KESIAPAN MENERIMA ILMU Belajar dari Fenomena Kebumian Agus S Djamil | 7 November 2021 Seorang Suhu Zen menuangkan air ke dalam sebuah mangkuk keramik. Air mengucur ke dalam mangkuk, sampai mangkuk itu penuh. Sang Suhu tetap terus menuangkan air ke mangkuk itu. Air melimpah dan meluap pinggiran mangkuk, lalu membasahi meja. Murid- muridnya terkejut. Bertanya dalam hati apa gerangan yang sedang dilakukan gurunya.
“Mangkuk” yang penuh, tidak akan siap menerima kucuran “air”. Tetapi apakah menuangkan isi mangkuk yang sudah penuh suatu kebijaksanaan? Untuk selalu siap menerima ilmu, selalu harus ada proses untuk menyiapkan wadah untuk menampung ilmu itu. Jangan sampai meluap dan wadah tak lagi mampu menampung. Wadah yang kecil, seperti mangkuk tadi, akan cepat penuh. Perlu wadah nan selalu membesar, selalu siap menampung kucuran baru.
Adakah wadah nan selalu siap untuk menerima curahan “air dari langit”? Apakah ada mangkuk maha lebar? Gelas maha tinggi? atau sumur tanpa dasar? Yang kesemuanya akan selalu siap menampung air… terus menerus? Kita membaca lembaran-lembaran alam. Tadabur pada alam semesta. Membaca bagaimana alam ini menerima air dari langit yang tak pernah putus sejak zaman kelahiran bumi. Hingga kucuran air yang senantiasa datang hingga hari ini.
Ada tiga fenomena dari pembacaan pada alam ini. Tadabbur alam ini tentang lembah nan senantiasa ambles, pori-pori yang menyediakan ruang berlabuhnya air, dan air yang terus berjalan di permukaan bumi hingga jauh ke lembah lain yang lebih dalam bahkan hingga ke laut. Kita telaah satu demi satu. Pertama, cekungan (basin) nan senantiasa ambles turun ke bawah (subsidence). Memadat di bagian bawah, sembari selalu menciptakan ruang baru yang secukupnya untuk datangnya air
kemudian. Limpahan air akan menjadi kubangan. Kubangan menjadi oase atau telaga. Bahkan mungkin menjadi danau dan lalu menjadi cekungan yang menampung air dari mana saja di sekelilingnya. Bahkan air laut pun ditampungnya, saat cekungan melebar dan menjadi bagian dari sebuah teluk yang mendekap bibir lautan. Kedua, pori-pori batuan tempat persemayaman terakhir dalam lapisan batuan. Pada celah di lapisan batuan yang senantiasa berpori. Sebagian besar air akan meresap pada dinding dan dasar dari telaga. Mengisi celah pori di antara butiran pasir atau lempung. Sekaligus air
menjadi tersaring semakin bersih. Semakin murni. Semakin mendekati kesejatian air yang istimewa. Sampai molekul-molekul air tadi tersimpan rapat dalam kungkungan pori-pori lapisan batuan. Cadangan untuk kelak dipakai. Ketiga, air yang terus berjalan hingga ke lembah yang siap menampungnya. Air yang melimpah dipermukaan dan belum menemukan lembah dan cekungan, akan terus mengikis permukaan bumi yang dilewatinya. Mengikis terus sambil membawa serta banyak “kotoran” dan butiran halus. Hingga jauh ke dasar lembah. Ke hilir sungai. Dan mengantarkannya ke dasar lautan.
Ilmu itu seperti air yang turun dari langit. Anzalna minassamaai maa’. Air yang diturunkan dari langit ada dua macam. Air pertama yang datang dari angkasa luar sebagai lelehan comet beku, dari gugusan Quiper Belt nun jauh di sana. Air kiriman dari angkasa luar ini adalah air asal. Air murni modal kehidupan awal di bumi. Kemudian air dari langit yang kedua adalah air hujan yang diturunkan dari celah-celah awan gelap yang menggumpal dan menggantung di atas gunung-ganang bumi kita. Air murni hasil penguapan air asal yang telah berumah di lautan luas.
Ilmu juga datang dari langit. Seperti air dari langit. Ada yang asli berupa wahyu. Dan sekali-kali berupa ilham dan intuisi, pada hati yang suci. Ada pula yang datang dari langit yang dekat. Bagai air hujan yang jatuh dari “langit”, tetapi asalnya dari bumi. Air hasil penguapan air laut yang terkondensasi menjadii awan. Air ini jatuh ke bumi. Senantiasa jatuh terus menerus. Dan ini bagai ilmu yang terus berkembang membawa keberkahan pada tempat-tempat yang siap menerimanya.
Air ini tertampung pada lembah yang semakin dalam. Subsided, ambles menciptakan ruang. Siap menerima kucuran air hujan. Menjadikannya sebagai tandon air segar yang siap menyediakan air minum untuk manusia, hewan dan tanaman. Inilah iktibar bagi pencari ilmu, dari tadabur lembah yang semakin dalam dan siap menampung banyak guyuran air hujan dari langit itu. Selalu menyediakan ruang di dalam relung-relung diri kita, untuk menampung guyuran ilmu yang selalu datang kapan saja.
Kita siapkan diri kita untuk “ambles”, merendah, subsidence. Merubah mangkuk menjadi oase, telaga dan danau besar. Selalu siap menerima kucuran air ilmu dari langit. Air ilmu dari celah awan yang menggantung di atas kita. Atau siapa tahu akan datang air baru dari langit angkasa nan jauh tak terhingga sebagai ilham dari ilahi. Tangerang Selatan, 7 November 2021
Search
Read the Text Version
- 1 - 11
Pages: