Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B Ruang Duka yang diperlukan pada ruang duka. jenazah, peti mati, mimbar, alat2 upacara keagamaan, dll Ruang tempat memandikan/ 5. Ruang Dekontaminasi dan dekontaminasi serta pemulasaraan Min. 18 m2 Shower dan sink, brankar, lemari/rak Pemulasaraan Jenazah jenazah (pengkafanan untuk jenazah alat dekontaminasi, lemari muslim/ pembalseman & pemulasaraan perlengkapan pemulasaraan dll lainnya untuk jenazah non-muslim) . Lemari alat, lemari barang bukti, 6. Laboratorium Otopsi Ruang tempat dokter forensik Min. 24 m2 meja periksa organ, timbangan melakukan kegiatan otopsi jenazah organ, shower dan sink, brankar, lemari/rak alat dekontaminasi, dll 7. Ruang Pendingin Jenazah Ruang Pendingin Jenazah 1 lemari pendingin Lemari pendingin jenazah, washtafel, min. 21 m2 brankar 8. Ruang Ganti Pakaian APD Ruang Ganti pakaian petugas sebelum Sesuai Kebutuhan Toilet, Loker/ lemari pakaian bersih (dilengkapi dengan toilet) dan sesudah melakukan kegiatan dan kontainer pakaian kotor otopsi. 9. Ruang Kepala Instalasi Ruang tempat kepala Instalasi bekerja Min. 6 m2 Kursi, meja, computer, printer, dan Pemulasaraan Jenazah dan melakukan kegiatan perencanaan peralatan kantor lainnya. dan manajemen. 10. Ruang Jemur Alat Ruang pengeringan/ jemur alat-alat/ 12 m2 Rak, wastafel perabot yang telah digunakan. 11. Gudang instalasi forensik Ruang penyimpanan alat-alat serta Min. 9 m2 Lemari/rak perabot. 12. KM/WC petugas/ KM/WC @ KM/WC Kloset, wastafel, bak air pengunjung pria/wanita luas 2 m2 – 3 m2 3. Persyaratan Khusus 1. Kapasitas ruang jenazah minimal memiliki jumlah lemari pendingin 1% dari jumlah tempat tidur (pada umumnya 1 lemari pendingin dapat menampung 4 jenazah)/ tergantung kebutuhan. 2. Ruang jenazah disarankan mempunyai akses langsung dengan beberapa ruang lain yaitu ruang gawat darurat, ruang kebidanan, ruang rawat inap, ruang operasi, dan ruang perawatanintensif. 3. Area tertutup, tidak dapat diakses oleh orang yang tidak berkepentingan. 4. Area yang merupakan jalur jenazah disarankan berdinding keramik, lantai kedap air, tidak berpori, mudah dibersihkan. 5. Akses masuk-keluar jenazah menggunakan daun pintu ganda/ double. 6. Disediakan garasi ambulan jenazah. 7. Disarankan disediakan lahan parkir khusus untuk pengunjung rumah duka, jumlah disesuaikan dengan kebutuhan. 4. Alur kegiatan. Alur kegiatan pada Ruang Pemulasaraan Jenazah adalah sebagai berikut : Keluarga Administrasi Ruang Pasien Tunggu Non-Infeksius Area Ruang Duka Pemulasaraan Jenazah RS Area Infeksius Dekontaminasi Jenazah yang Laboratorium R. Pendingin Dirujuk untuk di Otopsi Jenazah Otopsi Jenazah Keluar Gambar 2.4.2.6 – Alur Kegiatan Pada Ruang Pemulasaraan Jenazah. 50 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B 2.4.2.7 Ruang Sterilisasi Pusat (;CSSD/Central Supply Sterilization Departement) Ruang Sterilisasi Pusat (CSSD) mempunyai fungsi menerima, memproses, memproduksi, mensterilkan menyimpan serta mendistribusikan instrumen medis yang telah disterilkan ke berbagai ruangan di rumah sakit untuk kepentingan perawatan dan pengobatan pasien. Kegiatan utama dalam Ruang Sterilisasi Pusat (CSSD) adalah dekontaminasi instrumen dan linen baik yang bekas pakai maupun yang baru serta bahan perbekalan baru. Dekontaminasi merupakan proses mengurangi jumlah pencemar mikroorgsanisme atau substansi lain yang berbahaya baik secara fisik atau kimia sehingga aman untuk penanganan lebih lanjut. Proses dekontaminasi meliputi proses perendaman, pencucian, pengeringan sampai dengan proses sterilisasi itu sendiri. Barang/ bahan yang didekontaminasi di CSSD seperti Instrumen kedokteran, sarung tangan, kasa/ pembalut, linen, kapas. Sistem ini merupakan salah satu upaya atau program pengendalian infeksi di rumah sakit, dimana merupakan suatu keharusan untuk melindungi pasien dari kejangkitan infeksi. 1. Lingkup Sarana Pelayanan Kegiatan dalam instalasi CSSD adalah sebagai berikut: 1. Menerima bahan, terdiri dari a. Barang/linen/bahan perbekalan baru dari instalasi farmasi yang perlu disterilisasi. b. Instrumen dan linen yang akan digunakan ulang (;reuse). 2. Mensortir, menghitung dan mencatat volume serta jenis bahan, barang dan instrumen yang diserahkan oleh ruang-ruang lain di RS. 3. Melaksanakan proses Dekontaminasi meliputi : perendaman, pencucian dan pengeringan; 4. Melaksanakan proses pengemasan; 5. Melaksanakan proses sterilisasi; 6. Distribusi; menyerahkan dan mencatat pengambilan barang steril oleh ruang/unit /Instalasi Rumah Sakit Umum yang membutuhkan. 2. Kebutuhan Ruang, Fungsi dan Luasan Ruang serta Kebutuhan Fasilitas Tabel. 2.4.2.7 Kebutuhan Ruang, Fungsi dan Luasan Ruang serta Kebutuhan Fasilitas Ruang Sterilisasi Pusat (CSSD) No. Nama Ruangan Fungsi Ruangan Besaran Ruang / Kebutuhan Fasilitas Luas Ruangan tempat melakukan kegiatan 1. Ruang Administrasi, Loket Adminstrasi dan pencatatan, 8-25 m2 Meja, kursi, computer, printer, lemari Penerimaan & Pencatatan penerimaan, penyortiran barang/bahan/ Min. 30 m2 dan peralatan kantor lainnya. linen yang akan disterilkan. Meja cuci, mesin cuci, meja bilas, meja setrika, Perlengkapan 2. Ruang Dekontaminasi Ruang tempat perendaman, pencucian dekontaminasi lainnya (ultrasonic dan pengeringan instrumen atau linen washer dengan volume chamber 40- bekas pakai. 60 lt, Mesin pengering slang, ett, Mesin cuci handschoen, 3. Ruang Pengemasan Alat Ruang tempat melaksanakan kegiatan Min. 9 m2 Container, alat wrapping, Automatic membungkus dan mengemas washer disinfector, barang/alat yang akan disterilisasi. 4. Ruang Prosesing / Ruang tempat melaksanakan kegiatan Min. 16 m2 Container, alat wrapping, dll Produksi pemeriksaan linen, dilipat dan dikemas untuk persiapan sterilisasi. Selain itu di 51 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B ruang ini jg dilaksanakan kegiatan persiapan bahan seperti kassa, kapas, cotton swabs, dll. Autoklaf table, horizontal sterilizer, Ruang tempat melaksanakan kegiatan container for sterilizer, autoklaf unit 5. Ruang Sterilisasi sterilisasi instrumen, linen dan bahan Sesuai kebutuhan (steam sterilizer), sterilizer kerosene, perbekalan baru. (atau jika memungkinkan ada pulse vacuum sterilizer, plasma sterilizer) Ruang tempat penyimpanan Instrumen, Lemari/Rak linen, lemari instrumen, 6. Gudang Steril linen dan bahan perbekalan baru yang 12-25 m2 Lemari sarung tangan, lemari kasa/ telah disterilisasi. kain pembalut, dan kontainer 7. Gudang Barang/Linen/ Ruang tempat penyimpanan (depo) 4-16 m2 Rak/Lemari Bahan Perbekalan Baru sementara Barang, linen dan bahan perbekalan baru sebelum disterilisasi. Ruang Dekontaminasi Ruang tempat mendekontaminasi kereta/troli untuk mengangkut barang- 8. Kereta/Troli : barang dari dan ke CSSD. Min. 6 m2 Perlengkapan cuci troli a. Area Cuci b. Area Pengeringan 9. Ruang pencucian Ruang tempat pencucian perlengkapan Min. 6 m2 Meja bilas, sink, dll perlengkapan penunjang yang tidak perlu disterilkan. Ruang tempat pengaturan instrumen dan Kontainer, rak/lemari, meja, kursi, komputer, printer dan alat perkantoran 10. Ruang Distribusi Instrumen barang-barang yang sudah steril untuk 9-25 m2 lainnya. dan Barang Steril didistribusikan ke Instalasi Bedah, ICU, Ruang Isolasi, dll 11. Ruang Kepala Instalasi Ruang tempat kepala instalasi CSSD Min. 6 m2 Kursi, meja, computer, printer, dan CSSD bekerja dan melakukan kegiatan peralatan kantor lainnya. perencanaan dan manajemen. 12. Ruang Ganti Petugas Tempat mengganti/mengenakan pakaian Min. 9 m2 Loker (Loker) instalasi CSSD (dilengkapi toilet) 13. Ruang Staf/ Petugas Ruang tempat istirahat staf/ petugas Min. 9-16 m2 Kursi, meja, lemari CSSD. Sebagai tempat untuk menyiapkan 14. Dapur Kecil (;Pantry) makanan dan minuman bagi mereka Min. 6 m2 Perlengkapan dapur, kursi, meja, sink yang ada di Instalasi CSSD dan sebagai tempat istirahat petugas. @ KM/WC 15. KM/WC petugas KM/WC pria/wanita luas 2 Kloset, wastafel, bak air m2 – 3 m2 3. Persyaratan Khusus Lokasi CSSD memiliki akses pencapaian langsung ke ruang operasi. Sirkulasi udara/ventilasi pada bangunan CSSD dibuat sedemikian rupa agar tidak terjadi kontaminasi dari tempat penampungan bahan dan instrumen kotor ke tempat penyimpanan bahan dan instrumen bersih/steril. Persyaratan tata udara pada ruang-ruang di CSSD mengacu pada Pedoman Teknis Prasarana RS : Instalasi Tata Udara, oleh Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan, Tahun 2011. Area barang kotor dan barang bersih dipisahkan (sebaiknya memiliki akses masuk dan keluar yang berlawanan) Lantai tidak licin, mudah dibersihkan dan tidak mudah menyerap kotoran atau debu. Pada area pembilasan disarankan untuk menggunakan sink pada meja bilas kedap air dengan ketinggian 0.80 – 1,00 m dari permukaan lantai, dan apabila terdapat stop kontak dan saklar, maka harus menggunakan jenis yang tahan percikan air dan dipasang pada ketinggian minimal 1.40 m dari permukaan lantai. Dinding menggunakan bahan yang tidak berpori. 52 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B 4. Alur kegiatan. Alur kegiatan pada Ruang Sterilisasi Pusat (CSSD) adalah sebagai berikut: Instrumen dan Linen Barang/Linen/Bahan Bekas Pakai (;Reuse) perbekalan baru Masuk Penerimaan Penerimaan & Dan Pencatatan Barang Baru Pencatatan Sortir (pencatatan volume Pengemasan & dan jenis barang) Pelabelan Perendaman STERILISASI Pencucian Pengeringan Tidak Sortir (Layak Ya Kontrol Indikator disterilkan/ tidak) Ya Tidak Gudang Distribusi Steril Barang Keluar Kembalikan ke unit pengiriman instrument/linen Gambar 2.4.2.7 – Alur Kegiatan Pada Ruang Sterilisasi Pusat. 2.4.2.8 Ruang Dapur Utama Dan Gizi Klinik 1. Lingkup Sarana Pelayanan Sistem pelayanan dapur yang diterapkan di rumah sakit adalah sentralisasi kecuali untuk pengolahan formula bayi. Ruang Dapur Utama dan Gizi Klinik RS mempunyai fungsi untuk mengolah, mengatur makanan pasien setiap harinya, serta konsultasi gizi. 2. Kebutuhan Ruang, Fungsi dan Luasan Ruang serta Kebutuhan Fasilitas Tabel. 2.4.2.8 Kebutuhan Ruang, Fungsi dan Luasan Ruang serta Kebutuhan Fasilitas Ruang Dapur Utama dan Gizi Klinik No. Nama Ruangan Fungsi Ruangan Besaran Ruang / Kebutuhan Fasilitas Luas Ruang Penerimaan dan Ruang tempat melaksanakan + 16 m2 Rak bahan-bahan makanan, timbangan 1. Penimbangan Bahan kegiatan penerimaan dan kap. 20-300 kg, kereta angkut, pembuka penimbangan bahan makanan. botol, penusuk beras, pisau, kontainer, Makanan troli, alat penguji kualitas telur, lemari arsip. Ruang tempat menyimpan Freezer, lemari pendingin, container bahan makanan, timbangan kapasitas 20-100 kg, 2. Ruang Penyimpanan Bahan bahan makanan basah yang Min. 6 m2 kereta angkut, pengusir tikus elektrik Min. 9 m2 Makanan Basah harus dimasukkan kedalam Lemari beras, rak/palet/lemari penyimpanan bahan makanan, timbangan lemari pendingin. kapasitas 20-100 kg, kereta angkut, pengusir tikus elektrik 3. Ruang Penyimpanan Bahan Ruang tempat menyimpan Makanan Kering bahan makanan kering. 53 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B 4. Ruang/Area Persiapan Ruang tempat mempersiapkan Min. 18 m2 Meja kerja/persiapan, bangku kerja, meja bahan makanan, misalkan daging, mesin sayuran, bak cuci persegi, menyiangi, memotong-motong, Min. 18 m2 bak cuci dua bergandengan, pisau, mesin area pencucian bahan pemarut kelapa berdinamo, saringan makanan dapat dilaksanakan Min. 9 m2 kelapa, mesin pemotong dan penggiling pada ruang ini. daging kapasitas 20 kg, blender, bak cuci, Min. 4 m2 cobek/ulekan, mixer, timbangan meja, Ruang Pengolahan/ Ruang tempat mengolah talenan 5. Memasak dan bahan makanan. @ min. 9 m2 Kompor gas elpiji, kompor minyak tanah bertekanan, kompor minyak tanah sumbu, Penghangatan Makanan Min. 6 m2 kompor listrik, kompor uap (Steam Min. 9 m2 Cooker), panci besar, penggorengan, rice 6. Ruang Pembagian/ Ruang menyajikan/ Min. 6 m2 cooker, rak-rak makanan, rice cooker Penyajian Makanan mempersiapkan makanan 3~5 m2/ petugas kapasitas 30 kg, oven, mixer, blender, matang pada plato (piring (min. 6 m2) pisau, dapur, sendok, sayur, sodet, pasien) yang akan dikirimkan Min. 6 m2 pembuka botol/kaleng, serikan, talenan, dengan troli gizi Min. 9 m2 saringan teh, wajan datar 2 ukuran Min. 3 m2 (diameter 16 cm dan 18 cm), timbangan 7. Dapur Susu/ Laktasi Bayi Ruang menyajikan/ kapasitas 2 kg, mesin penggiling tangan, mempersiapkan susu ke dalam serbet, cempal, cetakan nasi, lemari es, botol susu. meja pemanas, pemanggang sate, toaster, meja kerja, bangku, bak cuci, kereta 8. Ruang Cuci Ruang cuci plato serta dorong, kereta warmer perlengkapan makan dan Meja pembagi, bangku, sendok, sendok minum lainnya garpu, penjepit makanan, sarung tangan plastik sekali pakai, garpu, piring makan, 9. Ruang Penyimpanan Troli Ruang penyimpanan troli gizi gelas minum, mangkuk sayur, piring kue Gizi sebelum dibersihkan cekung, cangkir tertutup, tutup dan tatanan gelas, nampan, tempat telur (sebaiknya 10. Ruang Penyimpanan Ruang penyimpanan terbuat dari bahan yang mudah Peralatan Dapur perlengkapan dapur bersih dibersihkan/plastik, stainless steel, keramik), troli untuk makanan 3 susun, rak- Ruang petugas dapur rak piring kapasitas 3 susun, kertas label, alat tulis 11. Ruang Ganti Alat Pelindung mengenakan APD (Sarung Peralatan besar : Lemari pendingin, panci aluminium, tungku uap, meja pemanas, Diri (APD) dan loker. tangan, celemek, sepatu, tutup rak-rak penyimpanan botol 3 susun, bak pencuci kepala, masker, dll) Peralatan kecil : thermos, blender, gelas ukur, sendok makan, sendok teh, panci Ruang para Petugas kecil bertangkai diameter 15 cm, piring dan gelas, mangkok, waskom plastik, kocokan melaksanakan kegiatan teknis susu, serbet, cempal, sikat botol, timbangan susu kapasitas 2 kg, sterilisator, 12. Ruang Administrasi medis gizi klinik serta mixer, blender Pencucian secara mekanik memerlukan : administrasi, keuangan dan mesin cuci kapasitas 100 piring, rak pengering alat kebersihan personalia. Pencucian manual memerlukan : ember plastik kapasitas 30 liter, baskom plastik Ruang tempat kepala lnstalasi kapasitas 30 liter, perlengkapan kebersihan (sapu, sikat, lap, alat/kain untuk 13. Ruang Kepala Instalasi Gizi bekerja dan melakukan pel, vacuum cleaner kegiatan perencanaan dan Tambahan untuk ruang pencucian : alat pengukur desinfektan pencucian, sabun manajemen. cuci, karbol, pencuci dinding keramik, tempat sampah tertutup (basah dan 14. Ruang Pertemuan Gizi Ruang tempat kering), serok air Klinik diskusi/pertemuan Sabun cuci colek, sikat, alat/kain untuk 15. Janitor Ruang penyimpanan mengelap, serok air perlengkapan kebersihan Lemari perkakas dapur khusus, rak perkakas dapur, meja, kursi Sarung tangan, sepatu dapur / sepatu boot, baju khusus, loker, tutup rambut, masker (tutup hidung dan mulut), celemek/apron Meja, kursi, lemari berkas/arsip, intercom/telepon, safety box Meja, kursi, lemari berkas/arsip, intercom/telepon, safety box Meja, kursi, lemari berkas/arsip, intercom/telepon, safety box Rak/lemari, perlengkapan kebersihan 54 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B 16. Ruang Pengaturan/ Ruang untuk pengendalian dan 3 m2 (sesuai Keran pengatur uap, Manometer uap, Manifold Uap pendistribusian uap kebutuhan) Header Uap Ruang sentral pengendalian 3 m2 (sesuai Panel daya penerangan, panel daya stop 17. Ruang Panel Listrik listrik kebutuhan) kontak, panel daya listrik 4 m2 (tergantung 18. Ruang Pengaturan/ Ruang untuk pengaturan kebutuhan) Keran pengatur gas, Manometer tekanan Manifold Gas Elpiji pemakaian gas elpiji gas elpiji, Header gas elpiji Untuk menyimpan tabung gas 3 m2 Penjepit Tabung, Kedudukan Tabung, Troli 19. Ruang Penyimpanan elpiji Tabung Tabung Gas Elpiji 20. Gudang Alat Untuk memyimpan alat makan Min. 16 m2 Rak-rak 21. Ruang PKL Untuk kegiatan pendidikan dan + 32 m2 Meja, kursi, white board, Laptop, LCD dll pelatihan mahasiswa + 12 m2 Meja, kursi dan peralatan administrasi dll Untuk pelaksanaan 22. Ruang Petugas Jaga Dapur pengawasan produksi makanan 23. Ruang Nutrisionis Tempat nutrisionis + 10 m2 Meja, kursi, komputer, rak buku 24. KM/WC petugas KM/WC @ KM/WC Kloset, wastafel, bak air pria/wanita luas 2 m2 – 3 m2 3. Persyaratan Khusus 1. Mudah dicapai, dekat dengan Ruang Rawat Inap sehingga waktu pendistribusian makanan bisa merata untuk semua pasien. 2. Letak dapur diatur sedemikian rupa sehingga kegaduhan (suara) dari dapur tidak mengganggu ruangan disekitarnya. 3. Tidak dekat dengan tempat pembuangan sampah dan kamar jenazah. 4. Lantai harus dari bahan yang tidak berpori dan tidak licin. 5. Mempunyai area masuk bahan makanan mentah yang tidak bersilangan dengan alur makanan jadi. 6. Harus mempunyai pasokan air bersih yang cukup dan memenuhi persyaratan baku mutu air minum. 7. Pada area pengolahan makanan harus mempunyai langit-langit yang tinggi dilengkapi ventilasi untuk pembuangan udara panas selama proses pengolahan. 8. Pada dapur bangunan bertingkat harus disediakan fan pembuangan (exhaust fan) dengan kapasitas ekstraksi minimal 60 Liter/detik yang hanya boleh dioperasikan pada waktu memasak. 9. Harus dilengkapi dengan sistem proteksi kebakaran. 55 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B 4. Alur kegiatan. Alur kegiatan pengelolaan makanan pada Ruang Dapur Utama dan Gizi Klinik RS adalah sebagai berikut : Ruang Penerimaan Bahan Makanan R. Penyimpanan Area Cuci Bahan Bahan Makanan Makanan Kering R. Penyimpanan Bahan Makanan Basah Ruang Persiapan Ruang Pengolahan R. Penyimpanan dan Penghangatan Perlengkapan Bahan Makanan Ruang Pencucian R. Penyajian Makanan Peralatan Distribusi Makanan, Dan Minuman Area untuk Wadah Pembuangan Sementara Sampah Dapur Alur Peralatan Alur Limbah Padat Domestik Alur Makanan 2.4.2.9 Gambar 2.4.2.8 – Alur kegiatan pengolahan, penyimpanan dan pendistribusian makanan rumah sakit. Ruang Pencucian Linen/ Londri (;Laundry) Londri RS adalah tempat pencucian linen yang dilengkapi dengan sarana penunjangnya berupa mesin cuci, alat dan desinfektan, mesin uap (;steam boiler), pengering, meja, dan mesin setrika. 1. Lingkup Sarana Pelayanan Kegiatan pencucian linen terdiri dari : 1. Pengumpulan a. Pemilahan antara linen infeksius dan non-infeksius dimulai dari sumber dan memasukkan linen ke dalam kantong plastik sesuai jenisnya serta diberi label. b. Menghitung dan mencatat linen di ruangan. 2. Penerimaan a. Mencatat linen yang diterima dan telah terpilah antara infeksius dan non- infeksius. b. Linen dipilah berdasarkan tingkat kekotorannya. 56 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B 3. Pencucian a. Menimbang berat linen untuk menyesuaikan dengan kapasitas mesin cuci dan kebutuhan deterjen dan desinfektan. b. Membersihkan linen kotor dari tinja, urin, darah, dan muntahan kemudian merendamnya dengan menggunakan desinfektan. c. Mencuci dikelompokkan berdasarkan tingkat kekotorannya. 4. Pengeringan 5. Penyetrikaan 6. Penyimpanan 7. Distribusi dilakukan berdasarkan kartu tanda terima dari petugas penerima, kemudian petugas menyerahkan linen bersih kepada petugas ruangan sesuai kartu tanda terima. 8. Pengangkutan a. Kantong untuk membungkus linen bersih harus dibedakan dengan kantong untuk membungkus linen kotor. b. Menggunakan kereta dorong yang berbeda warna dan tertutup antara linen bersih dan linen kotor. Kereta dorong harus dicuci dengan desinfektan setelah digunakan mengangkut linen kotor. c. Linen bersih diangkut dengan kereta dorong yang berbeda warna. d. RS yang tidak mempunyai laundry tersendiri, pengangutannya dari dan ke tempat laundry harus menggunakan mobil khusus. 2. Kebutuhan Ruang, Fungsi dan Luasan Ruang serta Kebutuhan Fasilitas Tabel. 2.4.2.9 Kebutuhan Ruang, Fungsi dan Luasan Ruang serta Kebutuhan Fasilitas Ruang Pencucian Linen/ Loundri No. Nama Ruangan Fungsi Ruangan Besaran Ruang / Kebutuhan Fasilitas Luas 1. Ruang Administrasi dan Ruang para Petugas melaksanakan 3~5 m2/ petugas Meja, kursi, lemari Pencatatan kegiatan administrasi, keuangan dan (min. 9 m2) berkas/arsip, personalia. 9-12 m2 intercom/telepon, safety box 2. Ruang Kepala Londri Min. 12 m2 Meja, kursi, lemari Ruang tempat kepala londri bekerja dan berkas/arsip, melakukan kegiatan perencanaan dan Min. 20 m2 intercom/telepon, safety box manajemen. Min. 16 m2 Meja, kursi, rak, kontainer 3. Ruang Penerimaan dan Ruang tempat penerimaan linen kotor Sortir dari unit-unit di RS kemudian disortir. Bak pembilasan awal, bak perendaman dan bak Ruang tempat melaksanakan pembilasan akhir, keran, sink 4. Ruang Dekontaminasi/ dekontaminasi linen, meliputi urutan Mesin cuci dan pengering perendamani Linen linen kegiatan pembilasan awal, perendaman dan pembilasan akhir. 5. Ruang Cuci dan Ruang tempat mencuci dan Pengeringan Linen mengeringkan linen 6. Ruang Setrika dan Lipat Ruang tempat penyetrikaan dan melipat Min. 30 m2 Setrika, meja setrika, meja Linen linen. lipat, handpress Min. 8 m2 7. Ruang Perbaikan Linen Ruang tempat memperbaiki/ menjahit Mesin jahit, jarum, benang linen setelah dicuci dan keringkan. Min. 20 m2 dan perlengkapan perbaikan Min. 6 m2 linen lainnya Min. 8 m2 8. Ruang Penyimpanan Linen Ruang tempat penyimpanan linen Min. 8 m2 Rak/lemari bersih setelah dicuci, setrika dan dilipat. 2 m2 – 3 m2 9. Ruang Dekontaminasi Troli Ruang tempat melaksanakan Keran, selang, alat dekontaminasi dan pengeringan troli. pengering 10. Ruang Penyimpanan Troli Ruang tempat penyimpanan troli bersih setelah didekontaminasi & dikeringkan. 11. Gudang Bahan Kimia Tempat menyimpan bahan-bahan kimia lemari seperti deterjen dll Kloset, wastafel, bak air 12. KM/WC petugas KM/WC 57 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B 3. Persyaratan Khusus 1. Tersedia keran air bersih dengan kualitas dan tekanan aliran yang memadai, air panas untuk desinfeksi dengan desinfektan yang ramah terhadap lingkungan. Suhu air panas mencapai 700C dalam waktu 25 menit (/ 950C dalam waktu 10 menit) untuk pencucian pada mesin cuci. 2. Peralatan cuci dipasang permanen dan diletakkan dekat dengan saluran pembuangan air limbah serta tersedia mesin cuci yang dapat mencuci jenis-jenis linen yang berbeda. 3. Tersedia saluran air limbah tertutup yang dilengkapi dengan pengolahan awal (; pre-treatment) khusus laundry sebelum dialirkan ke IPAL RS. 4. Untuk linen non-infeksius (misalnya dari ruang-ruang administrasi perkantoran) dibuatkan akses ke ruang pencucian tanpa melalui ruang dekontaminasi. 5. Tidak disarankan untuk mempunyai tempat penyimpanan linen kotor. 4. Alur kegiatan. Alur kegiatan pada Ruang Pencucian Linen adalah sebagai berikut : Troli Kotor Linen Kotor Penerimaan & Pencatatan Perbaikan Linen Ruang Pencucian Pengeringan Penyetrikaan Dekontaminasi Linen Linen Linen Bak Pembilasan Melipat Linen Awal R.Penyimpanan Bak Desinfeksi Linen Bersih (Perendaman) Bak Pembilasan Akhir R. Dekontaminasi Troli R. Penyimpanan Distribusi Linen Bersih & Pengeringan Troli Bersih CSSD Tanpa Sterilisasi (Resterilisasi) Gambar 2.4.2.9 – Alur Kegiatan Pada Pencucian Linen/Laundry. 2.4.2.10 Ruang Sanitasi 1. Lingkup Sarana Pelayanan Kegiatan pada Ruang sanitasi meliputi : 1. Pengolahan air limbah rumah sakit dan pemeriksaan kualitas air limbah yang dilakukan 3-4 kali dalam setahun. 2. Pemeriksaan sanitasi di ruang instalasi dapur utama yang dilakukan 3-4 kali dalam setahun. 58 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B 3. Pemeriksaan kualitas air bersih yang dilakukan 2-3 kali dalam setahun. 4. Pemeriksaan kualitas/ kondisi udara di ruang-ruang khusus yang dilakukan 2 kali dalam setahun. 5. Pemeriksaan emisi incenerator dan generator set yang dilakukan 2 kali dalam setahun. 6. Pembuatan dokumen Implementasi Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RKL/RPL) setiap 6 bulan sekali. 7. Pemantauan, pengawasan dan pengelolaan limbah padat medis (Pewadahan, pengangkutan dan pembuangan/ pemusnahan limbah padat medis). 2. Kebutuhan Ruang, Fungsi dan Luasan Ruang serta Kebutuhan Fasilitas Tabel. 2.4.2.10 Kebutuhan Ruang, Fungsi dan Luasan Ruang serta Kebutuhan Fasilitas Ruang Sanitasi No. Nama Ruangan Fungsi Ruangan Besaran Ruang / Kebutuhan Fasilitas Luas Ruang para Petugas melaksanakan 3~5 m2/ petugas Meja, kursi, lemari berkas/arsip, (min. 6 m2) intercom/telepon, safety box 1. Ruang Kerja dan Arsip kegiatan dokumentasi hasil 1~1,5 m2/ orang Bak cuci peralatan lab., gelas pemantauan dan ruang simpan arsip (min. 12 m2) ukur, ph meter, DO meter, spektrofotometer, reagen, 2. Ruang Laboratorium Ruang tempat pemeriksaan kesehatan Sesuai kebutuhan bahan-bahan kimia, pipet, dll Kesehatan Lingkungan lingkungan rumah sakit Pompa, Bak ekualisasi, kolam Sesuai kebutuhan aerasi, bak pengendap, bak 3. Area Pengolahan Air Area tempat mengolah air limbah Sesuai kebutuhan desinfeksi, blower, kolam ikan, Limbah dll Area tempat pembakaran limbah padat @ KM/WC Alat pengeruk sampah, troli 4. Area Incenerator medis. pria/wanita luas 2 sampah, sapu, incenerator 5. Area TPS Area penampungan sementara limbah Alat pengeruk sampah, troli padat non-medis m2 – 3 m2 sampah, sapu 6. KM/WC petugas KM/WC Kloset, wastafel, bak air 3. Persyaratan Khusus 1. Lokasi incenerator dan IPAL jauh dari area pelayanan pasien dan instalasi dapur rumah sakit. 2. Lingkungan sekitar incenerator dan IPAL harus dijaga jangan sampai orang yang tidak berkepentingan memasuki area tersebut. 3. Segera dilakukan pembakaran limbah padat medis. 4. Pembuangan abu hasil pembakaran incenerator harus dilakukan secara periodik. 5. Area Penampungan sementara limbah padat non-medis harus dijaga kebersihan dan kerapihannya. 6. Bagi rumah sakit yang pemusnahan limbah padat medisnya di luar rumah sakit, harus mengikuti persyaratan sebagai berikut : a. Menyediakan tempat penampungan sementara limbah padat medis dan limbah tersebut harus setiap hari diangkut dan dibuang keluar rumah sakit. b. Bila pengangkutan dan pembuangan limbah padat medis dilakukan lebih dari 1 hari maka pewadahan dan area penampungan sementaranya harus tertutup/ terisolasi. Waktu toleransi limbah padat medis dengan kondisi tersebut maksimal 3 hari. 59 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B c. Area penampungan sementara limbah padat medis harus senantiasa dijaga kebersihan dan kerapihannya. 4. Alur kegiatan. Alur kegiatan pada Ruang Sanitasi adalah sebagai berikut : Ruang Bedah Instalasi Sanitasi Instalasi Pengolahan Air Ruang ICU Limbah Instalasi Rawat Laboratorium Inap KesLing Inst. Pemeliharaan Incenerator Instalasi Dapur Sarana Utama Gambar 2.4.2.10 – Alur Kegiatan Pada Ruang Sanitasi. 2.4.2.11 Ruang Pemeliharaan Sarana (Bengkel Mekanikal & Elektrikal /;Workshop) 1. Lingkup Sarana Pelayanan Tugas pokok dan fungsi yang harus dirangkum unit workshop adalah, sebagai berikut : 1. Pemeliharaan dan perbaikan ringan pada : Peralatan medik (Optik, elektromedik, mekanis dll) Peralatan penunjang medik Peralatan rumah tangga dari metal/ logam (termasuk tempat tidur) Peralatan rumah tangga dari kayu Saluran dan perpipaan Listrik dan elektronik. 2. Kegiatan perbaikan-perbaikan dilaksanakan dengan prosedur sebagai berikut : Laporan dari setiap unit yang mengalami kerusakan alat Peralatan diteliti tingkat kerusakannya untuk mengetahui tingkat perbaikan yang diperlukan kepraktisan teknis pelaksanaan perbaikannya (apakah cukup diperbaiki ditempatnya, atau harus dibawa ke ruang workshop) Analisa kerusakan Proses pengadaan komponen/suku cadang Pelaksanaan perbaikan/pemasangan komponen Perbaikan bangunan ringan Listrik/ Elektronik Telpon / Aiphone / Audio Visual. 60 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B 2. Kebutuhan Ruang, Fungsi dan Luasan Ruang serta Kebutuhan Tabel. 2.4.2.10 Kebutuhan Ruang, Fungsi dan Luasan Ruang serta Kebutuhan Fasilitas Ruang Pemeliharaan Sarana (Workshop) No. Nama Ruangan Fungsi Ruangan Besaran Ruang / Kebutuhan Fasilitas Luas Ruang tempat kepala Instalasi bekerja dan Meja, kursi, lemari 1. Ruang Kepala IPSRS melakukan kegiatan perencanaan dan Min. 8 m2 berkas/arsip, manajemen. intercom/telepon, safety box Ruang Administrasi Ruang tempat pencatatan masuk dan keluar 3~5 m2/ petugas Kursi, meja, computer, peralatan/ perabot rusak dan ruang tempat staf (min. 12 m2) printer, dan peralatan kantor 2. (pencatatan) dan Ruang bekerja. lainnya. Kerja Staf 3. Ruang Rapat/ Pertemuan Ruang tempat melaksanakan diskusi/ pertemuan Min. 9 m2 Kursi, meja, screen, dll. Teknis teknis. 4. Area Studio Gambar dan Ruang tempat menggam Min. 9 m2 Meja gambar, komputer dan printer, lemari arsip. Arsip Teknis bar dan menyimpan arsip-arsip teknis. 5. Area Bengkel/ Workshop Ruang tempat memperbaiki kerusakan sarana, Min. 9 m2 Perlengkapan bengkel Bangunan/Kayu prasarana dan peralatan yang terbuat dari kayu. bangunan/ kayu 6. Area Bengkel/ Workshop Ruang tempat memperbaiki kerusakan sarana, Perlengkapan bengkel metal/ logam metal/ logam prasarana dan peralatan yang terbuat dari metal/ Min. 9 m2 logam. 7. Area Bengkel/ Workshop Ruang tempat memperbaiki kerusakan peralatan Perlengkapan bengkel Peralatan Medik (Optik, medik, yaitu peralatan optik, elektromedik, dan Min. 16 m2 peralatan elektromedik Elektromedik, Mekanik) mesin mekanik. 8. Bengkel/ Workshop Ruang tempat memperbaiki kerusakan sarana, Min. 16 m2 Perlengkapan bengkel penunjang medik. prasarana dan peralatan penunjang medik. peralatan mekanikal 9. Ruang Panel Listrik Ruang tempat pengaturan distribusi listrik RS Min. 8 m2 Perlengkapan listrik, panel, untuk kegiatan di IPSRS. dll 10. Gudang spare part Ruang penyimpanan suku cadang (sparepart). Min. 9 m2 Lemari/rak 11. Gudang Ruang penyimpanan sarana, prasarana dan peralatan yang sudah tidak terpakai, telah 12. KM/WC petugas/ diperbaiki (belum diserahkan kembali) atau yang Min. 9 m2 Lemari/rak pengunjung akan diperbaiki. Kloset, wastafel, bak air @ KM/WC KM/WC pria/wanita luas 2 m2 – 3 m2 3. Persyaratan Khusus Terletak jauh dari daerah perawatan dan gedung penunjang medik, sebaiknya diletakan di daerah servis karena banyak menimbulkan kebisingan. 4. Alur kegiatan. Alur kegiatan pada Bengkel Mekanikal dan Elektrikal adalah sebagai berikut : Spare Part Ruang Pencatatan Gudang Spare Part Ruang Barang Rusak Barang Masuk Bengkel/ Workshop Pencatatan Barang Keluar Gudang Barang Keluar Gambar 2.4.2.10 – Alur Kegiatan Pada Bengkel Mekanikal dan Elektrikal (;Workshop). 61 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B 2.4.3 Fasilitas Pada Area Penunjang Umum dan Administrasi 2.4.3.1 Bagian Kesekretariatan dan Akuntansi 1. Lingkup Sarana Pelayanan Suatu bagian dari rumah sakit tempat dilaksanakannya manajemen rumah sakit. Terdiri dari : Unsur direksi/ pimpinan rumah sakit Unsur pelayanan medik Unsur pelayanan penunjang medik Pelayanan keperawatan Unsur pendidikan dan pelatihan Administrasi umum dan keuangan SDM Komite medik Komite etik dan hukum. 2. Kebutuhan Ruang, Fungsi dan Luasan Ruang serta Kebutuhan Fasilitas Tabel. 2.4.3 Kebutuhan Ruang, Fungsi dan Luasan Ruang serta Kebutuhan Fasilitas Pada Area Penunjang Umum dan Administrasi RS No. Nama Ruangan Fungsi Ruangan Besaran Ruang / Kebutuhan Fasilitas Luas 1. Ruang Direksi Ruang kerja direktur RS, tempat Sesuai Kebutuhan Meja, kursi, sofa, computer, 2. Ruang Sekretaris Direktur melaksanakan perencanaan program Sesuai Kebutuhan printer, lemari, lemari arsip, dan dan manajemen RS. peralatan kantor lainnya. Ruang kerja sekretaris direktur. Meja, kursi, lemari berkas/arsip, komputer, printer, intercom/telepon 3. Ruang Rapat dan Diskusi Ruang pertemuan/ rapat/ diskusi. Sesuai Kebutuhan Meja rapat, kursi, LCD projector, layar, dll Meja, kursi, lemari berkas/arsip, 4. Ruang Kepala Komite Medis Ruang kerja kepala komite medis Sesuai Kebutuhan komputer, printer, intercom/telepon Meja, kursi, lemari berkas/arsip, 5. Ruang Komite Medis Ruang kerja staf komite medis Sesuai Kebutuhan komputer, printer, intercom/telepon 6. Ruang Kepala Bagian Ruang kerja kepala bagian Sesuai Kebutuhan Meja, kursi, lemari berkas/arsip, Keperawatan keperawatan komputer, printer, intercom/telepon Meja, kursi, lemari berkas/arsip, 7. Ruang Bagian Keperawatan Ruang kerja staf bagian keperawatan Sesuai Kebutuhan komputer, printer, intercom/telepon 8. Ruang Kepala Bagian Ruang kerja kepala bagian Sesuai Kebutuhan Meja, kursi, lemari berkas/arsip, Pelayanan Pelayanan komputer, printer, intercom/telepon Meja, kursi, lemari berkas/arsip, 9. Ruang Bagian Pelayanan Ruang kerja staf bagian pelayanan Sesuai Kebutuhan komputer, printer, intercom/telepon 10. Ruang Kepala Bagian Ruang kerja kepala bagian keuangan Sesuai Kebutuhan Meja, kursi, lemari berkas/arsip, Keuangan dan Program dan program komputer, printer, intercom/telepon, safety box 11. Ruang Bagian Keuangan dan Ruang kerja staf bagian keuangan Sesuai Kebutuhan Meja, kursi, lemari berkas/arsip, komputer, printer, Program dan program intercom/telepon 12. Ruang Kepala Bagian Ruang kerja kepala bagian Sesuai Kebutuhan Meja, kursi, lemari berkas/arsip, pelayanan penunjang medik pelayanan penunjang medik komputer, printer, intercom/telepon Meja, kursi, lemari berkas/arsip, 13. Ruang Bagian Pelayanan Ruang kerja staf bagian pelayanan Sesuai Kebutuhan komputer, printer, Penunjang Medik penunjang medik intercom/telepon 62 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B 14. Ruang Kepala Bagian Ruang kerja kepala bagian Sesuai Kebutuhan Meja, kursi, lemari berkas/arsip, Pendidikan dan Pelatihan pendidikan dan pelatihan Sesuai Kebutuhan komputer, printer, Sesuai Kebutuhan intercom/telepon 15. Ruang Bagian Pendidikan Ruang kerja staf bagian pendidikan Sesuai Kebutuhan Meja, kursi, lemari berkas/arsip, dan Pelatihan dan pelatihan Sesuai Kebutuhan komputer, printer, Sesuai Kebutuhan intercom/telepon 16. Ruang Kepala Bagian SDM Ruang kerja kepala bagian SDM Sesuai Kebutuhan Meja, kursi, lemari berkas/arsip, Sesuai Kebutuhan komputer, printer, 17. Ruang Bagian SDM Ruang kerja bagian SDM Sesuai Kebutuhan intercom/telepon Meja, kursi, lemari berkas/arsip, Ruang Kepala Bagian Ruang kerja kepala bagian komputer, printer, 18. Kesekretariatan dan Rekam kesekretariatan dan rekam medis intercom/telepon Meja, kursi, lemari berkas/arsip, Medis Ruang kerja staf bagian komputer, printer, Kesekretariatan dan Rekam Medis intercom/telepon 19. Bagian Rekam Medis Meja, kursi, lemari berkas/arsip, Ruang kerja Satuan Pengawasan komputer, printer, 20. Ruang SPI (Satuan Internal intercom/telepon Pengawasan Internal) Meja, kursi, lemari berkas/arsip, Ruang tempat penyimpanan Arsip komputer, printer, 21. Ruang Arsip/ file RS. intercom/telepon Ruang tempat pengunjung/ tamu 22. Ruang Tunggu bagian administrasi dan Lemari berkas/arsip, komputer, 23. Janitor kesekretariatan menunggu. printer, dll 24. Dapur Kecil (;Pantry) Ruang tempat penyimpanan alat-alat 25. KM/WC kebersihan (cleaning service) Tempat duduk, televisi & Telp Sebagai tempat untuk menyiapkan umum (bila RS mampu), makanan dan minuman. Sesuai Kebutuhan Lemari/rak dapur, kursi, KM/WC Sesuai Kebutuhan Perlengkapan @ KM/WC meja, sink pria/wanita luas 2 Kloset, wastafel, bak air m2 – 3 m2 3. Persyaratan Khusus Penempatan area penunjang umum dan administrasi sedapat mungkin mudah dicapai. 63 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B BAB – III PERSYARATAN UMUM BANGUNAN RUMAH SAKIT 3.1 Lokasi Rumah Sakit. 3.1.1 Pemilihan lokasi. (1) Aksesibilitas untuk jalur transportasi dan komunikasi, Lokasi harus mudah dijangkau oleh masyarakat atau dekat ke jalan raya dan tersedia infrastruktur dan fasilitas dengan mudah, misalnya tersedia pedestrian, Aksesibel untuk penyandang cacat (2) Kontur Tanah kontur tanah mempunyai pengaruh penting pada perencanaan struktur, dan harus dipilih sebelum perencanaan awal dapat dimulai. Selain itu kontur tanah juga berpengaruh terhadap perencanaan sistem drainase, kondisi jalan terhadap tapak bangunan dan lain-lain. (3) Fasilitas parkir. Perancangan dan perencanaan prasarana parkir di RS sangat penting, karena prasarana parkir dan jalan masuk kendaraan akan menyita banyak lahan. Perhitungan kebutuhan lahan parkir pada RS idealnya adalah 1,5 s/d 2 kendaraan/tempat tidur (37,5m2 s/d 50m2 per tempat tidur)1 atau menyesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi daerah setempat. Tempat parkir harus dilengkapi dengan rambu parkir. (4) Tersedianya utilitas publik. Rumah sakit membutuhkan air bersih, pembuangan air kotor/limbah, listrik, dan jalur telepon. Pengembang harus membuat utilitas tersebut selalu tersedia. (5) Pengelolaan Kesehatan Lingkungan Setiap RS harus dilengkapi dengan persyaratan pengendalian dampak lingkungan antara lain : Studi Kelayakan Dampak Lingkungan yang ditimbulkan oleh RS terhadap lingkungan disekitarnya, hendaknya dibuat dalam bentuk implementasi Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL), yang selanjutnya dilaporkan setiap 6 (enam) bulan (KepmenKLH/08/2006). Fasilitas pengelolaan limbah padat infeksius dan non–infeksius (sampah domestik). Fasilitas pengolahan limbah cair (Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL); Sewage Treatment Plan (STP); Hospital Waste Water Treatment Plant (HWWTP)). Untuk limbah cair yang mengandung logam berat dan radioaktif disimpan dalam kontainer khusus kemudian dikirim ke tempat pembuangan limbah khusus daerah setempat yang telah mendapatkan izin dari pemerintah. Fasilitas Pengelolaan Limbah Cair ataupun Padat dari Instalasi Radiologi. Fasilitas Pengolahan Air Bersih (;Water Treatment Plant) yang menjamin keamanan konsumsi air bersih rumah sakit, terutama pada daerah yang kesulitan dalam menyediakan air bersih. 1 Ernst Neufert, Data Arsitek Edisi Kedua, Penerbit Erlangga, 1995 64 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B 3.1.2 (6) Bebas dari kebisingan, asap, uap dan gangguan lain. Pasien dan petugas membutuhkan udara bersih dan lingkungan yang tenang. Pemilihan lokasi sebaiknya bebas dari kebisingan yang tidak semestinya dan polusi atmosfer yang datang dari berbagai sumber. (7) Master Plan dan Pengembangannya. Setiap rumah sakit harus menyusun master plan pengembangan kedepan. Hal ini sebaiknya dipertimbangkan apabila ada rencana pembangunan bangunan baru. Review master plan dilaksanakan setiap 5 tahun. Massa Bangunan. (1) Intensitas antar Bangunan Gedung di RS harus memperhitungkan jarak antara massa bangunan dalam RS dengan mempertimbangkan hal-hal berikut ini : a. Keselamatan terhadap bahaya kebakaran; b. Kesehatan termasuk sirkulasi udara dan pencahayaan; c. Kenyamanan; d. Keselarasan dan keseimbangan dengan lingkungan; (2) Perencanaan RS harus mengikuti Rencana Tata Bangunan & Lingkungan (RTBL), yaitu : a. Koefisien Dasar Bangunan (KDB) Ketentuan besarnya KDB mengikuti peraturan daerah setempat. Misalkan Ketentuan KDB suatu daerah adalah maksimum 60% maka area yang dapat didirikan bangunan adalah 60% dari luas total area/ tanah. b. Koefisien Lantai Bangunan (KLB) Ketentuan besarnya KLB mengikuti peraturan daerah setempat. KLB menentukan luas total lantai bangunan yang boleh dibangun. Misalkan Ketentuan KLB suatu daerah adalah maksimum 3 dengan KDB maksimum 60% maka luas total lantai yang dapat dibangun adalah 3 kali luas total area area/tanah dengan luas lantai dasar adalah 60%. c. Koefisien Daerah Hijau (KDH) Perbandingan antara luas area hijau dengan luas persil bangunan gedung negara, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan daerah setempat tentang bangunan gedung, harus diperhitungkan dengan mempertimbangkan 1. daerah resapan air 2. ruang terbuka hijau kabupaten/kota Untuk bangunan gedung yang mempunyai KDB kurang dari 40%, harus mempunyai KDH minimum sebesar 15%. d. Garis Sempadan Bangunan (GSB) dan Garis Sepadan Pagar (GSP) Ketentuan besarnya GSB dan GSP harus mengikuti ketentuan yang diatur dalam RTBL atau peraturan daerah setempat. (3) Memenuhi persyaratan Peraturan Daerah setempat (tata kota yang berlaku). (4) Pengembangan RS pola vertikal dan horizontal Penentuan pola pembangunan RS baik secara vertikal maupun horisontal, disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan kesehatan yang diinginkan RS (;health needs), kebudayaan daerah setempat (;cultures), kondisi alam daerah setempat 65 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B (;climate), lahan yang tersedia (;sites) dan kondisi keuangan manajemen RS (;budget). 3.1.3 Zonasi. Pengkategorian pembagian area atau zonasi rumah sakit adalah zonasi berdasarkan tingkat risiko terjadinya penularan penyakit, zonasi berdasarkan privasi dan zonasi berdasarkan pelayanan. (1) Zonasi berdasarkan tingkat risiko terjadinya penularan penyakit terdiri dari : area dengan risiko rendah, yaitu ruang kesekretariatan dan administrasi, ruang komputer, ruang pertemuan, ruang arsip/rekam medis. area dengan risiko sedang, yaitu ruang rawat inap non-penyakit menular, rawat jalan. area dengan risiko tinggi, yaitu ruang isolasi, ruang ICU/ICCU, laboratorium, pemulasaraan jenazah dan ruang bedah mayat, ruang radiodiagnostik. area dengan risiko sangat tinggi, yaitu ruang bedah, IGD, ruang bersalin, ruang patolgi. (2) Zonasi berdasarkan privasi kegiatan terdiri dari : area publik, yaitu area yang mempunyai akses langsung dengan lingkungan luar rumah sakit, misalkan ruang rawat jalan, gawat darurat apotek). area semi publik, yaitu area yang menerima tidak berhubungan langsung dengan lingkungan luar rumah sakit, umumnya merupakan area yang menerima beban kerja dari area publik, misalnya laboratorium, radiologi, rehabilitasi medik. area privat, yaitu area yang dibatasi bagi pengunjung rumah sakit, umumnya area tertutup, misalnya seperti ruang perawatan intensif, ruang operasi, ruang kebidanan, ruang rawat inap. (3) Zonasi berdasarkan pelayanan terdiri dari : Zona Pelayanan Medik dan Perawatan yang terdiri dari : ruang rawat jalan, ruang gawat darurat, ruang rawat inap, ruang perawatan Intensif, ruang operasi, ruang rehabilitasi medik, ruang kebidanan, ruang hemodialisa, ruang radioterapi, ruang kedokteran nuklir, ruang transfusi darah/bank darah. Zona Penunjang dan Operasional yang terdiri dari : ruang farmasi, ruang radiodiagnostik, laboratorium, ruang diagnostik terpadu, ruang sterilisasi/CSSD), dapur utama, laundri, pemulasaraan jenazah dan forensik, ruang sanitasi, ruang pemeliharaan sarana. Zona Penunjang Umum dan Administrasi yang terdiri dari : Bagian Kesekretariatan dan Akuntansi, Bagian Rekam Medik, Bagian Logistik/ Gudang, Bagian Perencanaan, Sistem Pengawasan Internal (SPI), Bagian Pendidikan dan Penelitian, Bagian Personalia, Bagian Pengadaan, Bagian Informasi dan Teknologi (IT). 66 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B Gambar 3.1.3.a - Zoning Rumah Sakit Berdasarkan Pelayanan Pada RS Pola Pembangunan Horisontal Gambar 3.1.3.b - Zoning Rumah Sakit Berdasarkan Pelayanan Pada RS Pola Pembangunan Vertikal 67 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B 3.1.4 Kebutuhan luas lantai. (1) Kebutuhan total luas lantai untuk rumah sakit umum ini disarankan + 80 m2/ tempat tidur. (2) Sebagai contoh, rumah sakit umum dengan kapasitas 300 tempat tidur, kebutuhan luas lantainya adalah sebesar 80 m2 x 300 tempat tidur = + 24.000 m2 . (3) Tabel 3.1.4 menunjukkan bagian-bagian dari rumah sakit umum dan ruangan yang dibutuhkannya. Tabel 3.1.4 – Kebutuhan ruang minimal untuk rumah sakit umum. Daerah Luas (m2) per tempat tidur 1 Administrasi 3 ~ 3,5 2 Unit Gawat Darurat 1 ~ 1,5 3 Poliklinik 1 ~ 1,5 4 Pelayanan social 0,1 5 Pendaftaran 0,2 6 Laboratorium Klinis, Pathologi 2,5 ~ 3 7 Kebidanan dan kandungan 1,2 ~ 1,5 8 Diagnostik dan Radiologi 3~4 9 Dapur makanan 2,5 ~ 3,0 10 Fasilitas petugas 0,5 ~ 0,8 11 Ruang pertemuan, pelatihan 0,5 ~ 1 12 Terapi Wicara dan pendengaran. 0,1 13 Rumah tangga/kebersihan 0,4 ~ 0,5 14 Manajemen material 0,4 ~ 0,5 15 Gudang pusat 2,5 ~ 3,5 16 Pembelian 0,2 17 Laundri 1 ~ 1,5 18 Rekam medis 0,5 ~ 0,8 19 Fasilitas staf medik 0,2 ~ 0,3 20 Teknik dan pemeliharaan 5~6 21 Pengobatan nuklir 0,4 ~ 0,5 22 Ruang anak 0,4 ~ 0,5 23 Petugas 0,3 ~ 0,4 24 Farmasi 0,4 ~ 0,6 25 Ruang public 1 ~ 1,5 26 Ruang pengobatan kulit 0,1 ~ 0,2 27 Therapi radiasi 0,8 ~ 1 28 Therapi fisik 1 ~ 1,2 29 Therapi okupasi 0,3 ~ 0,5 30 Ruang bedah 3,5 ~ 5 31 Sirkulasi 10 ~ 15 32 Unit rawat inap 25 ~ 35 68 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B 3.2 Perencanaan bangunan rumah sakit. 3.2.1 Prinsip umum. 3.2.3 (1) Perlindungan terhadap pasien merupakan hal yang harus diprioritaskan. Terlalu banyak lalu lintas akan menggangu pasien, mengurangi efisiensi pelayanan pasien dan meninggikan risiko infeksi, khususnya untuk pasien bedah dimana kondisi bersih sangat penting. Jaminan perlindungan terhadap infeksi merupakan persyaratan utama yang harus dipenuhi dalam kegiatan pelayanan terhadap pasien. (2) Merencanakan sependek mungkin jalur lalu lintas. Kondisi ini membantu menjaga kebersihan dan mengamankan langkah setiap orang, perawat, pasien dan petugas rumah sakit lainnya. RS adalah tempat dimana sesuatunya berjalan cepat, mengingat jiwa pasien taruhannya, oleh karena itu jalur lalu lintas harus direncanakan seefisien mungkin baik dari segi waktu, biaya maupun tenaga. (3) Pemisahan aktivitas yang berbeda, pemisahan antara pekerjaan bersih dan pekerjaan kotor, aktivitas tenang dan bising, perbedaan tipe layanan pasien, dan tipe berbeda dari lalu lintas di dalam dan di luar bangunan. (4) Mengontrol aktifitas petugas terhadap pasien serta aktifitas pengunjung RS yang datang, agar aktifitas pasien dan petugas tidak terganggu. Tata letak Pos perawat harus mempertimbangkan kemudahan bagi perawat untuk memonitor dan membantu pasien yang sedang berlatih di koridor pasien, dan aktifitas pengunjung saat masuk dan ke luar unit. Bayi harus dilindungi dari kemungkinan pencurian dan dari kuman penyakit yang dibawa pengunjung dan petugas RS. Pasien di ruang ICU dan ruang bedah harus dijaga terhadap infeksi. Prinsip khusus. (1) Pencahayaan dan penghawaan yang nyaman untuk semua bagian bangunan merupakan faktor yang penting. Ini khususnya untuk RS yang tidak menggunakan AC. (2) RS minimal mempunyai 3 akses/pintu masuk/gerbang masuk, terdiri dari pintu masuk utama, pintu masuk ke Unit Gawat Darurat dan Pintu Masuk ke area layanan Servis. GEDUNG GEDUNG E C GEDUNG B GEDUNG D GEDUNG A Gambar 3.2.3-a - Contoh gambar akses pintu masuk RS 69 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B (3) Pintu masuk untuk service sebaiknya berdekatan dengan dapur dan daerah penyimpanan persediaan (gudang) yang menerima barang-barang dalam bentuk curah, dan bila mungkin berdekatan dengan lif service. Bordes dan timbangan tersedia di daerah itu. Sampah padat dan sampah lainnya dibuang dari tempat ini, juga benda-benda yang tidak terpakai. Akses ke kamar mayat sebaiknya diproteksi terhadap pandangan pasien dan pengunjung untuk alasan psikologis. (4) Pintu masuk dan lobi disarankan dibuat cukup menarik, sehingga pasien dan pengantar pasien mudah mengenali pintu masuk utama. (5) Jendela sebaiknya dilengkapi dengan kawat kasa untuk mencegah serangga lainnya yang berada di sekitar RS, dan dilengkapi pengaman. (6) Alur lalu lintas pasien dan petugas RS harus direncanakan seefisien mungkin. (7) Koridor publik dipisah dengan koridor untuk pasien dan petugas medik, dimaksudkan untuk mengurangi waktu kemacetan. Bahan-bahan, material dan pembuangan sampah sebaiknya tidak memotong pergerakan orang. Rumah sakit perlu dirancang agar petugas, pasien dan pengunjung mudah orientasinya jika berada di dalam bangunan. (8) Lebar koridor 2,40 m dengan tinggi langit-kangit minimal 2,40 m. Koridor sebaiknya lurus. Apabila ramp digunakan, kemiringannya sebaiknya tidak melebihi 1 : 10 ( membuat sudut maksimal 70) (9) Alur pasien rawat jalan yang ingin ke laboratorium, radiologi, farmasi, terapi khusus dan ke pelayanan medis lain, tidak melalui daerah pasien rawat inap. (10) Alur pasien rawat inap jika ingin ke laboratorium, radiologi dan bagian lain, harus mengikuti prosedur yang telah ditentukan. IPAL SERVICE UTILITAS MASJID Gambar 3.3.2-c – Contoh Model Aliran lalu lintas dalam RS (11) Site Plan atau Tata letak instalasi-instalasi berdasarkan zoning dan peruntukan bangunan yang telah direncanakan. Contoh dapat dilihat pada gambar 2.3.2-d. 70 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B Gambar 3.3.2-d – Contoh Model Perletakan Instalasi-instalasi pada Site Rumah Sakit (Rencana Blok) 71 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B BAB – IV PERSYARATAN TEKNIS SARANA RUMAH SAKIT 4.1. Atap. 4.1.1 4.1.2 Umum. 4.2. Atap harus kuat, tidak bocor, tahan lama dan tidak menjadi tempat perindukan serangga, tikus, dan binatang pengganggu lainnya. 4.3. Persyaratan atap. 4.3.1 (1) Penutup atap. 4.3.2 (a) Apabila menggunakan penutup atap dari bahan beton harus dilapisi dengan lapisan tahan air. (b) Penutup atap bila menggunakan genteng keramik, atau genteng beton, atau genteng tanah liat (plentong), pemasangannya harus dengan sudut kemiringan sesuai ketentuan yang berlaku. (c) Mengingat pemeliharaannya yang sulit khususnya bila terjadi kebocoran, penggunaan genteng metal sebaiknya dihindari. (2) Rangka atap. (a) Rangka atap harus kuat memikul beban penutup atap. (b) Apabila rangka atap dari bahan kayu, harus dari kualitas yang baik dan kering, dan dilapisi dengan cat anti rayap. (c) Apabila rangka atap dari bahan metal, harus dari metal yang tidak mudah berkarat, atau di cat dengan cat dasar anti karat. Langit-langit. (1) Umum. Langit-langit harus kuat, berwarna terang, dan mudah dibersihkan. (2) Persyaratan langit-langit. (a) Tinggi langit-langit di ruangan, minimal 2,80 m, dan tinggi di selasar (koridor) minimal 2,40 m. (b) Rangka langit-langit harus kuat. (c) Bahan langit-langit antara lain gipsum, acoustic tile, GRC (Grid Reinforce Concrete), bahan logam/metal. Dinding dan Partisi. Umum. Dinding harus keras, rata, tidak berpori, tidak menyebabkan silau, tahan api, kedap air, tahan karat, tidak punya sambungan (utuh), dan mudah dibersihkan. Persyaratan dinding. Komponen dinding memiliki persyaratan sebagai berikut : (a) dinding harus mudah dibersihkan, tahan cuaca dan tidak berjamur. 72 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B 4.4. (b) lapisan penutup dinding harus bersifat non porosif (tidak mengandung pori-pori) 4.4.1 sehingga dinding tidak dapat menyimpan debu. 4.4.2 (c) warna dinding cerah tetapi tidak menyilaukan mata. (d) khusus pada ruangan-ruangan yang berkaitan dengan aktivitas anak, pelapis dinding warna-warni dapat diterapkan untuk merangsang aktivitas anak. (e) pada daerah tertentu, dindingnya harus dilengkapi pegangan tangan (handrail) yang menerus dengan ketinggian berkisar 80 ~ 100 cm dari permukaan lantai. Pegangan harus mampu menahan beban orang dengan berat minimal 75 kg yang berpegangan dengan satu tangan pada pegangan tangan yang ada. Bahan pegangan tangan harus terbuat dari bahan yang tahan api, mudah dibersihkan dan memiliki lapisan permukaan yang bersifat non-porosif (tidak mengandung pori-pori). (f) khusus untuk daerah yang sering berkaitan dengan bahan kimia, daerah yang mudah terpicu api, maka dinding harus dari bahan yang tahan api, cairan kimia dan benturan. (g) pada ruang yang menggunakan peralatan yang menggunakan gelombang elektromagnit (EM), seperti Short Wave Diathermy atau Micro Wave Diathermy, penggunaan penutup dinding yang mengandung unsur metal atau baja sedapat mungkin dihindarkan. (h) khusus untuk daerah tenang (misalkan daerah perawatan pasien), maka bahan dinding menggunakan bahan yang kedap suara atau area/ruang yang bising (misalkan ruang mesin genset, ruang pompa, dll) menggunakan bahan yang dapat menyerap bunyi. Lantai. Umum. Lantai harus terbuat dari bahan yang kuat, kedap air, permukaan rata, tidak licin, warna terang, dan mudah dibersihkan. Persyaratan lantai. Komponen penutup lantai memiliki persyaratan sebagai berikut : (a) tidak terbuat dari bahan yang memiliki lapisan permukaan dengan porositas yang tinggi yang dapat menyimpan debu. (b) mudah dibersihkan dan tahan terhadap gesekan. (c) penutup lantai harus berwarna cerah dan tidak menyilaukan mata. (d) memiliki pola lantai dengan garis alur yang menerus keseluruh ruangan pelayanan. (e) pada daerah dengan kemiringan kurang dari 70, penutup lantai harus dari lapisan permukaan yang tidak licin (walaupun dalam kondisi basah). (f) khusus untuk daerah yang sering berkaitan dengan bahan kimia, daerah yang mudah terbakar, maka bahan penutup lantai harus dari bahan yang tahan api, cairan kimia dan benturan. (g) khusus untuk daerah perawatan pasien (daerah tenang) bahan lantai menggunakan bahan yang tidak menimbulkan bunyi atau area/ruang yang bising menggunakan bahan yang dapat menyerap bunyi. 73 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B 4.5. (h) Pada ruang-ruang khusus yang menggunakan peralatan (misalkan ruang bedah), 4.5.1 maka lantai harus cukup konduktif, sehingga mudah untuk menghilangkan muatan listrik statik dari peralatan dan petugas, tetapi bukan sedemikian konduktifnya sehingga membahayakan petugas dari sengatan listrik. Struktur Bangunan. Persyaratan pembebanan Bangunan Rumah Sakit. (1) Umum. (a) Setiap bangunan rumah sakit, strukturnya harus direncanakan dan dilaksanakan agar kuat, kokoh, dan stabil dalam memikul beban/kombinasi beban dan memenuhi persyaratan keselamatan (safety), serta memenuhi persyaratan kelayanan (serviceability) selama umur layanan yang direncanakan dengan mempertimbangkan fungsi bangunan rumah sakit, lokasi, keawetan, dan kemungkinan pelaksanaan konstruksinya. (b) Kemampuan memikul beban diperhitungkan terhadap pengaruh-pengaruh aksi sebagai akibat dari beban-beban yang mungkin bekerja selama umur layanan struktur, baik beban muatan tetap maupun beban muatan sementara yang timbul akibat gempa, angin, pengaruh korosi, jamur, dan serangga perusak. (c) Dalam perencanaan struktur bangunan rumah sakit terhadap pengaruh gempa, semua unsur struktur bangunan rumah sakit, baik bagian dari sub struktur maupun struktur gedung, harus diperhitungkan memikul pengaruh gempa rencana sesuai dengan zona gempanya. (d) Struktur bangunan rumah sakit harus direncanakan secara detail sehingga pada kondisi pembebanan maksimum yang direncanakan, apabila terjadi keruntuhan, kondisi strukturnya masih dapat memungkinkan pengguna bangunan rumah sakit menyelamatkan diri. (e) Untuk menentukan tingkat keandalan struktur bangunan, harus dilakukan pemeriksaan keandalan bangunan secara berkala sesuai dengan Pedoman Teknis atau standar yang berlaku. (f) Perbaikan atau perkuatan struktur bangunan harus segera dilakukan sesuai rekomendasi hasil pemeriksaan keandalan bangunan rumah sakit, sehingga bangunan rumah sakit selalu memenuhi persyaratan keselamatan struktur. (g) Pemeriksaan keandalan bangunan rumah sakit dilaksanakan secara berkala sesuai dengan pedoman teknis atau standar teknis yang berlaku, dan harus dilakukan atau didampingi oleh ahli yang memiliki sertifikasi sesuai. (2) Persyaratan Teknis. (a) Analisis struktur harus dilakukan untuk memeriksa respon struktur terhadap beban-beban yang mungkin bekerja selama umur kelayanan struktur, termasuk beban tetap, beban sementara (angin, gempa) dan beban khusus. (b) Penentuan mengenai jenis, intensitas dan cara bekerjanya beban harus sesuai dengan standar teknis yang berlaku, seperti : 1) SNI 03–1726-1989 atau edisi terbaru; Tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk rumah dan gedung. 2) SNI 03-1727-1989 atau edisi terbaru; Tata cara perencanaan pembebanan untuk rumah dan gedung. 74 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B 4.5.2 Struktur Atas (1) Umum. Konstruksi atas bangunan rumah sakit dapat terbuat dari konstruksi beton, konstruksi baja, konstruksi kayu atau konstruksi dengan bahan dan teknologi khusus (2) Persyaratan Teknis, (a) Konstruksi beton Perencanaan konstruksi beton harus memenuhi standar teknis yang berlaku, seperti : 1) SNI 03–2847-1992 atau edisi terbaru; Tata cara perhitungan struktur beton untuk bangunan gedung. 2) SNI 03–3430-1994 atau edisi terbaru; Tata cara perencanaan dinding struktur pasangan blok beton berongga bertulang untuk bangunan rumah dan gedung. 3) SNI 03-1734-1989 atau edisi terbaru; Tata cara perencanaan beton dan struktur dinding bertulang untuk rumah dan gedung. 4) SNI 03–2834 -1992 atau edisi terbaru; Tata cara pembuatan rencana campuran beton normal. 5) SNI 03–3976-1995 atau edisi terbaru; Tata cara pengadukan dan pengecoran beton. 6) SNI 03–3449-1994 atau edisi terbaru; Tata cara rencana pembuatan campuran beton ringan dengan agregat ringan. (b) Konstruksi Baja Perencanaan konstruksi baja harus memenuhi standar yang berlaku seperti : 1) SNI 03-1729-1989 atau edisi terbaru; Tata cara perencanaan bangunan baja untuk gedung. 2) Tata Cara dan/atau pedoman lain yang masih terkait dalam perencanaan konstruksi baja . 3) Tata Cara Pembuatan atau Perakitan Konstruksi Baja. 4) Tata Cara Pemeliharaan Konstruksi Baja Selama Pelaksanaan Konstruksi. (c) Konstruksi Kayu Perencanaan konstruksi kayu harus memenuhi standar teknis yang berlaku, seperti: 1) Tata Cara Perencanaan Konstruksi Kayu untuk Bangunan Gedung. 2) Tata cara/pedoman lain yang masih terkait dalam perencanaan konstruksi kayu. 3) Tata Cara Pembuatan dan Perakitan Konstruksi Kayu 4) SNI 03 – 2407 – 1991 atau edisi terbaru; Tata cara pengecatan kayu untuk rumah dan gedung. 75 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B 4.5.3 (d) Konstruksi dengan Bahan dan Teknologi Khusus 1) Perencanaan konstruksi dengan bahan dan teknologi khusus harus dilaksanakan oleh ahli struktur yang terkait dalam bidang bahan dan teknologi khusus tersebut. 2) Perencanaan konstruksi dengan memperhatikan standar teknis padanan untuk spesifikasi teknis, tata cara, dan metoda uji bahan dan teknologi khusus tersebut. (e) Pedoman Spesifik Untuk Tiap Jenis Konstruksi Selain pedoman yang spesifik untuk masing-masing jenis konstruksi, standar teknis lainnya yang terkait dalam perencanaan suatu bangunan yang harus dipenuhi, antara lain: 1) SNI 03-1735-2000 atau edisi terbaru; Tata cara perencanaan bangunan dan lingkungan untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan rumah dan gedung. 2) SNI 03-1736-1989 atau edisi terbaru; Tata cara perencanaan struktur bangunan untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan rumah dan gedung. 3) SNI 03-1963-1990 atau edisi terbaru; Tata cara dasar koordinasi modular untuk perancangan bangunan rumah dan gedung. 4) SNI 03–2395-1991 atau edisi terbaru; Tata cara perencanaan dan perancangan bangunan radiologi di rumah sakit. 5) SNI 03–2394-1991 atau edisi terbaru; Tata cara perencanaan dan perancangan bangunan kedokteran nuklir di rumah sakit. 6) SNI 03–2404-1991 atau edisi terbaru; Tata cara pencegahan rayap pada pembuatan bangunan rumah dan gedung. 7) SNI 03–2405-1991 atau edisi terbaru; Tata cara penanggulangan rayap pada bangunan rumah dan gedung dengan termitisida. Struktur Bawah (1) Umum. Struktur bawah bangunan rumah sakit dapat berupa pondasi langsung atau pondasi dalam, disesuaikan dengan kondisi tanah di lokasi didirikannya rumah sakit. (2) Persyaratan Teknis. (a) Pondasi Langsung 1) Kedalaman pondasi langsung harus direncanakan sedemikian rupa sehingga dasarnya terletak di atas lapisan tanah yang mantap dengan daya dukung tanah yang cukup kuat dan selama berfungsinya bangunan tidak mengalami penurunan yang melampaui batas. 2) Perhitungan daya dukung dan penurunan pondasi dilakukan sesuai teori mekanika tanah yang baku dan lazim dalam praktek, berdasarkan parameter tanah yang ditemukan dari penyelidikan tanah dengan memperhatikan nilai tipikal dan korelasi tipikal dengan parameter tanah yang lain. 3) Pelaksanaan pondasi langsung tidak boleh menyimpang dari rencana dan spesifikasi teknik yang berlaku atau ditentukan oleh perencana ahli yang memiiki sertifikasi sesuai. 76 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B 4) Pondasi langsung dapat dibuat dari pasangan batu atau konstruksi beton bertulang. (b) Pondasi Dalam 1) Dalam hal penggunaan tiang pancang beton bertulang harus mengacu pedoman teknis dan standar yang berlaku. 2) Dalam hal lokasi pemasangan tiang pancang terletak di daerah tepi laut yang dapat mengakibatkan korosif harus memperhatikan pengamanan baja terhadap korosi memenuhi pedoman teknis dan standar yang berlaku. 3) Dalam hal perencanaan atau metode pelaksanaan menggunakan pondasi yang belum diatur dalam SNI dan/atau mempunyai paten dengan metode konstruksi yang belum dikenal, harus mempunyai sertifikat yang dikeluarkan instansi yang berwenang. 4) Dalam hal perhitungan struktur menggunakan perangkat lunak, harus menggunakan perangkat lunak yang diakui oleh asosiasi terkait) 5) Pondasi dalam pada umumnya digunakan dalam hal lapisan tanah dengan daya dukung yang cukup terletak jauh di bawah permukaan tanah, sehingga penggunaan pondasi langsung dapat menyebabkan penurunan yang berlebihan atau ketidakstabilan konstruksi. 6) Perhitungan daya dukung dan penurunan pondasi dilakukan sesuai teori mekanika tanah yang baku dan lazim dalam praktek, berdasarkan parameter tanah yang ditemukan dari penyelidikan tanah dengan memperhatikan nilai tipikal dan korelasi tipikal dengan parameter tanah yang lain. 7) Umumnya daya dukung rencana pondasi dalam harus diverifikasi dengan percobaan pembebanan, kecuali jika jumlah pondasi dalam direncanakan dengan faktor keamanan yang jauh lebih besar dari faktor keamanan yang lazim. 8) Percobaan pembebanan pada pondasi dalam harus dilakukan dengan berdasarkan tata cara yang lazim dan hasilnya harus dievaluasi oleh perencana ahli yang memiliki sertifikasi sesuai. 9) Jumlah percobaan pembebanan pada pondasi dalam adalah 1% dari jumlah titik pondasi yang akan dilaksanakan dengan penentuan titik secara random, kecuali ditentukan lain oleh perencana ahli serta disetujui oleh instansi yang bersangkutan. (c) Keselamatan Struktur 1) Untuk menentukan tingkat keandalan struktur bangunan, harus dilakukan pemeriksaan keandalan bangunan secara berkala sesuai dengan ketentuan dalam Pedoman Teknis Tata Cara Pemeriksaan Keandalan Bangunan Gedung. 2) Perbaikan atau perkuatan struktur bangunan harus segera dilakukan sesuai rekomendasi hasil pemeriksaan keandalan bangunan rumah salikit, sehingga rumah sakit selalu memenuhi persyaratan keselamatan struktur. 3) Pemeriksaan keandalan bangunan rumah sakit dilaksanakan secara berkala sesuai klasifikasi bangunan, dan harus dilakukan atau didampingi oleh ahli yang memiliki sertifikasi sesuai. 77 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B 4.6. (d) Keruntuhan Struktur 4.6.1 Untuk mencegah terjadinya keruntuhan struktur yang tidak diharapkan, 4.6.2 pemeriksaan keandalan bangunan harus dilakukan secara berkala sesuai dengan pedoman/petunjuk teknis yang berlaku. (e) Persyaratan Bahan 1) Bahan struktur yang digunakan harus sudah memenuhi semua persyaratan keamanan, termasuk keselamatan terhadap lingkungan dan pengguna bangunan, serta sesuai pedoman teknis atau standar teknis yang berlaku. 2) Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum mempunyai SNI, dapat digunakan standar baku dan pedoman teknis yang diberlakukan oleh instansi yang berwenang. 3) Bahan yang dibuat atau dicampurkan di lapangan, harus diproses sesuai dengan standar tata cara yang baku untuk keperluan yang dimaksud. 4) Bahan bangunan prefabrikasi harus dirancang sehingga memiliki sistem hubungan yang baik dan mampu mengembangkan kekuatan bahan- bahan yang dihubungkan, serta mampu bertahan terhadap gaya angkat pada saat pemasangan/pelaksanaan. Pintu. Umum. Pintu adalah bagian dari suatu tapak, bangunan atau ruang yang merupakan tempat untuk masuk dan ke luar dan pada umumnnya dilengkapi dengan penutup (daun pintu). Persyaratan. (1) Pintu ke luar/masuk utama memiliki lebar bukaan minimal 120 cm atau dapat dilalui brankar pasien, dan pintu-pintu yang tidak menjadi akses pasien tirah baring memiliki lebar bukaan minimal 90 cm. (2) Di daerah sekitar pintu masuk sedapat mungkin dihindari adanya ramp atau perbedaan ketinggian lantai. (3) Pintu Darurat Setiap bangunan RS yang bertingkat lebih dari 3 lantai harus dilengkapi dengan pintu darurat. Lebar pintu darurat minimal 100 cm membuka kearah ruang tangga penyelamatan (darurat) kecuali pada lantai dasar membuka ke arah luar (halaman). Jarak antar pintu darurat dalam satu blok bangunan gedung maksimal 25 m dari segala arah. (4) Pintu khusus untuk kamar mandi di rawat inap dan pintu toilet untuk aksesibel, harus terbuka ke luar (lihat gambar 3.9.1), dan lebar daun pintu minimal 85 cm. 78 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B Gambar 4.6.1 - Pintu kamar mandi pada ruang rawat inap harus terbuka ke luar 4.7. Toilet (Kamar kecil). 4.7.1 Umum. 4.7.2 Fasilitas sanitasi yang aksesibel untuk semua orang (tanpa terkecuali penyandang cacat, orang tua dan ibu-ibu hamil) pada bangunan atau fasilitas umum lainnya Persyaratan. (1) Toilet umum. (a) Toilet atau kamar kecil umum harus memiliki ruang gerak yang cukup untuk masuk dan keluar oleh pengguna. (b) Ketinggian tempat duduk kloset harus sesuai dengan ketinggian pengguna ( 36 ~ 38 cm). (c) Bahan dan penyelesaian lantai harus tidak licin. Lantai tidak boleh menggenangkan air buangan. (d) Pintu harus mudah dibuka dan ditutup. (e) Kunci-kunci toilet atau grendel dipilih sedemikian sehingga bisa dibuka dari luar jika terjadi kondisi darurat (2) Toilet untuk aksesibilitas. (a) Toilet atau kamar kecil umum yang aksesibel harus dilengkapi dengan tampilan rambu/simbol \"penyandang cacat\" pada bagian luarnya. (b) Toilet atau kamar kecil umum harus memiliki ruang gerak yang cukup untuk masuk dan keluar pengguna kursi roda. (c) Ketinggian tempat duduk kloset harus sesuai dengan ketinggian pengguna kursi roda sekitar (45 ~ 50 cm) (d) Toilet atau kamar kecil umum harus dilengkapi dengan pegangan rambat (handrail) yang memiliki posisi dan ketinggian disesuaikan dengan pengguna kursi roda dan penyandang cacat yang lain. Pegangan disarankan memiliki bentuk siku-siku mengarah ke atas untuk membantu pergerakan pengguna kursi roda. (e) Letak kertas tissu, air, kran air atau pancuran (shower) dan perlengkapan- perlengkapan seperti tempat sabun dan pengering tangan harus dipasang sedemikian hingga mudah digunakan oleh orang yang memiliki keterbatasan keterbatasan fisik dan bisa dijangkau pengguna kursi roda. 79 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B (f) Bahan dan penyelesaian lantai harus tidak licin. Lantai tidak boleh menggenangkan air buangan. (g) Pintu harus mudah dibuka dan ditutup untuk memudahkan pengguna kursi roda. (h) Kunci-kunci toilet atau grendel dipilih sedemikian sehingga bisa dibuka dari luar jika terjadi kondisi darurat. (j) Pada tempat-tempat yang mudah dicapai, seperti pada daerah pintu masuk, dianjurkan untuk menyediakan tombol bunyi darurat (emergency sound button) bila sewaktu-waktu terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Gambar 4.7.2 - Ruang gerak dalam Toilet untuk Aksesibel. 80 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B BAB – V PERSYARATAN TEKNIS PRASARANA RUMAH SAKIT 5.1 Sistem Proteksi Kebakaran 5.1.1 Sistem Proteksi Pasif 5.1.2 Setiap bangunan rumah sakit harus mempunyai sistem proteksi pasif terhadap bahaya kebakaran yang berbasis pada desain atau pengaturan terhadap komponen arsitektur dan struktur rumah sakit sehingga dapat melindungi penghuni dan benda dari kerusakan fisik saat terjadi kebakaran. Penerapan sistem proteksi pasif didasarkan pada fungsi/klasifikasi resiko kebakaran, geometri ruang, bahan bangunan terpasang, dan/atau jumlah dan kondisi penghuni dalam rumah sakit. (1) Rumah sakit harus mampu secara struktural stabil selama kebakaran. (2) Kompartemenisasi dan konstruksi pemisah untuk membatasi kobaran api yang potensial, perambatan api dan asap, agar dapat: (a) melindungi penghuni yang berada di suatu bagian bangunan terhadap dampak kebakaran yang terjadi ditempat lain di dalam bangunan. (b) mengendalikan kobaran api agar tidak menjalar ke bangunan lain yang berdekatan. (c) menyediakan jalan masuk bagi petugas pemadam kebakaran (3) Proteksi Bukaan Seluruh bukaan harus dilindungi, dan lubang utilitas harus diberi penyetop api (fire stop) untuk mencegah merambatnya api serta menjamin pemisahan dan kompartemenisasi bangunan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem proteksi pasif mengikuti Pedoman Teknis Prasarana Rumah Sakit : Bangunan Rumah Sakit Yang Aman Dalam Situasi Darurat dan Bencana, yang disusun oleh Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan, Tahun 2012. Sistem Proteksi Aktif Sistem proteksi aktif adalah peralatan deteksi dan pemadam yang dipasang tetap atau tidak tetap, berbasis air, bahan kimia atau gas, yang digunakan untuk mendeteksi dan memadamkan kebakaran pada bangunan rumah sakit. (1) Pipa tegak dan slang Kebakaran Sistem pipa tegak ditentukan oleh ketinggian gedung, luas per lantai, klasifikasi hunian, sistem sarana jalan ke luar, jumlah aliran yang dipersyaratkan dan sisa tekanan, serta jarak sambungan selang dari sumber pasokan air. (2) Hidran Halaman Hidran halaman diperlukan untuk pemadaman api dari luar bangunan gedung. Sambungan slang ke hidran halaman harus memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh instansi kebakaran setempat. (3) Sistem Springkler Otomatis. 81 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B Sistem springkler otomatis harus dirancang untuk memadamkan kebakaran atau sekurang-kurangnya mempu mempertahankan kebakaran untuk tetap, tidak berkembang, untuk sekurang-kurangnya 30 menit sejak kepada springkler pecah. (4) Pemadam Api Ringan (PAR) Alat pemadam api ringan kimia (APAR) harus ditujukan untuk menyediakan sarana bagi pemadaman api pada tahap awal. Konstruksi APAR dapat dari jenis portabel (jinjing) atau beroda, (5) Sistem Pemadam Kebakaran Khusus. Sistem pemadaman khusus yang dimaksud adalah sistem pemadaman bukan portable (jinjing) dan beroperasi secara otomatis untuk perlindungan dalam ruang- ruang dan atau penggunaan khusus. Sistem pemadam khusus meliputi sistem gas dan sistem busa. (6) Sistem Deteksi & Alarm Kebakaran Sistem deteksi dan alarm kebakaran berfungsi untuk mendeteksi secara dini terjadinya kebakaran, baik secara otomatis maupun manual. (7) Sistem Pencahayaan Darurat Pencahayaan darurat di dalam rumah sakit diperlukan khususmya pada keadaan darurat, misalnya tidak berfungsinya pencahayaan normal dari PLN atau tidak dapat beroperasinya dengan segera daya siaga dari diesel generator. (8) Tanda Arah. Bila suatu eksit tidak dapat terlihat secara langsung dengan jelas oleh pengunjung atau pengguna bangunan, maka harus dipasang tanda penunjuk dengan tanda panah menunjukkan arah, dan dipasang di koridor, jalan menuju ruang besar (hal), lobi dan semacamnya yang memberikan indikasi penunjukkan arah ke eksit yang disyaratkan. (9) Sistem Peringatan Bahaya Sistem peringatan bahaya dapat juga difungsikan sebagai sistem penguat suara (public address), diperlukan guna memberikan panduan kepada penghuni dan tamu sebagai tindakan evakuasi atau penyelamatan dalam keadaan darurat. Ini dimaksudkan agar penghuni bangunan memperoleh informasi panduan yang tepat dan jelas. (10) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem proteksi aktif mengikuti Pedoman Teknis Prasarana Rumah Sakit : Sistem Proteksi Kebakaran Aktif yang disusun oleh Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan, Tahun 2012. 5.2 Sistem Komunikasi Dalam Rumah sakit Persyaratan komunikasi dalam rumah sakit dimaksudkan sebagai penyediaan sistem komunikasi baik untuk keperluan internal bangunan maupun untuk hubungan ke luar, pada saat terjadi kebakaran dan/atau kondisi darurat lainnya. Termasuk antara lain: sistem telepon, sistem tata suara, sistem voice evacuation, dan sistem panggil perawat. Penggunaan instalasi tata suara pada waktu keadaan darurat dimungkinkan asal memenuhi pedoman dan standar teknis yang berlaku. 82 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B 5.2.1 Sistem Telepon dan Tata Suara. (1) Umum. (a) Sistem instalasi komunikasi telepon dan sistem tata komukasi gedung, penempatannya harus mudah diamati, dioperasikan, dipelihara, tidak membahayakan, mengganggu dan merugikan lingkungan dan bagian bangunan serta sistem instalasi lainnya, serta direncanakan dan dilaksanakan berdasarkan standar, normalisasi teknik dan peraturan yang berlaku. (b) Peralatan dan instalasi sistem komunikasi harus tidak memberi dampak, dan harus diamankan terhadap gangguan seperti interferensi gelombang elektro magnetik, dan lain-lain. (c) Secara berkala dilakukan pengukuran/pengujian terhadap EMC (Electro Magnetic Campatibility). Apabila hasil pengukuran terhadap EMC melampaui ambang batas yang ditentukan, maka langka penanggulangan dan pengamanan harus dilakukan. (d) Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum mempunyai SNI, dapat digunakan standar baku dan pedoman teknis yang diberlakukan oleh instansi yang berwenang (2) Persyaratan Teknis Instalasi Telepon. (a) Saluran masuk sistem telepon harus memenuhi persyaratan : 1) Tempat pemberhentian ujung kabel harus terang, tidak ada genangan air, aman dan mudah dikerjakan. 2) Ukuran lubang orang (manhole) yang melayani saluran masuk ke dalam gedung untuk instalasi telepon minimal berukuran 1,50 m x 0,80 m dan harus diamankan agar tidak menjadi jalan air masuk ke rumah sakit pada saat hujan dll. 3) Diupayakan dekat dengan kabel catu dari kantor telepon dan dekat dengan jalan besar. (b) Penempatan kabel telepon yang sejajar dengan kabel listrik, minimal berjarak 0,10 m atau sesuai ketentuan yang berlaku. (c) Ruang PABX/TRO sistem telepon harus memenuhi persyaratan: 1) Ruang yang bersih, terang, kedap debu, sirkulasi udaranya cukup dan tidak boleh kena sinar matahari langsung, serta memenuhi persyaratan untuk tempat peralatan. 2) Tidak boleh digunakan cat dinding yang mudah mengelupas. 3) Tersedia ruangan untuk petugas sentral dan operator telepon. (d) Ruang batere sistem telepon harus bersih, terang, mempunyai dinding dan lantai tahan asam, sirkulasi udara cukup dan udara buangnya harus dibuang ke udara terbuka dan tidak ke ruang publik, serta tidak boleh kena sinar matahari langsung. (3) Persyaratan Teknis Instalasi Tata Suara (a) Setiap bangunan rumah sakit dengan ketinggian 4 lantai atau 14 m keatas, harus dipasang sistem tata suara yang dapat digunakan untuk menyampaikan pengumuman dan instruksi apabila terjadi kebakaran atau keadaan darurat lainnya. 83 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B (b) Sistem peralatan komunikasi darurat sebagaimana dimaksud pada butir 1) di atas harus menggunakan sistem khusus, sehingga apabila sistem tata suara umum rusak, maka sistem telepon darurat tetap dapat bekerja. (c) Kabel instalasi komunikasi darurat harus terpisah dari instalasi lainnya, dan dilindungin terhadap bahaya kebakaran, atau terdiri dari kabel tahan api. (d) Harus dilengkapi dengan sumber/pasokan daya listrik untuk kondisi normal maupun pada kondisi daya listrik utama mengalami gangguan, dengan kapasitas dan dapat melayani dalam waktu yang cukup sesuai ketentuan yang berlaku. (e) Persyaratan sistem komunikasi dalam gedung harus memenuhi: 1) UU No. 32 tahun 1999, tentang Telekomunikasi. 2) PP No. 52/2000, tentang Telekomunikasi Indonesia. 5.2.2 Sistem Panggil Perawat (Nurse Call) 5.2.2.1 Umum (1) Peralatan sistem panggil perawat dimaksudkan untuk memberikan pelayanan kepada pasien yang memerlukan bantuan perawat, baik dalam kondisi rutin atau darurat. (2) Sistem panggil perawat bertujuan menjadi alat komunikasi antara perawat dan pasien dalam bentuk visual dan audible (suara), dan memberikan sinyal pada kejadian darurat pasien. 5.2.2.2 Persyaratan Teknis (1) Peralatan Sistem Panggil Perawat (SPP). (a) Panel Kontrol SPP. Panel kontrol SPP harus : 1) jenis audio dan visual. 2) penempatannya diatas meja. 3) perlengkapan yang ada pada panel kontrol SPP sebagai berikut : a) mempunyai mikrofon. speaker dan handset. Handset dilengkapi kabel dengan panjang 910 mm (3 ft). Handset harus mampu menghubungkan dua arah komunikasi antara perawat dan pos pemanggil yang dipilih. Mengangkat handset akan mematikan mikrofon/speaker. b) Tombol penunjuk atau layar sentuh dengan bacaan digital secara visual memberitahu lokasi panggilan dan menempatkannya dalam sistem, meliputi: (i) Nomor ruang. (ii) Kamar. (iii) Tempat tidur. (iv) Prioritas panggilan. c) Panggilan dari pos darurat yang ditempatkan di dalam toilet atau kamar mandi. d) Mampu menampilkan sedikitnya 4 (empat) panggilan yang datang. e) Modul mengikuti perawat. 84 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B Apabila modul mengikuti perawat ditempatkan di bedside ruang rawat inap pasien diaktifkan, semua panggilan yang ditempatkan dalam sistem secara visual atau audible diteruskan ke bedside yang dikunjungi. f) Berfungsi menjawab secara otomatis atau selektif. g) Fungsi prioritas panggilan yang datang. Sinyal visual atau audible akan menandai adanya suatu panggilan rutin atau darurat dan akan menerus sampai panggilan itu dibatalkan. Panggilan darurat harus dibatalkan hanya di pos darurat setempat. h) Fungsi pengingat (memory). Dapat menyimpan sementara suatu panggilan yang ditempatkan dan menghasilkan sinyal visual berupa nyala lampu dome di koridor yang dihubungkan dengan bedside dengan cara mengaktifkan fungsi/sirkit pengingat. Sinyal visual ini akan mati dan panggilan yang tersimpan terhapus dari memory ketika panggilan itu dibatalkan di pos setempat. i) Kemampuan menghasilkan sinyal audible dan visual untuk menandai adanya panggilan yang datang dari pos yang terhubung : (i) dapat menghentikan atau melemahkan sinyal audible melalui rangkaian rangkaian mematikan/melemahkan saat panel kontrol sedang digunakan untuk menjawab atau menempatkan suatu panggilan. Sinyal audible untuk panggilan yang datang dan tidak terjawab harus secara otomatis disambungkan kembali ketika panel kontrol SPP dikembalikan ke modus siaga. (ii) Sinyal visual untuk panggilan yang datang harus tetap ditampilkan pada setiap saat sampai panggilan terjawab atau dibatalkan pada pos pemanggilan. (iii) Sinyal audible dan sinyal visual untuk panggilan rutin dan darurat harus jelas berbeda. (iv) Tampilan visual untuk menunjukkan lokasi pos panggilan harus muncul pada panel kontrol SPP. j) Tombol sentuh, atau serupa membolehkan perawat memilih pos panggilan dan melakukan komunikasi suara dua arah. Tombol sentuh juga harus memberikan program status prioritas dan kemampuan fungsi lain yang ada, yaitu : (i) Kemampuan memonitor bedside. (ii) Kemampuan berhubungan minimum 10 pos beside secara serempak. (iii) Mampu menerima panggilan dari 10 pos panggilan terkait secara serempak. (iv) Kemampuan untuk menjawab dengan cara : k) Dengan mengangkat handset atau mengaktifkan satu fungsi panggilan untuk menjawab, berikutnya akan secara otomatis mengizinkan perawat untuk berkomunikasi dengan pos berikutnya di dalam urutan prioritas panggilan, atau l) Dengan memilih jawaban dari setiap pos panggilan yang ditempatkan di dalam urutan. 85 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B m) Sedikitnya ditambahkan 10% untuk mengakomodasi tambahan pasien, dan pos darurat didalam setiap panel kontrol SPP. n) Panel Kontrol SPP yang menggunakan daya listrik arus bolak balik haruslah disambungkan ke panel daya listrik darurat arus bolak balik. Suatu UPS harus disediakan di lokasi panel kontrol SPP untuk menyediakan daya darurat. (b) Peralatan Komunikasi pada Kabinet Bedside (;Beside Communication Equipment). 1) Setiap bedside harus menyediakan : a) microphone/speaker. b) lampu pos pemanggil. c) tombol reser d) kotak kontrol untuk cordset. 2) Setiap microphone/speaker harus mati jika handset disambungkan ke bedside. 3) Panggilan dari bedside harus menghasilkan sinyal panggilan visual rutin pada lampu dome di koridor. (c) Pos darurat. 1) Pos darurat dengan kabel tarik harus disediakan dalam setiap kloset dan setiap pancuran (shower) kamar mandi. Pos darurat ini harus dipasang kurang lebih 50 cm (18 inci) dari kepala pancurannya (shower head) dan/atau 180 cm (72 inci) di atas lantai jadi. Setiap pos darurat yang di area pancuran atau toilet harus kedap air. 2) Pos darurat harus disediakan dengan : a) kabel tarikan yang diuji tarik dengan gaya sebesar 5 kg ( 10 lbs) dan pendant dihubungkan ke gerakan sakelar ON/OFF pada pos darurat. Kabel tarikan yang gantung yang terbawah harus dipasang 15 cm ( 6 inci) dari lantai jadi. b) Gaya tarikan untuk mengaktifkan sakelar minimum 0,4 kg. c) Pada pos darurat dilengkapi fungsi \"reset/cancel\". d) Lampu darurat merah dengan nyala mati-hidup secara bergantian dengan interval waktu 1 detik ditempatkan pada bagian luar dari kamar mandi atau toilet, dipasang pada ketinggian 2 meter dari lantai jadi. e) Pada pos darurat , ditempel atau ditempatkan secara permanen dengan plat kalimat \"Panggilan Darurat Perawat\". Tinggi huruf minimal 4 mm (1/8 inci). (d) Armatur Lampu Dome di Koridor. 1) Tutup lampu harus tembus cahaya, tidak berubah warna atau berubah bentuk karena panas, atau rusak karena penggunaan zat pembersih. 2) Lampu dome harus berisi lampu yang cukup membedakan : a) panggilan rutin dari bedside. b) panggilan darurat dari pos perawat kamar mandi atau toilet. 86 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B c) Sinyal visual untuk panggilan rutin dan panggilan darurat harus dibedakan. (e) Armatur Lampu Dome dengan isi dua lampu di Koridor. Dua lampu dalam satu armatur lampu dome berisi minimum dua lampu untuk mengidentifikasikan panggilan setempat dalam sistem. Sinyal visual untuk panggilan rutin dan panggilan darurat harus jelas perbedaannya. (f) Cordset. 1) Umum. Setiap cordset, harus : a) panjangnya 1,8 meter atau 2,4 meter, jenis kabel fleksibel. b) tidak korosif. c) apabila cordset dilepas, panggilan darurat harus secara otomatis memberitahukan panel kontrol SPP. Sinyal audible dan visual harus tetap diaktifkan sampai cordset disisipkan kembali, atau alat lain disisipkan yang secara teknis dapat mematikan fitur panggilan otomatis. d) gaya tarikan untuk mengaktifkan cordset sebesar 0,5 kg (1 lb). e) tidak berubah warna. 2) Cordset dengan aksi tombol tekan. Setiap cordset harus disediakan : a) sambungan ke kotak kontak bedside cordset. b) berisi tombol tekan untuk panggilan pada ujung cordsetnya. (g) Sistem distribusi. Setiap kabel yang digunakan dalam SPP harus asli dan bersertifikat, diberi label pada setiap rel dan disetujui oleh instansi terkait. (h) Perlengkapan Instalasi. 1) Kabel. Kabel harus termasuk semua penyambung, tali pengikat, penggantung, klem dan sebaginya yang dibutuhkan untuk melengkapi kerapihan instalasi. 2) Konduit. Perlengkapan harus termasuk konduit, duct (saluran) kabel, rak kabel, kotak penyambung, roset, plat penutup dan perangkat keras lain yang diperlukan untuk melengkapi kerapihan dan keamanan, dan memenuhi SNI 04-0225- 2000, tentang Persyaratan Umum Instalasi Listrik (PUIL 2000). (3) Label. Setiap komponen dari sub sistem harus diberi label. (2). Pemasangan peralatan dan instalasi sistem panggil perawat. (a) Pengiriman. Pengiriman bahan-bahan ke lokasi harus dalam kontainer asli tertutup, jelas terlabel nama pengirim, model peralatan dan nomor erie identifikasi, dan logo standar. Pengawas akan meneliti peralatan SPP pada saat itu dan akan menolak terhadap item yang tidak memenuhi syarat. 87 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B (b) Penyimpanan. Peralatan SPP harus disimpan dengan benar sebelum dipasang, terlindung terhadap kerusakan. (c) Pemasangan. 1) Umum. a) SPP dan sistem alarm kebakaran tidak boleh diletakkan dalam satu konduit, satu rak kabel atau jalur yang sama. b) Kontraktor harus menyediakan filter, trap dan pad yang sesuai untuk meminimalkan interferensi dan untuk balansing amplifier dan sitem distribusi. Item yang digunakan untuk balansing dan meminimalkan interferensi harus mampu menyalurkan bunyi, sinyal data dan kontrol dalam kecepatan dan frekuensi yang dipilih, dalam arah yang ditentukan, dengan kerugian gesek yang kecil, isolasi tinggi dan dengan perlambatan minimum dari sistem poling atau subcarrier frequency. c) Pasokan daya listrik darurat (contoh : batere, UPS) harus dipasang dalam kabinet/lemari terpisah. Kabinet/lemari ini harus disediakan dekat dengan panel kontrol SPP. d) Apabila bedside unit buatan pabrik yang digunakan, kontraktor harus meminta izin pada pengawas untuk melakukan pemasangan instalasi SPP. e) Semua peralatan harus dihubungkan sesuai spesifikasi untuk memastikan terminasi, isolasi, dan impedansinya sesuai dan terpasang dengan benar. f) Pemasangan semua peralatan untuk setiap lokasi diidentifikasi sesuai dengan gambar. g) Semua saluran utama, distribusi dan interkoneksi harus diterminasi pada kondisi dapat memfasilitasi fitur perluasan sistem. h) Semua jalur vertikal dan horizontal harus diterminasi sehingga memudahkan perluasan sistem. i) Terminasi resistor harus digunakan untuk terminasi semua cabang yang tidak digunakan. 2) Saluran (duct) Konduit dan Sinyal. a) Konduit. (i) Instalasi harus dipasang dengan cara yang benar. Ukuran diameter minimum konduit 25 mm ( 1 inci) untuk distribusi primer sinyal dan 19 mm ( 3/4 inci) untuk sambungan jauh (contoh lampu dome, tombol darurat, dan sebaginya). (ii) Semua kabel harus dipasang dalam konduit terpisah. Campuran kabel SPP dan kabel alarm kebakaran tidak dibolehkan. (iii) Isi konduit harus tidak melebihi 40%. (iv) Jalur kabel harus bebas tersambung antara sambungan konduit dan kotak interface dan lokasi peralatan. 88 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B b) Saluran (duct) sinyal, saluran (duct) kabel dan rak kabel. (i) Harus dapat menggunakan saluran (duct) sinyal, saluran (duct) kabel dan/atau rak kabel. (ii) Saluran (duct) sinyal dan/atau saluran (duct) kabel harus berukuran minimal 10 cm x 10 cm ( 4 inci x 4 inci) yang dapat dilepas tutup atas atau sampingnya. Pada sudut-sudut yang tajam harus diberi proteksi. (iii) Rak kabel sepenuhnya harus tertutup, apabila rak kabel juga digunakan untuk sirkit elektronik lainnya, harus biberi partisi. (iv) Tidak diperbolehkan menarik kabel melalui kotak. fiting atau selubung jika terjadi perubahan ukuran konduit. Radius bengkokan harus tepat. (v) Selubung kabel yang tergores tidak dapat diterima. Ujung tutup kabel yang keluar melalu lubang rangka dari lemari/kabinet, atau rak, selubung, kotak tarikan atau kotak persimpangan harus menggunakan plastik atau bahan nylon grommeting. (vi) Semua persimpangan kabel harus mudah dijangkau. Digunakan tutup kotak persimpangan dengan ukuran minimum 15 cm x 15 cm x 10 cm (6 inci x 6 inci x 4 inci) diletakkan pada saluran (duct) sinyal. 3) Kabel distribusi sinyal dari sistem. a) Kabel harus dipasang dengan cara yang praktis seperti pemasangan kabel untuk proteksi kebakaran atau sistem darurat yang teridentifikasi. Kabel harus mampu menahan kondisi lingkungan yang merugikan tanpa perubahan bentuk. Apabila pintu konsol, kabinet/lemari atau rak, dibuka atau ditutup, tidak mengganggu pemasangan kabel. b) Jalannya kabel antara peralatan SPP ke lemari/kabinet, rak , saluran (duct) kabel, saluran (duct) sinyal atau rak kabel harus dipasang dengan konduit yang terpasang pada struktur bangunan. c) Semua kabel harus terinsulasi untuk mencegah induksi sinyal atau arus yang dibawa oleh konduktor dan 100% terlindung. Pemasangan kabel harus lurus, dibentuk dan dipasang dengan ikatan yang kuat, disesuaikan dalam hubungan horizontal atau vertikal ke peralatan, kontrol, komponen atau terminator. d) Penggunaan kabel yang dipilin tidak dibolehkan. Setiap penyambungan kabel harus menggunakan terminator. e) Kabel harus dikelompokkan sesuai pelayanannya. Kabel kontrool dan kabel sinyal boleh dijadikan satu kelompok. Kabel harus dibentuk rapih dan posisinya harus tidak berubah dalam kelompok. Kabel yang menggantung tidak diperkenankan. Kabel yang ditempatkan di saluran (duct) sinyal, konduit, saluran (duct) kabel atau rak harus dibentuk rapih, diikat pada jarak antara 60 cm sampai 90 cm (24 inci sampai 36 inci), dan harus tidak berubah posisinya dalam kelompok. 89 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B f) Kabel distribusi harus dipasang dan dikencangkan tanpa menyebabkn bengkokan yang tajam dari kabel terhadap ujung yang tajam. Kabel harus dikencangkan dengan perangkat keras yang tidak akan mengganggu. g) Kabel harus diberi label dengan tanda permanen pada terminal dari elektronik dan peralatan pasif dan pada setiap persimpangan dengan huruf pada diagram rekaman. h) Pengujian lengkap kabel setelah semua instalasi dan penggantian kabel yang rusak. i) Polaritas input dan output sistem seperti direkomendasi pabrik. 4) Kotak outlet, kotak belakang dan plat muka. a) Kotak outlet. Kotak sinyal, kotak daya, kotak interface, kotak sambungan, kotak distribusi, kotak persimpangan harus disediakan seperti dipersyaratkan oleh rancangan sistem. b) Kotak belakang. Kotak belakan harus disediakan langsung dari manufaktur seperti dipersyaratkan oleh rancangan sistem yang disetujui. c) Plat muka (atau plat penutup). Plat muka harus dari jenis standar. Konektor dan jack yang muncul pada plat muka harus jelas dan ditandai permanen. 5) Konektor. Setiap konektor haru dirancang untuk ukuran kabel khusus yang digunakan dan dipasang dengan perkakas yang disetujui manufaktur. 6) Daya listrik arus bolak balik. Kabel daya listrik arus bolak balik harus berjalan terpisah dengan kabel sinyal. 7) Pembumian. a) Umum. Semua peralatan yang dipasang harus dibumikan untuk mengurangi bahaya kejutan. Total tahanan pembumian maksimal harus 0,1 Ohm. (i) Jika tidak ada netral arus bolak balik, salah satu panel daya atau kotak kontak outlet, digunakan untuk kontrol sistem, atau acuan pembumian. (ii) Menggunakan konduit, saluran (duct) sinyal atau rak kabel sebagai sistem pembumian listrik tidak dibolehkan. Item ini dapat dipakai hanya untuk pelepasan internal statik yang dibangkitkan. 90 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B b) Kabinet/lemari. Pembumian yang umum menggunakan kabel tembaga solid berukuran #10 AWG harus digunakan pada seluruh kabinet/lemari peralatan dan dihubungkan ke sitem pembumian. Perlu disediakan sambungan pembumian yang terpisah dan terisolasi dari setiap pembumian kabinet/lemari peralatan ke sistem pembumian. Jangan mengikat kabel pembumian peralatan bersama-sama. 4.3 Sistem Proteksi Petir. 4.3.1 (1) Suatu instalasi proteksi petir dapat melindungi semua bagian dari bangunan rumah 4.3.2 sakit, termasuk manusia yang ada di dalamnya, dan instalasi serta peralatan 4.3.3 lainnya terhadap bahaya sambaran petir. (2) Instalasi proteksi petir disesuaikan dengan adanya perluasan atau penambahan bangunan rumah sakit. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, pemeliharaan instalasi sistem proteksi petir mengikuti SNI 03 – 7015 – 2004, atau edisi terakhir dan Permenkes No. 2306/Menkes/per/XI/2011 tentang Persyaratan Teknis Prasarana Instalasi Elektrikal Rumah Sakit. Protektor Head Protektor Head ada 2 macam : 1. Franklin 2. Elektrostatik Konduktor 1. Konduktor biasa (menggunakan kabel DC) 2. Menggunakan kabel tri aksial Pembumian Impedansi pembumian RS yang menggunakan peralatan elektronik minimum 0,2 ohm. Pembumian untuk peralatan medik dipisahkan dari pembumian instalasi bangunan. Jenis pembumian : 1. Pembumian langsung 2. Pembumian tidak langsung 5.4 Sistem Kelistrikan Sistem instalasi listrik dan penempatannya harus mudah dioperasikan, diamati, dipelihara, tidak membahayakan, tidak mengganggu dan tidak merugikan lingkungan, bagian bangunan dan instalasi lain, serta perancangan dan pelaksanaannya harus berdasarkan Permenkes No. 2306/Menkes/per/XI/2011 tentang Persyaratan Teknis Prasarana Instalasi Elektrikal Rumah Sakit dan PUIL/SNI.04-0225 edisi terakhir dan peraturan yang berlaku. 91 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B 5.5 Sistem Penghawaan (Ventilasi) dan Pengkondisian Udara (;HVAC) Formatted: BT 0 - 10, Indent: Left: 0.98\", 5.5.1 Hanging: 0.39\", Line spacing: At least 12 pt Sistem Penghawaan (Ventilasi) No bullets or numbering 5.5.2. (1) Umum. (a) Setiap bangunan rumah sakit harus mempunyai ventilasi alami dan/atau ventilasi mekanik/buatan sesuai dengan fungsinya. (b) Bangunan rumah sakit harus mempunyai bukaan permanen, kisi-kisi pada pintu dan jendela dan/atau bukaan permanen yang dapat dibuka untuk kepentingan ventilasi alami. (2) Persyaratan Teknis (a) Jika ventilasi alami tidak mungkin dilaksanakan, maka diperlukan ventilasi mekanis seperti pada bangunan fasilitas tertentu yang memerlukan perlindungan dari udara luar dan pencemaran. (b) Pada ruang–ruang khusus seperti Ruang Isolasi, Ruang Laboratorium maupun Ruang Farmasi, diperlukan Fasilitas Pengelolaan Limbah Udara Infeksius Paparan Udara. (c) Sistem Tata Udara harus ditempatkan agar memudahkan dalam pemeriksaan dan pemeliharaan. (d) Udara segar harus dimasukkan langsung dari luar dan bukan udara yang berasal dari lobi atau koridor tertutup. (e) Untuk instalasi tata udara sentral, udara segar harus dimasukkan melalui mesin pengolah udara sentral. (f) Untuk sistem tata udara individu, seperti unit jendela dan unit split, udara segar boleh dimasukkan langsung ke dalam ruangan. (g) Tata udara untuk ruangan yang dapat menimbulkan pencemaran atau penularan penyakit ke ruangan lainnya, harus langsung dibuang ke luar. (h) Ruang operasi dan ruang perawatan penyakit menular yang berbahaya, pembuangan udaranya harus ke tempat yang tidak membahayakan lingkungan rumah sakit. (i) Ruang pengolahan bahan obat, proses foto, dan proses kimia lainnya yang dapat mencemari lingkungan, pembuangan udaranya harus melalui penyaring dan pemproses untuk menetralisir bahan yang terkandung di dalam udara buangan tsb sesuai ketentuan yang berlaku. (j) Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan sistem ventilasi alami dan mekanik/buatan pada bangunan Ruang Gawat Darurat mengikuti “Pedoman Teknis Prasarana Sistem Tata Udara pada Bangunan Rumah Sakit” yang disusun oleh Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan, Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, Tahun 2011. Sistem Pengkondisian Udara (1) Umum. (a) Untuk kenyamanan termal dalam ruang di dalam bangunan rumah sakit harus mempertimbangkan temperatur dan kelembaban udara. 92 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B (b) Untuk mendapatkan tingkat temperatur dan kelembaban udara di dalam ruangan dapat dilakukan dengan alat pengkondisian udara yang mempertimbangkan : 1) fungsi bangunan rumah sakit/ruang, jumlah pengguna, letak geografis, orientasi bangunan, volume ruang, jenis peralatan, dan penggunaan bahan bangunan; 2) kemudahan pemeliharaan dan perawatan; dan 3) prinsip-prinsip penghematan energi dan ramah lingkungan (2) Persyaratan Teknis. Untuk kenyamanan termal pada bangunan gedung harus memenuhi “Pedoman Teknis Prasarana Sistem Tata Udara pada Bangunan Rumah Sakit” yang disusun oleh Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan, Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, Tahun 2011. 5.6 Sistem Pencahayaan (1) Umum. Setiap rumah sakit untuk memenuhi persyaratan sistem pencahayaan harus mempunyai pencahayaan alami dan/atau pencahayaan buatan/ mekanik, termasuk pencahayaan darurat sesuai dengan fungsinya. (2) Persyaratan Teknis. (a) Rumah sakit tempat tinggal, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan bangunan pelayanan umum harus mempunyai bukaan untuk pencahayaan alami. (b) Pencahayaan alami harus optimal, disesuaikan dengan fungsi rumah sakit dan fungsi masing-masing ruang di dalam rumah sakit. (c) Pencahayaan buatan harus direncanakan berdasarkan tingkat iluminasi yang dipersyaratkan sesuai fungsi ruang dalam rumah sakit dengan mempertimbangkan efisiensi, penghematan energi yang digunakan, dan penempatannya tidak menimbulkan efek silau atau pantulan. (d) Pencahayaan di RS harus memenuhi standar kesehatan sesuai standar intensitas cahaya sebagai berikut : Tabel 5.6 – Tabel Indeks Pencahayaan Menurut Jenis Ruang atau Unit No. Ruang atau Unit Intensitas Cahaya Keterangan Ruang pasien (lux) Warna cahaya 1 - saat tidak tidur 100 – 200 sedang - saat tidur maks. 50 300 – 500 Warna cahaya 2 R. Operasi umum sejuk atau 10.000 – 20.000 sedang tanpa 3 Meja operasi bayangan 300 – 500 Anastesi, 75 – 100 4 pemulihan 5 Endoscopy, lab 93 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B 6 Sinar X minimal 60 Malam hari 7 Koridor Minimal 100 8 Tangga Minimal 100 Warna cahaya 9 Administrasi/kantor Minimal 100 biru 10 Ruang alat/gudang Minimal 200 11 Farmasi Minimal 200 12 Dapur Minimal 200 13 Ruang cuci Minimal 100 14 Toilet Minimal 100 R. Isolasi khusus 0,1 – 0,5 15 100 – 200 penyakit Tetanus 16 Ruang luka baker 5.7 Sistem Fasilitas Sanitasi 5.7.1 Persyaratan Sanitasi 5.7.2 Persyaratan Sanitasi Rumah Sakit dapat dilihat pada Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1204/MENKES/SK/X/2004, tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit. Persyaratan Air Bersih (1) Harus tersedia air bersih yang cukup dan memenuhi syarat kesehatan, atau dapat mengadakan pengolahan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (2) Tersedia air bersih minimal 500 lt/tempat tidur/hari. (3) Air minum dan air bersih tersedia pada setiap tempat kegiatan yang membutuhkan secara berkesinambungan. (4) Tersedia penampungan air (;reservoir) bawah atau atas. (5) Distribusi air minum dan air bersih di setipa ruangan/kamar harus menggunakan jaringan perpipaan yang mengalir dengan tekanan positif. (6) Penyediaan Fasilitas air panas dan uap terdiri atas Unit Boiler, sistem perpipaan dan kelengkapannya untuk distribusi ke daerah pelayanan. (7) Dalam rangka pengawasan kualitas air maka RS harus melakukan inspeksi terhadap sarana air minum dan air bersih minimal 1 (satu) tahun sekali. (8) Pemeriksaan kimia air minum dan atau air bersih dilakukan minimal 2 (dua) kali setahun (sekali pada musim kemarau dan sekali pada musim hujan), titik sampel yaitu pada penampungan air (;reservoir) dan keran terjauh dari reservoir. (9) Kualitas air yang digunakan di ruang khusus, seperti ruang operasi. (10) RS yang telah menggunakan air yang sudam diolah seperti dari PDAM, sumur bor dan sumber lain untuk keperluan operasi dapat melakukan pengolahan tambahan dengan cartridge filter dan dilengkapi dengan desinfeksi menggunakan ultra violet. (11) Ruang Farmasi dan Hemodialisis : yaitu terdiri dari air yang dimurnikan untuk penyiapan obat, penyiapan injeksi dan pengenceran dalam hemodialisis. (12) Tersedia air bersih untuk keperluan pemadaman kebakaran dengan mengikuti ketentuan yang berlaku. (13) Sistem Plambing air bersih/minum dan air buangan/kotor mengikuti persyaratan teknis sesuai SNI 03-6481-2000 atau edisi terbaru, Sistem Plambing 2000. 94 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B 5.7.3 Sistem Pengolahan dan Pembuangan Limbah 5.7.4 Persyaratan Pengolahan dan Pembuangan Limbah Rumah Sakit dalam bentuk padat, cair dan gas, baik limbah medis maupun non-medis dapat dilihat pada Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1204/MENKES/SK/X/2004, tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit. Persyaratan Penyaluran Air Hujan (1) Umum Sistem penyaluran air hujan harus direncanakan dan dipasang dengan mempertimbangkan ketinggian permukaan air tanah, permeabilitas tanah, dan ketersediaan jaringan drainase lingkungan/kota. (2) Persyaratan Teknis. (a) Setiap bangunan gedung dan pekarangannya harus dilengkapi dengan sistem penyaluran air hujan. (b) Kecuali untuk daerah tertentu, air hujan harus diresapkan ke dalam tanah pekarangan dan/atau dialirkan ke sumur resapan sebelum dialirkan ke jaringan drainase lingkungan/kota sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (c) Pemanfaatan air hujan diperbolehkan dengan mengikuti ketentuan yang berlaku. (d) Bila belum tersedia jaringan drainase kota ataupun sebab lain yang dapat diterima, maka penyaluran air hujan harus dilakukan dengan cara lain yang dibenarkan oleh instansi yang berwenang. (e) Sistem penyaluran air hujan harus dipelihara untuk mencegah terjadinya endapan dan penyumbatan pada saluran. (f) Pengolahan dan penyaluran air hujan mengikuti persyaratan teknis berikut: 1) SNI 03-2453-2002 atau edisi terbaru; Tata cara perencanaan sumur resapan air hujan untuk lahan pekarangan. 2) SNI 03-2459-2002 atau edisi terbaru; Spesifikasi sumur resapan air hujan untuk lahan pekarangan. 3) Tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan sistem penyaluran air hujan pada bangunan gedung. 5.8 Sistem Gas Medik dan Vakum Medik Sistem gas medik harus direncanakan dan dipasang dengan mempertimbangkan tingkat keselamatan bagi penggunanya. Ketentuan mengenai sistem gas medik dan vakum medik di rumah sakit mengikuti ”Pedoman Teknis Instalasi Gas Medik dan Vakum Medik di Rumah Sakit” yang disusun oleh Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan, Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, Tahun 2011. 95 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B 5.9 Sistem Pengendalian Terhadap Kebisingan dan Getaran (1) Kenyamanan terhadap Kebisingan (a) Kenyamanan terhadap kebisingan adalah keadaan dengan tingkat kebisingan yang tidak menimbulkan gangguan pendengaran, kesehatan, dan kenyamanan bagi seseorang dalam melakukan kegiatan. (b) Gangguan kebisingan pada bangunan gedung dapat berisiko cacat pendengaran. Untuk memproteksi gangguan tersebut perlu dirancang lingkungan akustik di tempat kegiatan dalam bangunan yang sudah ada dan bangunan baru. (c) Untuk mendapatkan tingkat kenyamanan terhadap kebisingan pada bangunan rumah sakit harus mempertimbangkan jenis kegiatan, penggunaan peralatan, dan/atau sumber bising lainnya baik yang berada pada bangunan gedung maupun di luar bangunan rumah sakit. (d) Setiap bangunan rumah sakit dan/atau kegiatan yang karena fungsinya menimbulkan dampak kebisingan terhadap lingkungannya dan/atau terhadap bangunan rumah sakit yang telah ada, harus meminimalkan kebisingan yang ditimbulkan sampai dengan tingkat yang diizinkan. (e) Untuk kenyamanan terhadap kebisingan pada bangunan rumah sakit harus dipenuhi standar tata cara perencanaan kenyamanan terhadap kebisingan pada bangunan gedung. (f) Persyaratan kebisingan untuk masing-masing ruangan/ unit dalam RS adalah sebagai berikut : Tabel 5.9 – Tabel Indeks Kebisingan Menurut Jenis Ruang atau Unit2 No. Ruang atau Unit Maksimum Kebisingan (Waktu pemaparan 8 Ruang pasien jam dan satuan dBA) 1 - saat tidak tidur 45 - saat tidur 40 2 R. Operasi umum 45 3 Anastesi, pemulihan 45 4 Endoscopy, lab 65 5 Sinar X 40 6 Koridor 40 7 Tangga 45 8 Kantor/Lobi 45 9 Ruang Alat/ Gudang 45 10 Farmasi 45 11 Dapur 78 12 Ruang Cuci 78 13 Ruang Isolasi 40 14 Ruang Poli Gigi 80 96 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B (2) Kenyamanan terhadap Getaran Kenyamanan terhadap getaran adalah suatu keadaan dengan tingkat getaran yang tidak menimbulkan gangguan bagi kesehatan dan kenyamanan seseorang dalam melakukan kegiatannya. Getaran dapat berupa getaran kejut, getaran mekanik atau seismik baik yang berasal dari penggunaan peralatan atau sumber getar lainnya baik dari dalam bangunan maupun dari luar bangunan. Tingkat kebisingan berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 48 Tahun 1996, untuk lingkungan kegiatan rumah sakit adalah 55 dB(A) 5.10 Sistem Hubungan Horisontal dalam rumah sakit. (1) Umum. (a) Kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan RS meliputi tersedianya fasilitas dan aksesibilitas yang mudah, aman, dan nyaman bagi orang yang berkebutuhan khusus, termasuk penyandang cacat. (b) Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas harus mempertimbangkan tersedianya hubungan horizontal antar ruang dalam bangunan RS, akses evakuasi, termasuk bagi penyandang cacat. (c) Kelengkapan prasarana disesuaikan dengan fungsi RS. (2) Persyaratan Teknis. (a) Setiap bangunan RS harus memenuhi persyaratan kemudahan hubungan horizontal berupa tersedianya pintu dan/atau koridor yang memadai untuk terselenggaranya fungsi bangunan RS tersebut (b) Jumlah, ukuran, dan jenis pintu, dalam suatu ruangan dipertimbangkan berdasarkan besaran ruang, fungsi ruang, dan jumlah pengguna ruang. (c) Arah bukaan daun pintu dalam suatu ruangan dipertimbangkan berdasarkan fungsi ruang dan aspek keselamatan. (d) Ukuran koridor sebagai akses horizontal antarruang dipertimbangkan berdasarkan fungsi koridor, fungsi ruang, dan jumlah pengguna. Ukuran koridor yang aksesibilitas brankar pasien minimal 2,4 m. 5.11 Sistem Hubungan (Transportasi) Vertikal dalam Rumah Sakit. (1) Umum. Setiap bangunan RS bertingkat harus menyediakan sarana hubungan vertikal antar lantai yang memadai untuk terselenggaranya fungsi bangunan RS tersebut berupa tersedianya tangga, ram dan/ lif. (2) Persyaratan Teknis. (a) Jumlah, ukuran, dan konstruksi sarana hubungan vertikal harus berdasarkan fungsi bangunan RS, luas bangunan, dan jumlah pengguna ruang, serta keselamatan pengguna gedung. (b) Setiap bangunan RS dengan ketinggian di atas lima lantai harus menyediakan sarana hubungan vertikal berupa lif. 97 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B (c) Bangunan RS umum yang fungsinya untuk kepentingan publik, baik berupa fungsi keagamaan, fungsi usaha, maupun fungsi sosial dan budaya harus menyediakan fasilitas dan kelengkapan sarana hubungan vertikal bagi orang yang berkebutuhan khusus, termasuk penyandang cacat. 5.11.1 Ramp. (1) Umum. Ramp adalah jalur sirkulasi yang memiliki bidang dengan kemiringan tertentu, sebagai alternatif bagi orang yang tidak dapat menggunakan tangga. Fungsi dapat digantikan dengan lift (fire lift) (2) Persyaratan Ramp. (1) Kemiringan suatu ramp di dalam bangunan tidak boleh melebihi 70, perhitungan kemiringan tersebut tidak termasuk awalan dan akhiran ramp (curb ramps/landing). (2) Panjang mendatar dari satu ramp (dengan kemiringan 70) tidak boleh lebih dari 900 cm. Panjang ramp dengan kemiringan yang lebih rendah dapat lebih panjang. (3) Lebar minimum dari ramp adalah 120 cm dengan tepi pengaman. (4) Muka datar (bordes) pada awalan atau akhiran dari suatu ramp harus bebas dan datar sehingga memungkinkan sekurang-kurangnya untuk memutar kursi roda dan stretcher, dengan ukuran minimum 160 cm. Gambar 5.11.1.a– Tipikal ramp 98 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Kelas B Gambar 5.11.1.b– Bentuk-bentuk ramp Gambar 5.11.1.c – Kemiringan ramp. Gambar 5.11.1.d – Pegangan rambat pada ramp. 99 Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107