Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore IMAM FARIH

IMAM FARIH

Published by IMAM FARIH, 2022-06-09 15:59:13

Description: MAKNA NILAI, MORAL, ETIKA, DAN AKHLAK

Search

Read the Text Version

MAKNA NILAI, MORAL, ETIKA, DAN AKHLAK Oleh: IMAM FARIH NIP: 19810606 201102 1 002 SEKOLAH DASAR NEGERI 016 SUKA MULYA KECAMATAN BANGKINANG KABUPATEN KAMPAR RIAU 2022

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam pergaulan, kita mampu menilai perilaku seseorang, apakah itu baik atau buruk. Hal tersebut dapat terlihat dari cara bertutur kata dan bertingkah laku. Akhlak, moral, dan etika masing-masing individu berbeda-beda, hal tersebut dipengaruhi oleh lingkungan internal dan eksternal tiap-tiap individu. Seorang manusia tidak akan terlepas dari keterkaitan hubungan dengan manusia yang lainyan dalam artian manusia sebagai mahluk sosial. Aktifitas yang dilakukan manusia dalam interaksi sosial selalu bersinggungan dengan nilai-nilai, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Sehingga secara sadar maupun tidak manusia menjalani hidupnya dalam segala aktifitasnya berlandaskan pada nilai- nilai dalm lingkup dirinya, orang lain dan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pembahasan yang berkaitan dengan konsep nilai (value), sebenarnya merupakan kajian yang sangat erat secara substansial dengan persoalan etika. Oleh karena itu, kajian dalam persoalan nilai ini biasanya mempertanyakan apakah yang ”baik” dan “tidak baik”, atau bagaimana “mesti” berbuat “baik” serta tujuanya bernilai. Hal ini menyentuh pertanyaan apa dasar yang menjadi pembenaran suatu keputusan moral ketika disebut “baik” atau “tidak baik” . Adapun hubunganya dengan filsafat ialah, filsafat merupakan seperangkat keyakinan-keyakinan dan sikap-sikap, cita-cita, aspirasi-aspirasi dan tujuan-tujuan, nilai-nilai dan norma-norma, aturan-aturan dan prinsip etis. Menurut Sidney Hook, filsafat juga pencari kebenaran, suatu persoalan nilai-nilai dan pertimbangan-pertimbangan nilai untuk melaksanakan hubungan-hubungan

kemanusiaan secara benar dan juga berbagai pengetahuan tentang apa yang buruk atau baik untuk memutuskan bagaimana seseorang harus memilih atau bertindak dalam kehidupannya. B. Rumusan Masalah Bagaimanakah persoalan filsafat ini memberi makna teoritis dan makna jalan hidup bagi manusia dalam tulisan ini akan dicoba untuk menguraikannya, namun demikian pembahasan lebih dikhususkan dalam persoalan aksiologinya. Yaitu tentang Makna Nilai, Moral, Etika, dan Akhlak

BAB II PEMBAHASAN A. Nilai Membahas masalah nilai atau teori tentang nilai berarti kita membahas tantang aksiologi karena aksiologi berasal dari bahasa Yunani axios(nilai) dan logos(teori) jadi aksiologi adalah teori tentang nilai.1 Menurut Riseri Frondizi, nilai itu merupakan kualitas yang tidak tergantung pada benda; benda adalah sesuatu yang bernilai. Ketidak tergantungan ini mencakup setiap bentuk empiris, nilai adalah kualitas apriori.2 Menurut Langeveld, dalam bahasa sehari-hari kata kita “barang sesuatu mempunyai nilai”. Barang sesuatu yang dimaksudkan di sini dapat disebut barang nilai. Dengan demikian, mempunyai nilai itu adalah soal penghargaan, maka nilai adalah dihargai.3 Sejalan dengan itu, Juhaya S.Praja dengan singkat mengatakan, nilai artinya harga. Sesuatu mempunyai nilai bagi seseorang karena ia berharga bagi dirinya. Pada umumnya orang mengatakan bahwa nilai sesuatu benda melekat dan bukan di luar benda. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa nilai ada di luar benda.4 Nilai merupakan sifat yang melekat pada sesuatu (sistem kepercayaan) yang telah berhubungan dengan subjek yang memberi arti (yakni manusia yang meyakini). Sedangkan pengertian nilai menurut J.R. Fraenkel sebagaimana dikutip Chabib Toha adalah a value is an idea a concept about what some one thinks is important in life.5 1 Burhanuddin Salam, Logika Materi;Filsafat Ilmu Pengetahuan,(Jakarta:Reneka Cipta, 1997), cet ke-1, h. 168 2 Riseri Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai, terj. Cuk Ananta Wijaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 1 3 Langeveld, Menuju Kepemikiran Filsafat, (Jakarta; PT.Pembangunan, tth), h. 196 4 Juhaya S.Praja, Aliran – Aliran Filsafat dan Etika, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 59 5 Chabib Toha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Yogyakarta: (Pustaka Pelajar, 1996), h. 60

Pengertian ini menunjukkan bahwa hubungan antara subjek dengan objek memiliki arti penting dalam kehidupan objek. Sebagai contoh segenggam garam lebih berarti bagi masyarakat Dayak di pedalaman dari pada segenggam emas. Sebab garam lebih berarti untuk mempertahankan kehidupan atau mati, sedangkan emas semata-mata untuk perhiasan. Sedangkan bagi masyarakat kota, sekarung garam tidak berarti dibandingkan dengan segenggam emas, sebab emas lebih penting bagi orang kota. Sidi Gazalba sebagaimana dikutif Chabib Toha, mengartikan nilai sebagai berikut: Nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ia ideal, nilai bukan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan salah yang menuntut pembuktian empirik, melainkan soal penghayatan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki, disenangi dan tidak disenangi.6 Pengertian tersebut menunjukkan adanya hubungan antar subjek penilaian dengan objek, sehingga adanya perbedaan nilai antara garam dengan emas. Tuhan itu tidak bernilai bila tidak ada subjek yang memberi nilai, Tuhan menjadi berarti setelah ada makhluk yang membutuhkan. Ketika Tuhan sendirian, maka ia hanya berarti bagi diri-Nya sendiri. Garam menjadi berarti seolah ada manusia yang membutuhkan rasa asin. Emas menjadi berarti setelah ada manusia yang mencari perhiasan. Namun demikian nilai-nilai semata-mata terletak kepada subjek pemberi nilai, tetapi di dalam sesuatu tersebut mengandung hal yang bersifat esensial yang menjadikan sesuatu itu bernilai. Tuhan mengandung semata sifat kesempurnaan yang tiada taranya dari segenap makhluk apapun di jagat raya ini; garam mengandung zat asin yang dibutuhkan manusia; dan emas mengandung sesuatu yang tidak akan berkarat. Apabila unsur yang bersifat esensial ini tidak 6 Ibid, h. 61

ada, maka manusia juga tidak akan memberikan harga terhadap sesuatu tersebut. Dalam Encyclopedia of Philosophy menjelaskan bahwa aksiologi (teori tentang nilai) ada tiga bentuk :7 a. Nilai yang digunakan sebagai kata abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik, dan bagus. Dan dalam pengertian yang lebih luas mencakupi sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran, dan kesucian. b. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai, ia seringkali diapakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan sistem nilai dia. Kemudian dipakai untuk apa-apa yang memiliki nilai atau bernilai sebagaimana berlawanan dengan apa-apa yang tidak dianggap baik atau bernilai c. Nilai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai, dan dinilai Setidaknya ada dua aliran dalam kaian nilai yaitu aliran naturalisme dan non naturalisme, adapun penjelsasanya adalah sebagai berikut:8 a. Aliran Naturalisme Aliran ini menganggap bahwa nilai adalah sejumlah fakta, oleh karena itu setiap keputusan nilai dapay diuji secara empirik. maka sifat perilaku seperti jujur, adil, dermawan dan lainya atau kebalikanya merupakan indikator seseorang itu berpeilaku baik atau tidak baik. Selain bentuk pengujian seperti ini, konsekuensi dari setiap perbuatan adalah juga merupakan indikator seseorang itu baik atau tidak baik. Maka dapat kita 7 Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004), edisi revisi, h. 164 8 Dr. Amril M. MA, Etika Islam;Telaah Pemilkiran Filsafat Moral Raghib Al-Ishafani, (Pekanbaru:Pustaka Pelajar, 2002), cet-1 h.213

lihat bahwa keputusan nilai pada naturalisme bersifat ungkapan faktual, sehingga dapat diuji secara empirik b. Aliran Non Naturalisme Aliran ini menganggap bahwa nilai tidak sama dengan fakta, artinya fakta terpisah dengan nilai dan secara absolut (mutlak) tidak terdeteksi satu sama lainya. Berbeda dengan naturalisme, mengingat bagi nonnaturalistik nilai itu bukan fakta, tetapi bersifat normatif dalam memberitahukan sesuatu itu baik atau buruk, benar atau salah, maka keputusan nilai pada kelompok ini tidak dapat diketahui melalui uji empirik, akan tetapi hanya dapat diketahui melalui apa yang disebutnya dengan intuisi moral yang telah dimiliki manusia, yaitu kesadaran langsung adanya nilai murni seperti benar dan salah dalam perilaku Untuk lebih dapat memahami kajian tentang nilai ini. kami kutip pandangan Raghib Al-Ishafani, dia mengakui adanya tiga bentuk kebaikan. Yaitu baik karena zatnya, baik karena yang lainya, dan baik karena zatnya dan yang lainya. Namun ia kemudian mempertegas bahwa hanya ada dua bentuk nilai kebaikan. Yaitu kebaikan mutlak (khoir mutlaq) dan kebaikan kondisional (khoir muqoyyad). Khair mutlaq adalah perbuatan baik yang dipilih karena perbuatan itu sendiri dan setiap orang yang berakal sangat menginginkanya. Hal itu karena khair mutlaq memiliki sifat manfaat, indah dan lezat9 Dengan konsep seperti ini, ia menyimpulkan bahwa apa saja yang berada pada posisi manfaat dan pendorong untuk meraih khair ukhrawi dan kebahagiaan hakiki maka itu disebut sebagai kebaikan dan kebahagiaan. Adapun kebalikannya adalah sifaf Syarr (jelek) yang memiliki sifat-sifat seperti aniaya, tercela dan 9 Ibid, h. 216

merugikan diri. Sifat tersebut disebut sharr atau jelek itu sendiri. Pada hal ini dapat kita ambil contoh pernikahan anatara dua insan yang berbeda jenis yang salaing mencintai. Kebahagiaan akan memenuhi jiwa dan raga mereka karena untuk menunaikan fitrah dari Allah SWT mereka memilih jalan syariat yaitu menikah. . Sebaliknya khair muqoyyad (kebaikan kondisional) adalah, selain memiliki sifat-sifat khair mutlak juga terdapat didalamnya sifat-sifat syarr (jelek). Untuk menentukan sesuatu itu “baik” ditentukan sejauh mana “sifat-sifat baik” yang ada dalm sesuatu itu memeberikan lebih dibanding “sifat-sifat tidak baik”. Dapat dipahami bahwa dalam khiar ini sesuatu itu memiliki nilai baik bukan disebabkan perbuatan itu sendiri, atau dipilih bukan karena perbuatan itu sendiri tetapi karena sesuatu diluar perbuatan itu. Pada hal ini dapat kita ambil contoh pada perperangan dimana didalamnya terdapat pembunuhn-pembunuhan hal ini jelas dipilih bukan karena perbuatan pembunuhan itu sendiri namun karena sesuatu diluar itu. Sebagaimana rakyat palestina yang melakukan berbagai macam cara untuk mempertahankan dan untuk mendapatkan keadilan bagi diri mereka. Sehingga saat ini kita mengenal ada yang dinamakan bom bunuh diri atau dalam pendapat lain adalah bom syahid. B. Moral Dari segi bahasa berasal dari bahasa latin, mores yaitu jamak dari kata mos yang berarti adat kebiasaan.10 Di dalam kamus Besar bahasa 10 Asmaran As,Pengantar Studi Akhlak,(Jakarta Rajawali Pers,1992),cet.I,h. 8

Indonesia dikatakan bahwa moral adalah penetuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan.11 Sedangkan secara terminology menurut W.J.S. Poerdarminta, kata moral memiliki makna ajaran tentang baik buruknya perbuatan dan kelakuan.12 Norma-norma moral adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang. Moral yang sebenarnya disebut moralitas. moralitas sebagai sikap hati orang yang terungkap dalam tindakan lahiriah. Moralitas terjadi apabila orang mengambil sikap yang baik karena ia sadar akan kewajiban dan tanggung jawabnya dan bukan karena ia mencari keuntungan. Jadi moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih. Hanya moritaslah yang bernilai secara moral.13 Menurut Burhanuddin Salim Moralitas memiliki dua arti:14 1. System nilai tentang bagaimana kita harus hidup secara baik sebagaimana manusia. System nilai ini terkandung dalam ajaran berbentuk petuah-petuah, nasiha, wejangan, peraturan, perintah dsb, yang diwariskan secara turun temurun melalui agama atau kebudayaan tertentu tentang bagaimana manusia harus hidup secara baik agar ia benar-benar menjadi manusia yang baik. 2. Tradisi kepercayaan, dalam agama atau kebudayaan tentang perilaku yang baik dan buruk. Moralitas member manusia atauran atau petunjuk konkret tentang bagaimana ia harus hidup, bagaimana ia harus 11 W.J,S.Poerwadarminta,Kamus Besar Bahasa Indonesia(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), h.654 12 Hamid Darmadi, Dasar Konsep Pendidikan Moral ( Bandung: Alfabeta, 2009), h. 51 13 Asri Budiningsih, Pembelajaran Moral Berpijak Pada Karakteristik Siswa Dan Budayanya ( Jakarta: Rineka cipta, 2004 ), h. 24 14 Burhanuddin Salam, Etika Sosial Asas Moral Dalam Kehidupan Manusia ( Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 3

bertindak sebagai manusia yang baik, dan bagaimana menghindari perilaku-perilaku yang tidak baik. Sedangkan pendidikan moral adalah usaha untuk mengembangkan pola perilaku seseorang sesuai dengan kehendak masyarakatnya. Kehendak ini berwujud moralitas atau kesusilaan yang berisi nilai-nilai dan kehidupan yang berada dalam masyarakat. Karena menyangkut dua aspek inilah, yaitu nilai dan kehidupan nyata. Maka pendidikan moral lebih banyak membahas masalah dilemma (seperti makan buah simalakama) yang berguna untuk mengambil keputusan moral yang terbaik bagi diri dan masyarakatnya.15 Selain itu pendidikan moral juga biasa diartikan sebagai suatu konsep kebaikan (konsep yang bermoral) yang diberikan atau diajarkan kepada peserta didik (generasi muda dan masyarakat) untuk membentuk budi pekerti luhur, berakhlak mulia, dan berperilaku terpuji seperti halnya dalam pancasila dan UUD 1945. Guru diharapkan membantu peserta didik mengembangkan dirinya, baik secara keilmuan maupun secara mental spiritual keagamaan.16 C. Etika Etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos yang memiliki pengertian adat istiadat (kebiasaan), perasaan batin serta kecenderungan batin untuk melakukan sesuatu.17 Teori yang menjadi tolak ukur dari persoalan ini adalah bahwa etika merupakan salah satu bidang kajian dari salah satu cabang filsafat yaitu aksiologi. 15 Ibid, h. 19 16 Hamid Darmadi, Dasar Konsep Pendidikan Moral ( Bandung: Alfabeta, 2009), h. 57 17 M. Sastrapradja, Kamus Istilah Pendidikan dan Umum, (Usaha Nasianal, Surabaya, 1981), h. 144

Adapaun bidang kajian lainnya adalah estetika. Adalah membicarakan tentang orientasi atau nilai suatu kehidupan. Disebut demikian karena cabang ini dapat menjadi sarana orientasi manusia dalam usaha menjawab suatu pertanyaan yang sangat fundamental, yakni bagaimana manusia harus hidup dan bertindak.18 Etika menghendaki adanya ukuran yang universal. Dalam hal ini berarti berlaku untuk semua orang dan setiap sa’at. Jadi tidak dibatasi ruang dan waktu.19 Dalam kamus umum bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Dari pengertian kebahasaan ini terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya menentukan tingkah laku manusia.20 Kattsoff sebetulya telah memberikan makna etika ke dalam beberapa hal yaitu:21 a. Etika dimaksudkan sebagai suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. b. Etika sebagai predikat yang dipergunakan untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuata, atau manusia-manusia tertentu dengan hal-hal, perbuatan-perbuatan atau manusia-manusia yang lain di sini ada istila bersfat etik atau juga susila. c. Etika kefilsafatan, yaitu analisa mengenai makna apakah yang dikandung oleh predikat-predikat kesusilaan. Dalam hal ini mengajarkan kenapa dan bagaimana manusia musti bermoral. Etika sifatnya ideal dan hanya terkait dengan ide-ide. 18 Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu Dari Hakikat Menuju Nilai, (Bandung:Pustaka Bani Quraisy 2004), Cet. 1, h. 31 19 Sutriono, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian (Jogjakarta: Andi Ofset 2007), Cet. Ke-1, h.60 20 W.J,S.Poerwadarminta,Lok.cit 21 K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius 1999) cet. Ke-22. h.192

Pada wilayah praktis dan dikaitkan dengan nilai guna suatu hal dalam kehidupan, maka ditemukan berbagai pengertian. Frans Maginis Suseno misalnya, menguraikan bahwa etika merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran, norma-norma, nilai-nilai serta kebiasaan- kebiasaan dan pandangan moral secara kritis.22 Etika dalam artian ini dimaknai sebagai cabang ilmu filsafat (pikiran kritis tentang suatu ajaran). Selain itu adalah sebagai sebuah ilmu bukan suatu ajaran. Louis O. Kattsoff, juga menegaskan, bahwa etika suatu ilmu pengetahuan yang menetapkan ukuran-ukuran atau kaidah-kaidah yang mendasari pemberian tanggapan atau penilaian terhadap perbuatan. Ilmu pengetahuan ini lanjut Louis, adalah juga membicarakan apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yang seharusnya terjadi, dan yang memungkinkan orang untuk menetapkan apa yang bertentangan dengan yang seharusnya terjadi. Ilmu pengetahuan seperti disebut dingan etika normative.23 dapat ditegaskan sebagai ilmu pengetahuan, etika jelas membahas asas-asas akhlaq (moral) masyarakat. Ia dapat pula diartikan sebagai ilmu yang membahas apa yang baik dan apa yang buruk. Apa yang hak dan bagaimana manusia melaksanakan kewajiban berdasarkan etis dan nilai yang dianut masyarakat Ahmad Amin membagi perbuatan manusia kepada tiga bentuk; a. perbuatan yang tidak disengaja dan dari sini manusia tidak berdaya untuk melakukan atau menghindarinya. b. perbuatan tersembunyi. c. perbuatan karna iktiar dan hasil pertimbangan akal yang sehat. 22 Fransz Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral,(Jogjakarta-Knisius 1993), h.18 23 Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat Aliih Bahasa Oleh Soejono Soemargono, (Jogjakarta: Tiara Wacana Yogya 2003), Cet. ke-8, h.344

Dari berbagai bentuk perbuatan manusia ini maka, yang menjadi persoalan etika adalah:Segala perbuatan yang timbul dari orang yang melakukan dengan iktiar dan sengaja , dan ia mengetahui waktu melakukannya apa yang ia perbuat,. Inilah yang dapat kita beri hokum baik dan buruk, demikian juga segala perbuatan yang timbul tiada dengan kehendak tetapi dapat diikhtiarkan penjagaan sewaktu sadar. Adapun apa yang timbul bukan dengan kehendak, dan dapat dijaga sebelumya maka ia bukan pokok dari persoalan etika.24 Berbagai keterangan di atas, telah menjelaskan pemaknaan etika yang mencakupi tataran filosofis hal ini karena etika adalah merupakan bagian kajian kefilsaftan. Dalam waktu yang bersamaan kajian tidak bias dilakukan tanpa menyangkutkannya dengan tataran praktisnya yaitu tindakan manusia itu sendiri. Dalam konteksnya yang seperti itu, studi etika atau fisafat moral ini, dikatagorikan kedalam rumusan-rumusan sebagai berikut:25 a. Etika normatif, etika yang mengkaji tentang baik buruknya tingkah laku. b. Etika praktis, kajian etika biasanya menyangkut soal tindakan yang harus dilakukan oleh manusia. Ada beberapa aliran etika, Endang saefuddin Anshari misalnya menyebutkan ada enam aliran penting dalam persoalan etika yaitu:26 a. Aliran etika Naturalisme, ialah aliran aliran yang beranggapan bahwa kebahagiaan manusia itu didapatkan dengan menurutkan panggilan natura (fitrah) kejadian manusia sendiri. 24 Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlaq), (Jakarta: bulan-Bintang 1975) cet. Ke- 8, h. 5-6 25 Cecep Sumarna,Melacak Jejak Filsafat, Op.Cit, h. 37 26 Endang Saefuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama Pendahuluan Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi, (Surabaya : PT. Bina Ilmu 1990), Cet. Ke-8, h. 96-97.

b. Aliran etika hedonisme, ialah aliran yang berpendapat bahwa perbuatan susila itu adalah perbuatan yang menimbulkan hedone (kenikmatan dan kelezatan) c. Aliran etka utilitarianisme ialah aliran yang menilai baik dan buruknya perbuatan manusia itu ditinjau dari besar kecil dan besarnya manfa’at bagi manusia. d. Aliran etika idealisme, yaitu aliran yang berpendirian bahwa perbuatan manusia janganlah terikat pada sebab musabab lahir, tetapi haruslah berdasarkan pada prinsif kerohanian (idea) yang lebih tinggi. e. Aliran etika vitalisme, yaitu aliran yang menilai baik dan buruknya perbuatan manusia itu ada tidak adanya daya hidup (vital) yang maksimum mengendalikan perbuatan itu. f. Aliran etika theologies, yaitu aliran yang berkeyakinan bahwa ukuran baik dan buruknya perbuatan manusia itu dinilai dengan sesuai dan tidaknyasesuainya dengan perinah Tuhan(Theos=tuhan). Nilai dalam hal ini ditentukan oleh Tuhan (Islam). Moral dan etika sama-sama menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk ditentukan baik buruknya. Kedua istilah tersebut sama sama menghendaki terciptanya keadaan masyarakat yang baik, teratur, aman, damai, dan tentram sehingga sejahtera batiniah dan lahiriahnya. Objek darimoral dan etika yaitu perbuatan manusia, ukurannya yaitu baik dan buruk . D. Ahlak Definisi akhlak dari sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa arab, yaitu isim masdar (bentuk infinitif) dari kata ahklaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai dengan timbangan (wajan) tsulasi majid af’ala, yuf’ilu, if’alan yang berarti Al-

sajiyah (perangai), ath-thabi’ah (kelakuan, thabi’at, watak dasar), al-‘adat (kebiasan, kelaziman), al-maru’ah (peradaban yang baik), dan al-din (agama).27 Definisi akhlak menurut terminonologi dari pendapat Ibnu Shadaruddin Asy Syarwan adalah ilmu tentang perbuatan-perbuatan mulia serta cara memiliki perbuatan tersebut agar menghiasi diri, dan ilmu tentang perbuatan-perbuatan buruk serta cara menjauhinya agar diri bersih darinya.28 Rasulullah Saw bersabada:“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.“ Menurut Ibn-Miskawaih (w.421 H/ 1030 M) yang selanjutnya dikenal sebagai pakar bidang akhlak terkemuka dan terdahulu misalnya secara singkat mengatakan, bahwa akhlak adalah : “Sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.” 29 Menurut Abuddin Nata, akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mendalam dan tanpa pemikiran, namun perbuatan itu telah mendarah daging dan melekat dalam jiwa, sehingga saat melakukan perbuatan tidak lagi memerlukan pertimbangan dan pemikiran.30 Menurut Elizabeth B. Hurlock, behaviour which may be called “true morality” not only conforms to social standarts but also is carried out voluntarily, it comes with the transition from external to internal authority and consist of conduct regulated from within.31 Artinya, bahwa tingkah laku boleh dikatakan sebagai moralitas yang sebenarnya itu bukan hanya sesuai dengan standar masyarakat, tetapi juga dilaksanakan dengan suka rela, tingkah laku it terjadi melalui transisi 27 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Gravindo Persada,2010) Cet ke-9, h. 1 28 Iman Abdul Mukmin Sa’aduddin, Al-Akhlak fil Islami, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2006), Cet-1, h. 15 29 Abudin Nata, Op.cit,. h. 7 30 Ibid, h. 5 31 Elizabeth B. Hurlock, Child Development,Edisi IV, (Kugllehisa: Mc. Grow Hill, 1978), h. 386

dari kekuatan yang ada di luar (diri) dan ke dalam (diri) dan ada ketetapan hati dalam melakukan (bertindak) yang diatur dalam diri. Imam Al-Ghazali mengemukakan definisi akhlak sebagai berikut :32 ‫الخلق عبارة عن هيئة فى النفس را سخة عنها تصدر الافعال بسهولة ويسر من غير حاجة إلى فكر‬ .‫]ورويّة عقلا وسرعا‬ Artinya: Bahwa akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran (terlebih dahulu). Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa hakikat akhlak menurut al- Ghazali mencakup dua syarat. Pertama, perbuatan itu harus konstan, yaitu dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sama, sehingga dapat menjadi kebiasaan. Kedua, perbuatan itu harus tumbuh dengan mudah tanpa pertimbangan dan pemikiran, yakni bukan karena adanya tekanan, paksaan dari orang lain atau bahkan pengaruh-pengaruh dan bujukan yang indah dan sebagainya. Akhlak adalah suatu istilah yang sering digunakan oleh Al-Ghazali. Jadi, kerap kali kita temukan pernyataan, seperti ‘akhlak kedermawanan” dan “akhlak- akhlak tercela”. Dapat dipahami bahwa dalam etika Al-Ghazali, suatu amal lahiriyah tak dapat secara tegas disebut baik dan buruk. Maka ketulusan seseorang mungkin dipandang sebagai suatu kebaikan, tetapi jual belinya yang jujur atau tidak. Namun, suatu suatu amal dapat dikatakan suatu amal shaleh atau amal jahat. Dengan demikian dapat dipahami bahwa akhlak adalah suatu sikap atau kehendak manusia disertai dengan niat yang tentram dalam jiwa yang 32 Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin Juz III, (Beirut : Dar Ihya al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), h. 58

berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadits yang daripadanya timbul perbuatan- perbuatan atau kebiasaan-kebiasaan secara mudah tanpa memerlukan pembimbingan terlebih dahulu. Jiwa kehendak jiwa itu menimbulkan perbuatan- perbuatan dan kebiasaan-kebiasaan yang bagus, maka disebut dengan akhlak yang terpuji. Begitu pula sebaliknya, jika menimbulkan perbuatan-perbuatan dan kebiasaan-kebiasaan yang jelek, maka disebut dengan akhlak yang tercela. E. Persamaan dan Perbedan Moral, Etika dan Ahlak Ada beberapa persamaan antara akhlak, etika, moral dan susila yang dapat dipaparkan sebagai berikut:  Pertama, akhlak, etika, moral dan susila mengacu kepada ajaran atau gambaran tentang perbuatan, tingkah laku, sifat, dan perangkai yang baik.  Kedua, akhlak, etika, moral dan susila merupakan prinsip atau aturan hidup manusia untuk menakar martabat dan harakat kemanusiaannya. Sebaliknya semakin rendah kualitas akhlak, etika, moral dan susila seseorang atau sekelompok orang, maka semakin rendah pula kualitas kemanusiaannya.  Ketiga, akhlak, etika, moral dan susila seseorang atau sekelompok orang tidak semata-mata merupakan faktor keturunan yang bersifat tetap, stastis, dan konstan, tetapi merupakan potensi positif yang dimiliki setiap orang. Untuk pengembangan dan aktualisasi potensi positif tersebut diperlukan pendidikan, pembiasaan, dan keteladanan, serta dukungan lingkungan, mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat

secara tersu menerus, berkesinambangan, dengan tingkat keajegan dan konsistensi yang tinggi. Selain ada persamaan antara akhlak, etika, moral dan susila sebagaimana diuraikan di atas terdapat pula beberapa segi perbedaan yang menjadi ciri khas masing-masing dari keempat istilah tersebut. Berikut ini adalah uraian mengenai segi-segi perbedaan yang dimaksud: Akhlak merupakan istilah yang bersumber dari Al-Qur’an dan al-Sunnah. Nilai-nilai yang menentukan baik dan buruk, layak atau tidak layak suatu perbuatan, kelakuan, sifat, dan perangai dalam akhlak bersifat universal dan bersumber dari ajaran Allah. Sementara itu, etika merupakan filsafat nilai, pengetahuan tentang nilai-nilai, dan kesusilaan tentang baik dan buruk. Jadi, etika bersumber dari pemikiran yang mendalam dan renungan filosofis, yang pada intinya bersumber dari akal sehat dan hati nurani. Etika besifat temporer, sangat tergantung kepada aliran filosofis yang menjadi pilihan orang-orang yang menganutnya.

Berikut ini adalah uraian mengenai segi-segi perbedaan yang dimaksud: NO PERBEDAAN MORAL ETIKA Ahlak 1 Adat Istiadat yang Ilmu yang membahas Akhlak adalah suatu menjadi dasar tentang moralitas.Adat kebiasaan, sikap, prilaku atau untuk mengukur anggapan-anggapan tentang baik kehendak manusia apakah perbuatan dan buruk, tindakan-tindakan disertai dengan niat seseorang baik yang diperbolehkan atau tidak yang tentram dalam atau buruk. Terkait diperbolehkan (etika jiwa yang dengan upaya deskriptif), hati berlandaskan al- menjunjung tinggi nurani, kebebasan dan tanggung Qur’an dan al-Hadits nilai-nilai ideal jawab,nilai dan norma, yang daripadanya yang universal serta hak dan kewajiban(etika timbul perbuatan- seperti normative), ucapan-ucapan yang perbuatan atau kemanusiaan, dikatakan pada bidang moralitas kebiasaan-kebiasaan kejujuran, keadilan, (etika metaetika). Bukan secara mudah tanpa kesederajatan, membicarakan tentang apa yang ada paksaan dan dsb. ada, namun tentang apa yang tekanan seharusnya ada.33 2 Penilaian ini Mengacu pada aturan normative Perpaduan dari hasil dipandang dari tentang baik dan buruk34 rasio dan rasa yang baik buruk suatu bermanifestasi pada perbuatan karsa dan tingkah laku manusia 3 Ajaran. Ilmu. budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. 4 Moral lebih bersifat Etika lebih bersifat teoritis dan Sifatnya teosentris, praktis, yang temporer (sangat tergantung meskipun akhlak itu ukurannya adalah kepada aliran filosofis yang ada yang tertuju bentuk perbuatan. menjadi pilihan orang-orang yang kepada manusia dan menganutnya) dan memandang makhluk-makhluk lain, tingkah laku manusia secara namun tujuan umum. bersumber dari akal sehat utamanya karena dan hati nurani. Serta preskriptif Allah swt (menentukan). 5 Moral berdasarkan Etika berdasarkan akal pikiran Ahlak berdasarkan kebiasaan yang pada Al-Qur’an dan berlaku pada Sunnah masyarakat. 33 Henry Hazl itt, Dasar-Dasar Moralitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 16 34 Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 207

BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Menjadi manusia yang baik merupakan idaman setiap orang, baik dalam dimensi rohani yang berhubungan dengan tuhan maupun baik dalam dimensi jasmani yang terkait dalam kehidupan sosial. Namun tidak sedikit manusia yang tidak dapat melakukan itu, entah karena kurangnya ilmu dalam kebaiakan yang pada bagian ini berhubungan pada tarbiyah(pendidikan), kurangnya memahami nilai atau mungkin karena pengaruh lingkungan yang membentuk pola hidup yang tidak mengenal etika yang baik atau karena hal-hal yang lain yang berkaitan dalm pembentukan karakter seseorang. Oleh karena itu pengkajian akan nilai, etika dan implementasinya dalam kehidupan sosial sangatlah diperlukan, terlebih ditambah dengan bagaimana cara dalm penanaman esensi- esensi nilai dan etika pada diri seseorang untuk membentuk pribadi ideal dan yang lebih tinggi adalah konsep insan kamil.

DAFTAR PUSTAKA Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2003) Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Gravindo Persada,2010) Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlaq), (Jakarta: bulan-Bintang 1975) Asmaran As,Pengantar Studi Akhlak,(Jakarta Rajawali Pers,1992) Asri Budiningsih, Pembelajaran Moral Berpijak Pada Karakteristik Siswa Dan Budayanya ( Jakarta: Rineka cipta, 2004 ) Burhanuddin Salam, Etika Sosial Asas Moral Dalam Kehidupan Manusia ( Jakarta: Rineka Cipta, 1997) Burhanuddin Salam, Logika Materi;Filsafat Ilmu Pengetahuan,(Jakarta:Reneka Cipta, 1997) Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu Dari Hakikat Menuju Nilai, (Bandung:Pustaka Bani Quraisy 2004) Chabib Toha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Yogyakarta: (Pustaka Pelajar, 1996) Dr. Amril M. MA, Etika Islam;Telaah Pemilkiran Filsafat Moral Raghib Al-Ishafani, (Pekanbaru:Pustaka Pelajar, 2002) Elizabeth B. Hurlock, Child Development,Edisi IV, (Kugllehisa: Mc. Grow Hill, 1978) Endang Saefuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama Pendahuluan Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi, (Surabaya : PT. Bina Ilmu 1990) Fransz Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral,(Jogjakarta-Knisius 1993) Hamid Darmadi, Dasar Konsep Pendidikan Moral ( Bandung: Alfabeta, 2009) Hamid Darmadi, Dasar Konsep Pendidikan Moral ( Bandung: Alfabeta, 2009) Henry Hazl itt, Dasar-Dasar Moralitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003) Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin Juz III, (Beirut : Dar Ihya al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.) Iman Abdul Mukmin Sa’aduddin, Al-Akhlak fil Islami, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2006) Juhaya S.Praja, Aliran – Aliran Filsafat dan Etika, (Jakarta: Prenada Media, 2003) K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius 1999) Langeveld, Menuju Kepemikiran Filsafat, (Jakarta; PT.Pembangunan, tth) Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat Aliih Bahasa Oleh Soejono Soemargono, (Jogjakarta: Tiara Wacana Yogya 2003) M. Sastrapradja, Kamus Istilah Pendidikan dan Umum, (Usaha Nasianal, Surabaya, 1981) Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004) Riseri Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai, terj. Cuk Ananta Wijaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001) Sutriono, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian (Jogjakarta: Andi Ofset 2007)


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook