Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Microsoft PowerPoint - M2a - METODE ILMIAH KUANTITATIF & KUALITATIF

Microsoft PowerPoint - M2a - METODE ILMIAH KUANTITATIF & KUALITATIF

Published by R Landung Nugraha, 2022-08-29 11:21:49

Description: Microsoft PowerPoint - M2a - METODE ILMIAH KUANTITATIF & KUALITATIF

Search

Read the Text Version

APA dan BAGAIMANA Seharusnya BERMETODE ILMIAH? Psikologi Eksperimen Materi Pengantar Eksperimen Bagian 2 Selamat datang di materi pengantar Psikologi Eksperimen, bagian 2 Pada bagian ini, Anda akan diajak menjawab pertanyaan “Bagaimana memilih metode ilmiah yang tepat untuk menegakkan suatu kebenaran ilmiah?” Di sini anda akan diajak mengenal apa yang disebut metode ilmiah 1

Dari materi sebelumnya, Anda paling tidak diajak mengenal apa yang disebut kebenaran ilmiah, terkait upaya menegakkan kebenaran sebagai suatu kondisi tidak berjarak antara apa pengetahuan dengan objek realitas objektif, yaitu antara klaim atau asumsi mengenai suatu objek realitas dunia tertentu (ingat, bahwa pengetahuan adalah cara pandang perseptif mengenai suatu objek realitas dunia), dengan realitas yang ditangkap oleh indera-indera manusia, sebagai representasi realitas empiris alias realitas sebenarnya dari suatu bagian dunia yang sedang menjadi objek pengetahuan. Dari materi sebelumnya, terdapat dua tradisi metode ilmiah untuk menegakkan kebenaran ilmiah, yaitu (1) tradisi objektif-posivistik yang berorientasi pada penggunaan logika penyelidikan ilmiah secara deduktif, dan (2) tradisi subjektif- realism yang berorientasi pada penggunaan logika penyelidikan ilmiah secara induktif. Pada kajian ini, kita akan membahas kekhususan penerapan kedua metode tersebut, agar kita benar bisa menegakkan kebenaran ilmiah yang sesungguhnya. mari kita lanjutkan 2

Pengetahuan yang kita peroleh melalui panca indera (suatu pengalaman empiri), atau logika dari pengalaman seluruh bagian dari tubuh kita (suatu pengalaman logico), atau pengalaman kombinasi logico-empiri, menggoda manusia untuk membentuk klaim atau asumsi mengenai suatu objek pengetahuan. Dalam mencari kebenaran ilmiah, klaim atau asumsi tersebut perlu diuji dalam langkah-langkah ilmiah yang sesuai, agar benar-benar diperoleh ilmu pengetahuan atau sains, dan bukannya pseudoscience atau bad science. Ini juga perlu dilandasi niat baik, untuk tidak melakukan apa yang disebut cherry picking fallacy 3

Penerimaan pada bukti2 yang dicari2, disesuai-sesuaikan, dan menolak bukti2 yang dinilai akan menolak atau tidak mendukung penerimaan pada calon pengetahuan yang hendak disusun diistilahkan sebagai “cherry picking fallacy”. Kondisi tersebut biasanya muncul dari situasi dimana manusia merasa terdesak demi alasan praktis- pragmatis, dan muncul kesulitan atau keengganan mencari semua bukti yang relevan. Metode2 pencarian pengetahuan yang lebih mengedepankan justifikasi dari bukti yang “cherry picking” alias pilih2 sesuai selera subjektif tersebut, mengarahkan pada terbentuknya pengetahuan non-ilmiah, yang oleh Kerlinger & Lee (2000) distilahkan sebagai pendapat awam, atau pengetahuan akal sehat, atau common sense. Anda tentunya bisa menyimpulkan, kemana arah common sense ini bermuara bukan? Apakah akan cenderung menuju ke kebenaran ataukah menuju ke kekeliruan? Jelas bahwa arahnya akan membawa pada kekeliruan atau kesalahan. Karena common sense mengarahkan pada kecenderungan besarnya kemungkinan munculnya informasi yang keliru mengenai objek pengetahuan tertentu, maka ilmu pengetahuan yang muncul dari berbagai common sense berobjek pengetahuan 4

sejenis, seringkali disebut sebagai BAD SCIENCE. Ilmu pengetahuan yang muncul dari SINERGI berbagai common sense yang seolah- olah memiliki cara pencarian pengetahuan melalui langkah-langkah berpikir sistematis, disebut sebagai PSEUDOSCIENCE. 4

Secara detail, unsur pembeda dari pengetahuan dan ilmu pengetahuan yang “benar”, yang kemudian disebut sebagai “scientific knowledge” dan “science”, dengan pengetahuan dan ilmu pengetahuan yang keliru, yang kemudian disebut “BAD SCIENCE” dan “PSEUDOSCIENCE”, adalah dari metode investigasi atau metode penyelidikan pada asumsi atau klaim mengenai realitas dunia tertentu. Realitas dunia tertentu yang disebut sebagai objek pengetahuan tadi, cenderung diselidiki manusia agar bisa dipercayai sebagai suatu pengetahuan. Penyelidikan atau investigasi objek pengetahuan tertentu demi mencapai tujuan terciptanya sebuah pengetahuan, disebut sebagai RISET atau PENELITIAN. Karena riset atau penelitian mengandung rincian tindakan-tindakan tertentu dalam urutan tertentu pula, akan melahirkan istilah METODE RISET atau nama lainnya RESEARCH METHOD. 5

Metode riset jika dibagi pada pencapaian tujuannya, akan menghasilkan 2 jenis metode, yaitu SCEINTIFIC METHOD dan NON-SCIENTIFIC METHOD. Non-scientific method, yang mengandalkan proses pembentukan pengetahuan dari tenacity method, intuition method, authority method, empirical method, atau rational method. Scientific method, mengandalkan kepada proses pembentukan pengetahuan yang memastikan terpenuhinya unsur-unsur empiris, deterministic, teruji, dan menuju pada poin utama. Dari tampilan maka Anda bisa menyimak, bahwa unsur2 utama pembentukan pengetahuan seperti cara pemahaman tentang pembentukan permasalahan mengenai realitas dunia, konsep/teori yang dibentuk, cara pandang terhadap klaim/assumsi khususnya dalam melihatnya sebagai hipotesis atau jawaban sementara yang hendak diuji melalui riset, cara observasi, pengukuran, kendali terhadap faktor2 pencemar riset, cara pelaporan hasil yaitu pelaporan pengetahuan itu sendiri, sikap peneliti dalam membangun pengetahuan lewat riset, penyimpulan hubungan antar variabel yang diteliti, dan sifat penelitian yang berkaitan dengan 6

reliabilitas hasil penelitian. Asumsi dasar metode ilmiah itu sendiri, yang mendasari perbedaan2 unsur2 utama pembentuk pengetahuan, dapat disimak pada tampilan selanjutnya. 6

Kekeliruan selalu disebabkan oleh adanya upaya pencarian pengetahuan yang didasari oleh upaya pembenaran, yaitu melalui upaya mencarikan bukti (proof), dan bukannya melakukan pembuktian (evidence) dilandasi oleh proses falsifikasi (upaya membuktikan kekeliruan / melakukan penyangkalan). Upaya pembenaran melalui mencarikan bukti (proof) disebut mekanisme yang mengarahkan pada kemungkinan kekeliruan, karena upaya ini berisi upaya pencarian pengetahuan yang lebih mengedepankan MEMASTIKAN BUKTI YANG MENDUKUNG, dan MENGABAIKAN HINGGA MEMUNAHKAN BUKTI YANG TIDAK MENDUKUNG pada klaim atau asumsi yang muncul mengenai suatu objek pengetahuan tertentu. 7

Upaya melakukan pembuktian (evidence) dilandasi oleh proses falsifikasi (melakukan penyangkalan) menempatkan klaim atau asumsi sebagai narasi potensi kekeliruan yang harus disangkal dengan mekanisme pembuktian, menggunakan metode ilmiah. Metode ilmiah sebagai mekanisme pembuktian kekeliruan pada suatu klaim atau asumsi, menjadi penentu apakah metode ilmiah berhasil menjustifikasi suatu klaim atau asumsi pada posisi BENAR-BENAR SALAH, atau sebaliknya, metode ilmiah gagal menjustifikasi suatu klaim atau asumsi pada posisi BENAR-BENAR BENAR. Klaim atau asumsi, dalam persektif kajian ilmiah, selanjutnya disebut sebagai HIPOTESIS, karena sifat klaim atau asumsi tersebut sebagai kebenaran semu (HIPO=semu, Thesa=kebenaran) Upaya menguji klaim atau asumsi di metode ilmiah MELALUI MEKANISME UJI FALSIFIKASI tersebut, seringkali diistilahkan sebagai PENGUJIAN HIPOTESIS. 8

Dalam ilmu sosial terdapat dua paradigma besar, yaitu paradigma realism-positivistik dan paradigma relativism-interpretif (atau disebut juga paradigma Fenomenologi). Dua paradigma tersebut digunakan sebagai salah satu metode dalam sebuah research (penelitian). Berangkat dari adanya 2 paradigma tersebut, metode dalam penelitian kontemporer hanya dibagi menjadi dua; Pertama, metode penelitian kuantitatif berparadigma paradigma positivistik. Kedua, metode kualitatif berparadigma realism-interpretative- fenomenologi. Kedua metode penelitian ilmiah ini, berusaha memenuhi aspek2 keilmiahan suatu penelitian sebagai penyelidikan ilmiah, namun dalam cara pandang terhadap objek pengetahuan yang berbeda. 9

Perhatikanlah ilustrasi di atas, dalam suatu scenario menyelidiki “loyalitas produk es krim ABCD” 10

Penelitian kuantitatif yang berparadigma positivistic, menginginkan suatu penyelidikan yang objektif alias bebas nilai, maksudnya ketika melakukan sebuah penelitian maka peneliti perlu mengenyampingkan antara fakta dengan nilai-nilai subjektif yang Ia anut. Auguste Comte, salah satu tokoh dari Paradigma positivistik, melalui berbagai karyanya dari tahun 1830-1865, mengemukakan ada asumsi2 dasar yang harus dipenuhi ketika menggunakan paradigma positivistik, yaitu: • (1) pembangunan ilmu pengetahuan (sains) didasarkan pada prosedur-prosedur baku, yang berbeda dengan spekulasi dan common sense • (2) Berpendekatan deduktif • (3) Bersifat nomotetik • (4) Ilmu diperoleh memlalui indera, sumber lain tidak reliabel • (5) Ilmu bebas nilai (memisahkan antara fakta dengan nilai2 subjektif) • (6) Melihat penilaian sebagai alat / sarana dengan tujuan akhir meramalkan kejadian dan mengendalikannya. Cara paling praktis untuk mengimplementasikannya dengan jalan menggunakan data sekunder berupa data numerik berupa angka. Mengapa? 11

Data sekunder adalah data yang diambil TIDAK langsung oleh peneliti, dari penangkapan langsung dari apa yang disampaikan subjek penelitian, tetapi menggunakan perantara berupa alat ukur yang sudah terstandarisasi. Data numerik atau data angka dipilih karena statistic menjadi pilihan utama pradigma ini. Statistik dipercaya bisa memberikan hasil analisis terhadap data2 secara valid alias menggambarkan apa adanya data, sehingga hasil oleh data akan objektif dan bebas nilai. Selain itu, pengolahan data menggunakan statistic dipercaya akan menghasilkan olah data yang konsisten/reliabel. Nah, data yang bisa diolah oleh statistic adalah data dalam bentuk numerik. Data yang berisi label, jenjang (baik itu jenjang kualitas maupun jenjang kuantitas), ber nol relative atau ber nol absolut, sebagai hasil perekaman frekuensi, dimensi (Panjang, berat, dll), tingkatan dll. Posisi peneliti dalam paradigma klasik dalam kajian pencarian kebenaran ilmiah ini, menjadi figur tunggal penentu kebenaran, lewat hasil analisis dan kesimpulan mengenai ada atau tidaknya jarak antara klaim atau asumsi dengan realitas objektif yang sedang diteliti. Peneliti dianggap bisa bertanggung jawab pada kesimpulan mengenai kebenaran ilmiah yang Ia buat, dengan syarat Ia patuh pada upaya menjaga objektivitas penelitian, alias penyelidikan ilmiah yang bebas nilai, melalui • (1) penggunaan alat ukur yang valid, reliabel dan numerable alias bisa menghasilkan data numerik alias data angka, • (2) penggunaan acuan teori yang sudah kuat posisi keilmiahannya, dan • (3) menggunakan metode ilmiah yang difasilitasi pengolahan data secara statistic. Jika kita lihat dari contoh di tampilan, penelitian mengenai “loyalitas produk es krim ABCD” diperoleh dari data mengenai FREKUENSI pengambilan es krim gratis dari sekian pengunjung yang datang ke gerobak es krim, yang menyediakan es krim ABCD secara gratis dan es krim lain yang berbayar. Peneliti menggunakan es krim sebagai alat ukurnya, dan menggunakan standar pengambilan es krim ABCD per 30 orang pengunjung yang datang. Penetapan standar penilaian pada ukuran frekuensi pengambilan produk per 30 orang,misalnya didasari teori loyalitas produk. 11

Pada metode kualitatif yang berparadigma fenomenologis, kebenaran ilmiah bukan ditunjukkan oleh seberapa objektif data yang diambil dan seberapa objektif pengolahan data yang dibuat. Pandangan tersebut datang dari pandangan Husserl, salah satu tokoh sentral paradigma fenomenologi, yang diawali dengan kritiknya terhadap ilmu pengetahuan berparadigma positivistic, sebagai berikut: • (1) Ilmu pengetahuan telah jatuh pada objektivisme, yaitu cara memandang dunia sebagai susunan fakta objektif dengan kaitan2 ke-niscaya-an alias kebenaran tunggal. Bagi Husserl, pengetahuan seperti itu berasal dari pengetahuan prailmiah sehari-hari, yang disebut lebenswelt. • (2) Kesadaran manusia atau subjek ditelan oleh tafsiran-tafsiran objektivistis itu, karena ilmu pengetahuan sama sekali tidak membersihkan diri dari kepentingan2 dunia kehidupan sehari-hari itu. • (3) Teori yang dihasilkan dari usaha membersihkan pengetahuan dari kepentingan- kepentingan itu adalah teori sejati yang dipahami tradisi pemikiran Barat Kebenaran ilmiah menurut paradigma fenomenologis ditunjukkan oleh seberapa besar fenomena berkenan “membuka mulutnya” kepada peneliti. 12

Kebenaran ilmiah didapatkan dari upaya kedua belah pihak, yaitu peneliti dan yang diteliti untuk sama-sama mendudukkan suatu fenomena sebagai suatu “live event report” alias sebuah laporan peristiwa yang dialami dan diungkapkan sendiri oleh pelaku (yaitu yang diteliti), yang kemudian diceritakan ulang peneliti dalam sebuah rangkaian pola dan makna, yang tetap menjaga fakta tadi apa adanya. Peneliti bermetode kualitatif membangun klaim atau asumsi (hypothesis generating), bukannya menguji suatu klaim atau asumsi (hypothesis testing). Realitas adalah hasil konstruksi subjektif, bukannya hasil konstruksi objektif sebagaimana paradigma positivism yang digunakan metode kuantitatif. Realitas dibangun didasarkan kepada pengalaman subjektif yang diteliti. Disinilah titik dimana data primer berupa pernyataan, tindakan yang tertangkap langsung oleh peneliti, menjadi data utama penelitian kualitatif. Jika kita lihat dari contoh di tampilan, penelitian mengenai “loyalitas produk es krim ABCD” diperoleh dari data mengenai pernyataan seorang konsumen es krim ABCD yang dibagikan gratis, dimana peneliti menanyakan langsung beberapa pertanyaan yang dinilai relevan dengan tujuannya menggali informasi dari narasumbernya megenai berbagai narasi tentang es krim ABCD yang diperolehnya secara gratis. 12

Anda bisa menyimak lebih lanjut dari tampilan, apa yang menjadi perbedaan dari penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif, terutama dari sisi perbedaan konsep dasar yang dianut dalam memandang realitas, serta perbedaan metode penyelidikan ilmiah alias metode penelitian ilmiah, yang didasari perbedaan paradigma positivism vs paradigma fenomenologi. 13

Pembicaraan akan diarahkan ke penelitian kuantitatif, karena metode eksperimen yang menjadi focus pembicaraan kita, merupakan salah satu metode yang memiliki derajat tertinggi dalam riset ilmiah (Yusainy, 2019) Mengapa? Untuk ini, kita harus bicarakan dahulu mengenai tujuan penelitian ilmiah khususnya penelitan kuantitatif itu sendiri, khususnya dalam upaya mencari kebenaran ilmiah itu sendiri. Penelitian ilmiah secara garis besar memiliki beberapa sifat dalam mencari kebenaran, yaitu: • (1) Sifat Deskripsi yaitu penelitian ilmiah berusaha mencari kebenaran ilmiah dengan cara memberi gambaran apa adanya mengenai suatu fenomena yang sedang diselidiki secara tepat. Sifat ini muncul JIKA kebenaran ilmiah DIPEROLEH dengan jalan fenomena itu sendiri dipaparkan keadaannya, tanpa melibatkan pemikiran untuk memahami determinasi dari fenomena yang lain. Sebagai contoh, penelitian mengenai “loyalitas produk es krim ABCD” tadi, maka penelitian deskriptif akan memaparkan variansi alias keragaman kondisi loyalitas konsumen 14

pada produk es krim ABCD, termasuk kondisi komponen2 pembentuk loyalitas tersebut. Penelitian deskriptif tersebut tidak akan menyentuh penelitian pada kajian faktor2 yang mempengaruhi dan dipengaruhi kondisi loyalitas produk es krim ABCD. • (2) Sifat Eksplanasi yaitu penelitian ilmiah berusaha mencari kebenaran ilmiah dengan cara memberi penjelasan mengenai faktor2 yang memunculkan suatu fenomena yang sedang diselidiki secara tepat. Sifat ini muncul JIKA kebenaran ilmiah DIPEROLEH dengan jalan menyelidiki determinan atas variansi fenomena utama yang diteliti alias diselidiki sebab-akibatnya dengan fenomena2 yang lain, baik dalam bentuk (a) scenario korelasi alias hubungan, (b) scenario komparasi alias pembandingan, (c) scenario kausalitas alias sebab-akibat. Sebagai contoh, penelitian mengenai “loyalitas produk es krim ABCD” tadi, maka penelitian eksplanatif-kausalitas akan memaparkan kajian faktor2 yang mempengaruhi dan dipengaruhi kondisi loyalitas produk es krim ABCD, untuk memastikan faktor2 manakah yang memberi kontribusi terhadap variansi alias keragaman kondisi loyalitas produk es krim ABCD. • (3) Sifat Prediksi penelitian ilmiah berusaha mencari kebenaran ilmiah dengan cara memberi peramalan/prediksi mengenai munculnya fenomena yang sama di masa mendatang. Sifat ini muncul JIKA kebenaran ilmiah DINILAI BISA DIPEROLEH ketika variansi fenomena utama yang diselidiki pada masa kini memiliki kelayakan untuk menggambarkan suatu dugaan variansi fenomena serupa di masa yang akan datang. Sifat prediktif ini bisa dipenuhi apabila kebenaran ilmiah ditegakkan dalam serangkaian konsistensi dari replikasi penelitian alias pengulangan penelitian yang setara. Makel, Plucker, & Hegarty (2012, dalam Yusainy, 2019, hal.29) mengemukakan bahwa suatu penelitian layak dijadikan rujukan atau referensi setelah melalui replikasi kurang lebih 100 kali, baik itu dilakukan sendiri maupun dilakukan oleh orang lain. Sebagai contoh, penelitian mengenai “loyalitas produk es krim ABCD” tadi, akan memenuhis siprediktif akan memaparkan sejauh mana konsistensi hasil penelitian mengenai variansi alias keragaman kondisi loyalitas produk es krim ABCD, sehingga bisa ditarik kesimpulan mengenai peluang tren variansi loyalitas produk es krim ABCD di masa mendatang. • Sifat Kontrol penelitian ilmiah berusaha mencari kebenaran ilmiah dengan cara memberi acuan pencegahan munculnya suatu keadaan yang merugikandari fenomena yang diteliti. Sifat ini muncul JIKA kebenaran ilmiah DINILAI BISA DIPEROLEH ketika variansi fenomena utama yang diselidiki layak menginspirasi munculnya langkah intervensi, bahkan bisa menjadi langkah intervensi itu sendiri, terhadap persoalan terkait variansi kondisi fenomena yang diselidiki. Sebagai contoh, penelitian mengenai “loyalitas produk es krim ABCD” tadi, akan memenuhi sifat kontrol apabila hasil penelitian mengenai variansi alias keragaman kondisi loyalitas produk es krim ABCD dapat menjadi rujukan untuk menangani masalah perilaku belanja impulsive pada produk es krim ABCD, atau bahkan hasil penelitian variansi loyalitas produk es krim ABCD ternyata mampu mencegah munculnya 14

perilaku belanja impulsive yang berlebihan. 14

Metode ilmiah atau scientific method merupakan upaya penyelidikan dalam bentuk penelitian/riset, guna mencari kebenaran yang dari suatu pembuktian (evidence) dan bukannya bukti (proof), menggunakan prinsip falsifikasi pada suatu klaim atau asumsi spesifik mengenai realitas dunia, baik untuk tujuan deskripsi (atau menjelaskan apa adanya), eksplanasi (menjelaskan interaksi-interaksi dengan realitas-realitas lain), prediksi (atau memperkirakan yang mungkin akan terjadi), atau control (yaitu menemukan cara untuk mengendalikan realitas dunia yang spesifik tersebut). Secara garis besar, metode ilmiah mengandung 7 langkah yang bisa dilihat pada tampilan (klik) Jika Anda telah membaca dengan seksama jenis2 penelitian ilmiah, Anda akan menemukan hal menarik mengenai langkah ke 4, yaitu adanya jenis penelitian kuantitatif-eksperimental dan penelitian kuantitatif-non-eksperimental. Penelitian kuantitatif non-eksperimental muncul sebagai bentuk penyelidikan ilmiah- non-partisipatif-naturalistic, dimana penelitian dilakukan dengan membiarkan kondisi subjek atau objek penelitian tidak diintervensi oleh perlakuan apapun, kecuali pengambilan data oleh peneliti. Peneliti cukup melakukan upaya-upaya pengambilan 15

data dari subjek atau objek penelitian pada momen-momen yang dinilai tepat merepresentasikan kebutuhan penelitiannya secara ojektif. Upaya pengambilan data menggunakan pencatatan hasil pengamatan/observasi, atau menggunakan alat-alat ukur yang relevan dengan realitas dunia yang hendak diukur. Penelitian kuantitatif-non-eksperimental memiliki keterbatasan di balik keunggulannya, dimana keunggulannya adalah “mudah” mendapatkan gambaran (1) deskripsi sistematis gejala2 yang menjadi focus riset, dan (2) prediksi mengenai gejala2 yang menjadi pusat perhatian riset. Keterbatasan yang dimaksud adalah apa yang disebut relasi semu (spurious relationship) antar gejala-gejala dari realitas dunia tertentu yang sedang diselidiki. Interaksi semu menyiratkan lemahnya kesimpulan dari hasil uji falsifikasi (uji penyangkalan) pada klaim/asumsi dalam bentuk hipotesis. Kesimpulan yang berangkat dari tinggi rendahnya koefisien korelasi antar variabel yang diteliti, belum tentu menggambarkan adanya hubungan sebab-akibat di antara variabel2 penelitian tersebut. Kebenaran yang diperoleh dari hasil pengujian falsifikasi melalui penelitian kuantitatif –non-eksperimental tergolong lemah, ketika dihadapkan pada pertanyaan “manakah diantara variabel-variabel tersebut, yang menjadi “sebab” bagi “akibat” di variabel yang lain?” Kelemahan mengenai underliying mechanism (atau mekanisme yang mendasari asosiasi atau hubungan antara variabel-variabel yang diteliti) pada penelitian kuantitatif-non-eksperimental, ternyata bisa diselesaikan apabila penelitiannya dalam bentuk penelitian eksperimen (klik untuk lanjut ke slide selanjutnya) 15

Salah satu contoh menarik untuk menjelaskan mengenai kemampuan penelitian eksperimen memberikan penjelasan mengenai underlying mechanism antara variabel-variabel yang diteliti, dapat disimak dari riset eksperimenPercobaan marshmallow (The marshmallow test). Riset ini adalah adalah sebuah dilakukan oleh Walter Mischel dari Universitas Stanford pada tahun 1960an, untuk mempelajari mengenai kepuasan tertunda. Tujuan awal dari percobaan ini adalah untuk mengetahui proses mental yang membuat seseorang menunda kepuasaannya saat ini untuk mendapatkan kepuasan yang lebih pada masa mendatang. Mischel mengetes beberapa anak berumur empat dan lima tahun di Taman Kanak- kanak Bing di dalam kampus Universitas Stanford. Masing-masing dari anak tersebut dibawa ke dalam suatu ruangan dan sebuah marshmallow ditaruh di meja di depan anak tersebut. Mereka diberitahu bahwa mereka boleh memakan marshmallow tersebut sekarang, tetapi apabila mereka menunggu 20 menit, Mishcel akan kembali dan memberikan mereka tambahan satu marshmallow. Hasil dari percobaan tersebut adalah sepertiga dari anak-anak tersebut memakan marshmallow dengan segera, sepertiga lainnya menunggu hingga Mischel kembali dan mendapatkan dua 16

marshmallow dan sisanya berusaha menunggu tetapi akhirnya menyerah setelah waktu yang berbeda-beda. hasil yang mengejutkan dari percobaan ini justru didapatkan setelah anak-anak yang ikut dalam percobaan telah beranjak dewasa dan telah memasuki sekolah menengah. Dalam penelitian ini, sang peneliti lalu “mengikuti” kehidupan sekitar 110 anak yang menjadi partisipan dalam penelitian ini, hingga berusia akhir 40an/awal 50an. Penelitian longitudinal tersebut mendapatkan hasil bahwa anak-anak yang mau menunggu, tidak memakan marshmallownya saat eksperimen dilakukan (sehingga kemudian mereka mendapatkan dua marshmallow); menjadi orang dewasa yang kuliahnya selesai, mendapatkan penghasilan lebih tinggi, dan lebih tidak mengalami “overweight” dibandingkan dengan anak-anak yang langsung memakan marshmallow yang ditawarkan. 16

Hasil penelitian Percobaan Marshmallow dari Mischel mengenai kendali diri dan pencapaian prestasi, keberhasilan karir, dan menjaga berat badan, menunjukkan bahwa penelitian eksperimen dapat mengenali underlying mechanism atau mekanisme yang mendasari asosiasi atau hubungan antara variabel-variabel yang diteliti. Dalam konteks eksperimen marshmallow dari Mischel tersebut, pencapaian prestasi, keberhasilan karir, dan menjaga berat badan sebagai “sisi akibat” atau variabel dependen dalam eksperimen Mischel, ternyata diketahui didasari oleh adanya faktor “sebab” yaitu pengendalian diri, yang dimanipulasi atau diintervensi secara sengaja oleh peneliti menggunakan instruksi dan kondisi. Melalui contoh penelitian eksperimen di bidang Psikologi ini pulalah, dapat dilihat bagaimana peran metode eksperimental dalam pengembangan ilmu Psikologi, khususnya untuk menemukan underlying mechanism dari asosiasi atas interaksi variabel-variable penelitian Psikologi. Ini pulalah yang kemudian menjadi salah satu jawaban dari pertanyaan utama untuk kajian utama kedua “Mengapa Psikologi butuh eksperimen?” 17

Hal lain yang bisa disumbangkan metode penelitian kepada Ilmu Psikologi adalah perkembangan teknologi dan penerapannya di bidang penelitian eksperimen. Mengapa teknologi? Kita tahu bahwa atribut psikologis merupakan atribut manusia yang sifatnya laten; disadari keberadaannya namun abstrak eksistensinya. Hal inilah yang seringkali menempatkan posisi ilmu Psikologi dilematik, ingin menyebut dirinya sains, namun pembuktian empiriknya seringkali menemui kebuntuan akibat sifat atributnya yang abstrak. Namun jika dipelajari dari sejarah perkembangan ilmu Psikologi modern, khususnya sejak berdirinya laboratorium Psikologi pertama di kota Leipzig (Jerman) oleh seorang tokoh bernama WILHELM WUNDT pada tahun 1879, yang menginspirasi pengukuran menggunakan pendekatan konsep psikofisik. Jangan lupakan juga bahwa Psikologi modern lahir salah satunya dari Rahim biologi- kedokteran, dimana banyak ahli-ahli Psikologi memiliki latar belakang keilmuan tersebut, dan menyumbangkan pemahaman mengenai bagaimana mengukur atribut psikologis tertentu dari manusia, didasari manifestasi reaksi fisiologis tertentu. Dan 18

sekarang, diiringi dengan majunya dunia neurosains yang didukung oleh teknologi pengenalan fungsi otak dan system syaraf, sangat membantu dalam mengembangkan studi-studi biopsikologi yang berkaitan dengan pengukuran atribut psikologis tertentu manusia. 18


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook