Mengapa Metode Ilmiah Penting Bagi Psikologi Disusun Oleh: Robertus Landung Eko Prihatmoko, M.Psi., Psikolog. Manusia pada prinsipnya adalah makhluk berpikir. Paling tidak demikian yang dikemukakan oleh Aristoteles, seorang filsuf yunani pada tahun 350 sebelum masehi, melalui bukunya berjudul De Anima. Manusia oleh Aristoteles memiliki kualitas khas sebagai Anima Rationale atau Anima Intelektiva, yaitu memiliki jiwa berpikir dan kemauan berdasarkan hasil pemikirannya, selain kualitas sebagai Anima Vegetativa (jiwa untuk tumbuh dan berkembang biak) dan sebagai Anima Sensitiva (Jiwa mengenali lingkungan lewat indera untuk bertahan hidup). Apa yang manusia pikirkan? Manusia memikirkan realitas dunia, yaitu semua realitas inderawi dan realitas adikodrati (=melampaui batas tangkapan indera) tertentu dari alam semesta. Setiap realitas dunia tersebut pada akhirnya akan melahirkan pendekatan pembangunan hasil pemikiran yang spesifik. Pendekatan Empirisme merupakan pembangunan hasil pemikiran yang diperoleh dari pengalaman (emperi), yaitu lewat pencerapan inderawi pada objek realitas dunia tertentu. Pendekatan Rationalisme merupakan pembangunan hasil pemikiran yang diperoleh dari akal (ratio), yaitu lewat pengolahan pada area pembayangan mental (mental imagery) manusia, khususnya pada objek dunia tertentu yang adikodrati / di luar batas pencerapan inderawi manusia. Pendekatan rationalisme juga dilakukan pada objek realitas dunia yang bisa dicerap secara inderawi, biasanya dengan alasan praktis-pragmatis alias bisa segera digunakan untuk modalitas berkeputusan hingga mengambil tindakan tertentu. Pemikiran manusia sendiri bisa bersumber dari pencerapan atau sensasi inderawi atau dari olah akal manusia itu sendiri. Melalui panca indera, manusia menyerap pengalaman langsung berupa stimulus (cahaya, suara, bau, tekstur, rasa) dan mengartikannya sebagai sensasi, yang kemudian diolah melalui persepsinya menjadi suatu pengetahuan. Pada pengalaman adikodrati alias pengalaman di luar batas pencerapan inderawi, manusia menggunakan sediaan akal yang dimilikinya untuk menjadi pengetahuan. Pengetahuan/knowledge sebagai informasi yang menceritakan suatu objek dunia tertentu, sebagai hasil pemahaman melalui persepsi terhadap pengalaman sadar, yang didapat melalui panca-indera maupun melalui akal. Manusia pada umumnya harus mengandalkan atensi atau perhatiannya pada satu objek untuk membangun suatu pengetahuan pada suatu waktu. Situasi selective attention tersebut mendorong manusia membangun pengetahuan untuk setiap objek pengetahuan yang berbeda. Objek pengetahuan sendiri dibedakan atas 2 (dua) identitas, yaitu identitas sebagai objek material dan sebagai objek formal. Objek material adalah objek yang bisa dicerap atau realitas adikodrati tertentu yang merupakan salah satu bagian dari realitas dunia. Benda-benda langit seperti bulan, matahari, bintang, planet, asteroid dll merupakan objek material pengetahuan perbintangan, yang mana bisa dicerap indera penglihatan. Mujizat, karunia, berkah, musibah merupakan objek material pengetahuan ketuhanan, yang mana perlu pengolahan akal atau logika untuk menyadari realitas tersebut. Diolah Dari Berbagai Sumber Relevan Sebagai Modul Bacaan Dasar Kuliah Psikologi Eksperimen 2021. Tidak diperkenankan digunakan sebagai referensi utama dalam ujian. Tidak diperkenankan menyebarkan tanpa seijin penulis.
Objek formal adalah sudut pandang tertentu mengenai suatu objek material pengetahuan. Objek formal inilah yang melahirkan pengetahuan-pengetahuan lain yang lebih spesifik. Sebagai contoh, pengetahuan perbintangan melahirkan pengetahuan astrologi dan pengetahuan astronomi. Pengetahuan astrologi mengambil sudut pandang benda langit sebagai penentu kehidupan seseorang, baik itu nasib, jodoh, dan masa depannya. Pengetahuan Astronomi mengambil sudut pandang benda langit sebagai fenomena apa adanya yang perlu diobservasi, didokumentasikan, dianalisis, dan dijadikan bahan prediksi mengenai gejala- gejala alam. Jika menilik kembali pernyataan dari Aristoteles, maka dapat dipahami bahwa pembangunan pengetahuan dimulai dari upaya bertahan hidup, sebagaiana tumbuhan butuh tumbuh dan berkembang biak, sebagai manifestasi anima vegetativa. Inilah tahapan Ways to Survive. Manusia selanjutnya membentuk ingatan-ingatan prosedural berupa berbagai memori terkait kebiasaan yang khas pada objek tertentu. Manusia melalui ingatan-ingatan prosedural yang Ia miliki, membangun strategi bertindak reaktif pada hasil cerapan inderawinya untuk bertahan hidup. Manifestasi dari anima sensitiva tersebut, diwujudkan dalam bentuk perilaku “fight or flight” ketika menghadapi suatu sumber bahaya. Inilah tahapan Ways of Knowing. Manusia dengan modalitas akal budinya, membangun rasa ingin tahu mengenai realitas-realitas dunia tertentu, dan membangun kesadaran mengenai perlunya membangun, memilah, dan memilih antara hasil pemikiran yang “benar” dan hasil pemikiran yang “salah”. Manusia belajar dari pengalamannya dan membangun kemauannya antara menjalani buah pemikiran “benar” atau buah pemikiran “salah”. Disinilah manifestasi Anima Intelektiva atau Anima Rationale, yang disebut sebagai tahapan Ways of Thinking. Buah-buah pemikiran manusia tersebut dalam perjalannya akan terkategorikan berdasarkan objek-objek pengetahuannya. Di sinilah muncul pengetahuan/knowledge. Pengetahuan dapat didefinisikan sebagai “hasil dari kesimpulan logis dari hasil pengamatan suatu objek realitas dunia tertentu”. Pengetahuan dapat dikatakan sebagai segala informasi yang merupakan hasil kesimpulan dari pengamatan pada objek dunia tertentu, bahkan jika pengamatan itu hanya sesaat atau sekilas saja atau bahkan hanya di dalam dunia imajiner manusia itu sendiri. Di sinilah titik dimana pengetahuan belum bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Hasil pemikiran manusia bisa “benar” dan bisa “salah”, demikian pula pengetahuan. Manusia melalui berbagai perjalanannya mencari pengetahuan, belajar bahwa sebaik-baiknya pengetahuan, adalah pengetahuan yang membawa ke kebenaran. Salah satu dari sekian konsep kebenaran, yang menyatakan bahwa kebenaran atau kondisi benar singkatnya adalah “tidak adanya jarak antara klaim atau asumsi mengenai pengetahuan dengan objek realitas dunia yang sedang sama-sama dikaji”. Pengetahuan yang “benar” dan pengetahuan yang “keliru” dibedakan dari ada dan tidak adanya jarak antara klaim atau asumsi pengetahuan dan objek realitas dunia yang sedang sama-sama dikaji. Sebagai contoh, pengetahuan tentang buku memasak karya seorang chef menjadi benar, apabila klaim atau asumsi mengenai pengetahuan tersebut benar-benar sama persis dengan realitas buku tersebut. Demikian pula sebaliknya, pengetahuan tersebut jadi salah apabila klaim atau asumsi mengenai pengetahuan buku tersebut ternyata terbukti ada ketidaksamaan dengan realitas buku tersebut. Jika diamati lebih lanjut, ternyata ada beberapa unsur yang perlu diperhatikan dalam menguji kebenaran suatu pengetahuan. Unsur-unsur tersebut yaitu (1) pengetahuan, (2) objek pengetahuan, (3) klaim atau asumsi, (4) mekanisme pengujian dan penarikan kesimpulan tentang kebenaran pengetahuan. Unsur pengetahuan membicarakan informasi hasil kesimpulan Diolah Dari Berbagai Sumber Relevan Sebagai Modul Bacaan Dasar Kuliah Psikologi Eksperimen 2021. Tidak diperkenankan digunakan sebagai referensi utama dalam ujian. Tidak diperkenankan menyebarkan tanpa seijin penulis.
atas hasil pengamatan pada unsur objek pengetahuan tertentu, baik itu objek material dan objek formal dari suatu realitas dunia yang hendak dikaji kebenarannya. Unsur klaim sebagai informasi berisi peng-aku-an kebenaran pada kajian suatu objek pengetahuan tertentu, yang mana kebenarannya belum teruji. Unsur asumsi sebagai informasi berisi dugaan kebenaran pada kajian objek pengetahuan tertentu, yang mana kebenarannya belum teruji. Kedua unsur klaim atau asumsi bisa muncul secara bersamaan atau sendiri-sendiri, tergantung dari kebenaran seperti apa yang hendak diuji. Unsur pengujian kebenaran suatu pengetahuan yang keempat adalah mekanisme pengujian dan penarikan kesimpulan mengenai kebenaran suatu pengetahuan. Kajian filsafat ilmu menyimpulkan ada berbagai jenis pengetahuan, berdasarkan kebenaran yang ditegakkannya. Kajian filsafat ilmu membagi adanya (1) jenis pengetahuan biasa, (2) pengetahuan ilmiah, (3) pengetahuan filsafat, dan (4) pengetahuan agama. Pengetahuan biasa, yakni pengetahuan yang dalam filsafat disamakan dengan istilah common sense dan sering diartikan dengan good sense, karena seseorang memiliki sesuatu di mana ia menerima secara baik. Semua orang dengan common sense sampai pada keyakinan secara umum tentang sesuatu, di mana mereka akan berpendapat sama semuanya asalkan bisa diterima akal sehat. Common sense diperoleh dari pengalaman sehari-hari, diakibatkan kepecayaannya yang begitu tinggi pada kebenaran persetujuan banyak orang (disebut tenacity method), pada intuisi atau kata hati (disebut intuition method), pada figur berwenang/otoritas (disebut authority method), pada bukti sesaat yang begitu meyakinkan (disebut empirical method), atau pada penerimaan logisnya sendiri (disebut rational method). Pengetahuan filsafat, yakni pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran yang bersifat kontemplatif dan spekulatif, yang lebih menekankan pada universalitas dalam kedalaman kajian tentang sesuatu. Filsafat biasanya memberikan pengetahuan yang reflektif dan kritis, sehingga ilmu yang tadinya kaku dan cenderung tertutup menjadi longgar kembali, lewat cara membahas berbagai realitas dunia secara lebih luas dan mendalam. Pengetahuan agama, yakni pengetahuan yang diperoleh dari pengharapan manusia pada suatu unsur yang melewati batasan berbagai pengetahuan yang bisa dipikirkan manusia, yaitu adanya “causa prima” atau “sebab paling awal dari berbagai sebab yang tidak bisa disebabkan lagi” atau yang disebut “Ketuhanan”. Pengetahuan yang dibangun dari informasi-informasi yang diperoleh dari para utusan Tuhan, yang kemudian dilembagakan dalam dogma dan doktrin tertentu, yang dipercaya dan dijalani oleh manusia yang menaruh harapan padaNya. Pengetahuan ilmu, yaitu ilmu pengetahuan atau istilah lainnya scienctific knowledge, diartikan untuk menunjukkan ilmu pengetahuan alam, yang sifatnya kuantitatif dan objektif. Ilmu pada prinsipnya merupakan usaha untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense, menggunakan pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan metode berpikir secara objektif (objective thinking). Tujuan ilmu pengetahuan adalah menggambarkan dan memberi makna mengenai kebenaran terhadap dunia faktual, yaitu suatu formulasi kebenaran yaitu ketika tidak ada jarak antara klaim atau asumsi mengenai pengetahuan dengan kenyataan objektifnya (kenyataan yang dapat diamati melalui cerapan indera secara apa adanya). Pengetahuan yang diperoleh dengan ilmu, diperolehnya melalui observasi, eksperimen, klasifikasi. Analisis ilmu itu objektif dan menyampingkan unsur pribadi, pemikiran logika diutamakan, netral, dalam arti tidak dipengaruhi oleh sesuatu yang bersifat kedirian (subjektif), karena dimulai dengan fakta. Ilmu merupakan lukisan dan keterangan yang lengkap dan konsisten mengenai hal-hal dipelajarinya dalam ruang dan waktu Diolah Dari Berbagai Sumber Relevan Sebagai Modul Bacaan Dasar Kuliah Psikologi Eksperimen 2021. Tidak diperkenankan digunakan sebagai referensi utama dalam ujian. Tidak diperkenankan menyebarkan tanpa seijin penulis.
sejauh jangkauan logika (perspektif ratio) dan dapat diamati panca-indera manusia (perspektif emperi). Perspektif kebenaran dalam ilmu pengetahuan, mengandalkan penggunaan suatu metode ilmiah (scientific method), yaitu suatu mekanisme penegakan kebenaran pengetahuan menggunakan tata cara penyelidikan pada klaim atau asumsi mengenai suatu objek pengetahuan secara sistematis dan objektif. Metode Ilmiah mensyaratkan bahwa, untuk memperoleh pengetahuan yang benar lakukan langkah berikut: logico-hypothetico-verificatif”. Maksudnya, mula-mula buktikan bahwa itu logis, kemudian ajukan hipotesis. berdasarkan logika itu, kemudian lakukan pembuktian hipotesis itu secara empiris. Manifestasi defnisi metode ilmiah itu sendiri akan menghasilkan unsur-unsur pemenuhan asumsi ilmiah yang di formulasikan dengan singkatan C-H-O-P-R, yaitu (1) Control, (2) Hypothesis-Testing, (3) Objectivity, (4) Predictability, (5) Replicability. Control adalah pengendalian terhadap kemungkinan munculnya situasi diluar determinasi alias relasi sebab-akibat dari unsur-unsur objek pengetahuan yang hendak diselidiki. Unsur asumsi ilmiah ini datang dari prinsip deterministik, yaitu bahwa suatu fenomena atau gejala pasti memiliki determinasi alias kondisi sebagai penyebab atau diakibatkan oleh adanya fenomena lain. Hypothesis-Testing adalah pengujian kepada common sense yang bertindak sebagai klaim atau asumsi, menggunakan prinsip falsifikasi. Apakah prinsip falsifikasi tersebut? Prinsip yang dikenalkan oleh ahli bernama Karl Popper dalam buku Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (Popper, 1962). Popper membahas demarkasi dalam ilmu pengetahuan atau sains, yaitu batas atau ciri apa yang membedakan antara science (ilmu) dan pseudo-science (ilmu semu, pseudo-sains). Demarkasi tersebut adalah falsifikasi, yaitu pembuktian atau pembeberan bahwa suatu klaim atau asumsi itu salah. Di sini, Popper mensyaratkan bahwa asumsi atau klaim ditempatkan sebagai hipotesis, yaitu kebenaran sementara, dimana kebenaran sementara tersebut haruslah hipotesis yang bisa disangkal. Mengapa? Menurut Popper, Hipotesis sebagai klaim atau asumsi yang datang dari fakta adikodrati akan sulit ditegakkan ke-ilmiah-annya. Contohnya adalah hipotesis yang datang dari pertanyaan seorang ilmuwan berupa “Apakah Tuhan itu ada?”. Jawaban dari pertanyaan ini bukanlah kebenaran ilmu (scientific truth), karena tidak akan pernah bisa disangkal atau dibuktikan kesalahannya. Ide Popper sebenarnya dilandasi oleh keyakinan bahwa tidak ada teori yang sepenuhnya benar, tetapi apabila tidak berhasil difalsifikasi (dibuktikan kesalahannya) maka teori tersebut diterima sebagai sebuah kebenaran (ilmu). Teori sebagai proposisi universal mengenai suatu objek pengetahuan, alias pernyataan mengenai suatu objek pengetahuan yang bisa berlaku secara umum atau bisa digeneralisasi, menurut pandangan Popper perlu selalu diuji, karena kemungkinan inkonsistensinya. Inkonsistensi ini, yang erat kaitannya dengan reliabilitas penelitian, dalam penelitian sosial-humaniora erat kaitannya dengan sifat dinamis manusia itu sendiri, yang bisa berubah menyesuaikan dengan dinamika lingkungan dan dinamika dirinya sendiri. Mekanisme pengujian hipotesis dalam kajian falsifikasi di atas, dijalankan dengan prinsip berikut: Jika sebuah hipotesis mensyaratkan bahwa saat dilakukan penyelidikan pada suatu klaim atau asumsi berbentuk hipotesis menggunakan suatu jenis bukti, dan bukti itu tersebut secara objektif tidak terlihat, maka berkonsekuensi bahwa hipotesis tersebut adalah palsu. Jika sebuah hipotesis telah berhasil bertahan dari penyanggahan berulang-ulang, maka menurut Popper teori tersebut “didukung” atau “diperkuat” (the theory is corroborated). Diolah Dari Berbagai Sumber Relevan Sebagai Modul Bacaan Dasar Kuliah Psikologi Eksperimen 2021. Tidak diperkenankan digunakan sebagai referensi utama dalam ujian. Tidak diperkenankan menyebarkan tanpa seijin penulis.
Penyanggahan berulang-ulang inilah yang menjadi prinsip dasar unsur asumsi ilmiah yaitu Replicability. Unsur Predictability adalah kondisi dimana hasil penyelidikan hipotesis yang gagal disangkal (alias benar sebagai ilmu pengetahuan), kelak bisa memprediksikan kondisi-kondisi deterministik berkaitan hasil penyelidikan tersebut. Disebutkan dalam narasi-narasi sebelumnya, metode ilmiah memiliki mekanisme penyelidikan yang sistematis dan objektif dalam menegakkan kebenaran ilmiah (scientific truth). Mekanisme penyelidikan ini dikenal sebagai riset ilmiah atau penelitian ilmiah atau scientific research. Penelitian ilmiah sendiri merupakan telaah terkendali, yang memuat dua hal yaitu (1) logika proses berpikir dan (2) informasi empirik. Logika berpikir berupa langkah- langkah sistematis dalam penelitian. Informasi empirik berupa data-data yang menggambarkan apa yang terjadi di lapangan. Logika berpikir memuat langkah-langkah berpikir ilmiah yaitu (1) merumuskan masalah, (2) merumuskan hipotesis, (3) verifikasi data untuk uji hipotesis, dan (4) menarik kesimpulan. Langkah-langkah berpikir ilmiah tersebut dipengaruhi oleh langkah-langkah falsifikasi dari Karl Popper (1962). Interpretasi operasional langkah-langkah berpikir ilmiah tersebut kemudian diterjemahkan dalam langkah-langkah penelitian, sebagai langkah nyata penyelidikan atas asumsi atau klaim mengenai suatu objek pengetahuan tertentu. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 1. Langkah-Langkah Langkah-Langkah Penelitian Ilmiah Berpikir Ilmiah a) Konseptualisasi masalah penelitian, sehingga 1. merumuskan jelas rumusan dan ruang lingkup masalah, dan masalah batasan konsep dan batasan operasional 2. merumuskan b) Berpikir rasional dalam mengkaji teori hipotesis berkenaan dengan masalah penelitian, kerangka berpikir untuk mengajukan hipotesis 3. verifikasi data penelitian untuk uji hipotesis c) Pengumpulan data untuk pemecahan masalah d) Pengujian hipotesis atau menjawab masalah 4. Menarik kesimpulan e) Menerima atau menolak hipotesis atau penolakan jawaban masalah Tabel 1 Langkah Berpikir Ilmiah dan Langkah Penelitian Ilmiah Seperti yang sudah dikaji dalam narasi-narasi sebelumnya, pembangunan ilmu pengetahuan atau sains menggunakan bahan baku common sense. Common sense yang kemudian diuji dengan langkah-langkah ilmiah ini, pada prinsipnya datang dari suatu objek pengetahuan yang sifatnya spesifik. Anda tentu masih ingat kajian objek material dan objek formal dari suatu ilmu, yang diambil contoh dari ilmu Astronomi dan Ilmu Astrologi, bukan? Anda tentu masih ingat pula, bahwa objek-objek tersebut akan menjadi objek berpikir manusia. Manusia sebagai makhluk berpikir, akan memandang objek pengetahuan tertentu, Diolah Dari Berbagai Sumber Relevan Sebagai Modul Bacaan Dasar Kuliah Psikologi Eksperimen 2021. Tidak diperkenankan digunakan sebagai referensi utama dalam ujian. Tidak diperkenankan menyebarkan tanpa seijin penulis.
mendasarkan pada sudut pandang yang berbeda-beda tiap orang, dan mengarah pada kemauan yang berbeda-beda tiap orang. Dalam kajian filsafat ilmu, terdapat beberapa unsur cara manusia memandang objek pengetahuan: (1) asumsi ontologi, (2) asumsi epistemologi, (3) asumsi human nature, (4) asumsi metodologi. Unsur ontologi pada penelitian sosial-humaniora adalah arah yang dipilih peneliti dalam mengenali informasi mengenai objek pengetahuan, apakah “realitas dunia yang didata secara objektif, apa adanya yang berhasil ditangkap oleh indera peneliti” ataukah “realitas dunia yang didata secara subjektif, dari sisi individu yang diteliti, yaitu berdasarkan perspektif kognitif subjek penelitian, misalnya persepsi subjek”. Perspektif yang pertama disebut perspektif realis, dimana peneliti beranggapan bahwa realitas dunia yang hendak diteliti sebagai sesuatu yang “sudah ada di luar sana”, sebagai hukum alam yang menunggu untuk ditemukan menggunakan kepekaan indera peneliti, baik langsung ataupun menggunakan alat bantu pengukuran yang relevan. Perspektif yang kedua disebut nominalis atau relativis, dimana penelitian beranggapan bahwa realitas dunia yang hendak diteliti sebagai Anda realitas sosial yang sarat nilai, dan hanya terungkap melalui interpretasi individu sebagai subjek penelitian. Unsur epistemologi pada penelitian sosial humaniora adalah persepsi peneliti atas apa yang diteliti, yang mengarahkannya pada cara bekerja masing-masing unit temuan dalam objek pengetahuan yang sedang diteliti. Realitas dunia (yang diteliti) dan dipandang secara objektif, akan diidentifikasi dan dikomunikasikan sebagai pengetahuan yang “hard”(bisa ditangkap indera), nyata, dan berwujud (dimensi ukurnya pasti). Sudut pandang epistemologi ini, akan melahirkan perspektif positivisme, berisi usaha untuk menjelaskan dan memprediksi apa yang akan terjadi pada dunia sosial dengan mencari kebiasaan dan hubungan kausal antara elemen‐elemen pokok dari objek pengetahuan yang diteliti. Realitas dunia (yang diteliti) dan dipandang secara subjektif, akan diidentifikasi dan dikomunikasikan sebagai pengetahuan yang “soft” (diperoleh dari narasi pengalaman dan wawasan pribadi dari setiap individu yang sedang diteliti), lebih lebih fleksibel sesuai pengalaman dan wawasan dari sifat individu yang unik dan penting. Sudut pandang epistemologi ini, akan melahirkan perspektif antipositivisme, yang menentang pencarian hukum atau kebiasaan pokok dalam urusan dunia sosial. Perspektif ini berpegang pada pendapat bahwa dunia sosial hanya dapat dipahami dari sudut pandang individu yang secara langsung terlibat dalam aktifitas yang diteliti. Unsur human nature atau sifat manusia pada penelitian sosial-humaniora adalah asumsi‐asumsi tentang hubungan antar manusia dan lingkungannya. Pertanyaan dasar tentang sifat manusia, akan menekankan kepada (1) pendekatan objektif dimana muncul pertanyaan “apakah manusia dan pengalamannya adalah produk dari lingkungan mereka, secara mekanis/determinis responsif terhadap situasi yang ditemui di dunia eksternal mereka”, atau (2) akan menekankan kepada pendekatan subjektif dimana muncul pertanyaan “apakah manusia dapat dipandang sebagai pencipta dari lingkungan mereka”. Sudut pandang human nature ini, akan dibedakan oleh perspektif determinisme (yang menganggap bahwa manusia dan aktivitas mereka ditentukan oleh situasi atau lingkungan dimana mereka menetap) dan sudut pandang voluntarisme (yang menganggap bahwa manusia autonomous dan free‐ willed). Unsur metodologi pada penelitian sosial-humaniora adalah asumsi‐asumsi tentang bagaimana seseorang berusaha untuk menyelidiki dan mendapat “pengetahuan” tentang dunia Diolah Dari Berbagai Sumber Relevan Sebagai Modul Bacaan Dasar Kuliah Psikologi Eksperimen 2021. Tidak diperkenankan digunakan sebagai referensi utama dalam ujian. Tidak diperkenankan menyebarkan tanpa seijin penulis.
sosial. Pertanyaan dasar tentang metodologi, ketika (1) berangkat dari pandangan objektif mengenai objek pengetahuan, akan menekankan kepada apakah dunia sosial itu keras, nyata, kenyataan objektif‐berada di luar individu ataukah (2) berangkat dari pandangan subjektif mengenai objek pengetahuan, yang akan lebih lunak atau lentur, yang menyesuaikan dengan kenyataan personal yang berada di dalam individu. Sudut pandang metodologi ini, akan dibedakan oleh (1) prinsip nomotetik (berangkat dari cara pandang objektif pada objek pengetahuan, yang mendasarkan penelitian pada teknik dan prosedur yang sistematis, menggunakan metode dan pendekatan yang terdapat dalam ilmu pengetahuan alam atau natural sciences yang berfokus pada proses pengujian hipotesis yang sesuai dengan norma kekakuan ilmiah atau scientific rigour) atau (1) prinsip ideografis (berangkat dari cara pandang subjektif pada objek pengetahuan, yang mendasarkan penelitian pada pandangan bahwa seseorang hanya dapat memahami dunia sosial dengan mendapat pengetahuan langsung dari subjek yang diteliti, memperbolehkan subjektivitas seseorang berkembang dalam sifat dasar dan karakteristik selama proses penelitian). Interaksi antara sudut pandang ontologi, epistemologi, sifat manusia, dan metodologi memunculkan dua perspektif yang luas dan saling bertentangan yaitu pendekatan subjektif dan objektif dalam ilmu sosial. Pendekatan ini ditunjukkan oleh gambar 1. Gambar 1 Dimensi Subjektif‐Objektif Dalam Ilmu Sosial Bisa disimpulkan, bahwa pendekatan objektif terhadap objek pengetahuan (khususnya untuk ilmu sosial-humaniora), akan melahirkan pandangan realism-positivis-deterministik- nomotetik. Pendekatan objektif ini jika dipandang dari data yang dibutuhkan, yaitu data-data sekunder, yaitu data yang didapatkan tidak langsung dari individu yang diteliti, namun didapatkan melalui penggunaan alat ukur yang dimensi ukurannya jelas dan berbentuk informasi kuantitas-angka, maka disebut sebagai penelitian kuantitatif. Pendekatan subjektif terhadap objek pengetahuan (khususnya untuk ilmu sosial humaniora), melahirkan pandangan nominalism-anti-positivism-voluntaristik-ideografik. Pendekatan subjektif ini jika dipandang dari data penelitian yang dibutuhkan, yaitu data-data primer berupa (1) narasi langsung berbentuk verbatim atau rekaman hasil wawancara atau (2) hasil pengamatan langsung dan dicatat sebagai narasi tindakan individu yang diteliti, sehingga menghasilkan daya kualitas- naratif, maka disebut sebagai penelitian kualitatif. Lalu dimana posisi penelitian eksperimen? Kita pahami dahulu bahwa penelitian eksperimen merupakan sebuah metode penelitian yang bertujuan memahami posisi Diolah Dari Berbagai Sumber Relevan Sebagai Modul Bacaan Dasar Kuliah Psikologi Eksperimen 2021. Tidak diperkenankan digunakan sebagai referensi utama dalam ujian. Tidak diperkenankan menyebarkan tanpa seijin penulis.
deterministik dari suatu fenomena kepada fenomena yang lain, melalui suatu perlakuan sengaja dan terukur pada suatu fenomena (yang diproposisikan sebagai “sebab”), dan mengukur dampaknya dari fenomena lain (yang diproposisikan sebagai “akibat”), dan memastikan bahwa tidak ada fenomena-fenomena lain yang ikut terlibat mencemari penyelidikan pada kedua fenomena tersebut. Sifat deterministik itu sendiri merupakan unsur utama jenis penelitian kuantitatif, yaitu unsur asumsi human nature dari penelitian kualitatif. Sehingga dapat disimpulkan, penelitian eksperimen merupakan manifestasi utama penelitian kuantitatif, dalam upaya membentuk kebenaran ilmiah dengan pendekatan paradigma positivis. Secara ringkas, positivisme adalah pendekatan yang diadopsi dari ilmu alam yang menekankan pada kombinasi antara angka dan logika deduktif dan penggunaan alat‐alat kuantitatif dalam menginterpretasikan suatu fenomena secara “objektif”. Pendekatan ini berangkat dari keyakinan bahwa legitimasi sebuah ilmu dan penelitian berasal dari penggunaan data‐data yang terukur secara tepat, yang diperoleh melalui survai/kuisioner dan dikombinasikan dengan statistik dan pengujian hipotesis yang bebas nilai/objektif (Neuman 2003). Dengan cara itu, suatu fenomena dapat dianalisis untuk kemudian ditemukan hubungan di antara variabel‐ variabel yang terlibat di dalamnya. Hubungan tersebut adalah hubungan korelasi atau hubungan sebab akibat. Bagi positivisme, ilmu sosial dan ilmu alam menggunakan suatu dasar logika ilmu yang sama, sehingga seluruh aktivitas ilmiah pada kedua bidang ilmu tersebut harus menggunakan metode yang sama dalam mempelajari dan mencari jawaban serta mengembangkan teori. Dunia nyata berisi hal‐ hal yang bersifat berulang‐ulang dalam aturan maupun urutan tertentu sehingga dapat dicari hukum sebab akibatnya. Dengan demikian, teori dalam pemahaman ini terbentuk dari seperangkat hukum universal yang berlaku. Sedangkan tujuan penelitian adalah untuk menemukan hukum‐hukum tersebut. Dalam pendekatan ini, seorang peneliti memulai dengan sebuah hubungan sebab akibat umum yang diperoleh dari teori umum. Kemudian, menggunakan idenya untuk memperbaiki penjelasan tentang hubungan tersebut dalam konteks yang lebih khusus. Selain paradigma positivistik yang menjadi titik berat utama kajian dalam modul ini, kita juga sedikit banyak perlu memahami paradigma interpretif. Pendekatan interpretif berasal dari filsafat Jerman. Pendekatan interpretif ini menitikberatkan pada peranan bahasa, interpretasi dan pemahaman di dalam ilmu sosial-humaniora, sebagaimana ilmu psikologi termasuk di dalamnya. Pendekatan ini memfokuskan pada sifat subjektif dari social world dan berusaha memahaminya dari kerangka berpikir objek pengetahuan yang sedang dipelajarinya, yaitu manusia. Fokus pendekatan interpretif ini pada arti individu dan persepsi manusia pada realitas bukan pada realitas independen yang berada di luar mereka (Ghozali dan Chariri, 2007). Manusia dalam pandangan interpretif ini, secara terus menerus menciptakan realitas sosial mereka dalam rangka berinteraksi dengan yang lain (Schutz, 1967). Tujuan pendekatan interpretif adalah menganalisis realita sosial yang terus menerus diciptakan oleh manusia, dan bagaimana realita sosial itu terbentuk (Ghozali dan Chariri, 2007). Untuk memahami sebuah lingkungan sosial yang spesifik, peneliti berpandangan interpretif ini harus menyelami pengalaman subjektif para pelakunya. Penelitian interpretif tidak menempatkan objektivitas sebagai hal terpenting, melainkan mengakui bahwa demi memperoleh pemahaman mendalam, maka subjektivitas para pelaku harus digali sedalam mungkin hal ini memungkinkan terjadinya trade‐off alias penukaran antara objektivitas digantikan oleh kedalaman temuan penelitian (Efferin et al., 2004). Diolah Dari Berbagai Sumber Relevan Sebagai Modul Bacaan Dasar Kuliah Psikologi Eksperimen 2021. Tidak diperkenankan digunakan sebagai referensi utama dalam ujian. Tidak diperkenankan menyebarkan tanpa seijin penulis.
Sebagai pengayaan, jenis metode penelitian lain dapat dibedakan berdasarkan (1) jenis peneliti, (2) jenis penerapan hasil akhir penelitian, (3) jenis tujuan penelitian, dan (4) jenis paradigma yang digunakan. Jenis-jenis penelitian tersebut dapat dilihat pada tabel 2. Perspektif Jenis Penelitian Definisi Pembagian Penelitian Ilmiah jenis peneliti 1) Penelitian akademis Riset ilmiah yang melibatkan peneliti profesional, dijamin oleh lembaga penelitian 2) Penelitian Riset ilmiah yang dilakukan atas pesanan pihak evaluasi/kebijakan birokrat untuk menunjang kebutuhan pesanan pihak birokrat dalam tujuan menunjang kebutuhan administratif/kebijakan tertentu, dilaksanakan oleh peneliti profesional 3) Penelitian partisipatoris Riset ilmiah dengan pendekatan interaktif, dimana pelaku turut serta aktif mempengaruhi hasil, bertujuan untuk membangun kesadaran dan perubahan sosial pelaku jenis penerapan 1) Penelitian dasar Riset ilmiah yang dilakukan murni karena ingin hasil akhir menemukan sesuatu, tanpa memikirkan kemungkinan penelitian penerapannya. Hasil dari jenis penelitian ini adalah pengetahuan umum dan ilmu dasar-dasar. 2) Penelitian terapan Riset ilmiah yang dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh hasil yang berguna dari sudut kepentingan praktis. jenis tujuan 1) Deskriptif Riset ilmiah untuk menelaah sebuah fenomena untuk penelitian mendefinisikannya secara lebih baik, atau untuk membedakannya dengan fenomena lain. 2) Prediktif/korelasional Riset ilmiah untuk mengidentifikasi hubungan, yang mana menelaah tentang kemungkinan terjadinya sesuatu atas dasar kehadiran sesuatu yang lain. 3) Eksplanatif/ekperimental Riset ilmiah untuk menguji hubungan, yang mana menelaah hubungan deterministik (sebab-akibat) antara dua fenomena atau lebih. Riset ini mengandung unsur kesengajaan perlakuan pada fenomena penyebab dan mengukur dampaknya pada fenomena lain, disertai pengendalian fenomena-fenomena lain yang diduga akan mengganggu berjalannya model determinasi yang hendak diselidiki. 4) Tindakan/evaluatif Riset ilmuah yang bertujuan mencari solusi untuk suatu masalah, atau mengukur efektivitas suatu sistem 5) Eksploratif Riset ilmiah untuk mencari apakah suatu fenomena memang hadir/ada. jenis paradigma 1) Penelitian kuantitatif Riset ilmiah berdasarkan paradigma yang digunakan positivisme, menggunakan metode kuantitatif dan analisis kuantitatif, hasil akhir berupa generalisasi 2) Penelitian kualitatif Risrt ilmiah berdasarkan paradigma fenomenologi/natural inquiry, menggunakan metode kualitatif dan analisis kualitatif, hasil akhir berupa deskripsi/penjelasan Tabel 2 Pembagian Jenis-jenis penelitian berdasarkan berbagai perspektif Sebagaimana tujuan awal perancangan modul ini untuk menfasilitasi pembangunan pondasi pemahaman konseptual mengenai psikologi eksperimen, Penulis merasa perlu menyampaikan peran penelitian eksperimen dalam sejarah perkembangan ilmu psikologi, terkhusus lagi menempatkan psikologi pada posisi sebagai sains atau ilmu pengetahuan. Diolah Dari Berbagai Sumber Relevan Sebagai Modul Bacaan Dasar Kuliah Psikologi Eksperimen 2021. Tidak diperkenankan digunakan sebagai referensi utama dalam ujian. Tidak diperkenankan menyebarkan tanpa seijin penulis.
Seperti yang sudah banyak dibahas di kuliah-kuliah pengantar psikologi, psikologi mulai bisa meletakkan diri sebagai sains, ketika Wilhelm Wundt memperkenalkan penggunaan metode eksperimen melalui riset di laboratorium psikologi pertama di Leipzig, Jerman, di tahun 1879. Wundt pada mulanya dikenal sebagai seorang sosiolog, filsuf, dan ahli hukum. Ia juga pernah menjadi dosen dalam ilmu faal sampai profesor filsafat. Namun Wundt ternyata juga menggemari fenomena kejiwaan manusia. Buku pertamanya yang berjudul Beitrage Zur Theorie Der Sines Wahrnemung (Persepsi yang Dipengaruhi Kesadaran), yang diterbitkan pada tahun 1862, mengindikasikan ketertarikannya pada kajian psikologi. Buku lainnya adalah Grund zuge der Physiologichen Psychologie (Dasar Fisiologis dari Gejala-Gejala Psikologi) yang diterbitkan pada tahun 1874. Kegemaran Wundt pada kajian psikologi dan pola pikir eksperimentalnya yang dipengaruhi oleh J. P. Muller, pada akhirnya Wundt untuk mendirikan laboratorium psikologi di Leipzig, Jerman pada tahun 1879. Pendirian laboratorium tersebut merupakan titik tolak berdirinya psikologi sebagai ilmu pengetahuan yang terpisah dari induknya. Perlu diingat bahwa pada masa-masa Wundt merintis karya-karya monumentalnya terkait keilmiahan kajian psikologi tersebut, psikologi belum menjadi ilmu yang berdiri sendiri, tetapi istilah psikologi sudah sering digunakan meskipun masih menjadi kajian filsafat. Sebelum abad ke-19, psikologi merupakan bagian dari filsafat. Perbedaan cara memecahkan masalah jiwa dimasa lampau (psikologi masih menjadi bagian dari ilmu filsafat) dengan dimasa modern (psikologi menggunakan pendekatan paradigma positivis), terutama terletak dalam cara pendekatannya. Pendekatan dimasa lampau bersifat filosofis dan atomistik. Sedangkan masa modern dengan pendekatan ilmiah (scientific), yaitu melalui penelitian ilmiah. Karya tulis Wundt yang berjudul “Principles of Physiological Psychology” pada tahun 1874, menggunakan sistem dalam psikologi yang berupaya menyelidiki pengalaman langsung dari kesadaran. Termasuk perasaan, emosi, gagasan, terutama dijelajahi melalui introspeksi. Wundt berupaya memahami pikiran manusia dengan mengidentifikasi elemen pembentuk kesadaran manusia. Seperti halnya zat kimia yang bisa dibagi menjadi berbagai elemen. Dalam hal ini, Wundt menganggap psikologi sebagai ilmu, seperti halnya fisika dan kimia. Dengan melihat bahwa kesadaran adalah kumpulan dari berbagai bagian yang bisa diidentifikasi secara objektif melalui penanda fisiologis, untuk melihat determinasi alias hubungan kausalitas antar bagian-bagian atau antar elemen-elemen pembentuk kesadaran manusia tersebut, dipandang bahwa penyelidikan menggunakan metode eksperimen adalah metode yang paling memadai. Paling memadai untuk apa? Paling memadai untuk menyatakan kebenaran ilmiah atas asumsi atau klaim terkait fenomena-fenomena jiwa manusia, khususnya fenomena-fenomena kesadaran manusia, jika dikaitkan dengan situasi dan kondisi yang melatarbelakangi pendirian laboratorium psikologi oleh Wundt di tahun 1879 tadi. Riset Wundt tentang kesadaran manusia pada saat itu, melibatkan 3 (tiga) komponen utama, yaitu (1) stimulus exposure, (2) internal examination, dan (3) analysis. Komponen stimulus exposure yang dikelola dalam riset psikologi Wundt, memberikan pengalaman terkendali mengenai pemaparan suatu stimulus kesadaran manusia, dengan harapan menjadi penyebab perubahan pada unsur kesadaran manusia yang menjadi fenomena “akibat”. Ini bisa dikatakan mencirikan pradigma positivistis khususnya ciri deterministik dan ciri realism. Komponen analysis yang dikelola dalam riset psikologi Wundt, disiratkan adanya prinsip ideografik dari ilmu fisiologi yang digunakan untuk mereduksi kekaburan penggambaran proses kesadaran manusia, dengan jalan membatasi kajian-kajian proses kesadaran manusia Diolah Dari Berbagai Sumber Relevan Sebagai Modul Bacaan Dasar Kuliah Psikologi Eksperimen 2021. Tidak diperkenankan digunakan sebagai referensi utama dalam ujian. Tidak diperkenankan menyebarkan tanpa seijin penulis.
pada proses-proses neurologis yang lebih bisa diamati pada masa tersebut, misalnya menggunakan patokan waktu reaksi dalam membicarakan proses neurologis yang merepresentasikan proses kesadaran manusia. Pada akhirnya, aparatus (alat ukur) dan pengukuran berikut dengan mekanisme pelaksanaan penelitiannya (yang oleh Wundt sendiri disebut Psikologi eksperimen, karena melaksanakan tata laksana penelitian eksperimen) menyesuaian diri dengan pola pikir tersebut. Komponen internal examination yang dikelola dalam riset psikologi Wundt, secara garis besar meminta subjek penelitian menceritakan pengalamannya dalam pengalaman stimulus exposure, dalam tujuan mendapatkan gambaran efek perlakuan tertentu bukan hanya pada bentuk komponen-komponen kesadaran, namun juga pada proses dari komponen- komponen kesadaran tersebut. Bagian inilah yang sering menjadikan polemik diantara para penghayat ilmu psikologi terkait baiat Wundt sebagai bapak psikologi moden, karena internal examination ini seringkali disetarakan dengan voluntarism pada paradigma subjektif, alih-alih sebagai paradigma objektif yang hendak diincar oleh Wundt dengan pendekatan eksperimennya sebagai representasi komponen analysis. Seiring perkembangan jaman, penelitian eksperimen dalam kajian psikologi terus berkembang ke arah pemenuhan asumsi ilmiah yaitu C-H-O-P-R (Control, Hypothesis- Testing, Objectivity, Predictability, Replicability) dan pemenuhan paradigma positivistis. Hal ini difasilitasi berkembangnya apparatus dan teknik pengukuran di area paradigma positivistis, misalnya pengukuran fisiologis yang difasilitasi ilmu kedokteran yang terus berkembang seiring perkembangan teknologi. Penemuan EEG, EKG, fMRI atau alat-alat kedokteran lain, atau penemuan CCTV, internet dan penemuan lain yang turut membantu terlaksananya penelitian eksperimen yang benar-benar menggunakan data-data objektif dari apparatus dan cara pengukuran yang representatif untuk pencapaian jenis data objektif. Anda bisa menyimak dari tulisan Hock (2002) mengenai 40 penelitian berpengaruh di bidang psikologi, ternyata 80% atau 32 penelitian di antaranya merupakan penelitian eksperimen. Itu menjadi salah satu penanda mengenai peran dan pentingnya menjaga tradisi paradigma positivistis khususnya menggunakan metode eksperimen, namun tanpa mengesampingkan tradisi paradigma relativis- konstruktivism, sesuai kebutuhan pengembangan wacana ilmu psikologi itu sendiri. Penulis sangat menyarankan Anda untuk membaca 32 penelitian berpengaruh di bidang psikologi tersebut, untuk lebih memahami bagaimana upaya psikologi membangun kebenaran ilmiah atas pengetahuan-pengetahuan pembentuk ilmu psikologi modern, berikut menganalisis sumber-sumber tantangan pengembangan ilmu psikologi sebagai ilmu pengetahuan (science) di masa-masa yang akan datang. (Diolah dari berbagai sumber) Diolah Dari Berbagai Sumber Relevan Sebagai Modul Bacaan Dasar Kuliah Psikologi Eksperimen 2021. Tidak diperkenankan digunakan sebagai referensi utama dalam ujian. Tidak diperkenankan menyebarkan tanpa seijin penulis.
Search
Read the Text Version
- 1 - 16
Pages: