Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore merebut-kewarganegaraan-inklusif-nilam-hamiddani

merebut-kewarganegaraan-inklusif-nilam-hamiddani

Published by Darul Afyzal, 2021-08-14 07:28:30

Description: merebut-kewarganegaraan-inklusif-nilam-hamiddani

Search

Read the Text Version

gitu semua satu panggung. Kampanye bersama itu penting dan harus terus dijaga ya menurut saya karena membawa dampak signifikan ke internal dan juga ke eksternal.” (Budiarto, S. 2010, komunikasi personal, 30 November). Memperluas Jejaring Salah satu langkah pengelolaan jaringan dalam SUKMA adalah memperluas jejaring. Pentingnya perluasan jejaring merujuk pada keterhubungan SUKMA dengan jaringan yang lain dalam skala besar agar tersedia dukungan horizontal bagi isu yang diperjuangkan sekaligus kesempatan menghimpun sumber daya. Sejauh ini jejaring yang telah terbentuk adalah antara SUKMA dengan Solidaritas Peduli AIDS Yogyakarta (SPAY), Jaringan untuk Keberagaman (JAMGAMAN) dan organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia. Dalam hal ini SUKMA masih banyak didukung oleh jaringan yang telah dimiliki oleh PKBI, sehingga SUKMA dapat secara otomatis mengakses jaringan yang melibatkan PKBI di dalamnya. Limitasi Dalam mengelola jaringannya, SUKMA tak lepas dari berbagai pasang surut organisasi. Hal tersebut sedikit banyak mempengaruhi kinerja SUKMA karena jaringan ini dibentuk oleh berbagai komunitas dengan latar belakang yang berbeda, sehingga dari segi teknis maupun ideologis banyak terjadi benturan yang membawa dampak signifikan baik untuk performa jaringan maupun hubungan interpersonal di dalam SUKMA. Menggugat Eksklusif: Konsolidasi Jejaring 91

Kapasitas Anggota Komunitas Salah satu hambatan yang dihadapi oleh SUKMA adalah kapasitas anggota komunitas dalam masing-masing CBO yang belum cukup kuat skill organisasinya. Hal ini dibuktikan dengan rendahnya budaya dokumentasi, riset, pengumpulan data dan pemetaan lapangan. Dokumentasi merupakan elemen yang sangat krusial mengingat perjuangan SUKMA sebagian besar merupakan upaya advokasi atau mengubah kebijakan publik, sehingga dokumentasi kegiatan dan kasus yang mereka alami sepatutnya harus terorganisir dengan baik. Sedangkan kemampuan untuk riset, mengumpulkan data dan pemetaan lapangan akan meningkat secara inheren dengan meningkatnya budaya dokumentasi. Seperti yang dijelaskan oleh Sulistyo Budiarto berikut ini: “Masih rendah ya budaya dokumentasi itu. Padahal itu paling ya. Idealnya sih komunitas itu mendokumentasikan semua kegiatan mereka. Misal habis aksi dimana aja, temanya apa atau habis audiensi sama siapa, siapa aja yang ikut, intisari diskusinya apa. Atau misal ada kasus kekerasan yang menimpa mereka itu kan sebaiknya langsung didokumentasikan kronologinya entah dalam bentuk tulisan atau apa lah, setidaknya ada arsip gitu. Soalnya ini kan serius ya kita dan mbentuk jaringan, dokumentasi itu mutlak kita harus punya, kalo nggak ya susah mau bergerak. Dan kalau dokumnetasi sudah membudaya di komunitas, nanti akan lebih gampang untuk diberi capacity building misal tentang riset, pengumpulan data dan pemetaan lapangan. Lha kalo nyatet aja males gimana mau melaksanakan riset, ya kan? Pengumpulan data itu kan kaitannya erat sekali dengan dokumentasi. Tapi ya itu, masih agak susah mendorongnya. Apalagi masih ada CO to, ya jadi komunitas ya rasane santai lah “oh wong isih ono CO-ne, ben sing 92 Merebut Kewarganegaraan Inklusif

dokumentasi CO-ne”. hahahaha. Ya kayak gitu kenyataannya, jadi tujuan ke depan kita harus berhasil membudayakan dokumentasi mandiri dalam komunitas.” (Budiarto, S. 2010, komunikasi personal, 30 November) Kapasitas Community Organizer Selain kapasitas anggota komunitas, yang menjadi hambatan utama yang dihadapi SUKMA adalah kapasitas Community Organizer atau CO yang dinilai kurang maksimal dalam menjadi pendamping komunitas, terutama dalam pemenuhan guideline CO yakni assisting, outreaching dan organizing, seperti yang kembali diungkapkan Sulis berikut ini: “Saya rasa peran CO disini sangat besar ya, tapi sayangnya mereka kurang dalam memenuhi guideline. Kan ada tiga fungsi CO di PKBI ya, assisting, itu mendampingi, outreaching penjangkauan, organizing itu mengorganisir. Saya rasa masih kurang ya disitu, belum maksimal lah istilahnya. Karena masing-masing pengetahuannya juga masih perlu ditingkatkan ya dalam menjadi CO kan nggak sebatas mendampingi saja. Ya kita juga untuk itu ada capacity building buat CO.” (Budiarto, S. 2010, komunikasi personal, 30 November). Sense of Belonging Hambatan berikutnya adalah sense of belonging atau rasa memiliki anggota komunitas terhadap jaringan. Permasalahan ini cukup krusial, mencolok dan termasuk mendesak untuk segera diatasi karena keberlangsungan jaringan juga bergantung pada besarnya motivasi komunitas anggota masing-masing CBO yang tergabung dalam SUKMA untuk berjuang di dalamnya. Menggugat Eksklusif: Konsolidasi Jejaring 93

Salah satu indikator utama adalah CBO yang masih ego-sentris. Hal ini seringkali terungkap pada saat SUKMA mengadakan pertemuan, masih terdapat friksi antara satu CBO dengan yang lain. Seperti yang diungkapkan Sulis berikut ini: “Mereka itu belum sepenuhnya cair ya. Dalam artian kenyamanannya masih di CBO-nya, kenyamanan jaringan kurang. Jadi kalo ngumpul lagi konsolidasi gerakan gitu atau misal lagi ada isu apa dibicarakan bareng-bareng atau misal pas SUKMA lagi bicara tentang intern membahas mau kemana ke depannya itu ya, kadang suka clash gitu ya. Misal remjal sama waria itu belum cair. Meski mereka sama homoseksual ya. Tapi ada banyak sisi yang berbenturan kalau merumuskan kegiatan sama-sama. Gay sama waria itu juga belum cair. Itu jelas karena latar belakang sosial beda. Ya meski tidak memungkiri di remjal juga ada gay-nya. Tapi misal ketika disini isu yang krusian itu tentang garukan, ya gay merasa itu bukan urusan mereka. Jadi pada isu-isu tertentu, CBO yang tidak merasa terpengaruhi secara langsung ya seringnya nggak ikut-ikutan. Misal isu penggusuran Ngebong kemarin, yang aktif ya remjal, waria sama PS. Padahal ini udah SUKMA harusnya ya tetep turun tanganlah semua yang ada di dalamnya. Terus PS itu juga sama yang lain belum cair. Masih banyak ungkapan-ungkapan misal dari remjal “mbok golek gawean liyane”, ya semacam kayak gitu. Karena ini kan kita mencoba menyatukan latar belakang yang sebenarnya berbeda secara signifikan ke dalam satu payung besar isu, tapi tetap nggak bisa dipungkiri bahwa itu perlu proses. Tapi ruginya kalo sudah ada benturan seperti itu tidak bisa tidak mesti kebawa-bawa ke personal, ya misal PS merasa agak gimana gitu ya mestine kalo sama sesama SUKMA dionekke gitu. Ya pasti adalah.. ya ini menurut saya juga perannya sangat besar ya, krusial ini ego-sentris harus diredam. Ya paling kita yang dari PKBI memfasilitasi lah memberi wacana lagi tentang hakikat mereka gabung bersama itu apa.” (Budiarto, S. 2010, komunikasi personal, 30 November). 94 Merebut Kewarganegaraan Inklusif

Lain lagi dengan yang diungkapkan oleh pekerja seks dari Ngebong, Sri Tejo, ia mengaku rasa enggannya dalam mengikuti kegiatan dalam SUKMA lebih dipicu oleh kendala teknis. “Ya kalo aku sih seneng-seneng aja sih ada SUKMA. Ya jadi banyak temen lah, nambah pengalaman juga. Jadi tau misal apa gitu yang kita belum tau, di SUKMA ini banyak yang baru gitu mbak. Tapi ya itu, kalo dari Ngebong ke Tamsis kan jauh, kita suka kesulitan transportasi. Kalo pertemuannya di PKBI Badran kan deket ya. Terus kadang suka tanggalnya itu tempuk sama pertemuan rutin kita sendiri e. kan kita itu rutin tiap tanggal 15, jadi ya kalo pas tanggal segitu ya kita nggak dateng lah.” (Budiarto, S. 2010, komunikasi personal, 30 November). Ketidakmapanan Internal Hal krusial lain yang menghambat gerakan SUKMA adalah ketidakmapanan internal. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, CBO yang membentuk jejaring SUKMA belum semapan jaringan lain yang ada di Jogja. Secara organisatoris CBO SUKMA masih memerlukan peningkatan di sana-sini. Indikator kematangan CBO diungkapkan oleh Sulistyo Budiarto berikut ini: “CBO itu bisa dibilang mandiri atau matang, kalo dia sudah mempunyai kemampuan advokasi, riset, mengumpulkan data, membangun jaringan, memtakan lapangan, misal bisa merumuskan apa sih masalahnya, kenapa sih kita harus aksi, harus demo. Ya kita belum berhasil sepenuhnya di level ini.” (Budiarto, S. 2010, komunikasi personal, 30 November). Selain hal tersebut diatas, konsolidasi yang tersendat di masing-masing CBO juga menjadi faktor penghambat. Menggugat Eksklusif: Konsolidasi Jejaring 95

Konsolidasi internal CBO ini lebih mengacu kepada hubungan interpersonal antar individu di dalamnya. Permasalahan tersebut, menurut Maesur Zaki, Direktur Pelaksana Daerah PKBI DIY, merupakan wujud dari kurang kuatnya komunikasi di dalam komunitas. “Bukan dalam kesadaran, tapi sistem komunikasi, yang mampu membuat mereka tidak mengembangkan rasa persaingan, konflik yang berlebihan, antar CBO atau personal, bagaimana membangun komunikasi yang baik antar mereka” (Zaky, M. 2009). Sedangkan menurut Gama Triyono, Manajer Program PKBI DIY, yang juga mantan Kepala Divisi Pengorganisasian Komunitas PKBI DIY, bahwa permasalahan utama internal dalam CBO merupakan penyatuan perspektif misalnya arti sebuah “pilihan”. “Ketika komunitas ditanya apa alasan terjun ke dunianya yang sekarang, mereka menjawab bahwa itu adalah sebuah pilihan. Lalu sebenanrnya pilihan seperti apa yang diterapkan oleh mereka. Seorang pekerja seks mengaku bahwa menjadi PS merupakan sebuah pilihan hidupnya, sehingga saat ia mendapatkan kekerasan dalam pekerjaan maka ia menganggap bahwa itu adalah pengabdian dari pekerjaannya dan bukan sebuah resiko. Faktor kesadaran individu untuk memperjuangkan identitasnya untuk mencapai tujuan masih kurang gregetnya. Tantangannya adalah bagaimana kita mampu menyatukan komunitas melalui penyadaran-penyadaran atau strategi-strategi untuk mendorong mereka memoerjuangkanidentitas, memberdayakan potensi yang mereka miliki agar mereka mampu memberikan sesuatu yang berguna bagi masyarakat. Dan sebenarnya itu yang belum ditemukan oleh kita” (Buletin Embrio 2009). Ketidakmapanan internal tersebut tak urung membuat CBO pada khususnya dan jaringan pada umumnya tetap bergantung 96 Merebut Kewarganegaraan Inklusif

pada PKBI, ditambah lagi dengan gerakan yang berbasis isu. Dalam artian bahwa SUKMA akan merumuskan gerakan jika ada isu tertentu yang terkait dengan stigma atau kekerasan terhadap komunitas marginal, atau isu apapun yang memberikan dampak langsung kepada mereka. Gerakan berbasis isu ini membuat agenda dan aktivitas SUKMA tidak berjalan secara konstan, sehingga komunitas di dalamnya mudah merasa jenuh. Kejenuhan tersebut tak dapat dipungkiri menumpulak responsifitas jaringan, sehingga untuk kembali menyalakan semangat mereka, PKBI-lah yang lagi-lagi memegang peran utama. Keterlibatan PKBI seolah membuat anggota jaringan semakin “angin-anginan” dalam mengadakan pertemuan untuk membahas pernak pernik internal seperti kepengurusan jaringan dan regenerasi peer educator. Selain sulit menyesuaikan jadwal agar seluruh anggota bisa hadir, dampingan PKBI di sisi lain justru semakin membuat jaringan tidak mandiri. Menggugat Eksklusif: Konsolidasi Jejaring 97



Kami Bukan Sampah: Politik Klaim Atas Hak Dasar Di Aras Politik Dan Sosial Perjuangan kelompok masyarakat marginal untuk mendapatkan haknya sebagai warga negara semakin menemui titik terang. Melalui masifikasi gerakan dengan cara menggabungkan diri ke dalam satu jaringan bernama SUKMA memberi kesempatan bagi komunitas pekerja seks, anak jalanan, gay dan waria untuk didengar suaranya oleh negara. Selangkah lebih dekat menuju keadilan sosial yang mewujud pada perubahan kebijakan. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, sebelum menggabungkan diri menjadi sebuah jaringan, SUKMA merupakan kumpulan organisasi berbasis komunitas masyarakat marginal yang kerap mengalami ketidakadilan dalam kebijakan dan juga terisolir dari kehidupan sosial sehari-hari. Berbagai jalan ditempuh oleh komunitas yang tergabung dalam SUKMA bermuara pada satu tujuan agar keberadaan mereka di tengah masyarakat dan negara dapat dihargai layaknya manusia pada umumnya, tanpa terkriminalisasi, terstigma, atau termarginalkan karena identitasnya.

Bab ini akan membahas strategi SUKMA dalam mendorong kewarganegaraan inklusif. Strategi ini secara khusus diterapkan secara eksternal tidak semata-mata secara vertikal dengan advokasi dalam ranah politis dan hukum namun juga horizontal dengan mambangun kesadaran publik. Strategi ini membidik tiga sasaran, yakni dengan mengubah kebijakan dan mengubah budaya sosial. Mengubah Kebijakan Publik Terkait perjuangannya, SUKMA melakukan advokasi dalam ranah substansi hukum melalui tiga cara, yakni pengajuan rancangan tanding atau counter drafting, legal drafting, dan judicial review. Pengajuan Rancangan Tanding (counter drafting) Pengajuan rancangan tanding dalam kebijakan perundang- undangan merupakan sebuah bentuk perlawanan terhadap substansi kebijakan yang mengandung unsur ketidakadilan dan kriminalisasi terhadap kelompok sasaran kebijakan itu sendiri. Salah satu rancangan kebijakan yang sempat menimbulkan polemik dan mengusik komunitas marginal adalah Raperda HIV AIDS Provinsi DIY. Pembahasan Raperda tersebut telah bergulir sejak tahun 2006 sebelum akhirnya sah menjadi Peraturan Daerah Provinsi DIY No. 12 Tahun 2010 tentang Penanggulangann HIV dan AIDS pada 1 Desember 2010 lalu. Perjalanan menuju pengesahan Raperda tersebut bukan tanpa hambatan, sejak awal penyusunannya telah banyak tuntutan dan tekanan dari berbagai lapisan masyarakat tentang pelibatan mereka dalam penyusunan Raperda yang dinilai 100 Merebut Kewarganegaraan Inklusif

tidak partisipatoris dan konten di dalamnya masih menggunakan nalar penganggulangan, bukannya perlindungan, sehingga dikhawatirkan implementasinya akan memarginalkan bahkan mendiskriminasi kelompok-kelompok masyarakat yang dinilai rentan terserang virus HIV dan menderita AIDS (Gunawan 2010, diskusi informal dengan peneliti, November). Keterlibatan SUKMA dalam penyusunan rancangan tanding ini diawali dengan keikutsertaannya dalam Solidaritas Peduli AIDS Yogyakarta sejak tahun 2006. SPAY merupakan sebuah aliansi yang terdiri dari berbagai kelompok masyarakat, LSM, komunitas, serta siapapun yang peduli mengenai isu HIV AIDS, yang bergerak untuk menyusun sebuah rancangan tanding untuk mengkritisi substansi Raperda HIV AIDS agar tidak akan membawa ketidakadilan bagi sasarannya, karena dalam Raperda tersebut substansi lebih diarahkan kepada penangangan terhadap individu penderita daripada upaya-upaya pencegahan penularan virus. Yang tak kalah penting adalah sosialisasi berimbang kepada masyarakat, seperti yang diungkapkan oleh Sulistyo Budiarto, Koordinator Program Pengorganisasian Komunitas PKBI DIY berikut ini: “Yang kita bawa ini komunitas yang rentan semua. Pekerja seks, waria, gay, dan anak jalanan. Mereka-mereka ini kan yang selama ini terstigma jadi kelompok yang menular-nularkan virus ini. Jadi seharusnya mereka lewat perda ini harus dapat perlindungan. Dari awal pembahasannya sangat-sangat tidak partisipatoris ya, komunitas tidak diajak. Padahal mereka yang akan terkena dampak kebijakan toh, Itu kita menyusun bareng sama aliansi ya, jadi bukan SUKMA sendiri. Nah disana bener-bener digodok, pasal per pasal itu pokoknya, mana yang diskriminatif dan sifatnya melanggengkan stigma, kita poin satu-satu. Aku kebetulan lupa detailnya pasal apa Kami Bukan Sampah: Politik Klaim Atas Hak Dasar di Aras Politik dan Sosial 101

aja. Secara garis besar pokoknya di Raperda itu masih ada ODHA harus gini-gini, sanksinya kalau melanggar adalah ini-ini. Itu kan mengkriminalisasi individunya toh, jadi nalarnya itu masih ke penanganan orangnya, bukan virusnya atau sosialisasi yang bener ke masyarakat kalau ini lho, semua orang bisa kena, nggak hanya PS, anak jalanan, waria atau gay saja. Bukan semata-mata seks bebas atau narkoba. Kita juga bikin rancangan tentang pokoknya gimana nanti kalau jadi Perda harus sensitif gender, berasaskan keadilan dan yang paling penting, perlindungan. Perlindungan baik yang belum kena, apalagi yang sudah. Kalau nalarnya perlindungan kan tidak diskriminatif ya. Jadi kita mendorongkan perda ini agar sinergis antara HAM, gender dan identitas. Akhirnya kemarin ini 1 Desember akhirnya disahkan. Sebagian besar ya sudah cukup terakomodasi ya tentang kebutuhan komunitas baik itu teknis maupun perlindungan. Tapi yang masih tetap ada dan susah sekali dihilangkan itu yang berhubungan dengan moral dan agama. Hahahaha. Sebenarnya itu melanggengkan stigma ya, jadi seolah- olah orang yang terinfeksi itu pendosa semua, nggak tau agama. Tapi itu memang susah sekali kita kritisi. Sudah dikritisi tapi ra ngefek e.. hahaha. Pokokmen kuwi lah, bongso agama, moral. Itu sekarang masuk pasal 10 ayat 3b46. tapi ini merupakan satu kemajuan pesat ya, kita komunitas bisa bener-bener terlibat disini.” (Budiarto, S. 2010, komunikasi personal, 30 November). Hasil dari pengajuan rancangan tanding tersebut adalah terakomodasinya kebutuhan dan perlindungan bagi kelompok masyarakat rentan dalam Perda DIY No. 12 Tahun 2010. Beberapa yang signifikan adalah dalam pasal 2 dinyatakan bahwa asas penanggulangan HIV AIDS meliputi kemanusiaan, keadilan, 46 Pasal 10 ayat 3 b. Pengetahuan tentang perilaku hidup yang sehat dan berdasar nilai agama; 102 Merebut Kewarganegaraan Inklusif

kesetaraan gender, kebersamaan, terpadu, berkesinambungan, rahasia, dan sukarela. Serta pada pasal 7 disebutkan bahwa setiap ODHA berhak mendapat akses pelayanan kesehatan sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan, menjaga kerahasiaan status HIV dan AIDS-nya untuk menghindari perlakuan tidak menyenangkan, diskriminasi atau stigmatisasi dan dilindungi hak-hak sipilnya serta bebas dari diskriminasi dan stigmatisasi. Dalam pasal tersebut terlihat jelas perubahan yang terjadi setelah adanya rancangan tanding terhadap Perda. Dari penyusunan yang tidak partisipatoris dan lebih terkesan mengkriminalisasi daripada melindungi, kini justru telah terjamin keadilan bagi ODHA. Bukan hanya itu, bahkan ada jaminan hak bagi setiap orang untuk memperoleh informasi yang benar mengenai HIV dan AIDS dan mendapat perlindungan dari penularan HIV dan AIDS, yang tercantum dalam Pasal 6. Mengenai hal ini, Gama Triyono, Manajer Program PKBI DIY yang sempat melakukan pengawalan dan berpartisipasi dalam pengajuan rancangan tanding ini mengungkapkan bahwa keterlibatan komunitas dalam penyusunan Perda sudah sepantasnya diperjuangkan di setiap Perda. “Ini sangat menarik ya bagaimana komunitas bisa besar pengaruhnya terhadap kebijakan. Walaupun lama prosesnya tapi ini menarik untuk menunjukkan bahwa komunitas itu punya kekuatan untuk melawan, apalagi yang bermuara pada ketidakadilan. Menurutku ini langkah awal yang bagus untuk ke depannya. Ya setidaknya kita bisa memastikan bahwa kita bisa terlibat dan mempengaruhi kebijakan.” (Triyono 2011, wawancara peneliti, 10 Januari) Kami Bukan Sampah: Politik Klaim Atas Hak Dasar di Aras Politik dan Sosial 103

Legal Drafting Perancangan Perundang-undangan atau legal drafting saat ini sedang di-godog oleh SUKMA, terutama dalam CBO anak jalanan, yakni Perda Perlindungan Anak. Meski telah ada Undang- Undang Perlindungan Anak, namun CBO anak jalanan merasa perlu payung hukum secara lokal agar anak-anak dari komunitas yang termarginalkan juga dapat memperoleh perlindungan dan perlakuan yang adil dari negara. Proses legal drafting ini sendiri telah dimulai sejak tahun 2006, dengan kata lain bahkan sejak CBO-CBO komunitas merjinal belum membentuk jaringan SUKMA. Penggodokan ini sendiri hingga saat ini masih dikerjakan terutama oleh CBO anak jalanan karena mereka yang dianggap memiliki data dan dapat dibilang sudah “berpengalaman” dalam ranah perjuangan hak anak. Gagasan mengenai legal drafting ini bermula dari tindak kekerasan yang dialami oleh anak jalanan (yang masih berusia anak-anak) setiap kali terjadi garukan. Perlakuan yang menggunakan instumen kekerasan baik secara fisik maupun verbal yang kerap dialami oleh anggota komunitas jalanan rupanya tidak pandang bulu, dalam artian anak-anak pun akan mendapatkan kekerasan yang sama, seperti misal jalan jongkok dan berbaris di bawah terik matahari, lebih buruk lagi adalah kekerasan fisik seperti pemukulan yang dilakukan oleh aparat setiap kali penjaringan. Gagasan untuk penyusunan ini juga dipicu oleh adanya Raperda penganganan anak jalanan dan gelandangan pengemis yang hingga saat ini belum juga disahkan karena banyak pasal yang diskriminatif. Keprihatinan tersebutlah yang kemudian mengemuka dari berbagai diskusi internal dalam SUKMA, bahwa hak anak untuk mendapatkan perlindungan masih belum terakomodasi, selain 104 Merebut Kewarganegaraan Inklusif

karena belum ada Perda yang dapat menjadi payung hukum yang mencakup seluruh wilayah lokal, namun juga karena Undang- Undang Perlindungan Anak yang saat ini berlaku masih terlalu mainstream dan tidak mengakomodasi anak-anak dari komunitas marginal, karena selama kerangka kerja aparat ketertiban umum seperti Satpol PP masih di bawah Pasal 504 dan 505 KUHP47, maka anak-anak di jalan akan selalu terkriminalisasi tanpa mendapatkan haknya untuk dilindungi. Selain anak jalanan, dalam rancangan ini juga coba diakomodasi mengenai hak-hak anak dari pekerja seks yang nasibnya tak jauh berbeda. mereka tak mendapatkan perlindugan dan haknya untuk memperoleh lingkungan tempat tinggal yang aman dan nyaman, akses pendidikan dan lain-lain. Anak-anak pekerja seks juga sama termarginalkan seperti ibundanya. Pengerjaan rancangan perundangan ini tidak dilakukan sendiri oleh SUKMA, namun juga bersama dengan Kaukus dan jaringan lain yang terdiri dari berbagai komunitas, organisasi dan LSM yang peduli dengan isu perjuangan hak anak. Hal ini diperjelas oleh Kepala Divisi Remaja Jalanan PKBI DIY, Anantya Garaudi berikut ini: 47 Pasal 504. (1) Barangsiapa mengemis di muka umum, diancam karena melakukan pengemisan dengan pidana kurungan paling lama enam minggu. (2) Pengemisan yang dilakukan bersama-sama oleh tiga orang atau lebih, yang masing- masing berumur di atas enam belas tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan. (KUHP 45.) Pasal 505. (1) Barangsiapa bergelandangan tanpa mempunyai mata pencaharian, diancam karena melakukan pergelandangan dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan. (2) Pergelandangan yang dilakukan bersama-sama oleh tiga orang atau lebih, yang masing-masing berumur di atas enam belas tahun, diancam dengan pidana ku- rungan paling lama enam bulan. Kami Bukan Sampah: Politik Klaim Atas Hak Dasar di Aras Politik dan Sosial 105

“Kekerasan yang dialami itu nggak pandang bulu ya, perempuan, dewasa, anak-anak, yang di jalan itu kalo pas lagi digebuk ya digebuk semua. Kan kasian itu anak-anak. Bukan berarti yang lain yang bukan anak-anak lantas sah untuk dibegitukan ya, cuma kan ini ironis sekali. Negara kita itu punya lho UU Perlindungan Anak. Tapi implementasinya masih mengalienasi anak-anak yang di jalan. karena basis legalnya Satpol PP itu masih 504-505 KUHP jadi ya nalarnya tetep nggak ada perlidungan buat anak-anak yang di jalan. Jadi ya ini kenapa UU Perlindungan anak itu nggak cukup, harus ada payung hukum untuk yang lokal. ini yang lagi kita kerjakan ya, bareng sama jaringan Kaukus dan LSM lain. Intinya kita membuat pasal-pasal yang melindungi anak-anak dari komunitas marginal. Anaknya PS juga kita akomodasi disini, soalnya mereka juga terdiskriminasi, mentang-mentang ibunya pekerja seks mereka juga ikut ga dianggap. Ini momennya sekalian masih barengan sama yang Raperda Gepeng itu lho. Kan sampai sekarang kita masih audiensi terus soal Raperda itu, nah sekalian juga sebagai input ke Raperda yang kita sudah rumuskan untuk perlindungan anak ini” (Garaudi, A. 2010, komunikasi personal, 30 November). Prosesnya secara internal sendiri dimulai dengan diskusi internal CBO mengenai langkah-langkah yang harus segera diambil sebagai follow up dari keprihatinan atas tidak adanya payung hukum lokal untuk anak-anak yang termarginalkan. Proses ini dilanjutkan dengan perumusah masalah dan langkah-langkah konkret yang akan diambil. Sebelum menuju langkah nyata perumusan perundangan tersebut, sebelumnya telah diadakan FGD internal, kemudian diskusi publik untuk meraih simpati serta membuka opini publik dengan mengundang pakar di bidang hukum. (Budiarto, S. 2010, komunikasi personal, 30 November). 106 Merebut Kewarganegaraan Inklusif

Judicial Review Pengujian Undang-Undang atau judicial review pernah dilakukan oleh SUKMA ketika bergabung dengan Jaringan Perempuan Yogyakarta, atau JPY dalam menentang Perda Anti Pelacuran Bantul. Bersama dengan berbagai komunitas, LSM, dan jaringan yang peduli terhadap isu hak dan perlindungan perempuan yang terviolasi dalam Perda tersebut, SUKMA yang juga memiliki perempuan pekerja seks sebagai CBO di dalamnya turut berperan aktif dalam proses judicial review ini. Secara garis besar, substansi yang digugat adalah ketidak berpihakan Perda tersebut terhadap perempuan, terutama pada pasal yang menyatakan larangan terhadap perempuan untuk keluar pada malam hari pada jam tertentu, yang jika melanggar maka perempuan dengan profesi apapun akan terkena garukan aparat dengan tuduhan sebagai pekerja seks. Pasal-pasal lain di dalam Perda tersebut cenderung mengkriminalisasi perempuan dan membatasi ruang ekspresi perempuan. Hal tersebutlah yang menjadi fokus utama yang diperjuangkan melalui judicial review. Namun sayangnya upaya ini gagal karena JPY kalah dalam judicial review tersebut untuk alasan yang sangat teknis, yakni keterlambatan pengiriman dokumen, seperti yang diungkapkan oleh Sulistyo Budiarto berikut ini: “Ya itu sayang sekali kita kalah karena alasan teknis. Jadi belum sampai ke perdebatan substansi. Kita telat ngirim salah satu dokumen persyaratan gitu lah intinya. Suruh mbayar 1 juta lagi. Hahahaha. Tapi kita mau lanjut ke legislative review tapi sampai sekarang masih di tataran diskusi jaringan dulu. Belum dieksekusi.” (Budiarto, S. 2010, komunikasi personal, 30 November). Kami Bukan Sampah: Politik Klaim Atas Hak Dasar di Aras Politik dan Sosial 107

Proses Kebijakan Dalam ranah advokasi di proses hukum ini, SUKMA melaksanakan strateginya di ranah lobbi formal, yakni audiensi baik dengan lembaga eksekutif yang terdiri dari Biro Hukum dan dinas terkait, maupun legislatif negara di tingkat kabupaten dan kota. Penyelenggaraan audiensi pada umumnya tidak mengalami kendala secara teknis karena PKBI telah menjalin relasi yang baik dengan lembaga-lembaga tersebut, sehingga SUKMA tidak harus berhadapan dengan birokrasi yang berbelit karena merupakan jaringan CBO dampingan PKBI DIY. Ada beberapa isu yang pernah menjadi tuntutan dalam audiensi, yakni mengenai akses kesehatan, garukan, perlindungan dari kekerasan, hak anak, serta penggusuran. Audiensi dengan Dinas Kesehatan terutama terkait dengan pelayanan kesehatan yang diskriminatif. SUKMA secara tegas mengemukakan ketidakadilan yang mereka alami kepada awak dinas kesehatan, mulai dari perlakuan dari petugas kesehatan hingga urusan administrasi berupa ketidaksanggupan untuk membayar biaya pengobatan. Secara khusus para perempuan pekerja seks mengungkapkan terbatasnya akses mereka terhadap kondom, yang dikampanyekan sebagai alat pengaman dalam berhubungan seks yang mengurangi resiko terinfeksi HIV. Pekerja seks merasa bahwa sebagai kelompok rentan mereka seharusnya perlu dilindungi dan diberi akses yang cukup kepada sumber daya. Audiensi tersebut membawa dampak signifikan berupa terbitnya Jaminan Kesehatan Kelompok (Jamkesos ) pada tahun 2006. Jamkesos merupakan asuransi kesehatan yang khusus diperuntukkan bagi komunitas resiko tinggi binaan sebuah lembaga. Dengan Jamkesos, komunitas tak lagi dipungut biaya 108 Merebut Kewarganegaraan Inklusif

pengobatan. Mekanismenya adalah lembaga, dalam hal ini PKBI DIY mendapatkan sebuah kartu Jamkesos atas nama PKBI DIY yang bisa digunakan seluruh anggota komunitas yang telah didata. Masing-masing dapat memilikinya dengan cara memfotokopi lalu dilegalisir lembaga yang bersangkutan, agar selanjutnya dapat digunakan untuk mengakses layanan kesehatan di berbagai Puskesmas, klinik dan rumah sakit yang menjadi mitra Jamkesos . Meski seringkali masih ditempatkan di urutan akhir antrian karena berobat secara gratis, setidaknya komunitas telah mendapatkan keringanan dalam administrasi, dan petugas kesehatan pun tak lagi melayani sambil “menghakimi” profesi atau pilihan identitas komunitas. Sedangkan untuk para pekerja seks, kini Dinas Kesehatan telah memfasilitasi perolehan kondom secara gratis, penyuluhan kesehatan yang secara rutin diadakan di berbagai sentra prostitusi, seperti Pasar Kembang, Ngebong dan lain-lain. Selain itu, Dinas Kesehatan kini menjadi mitra tetap PKBI DIY dalam hal kesehatan reproduksi dan seksual dengan secara rutin menyelenggarakan VCT (Voluntary Counseling and Testing ) yakni pemeriksaan dan konseling HIV/AIDS secara rahasia untuk komunitas. Secara umum, lobi yang dilakukan oleh SUKMA dengan berbagai lembaga tersebut merupakan sebuah diskusi ulang mengenai positioning SUKMA dalam masyarakat, membuka wacana pihak penyelenggara kebijakan terkait bahwa ada sekelompok warga negara yang tereksklusif dari penyelenggaraan kebijakan yang adil. Efek yang didapat cukup signifikan, yakni turunnya angka razia/garukan secara drastis, yang juga berarti berkurangnya kekerasan yang dilakukan aparat ketertiban kepada komunitas marginal seperti yang diungkap Gama Triyono selaku Manajer Program PKBI DIY berikut ini: Kami Bukan Sampah: Politik Klaim Atas Hak Dasar di Aras Politik dan Sosial 109

“Audiensi itu efeknya besar sekali, waktu itu mengenai garukan ,tapi kita nggak semata-mata langsung protes menolak garukan gitu, kita buka dulu wacana mereka mengenai pilihan identitas, intinya diskusi lah. Memberi tahu positioning kita di masyarakat itu gimana. Intinya buat dulu mereka mengerti. Ya efeknya signifikan sekali, garukan itu sekarang menurun drastis lho” (Triyono, G. 2011, komunikasi personal, 12 Januari). Sedangkan pencapaian setelah audiensi mengenai isu hak anak membuahkan hasil yang juga cukup signifikan. Salah satu bunyi tuntutan dalam audiensi mengenai hak anak adalah hak anak dari pekerja seks atas pendidikan dan menemui hasilnya pada tahun 2007-2009 yakni diturunkannya beasiswa bagi anak-anak dari pekerja seks oleh Dinas Sosial. Namun sayangnya karena daftar anak pekerja seks yang membutuhkan pendidikan dalam database semakin berkurang, maka beasiswa tersebut akhirnya dihentikan, meski bisa jadi berkurangnya jumlah anak tersebut dikarenakan update data yang tersendat. (Budiarto, S. 2010, komunikasi personal, 30 November). Pada tahun 2010, ada satu isu yang secara masif diperjuangkan oleh seluruh elemen dalam SUKMA, yakni kasus ancaman penggusuran Ngebong. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, Ngebong merupakan salah satu wilayah yang didiami oleh komunitas marginal yakni perempuan pekerja seks, remaja jalanan dan waria. Ngebong terletak di kawasan sebelah timur Stasiun Tugu Yogyakarta, yang telah berkembang dari sekedar pemukiman liar menjadi kawasan ekonomi. Warga yang tinggal di Ngebong sebagian besar berwirausaha dengan membuka warung kelontong, berdagang asongan dan lain-lain. Ada pula yang menyewakan rumahnya untuk ditinggali para pekerja seks yang juga “nongkrong” di Ngebong. 110 Merebut Kewarganegaraan Inklusif

Pada bulan April 2010, warga Ngebong mendapatkan surat teguran dari PT Kereta Api (Persero) Daerah Operasi 6 Yogyakarta tertanggal 30 April 2010 yang berisikan tuntutan agar area Ngebong dikosongkan dari bangunan-bangunan liar segera karena alasan peningkatan ketertiban, keamanan, dan keindahan wilayah khususnya sebelah barat stasiun besar (Tugu) Yogyakarta (Lihat lampiran I). Berikut penjelasan lebih jauh mengenai surat peringatan tersebut oleh Sri Murtini, Mantan Kepala Divisi Perempuan Pekerja Seks PKBI DIY yang menjadi salah seorang tokoh kunci saat isu tersebut sedang bergulir: “Pertama kali aku denger soal itu dari salah satu MS48 yang sms aku, katanya warga Ngebong dapet surat peringatan dari PTKAI, harus mengosongkan wilayah Ngebong. Katanya keadaan disana jadi kacau karena mereka jadi merasa terancam, soalnya banyak aparat gitu yang datang mengintimidasi. Beberapa pemilik warung bahkan sudah membongkar warungnya karena panik dan ketakutan. Belum lagi intimidasi dari beberapa aparat yang sering datang ke lokasi semenjak itu, berjalan-jalan keliling dan bahkan ada yang mengancam kalo warungnya nggak segera dibongkar, mau dibakar katanya. Kita setelah mendengar kabar tersebut, langkah awal yang dilakukan adalah langsung turun ke lapangan. Pertemuan dengan para pemilik warung dan PS untuk konsolidasi ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Gerak-gerik kita selalu diawasi sama aparat keamanan, khususnya reserse, bahkan waktu itu kita cuman diskusi gitu sama warga, udah ada yang wira-wiri di luar pendopo gitu. Pas kita ngomong sama aparatnya itu, katanya mereka mendengar isu beredar bahwa komunitas akan menggerakkan 200 48 MS merupakan singkatan dari Mitra Strategis, yakni sebutan PKBI bagi anggota komunitas yang didampingi. Kami Bukan Sampah: Politik Klaim Atas Hak Dasar di Aras Politik dan Sosial 111

massa untuk berdemonstrasi menentang penggusuran ini. Padahal sih kita belum membicarakan ke arah situ dengan komunitas.” (Murtini, S. 2010, diskusi Kemisan PKBI DIY, April). Hal tersebut diamini oleh salah seorang perempuan pekerja seks yang juga sering “mangkal” di Ngebong; “Habis ada surat itu to mbak, banyak polisi-polisi, wartawan, kamtib, pokoknya yang seragam-seragam. Eh yang pake baju preman juga ada pokoknya badannya gede-gede gitu mbak, jadi sering wira- wiri. Wartawan juga. Jadi kemrungsung lah pokoke. Terus mereka itu suka ndatengin warung-warung. Ngancam gitu-lah mbak. Jadi pedagang-pedagang yang buka kios disitu ya jadi ketakutan, njuk dah mau nutup warungnya gitu. Lha wong diomongi “Iki nek ra dikukuti suk mbangane tak obong lho”49, ya siapa yang nggak takut to mbak. Wong kita udah pengalaman nek razia gitu pada kejem-kejem. Nek kayak saya gini kan bisa pindah-pindah ya mbak, tapi kalo yang buka warung kan kasian.” (Tejo, S. 2010, komunikasi personal, Desember) Basis legal tuntutan tersebut adalah pasal 17850 dan 19251 Undang-Undang No. 23 th, 2007 tentang Perkeretaapian Bab XV. Karena surat tersebut dapat mengancam kehidupan dan 49 Dalam bahasa Indonesia berarti “Ini kalau tidak segera dibongkar, besok daripada saya bakar lho” 50 Pasal 178: “Setiap orang dilarang membangun gedung, membuat tembok, pagar, tanggul dan bangunan lainnya, menanam jenis pohon yang tinggi, atau menem- patkan arang pada jalur kereta api yang dapat mengganggu pandangan bebas dan membahayakan keselamatan perjalanan kereta api”. 51 Pasal 192: “Setiap orang yang membangun gedung, membuat tembok, pagar, tanggul, dan bangunan lainnya, menanam jenis pohon yang tinggi, atau men- empatkan barang pada jalur kereta api yang dapat mengganggu pandangan bebas dan membahayakan keselamatan perjalanan kereta api sebagaimana dimaksud pasal 178, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah)”. 112 Merebut Kewarganegaraan Inklusif

penghidupan komunitas yang bermukim di wilayah Ngebong, maka warga yang tinggal di wilayah Ngebong bersepakat untuk melakukan advokasi agar penggusuran tidak terjadi. Proses yang berjalan sejak bulan Juni 2010 diawali dengan konsolidasi internal komunitas Ngebong. Karena Ngebong merupakan salah satu komunitas yang membentuk jaringan SUKMA maka isu ini mendapatkan perhatian penuh dari jaringan. Dalam konsolidasi internal tersebut, SUKMA beserta para community organizer dari divisi gay, remaja jalanan, waria dan pekerja seks PKBI DIY merumuskan rencana aksi menentang penggusuran terhadap wilayah Ngebong (Cahya, F. 2010, komunikasi personal, Desember). SUKMA dengan dukungan PKBI DIY menyatakan penolakan terhadap penggusuran tersebut. Berbagai langkah telah dijalankan untuk memperkuat posisi tawar warga Ngebong. Secara garis besar ada tiga langkah yang dilakukan oleh SUKMA untuk menentang penggusuran ini, yakni: 1. Pengarusutamaan isu ke jaringan komunitas dan jaringan PKBI DIY Pengarusutamaan isu ke jaringan komunitas dan jaringan PKBI DIY dilakukan untuk menggalang dukungan dari berbagai organisasi dan komunitas lain yang memiliki fokus perjuangan yang sejalan dengan SUKMA, yakni perjuangan HAM dan identitas, seperti Solidaritas Peduli AIDS Yogykarta (SPAY), People Like Us (PLU) Satu Hati, Jaringan HAM dan Keberagaman (JAMGAMAN) dan lain-lain. Pengarusutamaan ini dilaksanakan melalui diskusi yang kemudian merumuskan rencana aksi selanjutnya yang dibutuhkan oleh SUKMA. Kami Bukan Sampah: Politik Klaim Atas Hak Dasar di Aras Politik dan Sosial 113

2. Penguatan basis argumentasi legal Langkah ini dilakukan untuk memperkuat argumentasi SUKMA ketika melaksanakan audiensi, sekaligus sebagai landasan argumen yang kuat bagi komunitas untuk menolak perintah pengosongan wilayah Ngebong tersebut. Basis argumentasi diperkuat dengan Pasal 2752 dan 2853 UUD 1945 serta UU No. 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian yang juga dijadikan dasar perintah pengosongan area Ngebong. Jika landasan yang digunakan oleh PTKAI adalah Pasal 178 dan 192, maka SUKMA melawannya dengan Pasal 4754, 84 ayat 355, dan penjelasan Pasal 17856. Pasal 47 menjadi poin argumentasi yang kuat bagi SUKMA, karena PTKAI tidak pernah memasang tanda batas daerah manfaat jalur kereta api. Didukung pula oleh pasal 84 bahwa jika warga yang bermukim di Ngebong harus mengosongkan wilayah tersebut maka mereka berhak mendapatkan ganti rugi. Sedangkan pada penjelasan Pasal 178, jelas disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “pandangan bebas” adalah 52 (1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemer- intahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. (2) Tiaptiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. 53 Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. 54 Penyelenggara prasarana perkeretaapian harus memasang tanda batas daerah manfaat jalur kereta api. 55 Pemegang hak atas tanah, pemakai tanah Negara atau masyarakat hukum adat, yang tanahnya diperlukan untuk pembangunan prasarana perkeretaapian, berhak mendapat ganti kerugian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. 56 Yang dimaksud dengan “pandangan bebas” adalah tidak terhalang nya pandangan masinis kereta api untuk melihat peralatan persinyalan dan kondisi jalan rel. 114 Merebut Kewarganegaraan Inklusif

tidak terhalangnya pandangan masinis kereta api untuk melihat peralatan persinyalan dan kondisi jalan rel, sehingga basis tuntutan PTKAI terhadap warga Ngebong yang “menghalangi pandangan bebas kereta api” terbukti tidak relevan. Selain itu, SUKMA juga berpegang pada basis argumen yang cukup kuat, yakni bahwa wilayah Stasion Tugu Yogyakarta termasuk area Ngebong merupakan Sultan Ground, yakni tanah milik Kraton Yogyakarta, yang dengan demikian tidak memberikan hak bagi PTKAI untuk memberi perintah mengenai pengosongan wilayah tersebut tanpa persetujuan dari pihak Kraton Yogyakarta. Basis-basis argumen tersebut dikembangkan sedemikian rupa sehingga meningkatkan posisi tawar SUKMA di hadapan berbagai pihak yang berwenang pada saat audiensi. 3. Audiensi dan Dialog Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, untuk mempertahankan hak warga Ngebong, SUKMA juga melaksanakan audiensi dengan DPRD DIY, Lembaga Ombudsman Daerah, LBH serta dialong dengan DAOP KAI. Dalam audiensi dan dialog tersebut SUKMA menyatakan keberatan dan penolakannya terhadap perintah pengosongan wilayah Ngebong, karena alasan hak asasi manusia yang diperkuat dengan Undang-Undang 1945 dan UU No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Dalam audiensi tersebut, anggota komunitas mengungkapkan bahwa jika penggusuran harus terjadi maka mereka menuntut ganti rugi yang layak sebagai kompensasi atas kerugian mereka kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian. Kami Bukan Sampah: Politik Klaim Atas Hak Dasar di Aras Politik dan Sosial 115

4. Press Release Selain audiensi langsung dengan pihak-pihak terkait, SUKMA juga meluncurkan press release ke media massa untuk mengarsutamakan isu ini di masyarakat umum, sekaligus menggalang dukungan dari masyarakat Jogja dan sekitarnya (Lihat Lampiran II) (Cahya, F. 2010, komunikasi personal, Desember). Setelah melalui berbagai proses tersebut, hingga saat ini belum ada keputusan apapun mengenai perintah pengosongan tersebut, dan wilayah Ngebong tetap beraktivitas seperti biasa, tanpa adanya gangguan dan intimidasi dari pihak manapun, seperti yang diungkapkan oleh Fairy berikut ini: “Ya sampai sekarang memang belum ada keputusan apa-apa dan itu bisa dikatakan sebagai capaian ya. Karena kan dengan perjuangan kita audiensi dengan basis argumentasi yang kuat, itu bikin pemerintah mikir dua kali lah kalo mau nggusur Ngebong. Sing tenan wae, dari sisi HAM kita sangat kuat lho dan bahkan dari UU No. 23 itu aja kita udah bisa menang telak dari PTKAI karena jelas Ngebong itu nggak menghalangi pandangan kereta api kok, kan di pinggir, kecuali nek neng tengah. Ya jadi sekarang udah tenang sih komunitas, soalnya kita juga menuntut kalo mau digusur ya harus dapet ganti rugi. Mungkin kalau kita nggak berjuang bareng- bareng gini, SUKMA nggak bergerak, ya penggusuran itu tetep terjadi. Menurutku sebuah jaringan itu penting terutama untuk menghadapi isu seperti ini ya.. “ (Cahya, F. 2010, komunikasi personal, Desember) Demikian juga seperti diungkapkan oleh Lastri, Pekerja Seks yang berdomisili di Ngebong. 116 Merebut Kewarganegaraan Inklusif

“Ya sekarang kita biasa lagi mbak. Kayak biasanya. Belum ada surat lagi kayak gitu, nggak ada peringatan kok. Ya sempat sih Ngebong tu digembok, tapi kita jebol sendiri nyatanya juga nggak diapa-apain kok. Semoga aja nggak jadi digusur, kalo jadi ya minta ganti rugi mbak” (Lastri 2011, komunikasi personal, Januari). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa SUKMA dapat memperoleh akses untuk mempengaruhi kebijakan, meski masih dalam tataran memberikan input dan belum melangkah lebih jauh dalam mekanisme kontrol kebijakan. Sulitnya memperoleh akses untuk mengontrol kebijakan, atau dengan kata lain memastikan poin-poin yang sebelumnya menjadi tuntutan yang disampaikan dalam audiensi agar direalisasikan dalam bentuk kebijakan dipengaruhi pertarungan kepentingan antar kedua belah pihak. SUKMA masih memiliki posisi tawar yang lemah jika berhadapan dengan para legislator dan decision maker, seperti yang diungkapkan Sulistyo Budiarto berikut ini: “Kita mendapatkan akses untuk memberi input, membawa pengaruh ke kebijakan wae wes apik kui.Wes iso audiensi menurutku kemajuan yang sangat pesat ya. Komunitas marginal bisa langsung didengar anggota dewan itu kan butuh perjuangan ya. Tapi kalo untuk memastikan dalam artian mengontrol yang kita tuntut itu bener- bener terealisasi atau enggak ya susah. Politik itu kepentingan. Kita posisi taware isih rendah. Misal apa sih yang mau kita tawarkan bagi anggota-anggota dewan itu dengan nge-golkan isu kita? Padahal iki isune nonmainstream. Bayangke wae misal tuntutan untuk prochoice aborsi. Ha nek dituruti PKS kehilangan suara, PDIP kehilangan suara. Ya ilustrasinya seperti itu lah. Yang kita tawarkan yang bisa menjawab pertanyaaan mereka “ha untungnya buat kami apa?” kui belum ada, hahahaha. Itu masih agak panjang perjalanannya untuk ke arah situ, tapi tentu saja kita terus membidik kesana lah. Kami Bukan Sampah: Politik Klaim Atas Hak Dasar di Aras Politik dan Sosial 117

Yang HIV AIDS ini kan bisa jalan akhirnya to meskipun agak lama. Tapi good will penguasa yang suka mengundang, melibatkan kami di kebijakan, kayak Raperda penanganan anak jalanan dan gepeng itu divisi remaja jalanan diundang terus untuk input. Paling tidak suara sudah didengar-lah.“ (Aresta, O.S. 2010, komunikasi personal, 29 November) Suatu pencapaian lain terlihat pada meningkatnya keberanian komunitas waria dalam adu argumentasi dengan Satpol PP yang menjaring mereka dalam razia, seperti yang diungkapkan Olivia Sonya Aresta, seorang waria yang juga mantan Kepala Divisi Waria PKBI DIY. “Sejak sering audiensi temen-temen sekarang jadi berani lho sama Satpol PP. ya jadi bisa ngomong gitu lah. Tiap kali digaruk kita mesti bilang sama mereka “Pak ini sebenernya apa to gunanya digaruk, mbayar, diceramahi, njuk diculke. Ini nggak solutif Pak, kalo kita mengganggu ketertiban mbok ya dikasih pekerjaan apa gitu. Kalo kayak gini ya kami yang salah terus Pak. Negara kok nggak ngasih solusi. Teman kami di LSM banyak Pak, jadi kalo kami diperlakukan tidak adil atau semena-mena kami punya banyak back-up.” Bar diomongi ngono mesti Satpol PP mesti njawab “Lho kami cuma menjalankan tugas kok, yowes kono pager neng kono..” hahahahaha.. jadi ya gitu sekarang dibawa ke dinsos gitu ya untuk formalitas aja, udah sampe sana kita langsung dikasihtau kalo mau lompat pagar apa lompat tembok. Neng njobo tembok wes ono warwor liyane sing nggowo motor. Hahahaha” (Aresta, O.S. 2010, komunikasi personal, 29 November) 118 Merebut Kewarganegaraan Inklusif

Mengubah Budaya Sosial Stigma yang melekat pada pekerja seks, gay, anak jalanan dan waria sebagai kaum pesakitan dan anomali manusia telah menyingkirkan mereka dari kehidupan sosial yang normal sehari-hari. Masyarakat yang terlanjur antipati dengan mereka karena khawatir akan pengaruh buruk yang dibawanya membuat kelompok-kelompok marginal tersebut semakin teralienasi. SUKMA menyadari sepenuhnya bahwa untuk menghadirkan kesadaran baru dalam masyarakat, tak cukup hanya membuat mereka sekedar tahu, namun juga ikut merasakan beratnya ketidakadilan yang dialami selama ini dan bahwa keberadaan kelompok masyarakat dengan pilihan identitas nonmainstream merupakan kenyataan sosial yang tak lagi dapat dihindari. Oleh karena itu, yang harus digarisbawahi adalah SUKMA bukan memperjuangkan akan stigma terhadap keberbedaan mereka dapat diakui dan berdiri sejajar dengan identitas mainstream, namun lebih kepada bagaimana mereduksi stigma masyarakat agar tidak bermuara kepada diskriminasi dan alienasi terhadap komunitas tersebut. Strategi SUKMA dalam membangun kesadaran baru dalam masyarakat mewujud dalam kampanye publik dan perilaku bijak di ruang sosial. Kampanye Publik Kampanye publik yang dilaksanakan oleh SUKMA meliputi kegiatan masal yang dilaksanakan secara bersama-sama dan bertujuan untuk membangun kesadaran publik baru, tak hanya membuka kesadaran masyarakat akan eksistensi mereka di ruang Kami Bukan Sampah: Politik Klaim Atas Hak Dasar di Aras Politik dan Sosial 119

sosial, namun juga mengupayakan reduksi stigma negatif yang selama ini dilekatkan kepada mereka. Aksi Aksi berupa long march seperti yang pada umumnya kita kenal dalam istilah “demonstrasi” atau “unjuk rasa” yang dilakukan SUKMA adalah sebagai respon terhadap isu-isu tertentu, baik yang secara langsung berkaitan dengan isu-isu yang sedang diperjuangkan, maupun isu-isu lain untuk menunjukkan simpati dan kepedulian SUKMA terhadap dinamika berbangsa dan bernegara. Banyak aksi yang pernah dilaksanakan oleh SUKMA, antara lain aksi untuk memperingati International Day Against Homophobia Mei 2010 di Yogyakarta. Pada aksi tersebut SUKMA melakukan long march dengan membawa berbagai spanduk yang mengampanyekan antikekerasan dan diskriminasi terhadap homoseksual, meski dapat dikatakan bahwa isu tersebut menjadi “milik” komunitas gay dan waria. Selain itu mereka juga membagi- bagikan pamflet yang berisi informasi senada, bahwa tidak adil jika homoseksual terisolasi dari kehidupan sosial karena pilihan orientasi seksualnya. Selain itu, aksi-aksi yang juga dilaksanakan oleh SUKMA adalah aksi yang berkaitan dengan kebijakan, misal aksi tolak Raperda Gepeng, aksi menuntut Perda Penanggulangan HIV/ AIDS yang nondiskriminatif, aksi tolak Perda Bantul tentang Pelacuran, dan lain-lain. SUKMA juga umumnya juga selalu melakukan long march dalam perjalanan menuju audiensi dengan lembaga eksekutif atau legislatif daerah. 120 Merebut Kewarganegaraan Inklusif

Salah satu aksi yang cukup unik yang pernah dilaksanakan oleh SUKMA adalah pada momentum Jogja Fashion Week 2009. Pada saat itu SUKMA ikut berpartisipasi dengan menjadi peserta pawai di pembukaan acara tersebut. Pada pawai tersebut, anggota komunitas gay, perempuan pekerja seks, waria dan remaja jalanan turut berkontribusi dari konsep hingga ke pelaksanaan. Sesuai dengan temanya, yakni fahion dan batik, maka SUKMA pun berkreativitas untuk menggabungkan antara fashion dan batik dengan kampanye identitas mereka. SUKMA memilih untuk menggunakan konsep recycle, yakni menggunakan sampah- sampah bekas minuman, makanan atau sisa-sisa kemasan dari barang kebutuhan sehari-hari yang kombinasikan dengan batik. Ide yang coba ditanamkan oleh SUKMA dari konsep tersebut adalah agar masyarakat atau siapapun yang nantinya menonton pawai akan menyadari bahwa komunitas marginal yang selama ini dianggap sampah, sebenarnya pun bisa bermanfaat bagi kehidupan, tergantung bagaimana kreativitas masyarakat untuk memahami keberadaan mereka, seperti yang diungkapkan oleh Fairy berikut: “Waktu Jogja Fashion Week itu aksinya konsepnya unik ya, kebetulan momentumnya juga pas, jadi sekalian aja kita menyisipkan pesan keberagaman identitas di konsep pawainya. Jadi kita waktu itu konsepnya recycle, jadi bikin baju yang dikombinasikan pake sampah-sampah gitulah. Yang berkesan sih semua yang tergabung di SUKMA ikut berpartisipasi dari ide dan konsep sampe bikin-bikin bajunya semuanya deh. Waktu itu kostumnya macem-macem ya, tapi tetep ada unsur batik karena waktu itu temanya batik. Jadi waria ya pake yang heboh-heboh gitu, kalo remaja jalanan pake kostum Punokawan, temen-temen lesbian pake kostum tradisional yang buat cowok, kalo mbak-mabk PS pake baju yang seksi-seksi Kami Bukan Sampah: Politik Klaim Atas Hak Dasar di Aras Politik dan Sosial 121

gitu, hehehe... Ya intinya waktu itu fun sih, jadi komunitas seneng banget dapet momentum yang nggak serius-serius terus. Dan kita dapet sambutan yang meriah lho dari orang-orang sepanajang Malioboro waktu pawai dan menang dapet juara 3. Lumayan lah.. hahahaha...”(Cahya, F. 2010, komunikasi personal, Desember) Bagi sebagian orang mungkin aksi atau unjuk rasa merupakan kegiatan yang klise dan buang-buang waktu, namun bagi SUKMA, aksi merupakan satu media yang penting untuk menyuarakan aspirasi masyarakat marginal yang kerap tenggelam dan terlupakan. Seperti pengalaman salah seorang pekerja seks yang tergabung dalam SUKMA dalam melakukan aksi berikut ini: “Sejak sama SUKMA itu saya sering ikut aksi, ya lumayan sering gitu mbak, macem-macem. Ya misal waktu itu pas IDAHO itu mbak. Sebenernya kan itu buat yang gay itu ya mbak ya, tapi karena kita juga SUKMA jadi ya tetep ikut lah istilahnya simpati gitu mbak. Terus yang misal menolak Raperda Gepeng, Perda Pelacuran, ya masih banyak lah mbak. Kalo mau audiensi di DPRD gitu juga biasanya jalan dulu dari Abubakar Ali sambil mbagi-mbagi selebaran gitu, kita bawa spanduk-spanduk itu lho mbak yang diangkat-angkat. Tergantung kita misal mau audiensi mau ngomong apa, lha itu yang nanti ditulis gitu misal “hilangkan diskriminasi terhadap perempuan”, kayak gitu mbak. Tapi temen-temen itu ada beberapa yang males aksi gitu soale kan banyak wartawan to mbak yang moto-moto, nanti nek masuk koran terus ketauan sama keluarganya gitu kan repot ya mbak, hehehe.. jadi sok-sok ya pake slayer gitu. Tapi kalo aksi gitu ya kita sih seneng ya mbak., jadi ada kesempatan gitu lho buat mengungkapkan sama pemerintah. Dulu kita kan cuma bisa ya, istilahe diem lah kalo misal ada peraturan yang merugikan gitu kan nggak bisa ngapa-ngapain ya, mau protes juga apa ya didengar, jadi aksi gini kita udah cukup lega lah mbak istilahnya” (Tejo, S. 2010, komunikasi personal, Desember). 122 Merebut Kewarganegaraan Inklusif

Media Massa Salah satu cara untuk mereduksi stigma terhadap komunitas marginal adalah dengan membawa isu-isunya ke ranah media. Media massa merupakan salah satu corong utama bagi SUKMA untuk mengekspresikan dirinya dan membuat masyarakat luas menyadari keberadaan mereka sebagai entitas nyata di dalam kehidupan sosial sehari-hari. Sesuai fungsinya dalam struktur sosial, media massa juga merupakan bagian dari mekanisme sosial yang menjalankan fungsiknya dengan cara menyampaikan informasi. Wilbur Schram menyebutkan fungsi media massa secara umum sebagai alat penyebar gagasan, cita-cita, serta pikiran manusia. Media massa dalam arti sempit (surat kabar) merupakan buku harian cetak bagi manusia (Taufik, 1977:7-8). SUKMA menyadari betul pentingnya peran media untuk mendukung perjuangannya, oleh karena itu SUKMA tak pernah lupa untuk menggandeng media dalam setiap aksinya, mulai dari mengundang wartawan dalam setiap aksi yang akan dilaksanakan, konferensi pers, dan juga press release. Sebelum melaksanakan konferensi pers dan menerbitkan press release, biasanya community organizer PKBI DIY mengadakaan pelatihan untuk komunitas mengenai kiat-kiat melaksanakan konferensi pers dan membuat press release, karena media skill anggota jaringan yang masih terbatas. Untuk mengembangkan kemampuan komunitas di ranah media, SUKMA juga menerbitkan buletin tiga bulanan yang berjudul Buletin Kita (TINTA). Buletin tersebut membuka ruang bagi siapapun anggota komunitas yang ingin menyalurkan ide dan kreativitasnya. TINTA berisi berita aktual terkait isu yang sedang diperjuangkan oleh SUKMA dan Kami Bukan Sampah: Politik Klaim Atas Hak Dasar di Aras Politik dan Sosial 123

juga kolom-kolom kreativitas komunitas, seperti puisi, cerpen dan prosa, yang bebas dikirimkan oleh anggota komunitas (Budiarto, S. 2010, komunikasi personal, 30 November). Bijak di Ruang Sosial Salah satu gagasan fundamental yang sering terlupakan oleh masyarakat yang berpola pikir mainstream mengenai komunitas marginal adalah bahwa mereka tetap manusia biasa, yang berpikir, bertindak dan menjalani hidupnya seperti layaknya individu lain di dunia ini. Namun acapkali mereka dianggap pesakitan yang mesti dihindari, sehingga masyarakat pada umumnya cenderung antipati terhadap pekerja seks, gay, waria dan remaja jalanan. Untuk mereduksi stigma tersebut, tak cukup dengan melulu memberikan kesadaran baru di ranah politis, namun yang paling dasar, yakni dalam kehidupan nyata sehari-hari, yaitu bagaimana SUKMA menyentuh sisi nurani masyarakat dari jarak yang terdekat. Seperti misal solidaritas bencana. Setiap kali terjadi bencana di Yogyakarta, SUKMA selalu turut andil dalam berbagai cara, misal mengumpulkan sebagian dari penghasilan mereka untuk disalurkan kepada korban bencana, baik itu berupa uang ataupun barang. Saat terjadi bencana erupsi gunung Merapi beberapa waktu yang lalu, SUKMA secara aktif menggalang solidaritas untuk para korban. Perempuan pekerja seks berpartisipasi dengan menyisihkan penghasilannya masing-masing yang dikumpulkan untuk membeli barang kebutuhan pengungsi. Begitu pula dengan waria dan remaja jalanan, mereka mengamen untuk menyerahkan hasilnya kepada posko pengungsian. Sedangkan gay menggelar 124 Merebut Kewarganegaraan Inklusif

potong rambut gratis di berbagai posko pengungsian (Triyono, G. 2011, komunikasi personal, Januari). Selain solidaritas bencana, SUKMA juga rutin mengadakan pengajian dan buka puasa bersama setiap Bulan Ramadhan untuk para pedagang di kawasan Pasar Beringharjo. Biasanya kegiatan tersebut juga diisi dengan berbagai pentas seni sebelum jam berbuka puasa, yang diisi oleh anggota komunitas (Cahya, F. 2011, komunikasi personal, Januari). Satu lagi bentuk upaya reduksi stigma, yakni didirikannya pesantren waria oleh Ikatan Waria Yogyakarta (IWAYO) yang juga tergabung dalam SUKMA. Pesantren waria, merupakan salah satu upaya untuk mengetuk hati nurani masyarakat bahwa waria adalah manusia biasa yang juga makhluk Tuhan. Pesantren tersebut juga merupakan solusi bagi para waria yang sebetulnya sangat ingin pergi ke mesjid seperti orang-orang pada umumnya namun masih sering memperoleh pandangan negatif serta cemoohan oleh jemaah lainnya. Meski tidak menganut sistem boarding school seperti pesantren pada umumnya, namun kegiatan berjalan secara rutin. Setiap bulan Ramadhan pun pesantran waria selalu menyelenggarakan buka puasa bersama dengan anak-anak yatim piatu. Pesantren waria yang terletak di kampung Notoyudan, Yogyakarta ini tidak menutup diri bagi siapapun yang ingin datang ke pengajian- pengajian yang diadakan secara rutin, seperti yang diungkapkan oleh Gama Triyono berikut ini: “Pesantren waria itu ada untuk menjawab kebutuhan spiritual untuk khususnya waria ya. Mereka kan juga manusia biasa, yang punya relasi dengan Tuhannya. Kebutuhan spiritual lah, butuh siraman rohani, gitu lah. Ini sekaligus merupakan upaya untuk Kami Bukan Sampah: Politik Klaim Atas Hak Dasar di Aras Politik dan Sosial 125

menunjukkan pada masyarakat juga tentang itu. Jadi bukan untuk bertobat. Kebanyakan orang masih berpikiran bahwa seharusnya pesantren waria ini didirikan agar para waria itu bertobat. Tapi masalah tobat nggak tobat itu kan pribadi ya, pilihan masing- masing. Yang jelas disini menyediakan tempat dan fasilitas bagi waria untuk kebutuhan spiritual Islamnya. Kita juga punya Ustadz ya, memang nggak bisa dipungkiri agak sulit mencari Ustadz yang nggak mainstream, hahahaha. Maksudnya sih Ustadz yang memiliki perspektif keberagaman, yang bisa melakukan pekerjaannya dengan nonstigmatik. Bukan yang dateng-dateng terus nyuruh waria semua untuk jadi laki-laki, bukan seperti itu. Yang bisa seperti biasa dia memberi ceramah dan bimbingan agama ke masyarakat pada umumnya. Namanya itu salah satunya, Pak Abdul Muis, beliau rutin ngisi dan membina waria disana. Beliau mantan Ketua MUI Bangkalan, kalo kamu pernah denger.” (Triyono, G. 2011, komunikasi personal, Januari). Hal senada juga diungkapkan oleh Arief, seorang waria mengenai didirikannya pesantren waria: “Disinilah kami diperlakukan manusiawi, kami belajar mengaji bersama, berbuka puasa bersama, sholat tarawih, tahajud, dan berzikir, serta sahur bersama. Semua aktivitas selalu kami lakukan bersama-sama.” (Buletin TINTA 2010) Pada salah satu edisi TINTA pada April 2010, terdapat ulasan mengenai Pondok pesantren waria, yang didirikan di rumah Maryani, yang juga merupakan salah seorang tokoh waria. Ia memiliki pendapat tersendiri mengenai pentingnya pesantren waria: “Waria juga seperti umat yang lain, menjalankan rukun Islam agar dekat dengan Sang Kuasa. Namun pada kenyataannya masih banyak 126 Merebut Kewarganegaraan Inklusif

yang belum dapat menerimanya, karena itu kami menegaskan agar ada tempat buat mereka mendekatkan diri dengan Allah SWT, disinilah kemudian kami berkumpul.” Pondok pesantren tersebut didukung oleh Ustadz Hamroeli Harun, yang setiap sore selalu datang untuk memberikan pelajaran membaca Al Qur’an dan pengajian. Dalam TINTA juga disebutkan bahwa kendati berada di ruangan sempit, tetapi itu lebih dari cukup untuk mereka menjalankan ibadah. Setiap hari datang puluhan waria dari berbagai daerah datang untuk beribadah dan belajar mengaji bersama. Ustadz Hamroeli Harun pun menyadari betapa keberadaan pesantren ini sangat dibutuhkan oleh waria, ia mengungkapkan “Waria itu juga manusia, di dalam batinnya juga membutuhkan agama dan saya merasakan hal itu.”57 Gambar 4.1. Kegiatan Waria di Pesantren Waria Sumber: Buletin TINTA 2010 127 57 Disarikan dari Buletin TINTA Edisi 3, April 2010. Kami Bukan Sampah: Politik Klaim Atas Hak Dasar di Aras Politik dan Sosial



Refleksi Kewarganegaraan adalah salah satu fokus kajian politik dan pemerintahan yang telah beranjak dari konsentrasinya pada hubungan antar lembaga-lembaga pemerintahan, juga otoritas- otoritas pemerintah seperti Presiden, lembaga perwakilan, partai, dan lain-lain. Kewarganegaraan inklusif merupakan varian kajian kewarganegaraan yang tidak sekedar berkonsentrasi pada status legal formal sebagai warga negara, berikut hak dan kewajibannya. Kewarganegaraan inklusif menyiratkan peran penting negara dalam menjamin terpenuhinya hak-hak warganya secara adil dan setara. Penelitian ini mencoba untuk memperkaya subjek kajian kewarganegaraan dengan membawanya kepada dimensi yang belum banyak terjamah. Penelitian ini sekaligus bertujuan untuk melihat lebih jauh dan mengangkat realitas perjuangan kelompok- kelompok yang terlupakan, yang dianggap tak ada. Penelitian ini membawa ke permukaan isu pentingnya kewarganegaraan inklusif di negara demokratis, termasuk Indonesia. Membuka wawasan masyarakat umum maupun masyarakat akademis bahwa isu ini merupakan isu yang nyata dan

tak bisa dihindari dalam kehidupan di dunia. Mendobrak tradisi ortodoks dari apa yang disebut nilai-nilai ketimuran yang selama ini diklaim sebagai pedoman untuk tetap meletakkan kelompok- kelompok minoritas marginal jauh di alam bawah sadar negara. Kewarganegaraan inklusif di Indonesia adalah perjuangan yang belum selesai. Pemenuhan hak-hak warga negara, yang seharusnya dilakukan secara adil dalam basis kesetaraan, sering mengeksklusifkan kelompok-kelompok tertentu, yang karena sebab-sebab tertentu seolah dianulir haknya. Kelompok masyarakat yang dikaji dalam penelitian ini adalah kelompok minoritas yang termarginalkan, tak hanya oleh negara, namun juga oleh masyarakat dalam lingkup sosial sehari-hari, karena identitas diri yang berbeda dari kebanyakan. Identitas yang mereka pilih adalah sebagai perempuan pekerja seks, waria, homoseksual, dan anak jalanan. Bagi sebagian besar orang, kelompok masyarakat yang tersebut di atas merupakan pesakitan dan hampir bukan manusia, sehingga tak dianggap sebagai anggota dari entitas politik bernama negara yang selama ini mereka tinggali. Satu poin penting adalah ketika bicara mengenai hak, maka itu adalah sesuatu yang bersifat universal, tidak memilih- milih. Begitu pula dengan warga negara. Sifat inklusif dari kewarganegaraan mempersyaratkan perlakuan yang sama dan adil, serta pemenuhan hak secara utuh dan “buta” bagi seluruh warga negara, tanpa memedulikan identitas yang mereka pilih. Dalam penelitian ini dapat terlihat bahwa sesungguhnya hak bukanlah sesuatu yang serta merta diberikan, namun merupakan proses klaim. Sesuatu yang direbut dan diklaim, dan bukan berupa status formal seperti kepemilikan dokumen bukti sebagai warga negara. 130 Merebut Kewarganegaraan Inklusif

Ketika ada sekelompok masyarakat yang karena sebab- sebab tertentu tereksklusif dari pemenuhan hak, maka cara yang ditempuh untuk melakukan klaim adalah dengan aksi-aksi kolektif, karena ini menyangkut hak-hak kolektif, bukan sekedar isu redistribusi yang lebih bersifat individual. Untuk menuju kolektivitas itu pula kelompok masyarakat minoritas marginal menggabungkan diri mereka dalam suatu wadah jaringan bernama SUKMA atau Suara Komunitas untuk Keberagaman. Dalam SUKMA mereka berjuang bersama menuntut hak sebagai warga negara. Dalam SUKMA pula mereka menyadari bahwa perjuangan kelompok minoritas marginal mulai mendapati titik terang. Kolektivitas yang diusung, berikut strategi dan gerakan yang lebih teroganisir tak lagi membuat aksi-aksi mereka dipandang sebelah mata oleh pemerintah. Ketika membahas mengenai ketidakadilan, maka tidak akan lepas dari bagaimana cara untuk keluar dari ketidakadilan tersebut. Komunitas minoritas, dalam hal ini perempuan pekerja seks, waria, homoseksual, dan anak jalanan yang mengalami eksklusif menemukan caranya sendiri untuk tak hanya agar keberadaannya diakui, namun juga dilindungi. Hal ini juga tak pelak membawa dampak yang besar bagi masyarakat yang selama ini melekatkan stigma terhadap mereka, bahwa keberadaan mereka tak perlu dikucilkan dari kehidupan sosial sehari-hari, karena pada dasarnya mereka juga makhluk sosial yang memiliki hak yang setara dengan manusia yang lain. Isu hak juga ternyata sangat dipengaruhi oleh konteks sosial dan politik. Dengan kata lain, klaim hak tidak dapat dilakukan tanpa memetakan kekuatan dengan melihat refleksi nilai budaya serta politik dalam suatu negara. Misal, negara ini tidak Refleksi 131

mengakomodasi legalitas prostitusi atau pernikahan sesama jenis. Ditambah lagi dengan kebutuhan untuk menyamakan visi serta mengambil benang merah isu Itulah sebabnya mengapa kelompok masyarakat marginal yang disebutkan di atas tidak menuntut pengakuan identitas melainkan semata-mata pemenuhan hak-hak dasar warga negara seperti keadilan akses terhadap pelayanan publik yang seharusnya terbuka bagi tiap-tiap orang, seperti yang telah diatur dengan sempurna dalam konstitusi negara ini. Membahas inklusi dan eksklusif dalam pemenuhan hak, sangat terkait dengan jangkauan, dalam hal ini sejauh mana negara dapat menjangkau warganya dalam pemenuhan hak. Ketika hal tersebut tidak menjangkau sekelompok masyarakat, maka affirmative action merupakan salah satu cara yang efektif untuk menunjukkan eksistensi kelompok yang tereksklusif tersebut. Bukan hanya tuntutan untuk mendapatkan status formal sebagai warga negara, namun bagaimana proses untuk menjadi warga negara itu sendiri. Penelitian ini telah menunjukkan bahwa perjuangan kelompok masyarakat marginal untuk mengklaim kembali hak- haknya sebagai warga negara yang sebelumnya selalu dieksklusif, telah cukup signifikan. Dengan berbagai usaha yang dilakukan, kini suara mereka telah didengar oleh pemerintah, dan mereka telah diikutkan dalam berbagai pembuatan peraturan. Meski belum sampai ke tataran bisa mengawasi jalannya kebijakan, namun mereka dapat mengawal jalannya kebijakan tersebut. Gerakan komunitas minoritas pekerja seks, homoseksual, waria, dan anak jalanan di Yogyakarta dalam memperjuangkan keadilan mendapatkan tempat yang relatif luas di area kebebasan 132 Merebut Kewarganegaraan Inklusif

berekspresi. Meski tidak selalu berjalan dengan lancar dan terbebas dari sabotase serta boikot kelompok tertentu yang berbeda haluan, usaha kelompok minoritas untuk mengubah kebijakan dan membangun kesadaran sosial baru telah membuahkan hasil yang signifikan. Selain keterlibatan mereka dalam proses pembuatan kebijakan, suara komunitas kini juga telah berhasil mempertahankan eksistensinya dan mendorong kesadaran baru bagi masyarakat sekitar bahwa pantas diperlakukan layaknya warga pada umumnya, tanpa diskriminasi. Penerimaan tersebut, walaupun belum sepenuhnya, merupakan sebuah pencapaian yang berarti bagi komunitas minoritas. Hal tersebut terjadi tidak lepas dari karakteristik Yogyakarta yang merupakan Kota Pendidikan, sehingga secara kontekstual memiliki masyarakat yang terbuka (open minded). Proses-proses klaim hak dan kampanye kesadaran sosial baru relatif berjalan lebih mulus karena penerimaan masyarakat akan gagasan-gagasan baru yang berkaitan dengan multikulturalisme lebih tinggi di kota ini. Secara umum dapat dikatakan bahwa langkah awal menuju kewarganegaraan yang inklusif melalui pemenuhan hak komunitas minoritas dimulai dengan sangat baik di Yogyakarta. Dalam capaian-capaian yang diraih oleh komunitas minoritas tersebut, terlihat jelas keterkaitan erat antara tiga dimensi kewarganegaraan, yakni keanggotaan, hak, dan partisipasi. Ketiga elemen tersebut merupakan titik balik terbukanya ruang-ruang baru bagi masyarakat marginal yang selama ini terlupakan, untuk kembali masuk dan terlibat secara aktif sebagai warga negara, untuk menentukan nasibnya, atau setidaknya mengawal proses kebijakan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Refleksi 133

Jika diperinci, perjuangan komunitas minoritas untuk kewarganegaraan inklusif dapat dilihat dari matriks di bawah ini: 134 Merebut Kewarganegaraan Inklusif

Matriks 5.1.Perjuangan Kaum Minoritas Untuk Kewarganegaraan Inklusif Extent (Jangkauan) Content (Isi) Depth (Kedalaman) Existing Conditions Struggles Existing Conditions Struggles Existing Conditions Struggles • Komunitas mi- • Audiensi den- • Terpenuhinya hak- • Komunitas mi- • Proses pembua- • Komunitas mi- noritas tereksklusif gan pembuat hak warga negara noritas pekerja tan kebijakan di noritas menuntut dari kriteria warga kebijakan selama ini dianggap seks, waria, anak Indonesia selama ini keikutsertaan mereka negara sehingga daerah, sebagai substansi jalanan, dan berlangsung secara terhadap pembuatan tidak dijangkau seperti DPRD yang tunggal. Se- homoseksual elitis, eksklusiff, tanpa kebijakan yang lebih dalam pemenuhan DIY. Meski dangkan sesung- membangun melibatkan subjek partisipatif. Audiensi hak. Contohnya menyampaikan guhnya antara jejaring bersama kebijakan itu sendiri. dengan para pembuat adalah sulitnya ko- aspirasi secara hak satu dengan untuk memper- Tak jarang banyak kebijakan daerah munitas minoritas umum men- hak lain tidak bisa juangkan hak konten dari kebijakan (lembaga eksekutif ini memiliki KTP genai ketidak dipisahkan, misal dasar mereka. itu yang justru lebih dan legislatif ) men- karena syarat- adilan yang hak partisipasi Karena identitas diskriminatif daripada genai mengenai akses syarat adminis- dialami, namun politik tidak dapat mereka yang protektif. Khususnya kesehatan, garukan, tratif yang tidak konten KTP dipisahkan dari berbeda-beda, jika kebijakan perlindungan dari memungkinkan selalu termasuk hak memperoleh maka masing- tersebut menyangkut kekerasan, hak anak, dipenuhi oleh di dalamnya. pendidikan, masing memiliki kelompok minoritas serta penggusuran mereka. Hal ini hak kebebasan hak pokok yang yang termarginalkan, telah dilakukan berimbas kepada • Kampanye berpendapat, dan diperjuangkan. maka hampir pasti komunitas minoritas akses terhadap publik, baik lain-lain. Namun inti banyak poin kebijakan untuk menuntut pelayanan publik melalui aksi dari bersatunya yang bermuatan keikutsertaan mereka Refleksi dan hak politik (long march) mereka adalah diskriminatif. terhadap pembuatan warga negara. maupun untuk menuntut kebijakan yang lebih media massa terpenuhinya partisipatif. (press release, hak dasar secara konferensi pers, komprehensif. penerbitan 135 buletin komu- nitas).

LAMPIRAN I: Surat Peringatan PT. Kereta Api (Persero) Daerah Operasi 6 Yogyakarta kepada Warga Ngebong 136 Merebut Kewarganegaraan Inklusif

LAMPIRAN II Press Release SUKMA Atas Nama Warga Ngebong Refleksi 137

138 Merebut Kewarganegaraan Inklusif

Daftar Pustaka Anderson, B. 2001, Imagined Communities, Insist bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Appiah, K.A. 2005, The Ethics of Identity, Princeton University Press, New Jersey. Azwar, S. 1998, Metode Penelitian, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Bellamy, R. 2008, Citizenship: A Very Short Introduction, Oxford University Press, New York. Ejorh,T. 2006, Inclusive Citizenship in 21st Century Ireland: What Prospect for the African Immigrant Community, Africa Centre on the Civic Participation of the African Community in Ireland, Juli, Dublin. Gutman, A. (ed.) 1994, Multiculturalism: Examining The Politics of Recognition, Princeton University Press, New Jersey. Harper, J. 2006, Identity Crisis: How Identification Is Overused and Misunderstood, Cato Institute, Washington D.C. Hayden, P. 2001, Philosophy of Human Rights: Reading in Contet, Paragon House, Minnesota Hoffman, J. 2004, Citizenship Beyond the State, Sage Publications, London.

Isin, E.F.; Bryan S. (ed.) 2002, Handbook of Citizenship Studies, Sage Publications Ltd., London. Janoski, T. 1998, Citizenship and Civil Society: A Framework of Rights and Obligations in Liberal, Traditional, and Social Democractic Regimes, Cambridge University Press, London. Jones, E.; Gaventa, J. 2002, IDS Development Bibliography 19, Concepts of Citizenship: A Review, Institute of Development Studies, England. Kondo, A. (ed.), Citizenship in a Global World: Comparing Citizenship Rights for Aliens, Palgrave Macmillan, Hampshire. Kymlicka, W. 1995, Multicultural Citizenship, A Liberal Theory of Minority Rights, Clarendon Press, Oxford. Kymlicka, W.; Norman, W. (ed.), Citizenship in Diverse Societies, Oxford University Press, New York. Mahmassani, S. 1993, Konsep Dasar Hak-hak Asasi Manusia: Studi Perbandingan Syariat Islam dan Perundang-undangan Modern, Tinta Mas, Jakarta. Martin, R.; Barresi, J. 2003, Personal Identity, Blackwell Publishing Ltd., Oxford. Nawawi, Hadari, Metode Penlitian Bidang Sosial, Yogyakarta, Gadjah Mada Press, 1998. Phillips, A. 2007, Multiculturalism Without Culture, Princeton University Press, New Jersey. QC, D.R 2005, Advocacy, Cambridge University Press, Cambridge. Salim, A. 2003, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Tiara Wacana, Yogyakarta. 140 Merebut Kewarganegaraan Inklusif


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook