Celengan कृ णराज सवहारी उमेश चौधरी
Namaku Khushi Kumari. Hari ini ulang tahunku. 1
Dari Ibu, aku dapat sebuah gaun yang mirip gaun yang dipakai salah satu bonekaku, dan Paman menghadiahiku sebuah harmonika. 2
Ayah meletakkan kotak besar di hadapanku. Karena gembira, aku langsung membukanya. Apa ini kuda dari tanah liat? Bukankah itu lubang? ”Oh, celengan. Hanya ini?” Aku sangat kecewa. 3
Hadiah apa yang kau harapkan dari Ayah, Kushi?” Ayah bertanya, berusaha menghiburku. Mataku berkaca-kaca, lalu aku bergumam, ”... Kaus.” Sambil memberiku uang, Ayah pun berkata, ’Baiklah, kalau begitu. Belilah kaus yang kau suka, Nak. ’ 4
Namun, siapa yang menjual kaus malam- malam begini? Aku masukkan saja uangnya ke dalam celengan. 5
Keesokan harinya, kak Bunu berkata kepadaku, ”Berikan aku 10 dari uang yang Ayah berikan kepadamu, Khushi. Aku mau beli camilan hari ini. ’ 6
”Bagaimana caranya? Uangnya sudah ada di dalam celengan!” seruku. Ibu terkekeh mendengar jawabanku. 7
Aku mulai memasukkan semua uang recehku ke dalam celengan. Ternyata, ini cara yang efektuf untuk mengamankan uangku dari kak Bunu. 8
Ayah terkesan. ”Bagus, Nak! Kau sudah mau memakai celengannya. Mulai sekarang, berapa pun yang yang kaumasukkan ke dalam celengan, Ayah akan memasukkan uang sejumlah itu.” 9
Untuk mendorong kak Bunu menabung, Ayah juga memberinya uang dan menyuruhnya membeli celengan. Namun. kak Banu bukan hanya gemar jajan, melainkan juga punya kebiasaan mentraktir teman-temannya. Bagaimana dia bisa menabung? 10
Tak lama kemudian, pekerjaan Ayah mengharuskan kami pindah ke Dang, kampung halaman kami. 11
Karena ada festival Maghi, desa pun jadi meriah. Di rumah, semua orang termasuk Kakek sangat senang melihat tarianku sehingga mereka menghadiahiku banyak uang. Aku memasukkan semua lembaran uang dan recehan ke celengan. Setelah festival Maghi, aku pun mendaftar ke sekolah baru yang paling dekat dengan rumah. 12
Di sekolah, aku punya teman baru. Kami duduk sebangku. Namanya Anarkali. ”Dia tak punya ayah, dan ibunya bekerja mencuci piring di sebuah restoran. Dia berasal dari keluarga miskin!” Itulah yang kudengar dari orang-orang tentang Anarkali. Namun, aku merasa Anarkali hanyalah gadis biasa seperti aku. Pada akhirnya, kami menjadi sahabat. 13
Walaupun sekolah telah seminggu berlalu, aku belum mendapatkan seragam karena aku siswa baru. Namun, mengapa Anarkali belum mendapat seragam baru juga? Mungkin seragamnya, seperti seragamku, masih di tukang jahit. ”Seragammu belum jadi juga?” tanyaku, tapi Anarkali diam saja. Ternyata, dia tak mampu membeli seragam. 14
Aku memutuskan untuk memakai tabunganku dari celengan untuk membelikannya seragam baru. Sesampainya di rumah, aku memecahkan celengan dan menghitung uangnya. Aku telah mengumpulkan lebih dari seribu rupee! 15
Aku memberikan ukuran badanku kepada penjahit, karena tahu bajuku akan pas di badan Anarkali. 16
Aku berikan ukuran badanku kepada penjahit, karena aku tahu bajuku akan pas di badan Anarkali. Esok paginya, aku bergegas ke rumah Anarkali. Aku serahkan seragam sekolah itu kepadanya lalu berkata, ”Ayo, cepat ganti baju ini! Kalau tidak, kita akan terlambat ke sekolah!” 17
Awalnya, aku merasa kecewa dengan celengan itu tapi sekarang aku justru merasa bersyukur karenanya. 18
Brought to you by Let’s Read is an initiative of The Asia Foundation’s Books for Asia program that fosters young readers in Asia. booksforasia.org To read more books like this and get further information about this book, visit letsreadasia.org Original Story खटु या, illustrator: कृ णराज सवहारी उमशे चौधरी. Released under CC BY-NC 4.0. This work is a modified version of the original story. © The Asia Foundation, 2020. Some rights reserved. Released under CC BY-NC 4.0. For full terms of use and attribution, http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0/ Contributing translators: Hisni Munafarifana and Dina Begum
Search
Read the Text Version
- 1 - 20
Pages: