FONOLOGI BAHASA INDONESIA Dr. Ade Rahima, M.Hum. KOMUNITAS GEMULUN INDONESIA
FONOLOGI BAHASA INDONESIA Copyright © 2022 Diterbitkan oleh Komunitas Gemulun Indonesia (anggota IKAPI) Jalan Kapten Abdul Hasan, RT 26 Nomor 38A, Kecamatan Telanai Pura, Jambi. Telepon: 0823-7466-2791 Email: [email protected] Instagram: komunitasgemulunindonesia Website: Gemulun.com Penulis: Dr. Ade Rahima, M.Hum. Layout: Nafri Dwi Boy Sampul: Af-Idati Nurul Ilmi ISBN: 978-623-5279-24-4 Mei 2022 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku initanpa izin tertulis dari penerbit.
PRAKATA Fonologi sebagai salah satu cabang ilmu linguistik telah dijadikan mata kuliah wajib bagi mahasiswa jurusan Bahasa dan Seni, khususnya Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah di FKIP Unbari Jambi. Mata kuliah ini berikan pada Mahasiswa Smester II. Berdasarkan pengamatan penulis sebagai dosen pengampuh, bidang ini relatif baru bagi mahasiswa. Walaupun buku-buku yang berhubungan dengan mata kuliah ini sudah sudah banyak ditulis dan diterbitkan, namun sampai saat ini, buku-buku tersebut masih sulit diperoleh mahasiswa karena berbagai alasan. Oleh karena itu, penulis sebagai dosen pengampuh mata kuliah ini berupaya membuat sebuah buku ajar yang dapat dijadikan panduan oleh mahasiswa yang mengambil mata kuliah Fonologi dengan judul “FONOLOGI BAHASA INDONESIA”. Hal ini, penulis lakukan untuk menghindari metode pengajaran yang monoton dari dosen ke mahasiswa. Karena dengan adanya buku ini, diharapkan mahasiswa dapat berdiskusi dan punya dasar ilmu dalam mengikuti mata kuliah tersebut. Buku ini direncanakan untuk dipakai dalam pengajaran mata kulia Fonologi yang diajarkan minimal 22 kali pertemuan. Secara umum, isi buku ini merupakan rangkuman dari pemikiran para ahli tentang Fonologi Bahasa Indonesia . Karena itu, banyak bagian dari buku ini yang berisi pendapat para ahli yang tidak dapat disebutkan i
namanya satu-satu. Namun ide dan gagasan pakar tersebut dikutip sesuai ketentuan ilmiah dan disesuaikan dengan kurikulum dan kebutuhan Mahasiswa sebagai calon guru Bahasa dan Sastra Indonesia. Penulis mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak, khususnya kepada teman sejawat penulis yang telah banyak memberikan dorongan dalam menyusun naskah buku ini. Selain itu, penghargaan danterimakasih penulis sampaikan kepada segenap keluarga,, terutama kepada suami dan anak penulis atas kesabaran dan bantuan mereka dalam berbagai bentuk. Akhirnya, sebagai manusia tidak luput dari kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran terhadap buku ini sangat penulis harapkan. Dengan kritik dan saran dari teman sejawat dan para pembac, mudah-mudahan kesalahan dan kekurangan tersebut dapat disempurnakan. Jambi, 12 April 2009 Penulis, ii
DAFTAR ISI halaman PRAKATA ................................................................................. i DAFTAR ISI ............................................................................. iii BAB I BAHASA SEBAGAI OBJEK KAJIAN LINGUISTIK 1.1 Hakikat Bahasa ............................................................ 1 1.2 Fonologi sebagai Kajian Linguistik ............................ 4 BAB II FONOLOGI 2.1 Pengertian Fonologi dan Ruang Lingkup Kajiannya .......................................... 6 2.2 Manfaat Kajian Fonologi dalam Tataran Linguistik ............................................ 7 BAB III KONSEP DASAR FONOLOGI 3.1 Pengertian Fonologi ................................................... 11 3.2 Beberapa Istilah dalam Fonologi ................................ 12 3.2.1 Fonem, Alofonem, Graf, dan Grafem ................... 12 3.2.2 Gugus, Diftong, dan Fonotaktik ........................... 14 3.2.3 Aksara dan Ejaan .................................................. 16 BAB IV FONETIK 4.1 Bunyi Bahasa .............................................................. 14 4.2 Pembidangan Fonetik ................................................. 18 4.3 Alat-alat Ucap atau Artikulator .................................. 19 4.4 Klasifikasi Bunyi Bahasa ........................................... 22 4.4.1 Konsonan dalam Bahasa Indonesia ...................... 24 4.4.2 Alofon Konsonan .................................................. 34 4.5 Vokal dalam Bahasa Indonesia .................................. 40 4.5.1 Alofon Vokal ........................................................ 44 4.5.2 Diftong .................................................................. 49 BAB V FONEMIK 5.1 Fonem Segmental ....................................................... 51 iii
5.2 Fonem Suprasegmental .............................................. 52 5.3 Peranan Ciri Suprasegmental ..................................... 58 BAB VI SUKU KATA/SILABE 6.1 Pengertian Suku Kata ................................................. 59 6.2 Batas Suku Kata ......................................................... 61 6.3 Struktur Kata dalam Kata ........................................... 63 6.4 Pemenggalan Kata ...................................................... 64 BAB VII AKSARA DAN EJAAN 7.1 Pengertian Aksara ...................................................... 69 7.2 Aksara dalam Sistem Bahasa ..................................... 70 7.3 Hakikat Ejaan ............................................................. 74 7.3.1 Ejaan di Indonesia ................................................ 75 7.3.2 Ejaan Bahasa Indonesia ........................................ 79 7.4 Ejaan di Luar Indonesia .............................................. 84 BAB VIII MASALAH KETIDAKLANCARAN BERBICARA DARI SUDUT PANDANG FONETIK 8.1 Pengertian dan Faktor Penyebabnya .......................... 86 8.2 Bentuk-bentuk Ketidaklancaran Berbicara ................ 87 8.2.1 Bentuk-bentuk Ketidaklancaran Berbicara ........... 87 8.2.2 Kelumpuhan Saraf Otak (Cerehol Palsied) .......... 89 8.2.3 Belahan Langit-langit Mulut (Cleft Palate) .......... 90 8.2.4 Rusak Pendengaran (Hearing Impaired) .............. 92 DAFTAR PUSTAKA ............................................................... 93 iv
BAB I BAHASA SEBAGAI OBJEK KAJIAN LINGUISTIK 1.1 Hakikat Bahasa Kata bahasa sering dipergunakan masyarakat dalam berbagai konteks dan bermacam makna. Pernando dan Rahima (2017:2) pemanfaatan potensi bahasa sebagai alat komunikasi, dapat dilihat dalam berbagai aspek kehidupan kita di antaranya, dalam dunia pendidikan, pemerintahan, sosial ekonomi, dan media massa. Melalui bahasa, manusia dapat berkomunikasi dengan mudah seperti bertukar pikiran, mengemukakan ide dan gagasan. Lebih lanjut menurut Rahima (2019:2) kebiasaan berkomunikasi dalam suatu masyarat mempunyai ciri khas tertentu. Oleh karena itu, kita dapat mengetahui asal suku bangsa suatu masyarakat melalui bahasa yang digunakan. Konsep bahasa merupakan sistem tanda bunyi yang disepakati untuk digunakan oleh anggota kelompok masyarakat tertentu dalam bekerjasama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri (Kridalaksana, 2005:3). Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa bahasa memiliki sistem tanda dan bunyi yang disepakati sekolompok masyarakat. Sistem tanda atau lambang bunyi tersebut berfungsi sebagai alat komunikasi, bekerjasama, dan mengidentifikasi diri mempunyai ciri-ciri umum dan khusus. Ciri-ciri bahasa itu dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut. 1
a. Bahasa itu bersistem dan sistematis Bahasa sebagai sebuah sistem mempunyai beberapa unsur yang tersusun teratur dan bekerjasama untuk mewujudkan sebuah tujuan. unsur itu antara lain adalah : bunyi, bentuk, makna, fungsi, struktur, proses dan lain-lain. Menurut Kridalaksana (2005:3), bahwa bahasa adalah sebuah sistem mengandung arti bahwa: Bahasa bukanlah sejumlah unsur yang terkumpul secara tidak beraturan. Seperti halnya sistem-sistem lain, unsur-unsur bahasa diatur seperti pola-pola yang berulang hingga kalau hanya salah satu bagian yang tidak tampak dapat diramalkan dan banyangkan keseluruhan ujarannya. Misalnya : pergi .... Surabaya. atau dirawat .... rumah sakit Bahasa adalah sistem bunyi ujar sudah disadari oleh para linguistik. Oleh Karena itu, objek utama kajian linguistic adalah bahasa lisan, yaitu bahasa dalam bentuk bunyi ujar. Oleh karena itu, dalam penelitian linguistik ragam bahasa tulis, dianggap sebagai bahasa sekunder, yaitu “rekaman” dari bahasa lisan. b. Bahasa itu lambang bunyi Lambang atau simbol adalah : satuan bahasa dari yang terendah sampai yang tertinggi sedangkan bahasa adalah lambang bunyi yang berupa satuan fonem, morfem, kata, frase, klausa, kalimat dan wacana yang mengacu pada suatu pengertian, konsep, ide atau fikiran. 2
c. Bahasa itu arbiter Artinya bunyi tidak ada hubungan wajib dengan konsep, ide atau pengertian yang dikandungnya. d. Bahasa itu bermakna Satuan bunyi berbentuk lambang seperti morfem, kata, frase, klausa, dan wacana yang mengacu pada pengertian, konsep, ide dan lain-lain. Baik yang mempunyai reveren, rujukan konkrit, abstrak, ataupun tidak, karena digunakan secara fungsional untuk berkomunikasi dan mengidentifikasikan diri. e. Bahasa itu konvensional Dalam hal berkomunikasi, dalam masyarakat tentu sudah ada kesepakatan atau konvensi agar tidak terjadi kesalahpahaman mengenai pengertian dan makna. Dengan kata lain suatu proses berkomunikasi dalam suatu kelompok akan dapat berjalan dengan lancar apabila mematuhi konvensi, keterkaitan antara pengguna bunyi dengan konsep, ide, pengertian dan lain-lain. d. Bahasa itu unik Keunikan dari bahasa yaitu: mempunyai ciri khas yang spesifik mengenai seluruh tatanan kebahasaan, keunikan lain yaitu pada struktur dalaman, nada, tekanan, intonasi, jeda dan makna e. Bahasa itu bervariasi Dalam anggota kelompok masyarakat, bahasa mempunyai perbedaan, karena adanya perbedaan dari pada tingkat pendidikan, status sosial, tempat tinggal, letak geografis, umur, frofesi, keahlian, 3
latar belakang budaya dan lain-lain itulah yang menjadi penyebab timbulnya variasi-variasi dalam penggunaan bahasa f. Bahasa itu produktif Walaupun jumlah unsur bahasa terbatas, namun dapat dibuat satuan baru yang relatif tak terbatas, contoh : dengan jutaan kosa kata yang terdapat dalam sebuah kamus, secara produktif dapat dibuat kalimat-kalimat yang dapat dibilang tak terbatas. g. Bahasa itu alat komunikasi Di negara Indonesia terdapat banyak ragam suku atau kelompok sosial, dan apabila mereka ingin berkomunikasi maka mereka akan menggunakan bahasa sebagai alat perantara komunikasi mereka, karena bahasalah yang paling utama yang dapat mereka gunakan dalam suatu aktivitas komunikasi. h. Bahasa itu bersifat universal Keuniversalan bahasa itu yaitu mempunyai satuan ujaran, mempunyai vokal dan konsonan, merupakan alat utama dalam berkomunikasi dalam suatu kelompok dan bahasa itu berstruktur. 1.2 Fonologi sebagai Kajian Linguistik Istilah Fonologi yang dipakai dalam buku ini berasal dari bahasa Inggris yakni dari kata “phonology”. Di Amerika dahulu istilah ini sama dengan “phonemics” dan sekarang lebih sering disebut phonology yakni bidang khusus dalam linguistics yang mengamati bunyi-bunyi bahasa tertentu menurut fungsinya untuk membedakan makna leksikal yang dibedakan dengan fonetik. Di Eropa di samping fonemik terdapat pula fonetik (lihat Verhaar, 4
1981:36). Oleh karena itu, di Amerika terdapat fonetik dan fonologi, sedangkan di Eropa di samping fonemik terdapat pula fonetik. Namun bagi kebanyakan ahli bahasa sekarang ini, fonetik dianggap termasuk dalam fonologi, sehingga kedua taraf sistem bunyi itu baik fonetik maupun fonemik dikaji dalam tataran Fonologi Perbedaan antara fonetik dengan fonemik terlihat dari kajiannya tentang bunyi bahasa. Fonetik adalah ilmu yang mempelajari bunyi-bunyi bahasa tanpa memperhatikan fungsinya untuk membedakan makna. Sedang Fonemik khusus mengkaji bunyi-bunyi bahasa tertentu menurut fungsinya untuk membedakan makna (Verhaar, 1981:12; lihat juga, Pateda, 1981:2). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup kajian fonologi mencakup fonetik dan fonemik, dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBBI) disebut dengan Tata Bunyi. Selanjutnya kedua bidang fonologi ini akan dibahas secara terpisah. Ruang lingkup pembahasan bidang Fonologi dalam buku mencup beberapa aspek yaitu: 1) Pengertian fonologi dan ruang lingkup kajiannya. 2) Manfaat kajian fonologi untuk kajian linguistik 3) proses terjadinya bunyi bahasa, 4) klasifikasi bunyi, 5) fonemik, 6) fonem, 7) distribusi fonem, tata fonem, 8) ejaan Bahasa Indonesia 9) kaidah EYD dalam 10) berbagai analisis fonologi. 5
BAB II FONOLOGI 2.1 Pengertian Fonologi dan Ruang Lingkup Kajiannya Berdasarkan penegertian bahasa yang sudah kita pelajari dalam mata kuliah Pengantar Linguistik umum, kita sepakat bahwa bahasa adalah seperangkat bunyi ujar.yang bersistem. Objek utama kajian linguistik adalah bahasa lisan (parole) (Verhaar 1989:3). Namun, bila dalam praktik bcrbahasa dijumpai ragam bahasa tulis, maka ia dianggap sebagai bahasa sekunder, yaitu bahasa kedua yang merupakan rekaman dari bahasa lisan. Dengan demikian, bahasa tulis bukan menjadi sasaran utama kajian linguistik. Dengan demikian, Konsekuensi logis dari anggapan ini didasari oleh keyakinan bahwa dasar analisis cabang-cabang linguistik apa pun mulai dari tataran fonologi dan lainnya mengacu pada korpus data yang bersumber dari bahasa lisan, walaupun yang dikaji sesuai dengan konsentrasinya masing-masing. Dari sini dapat dipahami bahwa material bahasa adalah bunyi-bunyi ujar. Kajian mendalam tentang bunyi-bunyi ujar ini diselediki oleh cabang linguistik yang disebut fonologi. Kajian fonologi, tentang bunyi-bunyi ujar ini dapat dipelajari dengan dua sudut pandang. Pertama, kajian bunyi,-bunyi ujar dipandang sebagai media bahasa semata tidak dilihat fungsinya untuk membedakan 6
bentuk dan makna. Fonologi yang memandang bunyi-bunyi, ujar demikian lazim disebut fonetik. Kedua, bunyi-bunyi ujar dipandang sebagai bagian dari sistem bahasa. Bunyi-bunyi, ujar merupakan unsur-unsur bahasa terkecil yang merupakan bagian dari struktur kata dan yang sekaligus berfungsi untuk membedakan makna. Fonologi yang memandang bunyi-bunyi ujar itu sebagai bagian dari sistem bahasa lazim disebut fonemik. Dari dua sudut pandang tentang bunyi ujar tersebut dapat disimpulkan bahwa fonologi mempunyai dua cabang kajian, yaitu (1) fonetik, dan (2) fonemik. Secara lebih rinci, kedua cabang kajian fonologi akan kita bahas pada bagian tersendiri. 2.2 Manfaat Kajian Fonologi dalam Tataran Linguistik Sebagai bidang yang berkonsentrasi dalam deskripsi dan analisis bunyi-bunyi ujar, hasil kerja fonologi berguna bahkan sering dimanfaatkan oleh cabang-cabang linguistik yang lain, baik linguistik teoretis maupun terapan. Misalnya pada linguistik teoritis seperti morfologi, sintaksis, semantik, leksikologi, dialektologi. Sedangkan pada linguistik terapan mencakup bidang, pengajaran bahasa, dan psikolinguistik, serta sosiolinguistik.. Bidang morfologi, yang konsentrasi analisisnya pada tataran struktur internal kata (mulal dari perilaku kata, proses pcmbentukan kata, sampal dengan nosi yang timbul akibat pcmbentukan kata) scring memanfaatkan hasil studi fonologi. Kctika ingin menjelaskan, 7
mengapa morfem dasar : pukul,' diucapkan secara bervariasi antara [pukUl] dan [pUkUl], serta diucapkan [pukulan] setelah mendapatkan proses morfologis dengan penambahan morfem sufiks {-an}, praktis \"minta bantuan\" hasil studi fonologi. Begitu juga, mengapa morfem prefiks {ma)N-} ketika bergabung dengan morfem dasar (baca), (daki), (garap), (jerit) menjadi [mombaca], [mondaki), [mongarap'], dan [mojerit], Jawabannya juga memanfaatkan hasil studi fonologi. (Muslich, 2010: 2). Dengan demikian, jelaslah untuk mengkaji morfologi dan variasi perubahan bunyi akibat perubahan bentuk diperlu kajian fonologi. Bidang sintaksis, yang konsentrasi analisisnya pada tataran kalimat ketika berhadapan dengan kalimat Kamu di sini. (kalimat berita), Kamu di sini? (kalimat tanya), dan Kamu di sini! (kalimat seru/perintah) yang ketiganya mempunyai maksud yang berbeda, pada hal masing-masing terdiri atas tiga kata yang sama. Perbedaan tersebut bisa dijelaskan dengan memanfaatkan hasil analisis fonologi, yaitu tentang intonasi. Begitu juga, persoalan jeda dan tekanan pada kalimat, yang ternyata bisa membedakan maksud kalimat, terutama dalam bahasa Indonesia. . (Muslich, 2008:3). Bidang semantik, yang berkonsentrasi pada persoalan makna kata pun tidakiarang memanfaatkan hasil telaah fonologi. Kapan sebuah kata bisa divariasikan ucapannya, dan kapan tidak. Mengapa kata tabu dan teras kalau diucapkan secara bervariasi[tabu], dan, Iteras], dan [taras] akan bermakna lain, sedangkan kata duduk dan bidik ketika diucapkan secara bervariasi [dudU?], dUdU?], [bidi?], 8
[bidI?] tidak membedakan makna?. Hal ini juga, dijelaskan dari hasil analisis fonologislah . Bidang leksikologi, juga leksokografi, yang bcrkonsentrasi pada persoalan perbendaharaan kata suatu bahasa, baik dalam rangka penyusunan kamus maupun tidak, sering memanfaatkan hasil kajian fonologi. Cara-cara pengucapan yang khas suatu kata clan variasi pengucapan hanya bisa dideskripsikan secara cermat lewat transkripsi fonetis. Bidang dialektologi, yang bermaksud memetakan \"wilayah\" pemakaian dialek atau variasi bahasa tertentu sering memanfaatkan hasil kajian fonologi, terutama variasi-variasi ucapan pemakaian bahasa, baik secara sosial maupun geografis. Variasi-variasi ucapan hanya bisa dijelaskan dengan tepat kalau memanfaatkan hasil analisis fonologi. Begitu juga pada bidang linguistik terapan. Pengajaran bahasa (khususnya pengajaran bahasa kedua dan pengajaran bahasa asing) yang bertujuan keterampilan berbahasa lisan harus melatihkan cara-cara pengucapan bunyi-bunyi bahasa target kepada pembelajar (the learner). Cara-cara pengucapan ini akan lebih tepat dan cepat bisa dikuasai kalau pembelajar ditunjukkan ciri-ciri artikulasi dan cara-cara pengucapan setiap bunyi yang dilatihkan dengan memanfaatkan hasil kajian fonologi. Psikolinguistik ketika menganalisis perkembangan penguasaan bunyibunyi bahasa pada diri anak juga memanfaatkan basil kajian fonologi. Mengapa bunyi-bunyi bilabial dikuasai lebih 9
dahulu daripada bunyi-bunyi labiodental, mengapa bunyi lateral dikuasai lebih dahulu daripada bunyi tril, mengapa bunyi vokal rendah-depan dikuasai lebih dahulu dari pada vokal tinggi-belakang, bisa dijelaskan dengan gamblang lewat analisis fonetik artikulatoris. Selain itu, penyusunan Ejaan pun memanfaatkan kajaian fonologi. Karena Ejaan merupakan peraturan penggambaran atau pelambangan bunyi ujar suatu bahasa. Bunyi ujar dapat dibedakan atas 2 unsur, yaitu segmental dan suprasegmental, maka ejaan pun menggambarkan atau melambangkan kedua unsur bunyi ujar tersebut. Perlambangan unsur segmental bunyi ujar tidak hanya bagaimana melambangkan bunyi-bunyi ujar dalam bentuk tulisan atau huruf, tetapi juga bagaimana menuliskan bunyi-bunyi ujar dalam bentuk kata, frase, klausa, dan kalimat, bagaimana memenggal suku kata, bagaimana menuliskan singkatan, nama orang, lambang- lambang teknis keilmuan, dan sebagainya. Perlambangan unsur suprasegmental bunyi ujar menyangkut bagaimana melambangkan tekanan, nada, durasi, jeda, dan intonasi. Perlambangan unsur suprasegmental ini dikenal dengan istilah tanda baca atau pungtuasi. Tata cara penulisan bunyi ujar (baik segmental maupun suprasegmental) ini bisa memanfaatkan hasil kajian fonologi, terutama basil kajian fonemik terhadap bahasa yang bersangkutan. Sebagai contoh, ejaan bahasa Indonesia yang selama ini telah diterapkan dalam penulisan memanfaatkan hasil studi fonologi bahasa Indonesia, terutama yang berkaitan dengan pelambangan fonem. Oleh karena itu, ejaan bahasa Indonesia dikenal dengan istilah ejaan fonemis. 10
BAB III KONSEP DASAR FONOLOGI 3.1 Pengertian Fonologi Istilah Fonologi yang kita pakai berasal dari bahasa Inggris yakni dari kata “phonology”. Di Amerika dahulu istilah ini sama dengan “phonemics” dan sekarang lebih sering disebut phonology yakni bidang khusus dalam linguistics yang mengamati bunyi-bunyi bahasa tertentu menurut fungsinya untuk membedakan makna leksikal yang dibedakan dengan fonetik. Di Eropa di samping fonemik terdapat pula fonetik (lihat Verhaar, 1981:36). Oleh karena itu, di Amerika terdapat fonetik dan fonologi, sedangkan di Eropa di samping fonemik terdapat pula fonetik. Namun bagi kebanyakan ahli bahasa sekarang ini, fonetik dianggap termasuk dalam fonologi, sehingga kedua taraf sistem bunyi itu baik fonetik maupun fonemik dikaji dalam tataran Fonologi Perbedaan antara fonetik dengan fonemik terlihat dari kajiannya tentang bunyi bahasa. Fonetik adalah ilmu yang mempelajari bunyi-bunyi bahasa tanpa memperhatikan fungsinya untuk membedakan makna. Sedang Fonemik khusus mengkaji bunyi-bunyi bahasa tertentu menurut fungsinya untuk membedakan makna (Verhaar, 2016:12; lihat juga, Pateda, 1981:2). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup kajian fonologi mencakup fonetik dan fonemik, dalam Tata Bahasa Baku Bahasa 11
Indonesia (TBBBI) disebut dengan Tata Bunyi. (lihat Alwi, dkk, 2009) 3.2 Beberapa Istilah dalam Fonologi Beberapa pengertian dan istilah mengenai Tata Bunyi atau fonologi yang bersifat umum mencakup (a) fonem, alofonem, dan grafem, (b) gugus dan diftong, serta (c) fonotatik. Masing-masing istilah tersebut perlu dijelaskan secara rinci, supaya ada persamaan persepsi antara penulis dan pembaca. 3.2.1 Fonem, Alofonem, Graf dan Grafem Getaran udara yang masuk ketelinga dapat berupa bunyi atau suara. Getaran yang disebut bunyi itu dapat terjadi karena dua benda atau lebih bergeseran atau berbenturan. Gitar yang sedang dimainkan, atau piring yang jatuh kelantai menimbulkan bunyi yang dapat didengan oleh telinga manusia. Selain.. itu, bunyi sebagai getaran udara dapat pula merupakan hasil yang dibuat oleh alat ucap manusia seperti pita suara, lidah, dan bibir. Bunyi bahasa dibuat oleh manusia untuk mengungkapkan sesuatu. Bunyi ini dapat terwujud dalam nyaian atau dalam tuturan. Bunyi tersebutlah yang disebut bunyi bahasa. Kajian bunyi di dalam tata bahasa selalu mendasari kajian tulisan atau tata aksara yang tidak selalu di miliki bahasa manusia. Oleh sebab itu, tiap bahasa diwujudkan oleh bunyi. Namun, bukan semua bunyi yang menjadi perhatian ahli bahasa. Perhatian ahli 12
bahasa hanya terkait dengan bunyi bahasa yaitu bunyi yang dihasilkan olehn alat ucap manusia dan berperan dalam bahasa. Di antara bunyi-bunyi itu, ada yang sangat berbeda kedengarannya dan ada yang mirip. Bunyi bahasa yang minimal yang membedakan bentuk dan makna disebut Fonem. Dalam ilmu bahasa fonem ditulis di antara dua garis miring: /…/. Jadi, dalam Bahasa Indonesia /p/ dan /b/ adalah dua fonem karena kedua bunyi itu membedakan bentuk dan makna. Contoh: pola -- /pola/ : bola -- /bola/ parang -- /paraŋ/ : barang -- /baraŋ/ peras -- /paras/ : beras -- /baras/ Pelafalan fonem dalam suatu bahasa tergantung pada tempat fonem tersebut dalam kata atau suku kata. Dalam bahasa Indonesia, misalnya fonem /p/ dapat mempunayi dua macam lafal. Bila berada pada awal kata atau suku kata , fonem itu dilafalkan secara lepas. Pada kata /pola/, fonem /p/ diucapkan secara lepas kemudian diikuti oleh fonem /o/. Tetapi bila berada diakhir kata, fonem /p/ tidak diucapkan secara lepas, misalnya /suap/, /atap/, /katup/. Dengan demikian, fonem /p/ dalam bahasa Indonesia mempunyai dua variasi. Variasi sebuah fonem yang tidak membedakan bentuk dan arti kata disebut Alofon. Alofon dituliskan di antara dua kurung siku [ - ]. Kalau [p] yang lepas kita tandai dengan [p] saja sedangkan /p/ yang tidak lepas atau tertutup kita tandai [p>] maka kita dapat mengatakan bahwa dalam bahasa Indonesia fonem /p/ mempunyai dua alofon yaitu [p] dan [ p>] (Alwi, dkk; 1993: 27). 13
Kalau kita berbicara tentang fonem, kita mengacu ke kosep bunyi; sedangkan kalau kita membicarakan Grafem berarti membicarakan tentang huruf. Istilah lain yang juga lazim dalam lingusitik ialah graf dan grafem. Yang dimaksud dengan graf ialah satuan terkecil dalam aksara yang belum ditentukan statusnya, ‘ sedangkan grafem ialah satuan terkecil dalam aksara yang menggambarkan fonem, suku kata, atau morfem, bergantung pada sistem tulisan dari bahasa yang bersangkutan. Oleh karena itu, perlu dibedakan antara fonem dan grafem meskipun seringkali representasi tertulis kedua konsep ini sama. Misalnya untuk menyatakan benda yang kita pakai untuk duduk, kita menulis kata kursi dan mengucapkannyapun /kursi/ dari segi grafem ada lima satuan. Akan tetapi , hubungan satu lawan satu seperti itu tidak selalu kita temukan. Grafem ,<e>, misalnya, dapat mewakili fonem /e/ seperti pada kata sore dan /a/ seperti pada kata besar. Sebaliknya, fonem /f/ bisa pula dinyatakan dengan dua grafem yang berbeda : fajar dan visa. Selanjutnya dibahas dalam bab v yakni tentang Aksara dalam Sistem bahasa. 3.2.2 Gugus, Diftong, dan Fonotaktik Pengertian dasar mengenai gugus dan diftong adalah sama, hanya saja gugus berkaitan dengan konsonan sedangkan diftong dengan vokal. Gugus adalah gabungan dua konsonan atau lebih yang termasuk dalam satu suku kata yang sama. Dengan demikian, jika gabungan konson itu termasuk kedalam dua suku kata, maka gabungan itu tidak dinamakan gugus. 14
Contohnya; /kl/ dan /kr/ dalam /klinik/ dan /pokrol/ ada gugus sedangkan pada /maklum/ dan /takrif/ bukan gugus kararena /kl/ dan /kr/ masing-masing masuk dalam satu suku kata, yaitu /kli/ dan /krol/. Sebaliknya /kl/ dan /pr/ dalam kata maklum dan takrif bukan gugus karena pemisahan suku katanya /mak-lum/ dan /tak-rif/. Gabunga /mp/ dan /rc/ dalam bahasa Indonesia juga bukan gugus karena /m/ dan /p/ serta /r/ dan /c/ selalu termasuk pada suku kata yang berbeda. Diftong merupakan gabungan bunyi dalam satu suku kata, tetapi yang digabungkan adalah vokal dengan bunyi /w/ atau /y/. Jadi, /aw/ pada /kalau/ dan /bangau/ (untuk kata kalau dan bangau adalah diftong. Namun /au/ pada /mau/ dan /bau/ bukanlah diftong karena bukan satu suku kata. Dalam bahasa lisan kata, umumnya terdiri atas rentetan bunyi yang satu mengikuti yang lain. Bunyi-bunyi itu mewakili serangkaian fonem serta alofonnya. Rangkaian fonem itu tidak bersifat acak tetapi mengikuti kaidah tertentu. Fonem apa yang dapat mengikuti fonem yang mana ditentukan oleh konvensi yang ada dalam masyarakat penutur bahasa tertentu. Kaidah yang mengatur penjejeran fonem dalam satu morfem disebut kaidah fonotaktik. Bahasa Indonesia, misalnya mengizinkan jejeran seperti /-nt- / (untuk), /-rs /bersih. / -st/pasti. Tetapi tidak mengizinkan jejeran seperti /-pk-/ dan /-pd/. Oleh karena itu, singkatan, terutama dalam bentuk akronim, hendaknya serasi dengan kaidah fonotatik. 15
3.2.3 Aksara dan Ejaan Peranti bahasa tulis adalah aksara atau sistem tulisan. Aksara terdiri dari unsur yang berwujud huruf seperti bahasa Indonesia, bahasa Inggris atau karakter seperti bahasa Mandarin. Aksara digunakan untuk menggambarkan unsur-unsur wicara secara tertulis tetapi tidak ada aksara yang dapat menggambarkan wicara secara sempurna Ejaan adalah ‘kaidah’ tulis menulis baku yang didasarkan pada penggambaran bunyi. Ejaan tidak hanya mengatur cara menulis huruf, tetapi juga cara menulis kata dan cara menggunakan tanda baca. Hal ini akan dibahas pada bab terakhir buku ini. 16
BAB IV FONETIK 4.1 Bunyi Bahasa Secara umum manusia berkomunikasi melalui bahasa dengan cara menulis atau berbicara. Kalau komunikasi itu dilakukan dengan tulisan, tidak ada alat ucap yang ikut terlibat di dalamnya. Sebaliknya, kalau komunikasi tersebut dilakukan secara lisan, maka alat ucap memegang peranan yang sangat penting. Dalam pembentukan bunyi bahasa ada tiga faktor utama yang terlibat yaitu: 1) Sumber tenaga 2) Alat ucap yang menimbulkan getaran 3) Rongga pengubah getaran (Alwi, dkk; 1993:47). Proses pembentukan bunyi bahasa dimulai dengan memanfaatkan pernapasan sebagai sumber tenaganya. Pada saat kita mengeluarkan napas, paru-paru kita menghembuskan tenaga yang berupa arus udara. Arus udara itu dapat mengalami perubahan pada pita suara yang terletak pada pangkal tenggorokan. Arus udara dari paru-paru itu dapat membuka kedua pita suara yang merapat sehingga mengakibatkan corak bunyi bahasa tertentu. Gerakan membuka dan menutup pita suara itu menyebabkan arus udara dan udara disekitar pita suara itu berubah tekanannya atau bergetar. Perubahan bentuk saluran suara yang terdiri atas rongga faring, rongga mulut, dan rungga hidung menghasilkan bunyi bahasa 1174
yang berbeda-beda. rongga hidung atau lewat rongga mulut dan rongga hidung. Bunyi bahasa yang arus udaranya keluar melalui mulut disebut bunyi oral; bunyi bahasa yang arus udaranya keluar dari hidung disebut bunyi sengau atau bunyi nasal. Bunyi bahasa yang arus udaranya sebagian keluar melalui mulut dan sebagian keluar dari hidung disebut bunyi yang disengaukan atau dinasalisasi. 4.2 Pembidangan Fonetik Fonetik atau ilmu yang menyelidiki bunyi sebagaimana yang terdapat dalam parole atau ujaran. Ilmu fonetiklah yang merumuskan bahwa bunyi [d] dalam Bahasa Indonesia tidak mempunyai aspirasi yang agak keras pada ucapan orang yang berbahasa Jawa, dan tidak begitu keras atau sama sekali tidak keras pada ucapan penutur bahasa daerah lain. Perbedaan ucapan tersebut tidak “fungsionil” dalam bahasa Indonesia, jadi tidak termasuk dalam fonemik, melainkan termasuk fonetik. Demikian pula bunyi [t] pada kata: top; dan stop dalam B. Inggris, perbedaan tersebut tidak “fungsionil”, maka tidak termasuk dalam fonologi, melainkan dalam fonetik saja. Fonetik menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut perbedaan bunyi tanpa memperhatikan segi “fungsionil” dari perbedaan tersebut, sedangkan fonemik menyelidiki bunyi bahasa menurut fungsinya yang membedakan bentuk dan makna. Bunyi bahasa yang dihasilkan oleh manusia dapat dipelajari melalui berbagai cabang fonetik 18
Cabang-cabang fonetik ada 3 yaitu: 1) Fonetik akustis menyelidiki bunyi bahasa menurut aspek-aspek fisisnya sebagai getaran udara. Apabila kita memetik gitar misalnya, maka tali gitar (senar) akan bergetar, sehingga menyebabkan udara bergetar pula, dan terjadilah bunyi yang dapat kita dengar. Demikian pula halnya dengan bunyi bahasa, yang dihasilkan dengan alat-alat bicara. Untuk fonetik akustis dalam penyelidikan tersebut dapat dikerjakan hanya dalam laboratorium fonetis. 2) Fonetik auditoris adalah penyelidikan menganai cara penerimaan bunyi-bunyi bahasa oleh telinga. Fonetik auditoris tidak banyak dikerjakan dalam hubungan dengan lingguistik, buku-buku standar mengenai lingguistik juga sedikit sekali menguraikan mengenai fonetik auditoris itu, dan keahlian yang dituntut sebenarnya adalah keahlian dalam ilmu kedokteran. 3) Fonetik Artiku- latoris/ organis menyelidiki bagaimana bunyi-bunyi bahasa dihasilkan dengan alat-alat bicara (organs of speech). Dengan demikian, bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dapat dipelajari melalui cabang fonetik artikulatoris. Dalam hal ini, bahasa dipelajari berdasarkan cara bunyi-bunyitersebut dihasilkan oleh alat-alat ucap yang ada didalam tubuh manusia. 4.3 Alat-Alat Ucap atau Artikulator Masalah pertama yang dijelaskan dalam fonetik Organis adalah alat ucap manusia atau artikulator.Untuk memahami peralatan ucap manusia secara mengesankan, sebuah bagan sangatlah 19
membantu, bagan itu adalah belahan sisi kepala manusia yang menghadap kekiri, seperti gambar berikut ini. 7 89 1 35 2 4 10 11 12 13 6 14 15 16 17 18 Gambar 1. Alat Ucap (Artikulator) Manusia Keterangan Gambar: 1. Bibir Atas 7. Langit-langit 13. Belakang lidah 2. Bibir bawah 8. Langit-langit lunak 14. Akar Lidah 3. Gigi Atas 9. Anak Tekak 15. Faring 4. Gigi Bawah 10. Ujung Langit 16. Epiglotis 20
5. Gusi Atas 11. Daun Lidah 17. Pita Suara 6. Gusi Bawah 12. Depan Lidah 18. Trakea (Sumber: Alwi, dkk 1993:49) Gambar dengan daftar nama alat-alat ucap tersebut belum memadai, bila digunakan untuk menyebut bunyi bahasa yang dipakai dalam bentuk kata sifat. Misalnya dalam bahasa Indonesia untuk mengklasifikasikan bunyi konsonan, tidak lazim disebut “bunyi dua bibir, bunyi gigi”, melainkan bilabial, dan bunyi dental”. Istilah tersebut kita pinjam dari kata bahasa latin. Untuk memudahkan penggunaan istilah semacam itu, berikut ini disebutkan beberapa itilah yang sering dipakai antara lain: Tabel 1. Istilah alat ucap 1 Bibir Labial 7 Daun lidah Laminal 2 Gigi Dental 8 Belakang lidah Dorsal 3 Gusi Alveolar 9 Rongga Mulut Oral 4 angit-langit keras Palatal 10 Rongga Hidung Nasal 5 Langit-langit lembut Velar 11 Pangkal Tenggorokan Laringal 6 6. Ujung lidah Apikal 12 Rongga kerongkongan Faringal 13 anak tekak Ovula (Lihat Verhaar, 1981: 19) 21
4.4 Klasifikasi Bunyi Bahasa Pada saat udara dari paru-paru dihembuskan, kedua pita suara dapat merapat atau merenggang. Apabila kedua pita suara itu berganti-ganti merapat atau merenggang dalam pembentukan suatu bunyi bahasa, maka bunyi bahasa yang dihasilkan terasa “berat”. Apabila pita suara itu merenggang sehingga arus udara dapat lewat dengan mudah, maka bunyi bahasa yang dihasilkan akan terasa ”ringan”. Apabila pita suara dirapatkan sehingga udara seakan-akan tersekat, maka bunyi bahasa yang dihasilkan juga terasa “ringan”. Macam bunyi bahasa yang pertama itu umumnya dinamakan bunyi bersuara, sedangkan yang kedua disebut bunyi tak-bersuara. Perbedaan kedua macam bunyi itu dapat dirasakan jika kita seperti [p] yang dibandinkan dengan [b]. pada waktu kita mengucapkan [b] terasa getaran yang lebih besar di telinga. Setelah melewati rongga faring, arus udara mengalir ke bagian atas tenggorokan. Jika yang kita kehendaki ada bunyi oral, tulang rawan yang dinamakan uvula akan menutup saluran ke rongga hidung. Dengan demikian, bunyi tersebut akan keluar melalui rongga mulut. Jika yang kita kehendaki bunyi nasal, maka uvula akan diturunkan sehingga udara akan keluar melalui rongga hidung. Contoh bunyi bahasa yang udaranya melewati rongga mulut adalah [p], [g], dan [f], sedangkan bunyi udaranya melewati rongga hidung adalah [m], [n], [ń], dan [ŋ].Macam bunyi bahasa yang kita hasilkan juga dipengaruhi oleh ada tidaknya hambatan dalam proses pembuatannya. Pada bunyi seperti [a], [u], dan [i], udara meluncur melalui rongga mulut tanpa 22
hambatan oleh alat ucap apapun. Sebaliknya, pada bunyi seperti [p] udara dihambat oleh dua bibir yang terkatup, dan pada bunyi [t] udara dihambat oleh ujung lidah yang bersentuhan dengan pangkal gigi atas. Pada tempat hambatan seperti arus udara dari paru-paru tertahan sejenak dan kemudian dilepaskan untuk menghasilkan bunyi bahasa. (Depdikbud; 1993:49) Secara sederhana semua alat ucap manusia dapat dibandingkan dengan alat musik tiup seperti seruling: bunyi-bunyi dihasikan dengan menghembuskan udara yang dihambat, dihalang, atau lain- lainnya yang merintangi kebebasan jalannya arus udara melalui aluran yang terkurung. Di dalam peralatan manusia udara itu dihasilkan oleh paru- paru yang diatur oleh gerakan-gerakan teratur daripada sekat rongga dada. Apabila udara ini mengalir keatas, melalui larinx dan farinx, lalu ke depan dan ke luar mulut atau hidung atau keduanya, arus udara itu dapat dihambat atau dirintangi pada berbagai tempat seluruh jalan tempat itu, dan bentuk daripada ruang-ruang yang dilaluinya dapat diubah-ubah. Dengan “permainan” udara ini, bila mengalir dari paru-paru sampai ke lubang hidung atau bibir-bibir, kita hasilkan hampir semua bunyi ujar manusia. Ada bunyi-bunyi tertentu yang dihasilkan dengan arus udara terhirup ke paru-paru dari luar, seperti bunyi /p/ bahasa sawu. Untuk memudahkan pengertian artikulasi, kita membagi jadi dua bagian yang pokok : Apabila secara relatif tidak ada hambatan/rintangan antara paru-paru dan udara keluar. Artikulasi 23
demikian itu akan menghasilkan bunyi-bunyi Vokal. Jadi, Vokal ialah bunyi yang pengucapannya jalan udara ke mulut tidak terhalang, sehingga arus udara dapat mengalir dari paru-paru ke bibir atau ke luar tanpa hambatan, tanpa harus melalui lubang sempit, tanpa dipindahkan dari garis tengah pada alurnya, dan tanpa menyebabkan alat supraglottal bergetar; biasanya bersuara. Sedangkan apabila terdapat hambatan/rintangan antara paru- paru dan udara luar. Artikulasi akan menghasilkan bunyi-bunyi Konsonan. Jadi, Konsonan adalah bunyi yang dibagi pengucapannya arus udara dihambat sama sekali oleh penutupan larinx atau jalan di mulut, atau dipaksa melalui lubang sempit, atau dipindahkan dari garis tengah daripada alurnya melalui lubang lateral, atau menyebabkan bergetarnya salah satu alat-alat supra glotal. 4.4.1 Konsonan Dalam Bahasa Indonesia Sesuai dengan artikulasinya Konsonan dalam bahasa Indonesia dapat dikategorikan berdasarkan 3 faktor yaitu: 1) Keadaan pita suara, 2) Daerah artikulasi dan 3) Cara artikulasinya. Berdasarkan ketiga kategori diatas, bunyi konsonan yang dihasilkan dapat diklasifikasikan sebgaimana terlihat pada baga bagan berikut ini: 24
Bagan Pembagian Konsonan Bersuara Keadaan pita suara Tak bersuara Bilabial Konsonan D.Artikulasi Labidental Alveolar Cara artikulasi Palatal Velar Glotal Hambat Frikatif Nasal Lateral (Alwi, dkk: 1993:50) Berdasarkan bagan di atas dapat dilihat bahwa dari keadaan pita suara, konsonan dapat dibagi dua yaitu: 1) dapat bersuara, dan 2) tak bersuara. Bunyi yang bersuara terjadi apabila pita suara berganti-ganti merapat dan merenggang dalam pembentukan bunyi bahasa, sehingga udara bunyi yang dihasilkan terasa “berat”. Seadangkan bunyi tak bersuara terjadi apabila pita suara merenggang sehingga arus udara dapat lewat dengan mudah, maka bunyi yang dihasilkan terasa “ringan” Sedangkan berdasarkan cara artikulasinya, konsonan dapat dibagi 6 pula yang mencakup: 1) hambat, 2) frikatif, 3) nasal, 4) getar , 5) lateral dan 6) semi vokal. 25
1. Bunyi Hambat terjadi apabila terdapat hambatan menyeluruh pada salah satu tempat antara paru-paru dan udara luar, sehingga jalan arus udara tertutup., Contoh: p, t, k, b, d, g, ?, didalam kata- kata papa, tata, dada, gaga, anak. 2. Bunyi Nasal terjadi apabila arus udara sebagian keluar melalui mulut dan sebagian melalui hidung. Artikulasi semacam ini akan menghasilkan bunyi-bunyi seperti: m, n, ň, ŋ, di dalam kata-kata mana,nama, ňata, ŋaŋa. 3. Bunyi Firikatif/Aspiran adalah bunyi yang dihasilkan karena jalan arus udara mungkin dihalangi pada salah satu tempat, sehingga hanya merupakan sebuah lubang kecil yang berbentuk sebagai lembah panjang atau sebagai celah, yang dilalui oleh udara itu.,contohnya : [f], [s], [sy], di dalam kata- kata fakta, sama, syarat. 4. Bunyi Lateral dihasilkan apabila ujung lidah bersentuhan dengan gusi dan udara keluar melalui samping lidah, Contoh ; [l], yang terdapat dalam kata lalat. 5. Bunyi Getar terjadi apabila ujung lidah menyentuh tenpat yang samaberulang-ulang menyebabkan sebuah alat yang elastis bergetar dengancepat. Contoh: [r], yang terdapat dalam kata rata. 6. Semi Vokal adalah bunyi yang pembentukannya seperti Pembentukan Vokal, tetapi tidak pernah menjadi inti suku kata, yang termasuk kategori ini adalah [w], [y]. Cara bentukan {w] dan [y] mirip dengan pembentukan vokal [u] dan [i]. 26
Selanjunya, berdasarkan daerah artikulasinya, konsonan dapat diklasifikasikann atas tujuh macam yaitu: 1) bilabial, 2) labiodental, 3) Dental/ Alveolar, 4) palatal, 5) velar dan 6) glotta Dengan mempertimbangkan keadaan pita suara, daerah artikulasi dan cara artikulasi kini dapat diklasifikasikan konsonan secara lengkap. Untuk lebih jelasnya pengklasifikasian konsonan dalam bahasa Indonesia dapat dilihat dalam bagan berikut: Tabel 2. Konsonan dalam Bahasa Indonesia D.Artikulasi Bilabia Labio- Dental/ Palatal Velar Glotal dental Alveolar C.artikulasi p t ck Hambat b d jg tidak bersuara bersuara M f s š xh Frikatif z tidak bersuara bersuara nñ ŋ Nasal Bersuara r Getar Bersuara l Lateral Bersuara Semi vocal 27
bersuara w y Dari bagan di atas dapat dilihat dengan jelas beberapa pembagian dari konsonan dalam bahasa Indonesia terdapat 22 fonem, cara memberi nama konsonan adalah dengan menyebut cara artikulasinya dulu, kemudian diikuti dengan daerah artikulasinya yang pada akhirnya disusul dengan keadaan pita suara misalnya konsonan /p/, adalah konsonan hambat bilabial tak bersuara, sedangkan konsonan /S/ adalah konsonan hambat pala-palatal tak bersuara.Semua konsonan tersebut dapat dijelaskan pembentukannya sebagai berikut: 1. Konsonan hambat bilabial /p/ dan /b/ Konsonan ini umumnya dilafalkan dengan bibir atas dan bawah dikatup rapat, udara dari paru-paru ditahan sementara waktu atau sejenak sebelum katup bibir dilepaskan. Contohnya: /pola/, /bola/ /kapar/, /kabar/ /siap/, /aba/ 2. Konsonan hambat dental atau alveolar /t/ dan /d/ Konsonan ini umumnya dilafalkan dengan cara menempelkan ujung lidah pada gusi guna menghambat udara yang keluar dari paru-paru yang kemudian dilepaskan, ada juga orang yang melafalkan kedua konsonan dengan menempelkan ujung lidah pada bagian belakang gigi atas sehingga terciptalah bunyi dental tetapi bukan bunyi alveolar. 28
Contoh: /tari/, /dari/ /pantay/ ‘pantai’, /panday/ ‘pandai’ /rapat/ , /debu/ 3. Konsonan hambat palatal /c/ dan /j/ Dalam konsonan ini ada yang bersuara, cara kelafalkannya yaitu daun lidah ditempelkan pada langit-langit keras untuk menghambat udara yang keluar dari paru-paru yang kemudian dilepaskan. Contoh: /cari/ /jari/ /acar/ /ajar/ /mancur/ /manjur/ 4. Konsonan hambat velar /k/ dan /g/ Konsonan ini dapat dihasilkan dengan cara menempelkan belakang lidah pada langit-langit lunak udara dihambat disini dan kemudian dilepaskan. Contoh: /kalah/ dan /galah/ /akar/ dan /agar/ /politik/ dan /sagu/ 5. Konsonan frikatif labiodental tak bersuara /f/ Ada lima konsonan frikatif tak bersuara, yakni /f/,/s/,/s/(garis diatas) /x/ dan /h/ dan satu yang bersuara, yaitu /x/, fonem /f/ adalah suatu bentuk konsonan frikatif labindental, artinya konsonan yang dibuat dengan bibir bawah yang di dekatkan dengan bagian bawah gigi sehingga udara yang keluar berbunyi mendesis. Contoh: /fakultas/ /pakultas/ 29
/lafal/ /lapal/ /positif/ /positip/ Penggantian dari pada fonem /f/ ke /p/ sebenarnya harus dihindari karena dalam tulisan, ada kalanya /f/ dilambangkan dengan <v>. Contoh: /faria/ <varia> /fisa/ <visa> /fokal/ <vocal> 6. Konsonan frikatif aveolar tak bersuara /s/ Konsonan ini dapat dihasilkan dengan cara menempelkan ujung lidah pada gusi atas sambil melepaskan udara melalui samping liudah sehingga timbullah bunyi desis. Contoh: /saya/ /masa/ /nanas/ 7. Konsonan frikatif alveolar bersuara /z/ Konsonan ini dapat dibentuk dengan cara pembentukan /s/ tetapi dengan menggunakan pita suara yang bergetar. Contoh: /zani/ dibandingkan /seni/ /rezim/ /lazim/ 8. Konsonan frikatif palatal tak bersuara /š/ Konsonan ini dapat dibentuk dengan menempelkan depan lidah pada langit keras, tetapi udara dapat melewati samping lidah sehingga menimbulkan bunyi desis. Contoh; /sak/ syak dibandingkan /sak/sak 30
/sah/ syah dibandingkan /sah/sah /sarat/ syarat dibandingkan /sarat/sarat 9. Konsonan frikatif velar tak bersuara /x/ Konsonan ini dapat dibentuk dengan mendekatkan punggung lidah ke langit-langit lunak yang di naikkan agar udara tak keluar melalui hidung. Udara dilewatkan celah yang sempit keluar melalui rongga mulut. Contoh /xas/ khas dibandingkan /kas/ kas /axis/ akhir /tarix/ tarikh 10. Konsonan frikatif glotal tak bersuara /h/ Konsonan ini dapat dibentuk dengan cara mmelewatkan arus udara lewat pita suara yang menyempit hingga timbul suatu bunyi yaitu bunyi mendesis dengan tidak dihambatkan oleh tempat lain. Contoh: /habis/ /paha/ /murah/ 11. Konsonan nasal bilabial bersuara /m/ Konsonan nasal bilabial /m/ dibuat dengan kedua bibir dikatupkan, kemudian udara tersebut dilepas melalui rongga hidung. Contoh: /makan/ /simpang/ /diam/ 31
12. Konsonan nasal alveolar /n/ Konsonan ini dapat dihasilkan dengan cara menempelkan ujung lidah pada gusi guna menghambat udara yang keluar dari paru- paru dan dikeluarkan lewat rongga hidung. Contoh: /nama/ /pintu/ /kantin/ 13. Konsonan nasal palatal / ñ / Konsonan ini dapat dibentuk dengan menempelkan depan lidah pada langit-langit keras untuk menahan udara pada paru-paru. Udara yang mendapat hambatan ini lalu dikeluarkan lewat rongga hidung yang menimbulkan bunyi sengau. Konsonan nasal palatal /n/ seakan-akan terdiri dari dua buah bunyi yaitu /n/ dan /y/ tetapi kedua bunyi tersebut telah luluh menjadi satu. Contoh: / ñiur/ nyiur /taña/ tanya /mañcuŋ/ mancung 14. Konsonan nasal velar /ŋ/ Konsonan ini bisa dihasilkan dari pembentukan dengan menempelkan belakang lidah pada langit lunak dalam mulut dan udara dilepaskan melalui hidung. Contoh: /ŋarai/ ngarai /karanaŋ/ karangan /kuniŋ/ kuning 32
15. Konsonan getar alveolar /r/ Suara konsonan ini dibentuk dengan cara menempelkan ujung lidah pada gusi kemudian menghembuskan udara yang ada sehingga lidah tersebut secara berulang-ulang menempel dan lepas pada gusi gigi. Contoh: /raja/ raja /rambut/ rambut /ranum/ ranum 16. Konsonan lateral alveolar /l/ Suara dari konsonan ini dihasilkan dengan menempelkan daun lidah pada gusi dan mengeluarkan udara lewat samping lidah. Sementara itu pita suara dalam keadaan bergetar. Contoh:/lama/ /malam/ /mahal/ Ada dua fonem yang termasuk semi lokal dalam Bahasa Indonesia yaitu /w/ dan /y/ bunyi ini terbentuk tanpa hambatan arus udara hingga menyampai pembentukan vokal akan tetapi dalam suku kata kedua bunyi tak akan pernah menjadi inti suku kata. 17. Semi vokal bilabial /w/ Suara konsonan ini dilafalkan dengan cara mendekatkan kedua bibir tanpa menghalangi udara yang keluar lalu dihembuskan lewat paru-paru. Contoh: /waktu/ waktu /awal/ awal /kalaw/ kalau 33
Search
Read the Text Version
- 1 - 41
Pages: