh menebak aku yakin dia pasti semacam ketua suku di sini. Namun, sepertinya tak asing bagiku. Setelah kuperhati- kan kembali ia terlihat seperti makhluk tinggi besar yang kulihat di Museum pada waktu itu. “Buguu nagaa, aaggaa gaa sigaa ga magaa,” bisiknya. Sekarang ia terlihat membisikkan sesuatu kepada teman- temannya. Aku tak mengerti bahasa yang ia gunakan. Aku dan Andrea pun hanya menoleh satu sama lain dengan rasa pe- nasaran dan kebingungan. Lalu tiba-tiba makhluk di depan kami mempersilahkan kami untuk masuk ke dalam. Semua makhluk aneh tersebut sekarang terus memandangi kami masih dengan tatapan kecurigaan sehingga kami merasa tak nyaman bila harus diperhatikan seperti itu. Namun, kami harus tetap bertahan. Tidak tahu apa yang akan terjadi apabila kami tidak bisa menjaga tingkah laku kami 114 Tali Surga

di sini. Kemungkinan terburuk kami akan dibunuh lalu disantap atau hanya diusir dari wilayahnya. Aku berharap itu takkan terjadi. “Haruskah kita berkomunikasi dengan mereka, Ndra?” ta- nyaku. “Aku kira begitu, jika tidak kita tidak akan menemukan jalan keluar,” tuturnya. “Benar juga, ya,” bisikku. Aku pun membuat percakapan dengan mereka, diawali de- ngan pertanyaan. “Namamu siapa?” tanyaku sambil menyodorkan tangan. “Ugaa ga naaga saaagaa.” Mereka ikut menyodorkan tangan dengan muka bingung. “Sungguh ini berat bagiku. Aku tidak bisa berkomunikasi dengannya. Aku benar-benar tidak mengerti dengan bahasa- nya,” tuturku dalam benak. Lalu aku berikan ia sebuah snack yang kebetulan ada di kantung bajuku. Aku senang ia mengambilnya namun ia hanya membolak-balikkan snack dan memukul-mukulnya. Karena jengkel aku merebutnya dan memperlihatkan bagai- mana cara membuka bungkusnya. Sejenak ia termenung dan tiba-tiba ia bertepuk tangan seakan ia ingin mengatakan bahwa aku ini hebat kerena dapat membuka bungkus snack. Lalu aku mengajarkannya cara bersalaman dengan benar, cara menyapa orang, bahkan aku sudah memberi nama untuknya dengan sebutan Boni, nama bungkus snack yang barusan ia makan. Waktu aku menjelaskan bagaiman cara makan dengan benar tiba-tiba dari sudut sana terlihat makhluk-makhluk lain mengintip dan menatapku dengan muka penasaran. Mungkin mereka juga ingin bergabung bersamaku dan Boni. Aku pun mencoba memanggil makhluk-makhluk itu dengan melambaikan tangan. Mereka datang ke arahku dan Boni. Wajah mereka ter- lihat gembira, apalagi ketika mereka duduk bersama denganku di sini. Aku akhirnya memberi nama untuk mereka yaitu Mio, Omi, dan Ogi . Aku mengajari apa pun yang aku bisa, seperti Antologi Cerpen Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia 115

cara makan dengan menggunakan tangan kanan, cara menyisir rambut, cara mencuci muka, dan cara-cara lainnya. Walaupun aku harus menggunakan gerak tubuh dan harus memperagakan itu berulang-kali agar mereka mengerti, tetapi aku senang bisa berbagi dengan makhluk yang baru kukenal ini. Dari kejauhan juga tampak Andrea yang sedang berusaha mengajari mereka bercocok tanam. Aku sedikit geli melihatnya, seorang andrea yang cuek, dingin, dan manja mampu berorientasi dengan alam serta makhluk-makhluk di sini. “Ugaa gaa ugaa.” Omi berlari sambil menunjuk-nunjuk. Sepertinya Omi ingin mengajakku bermain dengan Boni, Mio, dan yang lainnya. Aku pun segera mengikuti langkah Omi, namun sepertinya Omi meng- ajakku terlalu jauh. Aku sangat capek berjalan dan memutuskan untuk berbalik pulang ke perkampungan. Saat mulai berjalan ke perkampungan tanganku ditarik. Omi menampakkan wajah sedih dan ingin agar aku berjalan bersama lagi menuju tempat tujuannya. “Baiklah, baiklah,” tuturku kesal. Akhirnya langkahku, Omi, Boni, dan yang lainnya terhenti di sebuah sungai dengan air terjun yang deras namun menyuguh- kan pemandangan yang indah. Mereka langsung berlarian terjun ke sungai. Melihat tingkah konyol mereka aku sampai tertawa terbahak-bahak hingga aku terjatuh juga ke sungai dan mereka berbalik menertawaiku. Kami bemain air bersama, bernyanyi, mencari-cari ikan. Aku dan Mio juga mencari batu-batu unik di dasar sungai. Dari jauh nampak sebuah batu biru yang berkilau, sangat cantik sekali. Ketika aku berusaha mengambilnya, tiba- tiba, “Byuurrr....” Omi melompat dari atas sehingga batu yang kuicar hilang entah ke mana. Aku sangat sedih karena batu sejenis itu mungkin akan sulit ditemukan lagi. Diam-diam Mio memperhatikanku dan menyadari jika aku bersedih karena batu incaranku hilang. Tiba-tiba Mio mendekati Omi dan memarahinya. Mereka pun 116 Tali Surga

bertengkar sangat sengit. Aku berusaha melerainya, namun mereka sangat kuat sampai-sampai aku terlempar jatuh ke sungai yang sedikit dalam. Aku pun ditolong oleh Boni untuk naik ke daratan. Aku sedikit lemas karena kaget. Melihat aku jatuh, Omi dan Mio merasa bersalah dan khawatir melihat kondisiku seka- rang. Namun, aku berusaha tetap tersenyum dan sebagai balasan atas kesalahan mereka berdua, aku menyuruhnya untuk akur kembali. Mereka pun tersenyum setuju. Karena sudah hampir larut, kami sepakat untuk pulang ke perkampungan. Sesampainya di perkampungan aku segera masuk tempat singgah yang biasa mereka sebut rumah itu. “Huuft, hari ini aku lelah sekali, Ndre,” keluhku. “Vir, berapa lama kita harus di sini? Aku belum menemukan tanda jalan keluar, gimana denganmu?” tanya Andrea. “Aku juga belum. Sabar dulu aja, lah, baru juga sehari,” jawabku. “Aku gak mau kita di sini selamanya.” “Tenang aja, pasti ada jalan keluar.” Tiga hari berlalu dan kini sudah hari ke empat kami berada di sini. Aku sudah sedikit terbiasa dengan bahasa yang mereka gunakan. Kegiatanku dan Andrea juga masih tetap sama, meng- ajari mereka hal-hal dasar yang mereka perlu tahu. Mereka sangat ceria dan begitu besemangat apalagi saat mendengar- kanku bernyanyi. Kami juga bermain bersama. Namun, aku dari tadi tidak melihat Omi. Ke mana perginya? Mungkin dia bermain. Tak terasa sudah lima hari kami disini. Tiba-tiba Boni men- datangiku dan memberitahu bahwa Kepala Suku memanggil kami. Aku dan Andrea dituntun Boni menuju rumah Kepala Suku. Setibanya di sana Kepala Suku memperlihatkan cermin yang setinggi 1,5 meter. Namun, ada yang aneh pada cermin itu, tidak nampak wajahku dan wajah Andrea melainkan hanya tampak bangunan Museum. Tiba-tiba kepala suku memberitahu bahwa ketika matahari terbit kami harus sudah masuk ke cermin ter- sebut, jika tidak kami akan terus di sini selamanya. Aku dan Antologi Cerpen Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia 117

Andrea pun menggangguk tanda mengerti dan segera kembali ke rumah. Seperti biasa malam ini sungguh sunyi dan senyap namun sedikit tentram. Tak ada polusi udara. Tak ada suara bising kendaraan. Hanya ada suara berisik jangkrik dan gemercik air sungai. Begitu nyaman sehingga aku mulai merasa ngantuk dan tertidur hingga suara jangkrik tidak terdengar lagi. “Vir, Vir, bangun, kita harus segera pergi dari sini.” “Iya. iya,” jawabku dengan malas. Aku dan Andrea pun keluar rumah. Di luar sudah terlihat Boni, Mio, Omi, dan yang lainnya berkumpul, serta Kepala Suku yang membawa cermin. Kepala Suku pun menyuruh kami men- dekat. Ia sepertinya ingin mengucapkan terima kasih kepada kami, disusul dengan Omi yang memberiku bingkisan sederhana yang isinya kalung yang dihiasi dengan batu biru cantik yang pernah kuincar. Omi berkata dengan bahasanya bahwa ia mencari batu tersebut selama seharian di sungai. Itu terlihat juga dari tangan- nya yang lecet terkena goresan batu-batu, dan ia mengatakan bahwa batu tersebut paling cantik di antara batu lainnya. Mio dan yang lainnya tertunduk haru. Andrea pun sepertinya terlihat ingin menangis. Aku dan Andrea pun memeluk mereka sebagai tanda perpisahan, lalu kami segera masuk ke cermin. Tiba-tiba Omi menarik tanganku seraya ingin berkata, “Jangan pergi, ja- ngan tinggalkan kami,” tapi Boni menyuruh Omi melepaskan tangannya dari tanganku. Dan tak terasa airmataku membanjiri pipiku. Aku dan Andrea pun segera masuk ke dalam cermin dan seketika kami sudah berada di Museum tempat kami awalnya terjatuh. Tiba-tiba tangisanku terpecah kembali saat melihat foto Boni, Mio, Omo, dan yang lainnya dengan keterangan yang bertuliskan: Foto diambil pada tahun 1946, sebelum pembantaian ter- hadap suku primitif yang terjadi di Hutan Flores. Andrea berusaha menenangkanku, namun aku tak sanggup membendung air mataku. Jika kalian bertanya bagaiman aku menemukanmu 118 Tali Surga

Jawabku, “Aku tidak tahu” Jika kalian bertanya bagaimana jika nanti aku merindukanmu Jawabku, “Aku hanya mampu membisu” Jika kalian bertanya satu tempat yang ingin aku tuju Aku bisa menjawabnya, “Tempat itu adalah duniamu” *** Fika Cahayaning Putri. Biasa dipanggi Fika. Lahir di Mataram, 2 Juni 2000. Saat ini tercatat sebagai pelajar di SMA Negeri 1 Prambanan. Hobi: mem- baca, berenang, dan mendengarkan musik. Alamat sekolah Madubaru, Madurejo, Prambanan, Sleman. Alamat rumah: Dusun Karang Gede, Sumberharjo, Prambanan. Info lebih lanjut bisa menghubungi nomor HP/WA: 089686036605. Antologi Cerpen Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia 119

Gian Rahmadivya Ersa Putri SMA Negeri 1 Tempel [email protected] Ketika pagi berganti malam dan matahari berganti bulan, aku masih setia berdiam diri duduk di atas kursi roda tua ini sambil menunggu kehadiranmu. Lima tahun sudah aku selalu merepotkanmu. Kau yang terlihat lelah selalu memancarkan senyum tulusmu di depanku seolah tak ingin kutahu bahwa kau lelah mengurusku. Kau berlari saat menghindari hujan dan berhati-hati saat banyak orang berlalu lalang. Dengan sabar kau dorong kursi rodaku penuh kehati-hatian. Jika terkadang roda pada alat bantu gerakku sering macet ataupun tak bisa digerak- kan sama sekali, kau raih tubuhku dan kau gendong aku di pung- gungmu. Jasamu selama ini tak bisa kugantikan dengan apa pun. Kau sosok penguat dalam diriku. Kau kaki keduaku. Kau adalah alasanku untuk tetap semangat menjalani kehidupan suram ini. Kau adalah lampu penerang keputusasaanku, Argian Putra. Ucapan terima kasih tidak akan bisa membalas semua ke- baikanmu selama ini untukku. Dulu aku adalah orang pertama yang paling senang menghujatmu. Orang yang berani menen- dangmu bahkan membuangmu seperti sampah. Ini bukan tak- dirmu. Bukan takdirmu bahwa kenyataan mengatakan jika kau bertahan karena kau memiliki perasaan terhadapku. Kau ber- tahan karena kau mencintaiku dalam diam. Kau tetap berdiri 120 Tali Surga

kokoh memandangku saat aku berteriak mengusirmu dari hadapanku. Kau selalu membuatku jijik karena kelakuan autismu. Kau tak mengatakan apa pun, seolah menyuruhku menebak teka- teki dalam dirimu yang sedang kau tunjukkan padaku. Aku bukan penebak yang baik, Gian. Kau salah mencintai gadis sepertiku. Kenapa kau tetap ber- tahan di sampingku walau aku sudah menghina dan membuang- mu? Kenapa kau tidak membalas kejahatanku? Kenapa sekarang kau adalah orang pertama dan telakhir yang rela mengurusku dan ada di dekatku saat semua orang menjauh? Hingga sekarang, aku menerima akibatnya. Aku merasa bahwa aku membutuh- kanmu. Membutuhkan semua yang ada pada dirimu. Ini terlihat seperti sebuah karma. Dulu aku membuangmu dengan tatapan jijik seolah aku adalah seorang yang terpandang. Sekarang? Aku tak beda jauh dari seorang pemulung. Seolah aku yang mencari sampah itu sekarang lalu memungutnya. Aku mencarimu untuk terus berada di dekatku, menemaniku, dan melindungiku dari kejahatan orang di luar sana. *** 7 Maret 2007 Enam tahun lalu, aku masih duduk di bangku kelas XI SMA. Sejak saat itu aku merasa aneh pada sosok Gian. Di sekolah aku termasuk tipe murid yang cukup aktif dalam berbagai kegiatan tambahan sekolah. Sewaktu itu aku masuk dalam ekstra musik. Di sana aku mengambil bagian vokal yang kebetulan itu juga ekstra yang Gian pilih. Tapi, dia memilih untuk mengambil bagi- an alat musik dan alat musik pilihannya jatuh pada gitar. Sejak saat itu aku mulai merasa bahwa seseorang diam-diam memperhatikanku dan aku cukup sadar akan hal itu. Dari bagian pojok ruangan, tempat Gian selalu menyudutkan diri dari yang lain, dia sering kepergok sedang memperhatikanku. Tatapan itu membuatku sangat risih hingga pada satu ke- sempatan aku menghampirinya. Antologi Cerpen Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia 121

“Stop memandangku! Kau sangat mengganggu dan aku tidak suka kau perhatikanku dari jauh!” ucapku kesal. Beruntung saat itu masih sepi karena aku datang lebih awal dan Gian juga selalu menghadiri ekstra ini 10 menit sebelum ekstra dimulai. Dia hanya menatapku dan tidak menjawabku. Aku meng- hentakkan kakiku kesal. “Berhenti menatapku seperti itu! Jangan cari masalah denganku! Dasar autis!” bentakku dengan penggunaan kata yang kasar. Tak Cuma itu, makin hari Gian sesekali mengikuti langkahku dari belakang atau kadang dia mengikutiku saat aku pulang. Aku tidak tahu apa maksud semua kelakuan psikopat yang dia tunjukkan padaku selama ini. Berulang kali aku selalu membentaknya dan mengusirnya untuk menjauh, tapi sepertinya perkataanku hanya dia anggap sebagai angin lewat. *** 3 Desember 2013 Sebuah tangan besar berada di atas tanganku yang kecil dan lemah. Tangan itu yang selalu mengajakku untuk berani menatap dunia luar dengan keadaanku yang cacat seperti ini. Dia benar-benar berhasil mengatur kehidupanku dan aku me- nikmatnya. Menikmati setiap hariku saat di dekatnya. Dia beng- ubah warna kehidupanku dalam sekejap. Dia pembuat warna itu hingga aku bisa menampakkan senyum termanisku di depan wajahnya dan hanya untuknya. Argian Putra namanya. Sosok pria tangguh yang berhasil memikat hatiku dengan semua kelakuan malaikatnya. Dia yang dulu selalu kuanggap sampah sampai kemudian kuanggap paling berharga. Roda kehidupan terus berputar. Perjuangan seorang pejuang tangguh tidak akan sia-sia bila niat awal membulatkan tekadnya agar terus meraih apa yang dia impikan dan dia berhasil me- raihku untuk ada di dekatnya. 122 Tali Surga

Dia tidak tampan juga tidak keren, apalagi kaya seperti impian para gadis jaman sekarang. Tapi, dia adalah sosok pria yang bertanggung jawab, penuh kasih sayang, mencintaiku apa adanya, dan pemegang janji yang baik. Seharusnya itu yang dibutuhkan para wanita di dunia ini. Fisik tak menjamin apa pun. Kenapa semua orang terlalu mencari sosok yang sempurna kalau pada intinya kita hanya membutuhkan sosok pendamping yang baik dunia akhirat? Tuhan sudah menghukumku dan membukakan mata hatiku hingga aku bisa menerima kehadiranmu di dekatku. Kau bagaikan nikotin yang membuatku tak bisa melepaskanmu. Aku selalu saja membutuhkanmu untuk menjalani kehidupanku. Kecelakaan itu merengut semuanya. Orang tua, teman, sahabatku, bahkan kehidupan sempurna yang sudah kurencana- kan. Lima tahun sudah aku menjadi yatim piatu karena kece- lakaan yang mengerikan itu. Titik di mana aku yakin tidak bisa melanjutkan kehidupanku. Kakiku harus diamputasi hingga membuatku menggunakan kursi roda ini. Dia datang sebagai malaikat penolongku dengan keadaan cemas dan terlihat tergesa-gesa. Ia menghampiriku. Rasa kha- watir terlihat jelas di wajahnya. Aku masih memandang dirinya dengan tatapan bingung. Lima tahun yang lalu, sudah sekitar 3 bulan sebelum kecelakaan aku tak melihat dirinya. Kami sudah lulus SMA 3 bulan yang lalu dan sekarang ia dengan berani muncul di hadapanku lagi. “Aku mengkhawatirkanmu.” Itu adalah kalimat pertama yang dia ajukan padaku. Baru kali ini aku mendengar suaranya. Baru kali ini aku mendengar- nya berbicara dan mengatakan bahwa dia mengkhawatirkanku. Aku membuang tatapanku. Mencoba acuh. “Aku tidak membutuhkan rasa khawatirmu. Lebih baik kau keluar dari kamarku,” ucapku dengan kasar, sangat kasar, hingga aku yang mengingat kejadian itu merasa menyesal. Antologi Cerpen Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia 123

Gian bergeming dari tempatnya. Ia terus memperhatikanku. Aku sudah lelah mengusirnya untuk menjauh dariku selama kami masih di bangku SMA. Suara isak tangis memecahkan keheningan sesaat. Aku me- nangis, aku lelah, dan aku ingin mengakhiri semuanya. Keputus- asaan itu datang untuk membantuku menyudahi kehidupan ini. Membuatku tak perlu lagi kesusahan dengan keadaan yang cacat. “Jika tidak ada tempat untuk melepas semua emosimu saat ini, aku siap untuk di jadikan tempat itu walaupun sementara.” Aku kembali mendengar suara berat itu. Kalimat yang cukup panjang hingga membuatku langsung menoleh ke arahnya. “Menangislah. Jika itu bisa meringankan bebanmu walaupun hanya sedikit.” Dia mendekat ke arahku dan mengusap air mata- ku dengan lembut. Sangat lembut hingga aku mengikuti arah- annya menuju dekapan hangat seorang Gian. “Aku berdiri di sini masih dengan perasaan yang sama. Aku pikir kau sudah mengerti tentang perasaanku padamu, Kezia.” Aku sudah terlalu lemah untuk mendorongnya pergi dari sini. Kubiarkan dia mendekapku. Aku merasa sangat kesepian, tidak ada yang menjenguk dan datang untuk menjemputku pulang. Aku sudah benar-benar putus asa. Di saat itulah aku berpikir. Di saat semua orang yang kubutuhkan menghilang, sese- orang yang selalu kuhina malah datang seolah memberi harapan padaku untuk tetap bertahan. Aku melepaskan dekapannya. Mengusap air mataku kasar. Aku duduk terdiam. “Hari ini kau boleh pulang. Aku bantu membereskan semua- nya, ya.” Aku menoleh cepat. “Aku....” Ucapanku terhenti. Ia menoleh ke arahku dan menghentikan aktivitasnya. “Aku takut,” lanjutku sambil menunduk. 124 Tali Surga

Dia kembali berjalan mendekat ke arahku. “Sekarang aku yang akan menggantikan posisi orang tuamu. Jika beliau yang selalu mengurus dan memperhatikanmu selama ini, izinkanlah aku untuk menggantikannya mulai dari seka- rang,” ucapnya dengan tegas dan serius. Dan mulai saat itu juga kehidupanku berubah sangat drastis. Gian benar-benar memegang ucapannya. *** Entah sudah berapa kali dia menyatakan cinta padaku. Aku selalu mengacuhkan pernyataan cintanya. Dia selalu sabar meng- hadapiku walaupun terkadang aku masih suka semena-mena terhadapnya. Tiga tahun berjalan. Dia masih setia di sampingku. Selain merawatku dia juga memili pekerjaan sampingan yang cukup simple. Gian juga mengambil kuliah di salah satu universitas ternama, UGM. Dia mendapat beasiswa sehingga dia bisa melanjutkan studinya. Gian menjalani kehidupannya yang sangat sederhana. Dia tinggal di salah satu kontrakan yang bisa dibilang jauh dari kata mewah. Ternyata, Gian adalah anak rantauan dari luar Pulau Jawa, hingga aku memutuskan untuk menyuruhnya tinggal di rumahku saja. Aku juga tak enak hati bila dia bolak- balik dari tempatnya menuju rumahku. Apalagi dia memilih untuk mencari kerja yang dekat dengan rumahku. Maafkan aku, Gian. Bukannya aku tidak menghargaimu, tapi aku tidak mau kau terluka jika aku menjawabnya sekarang. Kau sudah cukup membantuku banyak. Aku yakin aku akan menjawabnya di waktu yang tepat. Tapi, tidak untuk waktu itu. *** Masuk tahun ke lima ini adalah saat terakhirku ketika aku sangat menyesal sudah berlaku kasar terhadap Gian. Kini perasaan kesal dan benci itu sudah berubah menjadi lebih indah. Akhirnya di tahun ke lima ini aku sudah memantapkan perasaanku terhadap sosok pria yang kini tepat di hadapanku. Argian Putra. Antologi Cerpen Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia 125

Aku menatap mata coklatnya yang indah. Kini tatapannya adalah bagian favoritku. Dia menatapku seolah hanya aku yang ada di matanya. Tangannya mengenggam tanganku lembut seolah tak ingin aku pergi dari kehidupannya. Semua terlihat begitu sempurna sekarang. Pria yang selalu dikucilkan dengan wanita yang duduk di kursi roda. Tak ada yang peduli dengan keadaan kita. Kedatangannya sangat meng- ubah kehidupanku. “Aku mau memberimu sesuatu, Kezia.” Ia mulai angkat bicara. Dia berlutut di depanku, menjajarkan dudukku di kursi roda. Suasana taman di pagi hari membuat suasana terlihat tentram dan menyejukkan. “Sudah delapan tahun aku menunggumu. Jangan tanyakan aku mengapa aku bisa menyukaimu bahkan sudah mencintaimu. Kehidupan ini terus mengalir bagaikan aliran air dari hulu ke hilir. Sama seperti diriku yang awalnya hanya tertarik, kemudian suka, hingga akhirnya jatuh cinta. Ini terlihat sederhana, tapi cinta tak sesederhana itu. Aku mulai memperhatikanmu dari sudut ruangan musik saat pertama kau masuk dalam ekskul itu. Entah mengapa mataku selalu saja tak bisa berhenti meman- dangmu. Telingaku yang tak pernah bosan mendengar suara indahmu saat guru menyuruhku mengiringi setiap alunan lagu yang keluar dari bibirmu dan hati ini yang selalu saja tersentuh untuk mendekatimu. Caramu tersenyum, caramu menikmati se- tiap nada dalam petikan gitarku saat itu, dan caramu meman- dangku entah itu dengan tatapan tajam ataupun marah. Aku sangat menyukai semuanya. Ego dalam diriku menyuruhku untuk terus mendekatimu dengan caraku sendiri. Ketika itulah aku merasakan harus berjuang mendapatkanmu. Aku terus men- coba menahan semuanya untuk menarikmu lebih dekat dengan- ku. Kupikir itu tak semudah yang mereka kira. Cinta adalah pengorbanan. Aku mengorbankan harga diriku untuk orang yang kucintai. Aku selalu menutup mulutku ketika semua orang membuka mulutnya hanya untuk menghinaku. Aku melakukan 126 Tali Surga

itu hanya untukmu, Kezia. Kau tak perlu tahu seberapa besar pengorbananku hanya untuk membuktikan rasa ini padamu. Rasa yang sudah membuatku gila dan berani melakukan apa pun hanya demi sebuah perasaan gila. Kau membutakan semua- nya hingga aku bisa berlutut di hadapanmu sekarang, seolah aku sudah meluluhkan wanita paling galak yang pernah kukenal. Aku mengucapkan ini tulus dari dalam diri dan hatiku. Aku mencintaimu, Kezia. Sudah cukup aku mengungkapkan semua- nya berulang kali dan menunggu jawabanmu. Aku mau kau jawab hari ini. Apa pun jawabannya aku akan menerima dengan lapang dada. Kuharap kau sudah tahu apa jawaban untuk semua pernyataan cintaku padamu, Kezia.” Mataku tak lepas memandang Gian. Dia sangat manis dan selalu saja berhasil meluluhkan hatiku. Aku menarik nafasku dalam-dalam. Seolah akan menjawab semua pernyataannya. “Kau adalah sosok pria yang sempurna bagiku, Gian. Sangat sempurna hingga aku baru menyadarinya belakangan ini. Tapi, aku? Kau bisa lihat sendiri, kan? Aku tidak sesempurna dirimu. Fisikku tak bisa menjamin apa pun. Masih banyak wanita yang lebih baik di luar sana. Jangan sampai kau salah menyatakan cinta pada wanita yang sudah pernah menjatuhkan harga dirimu. Terkadang kehidupan begitu kejam hingga memaksakan kita untuk mencoba bahagia. Jangan paksakan dirimu untuk menerima kekuranganku. Kau pantas mendapatkan yang lebih baik. Tapi, itu jelas bukan aku.” Ada rasa menyesal mengatakan itu semua. Sungguh bodoh jika seorang wanita sepertiku menyia-nyiakan pria sebaik Gian. Tapi, aku tidak mau egois. Dia jelas lebih membutuhkan sosok wanita yang bisa mendampingi pria itu seutuhnya. “Tidak! Aku tidak membutuhkan wanita seperti apa yang kau ucapkan. Aku hanya membutuhkanmu, Kezia. Kau menga- takan ini seolah kau tak menghargai semua perjuangaku. Ber- tahun-tahun aku mencoba berbagai cara untuk bisa membuktikan perasaan gila ini dan ketika aku sudah memantapkan semuanya Antologi Cerpen Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia 127

kau malah menyuruhku mencari wanita yang kau bilang lebih baik darimu. Aku sudah dewasa, Kezia. Jelas aku sudah bisa memilih mana yang baik dan yang tidak baik. Pilihanku sudah jatuh padamu. Jangan salahkan aku karena hati ini yang memilihmu dan menyuruhku untuk memperjuangkanmu. Aku hanya menginginkanmu. Aku mencintaimu. Jangan suruh aku untuk mencintai wanita lain jika mendapatkan cintamu saja adalah kebahagiaanku.” Air mata berhasil lolos dari kelopak mataku. Tidak bisa dihindari lagi, aku sudah luluh terhadapnya. Aku juga tidak bisa membayangkan jika Gian bersama wanita lain. Aku sudah tahu jawaban apa yang pantas membuatnya bahagia. “Aku juga mencintaimu, Gian. Maafkan aku.” Gian langsung memelukku erat. “Jangan bohongi perasaanmu. Jika kau juga mencintaku maka katakanlah. Jangan sia-siakan cintamu untuk orang lain. Kalau kau memang mencintaiku maka kejarlah, jangan sampai orang lain lebih dulu menggapaiku. Cinta tidak semudah menga- takannya saja.” Aku mengangguk dan membalas pelukannya. Dulu aku berpikir bahwa aku kehilangan semuanya. Tak ada gunanya aku hidup jika pada akhirnya tak ada orang yang mencintaiku dengan tulus seperti cinta kedua orang tua. Tapi, Gian datang dan mengatakan bahwa dia akan menggantikan posisi orang tuaku dalam mencintai, melindungi, dan memper- tanggungjawabkan semuanya. Dia benar-benar pria yang ku- butuhkan. Tak sekadar ucapan saja yang bisa dipegang, tapi juga pemikiran dan cara dia mengambil keputusan. Terimakasih, Tuhan, aku hampir saja membencimu saat Kau sedang meng- hukumku. Ternyata di balik sesuatu yang buruk pasti ada hal yang indah dan aku sedang menikmatinya sekarang. Kini, dia adalah milikku dan aku adalah miliknya. Janji yang akan me- nguatkan kedua belah hati. Semoga ini adalah akhir kehidupan bahagiaku. Terima kasih, Gian. Ini adalah kehidupan kita. Jangan kau ambil tokoh lain untuk membuatku bahagia jika kita adalah tokoh utama yang sudah 128 Tali Surga

ditakdirkan penulis untuk bahagia. Jangan paksa aku untuk mencintai wanita lain jika yang menyuruhku untuk memilihmu adalah hatiku bukan otakku karena mencintai bukan dengan otak tapi dengan hati. Otak menyuruhku untuk mencari wanita yang lebih baik darimu, tapi jika hatiku memilihmu untuk menjadi wanita pilihanku, aku bisa apa? Lagi pula hati ini sudah mem- buatku susah untuk melepaskanmu. Kau yang aku cintai Kezia — Argian Putra. *** Rahmadivya Ersa Putri. Biasa dipanggil Divya. Lahir di Yogyakarta, 3 Desember 2000. Saat ini tercatat sebagai pelajar di SMAN 1 Tempel. Mulai mengarang cerita fiksi sejak kelas 7 SMP tapi mulai dikembangkan ke sosial media sejak kelas 8 SMP. Mulai menulis cerita di facebook. Kemudian menulis di wattpad (user- name: darryhazza), instagram (@imagine.allfandom), dan instagram pribadi (rahmadivya93). Alamat sekolah: Banjarharjo, Pondokrejo, Tempel, Sleman. Alamat rumah: Jalan Amerta V 23 kav 42, Perum Jombor Kav Indah, Mlati, Sleman. Info lebih lanjut bisa menghubungi nomor HP/WA: 087738377663. Antologi Cerpen Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia 129

Enam Cerita yang Berpendar dalam Satu Kepala Yuliana Firdaus SMK Trisula 1 Depok [email protected] Cerita Mageia Tersihir Negeri Nirswana adalah negeri yang indah dan makmur, dengan alam yang selalu mencukupi kehidupan rakyatnya. Negeri dipimpin oleh seorang raja yang bernama Augest Mageia, tinggal di kastil Dzibirius yang megah bersama puteri tunggalnya, Auglera Mageia, dan puteri angkatnya, Natiaz. Kehidupan di negeri selalu cerah dan rakyat selalu terse- nyum karena kekuatan sihir sang raja. Raja Augest Mageia, pen- cipta sihir pertama kali di dunia, menuliskan mantra-mantra sihirnya di dalam kitab Liqueno. Tak ada yang berani mengambil kitab itu termasuk kedua puterinya sekali pun. Raja Augest Mageia menciptakan negeri dengan kebahagian yang palsu karena rasa sedihnya semenjak kepergian sang Ratu. Betahun–tahun sudah negeri itu diselimuti kekuatan sihir sang Raja. Suatu hari, ketika sang Raja telah mencapai usia satu se- tengah abad beliau pun wafat. Sihir di negeri Nirswana pun lenyap. Seluruh penduduk dan kedua puterinya pun tersadar. Rakyat Nirswana kini menjadi liar tak terkendali, mereka berusaha mencuri kitab Liqueno yang tersimpan di kastil Dzibirius. 130 Tali Surga

Namun, Auglera dan puteri angkat sang Raja terus berusaha melindungi kitab yang menjadi warisan satu-satunya dari sang Ayah. Pada akhirnya mereka kewalahan dan mereka pun mulai mempelajari kitab Liqueno untuk melindungi warisan dari ayahnya. Auglera dan Natiaz kini menjadi penyihir kuat yang ditakuti oleh seluruh penjuru negeri Nirswana. Ketamakan mulai meng- gelapkan hati mereka hingga suatu hari mereka pun bertarung untuk merebutkan kitab Liqueno. Pertempuran hebat antara Auglera dan puteri angkat sang Raja berlangsung selama berminggu-minggu. Akhirnya puteri angkat Raja pun tewas dikalahkan oleh Auglera Mageia. Kini, negeri Nirswana dipimpin oleh ratu Auglera. Auglera setiap hari mempraktikkan sihirnya kepada penduduk Nirswana dan membunuh tiga orang setiap harinya. Rakyat Nirswana terjebak dalam negeri yang penuh dengan jeritan dan ketakutan, diselimuti rasa dendam yang tak mampu terbalaskan. Seiring berjalannya waktu, rakyat Nirswana diam– diam mempelajari mantra yang digunakan Auglera. Mereka menunggu waktu yang tepat untuk mengalahkan ratu Auglera, yaitu ketika ratu telah lemah karena usia yang tua. Waktu penantian pun tiba, yaitu ketika Auglera telah men- capai usia yang sama ketika sang Raja Augest Mageia meninggal. Penduduk Nirswana datang berbondong-bondong dengan mem- bawa tongkat sihir menuju kastil Dzibirius. Ratu Auglera pun diserang dengan sihir yang bertubi-tubi hingga ia tak mampu melawan kemarahan rakyat Nirswana. Sebelum Auglera tewas, ia menggunakan kekuatan sihir ter- akhirnya untuk menyembunyikan kitab Liqueno yang ia ubah menjadi batu kristal dan ia mengubah kastil Dzibirius menjadi danau di dalam goa. Lalu ditenggelamkanlah batu kristal Liqueno ke dalam danau itu hingga tak seorang rakyat Nirswana dapat menemukannya. Antologi Cerpen Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia 131

Cerita Penemuan yang Bersejarah Tiga bulan yang lalu, ketika liburan sekolah, aku dan teman- ku, Sinta, berlibur ke Borneo dan menginap beberapa malam di rumah nenekku. Kami mengunjungi salah satu hutan yang ada di sana untuk mengerjakan tugas laporan kunjungan wisata dari sekolah. Ketika aku dan Sinta berada di pinggir sungai di hutan itu, aku mendengar suara aneh yang menuntunku terus berjalan. Sinta berusaha menghentikan langkahku karena hari sudah mulai gelap, namun ia gagal. Sinta pun mengikuti langkahku. Hingga sampailah kami di depan goa besar yang batuannya sudah menghijau dan ditutupi oleh rumput yang tinggi. Suara yang kudengar pun menghilang. Karena hujan yang deras, aku dan Sinta terpaksa masuk ke dalam goa itu. Begitu masuk, kami terpesona dengan danau jernih di dalam goa itu. Tiba-tiba, ada seorang kakek tua dengan mengenakan jubah kerajaan dan mahkota yang masih terpasang gagah di kepalanya, berkata kepada kami, “Sucikan diri kalian dan masuklah ke dalam danau ini. Temukan kristal Liqueno dan bangkitkan sihirku.” Dengan penuh ketakutan kami langsung melompat ke dalam danau itu. Seketika kakek itu menghilang dengan suara yang masih menggema. Aku dan Sinta bergegas keluar dari danau itu. Tanpa sadar tangan kananku menggenggam sesuatu. Saat kubuka genggaman tanganku, terdapat kristal Liqueno yang dimaksud sang kakek. Lalu cahaya putih terpancar keluar dari batu itu dan seolah terserap ke dalam tubuhku. Ketakutanku semakin bertambah begitu pun Sinta. Aku ber- lari sambil menggandeng tangan Sinta. Hal ajaib pun terjadi. Tiba-tiba aku dan Sinta telah berada di depan rumah nenekku dan ternyata hari masih siang. Matahari masih terik. Seakan- akan waktu kembali pada waktu siang sebelum kami pergi ke hutan. 132 Tali Surga

Sinta pun berkata padaku, “Lian, kita mau ke mana untuk mengerjakan laporan sekolah?” Jawabku dengan penuh ke- bingungan, “Kita kan tadi udah ke hutan, tapi tiba-tiba sampai rumah. Iya, kan? Kamu gak ingat?” Sinta tak mengingat sedikit pun tentang kejadian dari goa itu. Dan kami pun kembali ke Semarang dan bersekolah kembali seperti biasa dengan tugas yang tak dikerjakan. Cerita Senin 10.30 Baru seminggu aku pindah di sekolah yang mengerikan ini. Sering kudengar cerita tentang roh yang bernama Almira. Roh Almira selalu merasuki murid–murid di kelas XI setiap hari Senin pukul 10.30 . Mungkin itulah sebabnya teman–teman sekelasku tak be- rangkat sekolah hari ini. Tiga orang guru mendatangiku di kelas bertanya kepadaku, alasan apa yang membuatku nekat untuk bersekolah di hari Senin ini. Dengan perasaan jengkel, aku men- jawab, “Karena aku tak percaya adanya Almira.” Sontak angin kencang membanting pintu kelasku hingga terkunci. Tiga guru yang berada di kelas bersamaku panik. Me- reka mencoba membuka pintu dan jendela yang tiba–tiba terkunci dengan rapat. Tiga guruku dengan penuh ketakutan berkata, “Maafkan dia roh Almira, kami percaya kalau kau nyata.” Dengan perasaan aneh dan sedikit jengkel aku menantang roh Almira, “Hey! Bisanya cuma ganggu teman–temanku saja. Lawan aku kalau berani!” Lalu terdengar jerit suara menggeram di kelasku yang menggema. Tiba–tiba seluruh kursi yang tertata rapi melayang dan melesat ke arahku satu persatu. Aku tak mampu menghidar, kupejamkan mataku dengan rasa takut yang menggetarkan tubuhku. Cahaya putih bagai peri- sai secara otomatis berada di sekelilingku, melindungiku dari kursi–kursi yang melesat. Antologi Cerpen Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia 133

Aku pun teringat akan kristal Liqueno yang terserap ke dalam tubuhku. Kupikir inilah kekuatan sihir yang dimaksud oleh sang Kakek di goa itu. Terlintas di dalam pikiranku untuk melenyapkan roh Almira hari ini, tepat pukul 10.30, persis waktu kejadiaan aneh yang selalu terjadi di kelasku ini karena ulah roh Almira. Kubuka mataku yang tadinya terpejam secara perlahan. Tak kusangka aku dapat melihat roh Almira berdiri tepat di depanku. Tanpa sadar aku mengucap hal aneh yang tak kumengerti, seperti mantra sihir bila kumengingatnya. Roh Almira pun perlahan hangus terbakar dan berubah menjadi debu setelah kuucap mantra itu. Sebelum kepergian roh Almira, ia bercerita tentang kemati- an yang membuatnya tak tenang. Cerita Roh Berkisah “Semasa hidupku dulu, aku memang sudah tak memiliki orang tua. Aku hanya hidup bertiga dengan kedua kakakku. Kakak per- tamaku sudah menikah, hingga aku hanya tinggal berdua dengan kakakku yang kedua. Kami mengurus segala keperluan kami masing–masing. Hingga suatu ketika ada seorang pria yang sangat baik kepada kami berdua. Itulah sebab aku mencintai pria itu. Aku tak pernah mengira bahwa kakakku mencintai pria yang juga kucintai. Lalu kami berkelahi di malam itu.” Dengan isak tangis roh Almira menundukkan kepalanya. Dan ia pun melanjutkan ceritanya. “Entah apa yang ada di dalam hatinya. Kakakku mengatakan jika aku hanyalah roh tanpa hati yang tega merebut kebahagiaan saja. Dengan tega kakakku mengambil pisau dan menusukkan ke leherku hingga tembus ke belakang. Seketika aku tewas saat itu. Lalu dengan kejamnya ia mengarang cerita jika aku tewas dibunuh oleh perampok yang masuk ke rumah kami malam itu.” Lalu, aku pun bertanya kepada roh Almira. “Lalu di mana kakakmu itu sekarang?” 134 Tali Surga


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook