Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Ahmad Suaedi_Melacak Basis Etika Antikorupsi_LP3ES

Ahmad Suaedi_Melacak Basis Etika Antikorupsi_LP3ES

Published by menangjateng, 2021-09-09 00:34:40

Description: Ahmad Suaedi_Melacak Basis Etika Antikorupsi_LP3ES

Search

Read the Text Version

303Melacak Basis Etika Anti Korupsi di Indonesia: Menyandingkan ... Melacak Basis Etika Antikorupsi di Indonesia: Menyandingkan Gus Dur dengan Pangeran Diponegoro Ahmad Suaedy* Pendahuluan Robert Klitgaard ahli antikorupsi punya rumus C=M+D-A (Corruption=Monopoly of Power + Discretion by Official – accountability).1 Klitgaard juga mendefinisikan, “korupsi adalah kekuasaan tanpa hukum yang tegak”. Teori itu sangat valid. Namun mengapa korupsi terjadi? Tulisan ini berangkat dari pertanyaan tersebut yang mungkin bisa mengungkap skema Klitgaard. Pemberantasan korupsi selayaknya tidak cukup didasarkan pada penegakan hukumm namun perlu pula pembangunan etika publik.2 Dalam berbagai kajian politik mainstream, regresi demokrasi dan pencegahan korupsi di Indonesia hampir selalu menunjuk kultur tradisional seperti feodalisme, integralisme spiritual dan politik serta tata krama kemasyarakatan seperti ketaatan pada otoritas tradisional, sebagai akar masalah. Sebaliknya, mereka menawarkan modernisme dan sekularisme atau liberalisme sebagai alternatif. Anderson menunjukkan beberapa ciri kultur kekuasaan Jawa, di antaranya bersifat konkret dan pribadi inheren dalam diri orang yang berkuasa dan bersifat akumulatif sehingga tidak *Ahmad Suaedy adalah Dekan Fakultas Islam Nusantara, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Jakarta. Dapat dihubungi di alamat [email protected]. 1Robert Klitgaard, Ronald Maclean-Abaroa & H. Lindsey Parris, Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah. Terj. Masri Maris (Jakarta: YOI, 2002), hlm.29. 2Haryatmoko, Etika Publik untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi (Jakarta: Gramedia, 2011).

304 Demokrasi Tanpa Demos bisa terbagi dan dikontrol.3 Moertono menguatkan tentang doktrin manunggaling kawulo gusti, konsep integralistik negara-rakyat. Akibatnya, raja adalah pemilik mutlak segala hal, sedangkan rakyat harus memberikan upeti.4 Sebaliknya, menurut Anderson, konsep atau kultur kekuasaan Barat modern bersifat abstrak dan tersebar. Karena itu, tidak memungkinkan terakumulasi pada satu individu penguasa dan karenanya bisa dikontrol. Sebagian orientalis seperti Ernest Gellner5 dan Tocqueville6 berpandangan, bahwa Islam nyaris tidak kompatibel dengan demokrasi karena adanya integrasi agama — negara. Dengan itu dalam Islam tidak dimungkinkan individu dan masyarakat sipil (civil society) bebas dan mandiri, yang menjadi persyaratan check and balances. Dengan demikian, kultur tradisional Indonesia maupun Islam sebagai mayoritas tidak kompatibel dengan demokrasi dan antikorupsi. Alhumami menyimpulkan bahwa perdukunan politik yang berpengaruh terhadap suburnya korupsi di Era Reformasi berakar dari konsep atau kultur kekuasaan Jawa tersebut.7 Sejalan dengan itu, Carey, menempatkan Daendels sebagai peletak dasar negara modern Indonesia dalam pemerintahan Hindia Belanda selayaknya sebagai titik tolak pemberantasan korupsi.8 Mitos Modernisasi Daendels dan Raffles Di dalam bagian ini saya hendak menantang pendapat- pendapat tersebut. Bahwa korupsi yang ada di dalam sistem sosial dan politik Indonesia sebetulnya bukan berasal dari tradisi atau konsep integralistik kekuasaan Jawa, Nusantara maupun Islam. 3Benedict R. O’R Anderson, “The Idea of Power in Javanese Culture”, dalam Benedict R. O’R Anderson, Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (Cornell: Cornell University Press, 1990). 4Soemarsaid Moertono, State and Statecraft in Old Java: A Study of the Later Mataram Period, 16th to 19th Century (Jakarta & Kuala Lumpur: Equinox Publishing, 2009). 5Ernest Gellner, Conditions of Liberty, Civil Society and Its Rival (London: Hamish Hamilton, 1994). 6Dikutip dari Ernest Gellner, Muslim Society: Cambridge Studies in Social and Cultural Anthropology (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), hlm.1-2. 7Amich Alhumami, Political Power, Corruption, and Witchcraft in Modern Indonesia, disertasi untuk meraih gelar Doctor of Philosophy di Department of Anthropology, University of Sussex, UK, 2012, tidak diterbitkan. 8Peter Carey,”Daendels and the Sacred Space of Java, 1808-1811: Political Relations, Uniforms and the Postweg”. Daendelslezing, Uitgeverij Vantilt/Stichting Daendels: 22 Maart 2013.

305Melacak Basis Etika Anti Korupsi di Indonesia: Menyandingkan ... Dalam waktu dua abad tradisi korupsi itu ditanamkan oleh VOC dari tahun 1602 – 31 Desember 1799. Kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan Hindia Belanda 1 Januari 1800, dan diakselerasi oleh Daendels mulai tahun 1808. Sistem korupsi yang modern dan sistemik itu ditanamkan oleh Daendels dan Raffles (berkuasa di Pulau Jawa tahun 1811-1816) dan para penggantinya. Daendels dan Reffles adalah pendiri sistem kenegaraan modern yang korup dan sewenang-wenang. Keduanya telah menginkorporasikan tradisi- tradisi Nusantara yang buruk seperti feodalisme dan doktrin bahwa tanah adalah milik raja dan raja adalah tetesan Tuhan ke dalam sistem negara modern, dan bukan sebaliknya. Tentang hal ini, Rengers menulis: Daendels had decided that the Javanese principle which recognized that prince as the representative of the Gods who owned the land made it imperative not to change the system of forced deliveries and contingencies. However, he considered forced deliveries and forced labor as taxes not as a tribute which the population owed the King.9 Sistem inkorporasi itu dipaksakan untuk tujuan setoran ke Belanda, bukan untuk raja maupun rakyat Indonesia dengan berbagai modifikasi kebijakan, mulai dari sistem pajak ganda, kerja paksa dan tanam paksa selama satu seperempat abad. Pembangunan de Groote Postweg, Anyer-Panarukan sepanjang sekitar 1.000 km diselesaikan dalam setahun, diperkirakan membunuh 12 ribu orang, belum termasuk yang terkena penyakit—dan membunuh 500 orang dalam pembangunan jalan Jakarta-Bandung.10 Pertama kali VOC lahir dan beroperasi di Nusantara dikelola oleh para kelas pencoleng Belanda. Semula pekerjaan VOC tidak menarik minat kelas menengah karena jauhnya jarak dan hutan tropis dengan penyakit malaria. Akibatnya, hanya kelas pengangguran yang mendaftar dalam rekrutmen itu. Selain itu, meskipun VOC didasarkan pada keputusan parlemen, namun manajemennya tidak dikontrol oleh Pusat, melainkan sistem setoran. Para pejabat dan 9D.W. Welderen Rengers, The Failure of a Liberal Colonial Policy: Netherlands East Indies, 1816–1830 (Hague: Springer, 1947). 10Peter J.M. Nas & Pratiwo, Java and de Groote Postweg, 2002.

306 Demokrasi Tanpa Demos karyawan VOC di wilayah ini bisa berbuat apa saja, termasuk korupsi, manipulasi, memaksa dan membunuh penduduk dan karyawan lokal. Keterlibatan pemerintah secara formal dalam VOC mengesahkan militer untuk membekenginya.11 Dari sanalah tradisi korupsi, manipulasi dan pemaksaan dalam sistem birokrasi pemerintahan berasal; sebaliknya kontrol parlemen tidak pernah berjalan.12 Sistem itu pula tampaknya yang mengantar VOC pada akhir yang tragis, bangkrut karena megakorupsi. Ketika ditutup 31 Desember 1799, VOC meninggalkan utang yang sangat besar. Daendels mengambil alih pemerintahan Hindia Belanda terutama untuk mengadang Inggris yang ketika itu angkatan lautnya sudah memblokade laut di sekitar Pulau Jawa. Deandels juga harus membayar utang VOC, memberikan kontribusi pembiayaan invasi dan perang Napoleon Bonaparte serta recovery ekonomi Belanda yang ambruk sejak perang Dutch-Anglo ke-4 (1780-1784). Republik Belanda sejak tahun 1795 sedang berada di bawah jajahan dan kontrol Perancis sebagai rangkaian dari Revolusi Perancis tahun 1789-1897 sebelum dibegal oleh Napoleon Bonaparte pada tahun 1897 dan dijadikan kekaisaran yang absolut.13 Republik Belanda kemudian diinkorporasikan ke dalam Kekaisaran Perancis dengan mengirim raja jadi-jadian dari Paris, adiknya sendiri: Louis Bonaparte.14 Daendels mengikuti model birokrasi Napoleonik atau liberal- authoritarianism yang sentralistik dan militeristik. Kontrol dilakukan melalui politik, birokrasi, tentara dan kepolisian.15 Dalam birokrasi, Napoleon membangun semboyan “administrer est le fait d’un seul’/ Administrasi adalah satu,”16 dan dalam militer “solder, is the son 11Oscar Gelderblom, Abe de Jong, and Joost Jonker, “The Formative Years of the Modern Corporation: The Dutch East India Company VOC, 1602-1623”, The Journal of Economic History, The Economic History Association, Vol.73, No.4, Desember 2013. 12Ibid. Lihat juga Martijn van der Burg, “Transforming the Dutch Republic into the Kingdom of Holland: the Netherlands between Republicanism and Monarchy (1795–1815)”, European Review of History—Revue européenne d’histoire, 17:2, 2010, hlm.155. 13Howard G Brown, “From Organic Society to Security State: The War on Brigandage in France, 1797–1802.” The Journal of Modern History, Vol.69, No.4, Desember 1977. 14Louis Bergeron & R. A. Palmer, France Under Napoleon (New Jersey: Princeton University Press, 1990). 15Howard G. Brown, From Organic..., op.cit. 16Matijn van Der Burg, “Local Administration in the Napoleon Empire: The Case of Napoleon’s Third Capital”, Cairn.info La Fondation Napoléon, 1, No.25, 2016.

307Melacak Basis Etika Anti Korupsi di Indonesia: Menyandingkan ... of Revolution/tentara adalah anak dari revolusi” dengan mengaku dirinya sebagai aktor tunggalnya.17 Jika Klitgaard mendefinisikan korupsi adalah kekuasaan tanpa hukum yang tegak, itulah gambar sistem kekuasaan Daendels. Sistem itu kemudian berkembang pada praktik cultivate system atau cultuurstelsel dan politik etis. Puncak kebrutalan pemerintahan Hindia Belanda adalah pasca disingkirkannya Pangeran Diponegoro. Cultuurstelsel dianggap sebagai penjajahan yang paling kejam dan brutal di seluruh dunia sepanjang masa.18 Dalam sistem itu sultan diputus hubungannya dengan rakyat dan para agamawan, dibonsai di dalam Keraton, dan hidup dengan diberi gaji. Sedangkan pengendalian kekuasaan seperti target pajak, tanam paksa dan mengawasi politik rakyat, diberikan kepada para pamong praja yang dikontrol secara langsung oleh orang Belanda. Jabatan residen dan asisten residen diberikan kepada orang Belanda yang sebelumnya dijabat oleh pribumi sebagai bagian dari sistem kesultanan. Di era politik etis, hanya para inlander dan bangsawan yang diberi peluang untuk pendidikan. Sedangkan para pendukung gerakan Pangeran Diponegoro terutama para pemimpin agama dan tarekat serta pendukung gerakan sosial di luar Pulau Jawa, dipinggirkan. Para inlander dan bangsawan inilah kemudian menjadi priyayi, birokrat dan politisi pasca kemerdekaan. Sedangkan Raffles adalah penguasa luar pertama yang langsung menyerang dan merampok isi Keraton Yogyakarta. Sementara VOC telah menanamkan korupsi sistemik; Daendels menanamkan inkorporasi feodalisme dan kesewenang-wenangan ke dalam sistem pemerintahan modern; Raffles menanamkan perampokan.19 Para pejabat pribumi inilah yang kemudian disebut priyayi.20 Mereka bisa menarik pajak dan mengawasi gerak-gerik politik rakyat di luar garis yang diatur oleh pemerintahan Hindia Belanda sendiri, sehingga mereka bisa berlaku sesuka hati untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Inilah akar korupsi dan kesewenang-wenangan 17Louis Bergeron dan R. A. Palmer, France..., op.cit., hlm.4. 18D.W. Welderen Rengers, The Failure of a Liberal Colonial Policy, 1947 19Tim Hannigan, Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa, terj. Bima Sudiarto, cet. keempat (Jakarta: KPG, 2018). 20Hans Bakker, “Class Relations in Java in the Nineteenth Century: A Weberian Perspective”, Canadian Journal of Development Studies, Volume 8, Issue 1, 1987.

308 Demokrasi Tanpa Demos sistemik warisan penjajahan. Tradisi ini, saya kira, masih mengakar hingga kini. Etika Publik Nusantara Dalam berbagai literatur, praktik pemerintahan kesultanan di Pulau Jawa sejak era Islam, menunjukkan kandungan etika publik dan integritas pribadi yang tinggi, namun terabaikan untuk ditransformasi menjadi suatu etika sistemik yang mendasari tradisi transparansi dan antikorupsi kini. Dalam tradisi manajemen kesultanan Islam, dikenal tiga wilayah kerja. Ketiganya memiliki bobot hubungan dengan sultan yang berbeda: (a) nagara, ndalem atau dalam Keraton; (b) nagaragung, njobo atau luar Keraton, wilayah kekuasaan kesultanan; (c) mancanagara di luar batas kesultanan. Ketiganya memiliki tingkat sentuhan sultan yang berbeda. Itu mencerminkan tingkat limitasi kekuasaan sultan.21 Namun masih ada satu wilayah urusan pribadi sultan: tradisi pembiayaan pemakaman sultan. Bahwa pembiayaan prosesi kematian sultan, dalam pemahaman Islam mereka, harus diambilkan dari harta kekayaan pribadi sultan. Ricklefs menyebutnya “the Sweat of the King (keringat raja)”.22 Pembagian empat ranah ini menunjukkan bahwa tidak ada kultur kekuasaan yang tak tersentuh, telah terbangun kesadaran untuk membedakan antara harta milik pribadi sultan dan kerajaan, dan ini bersandar pada spiritualitas agama Islam. Dalam sistem itu, ulama atau Walisongo, berperan menyerupai “institusi mediasi/mediating institution” dalam tradisi masyarakat sipil modern dalam artinya yang genuine.23 Contoh, Sunan Kalijaga sebagai semacam lobbyer dan penasihat raja, selain sebagai budayawan pencipta wayang. Ketika janji pemberian hadiah tanah bagi pemenang sayembara—hadiah tanah seperti ini berarti 21Heather Sutherland, “Notes on Java’s Regent Families: Part II”, Indonesia, Cornell University Press, No. 17 (April), 1974. 22M.C. Ricklefs, “The Sweat of the King: State Wealth vs. Private Royal Wealth in Pre-Colonial Islamic Javanese Kingdoms”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. Brill. 175, 2019. Tampaknya, pemakaman atau prosesi kematian para pejabat negara pada level tertentu kini justru ditanggung negara, kenyataan yang bertentangan dengan etika Jawa-Islam. 23Thomas Janoski, Citizenship and Civil Society: A Framework of Rights and Obligations in Liberal, Traditional, and Social Democratic Regimes (Cambridge: Cambridge University Press, 1988).

309Melacak Basis Etika Anti Korupsi di Indonesia: Menyandingkan ... semacam kerajaan vassal—oleh Sultan Hadiwijaya kepada Kyai Gedhe Pamanahan karena telah mampu membunuh musuh kuatnya, Ario Penangsang, namun Sultan Pajang menunda penyerahan hadiah karena mendapat firasat bahwa Kyai Gedhe kelak akan menjadi raja yang kuat. Kalijaga kemudian meyakinkan agar Sultan Hadiwijaya segera menunaikan janjinya—penunaian janji adalah tuntunan ajaran Islam—dilakukan sebagai nasihat keagamaan tanpa menjadikan dirinya sebagai bagian dari politik kesultanan itu sendiri. Pemberian hadiah itu ditunaikan, yang kemudian menjadi cikal-bakal Kesultanan Mataram hingga kini. Peristiwa itu terjadi di akhir Abad ke-16.24 Demikian juga, Sultan Agung yang dijuluki sebagai raja sekaligus sufi, tidak memerankan para sufi dan keyakinan keagamaan sebagai akumulasi kekuasaan pada dirinya. Dimensi agama di dalam diri Sultan Agung adalah dalam artinya yang spiritual, hubungan dengan Allah, dan bukan sebagai alat akumulasi kekuasaan dan kesewenang-wenangan.25 Jelaslah bahwa pandangan integralistik keagamaan dalam Islam-Jawa tidak identik dengan relasi raja-raja dalam pengalaman Eropa Abad Pertengahan. Tradisi oposisi dalam kultur Jawa tampak pada diri Pangeran Mangkubumi sebelum menjadi Hamengkubowo I. Ketika dalam keadaan tertekan dan sakit, Susuhunan Paku Buwono II dipaksa menyerahkan penentuan penggantinya atau suksesi oleh perwakilan VOC, Van Imhoff, Gubnernur VOC untuk wilayah pesisir timur laut. Paku Buwono II juga ditekan untuk menandatangani penyewaan pantai utara serta beberapa wilayah subur di pedalaman dengan harga sangat rendah, hanya 20.000 real per tahun—yang sebelumnya hanya sebagian pantai utara saja bisa mencapai 94 ribuan real per tahun. Karena dalam tekanan, Paku Buwono II melakukannya hanya empat mata dengan Imhoff. Pangeran Mangkubumi yang selama ini memang kritis terhadap VOC mengajukan protes kepada Paku Buwono II agar menggagalkan perjanjian yang sangat merugikan kesultanan maupun rakyat itu.26 Pada saat itu, Paku Buwono II 24M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2004, terj. Satrio Wahono dkk (Jakarta: Serambi, 2001), hlm.96-99. 25Lihat M.C. Ricklefs, “Islamising Java: The Long Shadow of Sultan Agung.” Archipel, Vol. 56, 1998. 26M.C. Ricklefs, Sejarah... op.cit.

310 Demokrasi Tanpa Demos juga punya utang kepada Mangkubumi berkaitan dengan hadiah sayembara pemberian kepadanya. Namun hadiah itu terus diulur- ulur di bawah tekanan keluarga Keraton dan VOC sendiri. Kelancungan Paku Buwono II itu justru dipakai Mangkubumi sebagai momentum untuk menagih janji tersebut. VOC dan Paku Buwono II sadar akan pengaruh Mangkubumi sehingga menawarkan damai, yang kemudian ditandatangani Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Mangkubumi mendapatkan tanah yang kemudian menjadi lokasi Keraton Ngayogyakarta Hadiningkat dengan gelar Hamengkuwono I, di mana ia dan para penggantinya selalu diaggap oposisi oleh VOC. Dari sini jelas bahwa ada bibit-bibit tradisi oposisi yang bisa saja berujung pada perjanjian damai atau suksesi. Tradisi oposisi berupa kontrol publik hidup di dalam masyarakat dan sistem kekuasaan Jawa. Etika pemerintahan lainnya ditunjukkan oleh Pangeran Diponegoro ketika hendak membentuk pengelola dana dari para donatur untuk perlawanan.27 Semula, posisi itu akan diberikan kepada Sentot Ali Basa sebagai komandan tertinggi angkatan bersenjata, namun ia membatalkannya atas prinsip: senjata dan uang tidak boleh berada di satu tangan. Akhirnya, hanya diberikan sepertiga kepada Sentot, namun kemudian Pangeran Diponegoro menyesalinya karena ternyata Sentot lebih sibuk mengurusi uang dan sebaliknya lamban bereaksi atas serangan pasukan Belanda. Sementara pada saat yang sama Belanda justru meningkatkan kekuatan pasukan dan pembangunan jalan.28 Pangeran Diponegoro dan Gus Dur: Etika Antikorupsi Pangeran Diponegoro dan Gus Dur atau Abdurrahman Wahid— meskipun berjarak waktu sekitar satu setengah abad—namun memiliki banyak kemiripan, baik dalam style kehidupan pribadi maupun sosial budaya, politik dan problem yang dihadapi. Sejarah keluarga yang bangsawan, kecenderungan pada spiritualitas dan hobi bertualang 27Peter Carey, Takdir: Riwayat Hidup Pangeran Diponegoro (1785-1855), terj. Cet. Kelima (Jakarta: Kompas, 2017). 28Ibid.

311Melacak Basis Etika Anti Korupsi di Indonesia: Menyandingkan ... baik dalam intelektual maupun politik, menjadikan keduanya mirip. Kritiknya yang tajam terhadap kekuasaan dan pemerintahan dan komitmennya pada kejujuran dengan mengambil jarak tertentu dari kekuasaan meskipun menjadi bagian dari kekuasaan itu sendiri adalah dua contoh kemiripan itu. Juga, keduanya sama- sama mengorbankan jabatan dan kesempatan untuk berkuasa lebih lama untuk kepentingan pemberantasan korupsi, berangkat dari tranformasi feodalisme tradisional berhadapan dengan doktrin feodalisme modern. Posisi oposisi dan kritisisme Pangeran Diponegoro terhadap pemerintaan Hindia Belanda sudah cukup lama. Ia selalu diidentifikasi sebagai musuh terdekat oleh pemerintah Hindia Belanda.29 Namun puncak dari sikap yang tidak bisa ditawar adalah ketika orang Eropa diberi izin untuk menyewa tanah dan menetap. Regulasi ini menyebabkan banyak bangsawan dan pejabat mengambil kesempatan dan menjadi OKB (orang kaya baru), sedangkan rakyat kian menderita dan miskin.30 Kehidupan Diponegoro yang di luar Keraton sejak kanak-kanak bersama dengan nenek buyutnya Ratu Ageng, istri Hamengkubuwono I, di Pasanggrahan Tegalrejo, membuatnya berjarak secara fisik maupun moral dengan Keraton yang diokupasi oleh pemerintahan Hindia Belanda. Diponegoro tetap tinggal di Pesanggrahan Tegalrejo setelah ditinggal nenek buyutnya pada usia 17 tahun. Pesanggrahan itu dijadikannya semacam kawah condrodimuko, spiritual sosial dan kebudayaan. Pangeran Diponegoro sendiri selalu berkeliling mengunjungi pusat-pusat spiritual dan guru, baik Islam maupun Jawa. Kehidupan nenek buyutnya yang religious, moralis serta memiliki keprihatian mendalam tentang situasi Keraton dalam moralitas dan etika juga memberikan suntikan spiritual dan kritisisme bagi Diponegoro muda. Dalam usia itu, Diponegoro digambarkan melahap berbagai literatur, baik Jawa maupun Islam atas bimbingan kyai dan berita- berita internasional khususnya tentang Turki Utsmani.31 Diponegoro 29Peter Carey, Takdir...ibid.; Lihat juga Pangeran Diponegoro, Babad Dipoenogoro, terj. (Yogyakarta: Narasi, 2016), hlm.435. 30Justus M. van der Kroef, “Prince Diponegoro: Progenitor of Indonesian Nationalism.” The Far Eastern Quarterly, Vol. 8, No. 4 (August), 1949; Lihat juga R. B. Armantono, “Monolog Diponegoro“, disertasi di ISI Surakarta, 2019. Tidak diterbitkan. 31Ibid.

312 Demokrasi Tanpa Demos juga tidak memutus hubungan dengan Keraton, bahkan menjadi anggota Wali Bidang Manajemen dan Keuangan pada Sultan Hamengkubuwono IV. Dari akumulasi literasi itulah Diponegoro sangat paham dengan dinamika di Keraton dan berhubungan erat dengan masyarakat bawah. Dalam situasi penindasan yang begitu dalam, menurut Sartono,32 satu-satunya saluran ungkapan penderitaan rakyat adalah para pemimpin agama dan tarekat yang dekat dengan mereka. Casus belli dari gerakan sosial Pangeran Diponegoro adalah korupsi terutama manipulasi dalam sewa menyewa tanah. Di satu pihak, Diponegoro sangat mengkhawatirkan adiknya sebagai Sultan Hamengkubuwono IV yang masih kanak-kanak—berusia 10 tahun. Pemerintahan Hindia Belanda menggunakan posisi Patih Danoeredjo IV untuk memanipulasi kedudukan Sultan dengan tujuan manipulasi dan korupsi. Puncak kemarahannya ialah Pangeran memukul kepala Patih Danoeredjo IV dengan selop yang dia copot dari ujung kakinya. Namun dari peristiwa itu perilaku Patih Danoeredjo IV kian kalap dalam manipulasi untuk kepentingan pemerintahan Hindia Belanda. Puncak kritisisme ialah ketika dengan sengaja pemerintahan Hindia Belanda mematok tanah-tanah milik rakyat di pinggir jalan menuju pesanggarahan Tegalrejo, yang memicu protes rakyat dan kemudian dibalas dengan tindakan bumi hangus oleh pemerintah Hindia Belanda. Gerakan sosial Pangeran Diponegoro bukan lagi representasi dari kesultanan, melainkan dari rakyat yang tertindas. Rakyat ditindas dengan klaim kekuasaan dan wibawa Keraton dan Sultan. Jika mau berkompromi, peluang Pangeran Diponegoro untuk menjadi Sultan sangat besar, meski dalam pasungan pemerintah Hindia Belanda. Pangeran memilih jalan untuk menyuarakan moral dan etika pemerintahan yang baik (good governance), meskipun harus kehilangan kemerdekaan pribadi bahkan hampir segalanya. Sementara itu Gus Dur dari sudut dunia pesantren juga adalah seorang bangsawan. Seharusnya pada usia dewasa dia dipanggil kyai, tetapi dia lebih suka dipanggil Gus. Secara berkelakar ia beralasan: “kyai itu tidak boleh nakal dan harus lebih khusuk 32Sartono Kartodirdjo, Kuntawijaya, Bambang Purwanto, dkk, Sejarah Sosial: Konsepsi, Model dan Tantangannya, cet. ketiga (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2017), hlm.64.

313Melacak Basis Etika Anti Korupsi di Indonesia: Menyandingkan ... beribadah. Sedangkan Gus masih pantas nakal dan tidak harus pintar”. Sebagiamana Pangeran Diponegoro, Gus Dur meskipun dari keluarga pesantren yang sering dipersepsikan sebagai tradisional dan feodal, juga seorang petualang dalam intelektual, spiritual, budaya dan politik. Dia membaca literatur dalam berbagai bentuk, musik, film dan seni lainnya dari hampir seluruh dunia. Gus Dur juga gemar mengunjungi pusat-pusat spiritual di Nusantara, juga kepada para tokoh agama dan kepercayaan. Sebagai Presiden, Gus Dur juga hendak dibonsai oleh para priyayi Orba dan tentara di dalam pemerintahannya. Ketika Gus Dur menjadi Presiden, sudah ada setidaknya UU No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, sebagai implementasi dari TAP MPR No.XI Tahun 1998. UU ini menegaskan bahwa penataan moralitas dan tertib birokrasi pemerintahan dalam reformasi seharusnya dimulai dari atas. Presiden Habibie juga mengeluarkan UU No.31 Tahun 1999, kemudian diundangkan UU No.30 Tahun 2002 dengan perubahan tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi—tetapi implementasinya harus menunggu tiga tahun sebagai persiapan kelembagaan dan SDM. Didorong ingin segera menegakkan etika publik tersebut, Presiden Gus Dur langsung tancap gas dan melantik Komisioner KPKPN (Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara) sebagai salah satu pelaksanaan UU antikorupsi tersebut. Lembaga ini adalah bagian dari rencana Gus Dur untuk sesegera mungkin memberantas gunung es korupsi di Indonesia. Presiden Gus Dur bersama 47 pejabat tinggi lainnya memberikan daftar kekayaan pejabat negara pertama dalam lembaran negara, bersama 34 anggota KPKPN dan pejabat lainnya. Gus Dur juga membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui PP No.19 Tahun 2000 untuk mendukung kerja pemberantasan korupsi dengan segera. Namun TGPTPK dibatalkan oleh MA melalui suatu judicial review. Sedangkan KPKPN pada tahun 2004 di-insert ke dalam KPK menjadi LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara). Dalam evaluasi KPK dua tahun setelahnya, LHKPN mengalami pelumpuhan di dalam KPK.33 33Ahmad Suaedy, “Gus Dur dan Moralitas Bangsa Antikorupsi” (https://nu.or.id/post/read/111287/ gus-dur-dan-moralitas-bangsa-anti-korupsi, 2019).

314 Demokrasi Tanpa Demos Gus Dur juga memisahkan Kepolisian dari TNI yang semula disatukan dalam organisasi ABRI yang menjadi tiang utama Orba yang korup. Gus Dur menyusun RUU Otonomi Khusus untuk daerah-daerah konflik Aceh dan Papua sebagai bagian dari upaya menegakkan keadilan, mengeliminasi peran dominan militer yang korup dan menginisiasi berdirinya Ombudsman RI untuk menata birokrasi yang juga korup dan manipulatif.34 Dalam seluruh usahanya itu Gus Dur berhadapan dengan kokohnya tembok kepentingan para priyayi Orba, baik dalam birokrasi maupun partai politik dan tentara. Bukan hanya langkah keras pemberantasan korupsi yang dimentahkan, Gus Dur sendiri bahkan dilengserkan dari kursi presiden. Jika Gus Dur bersedia berkompromi, bukan tidak mungkin akan menduduki kursi presiden lebih lama, meski hidup dalam pasungan kepentingan politik para priyayi Orba dan militer yang korup itu. Tetapi, seperti juga Pangeran Diponegoro, Gus Dur memilih konsisten dengan tuntutan moral dan pesan agama yang diyakininya, meskipun harus ‘dipenjarakan’ secara politik dalam waktu cukup lama..35 Kesimpulan Kebijakan modernisasi yang ditanamkan Daendels dan Raffles telah menginkorporasikan dimensi-dimensi buruk napoleonik dan Jawa seperti feodalisme. Hal ini tampak masih mengakar hingga kini. Liatnya korupsi dan mentahnya pemberantasan korupsi, tampaknya tidak hanya berakar pada regulasi atau bahkan konstitusi, tetapi juga pada etika publik dalam bernegara. Selama ini, akar historis etika publik dalam kultur masyarakat— yang memiliki akar partisipasi yang kuat—justru diabaikan dengan mengambil unsur yang seolah modern namun justru menjadi biang bagi liatnya sistem korupsi itu sendiri. Dua contoh transformasi etika yang berangkat dari kultur tradisional yakni Pangeran Diponegoro dan Gus Dur pada akhirnya memberi cermin, bahwa tradisi dan kultur sendiri lebih kuat daripada modernisasi yang salah secara paradigmatik. 34Ahmad Suaedy, Gus Dur, Islam Nusantara dan Kewarganegaraan Bineka (Jakarta: Gramedia, 2018). 35Lihat Virdika Rizky Utama, Menjerat Gus Dur, Mengungkap Rencana Penggulingan Gus Dur, cet. Kedua (Jakarta: Numedia Digital Indonesia, 2020).

Melacak Basis Etika Anti Korupsi di Indonesia: Menyandingkan ... 315 Bibliografi Alhumami, Amich. 2012. “Political Power, Corruption, and Witchcraft in Modern Indonesia”. Disertasi Doctor of Philosophy Department of Anthropology University of Sussex, UK. Tidak diterbitkan. Anderson, Benedict R. O’R. 1990. “The Idea of Power in Javanese Culture.” Cornell: Cornell University Press. Armantono, R. B. 2019. “Monolog Diponegoro“. Disertasi di ISI Surakarta. Tidak diterbitkan. Bakker, Hans. 1987. “Class Relations in Java in the Nineteenth Century: A Weberian Perspective”. Canadian Journal of Development Studies, Volume 8, Issue 1. Bergeron, Louis & R. A. Palmer. 1990. France under Napoleon. New Jersey: Princeton University Press, Brown, Howard G. 1977. “From Organic Society to Security State: The War on Brigandage in France, 1797–1802”. The Journal of Modern History, Vol.69, No.4, Desember. Burg, Martijn van der. 2010. “Transforming the Dutch Republic into the Kingdom of Holland: the Netherlands between Republicanism and Monarchy (1795–1815)”. European Review of History, 17:2. Burg, Matijn van Der. 2016. “Local Administration in the Napoleon Empire: The Case of Napoleon’s Third Capital”. Cairn.info La Fondation Napoléon, 1, No.25. Carey, Peter. 2013. ”Daendels and the Sacred Space of Java, 1808-11: Political Relations, Uniforms and the Postweg”. Stichting Daendels: 22 Maart. Carey, Peter. 2016. Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia. Depok: Komunitas Bambu. Carey, Peter. 2017. Takdir: Riwayat Hidup Pangeran Diponegoero (1785- 1855). Jakarta: Kompas. Gelderblom, Oscar. Abe de Jong. Joost Jonker. 2013. “The Formative Years of the Modern Corporation: The Dutch East India Company VOC, 1602-1623”. The Journal of Economic History, Vol.73, No.4, Desember. Gellner, Ernest, 1994. Conditions of Liberty, Civil Society and Its Rival. London: Hamish Hamilton. Gellner, Ernest. 1983. Muslim Society: Cambridge Studies in Social and Cultural Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.

316 Demokrasi Tanpa Demos Hannigan, Tim. 2018. Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa, Terj. Bima Sudiarto, Jakarta: KPG. Haryatmoko. 2011. Etika Publik untuk Integritas Pejabat Publik dan Polisiti. Jakarta: Gramedia. Janoski, Thomas. 1998. Citizenship and Civil Society: A Framework of Rights and Obligations in Liberal, Traditional, and Social Democratic Regimes. Cambridge: Cambridge University Press. Kartodirdjo, Sartono. Kuntawijaya. Bambang Purwanto, dkk. 2017. Sejarah Sosial: Konsepsi, Model dan Tantangannya, cet. ketiga, Yogyakarta: Penerbit Ombak. Kingsley, Charles. 2006. The Ancient Regime. Ohio: 1st World Library Klitgaard, Robert. Ronald Maclean-Abaroa. H. Lindsey Parris. 2002. Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah. Terj. Masri Maris. Jakarta: YOI. Konnert, H. R. Mark. 2008. Early Modern Europe: The Age of Religious War, 1559-1715. Toronto: Toronto Press Incorporated. Kroef, Justus M. van der. 1949. “Prince Diponegoro: Progenitor of Indonesian Nationalism”. The Far Eastern Quarterly, Vol.8, No.4, Agustus. Moertono, Soemarsaid. 2009. State and Statecraft in Old Java: A Study of the Later Mataram Period, 16th to 19th Century. Jakarta & Kuala Lumpur: Equinox Publishing. Nas, Peter J.M. and Pratiwo. 2002. “Java and de Groote Postweg, La Grande Route, the Great Mail Road, Jalan Raya Pos”. KTLV, 158, No.4. Pangeran Diponeogor. 2016. Babad Dipoenogoro. Yogyakarta: Narasi. Rengers, D.W. Welderen. 1947. The Failure of a Liberal Colonial Policy: Netherlands East Indies, 1816–1830. Hague: Springer. Ricklefs, M.C. 1998. “Islamising Java: The Long Shadow of Sultan Agung”. Archipel, Vol.56. Ricklefs, M.C. 2001. Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2004, terj. Satrio Wahono dkk, Jakarta: Serambi. Ricklefs, M.C. 2019. “The Sweat of the King: State Wealth vs. Private Royal Wealth in Pre-Colonial Islamic Javanese Kingdoms”. Brill, 175. Suaedy, Ahmad. 2019. Dalam https://nu.or.id/post/read/111287/gus- dur-dan-moralitas-bangsa-anti-korupsi. Suaedy, Ahmad. 2018. Gus Dur, Islam Nusantara dan Kewarganegaraan Bineka. Jakarta: Gramedia.

317Melacak Basis Etika Anti Korupsi di Indonesia: Menyandingkan ... Taylor, Charles. 1994. “The Politics of Recognition”. Dalam Amy Gutmann, Multiculturalism: Examining the Politics of Recognition. New Jersey: Princeton University Press. Tocqueville, Alexis de. 2014. Democracy in America. Terj. ke dalam bahasa Inggris dari bahasa Perancis oleh Henry Reeve. Adelaide: University of Adelaide. Utama, Virdika Rizky. 2020. Menjerat Gus Dur, Mengungkap Rencana Penggulingan Gus Dur. Cet. Kedua. Jakarta: Numedia Digital Indonesia.


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook