Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Layout_Catatan Pengantar Tidur (1)

Layout_Catatan Pengantar Tidur (1)

Published by Yuthika Najmi Tsaniya, 2021-11-05 04:20:17

Description: Layout_Catatan Pengantar Tidur (1)

Keywords: Pengantar Tidur

Search

Read the Text Version

“Marwah” Penulis S osok ampuh dalam sastra Indonesia itu bernama Pram. Ia pernah berujar tentang sebuah arti penting menulis yang melampaui laku intelektual semata-mata. Siapa manusia yang tak ingin hidup abadi? Pram, dengan kredonya, mengatakan menulis adalah jalan keabadian yang bahkan tak dicakup daya intelektual. Chairil pernah sesumbar dengan mantera “ingin hidup seribu tahun lagi”. Cintanya—mungkin kepada Ida—yang membuatnya menolak mati ternyata harus tunduk pada panggilan tanah Karet. Chairil mati secara biologis, tapi tidak dengan puisi-puisinya— hingga hari ini, ketika kita berada di tubir Perang Dunia ketiga(?) Saya menduga, mereka yang bergenit-genit dengan memublikasi karya secara swaterbit sesungguhnya sedang dijangkiti dua sindrom yang dipaparkan oleh Pram dan Chairil sekaligus; mereka kerasukan “cinta pada dunia literasi” yang mendorong subjek untuk “mengada”. Catatan Pengantar Tidur 45

Labeling Kita dapat meminjam “teori labeling” Emile Durkheim untuk menggambarkan siapa dan bagaimana seseorang disebut penulis dari cuplikan sejarah. Kita mengenal Balai Pustaka sebagai lembaga yang ditugasi membuat kriteria sekaligus menyeleksi buku yang boleh dibaca pribumi. Karena kepentingan politik pemerintah kolonial Belanda, kita kehilangan keragaman khazanah karya sastra dari penulis-penulis peranakan Cina, sebagai misalnya, sebab tak lolos penyensoran. Polarisasi Manikebu dengan Lekra dalam memandang seni, membuat kedua kubu saling menginkari. Yang condong kepada kekuasaan memenangi persaingan. Pembaca bisa menelusuri sediri buku-buku atau karya terlarang penulis bermahzab Lekra pada masa rezim Orba. Kita mengenal sosok paus sastra Indonesia yang lekat pada HB Jassin. Kerja pengarsipan oleh Jassin tentu patut dipuji. Tapi, berbahaya jika kita berpikir yang disebut penyair atau sastrawan hanya mereka yang karyanya telah diarsipkan Jassin. Lain soal, saking angkernya Horison, setiap penulis di negeri ini merasa wajib mencacatkan nama mereka di majalah itu agar disebut penyair atau sastrawan. Pun hari ini, sebagian orang masih berkeyakinan seorang boleh disebut penyair cerpenis, atau sastrawan, setelah mereka memublikasikan karya mereka di media cetak nasional macam 46

Kompas, Tempo, Jawapos, Media Indonesia, atau di media daring macam basabasi.co; untuk itu mereka harus melalui seleksi atau kurasi yang ketat dari redaktur. Dari proses yang tak mudah itu, label penulis, penyair, cerpenis, novelis, atau sastrawan menjadi begitu prestis dan bermarwah. Itulah yang kira-kira dijadikan dalih argumentasi mereka yang mempertanyakan kegenitan para penulis yang melakukan swaterbit karya. Swaterbit menunjukkan hubungan antara penulis dengan pembaca tidaklah lagi “berjarak”. Kita bisa menemukan puisi, cerpen, bahkan novel via internet dalam berbagai kanal media digital. Saya ingin mengingatkan, yang bekerja saat itu adalah hukum industri yang kapitalistik di mana selera pembaca adalah otoritas. Pembaca berhak memutuskan apa saja, bahkan jika itu bertentangan dengan akal sehat atau otoritas lain. Pembaca bisa menemukan kebenaran argumentasi itu dari fakta penjualan fiksi lebih tinggi daripada puisi; fiksi remaja dan motivasi lebih laris daripada novel serius. Novel remaja dengan kultur urban lebih diminati daripada lokalitas, dst. Lebih dari itu, posisi karya sastra dalam masyarakat senantiasa menunjukkan resonansi. Secara kuna, sastra senilai dengan kitab suci, untuk memaknainya para sarjana menggagas metode hermeneutik. Sebabnya, sastra diidentikkan dengan wahyu dan sumber nilai. Kita mengenal Rangga Warsita yang memberi peninggalan penting bagi masyarakat Jawa, khususnya. Jangan lupa, pujangga Catatan Pengantar Tidur 47

kebanggaan Jawa ini begitu identik dengan sistem monarkhi yang sangat kuat napas patriarkhinya. Sastra, di sana, menemukan kesakralannya, hingga hari ini, orang-orang Jawa itu masih sering mengutipnya untuk menafsirkan fenomena-fenomena mutakhir. Sejak modernisme gagal mecapai ekspektasi humanisme, penulis-penulis Jepang, yang merepresentasi negara maju dan cukup banyak karya yang dikenal pembaca Indonesia, menunjukkan kuatnya napas nihilisme. Gaya itu dicangkok oleh beberapa penulis puisi dan cepen Indonesia hari ini. Karya sastra yang ditulis tanpa tujuan spesifik, seakan ingin membuat garis pembeda dari mereka yang mengusung jargon sastra bernuansa realisme sosialis atau sastra profetik, sebagai pembanding. Pada akhirnya, seorang penulis membutuhkan lebih dari sekadar bakat dan ilham untuk menulis. Penulis perlu melengkapi diri mereka dengan teknik pertukangan yang memadai untuk meramu tulisan yang sedap bagi pembaca. Itu akan mereka peroleh dari membaca karya-karya terdahulu. Semakin bervariasi bacaan, semakin kaya teknik yang akan dikuasai penulis. Sangat mungkin, seseorang akan terjebak untuk sementara mengadopsi sebuah teknik bercerita penulis idolanya. Pada level berikutnya, seseorang penulis akan mencari bentuk khasnya dengan serangkaian eksplorasi-ekplorasi, bisa dengan memodifikasi atau bahkan membuat anti-teori. Pada level itulah, capaian estetika seorang penulis akan bernilai dan dihargai lebih tinggi dari sikap yang antihumanisme sekalipun; begitu pemenang nobel sastra tahun 2019 memberi kita pelajaran. 48

Seperti gelar kiai, penyair, cerenis, sastrawan, hingga budayawan bukanlah gelar yang diaku-aku, melainkan pengakuan dari pihak lain yang otoritatif. Lalu, masihkan kita memiliki cukup waktu untuk berdebat mengenai siapakah yang lebih otoritatif daripada selera pembaca itu sendiri? Catatan Pengantar Tidur 49

Guru dan Lokalitas Sumber Belajar B agi murid, guru adalah sosok “ampuh”, bukan sembarang orang akan dijadikan guru. Kita tahu, Soekarno yang dikenal memiliki jurus pidato kelas wahid itu belajar pada sosok ampuh bernama Tjokroaminoto. Siapa tak tahu dua ulama besar pendiri Nandlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah juga berguru pada sosok ampuh dari Bangkalan bernama Syeh Cholil. Di dunia sastra dunia, Hemingway dan Kafka memengaruhi karya- karya fiksi Marquez. Dalam level lokal, kita bisa menemukan pola- pola Ahmad Tohari yang memengaruhi gaya penulis Agus Pribadi; gaya mistisme Abdul Wachid B.S. yang diikuti pensyair-pensyair muda Purwokerto. Dalam tradisi pewayangan, kita mengenal sosok Semar sebagai sumber kebijakan (baca: guru) di antara punakawan. Guru adalah sebuah profesi dalam masyarakat modern yang kapitalistik(?) Sebagai profesi, guru mensyaratkan berbagai 50

kompetensi ideal. Yang ideal itu adalah kualifikasi kepribadian, sosial, pedagogi, dan profesionalisme. “Keampuhan” dalam konsep modern dibuktikan dengan lembaran lisensi yang diperoleh setelah menempuh pendidikan profesi. Tjokroamitono dan Syeh Cholil Bangkalan tidak memiliki lisensi sebagaimana seorang guru berlabel profesional hari ini, tetapi mereka mendapat “pengakuan” dari murid-murid mereka. Sedangkan, Kafka dan Hemingway sebagai guru—bagi Marquez— bukan dalam pengertian persona. Sebab, hubungan guru dan murid adalah in absentia, yaitu melalui karya-karya yang dibaca. Lain lagi, dalam kepercayaan ibarahimian, Tuhan mengajari Adam tentang nama-nama. Pada konteks berbeda, anak Adam yang melakukan pembunuhan pertama belajar pada burung untuk mengubur jenazah saudaranya. Pada pengertian tertentu, guru mengandung makna yang luas, sejauh subjek itu memberikan pengetahuan. Pola relasi guru dan murid adalah pola relasi pemilik ilmu dengan pencari ilmu. Konsekwensi logisnya, guru menjadi pihak dominan yang berhak membuat kurikulum (baca: aturan) yang mesti diikuti mereka yang ingin berguru. Guru akan menentukan mana benar atau salah, mana baik atau buruk, mana boleh atau tidak. Murid, dengan kata lain, adalah anak-anak ideologis para guru. Sampai di sini, kita memahami konteks peribahasa “nakal”: guru kencing berdiri, guru kecing berlari. Catatan Pengantar Tidur 51

Bagi murid, guru dapat dimaknai sebagai sumber belajar. Pun bagi guru, murid dapat dijadikan sumber belajar. Bolehlah, kita ambil kesimpulan sementara bahwa definisi sumber belajar adalah wacana dalam pengertian tak terbatas, sejauh ia memiliki konteks dalam belajar. Autentik Ketika kecanggihan teknologi informatika membuat kita kebanjiran informasi, itu telah menjadi petunjuk kita telah menjadi bagian masyarakat global. Pola interaksi yang khas manusia global adalah terbukaan dan inklusif. Identitas manusia global ideal adalah multikultural. Pandangan eksklusif dalam komunitas yang plural tentu sangat berisiko menimbulkan konflik horizontal. Sekelompok “orang tua” melihat kecenderungan globalisasi secara pesimistik dan penuh keraguan, sekiranya itulah yang memunculkan gerakan nativisme. Tidak ada yang salah sesungguhnya jika gerakan ini beriorientsi pada substansi. Sebagai contoh, menjadikan folklor sebagai sumber belajar yang autentik. Dialek penginyongan mengandung apa yang kita yakini selama ini sebagai identitas Banyumas, yaitu watak cablaka. Kalau kita mengulik, cablaka memiliki ruh keterbukaan dan egaliter, setidaknya itu yang ditunjukkan Bawor dan Werkudara yang ksatria itu. 52

Pada konteks berbeda, kita mengenal cerita rakyat “Raden Kamandaka”. Saya sendiri lebih memaknainya sebagai upaya dekonstruksi atas tabu kawin Jawa-Sunda pascagagalnya kawin politik Pajajaran dengan Majapahit; Kamandaka sebagai representasi Sunda, sedangkan Ciptarasa merepresentasi Jawa. Kata kuncinya adalah cinta, sebuah nilai kemanusiaan yang universal melampaui batas-batas primordial. Hari ini, folklor semakin kehilangan fungsinya, hal itu sejalan dengan penutur bahasa Penginyongan yang semakin berkurang, dalam ruang privat lebih-lebih ruang publik. Semua bermigrasi menjadi penutur bahasa Indonesia dan bahasa asing yang mengglobal. Kita mungkin lupa—kalau tak tahu sama sekali—pada zamannya, pesantren-pesantren mempertahankan identitas akidah dan kultural mereka dengan menolak menggunakan bahasa selain Arab dan Jawa. Itulah kekalahan terbesar yang tak pernah diakui pemerintah kolonial-imperialis selama menduduki bumi Nusantara. Bukan begitu? Catatan Pengantar Tidur 53

Belajar Mencintai Hujan S ebagian wilayah yang oleh Jaka Kaiman diprapat, pada pertengahan bulan September (2019)s ini, mengalami kesulitan air bersih. Konon sebabnya, musim rendeng yang lambat tiba. Banyak anak-anak sekolah sekarang tak tahu betapa kakek-nenek mereka dulu sangat mencintai hujan. Bila musim kemarau memanjang, mereka diserang wabah rindu berjamaah. Lalu, diadakanlah ritual untuk memanggil hujan demi melihat sawah yang menghijau. Tapi, hari-hari belakang banyak orang salah kaprah memahami kata ritual. Lebih dari itu, anak-anak selalu dimiliki zamannya, anak-anak itu adalah anak yang lahir di tanah yang sama yang lambat laun mengubah identitasnya menjadi kota. Mereka tak lagi perlu belajar menyeimbangkan tubuh saat melangkah di pematang. Mereka tak usah lagi berkeringat demi turut serta berkubang di lumpur, ngeleb, wluku atau ndaut saat bukan jam belajar di sekolah. Anak-anak kita telah menjadi anak zaman yang sesungguhnya. 54

Hujan adalah alegori dari kehidupan, begitu bahasa kitab suci Muslim. Serayu adalah jalur penting perdagangan dari selatan Jawa. Begitu, konon, kita membaca dan mengenang Banyumas lama. Sementara, komoditas perdagangan dihasilkan kesuburan lembah-lembah sungai besar dan daerah sekitar kaki Gunung Slamet. Air adalah kawan sejati. Bahakan, ketika pusat kadipaten direndam banjir Serayu, mereka memilih menjauhi lembah ke utara, mendekat dengan Gunung Slamet. Begitulah romantika kita dengan air. Sekalipun berkawan, ada prinsip-prinsip yang tak boleh ditawar demi sebuah kelanggengan. Begitu bukan? Hujan adalah air. Air adalah sumber kehidupan. Bagi penyair, ia adalah sumber ide. Hujan (air) bisa menjadi begitu sentimentil bagi seorang penyair. Sebutlah puisi “Air Mata Manggar” karya Arif Hidayat yang sebagai misal. Sesabar air mata ia mengalir, seperti air susu ibu ia menetes/pelan dan hati-hati dari waktu ke waktu. Ini bukan gerimis/yang biasa bertempias di jendela hari kamis. Lebih lantaran/sabit yang terus mengernyit untuk mengiris bunga kuning/di padi dan sore hari, sebelum kau terbit oleh keriput//. Dalam puisi itu, kita mendapati diksi-diksi yang bertautan dengan air, seperti air mata, air susu ibu, gerimis, hingga sumur. Puisi itu berusaha memproyeksi secara alegoris sekaligus ironi kehidupan para penderes nira yang bergerak antara spiritualitas dengan realitas sosial yang ambivalen. Tentu saja itu adalah elemen Catatan Pengantar Tidur 55

penting untuk menggambarkan masyarakat desa yang bercorak agraris yang diam-diam terus terdistorsi. Siapa tak mengenal puisi “Hujan Bulan Juni” yang lekat pada sosok SDD? tak ada yang lebih tabah/dari bulan Juni/dirahasiakan rintik rindunya/kepada pohon berbunga itu//. Puisi dengan demikian menunjukkan sebagai pemantik kontemplasi yang masuk dan bekerja dalam ranah rasa, boleh jadi kita anggap spiritual. Hal yang kerjanya kurang lebih sama dalam gerakan tari atau yoga, atau nada-nada musik, mungkin juga guratan dalam lukisan. Hari ini adalah puncak musim kemarau. Yang ada kekeringan. Bilamana manusia kekurangan air, tubunnya akan mengalami dehidrasi, sementara jiwa seorang takkan kering selama ia membaca. Ialah makanan ruhani. Akan tetapi, budaya membaca bangsa ini konon dalam level yang begitu rendah sekalipun secara infrastruktur tergolong lumayan baik. Lalu, apa sebenarnya persoalan yang mesti diselesaikan bertepatan dengan momentum hari kunjungan perpustakaan setiap 14 September? Apakah dengan datang ke perpustakaan, kita telah menyelesaikan persoalan rendahnya minat baca? Melihat kecenderungan minat baca yang rendah, sesungguhnya itu memberi gambaran kepada kita bahwa bangsa ini gagal dalam menyelesaikan fase transisi dari budaya lisan ke tulisan. Atau, tepatnya, sebelum kita menyelesaikan transisi itu, kita justru dipaksa melakukan melompatan ke budaya digital. 56

Maka, tanpa rasa bersalah, kita enggan membaca berita alih-alih memilih siaran berita dari televisi atau video striming yang memanfaatkan audio-visual yang tak mendalam. Orang tua yang tak memiliki perbendaharaan cerita yang mumpuni enggan bersusah payah membacakan dongeng alih-alih memilih memberi alternatif media: film animasi. Celakanya, ditambah-tambah tanpa pendampingan. Argumentasi semacam itu mungkin tak kukuh atau belum tuntas sehingga perlu validasi ilmiah, tapi apa pembaca punya alternatif argumentasi untuk membantahnya secara absolut? Mengakhiri tulisan ini, saya punya sederet pertanyaan retoris untuk kita renungkan. Berapa kalikah kita ke perpustakaan seminggu terakhir atau sebulan terakhir atau setahun terakhir atau seumur hidup? Apakah kita telah memiliki kartu perpustakaan? Lalu, kapan terakhir kali berrekreasi ke perpustakaan? Buku apa yang terakhir kita baca? Ah, jika saja perpustakaan adalah hujan, tentu kita akan mudah mencintainya. Sebab cinta, jika terlalu lama tak bersua, tentu rindu akan mencabik-cabik pikiran dan perasaan dan memaksa tubuh kita hadir dalam perjumpaan. Bilamanakah itu terjadi? Catatan Pengantar Tidur 57

Satire Orang-orang Oetimu S ekelompok pembaca menganggap kemewahan sebuah buku sastra—salah satunya poin pentingnya—terletak pada seberapa banyak kemungkinan tafsir untuk memaknainya. Pembaca macam ini berburu kemewahan dengan cara yang sedikit menjengkelkan sebab mereka adalah tipikal yang banyak menuntut dan tentu mudah kecewa(?) Mereka seperti anjing yang sangat sensitif pada ketidakdetailan penulis. Mereka pula mengesankan sebagai guru killer yang hanya menyayangi murid-murid terpandai dan penurut saja. Lalu, apa yang menjejali pikirkan mereka ketika disuguhi Orang-orang Oetimu karya Felix K. Nesi itu? Tentu saya tak bisa menduga-duga pikiran di kepala orang. Saya lebih tertarik menguraikan apa yang saya temukan dalam pikiran dan perasaan saat dan setelah membaca novel yang konon menjadi tiket sang pengarang turut dalam residensi di Belanda. 58

Orang-orang Oetimu sejak awal telah menjadi salah satu buku paling ditunggu khalayak setelah ditahbiskan sebagai pemenang sayembara novel bergengsi Dewan Kesenian Jakarta 2018. Sayup-sayup di ingatan, sebagian pembaca mungkin telah dibekali deskripsi-argumentatif pertanggungjawaban juri. Tentu saja, setelah membacanya, ada yang membuat mereka mengangguk setuju, namun ada saja yang akan hendak mengajukan pertanyaan menyigi lebih lanjut. Cerita ini dibuka dan ditutup sebuah peristiwa pembunuhan keluarga Martin Kabiti yang dilakukan oleh sekelompok orang yang menuntut balas dendam karena genosida terhadap keluarga milisi. Dari peristiwa itulah sesungguhnya alur bergerak melingkar seperti kain yang dijahit menjadi sarung. Persona-persona dalam peristiwa itu diuraikan satu demi satu secara lugas namun cukup untuk memenuhi syarat kohesi. Pada akhirnya, pembaca akan menemukan sebuah konklusi bahwa penguasaan atas kapital adalah alasan sebuah perang yang diaktori segelintir elit yang tak muncul dalam cerita. Dan, penulis mungkin berharap pembaca berpikir bahwa perang (baca: kekerasan) adalah sumber dari segala bencana, dalam konteks apa pun. Pembaca macam saya begitu merasa terberkati setelah rampung bersuntuk membaca novel gubahan Felix K. Nesi ini. Betapa tidak, saya merasa dipinjami teleskop yang memproyeksikan Catatan Pengantar Tidur 59

secara presisi dalam bentuk fragmen-fragmen narasi dan deskripsi orang-orang di timur Jawa (baca: Indonesia) alih-laih menemukan perspektif otentiknya. Kecanggihan Felix K. Nesi sudah terlihat dalam paragraf pembuka yang memaksa pembaca tak boleh lengah dalam hal konsentrasi. Tidak ada kecederungan memainkan tempo berlambat- lambat untuk sekadar mendeskripsikan sebuah latar sedetail, mungkin, Ahmad Tohari atau N. H. Dini. Dalam beberapa hal, cara bercerita semacam ini tentu memunculkan perasaan ngungun yang tentu sangat bertentangan dengan gaya Yasunari Kawabata, misalnya. Mungkin itu catatan paling menonjol untuk novel yang luar biasa jika ini disebut novel perdana. Bagi saya, secara ompresif, Felix kehilangan beberapa momen yang mungkin berpotensi mengaduk-aduk emosi pembaca, semisal pada gambaran perempuan yang melahirkan Sersan Ipi. Ia terlalu fokus untuk sesegera mungkin mempertemukan pembaca pada garis besar cerita. Satu hal yang membuat Orang-orang Oetimu mungkin akan menjadi karya monumental adalah perbendaharaan kata yang cukup kaya. Saya mengingat, misalnya, kecakapan yang mungkin mendekati Yusi Pareanom atau Eka Kurniawan. Beberapa kali, pembaca mungkin perlu mengecek langsung ke kamus untuk memastikan tidak ada typo di sana, melainkan pembaca mendapati lema yang memang tidak familiar. Dengan modal itu, novel 60

ini berpotensi menjadi preferensi sumber belajar di kelas-kelas sekolah atau kampus. Kita mungkin mengenal Milan Kundera yang selalu ingin mengajak pembacanya tertawa pada saat yang bersamaan dengan meneguk rasa getir. Satire, itulah kata kunci dalam memahami novel ini. Orang-orang Oetimu seolah sedang mewedarkan perspektif otentik (baca: awam) atas dominasi sistem adat, negara, bahkan gereja yang mengilfiltrasi ke ruang-ruang domestik. Tentu saja, dalam konteks itu, yang kita temukan adalah bentuk-bentuk kekerasan simbolik. Orang-orang Oetimu menunjukkan betapa cara pandang konvergen yang rapuh alih-alih membaca dan menilai segala sesuatu secara kritis. Menutup tulisan ini, saya ingin mengatakan seorang utusan dari timur Indonesia telah lahir, bernama Felix K. Nesi, yang mungkin disiapkan leluhurnya untuk menggantikan sosok besar bernama Gerson Poyk. Kalimat itu akan mudah dipahami rasanya jika pembaca bersepakat bahwa Orang-orang Oetimu menawarkan sebuah kemewahan bagi pembaca sastra Indonesia. Catatan Pengantar Tidur 61

Usia Puisi Dharmadi C hairil pernah bermantera: ingin hidup seribu tahun lagi. Akan tetapi, itu tak cukup untuk menunda kematiannya— yang kata banyak orang—di usia yang terlalu muda. Meski tubuh biologisnya telah menyatu dengan tanah Karet, nama dan puisinya abadi. Siapa yang hendak menyangkal itu? Anak- anak sekolah masih mengenalnya sebagai “binatang jalang”. Di lomba-lomba membaca puisi atau dalam pidato hari kemerdekaan, kita akrab mendengar puisinya tentang Diponegoro. Bahkan, kisah cintanya dengan Ida diketahui banyak orang. Juga obesesinya dengan buku. Chairil mencari jalan estetika yang sedikitnya berbeda dari para pendahulunya. Dia dan karyanya lahir pada saat yang tepat. Tak heran, ia disebut-sebut kanon sastra angkatan ‘45. Dua keberkahan itulah yang kiranya membuat tanggal penting dalam hidupnya diperingati sebagai hari puisi. 62

Lain Dharmadi. Dharmadi terus produktif menulis puisi ketika usianya mencapai angka tujuh puluh. Angka yang membuat penulis-penulis muda nan banyak lagak layak menaruh hormat pada sosok bersahaja yang akrab dengan stasiun dan kereta, juga pandai memijit. Medio semester pertama tahun 2019, menandai usianya ke tujuh puluh, Dharmadi meluncurkan buku kumpulan puisi pilihan bertajuk Pejalan. Merunut titi mangsa yang tersurat di setiap akhir puisi, tahun penulisan tertua adalah 1974, sedangkan yang termuda 2018. Dalam rentan 44 tahun, terpilih 140 judul puisi yang dibukukan di dalamnya. Puisi, tentu saja ekspresi subjektif sang pernyair. Ekspresi penyair adalah dialektika tak berkesudahan antara realitas objektif dengan nilai-nilai ideal. Dharmadi mengeidealkan mengakomodasi keduanya untuk tidak saling menegasikan alih-alih berkompromi. Pembaca bisa menemukan itu pada penggalan puisi “hakikat” berikut: langkah belum selesai apa salahnya/runut kembali awal berjalan/ada yang memerat keangkuhan tak/bermakna keinginan menggelembungkan/diri mari kita gembosi sendiri sebelum meledak/di udara agar tak jadi puing/diterbangkan/angin// Membaca buku puisi Pejalan, pembaca pula disungguhi autobiografi Dharmadi, tentu saja bukan dalam bentuk prosa, melainkan larik dan bait. Dharmadi merekam banyak hal penting dalam puisi-puisinya. Hidup oleh Dharmadi dimetaforakan sebagai perjalanan, sedangkan dia melabeli dirinya sebagai pejalan. Kita Catatan Pengantar Tidur 63

dapat melihatnya dalam cukup banyak puisi, beberapa di antaranya: “gerimis padi”, “di pendapa tbs”, “di jakarta”, “saat sakit”, “hakikat” tirai demi tirai, “sajak batu”, “kabut”, “di stasiun” “ibu yang zat”, “ritual ibu”, “tiket”, dan “di pasar peterongan”. Dalam puisi-puisi itu, pembaca akan menemukan nama atau persona hingga peristiwa-peristiwa spesifik dan tentu subtil bagi penyair kelahiran Semarang yang kini tinggal di Tegal itu. Puisi-puisi pada medio 80-an hingga 90-an menunjukkan gaya ucap Dharmadi yang mengalami pergeseran, meski tak frontal, ke arah realis. Ini berbeda dengan gaya yang ia pilih sebelum dan sesudah medio itu. Pembaca bisa menemukan dasar argumentasi itu pada penggalam puisi “sarajevo-hebron-kabul- dan di tempat-tempat lainnya lagi” berikut: sampai juga padaku letusan selongsong/peluru asap mesiu juga aliran darah serpihan daging potongan tulang serta/jeritan yang tertahan//kulihat pada gambar di koran di televisi/kudengar lewat siaran radio helversum bbc/suara amerika juga rri/masuk dalam hatiku wajah anak-anak mengerang/sambil memegang erat-erat kaki kiri/sebentar lagi diamputasi// Juga, pada puisi “exoduse” berikut: ada cangkul/ada sabit// ada keranjang bambu//ada benting/ada kain/ada kebaya//ada potongan rambut//tergeletak di teras rumah//kemudian lambaian tangan//riwayat tenggelam di dasar bendungan/tak ada lagi ziarah panjang/berjuta jiwa terkapar/di kota metropolitan//asing dari aroma tanah// 64

Pada titik ini, Dharmadi memerankan dirinya sebagi bagian dari masyarakat dunia. Dia adalah subjek kolektif yang terikat oleh nilai-nilai kemanusian yang universal. Wacana itulah yang menjadi ruh dalam puisi dimaksud. Dari perjalanan kepenyairannya yang terbentang rentan 44 tahun, capaian estetika tertinggi Dharmadi adalah puisi pendeknya yang khas. Dia memiliki kemampuan meramu diksi-diksi sederhana dalam larik dan bait yang relatif ramping tanpa kehilangan keluasan substansi wacana. Mengakhiri tulisan ini, saya menyitir salah satu puisi terbaik Dharmadi berjudul “daun” yang memproyeksikan kejernihan batin sekaligus kejeniusan memilih diksi: selembar daun/lepas dari pegangan/angin meraih// Catatan Pengantar Tidur 65

Santri: Agen Organik Multikulturalisme N arasi Hari Pahlawan mengalami pergeseran isu sejak Presiden Jokowi menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Pergeseran itu bukan sebuah distorsi, melainkan perluasan dari fakta sejarah. Fakta itu adalah nasionalisme arek Surabaya menangkal agresi berlandas pada spiritualias Islam. Dengan kata lain, negara memberikan pengakuan atas peran kelompok agama. Bangsa yang dibangun dengan kesadaran multi-etnis membuat bangsa ini telah dewasa sejak lahirnya. Jadi, boleh dikata kesadaran multikultural tumbuh seiring embrio bangsa. Kita bisa merujuk pada persahabatan tokoh sejarah berjuluk tiga serangkai yang memiliki latar belakang berlainan. Kita bisa membaca sekali lagi sejarah Kartini dan Kartono yang bisa menyerap apa-apa yang baik dari yang lain untuk disintesiskan. Dalam versi yang lebih 66

terbaru, kita mengenal nama besar Romo Mangun dan Gus Dur yang mewariskan pada bangsa ini sebuah intisari dalam keberagamaan, yaitu kemanusiaan, dalam mewarnai kehidupan berbangsa. Bagi saya, pada titik ini, agama dan negara telah mantap pada posisinya masing-masing sesuai kesepakatan awal, yakni mengenai bentuk, ideologi, dan konstitusi. Saya semakin yakin, masa depan bangsa ini akan sangat bergantung pada sajauhmana bangsa kita hari ini berhasil mewariskan nilai-nilai multikultural kepada generasi muda, dengan dua kata kunci: moderat dan intelektual. Pemahaman yang menyeluruh dan inhern itu terrekam dalam kerja kreatif para pemilik label wingit seperti Ahmad Tohari dan Abdul Wachid BS. Anak sekolahan di Indonesia, siapa tak mengenal nama novelis kelahiran Banyumas ini, Ahmad Tohari. Pembaca yang telah menghatam novel-novel dan cerpen-cerpen sang Maestro takkan kesulitan mengafirmasi bahwa dia adalah seorang yang telah menyelami spiritualitas Islam. Untuk itu, tengoklah novel Orang-orang Proyek atau cerpen “Wangon- Jatilawang” yang secara vulgar menelanjangi kemanusiaan kita yang penuh borok. Dalam suatu perjumpaan, awal tahun ini, kami sempat berdiskusi tentang orang-orang yang beragama tanpa spiritualitas. Tokoh-tokoh yang mendefinisikan orang-orang dengan kualitas moral minor itulah yang kerap dimunculkan sebagai pemantik konflik dalam alur cerita gubahannya. Catatan Pengantar Tidur 67

Dalam puisinya yang berjudul “Gong XI Fa Cai”, Abdul Wachid BS menulis: naga menjadi keindahan sekaligus ketakutan/ kau aku bayangkan, naga/menjelma kekuatan yang/menajubkan yang/membatas pandangan, naga/memberi mata dan hati/kau aku//naga di langit/naganaganya di malam tahun baru/hujan turun mendai rejeki/sepanjang tahun//naga di hatiku?/gelisah membentuk lingkaran tanda tanya/adakah sisa usia kau isi dengan/ kebaikan akan mengubur neraka yang/menyembur dari mulut naga/di harihari kemarin?/”selamat, semoga sejahtera”//setiap tahun baru menyaksikan usia/detik demi detik itu dilahap naga tanpa jeda/sampai kauu aku tiada tersisa/kecuali cerita// Yang bisa kita baca dalam puisi itu adalah penyair yang seorang muslim turut dalam kebahagiaan etnis Tionghoa yang merayakan tahun baru. Betapa indah dan sentimental peristiwa spiritual macam itu. Tentu saja puisi itu lahir dari jiwa yang bersih nun dicahayai iman. Dan, keduanya acap membuat kita latah menyebut mereka sastrawan sufi(?) Kalau kita tarik mundur, Gus Mus dan Cak Nun pernah aktif menulis, khususnya puisi. Mari kita baca penggalan puisi Gus Mus “Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana” berikut: Kau ini bagaimana/Kau bilang aku merdeka, kau memilihkan untukku segalanya/Kau suruh aku berpikir, aku berpikir kau tuduh aku kapir//Aku harus bagaimana/Kau bilang bergeraklah, aku 68

bergerak kau curigai/Kau bilang jangan banyak tingkah, aku diam saja kau waspadai//... Puisi-puisi mereka kita maknai sebagai bentuk perlawanan kelompok santri kepada rezim yang anti-kritik. Perlawanan itu simbolik. Mungkin saja karena orang yang berbicara dengan bahasa kekerasan tak paham bahasa figuratif. Ah, rasanya tidak juga, buktinya Wiji tak sebaik nasib Gus Mus dan Cak Nun. Dari para kiai sekaligus santrinya, kita tahu puisi adalah juga bermakna sebuah alat yang dapat digunakan untuk berjuang. Faktanya, malah sering, puisi lebih efektif dari senjata tajam ataupun api sekali pun. Kalau puisi pernah dijadikan alat perlawanan terhadap rezim otoriter, sekarang, seperti yang dilakukan Abdul Wachid BS., puisi digunakan untuk mengamapanyekan multukulturalisme. Sebab, hanya multikulturalisme yang ampuh untuk melawan ideologi trans-nasional yang menjual utopia alih-alih menjadi sel kangker yang merongrong dan menggerogoti bangsa ini untuk kemudian tercerabut dari akar budayanya yang autentik. Jangan sampai itu terjadi. Catatan Pengantar Tidur 69

Sihir Guru Agus B ukankah bulan Ramadan selalu dipararelkan dengan konsepsi pendidikan. Orang yang telah melalui proses pendidikan disebut terdidik karena dia telah dianggap memiliki kompetensi tertentu. Kemenangan dalam Lebaran yang hakiki adalah hadirnya spirit keilahian yang (senantiasa) baru, dalam konsep budaya disebut mudik. Yang lebih penting dari sekadar telah menempuh pendidikan dan mendapat predikat takwa atawa lulus adalah seberapa lama seseorang bisa mempertahankan spirit ketuhanan pada rentan sebelas bulan setelahnya. Dengan kata lain, boleh dikata, keberhasilan sebuah pendidikan tidak diukur saat proses itu berlangsung, tetapi tolok ukurnya adalah capaian-capaian pada masa setelah seseorang menyelesaikan pendidikan. Misal, ternyata Presiden Jokowi lulusan UGM atau pantas Gus Dur tinggi keilmuannya dan diakui banyak kalangan wong mondoknya di mana-mana. 70

Beda nasib dengan sebagian besar sekolah swasta di lingkup Banyumas saja sebagai misal. Stigma negatif kerap teralamatkan kepada sekolah—di dalamnya ada guru, perserta didik, sarana- prasarana—berdasarkan penilaian yang tidak objektif dan tidak menyeluruh. Menyadari realitas semacam itu, alih-alih ingin membenahi kesalahkaprahan yang laten telanjur masif itu, pemerintah membuat kebijakan sistem Penerimaan Pesera Didik Baru (PPDB) yang menjadi pemicu hiruk-pikuk setiap awal tahun ajaran pada dua-tiga tahun terakhir. Selalu ada pro dan kontra di level publik adalah sebuah keniscayaan dalam kultur masyarakat demokrasi. Justru, itu menunjukkan semakin kuatnya peran masyarakat sipil. Di tengah riak penerapan sistem zonasi PPDB awal masuk tahun ajaran 2019—2020, Agus Pribadi—guru sekaligus penulis dari tlatah Banyumas menelurkan sebuah karya teranyarnya berupa novel bertajuk Sihir Sayap Ular. Secara ringakas, novel itu menceritakan persahabatan tokoh Sona, Darsa, dan Yona yang tinggal di sebuah kampung yang digambarkan berjarak dari peradaban modern, kemelaratan dan kebodohan. Konflik muncul dan digerakan dengan kehadiran sosok bidadari. Pada akhirnya, ketiganya meninggal dalam usaha bersatu dengan ideal, Bidadari. Konon, Sihir Sayap Ular adalah novel perdananya. Sebelumnya, Agus lebih banyak menulis cerpen dan cerkak untuk fiksi dan buku nonfiksi. Buku setelabal 122 halaman itu Catatan Pengantar Tidur 71

mengisahkan lima tokoh utama, tiga di antaranya adalah manusia. Dua tokoh utama lain adalah bidadari dan seekor ular. Ditulis dengan gaya bahasa yang lugas dan alur linear, pembaca tak dituntut meluangkan waktu yang terlalu lama untuk menyelesaikan novel hingga kalimat terakhir. Tema dan konflik yang membangun novel memungkinkannya untuk diterima banyak segmen pembaca. Menimbang gagasan utama, sarana cerita, dan fakta cerita, buku novel fiksi garapan Agus Pribadi ini berpotensi masuk ke perpustakaan sekolah, sedikitnya untuk lingkup Banyumas. Hal ini akan menjawab sebuah kenyataan memprihatinkan yang dijumpai juri lomba penulisan cerpen untuk tingkat remaja tingkat Jawa Tengah yang diadakan Balai Bahasa Jawa Tengah tahun 2018 lalu. Juri mengemukakan dalam pertanggung jawabannya bahwa tokoh dan latar yang menjadi unsur pembangun cerita peserta lomba didominasi—untuk tidak mengatak keseluruhan— berkiblat pada budaya populer Barat dan Korea. Novel Sihir Sayap Ular diharapkan akan menjadi preferensi guru dan siswa ketika pembelajaran, misalnya dalam materi teks ulasan atau cerita fantasi untuk materi bahasa Indonesia tingkat SMP. Agus Pribadi lebih dari sekadar kampanye omong kosong “gemar membaca”. Dengan menulis, Agus Pribadi telah menunjukkan dirinya adalah seorang pembaca yang baik. Bangsa ini baru boleh bermimpi memiliki generasi emas yang kelak akan menjadi penerima nobel berbagai bidang dengan hari ini 72

memastikan orang tua dan guru adalah juga pembaca yang baik. Lalu, memastikan semua anak bangsa memperoleh akses layanan dasar pendidikan yang bermutu tanpa diskriminasi, di mana pun dan apa pun nama sekolahnya. Semoga. Catatan Pengantar Tidur 73

Tafsir Sunyi B agi penyair Amir Hamzah, kesunyian dalam “Padamu Jua” adalah situasi transendental. Kesunyian inilah yang mungkin didamba para penempuh jalan monastik. Diksi sunyi menjadi memiliki garis pembeda yang tegas dengan sepi dalam “Sepisaupi” Sutardji yang lebih dekat kepada ‘dingin’, ‘sendiri’, ‘derita’ dst. Artie Ahmad malah memasukkan unsur sunyi dalam fiksi. Sunyi bagi Artie sepertinya memuat nada feminin sehingga dijadikannya nama untuk tokoh perempuan. Dalam novel Sunyi di Dada Sumirah (2018) karangan Artie Ahmad, Sunyi adalah tokoh utama selain Sumirah (baca: ibu) dan neneknya. Novel ini terdiri atas tiga bagian. Yang menarik, pada setiap bagian, pengarang menggunakan sudut pandang orang pertama dengan tokoh aku yang berbeda, yaitu aku-Sunyi, aku-ibu, dan aku-nenek. 74

Kita tentu lebih dulu mengenal pengarang fiksi kenamaan Indonesia macam Ayu Utami atau Yetti K.A sebagai contoh penulis yang punya semangat liberasi posisi perempuan dalam kultur masyarakat pariarkhi. Semangat yang kurang lebih sama, saya temukan menjadi ruh dalam rancang bangun novel Sunyi di Dada Sumirah. Tesis itu rasanya tak berlebihan setelah membaca proses perubah nasib yang dialami ketiga tokoh utama. Semuanya mengarah pada faktor antagonistik yang identik yang memosisikan ketiga tokoh utama (baca: perempuan) sebagai warga kelas dua dalam sistem budaya. Sunyi adalah buah cinta Sumirah dengan seorang lelaki dari negeri asing yang datang ke Indonesia untuk keperluan pekerjaan. Itulah yang menjadi alasan fisik Sunyi yang berbeda dengan orang Indonesia pada umumnya. Hubungan Sumirah dengan lelaki asing itu bemula dari hubungan antara pekerja seks komersial dengan pelanggannya. Sunyi berkonflik dengan ibunya, Sumirah. Ia kemudian memilih hidup terpisah dengan ibunya meskipun tak bisa lepas dari ketergantungan material pada ibunya yang seorang pekerja seks komersial. Pada satu momen, kemanusiaan Sunyi terkoyak karena perilaku seorang lelaki yang ia cintai. Lelaki itu menganggapnya tak lebih dari kekadar objek pelampiasan seksual belaka. Ibu Sunyi, Sumirah, sejak ayahnya meninggal dan ibunya menghilang, dibesarkan oleh neneknya. Minim pendidikan Catatan Pengantar Tidur 75

membuatnya tekicuh oleh muslihat lekaki yang dicintanya. Ketika lelaki itu membawanya pergi ke kota, ia bukan diperistri, melainkan dijual kepada seorang mucikari. Dia terjebak dalam durasi kotrak yang tak masuk akal dengan mucikari itu. Nenek dari Sunyi atau ibu dari Sumirah adalah seorang janda setelah kematian suaminya. Sejak itu untuk menghidupi diri dan anaknya, ia berdagang dan mengajar tari anak-anak di sebuah komunitas. Tak di sangka, karena kegiatannya di komunitas itu, ia terisap pada pusaran huru-hara politik ‘65. Ia dianggap terlibat dalam organisasi terlarang dan membuatnya menghilang sebelum kemudian hanya ditemukan kuburannya. Semangat Liberasi Artie Ahmad seakan tidak ingin terjebak untuk sekadar menarasikan distingsi-distingsi yang melukiskan ketidaksetaraan gender dalam kultur patriarkhi dalam potret buram sejarah Indonesia. Lebih dari itu, semangat liberasi tergambar jelas dalam novelnya. Pertama, Nenek Sunyi dan anaknya berhasil bertahan hidup meskipun suaminya telah meninggal. Hal itu dapat terjadi karena nenek Sunyi memiliki keahlian membuat makanan untuk dijual. Dengan keahlian itu, perempuan itu dapat menggantikan peran suami sebagai tulang punggung ekonomi rumah tangganya. Kedua, berkat kecerdikan Sunyi yang bekerjasama dengan seorang pengacara berhasil membebaskan Sumirah dari kotrak 76

yang mengikatnya selama bertahun-tahun dengan seorang mucikari yang licik. Kecerdikan Sunyi tentu berkorelasi dengan pendidikan tinggi yang diperolehnya. Ketiga, cinta. Lahirnya Sunyi sebagai buah hubungan Sumirah dengan lelaki asing yang didasari cinta. Secara simbolik, buah cinta itulah yang kemudian membebaskannya jadi jeratan prostitusi. Lebih daripada itu, pengacara yang terlibat dalam pembebasan Sumirah dan menemukan kuburan nenek Sunyi adalah lelaki yang mencintai Sumirah. Setelah membaca novel Sunyi di Dada Sumirah, rasanya sunyi lebih dari sekadar nama tokoh (individu), ia harus dimakanai mewakili sebuah subjek koletif yang diposisikan inferior, marginal, sub-altern, kelas dua, dst. Posisi perempuan yang demikian menunjuk dua faktor atagonistik, negara dan perkwinan. Catatan Pengantar Tidur 77

Literasi Sekolah: Ekspektasi dan Strategi K esalahan yang—meski tak sepernuhnya—lazim mengenai Gerakan Literasi Sekolah adalah ia menjadi tugas guru bahasa Indonesia semata-mata. Literasi adalah kebutuhan dasar yang lekat pada setiap individu. Bisa dibayangkan, manusia modern hidup tanpa kemampuan baca dan tulis. Ketika angka statistik penyandang buta huruf menunjukkan angka yang signifikan menurun dari tahun ke tahun, itu tak otomatis persoalan selesai. Lho ya, bagaimana begitu banyak orang menjadi korban hoaks, tertipu investasi “bodong” karena iming-iming keuntungan di luar nalar, tertipu biro perjalanan umron dengan harga kelewat murah, penyakit-penyakit akut yang disebabkan makanan cepat saji, dan selanjutnya pembaca bisa meneruskan. Jawabannya 78

karena orang-orang itu belum bisa berpikir kritis, sebuah indikator tingkat literasi yang lemah. Persoalan pokok dalam budaya literasi tidak hanya selesai dengan membangun infrastruktur belaka. Ekspektasi tinggi menjadi bangsa dengan kemampuan literasi tinggi macam Finlandia atau negara maju lain mesti dibarengi kesadaran manusianya. Kesadaran ini secara masif harus dipromosikan, dikampanyekan. Perlu strategi agar orang rela meluangkan waktu untuk—setidaknya—membaca. Sebagai ilustrasi: Di SMP Muhammadiyah 1 Purwokerto, seorang murid perempuan menemui gurunya untuk menyerahkan sebuah naskah cerita pendek. Di saat yang berbeda, seorang murid perempuan lain juga menemui guru itu untuk menyerahkan beberapa judul puisi. Setelah menyerahkan karya, jatung murid- murid itu akan berdegup lebih kencang dari biasanya. Degup jantung mereka akan menencapai titik puncaknya pada hari Senin. Pada hari itulah, mereka akan tahu tulisan siapa yang lolos kurasi dan terpublikasi di website sekolah. Mereka tak hanya bangga dan bahagia karena karya mereka dibaca guru dan teman satu sekolah, mereka pula akan dapat uang jajan yang cukup untuk mentraktir siomai atau batagor lima orang teman lengkap dengan es teh (?) Pembaca mungkin menganggap ilustrasi paragraf di atas adalah sekadar fiksi. Betapa pun itu terasa jauh dari galib, saya adalah salah satu tokoh di dalamnya. Pembaca bisa mengecek jejak digitalnya pada alamat: smpmuh1pwt.sch.id. Di sana, pembaca Catatan Pengantar Tidur 79

akan menemukan beberapa karya siswa dan guru berupa cerpen dan puisi, beberapa adalah cerita pengalaman pribadi. Publikasi- publikasi itu dilakukan pada rentan waktu November (2017) s.d. Desember (2018). Sudah menjadi rahasia umum bahwa keterampilan membaca liniar dengan keterampilan menulis. Seorang penulis kaliber Pramoedya Ananta Toer hingga Eka Kurniawan adalah pembaca yang baik. Penulis puisi macam Ahmad Yulden Erwin adalah seorang yang menguasai disiplin ilmu selain sastra, mulai dari sejarah hingga sains. Tulisan-tulisan mereka adalah mahakarya sastra Indonesia mutakhir. Di Sekolah yang menerapkan kurikulum terbaru, setiap pagi diadakan pembiasaan literasi selama 15 menit. Yang mereka baca adalah buku nonteks mata pelajaran. Melihat peluang itu, buku- buku sastra memiliki peluang untuk mendapatkan ruang yang lebih longgar bertemu dengan para pembaca remaja yang dalam kurikum mendapat porsi sekitar 25 persen. Buku-buku di perpustakaan akan lebih mungkin mendapat kecewa jika mereka berharap kunjungan mewah dari anak-anak yang hanya punya waktu istirahat 15 menit pada saat jam istirahat. Anak usia sekolah dasar, SD dan SMP, dalam mereproduksi tulisan tentu masih pada taraf imitasi ke arah modifikasi sederhana. Sebagai kurator karya-karya siswa yang akan dipublikasi, saya jamak menemukan misalnya, nama tokoh dan latar imajiner yang berkiblat pada kebudayaan Barat atau Korea. 80

Yang menjadi soal kemudian, apakah fiksi yang dibaca remaja kita—selain pengaruh komik dan film—cukup aman untuk dibaca sebelum kemudian direproduksi. Akan menjadi persoalan dan kontraproduktif jika simbol-simbol budaya poluper belaka yang diimitasi, seperti anak sekolah yang hobi nongkrong di kafe alih-alih tak punya gairah hidup positif. Saya mengingat sebuah tulisan yang secara baik menjelaskan alasan kemunduran Imperium Spanyol yang dihubungkan dengan stradisi sastra mereka yang romantis. Hal sebaliknya terjadi di Inggris ketika cerita fiksi ilmiah penuh gairah menyihir anak-anak di Inggris berlomba untuk menjadi anak-anak berprestasi di bidang iptek. Yang dibutuhkan sekarang buku yang baik. Dan buku yang baik hanya bisa dihasilkan oleh penulis yang baik. Menurut peraturan yang berlaku, 20% anggaran BOS yang digelontorkan pemerintah dialokasikan khusus untuk perpustakaan. Hal ini tentu baik untuk melengkapi koleksi buku yang baik di perpustakaan. Industri buku, maukan menerbitkan buku-buku yang baik daripada yang laku, tapi belum tentu baik(?) Catatan Pengantar Tidur 81

Personalitas dan Spiritualitas Ahmad Tohari S etelah berkali-kali tertunda, sore itu kami benar-benar sowan ke rumah Ahmad Tohari. Rumahnya tepat berada di sisi utara Jalan Nasional, Jatilawang. Seketika sampai, segera yang muncul di kepala adalah bayangan sebuah latar sebuah cerpen sufistik yang ditulis sang maestro, “Wangon-Jatilawang”. Saya membayangkan sosok Sulam yang dengan logikanya ingin menunda Lebaran itu. Saat saya melihat pangkalan becak tepat di depan rumahnya, sekali lagi saya menemukan realitas-realitas dunia yang koheren dengan realitas fiksi gubahan Ahmad Tohari. Personalitas Kami disambut dengan hangat oleh tuan rumah di teras depan, sementara sisa-sisa hujan masih belum kering dari dedaunan yang membuat hijau halaman rumah. Memang, hari itu hujan turun 82

hampir sepanjang hari, gejala alam yang khas menunjukkan puncak musim hujan. Halaman rumah hanya tanah berlapis kerikil halus, di beberapa bagian ditumbuhi rumput. Meski berhadapan langsung dengan jalan nasional, hanya pepohonan saja yang memagari rumah. Sederhana, begitulah personifikasi yang paling tepat untuk mendeskripsikan sosoknya. Kepada pria berpeci hitam dan berkaus warna gelap dengan aksen garis horizontal, kami menyampaikan maksud tujuan. Sejak awal tahun, kami memang sudah intens berkomunikasi untuk meminta kesediaan Ahmad Tohari menjadi pembicara dalam sebuah kegiatan. Kami mengundangnya dalam kapasitas sebagai budayawan penginyongan (Banyumas). “Saya ini, punya aliran yang lain. Aliran saya tanpa pengikut.” Itu kalimat pertama yang disampaikannya setelah memastikan kesediaan untuk hadir dan menjadi pembicara. Tak lupa, memungkasi setiap pernyataan dengan sebuah tawa yang khas. Tak mau kalah, saya menimpali, “Justru, kami bertiga datang untuk menjadi pengikut aliran itu.” Tanpa komando, semua orang bergelak. Setelah dibuat terkagum-kagum dengan pandangannya tentang kesenjangan generasi millenial dengan generasinya dalam menentukan kriteria norma-norma, Ahmad Tohari menyebut apa yang mendasari pemikirannya adalah apa yang dia temukan pada Catatan Pengantar Tidur 83

dirinya dan cucunya. Dia melanjutkan, tugas mendidik menjadi begitu berat karena diperlukan visi yang integral: anak akan hidup pada masa yang akan datang, bukan pada masa pendidikan itu dilaksanakan. Mulanya, saya sempat terkejut. Bukan karena substansi pembicaraan, melainkan bahasa yang digunakannya. Sejak awal, kami sadar akan bertemu dengan polisi bahasa Penginyongan. Untuk itu, kami mempersiapkan diri untuk berkomunikasi dengan bahasa dialek khas Banyumasan. Bukan tanpa alasan, dialek  penginyongan memang menunjukkan gejala semakin ditinggalkan masyarakatnya, terutama di daerah perkotaan seperti Purwokerto yang notabene secara administrasi masuk dalam wilayah Banyumas. Di luar perkiraan kami,Ahmad Tohari berbicara dengan bahasa persatuan itu sekaligus dengan luwes menyisipkan kosakata-kosakata Penginyongan yang tak ditemukan padanannya dalam bahasa Indonesia. Kami terkejut, tapi lebih tepat disebabkan rasa lega. Kami, yang semestinya menjadi penghubung generasi yang mewariskan nilai-nilai tradisi, merasa tak kuasa. Kami yang tinggal di tengah keramaian Purwokerto telah dipaksa melupakan karakter  cablaka yang menjadi ruh budaya Banyumasan, yang konon tercermin dari bahasanya. Ya, kami yang di kota tidak kuasa bersikap kritis pada rezim yang alpa dan atau infiltrasi budaya populer yang mencerabut kami dari akar cablaka. Kami tak lagi 84

dapat memahami hakikat egaliter dalam bahasa penginyongan yang genuine. Spiritualitas Pembicaraan kami beranjak ke topik lain, politik. Tentu bukan untuk menanyakan kami harus pilih nomor berapa. Kepada kami, Ahmad Tohari mengaku sudah didatangi tiga orang calon legislator. Dia percaya, setiap pekerjaan memiliki dua potensi sekaligus, sebagai jalan ibadah (kebaikan) sekaligus neraka (kerusakan). Intinya, katanya, harus tahu dulu tujuan. Lanjutnya, kepada mereka yang datang, dia selalu ditanyakan: apakah sudah membaca pembuka Undang-Undang Dasar ‘45 dan tahu apa cita- cita kemerdekaan? Di sanalah, katanya, letak guidance itu. Ahmad Tohari mengungkapkan kekecewaannya kepada mereka yang tak bisa menjawab apa yang ditanyakannya. Dia mengkritisi realitas bangsa yang religius, namun kering spiritualitas. Dia mencontohkan kasus korupsi yang menjerat sejumlah tokoh elite nasional. Sebagai kata kunci, dia mengatakan, kalau menghendaki menjadi pemimpin, seseorang mesti punya watak  ora gumunan. Orang yang masih tergiur dengan segala hal yang bersifat material berarti bukanlah seorang negarawan, sebuah syarat penting untuk menduduki posisi penting di lembaga eksekutif dan legislatif. Catatan Pengantar Tidur 85

Waktu menunjuk malam segera datang. Pembicaraan hampir sejam terasa terlalu singkat. Kami pamit setelah berfoto. Meski sudah dalam kendaraan yang melaju makin menjauh dari rumah Ahmad Tohari, pikiran kami masih belum mau beranjak dari Jatilawang. Saya terus terngiang dengan kata-kata ampuhnya yang membuat saya merinding, “Jangan panggil saya kiai. Doakan saya sehat, karena umur saya sudah 71, sering kali kalau malam sulit tidur, tapi setelah tidur kepala jadi sakit. Selama saya mampu, saya ingin bermanfaat.” Saya membayangkan, Ahmad Tohari adalah pohon pisang yang menolak mati sebelum berbuah. Tak diragukan, semua yang ada pada pohon pisang, mulai dari tunas, batang, daun, bunga, hingga buahnya dapat dimanfaatkan manusia. Sebagai bukti sahih dan autentik, kami menyempurnakan kebahagiaan kami dengan membuktikan kelezatan ayam margasana yang mahaampuh lezatnya itu. 86

Manusia Ironi alam Air Mata Manggar B etapa penting identitas bagi manusia. Agama dan filsafat sekurang-kurangnya ada pada posisi yang sama yang memungkinkan manusia mempertanyakan sekaligus menemukan identitasnya di dunia yang rawan ini. Tulisan ini berangkat dari asumsi bahwa Arif Hidayat, melalui kumpulan puisi Air Mata Manggar (Basabasi, 2018), memilih jalan yang dianjurkan oleh Charles Baudelaire. Menurutnya, seorang seniman bertugas untuk menggambarkan pengalaman hidup yang cepat usai di tengah kota. “Kota” dipararelkan dengan “modernitas” yang mengalienasi manusia ke titik terrendah. Tema inilah yang banyak diangkat di dalam buku kumpulan puisi bernuansa liris nan murung. Manusia modern akhir disebut-sebut sebagai manusia minimalis yang Deleuze dan Guattari sebut memiliki tiga tipifiksi: Catatan Pengantar Tidur 87

ironi, skizofrenia, dan fatalis. ...//Kota di negeriku telah berubah olehmu/pabrik-pabrik, pasar-pasar/dan langkah orang-orang tak tenang itu/merayakan kebisuan untuk memburu impian/yang berjalan di atas angin dan terjatuh di sore//Lihatlah, aku tak bisa membeli senyum yang segar/ hanya ada kemasan air mata yang diawetkan/doa-doa kian langka dan mahal/Ketulusan hanya milik riwayat yang jauh/Kota sibuk meniru dan bising/untuk mendapatkan kebohongan yang sesaat//... Kutipan puisi “Pulang ke Desa” di atas sesungguhnya menggambarkan kemurungan manusia urban yang benapaskan kapitalisme dengan jargon industrialisasi yang berpararel dengan simbol pabrik dan pasar. Nilai kemanusiaan menjadi luntur, tanpa empati: kemasan air mata yang diawetkan; demikian pun nilai religius yang tergerus: doa-doa kian langka dan mahal. Sedikitnya, pembaca mendapat proyeksi manusia ironi yang merefleksi kecenderungan ke arah keyakinan tentang sifat ubah keyakinan dan kebenaran, meliputi ukuran-ukuran moral tentang baik-buruk, benar-salah. Mereka percaya adanya kriteria, tetapi kriteria tersebut selalu berubah dalam tiap keadaan yang berbeda. Karena kriteria yang tak menetap dan tanpa fondasi, sesungguhnya mereka tanpa kriteria. //Aku menemukan diriku lagi lewat puisi/dengan kesepian- kesepian di bawah lampu/mengingat doa-doa yang pernah terpisah/seperti darat dan laut/Kota ini semakin panas/oleh isu 88

isu politik./Betapa jalanan telah kehilangan malam/dan bencana kehilangan perhatian//Aku bisa hidup di dalam puisi/yang masih menyisakan air mata/pada cermin yang retak./Dan biarkan surat terbuka menjadi berita/yang lantas terlupa dan tak ada./ Aku telah kehilangan suara/yang bergerak di jalan-jalan./Semua telah sunyi, kecuali pedagang keliling/dan rengek anak tetangga.// Di kamar ini, aku merenung/tentang kebebasan yang membunuh kebebasan/dan hidup yang dipenjara aturan./Aku merasa dijajah pengetahuanku sendiri/yang beralu bagai angin meninggalakan debu/bagai waktu yang tak bisa kembali.//Malam sepi. Aku hidup sendiri./Kau bernyanyi untuk sendiri/... Penggalan puisi “Pada Sebuah Kamar” itu merupakan gambaran psikologis manusia skizofrenia yang mengalami matinya subjek: Aku merasa dijajah pengetahuanku sendiri. Dalam keadaan itu, manusia yang mengalami konsep diri terbelah atau bahkan jamak, tidak pernah memiliki ketetapan, konsisten dan kontinuitas diri, sehingga menggiring pada ketiadaan ego dan subjek. Skizofrenia sebagai upaya pembebasan diri dari berbagai aturan keluarga, negara, bahkan agama, dalam rangka mengakui dan melepaskan segala dorongan purba manusia. Mereka yang membangkan terhadap kode-kode sosial, menciptakan manusia yang orphans, atheis, dan nomad. //Setiap pagi, setiap aku minum kopi,/napasku dihubungkan oleh sinyal satelit/untuk bisa sampai pada impian cahayamu yang Catatan Pengantar Tidur 89

masih dingin./Aku berjalan dengan bayang-bayang melampaui batas/dan tak bisa membedakan diriku dengan kenyataan,/hingga aku berada dalam diriku dan tak bisa keluar.//Aku berjalan dengan anak-anak yang terjebak permainan,/anak-anak yang tak menemukan jiwanya dari orangtua mereka./Anak-nak itu lahir dari pemberitahuan yang menyenangkan/seperti kabar surga dari Tuhan./Aku membaca surat kabar yang secepat angin/dan merasa memilikiki dunia anpa membagi dengan sesiapa/ pun/... Bagian puisi “Internet” di atas adalah lukisan manusia fatalis yang terserap ke dalam logika objek (internet, gadget, tv, fashion, komoditi, gaya hidup, dll) yang tidak dapat menjelaskan dirinya. Manusia fatalis dibentuk oleh kondisi fatalitas, yaitu, saat segala sesuatu (konsep, argumen, sistem atau objek) berkembang ke arah titik ekstrem, kondisi itu terus didorong sampai pada titik setiap konsep, komunikasi, informasi, sistem, atau objek kehilangan logikanya. Alih-alih memperlihatkan kemajuan peradaban yang mendistorsi kemanusiaan, Arif Hidayat menawarkan jalan pembebasan atas kuasa moderitas itu sendiri melalui puisi-puisinya. Tawaran itu adalah jalan asketis untuk membaca sejarah. Sebab, manusia modern adalah ahistoris, yang terputus dari sejarahnya. Pada titik ini, puisi menemukan katarsisnya. Arif Hidayat selalu tergoda untuk beratraksi dengan alegori yang menari meliak-liuk seakan ingin menjangkau semua ceruk 90

atau detail dalam puisi-pusinya sehingga kadang terasa sangat menguras energi. Namun, pembaca akan selalu dipandu untuk menemukan sebuah titik simpul sebagai suatu elaborasi wacana. Tentu, strategi estetika ini tak akan terlalu menarik bagi pembaca yang cenderung menyukai puisi-puisi semisal Ahmad Yulden Erwin dan SDD. Betapa pun, buku kumpulan puisi Air Mata Manggar ini telah menjadi pengobat dahaga akan munculnya nama penyair kelahiran Banyumas Raya dalam blantika sastra Indonesia mutakhir setelah maestro fiksi kenamaan yang lekat pada diri Ahmad Tohari. Semoga. Catatan Pengantar Tidur 91

Seni Penginyongan dalam Wacana Politik D ua event kesenian dihelat dalam kurun waktu sebulan terakhir di Purwokerto. Pertama, malam minggu atau bertepatan dengan tanggal 22 Desember 2018, pementasan teater dengan lakon “Palaran Usai Perang” yang disutradarai Bador Kayu. Pementasan itu dilaksanakan di gedung kesenian Soetedja. Konon, lakon itu ditulis oleh Jarot Citro dan diadaptasi dari folklor asal-usul nama sebuah tempat, Teluk. Dalam jalan ceritanya, digambarkan terjadinya beda pilihan politis dalam tubuh laskar Diponegoro. Setelah sang Pangeran ditangkap Belanda, terjadi bias ideologi perjuangan. Faksi Sampar Angin berpikir untuk tetap melanjutkan perjuangan sang pangeran yang meskipun sudah tertangkap Belanda. Baginya, itu merupakan bukti kesetian seorang abdi kepada junjungan. Faksi Dipakrama bersikap moderat, kooperatif. Karena itu, ia masuk dalam 92

struktur pemerintahan berkuasa. Motifasinya adalah ikut dalam pembangunan. Dari sinilah konflik berkembang hingga kemudian memunculkan konfrontasi antara dua orang yang dahulunya merupakan pentolan laskar Diponegoro itu. Pemantiknya, Sampar Angin dianggap subversif. Akhir dari pertunjukan teater ini adalah adegan terbunuhnya Sampar Angin oleh Dipakrama. Berselang beberapa hari, tepat di pengujung tahun tahun 2018, di pendopo Wakil Bupati Kabupaten Banyumas, dilaksanakan peluncuran dan bedah buku antologi bersama cerpen, sajak, cerkak, dan geguritan bertajuk Kembang Glepang. Buku ini memuat karya 66 penulis sastra dari berbagai kabupaten seeks-Karisidenan Banyumas. Buku itu memuat karya, mulai penulis kawakan macam Dharmadi hingga penulis-penulis muda yang banyak lahir dari komunitas penulisan di kampus macam Sekolah Penulisan Sastra Peradaban (SKSP) dari IAIN Purwokerto dan Komuntas Penyair Institut (KPI) dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Penduduk Lembah Serayu berkultur agraris karena tuah Gunung Slamet dan Lembah Serayu. Selain itu, penduduknya yang berdialek penginyongan merepresentasi watak cablaka yang terpersonifikasi pada tokoh kepawayangan Werkudara atau Bawor. Keduanya berkomunikasi secara ngoko kepada siapa pun lawan bicaranya. Yang apa adanya, yang memandang segala dengan sudut egaliter. Sayangnya, secara simplifikasi, hal itu dijadikan dalih untuk menyebut banyumasan sebagai subkultur Jawa belaka. Seni yang hidup di Banyumas adalah seni rakyat. Kita dapat menyebut ronggeng atau kuda lumping sebagai misal. Lalu, seni Catatan Pengantar Tidur 93

yang dianggap bermutu tinggi itu hanya menjadi konsumsi mereka yang berada di balik benteng keraton yang kalis dari segala sesuatu yang minor. Maka, para pujangga itu hanya akan memperdengarkan macapat yang memuji-muji kebesaran Panembahan Senopati, misalnya, sebagai manusia tanpa cacat(?) Seni kerakyatan yang menjadi ciri seni Banyumasan pada hari ini, di era digital dan milenial, harus dikodifikasi pada tujuan yang menggugah kesadaran. Yang dimaksud tentu budaya kritis yang berangkat dari karakater cablaka itu sendiri. Dengan begitu, kebersenian itu sendiri telah dijiwai semangat literasi. Sebagai rujukan, kita bisa melihat karakter cablaka yang terepresentasi dalam novel gubahan Ahmad Tohari, misalnya mahakarya Ronggeng Dukuh Paruk dan Orang-orang Proyek. Pembaca kedua novel tersebut dapat melihat perspektif ke- Banyumas-an atas peristiwa politik berdarah tahun ’65 dan kebobrokan moral agen-agen organik pemerintahan Orda Baru yang korup. Sedikit melebar, kita dapat menyebut Pramoedya Ananta Toer yang berbicara tentang kebangkitan nasional dengan gagasan modernnya pada masa kolonial. Kita pula dapat menyebut nama Gabriel Gacia Marquez yang menyindir para pemimpin despot dari Amerika atau Eropa. Berdasarkan uraian itu, kita boleh membuat kesimpulan dua karakter kesenian Banyumas, bersifat kerakyatan sekaligus kritis. Lalu, apakah dua hal itu sudah tercermin dalam dua peristiwa 94


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook