Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore MAKNA IDUL FITRI DALAM KONTEKS FALSAFAH JAWA

MAKNA IDUL FITRI DALAM KONTEKS FALSAFAH JAWA

Published by RENOVASI GEREJA STASI ST YOAKIM, 2023-04-18 12:57:49

Description: MAKNA IDUL FITRI DALAM KONTEKS FALSAFAH JAWA

Search

Read the Text Version

MAKNA IDUL FITRI DALAM KONTEKS FALSAFAH JAWA MAZARDHI 1

Bagi leluhur Jawa, sejatinya puasa adalah mesu budhi babahan hawa sanga, yaitu laku menutup 9 lubang di tubuh kita. 9 lubang itu meliputi 2 lubang mata, 2 lubang hidung, 2 lubang telinga, 1 lubang mulut, 1 lubang alat kelamin, dan 1 lubang anus. Apa itu artinya? Melalui 9 lubang itulah energi hidup kita terpancar ke luar terus- menerus, yang membuat kita kehilangan banyak energi, dan pada gilirannya membuat kita cemas, takut, dan gelisah. Kecemasan, ketakutan, dan kegelisahan adalah akar dari penyakit fisik dan mental karena kita kehilangan banyak energi hidup sehingga kacaulah sistem energi dan kehidupan kita. Kita kemudian didominasi oleh sifat-sifat egoistik (suradira jayaningrat). Ketika kita mampu menutup sepenuhnya 9 lubang tubuh, kita menarik seluruh energi yang terpancar ke luar, mengistirahatkan seluruh kerja pancaindra dan pikiran, hidup dalam momen sekarang yang abadi, memasuki kolam energi tanpa batas ketika memasuki kekosongan absolut di relung hati. Kita menggulung seluruh cipta maya di dunia luar. Mengheningkan cipta. Sebagai akibatnya, sistem energi kita terpulihkan dan kita tak lagi dihinggapi kecemasan, ketakutan, dan kegelisahan. Energi kita menjadi koheren, alih-alih inkoheren. Sifat-sifat egoistik tersirnakan oleh emosi luhur cinta dan welas asih (lebur dening pangastuti). Itulah sejatinya makna puasa. Jika kita benar-benar mampu berpuasa seperti itu, 1 jam puasa saja sudah cukup untuk hidup penuh energi kebahagiaan selama 1 tahun penuh! Pertanyaannya, MAZARDHI 2

sudahkah kita mampu berpuasa dalam makna yang sesungguhnya, yaitu mesu budhi babahan hawa sanga? Dalam filosofi Jawa, ketupat mengandung berbagai makna. Ketupat atau kupat dalam bahasa Jawa merupakan kependekan dari ngaku lepat. Ngaku lepat artinya mengakui kesalahan. Dalam masyarakat Jawa, terdapat tradisi sungkeman yang merupakan implementasi ngaku lepat (mengakui kesalahan). Sungkeman merupakan implementasi dari ajaran hormat kepada orangtua, dengan bersikap rendah hati, memohon keikhlasan dan ampunan. Dalam etika Jawa, Frans Magnis Suseno menyatakan bahwa sikap hormat merupakan salah satu etika Jawa yang utama, yang merupakan pandangan hidup orang Jawa, bahwa orang hidup harus tepa selira dan menerapkan unggah-ungguh (tata krama dan sopan santun). Bentuk ketupat persegi empat mencerminkan prinsip kiblat papat lima pancer, yang bermakna ke mana pun manusia menuju, pasti selalu kembali kepada Allah. Kiblat papat diartikan sebagai empat macam nafsu manusia, yaitu • amarah nafsu emosional, • aluamah nafsu serakah, • supiah nafsu yang selalu menginginkan serba indah, • mutmainah nafsu yang terlalu mengutamakan kebajikan. MAZARDHI 3

Keempat nafsu ini ditaklukkan dengan berpuasa, lima pancer. Makna lain ketupat adalah tergambar dalam struktur ketupat yang kompleks, yang mencerminkan beragam kesalahan manusia lebur pada hari lebaran. Ketupat dibuat dari janur yang berarti sejatine nur (cahaya) yang melambangkan kondisi manusia dalam keadaan suci setelah mendapatkan pencerahan (cahaya) selama bulan Ramadan. Setelah ketupat dibuka, akan terlihat nasi putih yang mencerminkan kesucian hati setelah memohon ampunan dari segala kesalahan. Ketupat biasanya disajikan dengan kuah bersantan, yang dalam sastra Jawa dijadikan pantun atau parikan : Kupat duduhe santen, menawi lepat nyuwun pangapunten (ketupat kuahnya santan, kalau ada kesalahan mohon dimaafkan). Tradisi penyajian makanan ketupat, konon digunakan Sunan Kalijaga dalam mensyiarkan ajaran Islam di Pulau Jawa yang pada waktu itu masih banyak yang meyakini kesakralan ketupat. Asimilasi budaya dan keyakinan ini akhirnya mampu menggeser kesakralan ketupat menjadi tradisi Islam, ketupat menjadi makanan yang selalu ada pada lebaran atau Idul Fitri. MAZARDHI 4

Makna Lebaran Istilah lebaran dalam tulisan ini merujuk pada tradisi dalam masyarakat Jawa yang menyebut Hari Raya Idul Fitri dengan Lebaran. Selain kata lebaran, kata yang hampir sama bunyinya dan memiliki makna yang berdekatan adalah kata luberan, leburan, lan laburan. Lebaran bermakna usai atau selesai, menandakan selesainya waktu puasa dan menginjak hari Raya Idul Fitri. Orang Jawa menyebut dengan kata riyaya, maksudnya adalah hari besar, hari kemenangan umat Islam setelah menahan hawa nafsu dengan menunaikan ibadah puasa. Selain itu, orang Jawa juga menggunakan kata ba’- da yang bermakna sesudah atau tahapan setelah menjalankan ibadah puasa. Kata luberan bermakna meluber atau melimpah, sebagai simbol ajaran bersedekah untuk kaum yang kurang mampu. Pengeluaran zakat fitrah menjelang lebaran pun selain menjadi ritual yang wajib yang dilakukan umat Islam, juga menjadi wujud kepedulian kepada sesama manusia yang membutuhkan. Kata leburan bermakna habis dan lebur, maksudnya pada hari lebaran, dosa dan kesalahan kita telah dilebur dengan saling bersilaturahim dan saling meminta maaf. Kata laburan berasal dari kata labur atau kapur, yang biasa digunakan untuk penjernih air maupun pemutih dinding. Maksudnya supaya manusia selalu menjaga kesucian lahir dan batin. MAZARDHI 5

Berdasarkan uraian ketupat dan lebaran di atas, makna filosofi ketupat dan lebaran tidak lepas dari makna utama Idul Fitri, yaitu kembali ke kesucian, sebagaimana bayi yang baru lahir dalam keadaan suci tanpa kesalahan. Kembali fitri karena dosa-dosanya yang lalu telah diampuni oleh Allah YME dengan menjalankan ibadah puasa Ramadan beserta ibadah sunahnya. Demikian juga dosa kepada sesama juga telah dilebur dengan saling meminta maaf. SELAMAT LEBARAN TRAH DJOJOTARUNO Mohon maaf lahir & bathin MAZARDHI 6


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook