FILSAFAT POLITIK selalu bermula dari pembahasan tentang Tuhan— bagaimanapun ia dipahami—tentang alam semesta, dan tentang posisi manusia berhadapan dengan Tuhan, maupun alam semesta serta apa tujuan akhir keberadaan manusia di alam semesta ini. Selanjutnya, ketiganya diatur berdasarkan pema haman kita tentang relasi-relasi tersebut serta tujuan akhir segala urusan penciptaan. Perlu di sadari dalam kerangka ini bahwa filsafat Abad Pertengahan—termasuk di dalamnya filsafat Islam yang lahir pada era itu—memandang penciptaan sebagai bersifat teleologis (telos berarti tujuan). Di sisi lain, seluruh dunia ciptaan ini beroperasi atas suatu “mekanisme” yang tertib dan teratur—dalam terminologi Islam disebut sebagai Sunnah Allah. Lebih dari itu, pada dasarnya alam semesta me rupakan cerminan (teophany atau tajalliyât) Allah Swt., termasuk di dalamnya manusia. Dibanding alam semesta (al-‘âlam al-kabîr), manusia dalam khazanah intelektual Islam tertentu kadang-ka dang disebut sebagai jagad cilik (mikrokosmos atau al-‘âlam al-shaghîr). Dengan kata lain, se bagaimana alam semesta adalah cerminan Allah, manusia adalah cerminan alam semesta. Oleh karena itu, adalah logis untuk mencoba menjelas kan mekanisme beroperasinya alam semesta 211
BUKU SAKU FILSAFAT ISLAM dengan pemahaman akan (sifat-sifat) Allah Swt. Dan, pada gilirannya memahami psikologi, se bagaimana juga fisiologi manusia, sebagai replika mekanisme alam semesta tersebut. Kesemua ciri filsafat Islam ini tampil secara jelas dalam filsafat politik Al-Farabi. Al-Farabi memang menunjukkan bahwa bukan saja organisme manusia berada di bawah kendali akal, tetapi akal itu sendiri memiliki hierarkinya sendiri—yang berada dalam hierarki lebih tinggi mengendalikan yang ada di bawahnya. Demikian juga halnya dengan susunan negara. Bagi Al-Farabi, negara juga harus disusun sebagai mana tatanan alam semesta dan tatanan organisme manusia. Memulai filsafatnya tentang negara ini, Al-Farabi menyatakan bahwa tak setiap manusia ingin me ngetahui kebahagiaan sebagai tujuannya maupun sebagai tujuan setiap masyarakat tempat dia hidup. Lebih banyak lagi yang tak tahu bagaimana cara mencapai kebahagiaan ini. Sebagian, malah keba nyakan, manusia membutuhkan guru dan pem bimbing. Sebagian membutuhkan sedikit bimbingan, sedangkan sebagian lain membutuhkan banyak bim bingan. 212
FILSAFAT POLITIK Lebih jauh dari itu, sekalipun seorang manusia mengetahui kebahagiaan dan cara mendapatkan nya, entah tahu sendiri atau karena mendapat peng ajaran dan bimbingan dari seorang guru, tidaklah berarti bahwa ia akan berbuat sesuai dengan pe ngetahuannya itu bila tidak ada stimulus dari luar dirinya. Jadi, ia membutuhkan seseorang yang akan membuatnya berbuat demikian. Nah, tak setiap manusia mempunyai kapasitas untuk membimbing manusia lain atau—jika me mang memiliki kapasitas seperti ini—kemam puan untuk menasihati manusia lain untuk ber buat sesuatu. Sebagian manusia memiliki banyak dari kedua kapasitas seperti itu, atau hanya salah satunya. Sedangkan sebagian lainnya memiliki sedikit, dan malah ada pula yang sama sekali tidak memiliki keduanya. Namun, ada manusia yang memiliki keduanya. Ada manusia-manusia yang tidak membutuhkan bimbingan dan nasihat, dan pada saat yang sama mempunyai kapasitas untuk memberikan bimbing an dan nasihat kepada manusia lain. Ada juga ma nusia-manusia yang membutuhkan bimbingan atau nasihat, dan pada saat yang sama memiliki kapa sitas untuk memberikan bimbingan dan nasihat. 213
BUKU SAKU FILSAFAT ISLAM Ada pula manusia yang membutuhkan setiap bim bingan dan nasihat, dan pada saat yang sama tak mempunyai kapasitas dan kemampuan untuk memberikan bimbingan dan nasihat kepada ma nusia lain. Dalam hubungan ini, menurut Al Farabi, ada tiga golongan manusia, dalam hal kapa sitasnya untuk memimpin, yaitu kapasitas untuk membimbing dan menasihati. Yakni, pertama, penguasa tertinggi atau penguasa mutlak; kedua, penguasa subordinat yang memimpin dan sekali gus dipimpin; dan ketiga, yang dikuasai sepenuh nya. Penguasa tertinggi, dengan demikian, adalah nabi atau imam yang merupakan pemberi hu kum. Mereka menggariskan pendapat dan tin dakan untuk masyarakatnya melalui wahyu Tuhan. Ringkas kata, mereka adalah orang yang— selain sempurna fisik, mental dan jiwanya—me miliki keahlian yang sempurna dalam kearifan teoretis dan praktis, yakni keahlian memerintah atau politik. Negara seperti inilah yang, oleh Al-Farabi, disebut sebagai Negara Utama atau Negara Bajik (Al-Mâdinah Al-Fâdhilah). Negara Utama adalah lawan dari Negara Jahil, yang di dalamnya ter masuk “Negara Kebutuhan Dasar” (Al-Madînah 214
FILSAFAT POLITIK Al-Dharûriyyah), “Negara Jahat” (Al-Madînah Al Nadzâlah), “Negara Rendah” (Al-Madînah Al Khâssah), “Negara Kehormatan” (Timokratik), Negara Despotik” (Al-Madînah Al-Taghallub), dan “Negara Demokratik” (Al-Madînah Al-Jamâ‘iyyah). Tampak jelas bahwa filsafat politik Al-Farabi, sesungguhnya juga filsafat dan pemikiran politik Islam Abad Pertengahan hingga masa pramodern, lebih bersifat authoritarian—yakni, menekankan lebih kepada pemilik wewenang (authority)—ke timbang demokratis. (Hal ini tampaknya merupa kan hasil pengaruh Plato dan Aristoteles, yang memang cenderung memandang rendah demo krasi). Meskipun demikian, bagi Al-Farabi, Negara Demokratik adalah bentuk susunan pemerintahan yang paling berpeluang untuk menghasilkan Negara Utama. Meski bisa juga berisiko chaos, kebebasan dan heterogenitas yang dimiliki oleh para warga Negara Demokratik ini memungkinkan munculnya seorang pemimpin (imam) yang memiliki syarat syarat untuk memimpin Negara Utama, di samping juga untuk terkumpulnya “sedikit demi sedikit” orang-orang utama. Mungkin tak berlebihan untuk menyatakan bahwa, menurut Al-Farabi, kota demo 215
Menurut Al-Farabi, ada tiga golongan manusia, dari segi kapasitas untuk memimpin, yaitu kapasitas untuk memandu dan menasihati, yakni penguasa tertinggi atau penguasa mutlak; penguasa subordinat yang memimpin dan sekaligus dipimpin; dan yang dikuasai sepenuhnya.
FILSAFAT POLITIK kratik adalah perantara bagi lahirnya Negara Utama. Tampaknya Al-Farabi juga percaya bahwa pada dasarnya manusia—kalaupun hanya demi memuasi kebutuhan-kebutuhan dan keinginan keinginannya belaka—pada akhirnya akan menya dari bahwa kesemuanya itu paling baik bisa di selenggarakan dengan menempatkan diri mereka dalam suatu Negara Utama. Filsafat politik Al-Farabi ini terbukti berpengaruh terhadap filosof-filosof Muslim terkemudian. Di antara mereka, Ibn Sina (w. 1037 M) juga menghu bungkan negara ideal Islam dengan negara filosof rajanya Plato. Ibn Rusyd (w. 1198 M) pun berpen dapat bahwa supremasi syarî‘ah merupakan hukum wahyu yang ideal. Filosof Islam lainnya, Fakhruddin Al-Razi (w. 1209 M), berupaya merujukkan antara filsafat dan teologi, dan juga mengadaptasikan teori filosof-raja dengan ideal Islam. Pada gilirannya, Nashir Al-Din Al-Thusi (w. 1274 M) mengembang kan teori itu lebih lanjut. Meskipun demikian, tak ada di antara para penerusnya yang telah berhasil mengembangkan pemikiran politik yang sedemi kian padu dan menyeluruh sebagaimana Al-Farabi. Lebih dari itu, filsafat Al-Farabi telah menjadi stan 217
BUKU SAKU FILSAFAT ISLAM dar bagi pemikiran ilmiah, baik di Barat maupun di Timur hingga jauh setelah wafatnya.[] 218
18 BAB Kritikterhadap Filsafat Islam dan Responsnya: Sebuah Catatan Penutup Filsafat Islam sesungguhnya tak pernah sepi oleh kritik. Di mata para agamawan tradisional—yakni yang mengandalkan pemikiran keagamaan pada teks-teks dan penafsiran bayânî (eksplikatif) se bagaimana terungkap dalam berbagai ilmu agama, termasuk ilmu tafsir, hadis, ilmu ushûl al-dîn (‘aqîdah), fiqih, dan sebagainya—filsafat sering tampak sebagai bid‘ah yang tak ada dasar-ke agamaannya. Ditambah lagi oleh kenyataan bahwa filsafat Islam banyak mengambil dari ilmu-ilmu asing, khususnya yang datang dari Yunani (untuk tak menyebut sumber-sumber lain, seperti India, Persia, Romawi, dan sebagainya). Belum lagi libe
BUKU SAKU FILSAFAT ISLAM ralisme filsafat yang tak hendak berhenti pada apa-apa yang mereka anggap sebagai batas-batas pemikiran akal manusia. Filsafat malah me nembus terlalu jauh hingga ke persoalan-per soalan metafisis yang tak segera dapat dicari kan dasarnya dalam ajaran agama, termasuk per soalan ketuhanan, keakhiratan, dan sebagainya. Penafsiran filsafat—yang cenderung hermeneutis (bersifat takwil)—juga memberikan kesan nye leneh pada disiplin ini. Meski para filosof tak jarang berupaya merujukkan produk-produk pe mikiran mereka kepada ajaran agama, tak pelak banyak di antaranya menyebal bahkan terkesan bertentangan dengan apa-apa yang diterima se cara tradisional. Prinsip emanasi, misalnya, dapat terkesan bertentangan dengan gagasan tradisi onal tentang penciptaan alam secara sekaligus dan dari ketiadaan (creatio ex nihilo). Emanasi, dan berbagai paham yang diturunkan daripada nya, termasuk juga paham ketunggalan wujud, juga terkesan menabrak transendensi (keber bedaan) Tuhan dari alam semesta selebihnya. Belum lagi pandangan kaum filosof tentang kekuasaan Tuhan yang terkesan membatasi ke mutlakan-Nya. Lalu masalah penentangan ter hadap paham kehancuran alam semesta di hari 220
KRITIK TERHADAP FILSAFAT ISLAM kiamat—sebagaimana terkesan diungkapkan oleh sebagian filosof, termasuk Ibn Sina—dan juga kebangkitan manusia di akhirat dengan jasadnya. Dan tak terbilang berbagai masalah lain yang tampak sebagai bersifat kontroversial di mata para agamawan tradisional ini. Kita pun semua tahu bahwa kritik terhadap filsafat datang paling keras dari Al-Ghazali. Awal nya juga seorang filosof, Al-Ghazali mengritik filsafat dari sudut prosedur logis yang diperguna kan oleh filsafat itu sendiri. Dalam bukunya yang berjudul Tahâfut Al-Falâsifah (Inkoherensi atau Ketaklogisan Kaum Filosof) itu, Al-Ghazali me nunjukkan berbagai kerancuan logis dalam pe mikiran mereka. Kritik Al-Ghazali ini, betapapun menggunakan prosedur filosofis, tampaknya datang dari sudut teologis. Di samping seorang sufi—yang yakin bahwa kebenaran puncak hanya bisa diperoleh lewat jalan hidup bertasawuf— Al-Ghazali adalah seorang penganut teologi Asy‘ariyah. Kepercayan kaum filosof sudah tentu banyak bertabrakan dengan teologi “tradisional” semacam ini. Memang, kalaupun hendak dicari kan kesejalanannya, maka filsafat sudah barang tentu lebih dekat kepada teologi rasional ala 221
BUKU SAKU FILSAFAT ISLAM Mu‘tazilah. Kritik Al-Ghazali ini dilanjutkan, antara lain, oleh penerusnya yang juga amat menonjol, yakni, Fakr Al-Din Al-Razi. Namun, kritik mereka, di samping memiliki pengaruh menghambat terhadap perkembangan filsafat, belakangan justru terbukti mendekatkan filsafat dengan teologi dan tasawuf, serta dengan ajaran ajaran Islam (Lihat Bab 7, “Sejarah Ringkas Fil safat Islam”). Tapi, filsafat juga bukannya tak mendapat kritik di “rumah”-nya sendiri. Suhrawardi, pen diri aliran iluminisme Islam (Isyrâqiyyah) adalah seorang kritikus terhadap logika Aristotelian. Mulla Shadra tak jarang mengkritik epistemologi peripatetisme hingga terdengar menjadi hampir hampir sepenuhnya sufistik. Di masa modern kita dapati ulama terkemuka, baik dari kalangan Sunni maupun Syi‘ah, bersikap kritis terhadap filsafat. Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar yang terhitung amat modern ini pun, misalnya, amat kritis terhadap filsafat pada umumnya, meski memujikan mazhab filosofis model Al-Ghazali yang dianggapnya kuat berakar dalam ajaran Islam. Imam Khomeini, meski ia sendiri adalah penganut mazhab Hikmah, juga 222
KRITIK TERHADAP FILSAFAT ISLAM sering terkesan kritis terhadap filsafat yang meng andalkan pada rasionalitas. Akhirnya, Ali Syari‘ati adalah contoh intelek tual Muslim yang—meski pemikirannya banyak diwarnai filsafat, bahkan termasuk filsafat Barat— melihat filsafat Islam (tradisional) sebagai tak manusiawi dengan sikapnya yang ramah kepada raja-raja dan tak peduli terhadap persoalan-per soalan konkret kemanusiaan. Padahal, menurut nya, Islam—bahkan agama-agama pada umumnya— diadakan demi membebaskan manusia dari per soalan-persoalan (penindasan) yang menimpanya. Jika kita simpulkan, pada umumnya seluruh kritik terhadap filsafat Islam tertuju pada kesan bahwa ia tak terlalu peduli—bahkan siap berten tangan—dengan ajaran-ajaran Islam, baik yang “filosofis” maupun praktis. Jika para pembaca yang budiman berkenan mencermati, sesungguhnya buku yang sedang Anda baca ini dirancang untuk memperkenalkan filsafat Islam yang lebih ramah terhadap ajaran ajaran—atau, kalau mau, sebutlah doktrin-dok trin—Islam. Jangankan dalam hal filsafat Islam pasca-Ibn Rusyd yang bersifat iluministik, bah 223
BUKU SAKU FILSAFAT ISLAM kan dalam pembahasan mengenai aliran filsafat Islam yang biasa disebut sebagai peripatetik, buku ini berusaha menunjukkan—setidaknya mengesankan—kaitan-organisnya dengan ajaran ajaran Islam. Inilah memang kecenderungan berfilsafat penulis yang memang harus penulis akui. Berbeda dengan para pemikir liberal yang—jika kita meminjam taksonomi epistemo logis Muhammad ‘Abd Al-Jabiri—memujikan epistemologi burhani (diskursif-logis) ala Ibn Rusyd—penulis buku ini menganut keyakinan pada sebuah kombinasi antara epistemologi burhani dan ‘irfân (sufistik, gnostik, atau ilumi nistik). Dalam konteks ini, Buku Saku Filsafat Islam yang sedang Anda baca ini kiranya telah memilih bahan-bahan yang mengakomodasikan respons terhadap kritik-kritik orang terhadap filsafat Islam, yang saya uraikan secara serba ringkas di atas. Demikian pula, mudah-mudahan tak terlalu sulit bagi pembaca untuk melihat berbagai man faat praktis filsafat Islam, yang saya singgung singgung di bab-bab awal buku ini. Termasuk di dalamnya warna dan bahan berupa nilai-nilai keruhanian dan psikologis—serta akhlaki—dalam 224
KRITIK TERHADAP FILSAFAT ISLAM berbagai pembahasan dalam buku ini, tak ter kecuali yang terkait dengan berbagai pembahasan sophisticated mengenai filsafat wujud serta prinsip-prinsip dalam ‘irfân dan filsafat Hikmah. Bahan-bahan tersebut kiranya dapat menonjolkan berbagai manfaat filsafat Islam dalam berbagai bidang kehidupan, eksistensial dan spiritual, psi kologis, etis, politis, dan sebagainya—di samping manfaatnya untuk mengendalikan proses berpikir manusia agar sesuai dengan prosedur logis demi pencapaian kebenaran dan objektivitas. Demikian pula, dimasukkannya dua bab mengenai filsafat praktis kiranya dapat memberikan gambaran tentang manfaat filsafat Islam di kedua bidang tersebut. Bahkan juga yang saintifik. Tak sulit untuk melihat betapa epistemologi dan ontologi, yang tak kurang mendapatkan perhatian amat besar dalam filsafat Islam, dapat memberikan kontribusi dalam wacana kritik terhadap sains modern. (Belakangan, malah, tak sedikit uraian dibuat orang untuk melihat unsur-unsur santifik dalam doktrin ketunggalan wujud Ibn ‘Arabi, atau prinsip-prinsip filsafat Hikmah, sebagai pe ngembangan atas berbagai prinsip filsafat Islam tersebut.) 225
BUKU SAKU FILSAFAT ISLAM Sudah tentu tidak dengan demikian saya hen dak menyatakan bahwa pemaparan dalam buku ini tertutup terhadap kritik. Pertama, sebagai mana karya yang lain, buku ini tentu mengandung cacat-cacat (apalagi, ini bukanlah suatu karya akademik, yang ditulis oleh seseorang yang ahli di bidangnya). Kedua, betapapun juga, upaya mengembangkan semacam filsafat yang lebih “islami” seperti ini sama sekali tak menjamin bahwa para kritikusnya akan segera merasa puas. Apalagi, di mata orang-orang yang sedikit banyak memiliki sudut pandang yang literalistik terhadap agama. Kalau boleh berharap, mudah-mudahan buku ini—selain berupaya memaparkan filsafat Islam secara relatif simpel dan populer—dapat mem berikan gambaran dan sumbangan (betapapun sedikitnya) terhadap upaya untuk mengembang kan semacam pemahaman yang lebih rasional dan “ilmiah” terhadap ajaran Islam, dalam suatu cara yang masih bisa dianggap setia terhadap nilai-nilai-dasarnya.[] 226
INDEKS Abdul Karim Al-Jilli, 155 Akal (Lanjutan) Adab Al-Murîdîn, 138 suci, 125 agama, 78 teoretis, 198 perbedaan — dan filsafat, ‘âlam al-amr, 128 77 Al-‘âlam al-kabîr, 211 Al-‘âlam al-shaghîr, 211 Ahadiyyah, 130 ‘âlam barzakh, 128 Akal alam jabarût, 131 alam malak, 131 Aktif, 85, 121 alam malakût, 131 aktual, 123 ‘âlam syahâdah, 128 dan pembagiannya, 123 alam Kesepuluh, 120 Pertama, 116 metafisis, 73 potensial, 123 spiritual, 128 praktis, 198
BUKU SAKU FILSAFAT ISLAM Ali Syari‘ati, 223 cahaya ilham, 146 ambiguitas, 98 Camus, 67 Al-‘Amili, 162 Capra, Fritjof, 48, 53 Apathea, 204 The Conquest of Happiness, ‘aql, 83 Aquinas, Thomas, 135 70 Aristoteles, 32, 76, 93, 111, The Consolations of Philo 112, 190, 196, 198, 208 sophy, Albert, 67 Al-Asfar Al-Arba‘ah, 164 Corbin, Henry, 136, 138, 142 Ashâlah al-wujûd, 177 The Corporate Mystic, 71 asketisme, 191 Cunningham, 140 Asy‘arisme, 193 Atsulujia Aristuthalis, 112 De Vaux, Carra, 137 Augustinus, St., 135 Descartes, Rene, 50 Dzât Al-Wujûd, 130 Bacon, Roger, 50 Eksistensialisme Islam, 173 Bakar, Osman, 49 eksperiensial, metode, 93 benzena, rumus, 86 emanasi, 115 Bidâyah Al-Mujtahid, 87, 104 Al-Biruni, 49 prinsip —, 220 Bonaventura, St., 135 Ennead, 112 burhânî, 78 etika, 51, 189-190 Fakhruddin Al-Razi, 105, 217, 222 228
INDEKS Al--FFaarlasbaif,a1h0A2,l-1Û1l5â,,210072, 212 forma, 118 Foucault, 67 fascinans, aspek, 74 Fu’âd, 132 Fathimah, 149 Fushûsh Al-Hikam, 115, 150 Filsafat, 220 Al-Futûhat Al-Makkiyah, dan masalah kemanu 150 siaan, 31 genome manusia, proyek, diskursif, 136 53 Hikmah, 91, 97-98, 107, Gerakan Ekologi Dalam, 47 159, 171 Ghayb Al-Ghuyûb, 130 Ibn ‘Arabi, 149 Al-Ghazali, 104, 221 iluminasi, 133 intuitif, 136 Hâhût, 131 Islam, 77-78, 91, 101 Al-harakah al-jauhariyyah, Isyrâqiyyah, 81, 144 kenabian, 209 180 perang Sun Tzu, 73 Hasan Al-Bashri, 191 politik, 207 Hayâkil Al-Nûr, 137 praktis, 189 al-hayawân al-nâthiq, 123 teoretis, 189 Hendricks, Gay, 71 definisi —, 38 Hermes, 142 manfaat —, 65 Hermetisme, 142 tiga manfaat —, 61 Al-Hikmah Al-‘Arsyiyyah, fisika, 50 167 Hikmah Al-Isyrâq, 95 229
BUKU SAKU FILSAFAT ISLAM Al-H1i0k7mah Al-Muta‘aliyah, Iluminisme (Lanjutan) prinsip dasar —, 95 tiga prinsip —, 171 hikmah, 81 imaterial, 118 Horten, Max, 137 An Introduction to Classical Hylomorfisme, 111 Islamic Philosophy, 86 Ibn ‘Arabi, 98, 149, 156 invisible hand, 58 Ibn Bajjah, 103, 115 Iqbal, 50 Ibn Gabirol, 207 Iransyahri, 101 Ibn Hayyan, 49 ‘Irfân, 81, 95 Ibn Miskawaih, 203 Al-Isyârât wa Tanbîhat, 114 Ibn Rusyd, 81, 87, 103-104, Isyrâqiyyah, 133 Izutsu, Toshihiko, 85,160 217 Ibn Sina, 49, 87, 102-103, jadalî, 78 James, William, 76, 140 113, 201, 207, 217 Jami’, 155 Ibn Thufail, 103, 115 Jibril, Malaikat, 85, 120 Ibrahim Madkour, 208 Jiwa manusia, 122 If Aristotle Ran General justifikasi, konteks, 86 Motor, 71 Kant, 140 ilham, 83 kapitalisme, 59 Illative sense, 31, 36 Al-Kasyf ‘an Manâhij Al Ilmu hudhûrî, 186 Ilmu hûshûli, 186 Adillah, 102 Iluminisme, 91 230
INDEKS keadilan Al-Malik Al-Zahir Al-Ghazi, definisi —, 58 136 Tuhan, 194 Manthiq Al-Masyriqiyîn, 114 kebahagiaan puncak manusia menurut Al-Farabi, 209 menurut Plato, 209 tiga golongan — menurut Al-Farabi, 214 keimanan, 77 Kekule, 87 Al-Maqtul, 136 kesadaran poetik, 83 marâtib al-wujud, 127 kesalehan, 191 Marinoff, Louis, 68 Khawarij, kaum, 193 Marx, 59 Al-Kindi, 87, 101, 112, 194 Marxisme, 59 Kontak, 125 Massignon, Louis, 137 Kuhn, Thomas S., 48 materi, 111, 118 Al-Kulaini, 169 Maujud, 183 Mehdi Ha’iri Yazdi, 138 Lâhût, 131 Melebranche, 135 Leaman, Oliver, 85-86 membaca sebagai peng Ludeman, Kate, 71 Lyotard, 67 alaman eksistensial, 66 metafisika, 50, 53 Al-Madda’wa Al-Ma‘âd, 167 Mir Damad, 162 Al-Madînah Al-Fâdhilah, Mir Findiriski, 162 Misterium tremendum, 74 209, 214 moderasi, 196 moral, 189 231
BUKU SAKU FILSAFAT ISLAM Morris, James W., 150 Negara (Lanjutan) Morris, Tom, 71 utama, 214 Mu‘tazilah, kaum, 193 Muhammad Al-Jabiri, 224 Neo-Platonisme, 112, 142 Mulla Shadra, 138, 107, 160, Newman, John Henri, 31 Nichomachean Ethics, 196 163, 173, 176 Nietzche, 60 Mundus imaginalis, 73 nous, 83 Murjiah, kaum, 193 nûr, 147 Muthahhari, 88 ontologi, 97 Naess, Arne, 47 Oppenheimer, 53 al-nafsal-muthtma’innah, 132 orang bahagia, tanda, 203 al-nafs al-nâthiqah, 123 Otto, Rudolf, 74 nafs, 132 Nashir Al-Din Al-Thusi, 105, pemilikan, 198 penemuan, konteks, 86 169, 217 pengalaman intuitif, 97 Nasr, Seyyed Hossein, 54, pengetahuan, 157 142 tiga klasifikasi —, 151 Nâsût, 131 diri, 73 Negara eksperiensial, 151 intelektual, 151 despotik, 215 tentang yang gaib, 152 jahat, 215 kebutuhan dasar, 214 153 kehormatan, 215 232
INDEKS penguasa rasionalisme, 196 subordinat, 214 Al-Razi, 49, 207 tertinggi, 214 relativisme saintifik, 35 Ritten, Helmut, 137 perennial wisdom, 142 ruh, 132 Peripatetik, 93 Rumi, 155 Peripatetisme, 91, 140 Russel, Bertrand, 140 ciri utama —, 111 Sa’di, 155 Philo, 80 sains, 49 Philosophy practitioners, 68 Phronesis, 32, 36 keras, 54 Plato, 60, 93, 133, 190, 209, pelepasan — dari filsafat, 217 51 Plato, Not Prozac!, 68 Sartre, 67 Platonisme, 113 Sayyid Haidar ‘Amuli, 155 The Plight of Modern Man, Schrodinger, 53 Shadr Al-Din Al-Qunawi, 54 Plotinus, 112, 190 105 Porphyri, 190 Shalah Al-Din Al-Ayubi, 136 primary truth, 80 sifat baik, daftar, 201 Ptolemeus, 118 sifat buruk, 201 Pythagoras, 190 sinar ketuhanan, 146 Sindhunata, 32, 36 Rahman, Fazlur, 85, 159 skeptisisme, 78 Rahsa, 31, 36 233
BUKU SAKU FILSAFAT ISLAM Spies, Otto, 137 teologi dialektik, 91 spiritualitas, 73 Teosofi Transenden, 165 status anxiety, 70 Al-Thusi, 49, 207 The Structure of Scientific Tuhan, konsep tentang, 113 Revolutions, 48 The Ultimate Mystery, 75 substansial, gerak, 183 Ushûl Al-Kâfi, 169 sufisme, 91 Suhrawardi, 95, 105, 135, The Varieties of Religious Thought, 76 140, 178, 222 Surplus value of labour, 59 wahdah al-wujûd, 155 al-syahid, 136 Wâhidiyyah, 130 Syajarah Al-Kaun, 151 Wittgenstein, 140 Al-Syawâhid Al-Rubûbiyyah, wujud, 173, 175 167 menurut Ibn ‘Arabi, 157 Al-Syirazi, 105 tingkatan —, 127 Sympathea, prinsip, 114 Yang dikuasai sepenuhnya, ta‘abudî, 78 214 Tahâfut Al-Falasifah, 104, Ziai, Husein, 142 221 Zoroasterian, 142 Tahâfut Al-Tahâfut, 104 The Tao of Physics, 48 Tarjumân Al-Asywâq, 151 tasawuf, 140, 191 Tasykîk al-wujûd, 177 234
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224