Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore IMAM FARIH

IMAM FARIH

Published by IMAM FARIH, 2022-06-09 16:00:46

Description: SEJARAH PEMIKIRAN ISLAM
“PEMIKIRAN FILSAFAT IMAM AL-GHAZALI”

Search

Read the Text Version

SEJARAH PEMIKIRAN ISLAM “PEMIKIRAN FILSAFAT IMAM AL-GHAZALI” Oleh: IMAM FARIH NIP: 19810606 201102 1 002 SEKOLAH DASAR NEGERI 016 SUKA MULYA KECAMATAN BANGKINANG KABUPATEN KAMPAR RIAU 2022

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Imam al-Ghazali mempunyai daya ingat yang kuat dan bijak berhujjah. Ia digelar Hujjatul Islam karena kemampuannya tersebut. Ia sangat dihormati di dua dunia Islam yaitu Saljuk dan Abbasiyah yang merupakan pusat kebesaran Islam. Ia berjaya menguasai pelbagai bidang ilmu pengetahuan. Imam al-Ghazali sangat mencintai ilmu pengetahuan. Ia juga sanggup meninggalkan segala kemewahan hidup untuk bermusafir dan mengembara serta meninggalkan kesenangan hidup demi mencari ilmu pengetahuan. Sebelum beliau memulai pengembaraan, beliau telah mempelajari karya ahli sufi ternama seperti al-Junaid Sabili dan Bayazid Busthami. Imam al-Ghazali telah mengembara selama 10 tahun. Ia telah mengunjungi tempat-tempat suci di daerah Islam yang luas seperti Mekkah, Madinah, Jerusalem, dan Mesir. Ia terkenal sebagai ahli filsafat Islam yang telah mengharumkan nama ulama di Eropa melalui hasil karyanya yang sangat bermutu tinggi. Sejak kecil lagi beliau telah dididik dengan akhlak yang mulia. Hal ini menyebabkan beliau benci kepada sifat riya, megah, sombong, takabur, dan sifat- sifat tercela yang lain. Ia sangat kuat beribadat, wara', zuhud, dan tidak gemar kepada kemewahan, kepalsuan, kemegahan dan mencari sesuatu untuk mendapat ridha Allah SWT.1 1 http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Ghazali

B. Rumusan Masalah Pemikiran Al-Ghazali begitu beragam dan banyak, mulai dari pikiran beliau dalam bidang teologi (kalam), tasawuf, dan filsafat. Tapi dalam makalah ini, penulis hanya membatasi pemaparan mengenai 1. Biografi singkat 2. Pemikiran-pemikiran Al-Ghazali

BAB II PEMBAHASAN 1. Biografi singkat Imam Al-Ghazali Nama asli Imam al-Ghazali ialah Muhammad bin Ahmad, Al-Imamul Jalil, Abu Hamid Ath Thusi Al-Ghazali. Lahir tahun 450 H (1058 M) di Thusi daerah Khurasan (Berdasarkan peta nationmaster, lokasi negeri ini, berada di sebelah utara Iran (Persia), Pakistan (Sijistan) maupun India(India). Nationmaster menulis: “The older Persian province of Khorasan (also known as the Greater Khorasan ) included parts which are today in Iran, Afghanistan, Tajikistan, Turkmenistan and Uzbekistan”.2 Ayahnya bernama Muhammad Ibn Ahmad Al-Ghazzali, sang pembuat pakaian dari benang bulu (Ghazzal)3 Pada masa kecilnya ia mempelajari ilmu fiqh di negerinya sendiri pada Syekh Ahmad bin Muhammad Ar-Rozakani4, kemudian ia belajar pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili5 di negeri Jurjan6. Setelah mempelajari beberapa ilmu di negerinya, maka ia berangkat ke Naishabur7 dan belajar pada Imam Al-Haromain.8 Di sinilah ia mulai menampakkan tanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti ilmu mantiq 2 http://www.islampos.com/dimanakah-letak-khurasan-2-60658/ 3 Ghazzal adalah laqob/gelar ayahnya yang berkaitan dengan profesi pemintal kain dari bulu domba 4 Teman ayahnya yang merupakan orang tua asuh al-Ghazali 5 Isamil bin Ismail bin ma'sada bin Imam Abu Bakr Ahmad bin Ibrahim bin Ismail al - Ismaili . Seorang sarjana, ahli fikih dan orator dari Jurjan , lahir pada 407H( Tabqat 6:195-196 ) 6 Jurjan adalah sebuah kota yang sangat terkenal diantara tabaristan dan Khurasan, dekat Laut Kaspia (Asia Tengah) 7 Naishābūr berasal dari bahasa Persia abad pertengahan : New-Syabuhr, berarti \"Kota Syapur yang baru\" adalah sebuah kota di Provinsi Razavi Khorasan, ibu kota dari Sahrestani Nishapur dan bekas ibukota dari Khurasan, di timur laut Iran, terletak di dataran subur di kaki Gunung Binalud. Naisabur, adalah salah satu dari empat kota besar dari Khurasan Raya dan juga merupakan salah satu kota terbesar di abad pertengahan 8 Abu al- Ma'ali al- Juwanyni : Imam al- Haramyan ` Abd al - malik bin Abdullah bin Yusuf, seorang Ahli Fiqih dan kalam, lahir di Juwayin dekat Nishapur tahun 419 H, ia memiliki banyak siswa yang terkenal di antaranya al- Ghazali ( wafiyat 4:217 , Tabqat , 6:196 )

(logika), falsafah dan fiqh madzhab Syafi’i. Karena kecerdasannya itulah Imam Al- Haromain mengatakan bahwa al-Ghazali itu adalah ”lautan tak bertepi...”.9 Setelah Imam Al-Haromain wafat, Al-Ghazali meninggalkan Naishabur untuk menuju ke Mu’askar, ia pergi ke Mu’askar10 untuk melakukan kunjungan kepada Perdana Mentri Nizam al Muluk11 dari pemerintahan Bani Saljuk. Sesampai di sana, ia disambut dengan penuh kehormatan sebagai seorang ulama besar. Semuanya mengakui akan ketinggian ilmu yang dimiliki al-Ghazali. Menteri Nizam al Muluk akhirnya melantik al-Ghazali pada tahun 484 H/1091 M. Sebagai guru besar (profesor) pada perguruan Tinggi Nizamiyah12 yang berada di kota Baghdad. Al- Ghazali kemudian mengajar di perguruan tinggi tersebut selama 4 (empat) tahun. Ia mendapat perhatian yang serius dari para mahasiswa, baik yang datang dari dekat atau dari tempat yang jauh, sampai ia menjauhkan diri dari keramaian.13 Di samping ia menjadi guru besar di perguruan tinggi Nizamiyah ia juga diangkat sebagai konsultan (mufti) oleh para ahli hukum Islam dan oleh pemerintah dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul dalam masyarakat. Akan tetapi kedudukan yang diperoleh di Baghdad tidak berlangsung lama akibat adanya berbagai peristiwa atau musibah yang menimpa, baik pemerintahan pusat (Baghdad) maupun pemerintahan Daulah Bani Saljuk14, di antara musibah itu ialah: pertama, pada tahun 484 H/1092 M, tidak lama sesudah pertemuan al-Ghazali dengan permaisuri raja Bani Saljuk, suaminya, Raja Malik Syah yang terkenal adil dan bijaksana meninggal dunia. Kedua, pada tahun yang sama (485 H/1092 M), perdana Menteri Nizam Al-Muluk yang menjadi sahabat karib al-Ghazali wafat 9 A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 215 10 Muaskar (Baghdad) pada waktu itu adalah tempat pemukiman Perdana Menteri, pembesar-pembasar kerajaan, dan para ulama/intelektual terkemuka 11 Pendiri Universitas Nizamiyah 12 Universitas Nizamiyah Baghdad 13 Ibid,h.215 14 Sekarang Baghdad, Irak

dibunuh oleh seorang pembunuh bayaran. Ketiga, dua tahun kemudian, pada tahun 487 H/1094 M, wafat pula Khalifah Abbasiyah, Muqtadi bi Amrillah15. Ketiga orang tersebut di atas, bagi al-Ghazali, merupakan orang-orang yang selama ini dianggapnya banyak memberi peran kepada al-Ghazali, bahkan sampai menjadikannya sebagai ulama yang terkenal.16 Dalam hal ini, karena mengingat ketiga orang ini mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap pemerintahan bani Abbas yang pada saat itu dikendalikan oleh daulah Bani Saljuk, meninggalnya ketiga orang ini sangat mengguncangkan kestabilan pemerintahan bergelar Mustadhhir Billah (dilantik tahun 487 H/1094 M). Pemerintahan menjadi sangat lemah untuk menangani kemelut yang terjadi di mana-mana terutama dalam menghadapi teror aliran Bathiniyah yang menjadi penggerak dalam pembunuhan secara gelap terhadap Perdana Menteri Nizham Al-Muluk.17 Al-Ghazali merupakan seorang yang berjiwa besar dalam memberikan pencerahan-pencarahan dalam Islam. Ia selalu hidup berpindah-pindah untuk mencari suasana baru, tetapi khususnya untuk mendalami pengetahuan. Dalam kehidupannya, ia sering menerima jabatan di pemerintahan, 2. Pemikiran-Pemikiran Al-Ghazali Sebagai seorang ulama dan pemikir dalam dunia Islam, tentunya ia sangat tekun untuk menulis kitab. Jumlah kitab yang ditulis al-Ghazali sampai sekarang belum disepakati secara definitif oleh para penulis sejarahnya. Menurut Ahmad Daudy18, penelitian paling akhir tentang berapa jumlah buku yang dikarang oleh al- 15 Namanya Abul Qasim Abdullah bin Adz-Dzakhirah Abul Abbas Muhammad bin Al-Qasim Biamrillah, Dia dilantik sebagai khalifah Bani Abbasiyah ke-27 (1075-1094 M) 16 Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Al-Ghazali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 40. 17 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filosof dan Ajarannya, (Bandung: Pustaka Setia, 2009) h.148 18 SeorangPeneliti dan penulis buku, mayoritas buku-buku nya adalah tentang filsafat Islam

Ghazali seperti halnya yang dilakukan oleh Abdurrahman Al-Badawi19, yang hasilnya dikumpulkan dalan satu buku yang berjudul Muallafat Al-Ghazali.Dala buku tersebut, Abdurrahman mengklasifikasikan kitab-kitab yang ada hubungannya dengan karya al-Ghazali dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok kitab yang dapat dipastikan sebagai karya al-Ghazali yang terdiri atas 72 buah kitab. Kedua, kelompok kitab yang diragukan sebagai karyanya yang asli terdiri atas 22 kitab. Ketiga, kelompok kitab yang dapat dipastikan bukan karyanya, terdiri atas 31 buah kitab.20 Dari berbagai karya-karya beliau yang sangat banyak dan menjadi referensi penting dalam berbagai keilmuan, maka akan terbaca dengan jelas tentang pemikiran-pemilan Al-Ghazali, diantaranya adalah sebagai berikut: a. Iradat Tuhan Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan undang-undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini. Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan 19 Penulis buku Muallafat Al-Ghazzali 20 Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), h.97

iradatnya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.21 Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai hukum pasti sebab dan akibat (hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali seperti juga Al-Asy’ari berpendapat bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan Tuhan tetap bekuasa mutlak untuk menyimpangkan dari kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai contoh, kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar dari api ituatau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.22 b. Etika Mengenai filsafat etika, Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al- Ghazali adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”23. Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan 21 Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung: CV ROSDA, 1988), h. 172 22 Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 176 23 M. Amin Abdullah, Studi Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h.280

sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.24 Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Berbeda dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.25 Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan. Bagi Al-Ghazali, taswuf bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri terpisah dari syari’at, hal ini nampak dalam isi ajaran yang termuat dalam kitab Ihya’nya yang merupakan perpaduan harmonis antara fiqh, tasawuf dan ilmu kalam yang berarti kewajiban agama haruslah dilaksanakan guna mencapai tingkat kesempurnaan. Dalam melaksanakan haruslah dengan penuh rasa yakin dan pengertian tentang makna-makna yang terkandung di dalamnya.26 c. Filsafat Mengenai pandangan al Ghazali, para ilmuwan berpendapat bahwa ia bukan seorang filosof, karena ia menentang dan memerangi filsafat dan membuangnya. Tentangan yang di lontarkan al-Ghazali ini tercermin dari bukunya yang berjudul Tahafut al-Falasifah, yakni sebagai berikut : 24 Ibid 25 Ibid 26 Ibid, h. 281

”...sumber kekufuran manusia pada saat itu adalah terpukau dengan nama- nama filsuf besar seperti Socrates, Epicurus, Plato, Aristoteles dan lain-lainnya ..., mereka mendengar perilaku pengikut filsuf dan kesesatannya dalam menjelaskan intelektualitas dan kebaikan prinsip-prinsipnya, ketelitian ilmu para filsuf di bidang geometri, logika, ilmu alam, dan telogi ..., mereka mendengar bahwa para filsuf itu mengingkari semua syari’at dan agama, tidak percaya pada dimensi-dimensi ajaran agama. Para filsuf menyakini bahwa agama adalah ajaran-ajaran yang disusun rapi dan tipu daya yang dihiasi keindahan ...”27 Jikalau melihat ungkapan di atas, terlihat bahwa al-Ghazali lebih tepat digolongkan dalam kelompok pembangunan agama yang jalan pemikirannya didasarkan pada sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Apabila memakai sumber lain dari Islam maka sumber-sumber ini hanya dijadikan sebagai alat untuk maksud menghidupkan ajaran-ajaran agama dan untuk membantu menerangi jalan menuju Allah SWT. Hal ini dikuatkan dengan kitabnya Ihya’Ulum Ad-din. Dalam buku Tahafut al-Falasifah al-Ghazali juga diterangkan tentang keremehan pemikiran-pemikiran filsafat. Sehingga apakah mungkin filsafat justru menghukumi atas dirinya sendiri? Al-Ghazali dengan beberapa kali menyatakan, bahwa tujuan penyusunan buku tersebut untuk menghancurkan filsafat dan menggoyahkan kepercayaan orang terhadap filsafat. Dari sinilah, apakah tepat orang yang menetapkan kegagalan filsafat disebut sebagai seorang filosof?.28 Dalam bidang Ke-Tuhanan, al-Ghazali memandang para filosof sebagai ahl al-bid’at dan kafir. Kesalahan para filosof tersebut diterangkan oleh al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, dan ia membaginya menjadi 20 bahagian, antara lain:29 1) Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini azali, 2) Membatalkan pendapat mereka bahwa akal ini kekal, 27 Al-Ghazali, “Muqaddimah” kitab Tahafut Al-Falasifah, Tahkik Sulaiman Dunya, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1928), h.1 28 H. A. Mustofa, Op.cit., h. 215 29 Al-Ghazali, Op.cit., h. 86-87

3) Menjelaskan keragu-raguan mereka bahwa Allah Pencipta alam semesta dan sesungguhnya alam ini diciptakan-Nya, 4) Menjelaskan kelemahan mereka dalam membuktikan Yang Maha Pencipta, 5) Menjelaskan kelemahan mereka dalam menetapkan dalil bahwa mustahil adanya dua Tuhan, 6) Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mempunyai sifat, 7) Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak terbagi ke dalam al-jins dan al-fashl, 8) Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah mempunyai substansi basith (simple) dan tidak mempunyai mahiyah (hakikat), 9) Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang selain-Nya, 10) Menjelaskan pernyataan mereka tentang al-dhar (kekal dalam arti tidak bermula dan tidak berakhir), 11) Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang selain-Nya 12) Menjelaskan kelemahan pendapat mereka dalam membuktikan bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya, 13) Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mengetahui juz’iyyat, 14) Menjelaskan pendapat mereka bahwa planet-planet adalah hewan yang bergerak dengan kemauan-Nya, 15) Membatalkan apa yang mereka sebutkan tentang tujuan penggerak dari planet-planet, 16) Membatalkan pendapat mereka bahwa planet-planet mengetahui semua yang juz’iyyat,

17) Membatalkan pendapat mereka yang mengatakan bahwa mustahil terjadinya sesuatu di luar hukum alam, 18) Menjelaskan pendapat mereka bahwa roh manusia adalah jauhar (substansi) yang berdiri sendiri tidak mempunyai tubuh, 19) Menjelaskan pendapat mereka yang menyatakan tentang mustahilnya fana (lenyap) jiwa manusia, 20) Membatalkan pendapat mereka yang menyatakan bahwa tubuh tidak akan dibangkitkan dan yang akan menerima kesenangan dalam surga dan kepedihan dalam nereka hanya roh. Kemudian al-Ghazali menjelaskan lagi, dari 20 masalah tersebut ada tiga hal yang bisa menyebabkan seorang filosof itu menjadi kafir, antara lain :30 a) Alam semesta dan semua substansi qadim. Para filosof muslim di kala itu mengatakan bahwa alam ini qadim. Sebab qadimnya Tuhan atas alam sama halnya dengan qadimnya illat atas ma’lulnya (ada sebab akibat), yakni dari zat dan tingkatan, juga dari segi zaman. Alasan dari para filosof itu adalah tidak mungkin wujud yang lebih dahulu, yaitu alam, keluar dari yang qadim (Tuhan), karena dengan demikian berarti kita bisa membayangkan bahwa yang qadim itu sudah ada, sedangkan alam belum ada. Menurut al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim (tidak mempunyai permulaan atau tidak pernah ada) maka mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi, paham qadimnya alam membawa pada kesimpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya. 30 Ibid, h. 87

Tidak diciptakan Tuhan dan ini berarti bertentangan dengan ajaran al-Qur’an yang jelas menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap alam (langit, bumi, dan segala isinya). Bagi al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada, sedangkan alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam maka alam ada di samping adanya Tuhan.31 Al-Ghazali juga menjawab argumen filosof-filosof mulsim itu. Katanya; tidak ada halangan apa pun bagi Allah menciptakan alam sejak azali dengan iradah-Nya yang qadim pada waktu diadakan-Nya. Sementara itu, ketiadaan wujud alam sebelumnya karena memang belum dikehendaki-Nya. Iradah menurut al-Ghazali adalah suatu sifat bagi Allah berfungsi membedakan (memilih) sesuatu dari lainnya yang sama. Jika tidak demikian fungsinya, tentu bagi Allah cukup saja dengan sifat qudrat. Akan tetapi, karena sifat qudrat antara mencipta dan tidaknya sama kedudukannya, harus ada suat sifat khusus yang membedakannya, yaitu sifat iradah. Andaikata para filosof Muslim menganggap sifat tersebut tidak tepat disebut sebagai iradah, dapat diberi nama lain asal itu yang dimaksud atau dengan arti sama. Sekedar istilah tidak perlu diperdebatkan, yang penting adalah isinya.32 Apakah yang menjadi landasan berpikir al-Ghazali sehingga mengatakan bahwa alam itu tidak qadim dan Tuhan yang qadim. Kerangka filosofis yang ia tawarkan adalah titik tolak yang benar dan ortodoks harus diawali dengan mengakui Tuhan sebagai wujud tertinggi dan kehendak unik yang bertindak secara aktual. ”Prinsip Pertama adalah Maha Mengetahui, 31 Dedi Supriyadi, Op.cit., h. 162 32 A. Hanafi, Antara Imam Al-Ghazali dan Imam Rusyd Dalam Tiga Metafisika, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1981), h. 29

Maha Perkasa, dan Maha Berkehendak. Ia bertindak sekehendak-Nya dan menentukan sesuatu yang ia kehendaki; ia menciptakan semua makhluk dan alam sebagaimana ia kehendaki dan dalam bentuk yang Dia kehendaki”.33 b. Tuhan tidak mengetahui yang juz’iyyat (hal-hal yang terperinci/kecil) yang terjadi di alam. Sebuah pemahaman bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyyat (hal-hal yang sifatnya terperinci/kecil), bukanlah sebuah pemahaman yang dianut oleh para filosof Muslim. Sedangkan pemahaman yang banyak digunakan filosof Muslim itu adalah pemahaman yang dianut oleh Aristoteles. Menurut al- Ghazali para filosof Muslim itu mempunyai pemahaman bahwa Allah sebagai Tuhan umat Muslim hanya mengetahui zat-Nya sendiri dan tidak bisa mengetahui yang selain-Nya. Pendapat para filosof Muslim ini di jawab oleh al-Ghazali. Al-Ghazali mengatakan bahwa para filosof itu telah melakukan kesalahan fatal. Menurut al-Ghazali lebih lanjut adalah sebuah perubahan pada objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu. Karena ilmu berubah tidak membawa perubahan pada zat, dalam artian keadaan orang yang mempunyai ilmu tidak berubah. Kemudian al-Ghazali memberikan sebuah ilustrasi, bila seseorang berada di sebelah kanan Anda, lalu orang itu berpindah kesebelah kiri Anda, kemudian berpindah lagi kedepan atau kebelakang, maka yang berubah adalah orang itu, bukanya Anda. Ia mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang satu (Esa) semenjak azali 33 Al-Ghazali, Op.cit., h. 131

dan tidak berubah meskipun alam yang diketahui-Nya itu mengalami perubahan.34 Untuk memperkuat argumennya, al-Ghazali mengeluarkan dalil-dalil al- Qur’an yang menyatakan bahwa Allah Maha Tahu segalanya, baik yang besar atau yang kecil. Dalil pertama: ‫َي ْع ُز ُب‬ ‫ِإأَ ْذ ْكبَتُ َِفري إِ ُضلاو َنفِ ِفيي ِه ِك َتَوا َما ٍب‬ ‫َع َل ْي ُك ْم ُش ُهو ًدا‬ ‫َو َعل َام ٍلأَ إِل ْصا َغ َُكر َّنا‬ ‫تَ ْع َملُو َن ِم ْن‬ ‫ِم ْن قُ ْرآ ٍن َولا‬ ُ‫َش ِأمْثْ ٍقَنا َِلو َما َذ َّتَرتْ ٍةلُوفِ ِميْنه‬ ‫فِي‬ ‫تَ ُكو ُن‬ ‫َو َما‬ ‫ُم ِبي ٍن‬ ‫ِم ْن ذَ ِل َك َولا‬ ‫ِفي ال َّس َما ِء‬ ‫الأ ْر ِض َولا‬ ‫ِم ْن‬ ‫َر ّبِ َك‬ ‫َع ْن‬ Artinya: ”Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).”(Q.S. Yunus: 61) Dalil kedua ‫قُ ْل أَتُ َع ِلِّ ُمو َن َّلَّلاَ ِب ِدينِ ُك ْم َوَّلَّلاُ يَ ْعلَ ُم َما ِفي ال َّس َما َوا ِت َو َما فِي الأ ْر ِض َوَّلَّلاُ بِ ُك ِّل َش ْي ٍء َع ِليم‬ Artinya:”Katakanlah: \"Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu?\"(Q.S. Al-Hujurat: 16). Yang menjadi persoalan adalah pernyataan mereka (para filsafat) ”Tuhan yang Mahamulia mengetahui hal-hal yang bersifat universal, tetapi tidak hal-hal yang bersifat partikular” pernyataan ini jelas-jelas telah menyelewengkan dalil-dalil di atas, ini menunjukkan ketidakberimanannya mereka. Maka yang benar adalah ”tidak ada sebutir atom pun di langit maupun di bumi yang luput dari pengetahuan-Nya.”35 34 Ibid., h. 206-207 35 Dedi Supriyadi, Op.cit., h. 171

Kalau dilihat pendapat Ibnu Rusyd36 maka akan berlawanan, menurut Ibnu Rusyd; pengetahuan Allah tidak dapat dikatakan juz’i (parsial) dan kully (umum). Juz’i adalah satuan yang ada di alam yang berbentuk materi dan materi hanya bisa ditangkap dengan pancaindera. Kully, mencakup berbagai jenis (nu’). Kully bersifat abstrak, hanya dapat diketahui melalui akal. Allah bersifat imateri (rohani), tentu saja pada zat-Nya tidak terdapat pancaindera untuk mengetahui yang parsial. Oleh karena itu, kata Ibnu Rusyd, tidak ada para filosof muslim yang mengatakan ilmu Allah bersifat juz’i dan kully.37 d. Pembangkitan Jasmani Tidak Ada. Banyak dari para filosof berpendapat bahwa yang akan dibangkitkan nantinya di alam akhirat adalah rohani semata, sedangkan jasmani (jasad) akan hancur. Maka dari itu, ketika di akhirat nanti, tentang adanya kebahagiaan ataupun kepedihan di sana yang dapat merasakan adalah rohani. Sedangkan jasmani (jasad) merasakan kebahgiaan dan kepedihan hanya saat di dunia saja.. Dalam mengulas alasan-alasan, mereka mengemukakan bahwa pengembalian jasad memiliki kemungkinan sbb:38 Pertama, manusia terdiri atas badan dan kehidupan, ini sama halnya seperti dikatakan oleh sebagian ulama kalam, sedangkan jiwa berdiri dengan sendirinya dan yang mengatur badan tidak ada wujudnya. Pengertian mati berarti terputus hidup, yakni Tuhan tidak lagi menciptakan hidup, oleh karena itu hidup ini tidak ada, dan badan tidak ada pula. Jadi, arti kebangkitan adalah bahwa Tuhan mengembalikan badan yang sudah tidak ada karena mati 36 Abu Walid Muhammad bin Rusyd lahir di Kordoba (Spanyol) pada tahun 520 Hijriah (1128 Masehi), seorang jenius yang berasal dari Andalusia dengan pengetahuan ensiklopedik. 37 Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, Tahkik, Sulaiman Dunya, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1971), h. 700-703 38 A.Mustofa, Look.cit., h. 237

kepada wujudnya, dan mengembalikan hidupnya yang sudah tidak ada. Dalam perkataan lain, badan manusia setelah menjadi tanah dikumpulkan dan disusun kembali menurut bentuk manusia dan diberikan hidup kepadanya.39 Kedua, atau dikatakan bahwa jiwa (roh) manusia tetap wujud sesudah mati, tetapi badan yang pertama (yang terjadi di dunia ini) nantinya dikembalikan lagi dengan anggota-anggota badannya sendiri dengan lengkap. Ketiga, atau dikatakan, jiwa manusia dikembalikan kepada badan, baik badan dengan anggota-anggotanya yang semula ataupun badan yang lain samasekali. Jadi, yang dikembalikan ialah manusianya, sebab badannya (bendanya) tidak terpenting, sedangkan manusia disebut karena jiwanya (rohnya), bukan karena bendanya (badannya).40 Atas dasar ini, para filosof muslim ini berpendapat bahwa mustahil mengembalikan rohani kepada jasad ketika keduanya telah berpisah. Menurut mereka, setelah berpisah antara roh dengan jasad, berarti kehidupan telah berakhir dan tubuh menjadi hancur. Penciptaan kembali berarti penciptaan baru yang tidak sama dengan yang berlalu. Pengandaian hal ini berarti mengimplikasikan qadimnya suatu hal dan baharunya hal yang lain. Akan tetapi, jika diandaikan terjadi kebangkitan jasad, maka akan menempuh jalan yang sulit dan membutuhkan pemikiran yang panjang, seperti adanya manusia pincang, manusia buta, dan lainnya. Kalau ini yang terjadi maka di surga nantinya akan ada sidat kekurangan dan ada pula satu jiwa dengan dua tubuh atau sebaliknya. Sesungguhnya di surga yang suci 39 Ibid 40 Ibid, h.238

tidaklah demikian. Jika demikian terjadilah proses yang panjang, seperti panjangnya proses kapas hingga menjadi kain.41 Menurut al-Ghazali, berdasarkan gambaran al-Qur’an dan al-Hadits Nabi Muhammad SAW. Tentang kehidupan di akhirat bukanlah mengacu pada kehidupan rohani saja. Tetapi pada kehidupan rohani dan jasmani. Jasad dibangkitkan dan disatukan dengan jiwa-jiwa manusia yang pernah hidup di dunia untuk merasakan nikmat surgawi yang bersifat rohani-jasmani. Kehidupan di surga dan neraka yang bersifat rohani-jasmani itu, menurut al- Ghazali, bukanlah kehidupan di surga dan neraka bersifat rohaniah saja, menurut al-Ghazali adalah pemahaman yang mengingkari adanya kebangkitan jasad di hari akhirat. Pemahaman demikian, menurutnya bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh al-Qur’an dan al-Hadits, karena itu dikufurkannya. Al-Ghazali berpandangan bahwa yang akan dibangkitkan itu adalah jasmani. Ini terbukti dengan perkataannya :42 ”... adalah bertentangan dengan seluruh keyakinan seorang Muslim, keyakinan mereka yang mengatakan bahwa badan jasmani manusia tidak akan dibangkitkan pada hari kiamat, tetapi hanya jiwa yang terpisah dari badan yang akan diberi pahala dan hukuman, dan pahala atau hukuman itu pun akan bersifat spritual dan bukannya bersifat jasmaniah. Sesungguhnya, mereka itu benar di dalam menguatkan adanya pahala dan hukuman yang bersifat spritual karena hal itu memang ada secara pasti; tetapi secara salah, mereka menolak adanya pahala dan hukuman yang bersifat jasmaniah dan mereka dikutuk oleh hukum yang telah diwahyukan dalam pandangan yang mereka nyatakan itu.”43 Dalam bukunya Tahafut al-Falasifah al-Ghazali juga mengatakan;44 “banyak hadits yang mengatakan bahwa roh-roh manusia merasakan adanya kebaikan atu siksa kubur dan lainnya. Semua ini sebagai indikasi adanya kekekalan jiwa. Sedangkan kebangkitan jasmani secara eksplisit telah ditegaskan dalam syara’, yakni berarti jiwa dikembalikan pada tubuh, baik tubuh semula maupun tubuh yang lain, atau tubuh yang baru dijadikan. Ini 41 Dedi Supriyadi, Op.cit., h. 172 42 Al-Ghazali, Al-Munqiz min al-Dhalal, terj. Abdullah bin Nuh, (Jakarta: Tinta Mas, 1960), h. 129 43 Ibid 44 Ibnu Rusdy, Op.cit., h. 289

dikarenakan tubuh manusia dapat berganti bentuk, seperti dari kecil menjadi besar, kurus menjadi gemuk, dan seterusnya. Namun, hal yang terpenting ada satu tubuh berbentuk jasmani yang dapat merasakan kepedihan dan kebahagiaan. Allah Mahakuasa menciptakan segala sesuatu. dan dengan KeMahakuasaan-Nya tidak merasa sulit bagi-Nya menjadikan setetes sperma menjadi aneka macam organ tubuh, seperti tulang, daging, kulit, urat saraf, otoit, lemak, dan sebagainya. Dari hasil ini detik berganti menit, menit berganti jam, dan jam berganti hari. Akhirnya menjadi mata, gigi, perasaan yang berbeda antara setiap manusia. Justru itu, Allah jauh lebih mudah mengembalikan rohani pada badan (jasmani) di akhirat ketimbang penciptaan-Nya pertama kali.45 Sungguh pertentangan antara al-Ghazali dengan filosof Muslim kalau di kaji secara mendalam, maka pertentangan tersebut hanya sebuah perbedaan Interprestasi karena bedanya titik pijak. Al-Ghazali seorang teolog al-Asy’ari, ia aktif mengembangkan Asy’arisme selama delapan tahun (1077- 1085) pada Universitas Nizhamiyah Baghdad, tentu saja pemikirannya dipengaruhi oleh aliran ini, yakni dengan kekuasaan kehendak mutlak Tuhan dan interprestasinya tidak seliberal para filosof. Sementara itu, pemikiran para filosof Muslim dipengarhui oleh pemikiran rasional, tentu saja interprestasi mereka lebih liberal dari al-Ghazali. Namun, antara kedua pihak sependapat bahwa di akhirat nanti ada kebangkitan.46 45 Ibnu Rusyd, Op.cit., h. 290 46 Dedi Supriyadi, Op.cit., h. 173

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Al-Ghazali adalah seorang teolog sekaligus seorang pemikir Islam yang banyak menyumbangkan pikirannya sampai ke generasi sekarang. Al-Ghazali mengktitik para filosof tentang tiga persoalan tentang kekeliruan para filosof yaitu; 1) Bahwa materi dapat merusak sedangkan jiwa tidak, karena materi adalah entitas material yang terpisah dan hanya jiwa yang abadi yang karena inilah esensi logos yang merupakan ruh 2) Menolak klaim bahwa pengetahuan yang khusus berubah jelas mungkin. Tuhan tidak mungkin berubah, dan 3) Al-Ghazali mengatakan tidak ada satu kasus pun yang tidak abadi,mulai dari yang abadi.

DAFTAR PUSTAKA A. Hanafi, Antara Imam Al-Ghazali dan Imam Rusyd Dalam Tiga Metafisika, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1981) A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999) Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986) Al-Ghazali, “Muqaddimah” kitab Tahafut Al-Falasifah, Tahkik Sulaiman Dunya, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1928) Al-Ghazali, Al-Munqiz min al-Dhalal, terj. Abdullah bin Nuh, (Jakarta: Tinta Mas, 1960) Al-Ghazali, Mukasyafatul Qulub (Rahasia Ketajaman Mata Hati), (Surabaya: Terbit Terang, t.t) Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filosof dan Ajarannya, (Bandung: Pustaka Setia, 2009) Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, Tahkik, Sulaiman Dunya, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1971) M. Amin Abdullah, Studi Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996) Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung: CV ROSDA, 1988) Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004) Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Al-Ghazali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975)


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook