Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Majalah Pena Kampus Edisi 24

Majalah Pena Kampus Edisi 24

Published by LPM Pena Kampus, 2021-04-22 08:00:42

Description: MAJALAH_EDISI_24

Search

Read the Text Version

menjadi project manager, chief (proposisi atau relasional), dan , Ruang Vektor, Matematika Diskrit information officers (CIO), menyelesaikannya dengan proses , yang Saya ambil tidak dihargai technical writer, system analyst, penalaran berbasis semantic nilainya. Padahal, ada makul “Uzur” dan data comunication analyst. atau dengan metode pembuktian. seperti aljabar linear yang tidak Sedangkan IT berkesempatan di Dan terakhir, Mahasiswa mampu di kenal lagi dalam matematika network administrator, information membangun aplikasi penalaran komputasi, karena makul ini sudah technology manager, computer sederhana dengan paradigm menjadi bagian terkecil dari Matriks support specialist, data security pemrograman deklaratif4. Bisa juga dan Ruang Vektor serta Kalkulus. administration, dan computer memahaminya dengan pemrograman technician. Tulisan tersebut ternyata sederhana seperti Prolog, atau Ada indikasi bahwa tren pemilihan hasil dari rangkuman curicula bahasa LIST. program studi Teknik Informatika Association for Computing Machinery menjadi program studi favorit di (ACM)3. Dan ketika pencampuran materi Indonesia melatarbelakangi UMK kuliah itu di persoalkan, Saya juga membuka program studi ini Jika kita mengamati beberapa malah di berikan nilai E oleh dosen. pada tahun 2009, padahal telah ada mata kuliah di SI dan TI UMK, ada program studi Sistem Informasi beberapa matakuliah yang hampir ,Pengalaman yang super secara sebelumnya. Akreditasi progdi sama, seperti pemrograman, TI yang tidak memuaskanpun jaringan, data mining, sistem pribadi. Ketua Program Studipun, juga sering menjadi keluhan pakar, kecerdasan buatan, PBO, mahasiswanya. Akreditasi C sampai SPK, matematika diskrit, rekayasa Akhir dari tulisan ini di buat. Untuk bersaing di perangkat lunak, rekayasa web, dan perkulian ini dunia kerja akan di pandang sebelah struktur data. Meskipun sama, hal ini adalah mahasiswa mata oleh perusahaan-perusaan. harus diperjelas materi mana yang dapat berpikir Kecuali mereka yang memiliki masuk TI dan SI. Harus ada boundary kemampuan yang memadai. (batasan) agar jelas, tidak ada area kritis, dan abu-abu. berlogika dengan Karena tulisan ini untuk kolom Memoar, yang bertujuan Pengalaman yang menarik juga ,benar secara mengabadikan hal penting yang terjadi ketika seorang Kepala pernah terjadi di UMK. Maka program studi TI UMK sempat mathemathic. selayaknya tulisan ini menjadi kebingungan menghadapi perhatian bagi pemegang keputusan pertanyaan seorang mahasiswa tidak mau tau urusan itu. “silahkan di Kampus UMK. Meskipun baru transfer mengenai matakuliah yang berkomunikasi dengan dosennya sedikit hal yang bisa disampaikan di bernama “Logika Informatika” langsung, mas. Saya tidak mungkin kertas yang terbatas. Lain kali Kita malah bercampur dengan studi mata tau semua yang ada di mata kuliah bisa berdiskusi tentang hal menarik kuliah lain. Di TI UMK, core studi ini TI”. Bukankah ketua program studi ini. juga membahas perihal Mathematic juga ikut andil dalam penyusunan Discreate. Lalu Saya berkata kurikulum? atau kecuali tidak. Penulis: dalam hati “nopo niki hal enggal Sakresna ingkang wontenipun teng UMK?” Saat penyamaan persepsi tentang Founder Portalmuria.com, Ma- bila anda membuka silabi/silabus matakuliah sewaktu program hasiswa jurusan Teknik Informa- universitas ternama di indonesia transfer juga sangat teledor sehingga yang mengajarkan matakuliah Logika banyak waktu yang terbuang. tika UMK Informatika anda akan menemukan Kalkulus I, Kalkulus II, Matriks dan bahwa tujuan akhir dari perkulian (Endnotes) ini adalah mahasiswa dapat berpikir kritis, dan berlogika dengan benar 1 Wawancara di ruangan Pak secara mathemathic. Rhoedy Setiawan Bila saya kutip dari silabusnya TI 2 Tulisan di blog mahasiswa STI ITB, luaran yang diharapkan adalah ITB (http://www.gilang-ramadhan. Mahasiswa mampu memahami net/2013/12/filosofi-sistem-dan- bahwa logika adalah salah satu teknologi-informasi.html) representasi pengetahuan untuk menyelesaikan persoalan berbasis 3 http://www.fairmontstate.edu/ komputer. files/u205/files/IS_CS_IT.pdf Kedua, Mahasiswa mampu 4 Kurikulum teknik Informatika memformulasikan suatu persoalan 2013-2018 (http://lp4.itb.ac.id/wp- ke dalam representasi logika content/uploads/Kurikulum-Induk- IFv5Sept2013.pdf) [ Edisi XXIV Agustus 2015 ] 51

PUISI Ilma F Salam Perpisahan.... -Untuk orang yang pernah menjadi kawan. Teman... Beribu hari kita bersama. Melewati hari dengan cerita. Rindu, kasih dan asmara. Telah mengiringi kisah kita. Teman... Beberapa waktu lalu. Keren, beken berkesempatan. Menikmati dalam hari kita. Dan kini saatnya berpisah. Tumbuhlah segala pesan. Teman..... Maafkan atas kesalahanku. Jika aku pernah melukai perasaanmu. Jika aku pernah tak jujur padamu. Juga atas kekhilafanku. Teman.... Mungkinkah suatu saat kita akan berjumpa. Dalam roda kehidupan yang kian berputar. Menyelusuri hari-hari. Penuh arti seperti dulu lagi. Teman.... ISTIMEWA ISTIMEWA Jangan pernah kau menyesali. Semua ini sudah menjadi suratan. Ada pertemuan pasti ada halangan. Semoga kau dapatkan. Wahyu D Pranata Pengganti diriku yang lebih baik. el_insyae PULANG Ilma F Salam Ibumu berpesan jangan jauh –jauh Pak, Ini Bagaimana? melangkahkan kaki mencari nasi di pagi hari untuk pemimpinku- Pak, Ibumu takut apakah aku harus memanggilmu Begitu? ada begal Engkau yang mewakiliku penuh dana yang berangsut Aku yang kau wakili merana tertarik pada mata- mata indah anaknya Engkau biarkan diriku dan saudaraku Ia juga was - was ditempat berkubang Penuh dengan air bah. nasi yang dimasaknya Ini bagaimana pak? tidak segera habis Pak!, yang katanya mewakili kami atau sekedar menjadi Jangan tidur, jangan bengong pelengkap dalam meja dapur Kami takkan kenyang yang kadang kabur Kalau sekedar ditonton Hari – hari ini memang penuh was -was Ini bagaimana, pak? termasuk umurmu yang belum lagi genap Maaf pak!, kami Cuma bertanya menjadi pelengkap Tak inginkan penjara kesederhanaan biduk keluarga yang pas –pas Ini bagaimana, pak? Sekali lagi, ibu berpesan jangan jauh – jauh mencari nasi di pagi hari Kudus, 8 Januari 2008 untuk Engeline, 2015 52 [ Edisi XXIV Agustus 2015 ]

CERPEN TUJUH AKSARA ISTIMEWA Oleh : Izzatun Nada Aku. MELURUH. Mengeluh. Mendekap dan merunduk bagai padi tua yang mengering di musim hujan. Hati yang berat masih dirajam kesengsaraan. Rajutan memori yang tak sopan melintang, tiba-tiba datang dalam ingatan gadis lima belas Aku. tahun. Memeluk segenggam batu semen berupa segi empat memanjang. Tak akan ku lepaskan, tak akan pernah. Tahu mengapa? Sekali menyentuhnya, berkali-kali kau sengsara. Jika tidak percaya buktikan saja. Atau bahkan, ku saksikan ajalmu berhenti disini. Sekarang, air yang membumbung dipelupuk mata hampir jatuh. Aku selalu menahannya sekuat tenaga, meskipun sesekali jatuh diluar rencana. Aku bukan gadis cengeng. Aku tak mau menangis. Tapi bagaimana jika orang yang kucintai menghilang?. Aku akan menangis. pasti menangis, dan akankah tetap ada yang memanggilku gadis cengeng?. Aku. Menyusupi aroma melati yang terkadang singgah dalam liukan nafas. Kadang kamboja, kadang terompet kuning. Semenit lagi berubah jadi mawar sengit kehitaman. Tanah kemerah-merahan itu menggunung di depan mata. Meremas amarah yang terbalut duka. Aku berteriak. tidak tidak bukan berteriak. Aku menyesal. Tidak juga. Aku takut. Jemariku bergetar merambah pada butiran kasar dari tanah yang menyebar merah. Berusaha meremas- remas tanah. Memukul. Menghentakkan segala keresahan dan ketakutan yang menggantung. Aku kembali berusaha menahan air yang menyebar di kedua sudut mata. [ Edisi XXIV Agustus 2015 ] 53

“Aku tahu harga diri itu penting. Engkau sangat peduli itu. Tapi apa karena itu?” Ssssssss. Air mataku tak sanggup lagi dibendung. Meluruh bagai dentuman peluru. Membuat nafasku berhenti satu-satu. Sesenggukan seperti gadis kecil ingusan. Aku semakin merunduk. Duduk bersila. Pelukanku pada sebilah batu semen mengendur. Leherku menekuk hampir mecium lutut. Rupanya dukaku belum habis. “Aku takut”. Hidup sendiri di gubug yang sederhana. Memang tak luas, tapi bukan itu. Aku anak tunggal. Mungkin. Karena aku tak pernah tahu siapa dan dimana saudaraku. Bahkan aku tidak tahu siapa Ayahku. Sejak aku kecil ia pergi merantau. Entahlah. Aku tidak tahu, antara tidak tahu dan tidak ketahuan. Sama-sama tidak pernah kembali. Wajah Ibuku, aku masih bisa mengingatnya samar-samar. Ia mewarisiku garis wajah yang tirus, kulit kuning langsat, dan lesung di kedua pipi. Rambutku hitam melurus, dulu. Sebelum Ibu rajin mengepang dua rambutku. Kemudian, seperti waktu yang tak bisa menjamah kerdipan mata, Ibu tiba- tiba saja menghilang. Aku tak tahu persis dimana nafas terakhirnya berhembus. Yang ku tahu, setelah tak punya siapa-siapa dan tak ditinggali apa-apa, dua orang yang tak lagi muda dan salah satunya bertulang bungkuk menggendongku dengan susah payah. Aku mengatur hentakan nafas yang sesenggukan. “Li. Kamu sudah perawan, harus bisa jaga diri,” aku ingat betul pesan itu. Pesan eyang putri ketika habis mengaji. Eyang putri dan eyang kakung, begitu aku memanggilnya. Mereka bukan Ayah dan Ibu dari kedua orang tuaku, mereka malaikat yang Tuhan kirim untuk menggantikan Ayah dan Ibu. Karena itulah aku sangat mencintainya. “Aku tahu, engkau mati-matian menghidupiku. Kata mak Sinah engkau bahkan pernah mengorbankan piaraan ayam untuk biaya sekolahku. Meskipun engkau tahu piaraan ayam adalah satu-satunya alternatif saat engkau benar-benar tak punya, itu karena engkau sangat mencintaiku. Tapi mengapa engkau melakukan ini?” Mak sinah adalah orang kepercayaan eyang putri, dimana aku dititipkan ketika eyang menggarap sawah. Keluarga eyang pas-pas an. Jika kau tahu, alas gubug masih lemah. Listrik sudah ada, tapi tidak mau pakai. Katanya mahal. Eyang putri lebih sering menghabiskan waktunya di surau. Selain ada listrik, surau sepi pengunjung. Terkadang ia mengajak mak Nah untuk ISTIMEWA 54 [ Edisi XXIV Agustus 2015 ]

berdzikir di surau. Menghabiskan waktunya menyebut Baginya, bekerja engan tali temali padi adalah lafadz Allah setiap detik nafasnya. Jika ada waktu luang, pekerjaan mulia. Ini soal makan memakan, mencukupi aku juga sering ikut eyang putri menghening di dalam kebutuhan. Makanya, ketika ada tindakan yang surau. Di desa, perempuan berambut putih itu dikenal tidak mengenakkan ia akan marah. Marah besar. sebagai insan yang rajin beribadah. “Semua orang tahu, Apalagi dengan kehadiran beras plastik. Beras unggul engkau rajin beribadah. Sangat mempertahankan harga yang dioplos dengan bahan beras dari plastik. “Ini dirimu. Tapi mengapa engkau memilih jalan yang lain? penghinaan, engkau mengatakan ratusan kali dalam Apa karena kita miskin?,” Eyang putri bukan petani. Ia sehari”. Beras plastik ada sebagai wujud penghinaan memang menggarap sawah, tapi bukan sawah miliknya. akan pekerjaanmu. Menghina para petani. Menjatuhkan Biarpun begitu aku lebih senang menyebutnya petani, ia pekerjaan mulia. “Aku tahu, engkau begitu marah tak keberatan. Setidaknya lebih sopan dari serabutan.. ketika satu persatu orang melecehkan pikulanmu. Tapi, haruskah secepat ini engkau meninggalkanku? Haruskah Aku mengendus kamboja yang kebetulan hadir. dengan jalan itu?”. Menyesap pelan-pelan. Pelukan pada sekotak batu semen kembali ku rekatan. Nafasku masih sesenggukan. Nafasku kembali tersenggal senggal. Kepala ku Belum teruraikan. Gelombang air mata masih nyaring pukulkan diatas nisan. Berkali-kali. Berdarah. Aku bercucuran. Aku mengangkat kepala. Menyandaraknnya menangis. Memainkan buliran kasar pada tanah merah pada dinding batu. Dan diatas nisan ini aku kembali yang masih basah. Sudut mataku terus mengucur bersimpuh.”Apa yang harus ku lakukan sekarang?” seperti gerimis. Kaki yang mulai memberat, membuatku beranjak kepada kaki di ujung nisian seberang. “Aku Perempuan tua yang gemar berkebaya itu, selalu ingat, betapa sering engkau mengajarkanku jangan loyal terhadap apapun. Terlebih dengan hal yang menjadi munafik. Mereka yang kau sebut-sebut berkaitan dengan agama. Mengaji, sholat. Aku sangat sebelum ajalmu adalah munafik,” ku ambil nafas lebih mengaguminya. Entah setebal apa iman eyang putri, panjang. Kembali menatap persinggahan terkahirnya. yang tak putus-putus dalam beribadah. Ketika ada Membayangkan wajah tua itu menatapku. Langkahku yang menghina kepercayaannya, maka ia tak tanggung- mendekat. “Apa yang harus ku lakukan? Apa aku harus tanggung berperang. Tak gentar. Sama halnya nafkahnya balas dendam ? menuntut kepada para pengoplos beras menggarap sawah. Setiap pagi setelah subuh, tiada peduli biadab itu?. Jika iya, bagaimana jika manusia setengah kabut membutakan jalan ia tetap menapak ke sawah. [ Edisi XXIV Agustus 2015 ] 55

dewa itu menertawakanku? Aku tak punya apa- ISTIMEWA apa, aku bisa apa?. Lagipula, engkau mati bukan karena beras mereka. Tapi bertahan dari mereka.” kebaikan, atau seseorang membunuh orang lain dengan pelan-pelan tapi dengan kebusukan? Musrik atau tidak?. Aku masih belum bisa menahan tangis. Jawab ?!. Badanku gemetar, merunduk mengikuti liuk makam. Tangan kiriku mencengkram Lamban terdengar bisik-bisik suara lelaki. Mungkin tanah lembab yang ku duduki. Duka di hati warga yang menguping geming suaraku. Mungkin semakin membuncah, membumbung penuh tiga orang bapak yang kemarin datang tapi tak berani ketidaktahuan. Pakan beras plastik. Ahhh .. sejak mengusirku. Atau mungkin orang gila yang duduk di sumber api itu ditemukan, kehidupanku dengan seberangku, selama tiga hari. Sama lamanya denganku eyang bergelantungan. “Sekarang katakan, apakah merengkuh diatas nisan eyang putri. Entahlah. Aku terus aku benar-benar harus melakukannya? Harus menunduk, air mataku kembali menetes membentuk mencoba menuntut atau semisalnya? Di mana? aliran di wajah nisan. Membasahi ukiran nama yang kepada siapa? Adakah cara lain selain mencoba?. tersemat dan semakin jelas terbaca dalam tujuh Atau aku harus diam saja, seperti engkau yang aksara.”Selasih”. mencengkram surau. Lantas bagaimana jika semua orang tahu?” Ku biarkan tetes bening ini mengalir sebagaimana mestinya. Membawa kecemasan yang tak terjawab. Sekarang, masalahnya tidak berhenti disitu. “Seluruh warga desa membicarakanmu. Katanya engkau kerasukan setan surau lalu bunuh diri. Mati. Katanya,” aku ketakutan. Sungguh. Aku selalu menghimpit ingatan akan tali yang menggantung leher hingga tercekat. Mati. Leher eyang putri. Di belakang surau. Aku kembali mengerang, memukul-mukul kepala diatas nisan. Dengan kaki menjulur ke depan, bebalut air tanah yang serba basah. Basah karena air mataku tak bisa ditahan. Habis ini aku tinggal bersama siapa? Dengan apa?. “Dunia edan, pikiran eyang jadi sempit Li. Pokoknya kita harus bungkam makan sampai beras plastik hilang dari peredaran, anggap saja kita latihan puasa,” betapa eyang membumi mempertahankan rasa laparnya. Kala itu, berani makan beras (plastik) berani sakit. Penyakitan. Plastik tidak akan pernah bisa diurai dengan bakteri sejenis apapun. Lalu, aku harus bagaimana? “Eyang putri, engkau terlalu cepat pergi. Bagaimana aku hidup setelah ini?. Aku bisa bungkam soal kematianmu. Tapi bagaimana jika kelak mereka tahu? Mereka akan mengusirku? Menduga engkau sesat karena mati gantung diri? Engkau yang rajin ibadah tapi gantung diri. Aku tahu engkau tidak salah. Engkau ada diatas kebenaran. Bertahan demi kebaikan. Mempertahankan harga dirimu mewakili seluruh petani di desa ini. Tapi engkau melupakan cucumu, orang yang menyayangimu.” Matahari beranjak diatas pusar kepala. Keringatku luluh, membakar irama emosi yang berapi-api. Hampir tak bisa dibedakan mana air mata mana keringat dalam wajahku. Aku menengadah kepada langit. “Tuhan maha mendengar. Kemana engkau berada ketika aku menderita?. Kemana engkau berada ketika aku berbahagia.?” Engkau yang tidak pernah terlihat, mengutuk segala perbuatan, hamba-hambamu. Terkutuk manakah, orang yang membunuh dirinya sendiri karena 56 [ Edisi XXIV Agustus 2015 ]


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook