247 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 Penggunaan dua identitas juga digunakan dalam pelabelan. misalnya, sampel darah dan sampel patologi, nampan makanan pasien, label ASI yang disimpan untuk bayi yang dirawat di rumah sakit. 3) Elemen Penilaian SKP 1 a) Rumah sakit telah menetapkan regulasi terkait Sasaran keselamatan pasien meliputi poin 1 – 6 pada gambaran umum. b) Rumah sakit telah menerapkan proses identifikasi pasien menggunakan minimal 2 (dua) identitas, dapat memenuhi tujuan identifikasi pasien dan sesuai dengan ketentuan rumah sakit. c) Pasien telah diidentifikasi menggunakan minimal dua jenis identitas meliputi poin 1) - 4) dalam maksud dan tujuan. d) Rumah sakit memastikan pasien teridentifikasi dengan tepat pada situasi khusus, dan penggunaan label seperti tercantum dalam maksud dan tujuan. b. Meningkatkan Komunikasi yang Efektif 1) Standar SKP 2 Rumah sakit menerapkan proses untuk meningkatkan efektivitas komunikasi lisan dan/atau telepon di antara para profesional pemberi asuhan (PPA), proses pelaporan hasil kritis pada pemeriksaan diagnostic termasuk POCT dan proses komunikasi saat serah terima (hand over) . 2) Maksud dan Tujuan SKP 2 Komunikasi efektif adalah komunikasi yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan dipahami oleh resipien/penerima pesan akan mengurangi potensi terjadinya kesalahan serta meningkatkan keselamatan pasien. Komunikasi dapat dilakukan secara lisan, tertulis dan elektronik. Komunikasi yang paling banyak memiliki potensi terjadinya kesalahan adalah pemberian instruksi secara lisan atau melalui telpon, pelaporan hasil kritis dan saat serah terima.. Latar belakang suara, gangguan, nama obat yang mirip dan istilah yang tidak umum sering kali menjadi masalah. Metode, formulir dan alat bantu ditetapkan sesuai dengan jenis komunikasi agar dapat dilakukan secara konsisten dan lengkap. a) Metode komunikasi saat menerima instruksi melalui telpon adalah: “menulis/menginput ke komputer - membacakan - konfirmasi kembali” (writedown read back confirmation, , ) kepada pemberi instruksi misalnya kepada DPJP. Konfirmasi harus dilakukan saat itu juga melalui telpon untuk menanyakan apakah “yang dibacakan” sudah sesuai dengan instruksi yang diberikan. Sedangkan metode komunikasi saat melaporkan kondisi pasien kepada DPJP dapat menggunakan metode misalnya Situation background assessment recommendation -- - (SBAR). b) Metode komunikasi saat melaporkan nilai kritis pemeriksaan diagnostik melalui telpon juga dapat dengan: “menulis/menginput ke komputer - membacakan - konfirmasi kembali” (writedown, read back). Hasil kritis
248 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 didefinisikan sebagai varian dari rentang normal yang menunjukkan adanya kondisi patofisiologis yang berisiko tinggi atau mengancam nyawa, yang dianggap gawat atau darurat, dan mungkin memerlukan tindakan medis segera untuk menyelamatkan nyawa atau mencegah kejadian yang tidak diinginkan. Hasil kritis dapat dijumpai pada pemeriksaan pasien rawat jalan maupun rawat inap. Rumah sakit menentukan mekanisme pelaporan hasil kritis di rawat jalan dan rawat inap. Pemeriksaan diagnostik mencakup semua pemeriksaan seperti laboratorium, pencitraan/radiologi, diagnostik jantung juga pada hasil pemeriksaan yang dilakukan di tempat tidur pasien (point-of-care testing(POCT). Pada pasien rawat inap pelaporan hasil kritis dapat dilaporkan melalui perawat yang akan meneruskan laporan kepada DPJP yang meminta pemeriksaan. Rentang waktu pelaporan hasil kritis ditentukan kurang dari 30 menit sejak hasil di verifikasi oleh PPA yang berwenang di unit pemeriksaan penunjang diagnostik. c) Metode komunikasi saat serah terima distandarisasi pada jenis serah terima yang sama misalnya serah terima antar ruangan di rawat inap. Untuk jenis serah terima yang berbeda maka dapat menggunakan metode, formulir dan alat yang berbeda. Misalnya serah terima dari IGD ke ruang rawat inap dapat berbeda dengan serah terima dari kamar operasi ke unit intensif; Jenis serah terima (handover) di dalam rumah sakit dapat mencakup: a) antara PPA (misalnya, antar dokter, dari dokter ke perawat, antar perawat, dan seterusnya); b) antara unit perawatan yang berbeda di dalam rumah sakit (misalnya saat pasien dipindahkan dari ruang perawatan intensif ke ruang perawatan atau dari instalasi gawat darurat ke ruang operasi); dan c) dari ruang perawatan pasien ke unit layanan diagnostik seperti radiologi atau fisioterapi. Formulir serah terima antara PPA, tidak perlu dimasukkan ke dalam rekam medis. Namun demikian, rumah sakit harus memastikan bahwa proses serah terima telah dilakukan. misalnya PPA mencatat serah terima telah dilakukan dan kepada siapa tanggung jawab pelayanan diserahterimakan, kemudian dapat dibubuhkan tanda tangan, tanggal dan waktu pencatatan). 3) Elemen Penilaian SKP 2 a) Rumah sakit telah menerapkan komunikasi saat menerima instruksi melalui telepon: menulis/menginput ke komputer – membacakan – konfirmasi kembali” (writedown, read back, confirmation dan SBAR saat melaporkan kondisi pasien kepada DPJP serta di dokumentasikan dalam rekam medik.
249 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 b) Rumah sakit telah menerapkan komunikasi saat pelaporan hasil kritis pemeriksaan penunjang diagnostic melalui telepon: menulis/menginput ke komputer – membacakan – konfirmasi kembali” (writedown, read back, confirmation dan di dokumentasikan dalam rekam medik. c) Rumah sakit telah menerapkan komunikasi saat serah terima sesuai dengan jenis serah terima meliputi poin 1) - 3) dalam maksud dan tujuan. c. Meningkatkan Keamanan Obat-Obatan yang Harus Diwaspadai 1) Standar SKP 3 Rumah sakit menerapkan proses untuk meningkatkan keamanan penggunaan obat yang memerlukan kewaspadaan tinggi (high alert medication) termasuk obat Look - Alike Sound Alike (LASA). 2) Standar SKP 3.1 Rumah sakit menerapkan proses untuk meningkatkan keamanan penggunaan elektrolit konsentrat 3) Maksud dan Tujuan SKP 3 dan SKP 3.1 Obat-obatan yang perlu diwaspadai (high-alert medications) adalah obat-obatan yang memiliki risiko menyebabkan cedera serius pada pasien jika digunakan dengan tidak tepat. Obat high alert mencakup: a) Obat risiko tinggi, yaitu obat dengan zat aktif yang dapat menimbulkan kematian atau kecacatan bila terjadi kesalahan (error) dalam penggunaannya (contoh: insulin, heparin atau sitostatika). b) Obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike Sound Alike/LASA) c) Elektrolit konsentrat contoh: kalium klorida dengan konsentrasi sama atau lebih dari 1 mEq/ml, natrium klorida dengan konsentrasi lebih dari 0,9% dan magnesium sulfat injeksi dengan konsentrasi sama atau lebih dari 50% Rumah sakit harus menetapkan dan menerapkan strategi untuk mengurangi risiko dan cedera akibat kesalahan penggunaan obat high alert, antara lain: penataan penyimpanan, pelabelan yang jelas, penerapan double checking, pembatasan akses, penerapan panduan penggunaan obat high alert. Rumah sakit perlu membuat daftar obat-obatan berisiko tinggi berdasarkan pola penggunaan obat-obatan yang berisiko dari data internalnya sendiri tentang laporan inisiden keselamatan pasien. Daftar ini sebaiknya diperbarui setiap tahun. Daftar ini dapat diperbarui secara sementara jika ada penambahan atau perubahan pada layanan rumah sakit. Obat dengan nama dan rupa yang mirip (look-alike sound-alike/, LASA) adalah obat yang memiliki tampilan dan nama yang serupa dengan obat lain, baik saat
250 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 ditulis maupun diucapkan secara lisan. Obat dengan kemasan serupa (look-alike packaging) adalah obat dengan wadah atau kemasan yang mirip dengan obat lainnya. Obat-obatan yang berisiko terjadinya kesalahan terkait LASA, atau obat dengan kemasan produk yang serupa, dapat menyebabkan terjadinya kesalahan pengobatan yang berpotensi cedera. Terdapat banyak nama obat yang terdengar serupa dengan nama obat lainnya, sebagai contoh, dopamin dan dobutamin Hal lain yang sering dimasukkan dalam isu keamanan obat adalah kesalahan dalam pemberian elektrolit konsentrat yang tidak disengaja (misalnya, kalium/potasium klorida [sama dengan 1 mEq/ml atau yang lebih pekat), kalium/potasium fosfat [(sama dengan atau lebih besar dari 3 mmol/ml)], natrium/sodium klorida [lebih pekat dari 0.9%], dan magnesium sulfat [sama dengan 50% atau lebih pekat]. Kesalahan ini dapat terjadi apabila staf tidak mendapatkan orientasi dengan baik di unit asuhan pasien, bila perawat kontrak tidak diorientasikan sebagaimana mestinya terhadap unit asuhan pasien, atau pada keadaan gawat darurat/emergensi. Cara yang paling efektif untuk mengurangi atau mengeliminasi kejadian tersebut adalah dengan menerapkan proses pengelolaan obat-obat yang perlu diwaspadai termasuk penyimpanan elektrolit konsentrat di unit farmasi di rumah sakit. Penyimpanan elektrolit konsentrat di luar Instalasi Farmasi diperbolehkan hanya dalam situasi klinis yang berisiko dan harus memenuhi persyaratan yaitu staf yang dapat mengakes dan memberikan elektrolit konsentrat adalah staf yang kompeten dan terlatih, disimpan terpisah dari obat lain, diberikan pelabelan secara jelas, lengkap dengan peringatan kewaspadaan. 4) Elemen Penilaian SKP 3 a) Rumah sakit menetapkan daftar obat kewaspadaan tinggi (High Alert) termasuk obat Look -Alike Sound Alike (LASA). b) Rumah sakit menerapkan pengelolaan obat kewaspadaan tinggi (High Alert) termasuk obat Look -Alike Sound Alike (LASA) secara seragam di seluruh area rumah sakit untuk mengurangi risiko dan cedera c) Rumah sakit mengevaluasi dan memperbaharui daftar obat High-Alertdan obat Look -Alike Sound Alike (LASA) yang sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali berdasarkan laporan insiden lokal, nasional dan internasional. 5) Elemen Penilaian SKP 3.1 a) Rumah sakit menerapkan proses penyimpanan elektrolit konsentrat tertentu hanya di Instalasi Farmasi, kecuali di unit pelayanan dengan pertimbangan klinis untuk mengurangi risiko dan cedera pada penggunaan elektrolit konsentrat. b) Penyimpanan elektrolit konsentrat di luar Instalasi Farmasi diperbolehkan hanya dalam untuk situasi yang ditentukan sesuai dalam maksud dan tujuan.
251 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 c) Rumah sakit menetapkan dan menerapkan protokol koreksi hipokalemia, hiponatremia, hipofosfatemia. d. Memastikan Sisi Yang Benar, Prosedur Yang Benar, Pasien Yang Benar Pada Pembedahan / Tindakan invasif 1) Standar SKP 4 Rumah sakit menetapkan proses untuk melaksanakan verifikasi pra opearsi, penandaan lokasi operasi dan proses time-out yang dilaksanakan sesaat sebelum tindakan pembedahan/invasif dimulai serta proses sign-out yang dilakukan setelah tindakan selesai. 2) Maksud dan Tujuan SKP 4 Salah-sisi, salah-prosedur, salah-pasien operasi, adalah kejadian yang mengkhawatirkan dan dapat terjadi di rumah sakit. Kesalahan ini terjadi akibat adanya komunikasi yang tidak efektif atau tidak adekuat antara anggota tim bedah, kurangnya keterlibatan pasien di dalam penandaan lokasi (site marking), serta tidak adanya prosedur untuk memverifikasi sisi operasi. Rumah sakit memerlukan upaya kolaboratif untuk mengembangkan proses dalam mengeliminasi masalah ini. Tindakan operasi dan invasif meliputi semua tindakan yang melibatkan insisi atau pungsi, termasuk, tetapi tidak terbatas pada, operasi terbuka, aspirasi perkutan, injeksi obat tertentu, biopsi, tindakan intervensi atau diagnostik vaskuler dan kardiak perkutan, laparoskopi, dan endoskopi. Rumah sakit perlu mengidentifikasi semua area di rumah sakit mana operasi dan tindakan invasif dilakukan Protokol umum (universal protocol) untuk pencegahan salah sisi, salah prosedur dan salah pasien pembedahan meliputi: a) Proses verifikasi sebelum operasi. b) Penandaan sisi operasi. c) Time-out dilakukan sesaat sebelum memulai tindakan. 3) Proses Verifikasi Praoperasi Verifikasi praoperasi merupakan proses pengumpulan informasi dan konfirmasi secara terus-menerus. Tujuan dari proses verifikasi praoperasi adalah: a) melakukan verifikasi terhadap sisi yang benar, prosedur yang benar dan pasien yang benar; b) memastikan bahwa semua dokumen, foto hasil radiologi atau pencitraan, dan pemeriksaan yang terkait operasi telah tersedia, sudah diberi label dan di siapkan; c) melakukan verifikasi bahwa produk darah, peralatan medis khusus dan/atau implan yang diperlukan sudah tersedia. Di dalam proses verifikasi praoperasi terdapat beberapa elemen yang dapat dilengkapi sebelum pasien tiba di area praoperasi. seperti memastikan bahwa dokumen, foto hasil radiologi, dan hasil pemeriksaan sudah tersedia, di beri label dan sesuai dengan penanda identitas pasien.
252 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 Menunggu sampai pada saat proses time-out untuk melengkapi proses verifikasi praoperasi dapat menyebabkan penundaan yang tidak perlu. Beberapa proses verifikasi praoperasi dapat dilakukan lebih dari sekali dan tidak hanya di satu tempat saja. Misalnya persetujuan tindakan bedah dapat diambil di ruang periksa dokter spesialis bedah dan verifikasi kelengkapannya dapat dilakukan di area tunggu praoperasi. 4) Penandaan Lokasi Penandaan sisi operasi dilakukan dengan melibatkan pasien serta dengan tanda yang tidak memiliki arti ganda serta segera dapat dikenali. Tanda tersebut harus digunakan secara konsisten di dalam rumah sakit; dan harus dibuat oleh PPA yang akan melakukan tindakan; harus dibuat saat pasien terjaga dan sadar jika memungkinkan, dan harus terlihat sampai pasien disiapkan. Penandaan sisi operasi hanya ditandai pada semua kasus yang memiliki dua sisi kiri dan kanan (lateralisasi), struktur multipel (jari tangan, jari kaki, lesi), atau multiple level (tulang belakang). Penandaan lokasi operasi harus melibatkan pasien dan dilakukan dengan tanda yang langsung dapat dikenali dan tidak bermakna ganda. Tanda “X” tidak digunakan sebagai penanda karena dapat diartikan sebagai “bukan di sini” atau “salah sisi” serta dapat berpotensi menyebabkan kesalahan dalam penandaan lokasi operasi. Tanda yang dibuat harus seragam dan konsisten digunakan di rumah sakit. Dalam semua kasus yang melibatkan lateralitas, struktur ganda (jari tangan, jari kaki, lesi), atau tingkatan berlapis (tulang belakang), lokasi operasi harus ditandai. Penandaan lokasi tindakan operasi/invasif dilakukan oleh PPA yang akan melakukan tindakan tersebut. PPA tersebut akan melakukan seluruh prosedur operasi/invasif dan tetap berada dengan pasien selama tindakan berlangsung. Pada tindakan operasi, DPJP bedah pada umumnya yang akan melakukan operasi dan kemudian melakukan penandaan lokasi.. Untuk tindakan invasif non-operasi, penandaan dapat dilakukan oleh dokter yang akan melakukan tindakan, dan dapat dilakukan di area di luar area kamar operasi. Terdapat situasi di mana peserta didik (trainee) dapat melakukan penandaan lokasi, misalnya ketika peserta didik akan melakukan keseluruhan tindakan, tidak memerlukan supervisi atau memerlukan supervisi minimal dari operator/dokter penanggung jawab. Pada situasi tersebut, peserta didik dapat menandai lokasi operasi. Ketika seorang peserta didik menjadi asisten dari operator/dokter penanggung jawab, hanya operator/dokter penanggung jawab yang dapat melakukan penandaan lokasi. Penandaan lokasi dapat terjadi kapan saja sebelum tindakan operasi/invasif selama pasien terlibat secara aktif dalam proses penandaan lokasi jika memungkinkan dan tanda tersebut harus tetap dapat terlihat walaupun setelah pasien dipersiapkan dan telah ditutup kain. Contoh keadaan di mana partisipasi pasien tidak memungkinkan meliputi :
253 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 kasus di mana pasien tidak kompeten untuk membuat keputusan perawatan, pasien anak, dan pasien yang memerlukan operasi darurat. 5) Time-Out Time-out dilakukan sesaat sebelum tindakan dimulai dan dihadiri semua anggota tim yang akan melaksanakan tindakan operasi. Selama time-out, tim menyetujui komponen sebagai berikut: a) Benar identitas pasien. b) Benar prosedur yang akan dilakukan. c) Benar sisi operasi/tindakan invasif. Time-out dilakukan di tempat di mana tindakan akan dilakukan dan melibatkan secara aktif seluruh tim bedah. Pasien tidak berpartisipasi dalam time-out. Keseluruhan proses time-out didokumentasikan dan meliputi tanggal serta jam time-out selesai. Rumah sakit menentukan bagaimana proses time-out didokumentasikan. 6) Sign-Out Sign out yang dilakukan di area tempat tindakan berlangsung sebelum pasien meninggalkan ruangan. Pada umumnya, perawat sebagai anggota tim melakukan konfirmasi secara lisan untuk komponen sign-out sebagai berikut: a) Nama tindakan operasi/invasif yang dicatat/ditulis. b) Kelengkapan perhitungan instrumen, kasa dan jarum (bila ada). c) Pelabelan spesimen (ketika terdapat spesimen selama proses sign-out, label dibacakan dengan jelas, meliputi nama pasien, tanggal lahir). d) Masalah peralatan yang perlu ditangani (bila ada). Rumah sakit dapat menggunakan Daftar tilik keselamatan operasi (Surgical Safety Checklist dari WHO terkini) 7) Elemen Penilaian SKP 4 a) Rumah sakit telah melaksanakan proses verifikasi pra operasi dengan daftar tilik untuk memastikan benar pasien, benar tindakan dan benar sisi. b) Rumah sakit telah menetapkan dan menerapkan tanda yang seragam, mudah dikenali dan tidak bermakna ganda untuk mengidentifikasi sisi operasi atau tindakan invasif. c) Rumah sakit telah menerapkan penandaan sisi operasi atau tindakan invasif (site marking) dilakukan oleh dokter operator/dokter asisten yang melakukan operasi atau tindakan invasif dengan melibatkan pasien bila memungkinkan. d) Rumah sakit telah menerapkan proses Time-Out menggunakan “surgical check list” (Surgical Safety Checklist dari WHO terkini pada tindakan operasi termasuk tindakan medis invasif. e. Mengurangi Risiko Infeksi Akibat Perawatan Kesehatan 1) Standar SKP 5 Rumah sakit menerapkan kebersihan tangan (hand hygiene) untuk menurunkan risiko infeksi terkait layanan kesehatan.
254 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 2) Maksud dan Tujuan SKP 5 Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan praktisi dalam tatanan pelayanan kesehatan, dan peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan merupakan hal yang sangat membebani pasien serta profesional pemberi asuhan (PPA) pada pelayanan kesehatan. Infeksi umumnya dijumpai dalam semua bentuk pelayanan kesehatan termasuk infeksi saluran kemih-terkait kateter, infeksi aliran darah (blood stream infections) dan pneumonia (sering kali dihubungkan dengan ventilasi mekanis). Kegiatan utama dari upaya eliminasi infeksi ini maupun infeksi lainnya adalah dengan melakukan tindakan cuci tangan (hand hygiene) yang tepat. Pedoman hand hygiene yang berlaku secara internasional dapat diperoleh di situs web WHO. Rumah sakit harus memiliki proses kolaboratif untuk mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur yang menyesuaikan atau mengadopsi pedoman hand hygiene yang diterima secara luas untuk implementasinya di rumah sakit. 3) Elemen Penilaian SKP 5 a) Rumah sakit telah menerapkan kebersihan tangan (hand hygiene) yang mengacu pada standar WHO terkini. b) Terdapat proses evaluasi terhadap pelaksanaan program kebersihan tangan di rumah sakit serta upaya perbaikan yang dilakukan untuk meningkatkan pelaksanaan program. f. Mengurangi Risiko Cedera Pasien Akibat Jatuh 1) Standar SKP 6 Rumah sakit menerapkan proses untuk mengurangi risiko cedera pasien akibat jatuh. 2) Standar SKP 6.1 Rumah sakit menerapkan proses untuk mengurangi risiko cedera pasien akibat jatuh di rawat inap. 3) Maksud dan Tujuan SKP 6 dan 6.1 Risiko jatuh pada pasien rawat jalan berhubungan dengan kondisi pasien, situasi, dan/atau lokasi di rumah sakit. Di unit rawat jalan, dilakukan skrining risiko jatuh pada pasien dengan kondisi, diagnosis, situasi, dan/atau lokasi yang menyebabkan risiko jatuh. Jika hasil skrining pasien berisiko jatuh, maka harus dilakukan intervensi untuk mengurangi risiko jatuh pasien tersebut. Skrining risiko jatuh di rawat jalan meliputi: a) kondisi pasien misalnya pasien geriatri, dizziness, vertigo, gangguan keseimbangan, gangguan penglihatan, penggunaan obat, sedasi, status kesadaran dan atau kejiwaan, konsumsi alkohol. b) diagnosis, misalnya pasien dengan diagnosis penyakit Parkinson. c) situasi misalnya pasien yang mendapatkan sedasi atau pasien dengan riwayat tirah baring/perawatan yang lama yang akan dipindahkan untuk pemeriksaan penunjang dari ambulans, perubahan posisi akan
255 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 meningkatkan risiko jatuh. d) lokasi misalnya area-area yang berisiko pasien jatuh, yaitu tangga, area yang penerangannya kurang atau mempunyai unit pelayanan dengan peralatan parallel bars freestanding staircases, seperti unit rehabilitasi medis. Ketika suatu lokasi tertentu diidentifikasi sebagai area risiko tinggi yang lebih rumah sakit dapat menentukan bahwa semua pasien yang mengunjungi lokasi tersebut akan dianggap berisiko jatuh dan menerapkan langkah-langkah untuk mengurangi risiko jatuh yang berlaku untuk semua pasien. Skrining umumnya berupa evaluasi sederhana meliputi pertanyaan dengan jawaban sederhana: ya/tidak, atau metode lain meliputi pemberian nilai/skor untuk setiap respons pasien. Rumah sakit dapat menentukan bagaimana proses skrining dilakukan. Misalnya skrining dapat dilakukan oleh petugas registrasi, atau pasien dapat melakukan skrining secara mandiri, seperti di anjungan mandiri untuk skrining di unit rawat jalan. Contoh pertanyaan skrining sederhana dapat meliputi: a) Apakah Anda merasa tidak stabil ketika berdiri atau berjalan?; b) Apakah Anda khawatir akan jatuh?; c) Apakah Anda pernah jatuh dalam setahun terakhir? Rumah sakit dapat menentukan pasien rawat jalan mana yang akan dilakukan skrining risiko jatuh. Misalnya, semua pasien di unit rehabilitasi medis, semua pasien dalam perawatan lama/tirah baring lama datang dengan ambulans untuk pemeriksaan rawat jalan, pasien yang dijadwalkan untuk operasi rawat jalan dengan tindakan anestesi atau sedasi, pasien dengan gangguan keseimbangan, pasien dengan gangguan penglihatan, pasien anak di bawah usia 2 (dua) tahun, dan seterusnya. Untuk semua pasien rawat inap baik dewasa maupun anak harus dilakukan pengkajian risiko jatuh menggunakan metode pengkajian yang baku sesuai ketentuan rumah sakit. Kriteria risiko jatuh dan intervensi yang dilakukan harus didokumentasikan dalam rekam medis pasien. Pasien yang sebelumnya risiko rendah jatuh dapat meningkat risikonya secara mendadak menjadi risiko tinggi jatuh. Perubahan risiko ini dapat diakibatkan, namun tidak terbatas pada tindakan pembedahan dan/atau anestesi, perubahan mendadak pada kondisi pasien, dan penyesuaian obat-obatan yang diberikan sehingga pasien memerlukan pengkajian ulang jatuh selama dirawat inap dan paska pembedahan. 4) Elemen Penilaian SKP 6 a) Rumah sakit telah melaksanakan skrining pasien rawat jalan pada kondisi, diagnosis, situasi atau lokasi yang dapat menyebabkan pasien berisiko jatuh, dengan menggunakan alat bantu/metode skrining yang ditetapkan rumah sakit
256 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 b) Tindakan dan/atau intervensi dilakukan untuk mengurangi risiko jatuh pada pasien jika hasil skrining menunjukkan adanya risiko jatuh dan hasil skrining serta intervensi didokumentasikan. 5) Elemen Penilaian SKP 6.1 a) Rumah sakit telah melakukan pengkajian risiko jatuh untuk semua pasien rawat inap baik dewasa maupun anak menggunakan metode pengkajian yang baku sesuai dengan ketentuan rumah sakit. b) Rumah sakit telah melaksanakan pengkajian ulang risiko jatuh pada pasien rawat inap karena adanya perubahan kondisi, atau memang sudah mempunyai risiko jatuh dari hasil pengkajian. c) Tindakan dan/atau intervensi untuk mengurangi risiko jatuh pada pasien rawat inap telah dilakukan dan didokumentasikan .D.Program Nasional Gambaran Umum Pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) bidang kesehatan telah ditentukan prioritas pelayanan kesehatan dengan target yang harus dicapai. Salah satu fungsi rumah sakit adalah melaksanakan program pemerintah dan mendukung tercapainya target target pembangunan nasional. Pada standar akreditasi ini Program Nasional meliputi: 1. Peningkatanan kesehatan ibu dan bayi. 2. Penurunan angka kesakitan Tuberculosis/TBC. 3. Penurunan angka kesakitan HIV/AIDS. 4. Penurunan prevalensi stunting dan wasting. 5. Keluarga Berencana Rumah Sakit. Pelaksanaan program nasional oleh rumah sakit diharapkan mampu meningkatkan akselerasi pencapaian target RPJMN bidang kesehatan sehingga upaya mingkatkan derajat kesehatan masyarakat meningkat segera terwujud a. Peningkatan Kesehatan Ibu dan Bayi 1) Standar Prognas 1 Rumah sakit melaksanakan program PONEK 24 jam dan 7 (tujuh) hari seminggu. 2) Maksud dan Tujuan Prognas 1 Rumah sakit melaksanakan program PONEK sesuai dengan pedoman PONEK yang berlaku dengan langkah langkah sebagai berikut: a) Melaksanakan dan menerapkan standar pelayanan perlindungan ibu dan bayi secara terpadu. b) Mengembangkan kebijakan dan standar pelayanan ibu dan bayi. c) Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan bayi.
257 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 d) Meningkatkan kesiapan rumah sakit dalam melaksanakan fungsi pelayanan obstetric dan neonates termasuk pelayanan kegawatdaruratan (PONEK 24 jam). e) Meningkatkan fungsi rumah sakit sebagai model dan Pembina teknis dalam pelaksanaan IMD dan ASI Eksklusif serta Perawatan Metode Kanguru (PMK) pada BBLR f) Meningkatkan fungsi rumah sakit sebagai pusat rujukan pelayanan kesehatan ibu dan bayi bagi sarana pelayanan kesehatan lainnya. g) Melaksanakan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program RSSIB 10 langkah menyusui dan peningkatan kesehatan ibu 3) Elemen Penilaian Prognas 1 a) Rumah sakit menetapkan regulasi tentang pelaksanaan PONEK 24 jam. b) Terdapat Tim PONEK yang ditetapkan oleh rumah sakit dengan rincian tugas dan tanggungjawabnya. c) Terdapat program kerja yang menjadi acuan dalam pelaksanaan program PONEK Rumah Sakit sesuai maksud dan tujuan 4) Standar Prognas 1.1 Untuk meningkatkan efektifitas sistem rujukan maka Rumah sakit melakukan pembinaan kepada jejaring fasilitas Kesehatan rujukan yang ada. 5) Maksud dan Tujuan Prognas 1.1 Salah satu tugas dari rumah sakit dengan kemampuan PONEK adalah melakukan pembinaan kepada jejaring rujukan seperti Puskesmas, Klinik bersalin, praktek perseorangan dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Pembinaan jejaring rujukan dapat dilakukan dengan mengadakan pelatihan kepada fasilitas kesehatan jejaring, berbagi pengalaman dalam pelayanan ibu dan anak serta peningkatanan kompetensi jejaring rujukan secara berkala. Rumah sakit memetakan jejaring rujukan yang ada dan membuat program pembinaan setiap tahun. 6) Elemen Penilaian Standar Prognas 1.1 a) Rumah sakit menetapkan program pembinaan jejaring rujukan rumah sakit. b) Rumah sakit melakukan pembinaan terhadap jejaring secara berkala. c) Telah dilakukan evaluasi program pembinaan jejaring rujukan. b. Penurunan Angka Kesakitan Tuberkulosis 1) Standar Prognas 2 Rumah sakit melaksanakan program penanggulangan tuberculosis. 2) Maksud dan Tujuan Prognas 2 Pemerintah mengeluarkan kebijakan penanggulangan tuberkolosis berupa upaya kesehatan yang mengutamakan aspek promotif, preventif, tanpa mengabaikan aspek kuratif dan rehabilitatif yang ditujukan untuk melindungi kesehatan masyarakat, menurunkan angka kesakitan, kecatatan atau
258 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 kematian, memutuskan penularan mencegah resistensi obat dan mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan akibat tubekulosis. Rumah sakit dalam melaksanakan penanggulangan tubekulosis melakukan kegiatan yang meliputi: a) Promosi kesehatan yang diarahkan untuk meningkatkan pengetahuan yang benar dan komprehensif mengenai pencegahan penularan, penobatan, pola hidup bersih dan sehat (PHBS) sehingga terjadi perubahan sikap dan perilaku sasaran yaitu pasien dan keluarga, pengunjung serta staf rumah sakit. b) Surveilans tuberkulosis, merupakan kegiatan memperoleh data epidemiologi yang diperlukan dalam sistem informasi program penanggulangan tuberkulosis, seperti pencatatan dan pelaporan tuberkulosis sensitif obat, pencatatan dan pelaporan tuberkulosis resistensi obat. c) Pengendalian faktor risiko tuberkulosis, ditujukan untuk mencegah, mengurangi penularan dan kejadian penyakit tuberkulosis, yang pelaksanaannya sesuai dengan pedoman pengendalian pencegahan infeksi tuberkulosis di rumah sakit pengendalian faktor risiko tuberkulosis, ditujukan untuk mencegah, mengurangi penularan dan kejadian penyakit tuberkulosis, yang pelaksanaannya sesuai dengan pedoman pengendalian pencegahan infeksi tuberkulosis di rumah sakit. d) Penemuan dan penanganan kasus tuberkulosis. Penemuan kasus tuberkulosis dilakukan melalui pasien yang datang kerumah sakit, setelah pemeriksaan, penegakan diagnosis, penetapan klarifikasi dan tipe pasien tuberkulosis. Sedangkan untuk penanganan kasus dilaksanakan sesuai tata laksana pada pedoman nasional pelayanan kedokteran tuberkulosis dan standar lainnya sesuai dengan peraturanperundang- undangan. e) Pemberian kekebalan Pemberian kekebalan dilakukan melalui pemberian imunisasi BCG terhadap bayi dalam upaya penurunan risiko tingkat pemahaman tuberkulosis sesuai dengan peraturan perundang-undangan. f) Pemberian obat pencegahan. Pemberian obat pencegahan selama 6 (enam) bulan yang ditujukan pada anak usia dibawah 5 (lima) tahun yang kontak erat dengan pasien tuberkulosisi aktif; orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) yang tidak terdiagnosa tuberkulosis; pupulasi tertentu lainnya sesuai peraturan perundang-undangan. Untuk menjalankan kegiatan yang tersebut diatas maka ruamhs akit dapat membentuk tim/panitia pelaksana program TB Paru Rumah Sakit. 3) Elemen Penilaian Prognas 2
259 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 1) Rumah sakit menerapkan regulasi tentang pelaksanaan penanggulangan tuberkulosis di rumah sakit. 2) Direktur menetapkan tim TB Paru Rumah sakit beserta program kerjanya. 4) Standar Prognas 2.1 Rumah sakit menyediakan sarana dan prasarana pelayanan tuberkulosis sesuai peraturan perundang-undangan. 5) Maksud dan Tujuan Prognas 2.1 Dalam melaksanakan pelayanan kepada penderita TB Paru dan program TB Paru di rumah sakit, maka harus tersedia sarana dan prasarana yang memenuhi syarat pelayanan TB Paru sesuai dengan Pedoman Pelayanan TB Paru. 6) Elemen Penilaian Prognas 2.1 a) Tersedia ruang pelayanan rawat jalan yang memenuhi pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi tuberkulosis. b) Bila rumah sakit memberikan pelayanan rawat inap bagi pasien tuberkulosis paru dewasa maka rumah sakit harus memiliki ruang rawat inap yang memenuhi pedoman pencegahan danpengendalian infeksi tuberkulosis. c) Tersedia ruang pengambilan spesimen sputum yang memenuhi pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi tuberkulosis. 7) Standar Prognas 2.2 Rumah sakit telah melaksanakan pelayanan tuberkulosis dan upaya pengendalian faktor risiko tuberkulosis sesuai peraturan perundang-undangan. 8) Elemen Penilaian Prognas 2.2 a) Rumah sakit telah menerapkan kepatuhan staf medis terhadap panduan praktik klinis tuberkulosis. b) Rumah sakit merencanakan dan mengadakan penyediaan Obat Anti Tuberculosis. c) Rumah sakit melaksanakan pelayananTB MDR (bagi rumah sakit Rujukan TB MDR). d) Rumah sakit melaksanakan pencatatan dan pelaporan kasus TB Paru sesuai ketentuan. c. Penurunan Angka Kesakitan HIV/AIDS 1) Standar Prognas 3 Rumah sakit melaksanakan penanggulangan HIV/AIDS sesuai dengan peraturan perundang-undangan.2) Maksud dan Tujuan Prognas 3 Rumah sakit dalam melaksanakan penanggulangan HIV/AIDS sesuai standar pelayanan bagi rujukan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dan satelitnya dengan langkah-langkah sebagai berikut: a) Meningkatkan fungsi pelayanan Voluntary Counseling and Testing (VCT).
260 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 b) Meningkatkan fungsi pelayanan Antiretroviral Therapy (ART) atau bekerjasama dengan rumah sakit yang ditunjuk. c) Meningkatkan fungsi pelayanan Infeksi Oportunistik (IO). d) Meningkatkan fungsi pelayanan pada ODHA dengan factor resiko Injection Drug Use (IDU). e) Meningkatkan fungsi pelayanan penunjang yang meliputi pelayanan gizi, laboratorium dan radiologi, pencatatan dan pelaporan. 3) Elemen Penilaian Prognas 3 a) Rumah sakit telah melaksanakan kebijakan program HIV/AIDS seuai ketentuan perundangan. b) Rumah sakit telah menerapkan fungsi rujukan HIV/AIDS pada rumah sakit sesuai dengan kebijakan yang berlaku. c) Rumah sakit melaksanakan pelayanan PITC dan PMTC. d) Rumah sakit memberikan pelayanan ODHA dengan factor risiko IO. e) Rumah sakit merencanakan dan mengadakan penyediaan Anti Retro Viral (ART).d. Penurunan Prevalensi Stunting dan Wasting 1) Standar Prognas 4 Rumah Sakit melaksanakan program penurunan prevalensi stunting dan wasting. 2) Standar Prognas 4.1 Rumah Sakit melakukan edukasi, pendampingan intervensi dan pengelolaan gizi serta penguatan jejaring rujukan kepada rumah sakit kelas di bawahnya dan FKTP di wilayahnya serta rujukan masalah gizi. 3) Maksud dan Tujuan Prognas 4 dan Prognas 4.1 Tersedia regulasi penyelenggaraan program penurunan prevalensi stunting dan prevalensi wasting di rumah sakit yang meliputi: a) Program penurunan prevalensi stunting dan prevalensi wasting. b) Panduan tata laksana. c) Organisasi pelaksana program terdiri dari tenaga kesehatan yang kompeten dari unsur: (1)Staf Medis. (2)Staf Keperawatan. (3)Staf Instalasi Farmasi. (4)Staf Instalasi Gizi. (5)Tim Tumbuh Kembang. (6)Tim Humas Rumah Sakit. Organisasi program penurunan prevalensi stunting dan wasting dipimpin oleh staf medis atau dokter spesialis anak. Rumah sakit menyusun program penurunan prevalensi stunting dan wasting di rumah sakit terdiri dari: a) Peningkatan pemahaman dan kesadaran seluruh staf,pasien dan keluarga tentang masalah stunting dan wasting;
261 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 b) Intervensi spesifik di rumah sakit; c) Penerapan Rumah Sakit Sayang Ibu Bayi; d) Rumah sakit sebagai pusat rujukan kasus stunting dan wasting; e) Rumah sakit sebagai pendamping klinis dan manajemen serta merupakan jejaring rujukan f) Program pemantauan dan evaluasi. Rumah sakit membuat laporan pelaksanaan program/kegiatan Penurunan Prevalensi Stunting dan Prevalensi Wasting meliputi: a) kegiatan sosialisasi dan pelatihan staf tenaga kesehatan rumah sakit tentang Program Penurunan Stunting dan Wasting. b) peningkatan efektifitas intervensi spesifik. (1)Program 1000 HPK. (2)Suplementasi Tablet Besi Folat pada ibu hamil. (3)Pemberian Makanan Tambahan (PMT) pada ibu hamil. (4)Promosi dan konseling IMD dan ASI Eksklusif. (5)Pemberian Makanan Bayi dan Anak (PMBA). (6)Pemantauan Pertumbuhan (Pelayanan Tumbuh Kembang bayi dan balita). (7)Pemberian Imunisasi. (8)Pemberian Makanan Tambahan Balita Gizi Kurang. (9)Pemberian Vitamin A. (10)Pemberian taburia pada Baduta (0-23 bulan). (11)Pemberian obat cacing pada ibu hamil. c) penguatan sistem surveilans gizi (1)Tata laksana tim asuhan gizi meliputi Tata laksana Gizi Stunting, Tata Laksana Gizi Kurang, Tata Laksana Gizi Buruk (Pedoman Pencegahan dan Tata Laksana Gizi Buruk pada Balita). (2)Pencatatan dan Pelaporan kasus masalah gizi melalui aplikasi ePPGBM (Aplikasi Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat). (3)Melakukan evaluasi pelayanan, audit kesakitan dan kematian, pencatatan dan pelaporan gizi buruk dan stunting dalam Sistem Informasi Rumah sakit (SIRS). Rumah sakit melaksanakan pelayanan sebagai pusat rujukan kasus stunting dan kasus wasting dengan menyiapkan sebagai: a) Rumah sakit sebagai pusat rujukan kasus stunting untuk memastikan kasus, penyebab dan tata laksana lanjut oleh dokter spesialis anak. b) Rumah sakit sebagai pusat rujukan balita gizi buruk dengan komplikasi medis. c) Rumah sakit dapat melaksanakan pendampingan klinis dan manajemen serta penguatan jejaring rujukan kepada rumah sakit dengan kelas di
262 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 bawahnya dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)di wilayahnya dalam tata laksana stunting dan gizi buruk. 4) Elemen Penilaian Prognas 4 a) Rumah sakit telah menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan program gizi. b) Terdapat tim untuk program penurunan prevalensi stunting dan wasting di rumah sakit. c) Rumah sakit telah menetapkan sistem rujukan untuk kasus gangguan gizi yang perlu penanganan lanjut. 5) Elemen Penilaian Prognas 4.1 a) Rumah sakit membuktikan telah melakukan pendampingan intervensi dan pengelolaan gizi serta penguatan jejaring rujukan kepada rumah sakit kelas di bawahnya dan FKTP di wilayahnya serta rujukan masalah gizi. b) Rumah sakit telah menerapkan sistem pemantauan dan evaluasi, bukti pelaporan dan Analisa. e. Pelayanan Keluarga Berencana Rumah Sakit 1) Standar Prognas 5 Rumah sakit melaksanakan program pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi di rumah sakit beserta pemantauan dan evaluasinya. 2) Standar Prognas 5.1 Rumah sakit menyiapkan sumber daya untuk penyelenggaraan pelayanan keluarga dan kesehatan reproduksi. 3) Maksud dan Tujuan Prognas 5 dan Prognas 5.1 Pelayanan Keluarga Berencana di Rumah Sakit (PKBRS) merupakan bagian dari program keluarga berencana (KB), yang sangat berperan dalam menurunkan angka kematian ibu dan percepatan penurunan stunting. Kunci keberhasilan PKBRS adalah ketersediaan alat dan obat kontrasepsi, sarana penunjang pelayanan kontrasepsi dan tenaga kesehatan yang sesuai kompetensi serta manjemen yang handal. Rumah sakit dalam melaksanakan PKBRS sesuai dengan pedoman pelayanan KB yang berlaku, dengan langkah-langkah pelaksanaan sebagai berikut: a) melaksanakan dan menerapkan standar pelayanaan KB secara terpadu dan paripurna. b) mengembangkan kebijakan dan Standar Prosedur Operasional (SPO) pelayanan KB dan meningkatkan kualitas pelayanan KB. c) meningkatkan kesiapan rumah sakit dalam melaksanakan PKBRS termasuk pelayanan KB Pasca Persalinan dan Pasca Keguguran. d) meningkatkan fungsi rumah sakit sebagai model dan pembinaan teknis dalam melaksanakan PKBRS. e) meningkatkan fungsi rumah sakit sebagai pusat rujukan pelayanan KB bagi sarana pelayanan kesehatan lainnya.
263 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 f) melaksanakan sistem pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PKBRS. g) adanya regulasi rumah sakit yang menjamin pelaksanaan PKBRS, meliputi SPO pelayanan KB per metode kontrasepsi termasuk pelayanan KB Pasca Persalinan dan Pasca Keguguran. h) upaya peningkatan PKBRS masuk dalam rencana strategis (Renstra) dan rencana kerja anggaran (RKA) rumah sakit. i) tersedia ruang pelayanan yang memenuhi persyaratan untuk PKBRS antara lain ruang konseling dan ruang pelayanan KB. j) pembentukan tim PKBR serta program kerja dan bukti pelaksanaanya. k) terselenggara kegiatan peningkatan kapasitas untuk meningkatkan kemampuan pelayanan PKBRS, termasuk KB Pasca Persalinan dan Pasca Keguguran. l) pelaksanaan rujukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan. m) pelaporan dan analisis meliputi: (1)ketersediaan semua jenis alat dan obat kontrasepsi sesuai dengan kapasitas rumah sakit dan kebutuhan pelayanan KB. (2)ketersediaan sarana penunjang pelayanan KB. (3)ketersediaan tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan KB. (4)angka capaian pelayanan KB per metode kontrasepsi, baik Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) dan Non MKJP. (5)angka capaian pelayanan KB Pasca Persalinan dan Pasca Keguguran. (6)kejadian tidak dilakukannya KB Pasca Persalinan pada ibu baru bersalin dan KB Pasca Keguguran pada Ibu pasca keguguran. 4) Elemen Penilaian Prognas 5 a) Rumah sakit telah menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan PKBRS. b) Terdapat tim PKBRS yang ditetapkan oleh direktur disertai program kerjanya. c) Rumah sakit telah melaksanakan program KB Pasca Persalinan dan Pasca Keguguran. d) Rumah sakit telah melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksamnaan PKBRS. 5) Elemen Penilaian Prognas 5.1 a) Rumah sakit telah menyediakan alat dan obat kontrasepsi dan sarana penunjang pelayanan KB. b) Rumah sakit menyediakan layanan konseling bagi peserta dan calon peserta program KB. c) Rumah sakit telah merancang dan menyediakan ruang pelayanan KB yang memadai.
264 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t - 2 0 2 1 IX. Referensi • KMK Standar Akreditasi RS tahun 2021 • Panduan Standar akreditasi RS • Buku Instrument Standar Akreditasi RS 2.2 TATA LAKSANA SURVEI AKREDITASI RS I. Deskripsi Singkat Mata pelatihan ini membahas kebijakan Pemerintah tentang mutu dan akreditasi rumah sakit. II. Tujuan Pembelajaran A. Hasil Belajar Setelah mengikuti mata pelatihan ini peserta mampu memahami kebijakan mutu dan akreditasi rumah sakit. B. Indikator Hasil Belajar Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta dapat menjelaskan kebijakan pemerintah tentang mutu dan akreditasi rumah sakit. III. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok Materi pokok pada mata pelatihan ini adalah: Kebijakan pemerintah tentang mutu dan akreditasi rumah sakit. Sub materi pokok pada pelatihan ini adalah : •Kebijakan Pemerintah tentang program pembangunan kesehatan (RPJMN) yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan di rumah sakit. •Kebijakan Pemerintah tentang mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit. •Kebijakan Pemerintah tentang akreditasi rumah sakit. IV. Metode • Ceramah tanya jawab • Curah pendapat V. Media dan Alat Bantu • Laptop• LCD• Bahan tayang/slideVI. Langkah Kegiatan Pembelajaran Sesi 1 : Pengkondisian Peserta Langkah proses pembelajaran sebagai berikut : •Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum pernah menyampaikan sesi di kelas, mulailah dengan perkenalan. Perkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap, instansi tempat bekerja, materi yang akan disampaikan.
265 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 •Fasilitator melakukan bina suasana dengan memberikan game singkat, agar peserta fokus dan antusias dalam mengikuti materi. •Melakukan apersepsi terhadap pemahaman peserta tentang kebijakan mutu dan akreditasi RS.•Menyampaikan tujuan pembelajaran mata pelatihan ini adalah peserta latih mampu menjelaskan materi pokok kebijakan mutu dan akreditasi RS menggunakan bahan tayang.Sesi 2 : Penyampaian Materi Kebijakan Pemerintah Tentang Mutu dan Akreditasi RS. Langkah proses pembelajaran sebagai berikut :•Fasilitator menggali pengalaman peserta tentang kebijakan mutu dan akreditasi RS.•Fasilitator menyampaikan materi pokok Kebijakan Pemerintah Tentang Mutu dan Akreditasi RS dengan metode ceramah interaktif menggunakan bahan tayang. •Fasilitator memberi kesempatan bertanya kepada peserta terhadap hal-hal yang belum dipahami. •Memberikan kesempatan kepada peserta lain untuk menjawab pertanyaan. •Memberikan penguatan terhadap jawaban yang telah diberikan oleh peserta. Sesi 3 : Pengakhiran Langkah proses pembelajaran sebagai berikut: •Fasilitator melakukan evaluasi dengan cara memberikan pertanyaan kepada peserta. •Memberikan kesempatan kepada peserta untuk memberikan jawaban. •Merangkum pembelajaran bersama-sama peserta. •Memberikan apresiasi kepada peserta yang telah aktif mengikuti proses pembelajaran. •Menutup proses pembelajaran dengan mengucapkan permohonan maaf dan terima kasih. VII. Uraian Materi A. Persiapan Akreditasi Persiapan dilakukan sepenuhnya oleh rumah sakit secara mandiri maupun dengan pembinaan dari Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota maupun lembaga lain yang kompeten. Kegiatan persiapan akreditasi antara lain pemenuhan syarat untuk dapat diakreditasi, kelengkapan dokumen pelayanan dan perizinan, peningkatan kompetensi staf melalui pelatihan dan kesiapan fasilitas pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Rumah Sakit dapat melakukan penilaian mandiri secara periodik tentang pemenuhan standar akreditasi rumah sakit sehingga tergambar kemampuan rumah sakit dalam memenuhi standar pelayanan yang ditetapkan. Setelah dinilai mampu oleh pimpinan rumah sakit, maka rumah sakit dapat mengajukan permohonan survei kepada lembaga independen penyelenggara akreditasi yang dipilih oleh rumah sakit. Pemilihan lembaga dilaksanakan secara sukarela oleh rumah sakit dan tidak atas paksaan pihak manapun. Rumah sakit yang mengajukan permohonan survei akreditasi paling sedikit harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
266 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 1. Rumah sakit memiliki izin operasional atau izin berusaha yang masih berlaku dan teregistrasi di Kementerian Kesehatan; 2. Pimpinan rumah sakit adalah tenaga medis (dokter/dokter gigi); 3. Rumah sakit beroperasi penuh dengan menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat selama 24 jam sehari dan 7 hari seminggu; 4. Rumah sakit memiliki Izin Pengelolaan Limbah Cair (IPLC) yang masih berlaku; 5. Rumah sakit memiliki izin pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3) yang masih berlaku atau kerja sama dengan pihak ketiga yang mempunyai izin sebagai pengolah dan/atau izin sebagai transporter limbah B3 yang masih berlaku; 6. Semua tenaga medis pemberi asuhan di rumah sakit memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) yang masih berlaku; dan 7. Rumah sakit bersedia melaksanakan kewajiban dalam meningkatkan mutu dan keselamatan pasien. B. Pelaksanaan Penilaian Akreditasi Lembaga independen penyelenggara akreditasi melaksanakan penilaian akreditasi pada rumah sakit yang mengajukan permohonan. Lembaga menetapkan waktu pelaksanaan dan syarat untuk dapat dilakukan akreditasi sesuai ketentuan perundang-undangan. Penilaian akreditasi dilakukan dengan metode daring dan luring sesuai tahapan pelaksanaan akreditasi. Adapun tahapan pelaksanaan penilaian akreditasi adalah sebagai berikut: 1. Persiapan dan penjelasan survei Pada tahap ini lembaga penyelenggara akreditasi menyampaikan seluruh rangkai kegiatan akreditasi dimulai dari persiapan survei, pelaksaan survei dan setelah survei. Penjelasan dapat dilakukan dengan metode daring menggunakan media informasi yang tersedia dan dapat diakses oleh rumah sakit. 2. Penyampaian dan pemeriksaan dokumen Rumah Sakit menyampaikan dokumen kepada lembaga melalui sistem informasi yang telah disediakan oleh lembaga. Jenis dokumen yang akan disampaikan oleh rumah sakit mengikuti permintaan dari surveior lembaga yang disesuaikan dengan standar akreditasi. Lembaga melakukan evaluasi dan analisis dokumen dan melakukan klarifikasi kepada rumah sakit terhadap dokumen dokumen tersebut. Kegiatan ini dilakukan secara daring menggunakan sistem informasi yang dapat diakses oleh rumah sakit. 3. Telusur dan kunjungan lapangan Telusur dan kunjungan lapangan dilakukan oleh lembaga setelah melakukan klarifikasi dokumen yang disampaikan oleh rumah sakit. Telusur dan kunjungan lapangan bertujuan untuk memastikan dokumen yang disampaikan sesuai dengan kondisi lapangan serta untuk mendapatkan hal hal yang masih perlu pembuktian lapangan oleh surveior. Pada saat telusur, surveior akan melakukan observasi, wawancara staf, pasien dan keluarga, pengunjung serta simulasi.
267 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 Lembaga menentukan jadwal pelaksanaan telusur dan kunjungan lapangan. Jumlah hari dan jumlah surveior yang melaksanakan telusur dan kunjungan lapangan sesuai ketentuan berikut: Klasifikasi RS Kelas RS Jumlah Hari Jumlah Surveior RS Umum A 3 4 B 2 3 C 2 2 D 2 2 RS Khusus A 2 3 B 2 2 C 2 2 4. Penilaian 5. Penutupan Setelah dilakukan telusur dan kunjungan lapangan termasuk klarifikasi kepada rumah sakit maka surveior dapat menyampaikan hal hal penting yang berkaitan dengan pelaksanaan akreditasi kepada rumah sakit secara langsung atau luring. Tujuan tahapan ini adalah untuk memberi gambaran kepada rumah sakit bagaiman proses akreditasi yang telah dilaksanakan dan hal hal yang perlu mendapat perbaikan untuk meningkatkan mutu pelayanan. C. Pasca Akreditasi 1. Hasil Akreditasi dan Akreditasi Ulang Lembaga menyampaikan hasil akreditasi kepada Kementerian Kesehatan melalui Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan paling lambat 5 hari setelah dilakukan survei. Hasil akreditasi mengikuti ketentuan sebagai berikut: Hasil Akreditasi Pemenuhan Standar ≥ 80% Paripurna Seluruh Standar Utama Minimal 12 Standar Madya Minimal 8 Standar Tidak terakreditasi Kurang dari 8 Standar Untuk rumah sakit yang tidak berhasil diberikan kesempatan mengulang pada standar yang pemenuhannya kurang dari 80%. Akreditasi ulang dapat dilakukan paling cepat 3 bulan dan paling lambat 6 bulan dari survei terakhir. 2. Penyampaian Sertifikat Akreditasi Sertifikat akreditasi diberikan kepada rumah sakit setelah hasil akreditasi mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Sertifikat akreditasi mencantumkan masa berlaku selama 4 (empat) tahun dan ditandatangani oleh pimpinan lembaga dan diketahui oleh Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan. Penyampaian sertifikat akreditasi rumah sakit dilakukan paling lambat 14 hari setelah survei akreditasi dilakukan. 3. Penyampaian Rekomendasi
268 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 Rekomendasi hasil penilaian akreditasi disampaikan oleh lembaga kepada rumah sakit dan berisikan hal hal yang harus ditindaklanjuti atau diperbaiki oleh rumah sakit. Penyampaian rekomendasi dilakukan bersamaan dengan penyerahan sertifikat akreditasi. 4. Penyampaian Laporan Akreditasi Lembaga menyampaikan pelaporan kegiatan akreditasi kepada Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan setempat melalui sistem informasi akreditasi RS. Laporan berisi rekomendasi perbaikan dan tindak lanjut yang harus dilakukan oleh rumah sakit serta tingkat akreditasi yang dicapai oleh rumah sakit. 5. Umpan Balik Pelaksanaan Survei Akreditasi Oleh Rumah sakit Untuk menjamin akuntabilitas dan kualitas pelaksanaan survei, maka setiap survei harus diikuti dengan permintaan umpan balik kepada rumah sakit terkait penyelenggaraan survei akreditasi dan kinerja dan perilaku surveior. Umpan balik disampaikan kepada lembaga independen yang melaksanakan akreditasi di rumah sakit tersebut dan Kementerian Kesehatan melalui sistem informasi akreditasi RS. Umpan balik digunakan sebagai dasar untuk upaya peningkatan kualitas penyelenggaraan survei akreditasi. Kementerian Kesehatan dapat memanfaatkan informasi dari umpan balik tersebut untuk melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan survei akreditasi dan lembaga independen penyelenggara akreditasi rumah sakit. VIII. Referensi • KMK Standar Akreditasi RS tahun 2021 • Panduan Standar akreditasi RS • Buku Instrument Standar Akreditasi RS 2.3 PENILAIAN AKREDITASI RS I. Deskripsi Singkat Mata pelatihan ini membahas kebijakan Pemerintah tentang mutu dan akreditasi rumah sakit. II. Tujuan Pembelajaran A. Hasil Belajar Setelah mengikuti mata pelatihan ini peserta mampu memahami kebijakan mutu dan akreditasi rumah sakit. B. Indikator Hasil Belajar Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta dapat menjelaskan kebijakan pemerintah tentang mutu dan akreditasi rumah sakit. III. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok Materi pokok pada mata pelatihan ini adalah: Kebijakan pemerintah tentang mutu dan akreditasi rumah sakit. Sub materi pokok pada pelatihan ini adalah :
269 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 •Kebijakan Pemerintah tentang program pembangunan kesehatan (RPJMN) yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan di rumah sakit. •Kebijakan Pemerintah tentang mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit. •Kebijakan Pemerintah tentang akreditasi rumah sakit. IV. Metode • Ceramah tanya jawab • Curah pendapat V. Media dan Alat Bantu • Laptop• LCD• Bahan tayang/slideVI. Langkah Kegiatan Pembelajaran Sesi 1 : Pengkondisian Peserta Langkah proses pembelajaran sebagai berikut : •Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum pernah menyampaikan sesi di kelas, mulailah dengan perkenalan. Perkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap, instansi tempat bekerja, materi yang akan disampaikan. •Fasilitator melakukan bina suasana dengan memberikan game singkat, agar peserta fokus dan antusias dalam mengikuti materi. •Melakukan apersepsi terhadap pemahaman peserta tentang kebijakan mutu dan akreditasi RS.•Menyampaikan tujuan pembelajaran mata pelatihan ini adalah peserta latih mampu menjelaskan materi pokok kebijakan mutu dan akreditasi RS menggunakan bahan tayang.Sesi 2 : Penyampaian Materi Kebijakan Pemerintah Tentang Mutu dan Akreditasi RS. Langkah proses pembelajaran sebagai berikut :•Fasilitator menggali pengalaman peserta tentang kebijakan mutu dan akreditasi RS.•Fasilitator menyampaikan materi pokok Kebijakan Pemerintah Tentang Mutu dan Akreditasi RS dengan metode ceramah interaktif menggunakan bahan tayang. •Fasilitator memberi kesempatan bertanya kepada peserta terhadap hal-hal yang belum dipahami. •Memberikan kesempatan kepada peserta lain untuk menjawab pertanyaan. •Memberikan penguatan terhadap jawaban yang telah diberikan oleh peserta. Sesi 3 : Pengakhiran Langkah proses pembelajaran sebagai berikut: •Fasilitator melakukan evaluasi dengan cara memberikan pertanyaan kepada peserta. •Memberikan kesempatan kepada peserta untuk memberikan jawaban. •Merangkum pembelajaran bersama-sama peserta.
270 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 •Memberikan apresiasi kepada peserta yang telah aktif mengikuti proses pembelajaran. •Menutup proses pembelajaran dengan mengucapkan permohonan maaf dan terima kasih. VII. Uraian Materi Lembaga menetapkan tata cara dan tahapan penilaian akreditasi. Berpedoman pada standar akreditasi yang dipergunakan saat survei akreditasi. Tahapan penilaian ditentukan lembaga dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan, profesionalisme dan menghindari terjadinya konflik kepentingan. Lembaga menyediakan instrumen, daftar tilik dan alat bantu untuk surveior dalam melakukan penilaian agar hasil yang diperoleh objektif dan dapat dipertanggungjawabkan. Penentuan skor dari elemen penilaian dilakukan dengan memperhatikan kelengkapan dokumen, hasil telusur dan kunjungan lapangan, simulasi kepada petugas, wawancara dan klarifikasi yang ada di standar akreditasi mengikuti ketentuan sebagai berikut: No Kriteria Skor 10 (TL) Skor 5 (TS) Skor 0 (TT) TDD 1 Pemenuhan elemen penilaian Minimal 80% 20 sampai <80% Kurang 20% Tidak dapat diterapkan 2 Bukti kepatuhan Bukti kepatuhan ditemukan secara konsisten pada semua bagian/unit di pada semua mana persyaratan-persyaratan tersebut berlaku. Catatan: Hasil pengamatan tidak dapat dianggap sebagai temuan apabila hanya terjadi pada 1 Bukti kepatuhan tidak dapat ditemukan secara konsisten bagian/ unit di bagian/unit mana persyaratan-persyaratan tersebut berlaku (misalnya ditemukan kepatuhan di IRI, namun tidak di IRJ, patuh pada ruang operasi namun tidak patuh di unit Bukti kepatuhan tidak ditemukan secara menyeluruh pada semua di mana persyaratan-persyaratan tersebut berlaku
271 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 No Kriteria Skor 10 (TL) Skor 5 (TS) Skor 0 (TT) TDD pengamatan (observasi)rawat sehari (day surgery), patuh pada area-area yang menggunakan sedasi namun tidak patuh di klinik gigi). 3 Hasil wawancara dari pemenuhan persyaratan yang ada di EP Hasil wawancara menjelaskan menjelaskan sesuai standar dan dibuktikan dengan dokumen dan dengan pengamatan dokumen dan Hasil wawancara sebagian sesuai standar dan dibuktikan pengamatan Hasil wawancara tidak sesuai standar dan dibuktikan dengan dokumen dan pengamatan 4 Regulasi sesuai dengan yang dijelaskan di maksud 100% (baik dan tujuan pada standar Kelengkapan Tidak lengkap Tidak ada regulasi untuk regulasi yang hanya diminta satu regulasi meupun yang diminta lebih dari satu regulasi, semuanya harus 100% lengkap) 4 Dokumen rapat/pertemuan: seperti undangan, materi rapat, absensi/daftar hadir, (notulen rapat. Kelengkapan Kelengkapan bukti dokumen rapat 100% cross checkbukti dokumen rapat 20-kurang 100%) 20% Kelengkapan bukti dokumen rapat kurang
272 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 No Kriteria Skor 10 (TL) Skor 5 (TS) Skor 0 (TT) TDD dengan wawancara) 5 Dokumen pelatihan seperti kerangka acuan (TOR) pelatihan yang dilampiri jadwal acara, undangan, materi/bahan pelatihan, absensi/daftar hadir, laporan pelatihan Kelengkapan Kelengkapan bukti dokumen pelatihan 100% bukti dokumen pelatihan 20-kurang 100% Kelengkapan bukti dokumen pelatihan kurang 20% 6 Dokumen orientasi staf seperti kerangka bukti acuan (TOR) orientasi yang dilampiri jadwal acara, undangan, absensi/daftar hadir, laporan orientasi dari kepala SDM (orientasi umum) atau kepala unit (orientasi khusus) Kelengkapan Kelengkapan dokumen orientasi 100% bukti dokumen orientasi 20-kurang 100% Kelengkapan bukti dokumen orientasi kurang 20% 7 Hasil observasi pelaksanaan kegiatan/ pelayanan sesuai regulasi 80% Contoh: 8 dari 10 kegiatan/ pelayanan yang diobservasi 9 yang sudah memenuhi EP 20 - kurang 80% Contoh: 2-7 dari 10 kegiatan/ pelayanan diobservasi 2-7 sudah memenuhi EP EP Kurang 20% Contoh: 1 dari 10 kegiatan/ pelayanan yang diobservasi 8 sudah memenuhi 8 Hasil simulasi staf sesuai regulasi 80% Contoh: 8 dari 10 staf yang diminta simulasi 20- kurang 80% Contoh: 2-7 dari 10 staf yang diminta simulasi Kurang 20% Contoh: 1 dari 10 staf yang diminta simulasi
273 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 No Kriteria Skor 10 (TL) Skor 5 (TS) Skor 0 (TT) TDD sudah memenuhi sudah memenuhi sudah memenuhi 9 Rekam jejak kepatuhan pada survei akreditasi pertama Kepatuhan pelaksanaan kegiatan/ pelayanan secara berkesinambungan sejak 3 bulan sebelum survei Kepatuhan pelaksanaan kegiatan/ pelayanan secara berkesinambungan sejak 2 bulan sebelum survei Kepatuhan pelaksanaan kegiatan/ pelayanan secara berkesinambungan sejak 1 bulan sebelum survei 10 Rekam jejak kepatuhan survei akreditasi ulang Kepatuhan pelaksanaan kegiatan/ pelayanan sejak 12 bulan sebelum survei Kepatuhan pelaksanaan kegiatan/ pelayanan sejak 4-11 bulan sebelum survei Kepatuhan pelaksanaan kegiatan/ pelayanan sejak 1-3 bulan sebelum survei Keterangan: TL : Terpenuhi Lengkap TS : Terpenuhi Sebagian TT : Tidak Terpenuhi TDD : Tidak Dapat Diterapkan VIII. Referensi • Buku Panduan Standar Akreditasi RS • Buku Instrument Standar Akreditasi
274 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t - 2 0 2 1 MATERI PENUNJANG 1 BUILDING LEARNING COMMITMENT / BLC I. Deskripsi Singkat Pelatihan adalah kegiatan proses pembelajaran yang merupakan suatu forum untuk terjadinya proses peningkatan pengetahuan dan keterampilan dan melakukan perubahan sikap dan perilaku tertentu yang dapat diukur, baik secara kuantitatif maupun kualitatif melalui alat ukurnya masing-masing. Untuk mencapai tingkat pengetahuan, dan keterampilan, serta perubahan sikap dan perilaku tertentu yang ingin dicapai, maka proses pembelajaran bagi orang dewasa perlu ditata sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi peserta untuk berpartisipasi secara aktif. Dalam suatu pelatihan terutama pelatihan dalam kelas (in class training), akan bertemu sekelompok orang yang belum saling mengenal sebelumnya, dan berasal dari tempat yang berbeda, dengan latar belakang sosial budaya, pendidikan/ pengetahuan, pengalaman, serta sikap dan perilaku yang berbeda pula. Apabila hal ini tidak diantisipasi sejak awal pelatihan, kemungkinan besar akan dapat mengganggu kesiapan peserta dalam memasuki proses pelatihan yang bisa berakibat pada terganggunya kelancaran dari proses pembelajaran selanjutnya. Ada tiga kondisi penting yang perlu diciptakan dalam pembelajaran orang dewasa, yaitu: 1) suasana belajar yang memungkinkan peserta lain bisa berdikusi secara bebas saling memberikan pengetahuan, pengalaman masing-masing; 2) suasana belajar yang memungkinkan peserta latih bisa saling memberi dan menerima pengetahuan, pengalaman dalam diskusi kelompok agar apa yang diperoleh dalam pembelajaran bisa dimanfaatkan untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya sehari-hari, serta memperoleh manfaat social dalam lingkungan system permanennya masing-masing; 3) suasana belajar yang memungkinkan peserta latih bisa merespon terus menerus ransangan belajar yang diberikan fasilitator, oleh karena itu ketiga kondisi ini perlu selalu diciptakan dalam suatu proses pembelajaran. Menilik arti BLC jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti membangun komitmen belajar. Komitmen belajar tentunya dari peserta dalam mengikuti pelatihan. Kesuksesan pelatihan ditentukan oleh peserta, panitia dan fasilitator. Dalam kaitannya dengan BLC, yang dibangun adalah kesuksesan pelatihan dari unsur peserta. Maka dalam BLC perlu ditekankan komitmen peserta dalam mengikuti pelatihan. Yang perlu diketahui adalah bagaimana komitmen belajar mereka dalam mengikuti pelatihan dan motivasi dari fasilatator agar mereka mempunyai komitmen belajar selama mengikuti pelatihan. Komitmen adalah janji atau kesanggupan yang pasti untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Maka diawal BLC peserta juga ditanya apa keinginan, tujuan, motivasi mereka mengikuti pelatihan. Jika mereka sangat membutuhkan pelatihan tersebut, tentu motivasi mereka mengikuti pelatihan sangat tinggi dan mereka akan serius mengikuti pelatihan sampai selesai. Tetapi motivasi peserta pelatihan bervariasi, ada yang karena diperintah atasan (baik suka atau tidak suka), refreshing karena ingin keluar dari rutinitas kerja, mendapat teman baru, bisa jalan-jalan
275 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 (apalagi kalau pelatihannya di tempat tertentu yang dekat dengan daerah wisata, seperti Jogja, Denpasar, Mataram, Manado, Batam, dsb.), mendapat tambahan penghasilan karena diakhir pelatihan di-sanguni oleh panitia, dan lain-lain. Dari motiv yang bermacam-macam itu, fasilitator harus berusaha agar peserta mempunyai motiv yang sama dan satu, yaitu bahwa pelatihan tersebut sangat penting dan bermanfaat dan akan berusaha untuk mengikuti pelatihan sampai selesai. Membangun komitmen Belajar (BLC) merupakan salah satu metode atau proses untuk mencairkan kebekuan tersebut. BLC juga mengajak peserta mampu mengemukakan harapan harapan mereka dalam pelatihan ini, serta merumuskan nilai-nilai dan norma yang kemudian disepakati bersama untuk dipatuhi selama proses pembelajaran. Membuat kontol kolektif dan struktur organisasi kelas. Jadi inti dari BLC juga adalah terbangunnya komitmen dari semua peserta untuk berperan serta dalam mencapai harapan dan tujuan pelatihan, serta mentaati norma yang dibangun berdasarkan perbauran nilai-nilai yang dianut dan disepakati. II. Tujuan Pembelajaran A. Hasil Belajar Setelah mengikuti materi ini peserta mampu memahami komitmen semua peserta pelatihan agar proses belajar mengajar dapat terlaksana dengan baik dan tujuan pelatihan dapat tercapai. B. Indikator Hasil Belajar Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu: 1. Mempunyai komitmen yang sama tentang jalannya proses pembelajaran 2. Menyepakati aturan disiplin selama pelatihan 3. Menyepakati sanksi yang diberlakukan selama pelatihan III. Materi Poko dan Sub Materi Pokok • Perkenalan • Pencairan • Harapan-harapan dalam proses pembelajaran dan hasil yang ingin dicapai • Aturan disiplin dan norma yang disepakati selama pelatihan • Sanksi yang diberlakukan selama pelatihan IV. Metode • Ceramah interaktif • Latihan V. Media dan Alat Bantu • Modul BLC • Flipchart • Spidol • Meta plan
276 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 • Kain tempel • Jadwal dan alur pelatihan • Panduan permainan, • Papan tulis. • Norma / tata tertib standar pelatihan VI. Langkah-Langkah Kegiatan Pembelajaran Jumlah jam yang digunakan dalam modul ini adalah sebanyak 3 jam pelajaran 3 JPL (T= 1 jpl, P= 2 JPL, PL= 0 JPL). Agar proses pembelajaran dapat berhasil secara efektif dan mempermudah proses pembelajaran serta kegiatan meningkatkan partisipasi seluruh perserta, maka perlu disusun langkah-langkah pembelajaran sebagai berikut : 1. Langkah 1 : Pengkondisian Peserta a. Kegiatan Fasilitator •Fasilitator memulai kegiatan dengan melakukan bina suasana dikelas. •Fasilitator menyampaikan salam dengan menyapa peserta dengan ramah dan hangat. •Apabila belum pernah menyampaikan sesi di kelas mulailah dengan memperkenalkan diri. Perkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap, instansi tempat bekerja, materi yang akan disampaikan Menggali pendapat pembelajar (apersepsi) tentang building learning commitment (blc) dengan metode curah pendapat (brainstorming).• Menyampaikan kegiatan yang akan dilaksanakan dalam BLC dan menyampaikan tujuan pembelajaran umum dan khusus dari BLC. •Menyampaikan alur proses pelatihan.yang akan dilalui selama pelatihan.b. Kegiatan Peserta •Mempersiapkan diri dan alat tulis bila diperlukan.• Mengemukakan pendapat atas pertanyaan fasilitator. •Memperkenalkan diri dan asal institusinya.2. Langkah 2 : Review kegiatan BLC a. Kegiatan Fasilitator •Menjelaskan petunjuk kegiatan-kegiatan (games) yang akan dimainkan. •Memberikan kesempatan kepada peserta untuk menanyakan hal-hal yang masih belum jelas. •Memberikan jawaban / menjelaskan lebih detil jika ada pertanyaan yang diajukan oleh peserta. b. Kegiatan Peserta
277 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 •Mendengar, mencatat dan mempersiapkan diri mengikuti games yang akan dimainkan. •Mengajukan pertanyaan kepada fasilitator bila masih ada yang belum dipahami. •Melakukan tugas yang diberikan oleh fasilitator. 3. Langkah 3 : Pendalaman kegiatan BLC a. Kegiatan Fasilitator •Meminta peserta dibagi menjadi beberapa kelompok (4 kelompok) dan setiap kelompok akan diberikan tugas diskusi kelompok, yaitu membahas harapan, kekhawatiran dan solusi nya di masing-masing kelompok. •Menugaskan kelompok untuk memilih ketua, sekretaris dan penyaji. •Meminta masing-masing kelompok untuk menuliskan hasil dikusi untuk dipresentasikan. •Mengamati peserta dan memberikan bimbingan pada proses diskusi. b. Kegiatan Peserta •Membentuk kelompok diskusi dan memilih ketua, sekretaris dan penyaji. •Mendengar, mencatat dan bertanya terhadap hal-hal yang masih belum jelas kepada fasilitator. •Melakukan proses diskusi sesuai dengan masalah yang ditugaskan oleh fasilitator dan menuliskan hasil dikusi pada kertas flipchart untuk dipresentasikan. 4. Langkah 4: Penyajian dan pembahasan hasil diskusi kelompok a. Kegiatan Fasilitator •Dari masing-masing kelompok diminta untuk melakukan presentasi dari hasil diskusi yang telah dilakukan sebelumnya. •Memimpin proses tanggapan (tanya jawab) •Memberikan masukan-masukan dari hasil diskusi. •Memberikan klarifikasi dari pertanyaan-pertanyaan yang belum dimengerti jawabannya •Merangkum hasil diskusi. •Meminta perwakilan kelas untuk menunjuk seorang ketua kelas dan sekretarisnya,yang akan memimpin proses membuat komitmen pembelajaran melalui norma-norma kelas yang disepakati bersama-sama beserta pembuatan kontrol kolekifnya. b. Kegiatan Peserta •Mengikuti proses penyajian kelas.
278 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 •Berperan aktif dalam proses tanya jawab yang dipimpin oleh fasilitator. •Bersama dengan fasilitator merangkum hasil presentasi dari masing–masing pokok bahasan yang telah dipresentasikan dengan baik. •Ketua dan sekretaris kelas secara bersama dengan peserta membuat kesepakatan (norma) kelas sebagai bentuk komitmen pembelajaran beserta kontrol kolektif yang disepakati bersama 5. Langkah 5: rangkuman dan evaluasi hasil BLC a. Kegiatan Fasilitator •Bersama peserta merangkum poin-poin penting dari hasil proses kegiatan membangun komitmen pembelajaran. •Menyimpulkan dan memperjelas norma-norma kelas yang sudah disepakati bersama peserta. •Mengakhiri kegiatan BLC dengan mengucapkan salam dan permohonan maaf serta memberikan apresiasi dengan ucapan terima kasih kepada peserta. b. Kegiatan Peserta •Bersama fasilitator merangkum poin-poin penting dari hasil proses kegiatan membangun komitmen pembelajaran. •Mendengar dan menyepakati hasil dari norma kelas yang telah dibuat. •Membalas salam fasilitator VII. Uraian Materi 1. Perkenalan Pada awal memasuki suatu pelatihan, sering para peserta menunjukkan suasana kebekuan (freezing), karena belum tentu pelatihan yang diikuti merupakan pilihan prioritas dalam kehidupannya. Mungkin saja kehadirannya di pelatihan karena terpaksa, tidak ada pilihan lain, harus menuruti ketentuan / persyaratan. Mungkin juga terjadi, pada saat pertama hadir sudah memiliki anggapan merasa sudah tahu semua yang akan dipelajari atau membayangkan kejenuhan yang akan dihadapi. Untuk mengantisipasi semua itu, perlu dilakukan suatu proses pencairan(unfreezing). Proses BLC adalah proses melalui tahapan dari mulai saling mengenal antar pribadi, mengidentifikasi dan merumuskan harapan dari pelatihan ini, sampai terbentuknya norma kelas yang disepakati bersama serta kontrol kolektifnya. Pada proses BLC setiap peserta harus berpartisipasi aktif dan dinamis. Keberhasilan atau ketidakberhasilan proses BLC akan berpengaruh pada proses pembelajaran selanjutnya. Pada tahap perkenalan fasilitator memperkenalkan diri dan asal usul institusinya dilanjutkan dengan menyampaikan tujuan pembelajaran. Kemudian mengajak peserta
279 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 untuk ikut berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Dalam memandu peserta untuk proses perkenalan dengan menggunakan metode yaitu : dalam 5 menit pertama setiap peserta diminta berkenalan dengan peserta lain sebanyak-banyaknya. Meminta peserta yang berkenalan dengan jumlah peserta terbanyak, dan dengan jumlah peserta paling sedikit untuk memperkenalkan teman-temannya. Meminta peserta yang belum disebut namanya untuk memperkenalkan diri, sehingga seluruh peserta saling berkenalan, diikuti juga oleh panitia untuk memperkenalkan dirinya. 2. Pencairan Fasilitator menyiapkan kursi sejumlah peserta dan disusun melingkar. Fasilitator meminta semua peserta duduk di kursi dan satu diantaranya duduk di tengah lingkaran. Peserta yang duduk di tengah lingkaran diminta memberi aba-aba, agar peserta yang disebut identitasnya pindah duduk, misalnya dengan menyeru: ”Semua peserta berbaju merah pindah” Pada keadaan tersebut akan terjadi pertukaran tempat duduk dan saling berebut antar peserta. Hal tersebut menggambarkan suasana “storming”, atau seperti “badai” yang merupakan tahap awal dari suatu pembentukan kelompok. Ulangi lagi, setiap peserta yang duduk di tengah lingkaran untuk menyerukan identitas yang berbeda, misalnya peserta yang berkaca mata atau yang berbaju batik dan lain-lain. Lakukan permainan tersebut selama 10 – 15 menit, tergantung situasi dan kondisi. Fasilitator memandu peserta untuk merefleksikan perasaannya dalam permainan tersebut serta pengalaman belajar apa yang diperolehnya. Fasilitator membuat rangkuman bersamasama peserta, agar terjadi proses yang dinamis. 3. Harapan-harapan dalam proses pembelajaran dan hasil yang ingin dicapai Fasilitator membagi peserta dalam kelompok kecil 5 – 6 orang, kemudian menjelaskan tugas kelompok tersebut. Masing-masing kelompok akan menentukan harapan terhadap pelatihan ini serta kekhawatiran dalam mencapai harapan tersebut. Juga didiskusikan bagaimana solusi (pemecahan masalah) untuk mencapai harapan tersebut serta menghilangkan kekhawatiran yang akan terjadi selama pelatihan. Mula-mula secara individu, kemudian hasil setiap individu dibahas dan dilakukan kesepakatan sehingga menjadi harapan kelompok. Setiap kelompok diminta untuk mempresentasikan hasil diskusinya. Dan peserta dari kelompok lainnya diminta untuk memberikan tanggapan dan masukan bila ada. Fasilitator memandu peserta untuk membahas harapan dan kekhawatiran dari setiap kelompok tersebut sehingga menjadi harapan kelas yang disepakati bersama. Berdasarkan hasil pemaparan diskusi seluruh kelompok maka disepakati bersama fasilitator untuk menentukan ketua kelas dan sekretaris yang akan memandu peserta secara bersama-sama untuk merumuskan norma-norma kelas yang akan disepakati bersama. Peserta difasilitasi sedemikian rupa agar semua berperan aktif dan memberikan komitmennya untuk metaati norma kelas tersebut.
280 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 Komitmen merupakan keterikatan, keterpanggilan seseorang terhadap apa yang dijanjikan atau yang menjadi tujuan dirinya atau kelompoknya yang telah disepakati dan terdorong berupaya sekuat tenaga untuk mengaktualisasinya dengan berbagai macam cara yang baik, efektif dan efisien. Komitmen belajar/pembelajaran, adalah keterpanggilan seseorang/ kelompok/ kelas (peserta pelatihan) untuk berupaya dengan penuh kesungguhan mengaktualisasikan apa yang menjadi tujuan pelatihan/pembelajaran. Keadaan ini sangat menguntungkan dalam mencapai keberhasilan individu/ kelompok/ kelas, karena dalam diri setiap orang yang memiliki komitmen tersebut akan terjadi niat baik dan tulus untuk memberikan yang terbaik kepada individu lain, kelompok dan kelas secara keseluruhan. Dengan membangun komitmen belajar maka para peserta akan berupaya untuk mencapai harapan yang diinginkannya dalam setiap proses pembelajaran. Dalam hal ini harapan peserta adalah kehendak/ keinginan untuk memperoleh atau mencapai sesuatu. Dalam pelatihan berarti keinginan untuk memperoleh atau mencapai tujuan yang diinginkan sebagai hasil proses pembelajaran. Dalam menetukan harapan harus realistis dan rasional sehingga kemungkinan untuk mencapainya menjadi besar. Harapan jangan terlalu tinggi dan jangan terlalu rendah. Harapan juga harus menimbulkan tantangan atau dorongan untuk mencapainya, dan bukan sesuatu yang diucapkan secara asal-asalan. Dengan demikian dinamika pembelajaran akan terus terpelihara sampai proses pembelajaran berakhir. 4. Aturan disiplin dan norma yang disepakati selama pelatihan Dalam sesi BLC, lebih banyak menggunakan metode games/ permainan, penugasan individu dan diskusi kelompok, yang pada intinya adalah untuk mendapatkan komitmen belajar, harapan, norma kelas dan kontrol kolektif. Proses BLC sendiri adalah proses melalui tahapan dari mulai saling mengenal antar pribadi, mengidentifikasi dan merumuskan harapan dari pelatihan ini, sampai terbentuknya norma kelas yang disepakati bersama serta kontrol kolektifnya. Pada proses BLC setiap peserta harus berpartisipasi aktif dan dinamis. Keberhasilan atau ketidak berhasilan proses BLC akan berpengaruh pada proses pembelajaran selanjutnya. Pada kesempatan ini juga fasilitator akan merumuskan tujuan pembelajaran yang akan dicapai dalam kegiatan membangun komitmen belajar, sehingga dengan demikian para peserta dengan sendirinya sadar akan peran dan tanggung jawabnya dalam keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran yang dilaksanakan pada pelatihan tersebut.Norma kelas merupakan nilai yang diyakini oleh suatu kelompok atau masyarakat, kemudian menjadi kebiasaan serta dipatuhi sebagai patokan dalam perilaku kehidupan sehari hari kelompok/ masyarakat tersebut. Norma adalah gagasan, kepercayaan tentang kegiatan, instruksi, perilaku yang seharusnya dipatuhi oleh suatu kelompok. Norma dalam suatu pelatihan,adalah gagasan, kepercayaan tentang kegiatan, instruksi, perilaku yang diterima oleh kelompok pelatihan, untuk dipatuhi oleh semua anggota kelompok (peserta, pelatih/ fasilitator dan panitia).
281 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 5. Sanksi yang diberlakukan selama pelatihan Ketua kelas dan sekretaris beserta fasilitator memandu brainstorming tentang sanksi apa yang harus diberlakukan bagi orang yang tidak mematuhi atau melanggar norma yang telah disepakati agar komitmen yang dibangun menjadi lebih kuat. Tuliskan hasil brainstorming di papan flipchart agar bisa dibaca oleh semua peserta. Peserta difasilitasi sedemikian rupa sehingga aktif dalam melakukan brainstorming, sehingga dapat dirumuskan sanksi yang disepakati kelas. Kontrol kolektif merupakan kesepakatan bersama tentang memelihara agar kesepakatan terhadap norma kelas ditaati. Biasanya ditentukan dalam bentuk sanksi apa yang harus diberlakukan apabila norma tidak ditaati atau dilanggar
282 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 MATERI PENUNJANG 2 ANTI KORUPSI I. Deskripsi Singkat Korupsi yang terjadi di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan dan berdampak buruk luar biasa pada hampir seluruh sendi kehidupan. Korupsi telah menghancurkan sistem perekonomian, sistem demokrasi, sistem politik, sistem hukum, sistem pemerintahan, dan tatanan sosial kemasyarakatan di negeri ini. Upaya pemberantasan korupsi yang telah dilakukan selama ini belum menunjukkan hasil yang optimal. Korupsi dalam berbagai tingkatan tetap saja banyak terjadi seolah-olah telah menjadi bagian dari kehidupan kita yang bahkan sudah dianggap sebagai hal yang biasa. Jika kondisi ini tetap kita biarkan berlangsung maka cepat atau lambat korupsi akan menghancurkan negeri ini. Korupsi harus dipandang sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang oleh karena itu memerlukan upaya luar biasa pula untuk memberantasnya. Upaya pemberantasan korupsi– yang terdiri dari dua bagian besar, yaitu (1) penindakan, dan (2) pencegahan–tidak akan pernah berhasil optimal jika hanya dilakukan oleh pemerintah saja tanpa melibatkan peran serta masyarakat. Dalam rangka mempercepat pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2013 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi perlu disusun Strategi Komunikasi Pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan korupsi di Kementerian Kesehatan sebagai salah satu kegiatan reformasi birokrasi yang dilaksanakan Kementerian Kesehatan agar para Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Kesehatan terhindar dari perbuatan korupsi. Salah satu upaya yang dilakukan dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi adalah dengan memberikan pengertian dan kesadaran melalui pemahaman terhadap konsep serta penanaman nilai-nilai anti korupsi yang selanjutnya dapat menjadi budaya dalam bekerja. Pada dasarnya korupsi terjadi karena adanya faktor internal (niat) dan faktor eksternal (kesempatan). Niat lebih terkait dengan faktor individu yang meliputi perilaku dan nilai-nilai yang dianut, sedangkan kesempatan terkait dengan sistem yang berlaku. Upaya pencegahan korupsi dapat dimulai dengan menanamkan nilai-nilai anti korupsi pada semua individu. Setidaknya ada 9 (sembilan) nilai anti korupsi yang penting untuk ditanamkan pada semua individu, yaitu Kejujuran, Kepedulian, Kemandirian, Kedisiplinan, Tanggung jawab, Kerja keras, Sederhana, Keberanian, dan Keadilan. II. Tujuan Pembelajaran A. Hasil Belajar Setelah mempelajari materi ini, peserta mampu memahami anti korupsi di lingkungan kerjanya B. Indikator Hasil Belajar Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu: 1. Menjelaskan Konsep Korupsi 2. Menjelaskan Anti Korupsi
283 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 3. Menjelaskan Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi 4. Menjelaskan Tata Cara Pelaporan Dugaan Pelanggaran Tindakan Pidana Korupsi (TPK) 5. Menjelaskan Gratifikasi 6. Menjelaskan kasus-kasus korupsi III. Materi Poko dan Sub Materi Pokok 1. Konsep korupsi a. Definisi korupsi b. Ciri-ciri korupsi c. Bentuk/ jenis korupsi d. Tingkatan korupsi e. Penyebab Korupsi f. Dasar Hukum 2. Anti Korupsi a. Konsep Anti Korupsi b. Nilai-nilai anti korupsi c. Prinsip-prinsip anti korupsi 3. Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi a. Upaya pencegahan korupsi b. Upaya Pemberantasan Korupsi c. Strategi Komunikasi Anti Korupsi 4. Tata cara pelaporan dugaan pelanggaran TPK a. Laporan b. Pengaduan c. Tata Cara Penyampaian Pengaduan 5. Gratifikasi a. Pengertian Gratifikasi b. Aspek Hukum c. Gratifikasi merupakan Tindak Pidana Korupsi d. Contoh Gratifikasi e. Sanksi Gratifikasi IV. Metode • Ceramah interaktif • Latihan V. Media dan Alat Bantu • Laptop• LCD• Bahan tayang/slide• Form laporan
284 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 • Panduan pengisian form laporanVI. Langkah-Langkah Kegiatan Pembelajaran Langkah 1 : Pengkondisian Peserta Langkah pembelajaran: 1. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum pernah menyampaikan sesi di kelas, mulailah dengan perkenalan. Perkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap, instansi tempat bekerja, materi yang akan disampaikan. 2. Sampaikan tujuan pembelajaran materi ini dan pokok bahasan yang akan disampaikan, sebaiknya dengan menggunakan bahan tayang Langkah 2 : Penyampaian Materi Langkah pembelajaran: Fasilitator menyampaikan paparan seluruh materi sesuai urutan pokok bahasan dan sub pokok bahasan dengan menggunakan bahan tayang. Fasilitator menyampaikan materi dengan metode curah pendapat,ceramah dan tanya jawab. Langkah 3. Latihan Kasus Langkah pembelajaran: 1. Fasilitator menyampaikan paparan kasus korupsi yang sering terjadi 2. Fasilitator membagi peserta menjadi beberapa kelompok tiap kelompok terdiri dari 5 atau 6 orang peserta, untuk kasus yang sama dikerjakan oleh 2 atau 3 kelompok 3. Peserta berdiskusi didalam tiap kelompok 4. Fasilitator meminta wakil dari setiap kelompok untuk menyampaikan hasil diskusi kelompoknya (hanya satu kelompok untuk satu kasus) dan kelompok lainnya dengan kasus yang sama dapat memberikan komentar atau sebagai penyanggah. 5. Fasilitator mengulas hasil diskusi yang terjadi di dalam tiap penyajian hasil untuk tiap jenis kasus Langkah 4 : Rangkuman dan Kesimpulan Langkah pembelajaran: 1. Fasilitator melakukan evaluasi untuk mengetahui penyerapan peserta terhadap materi yang disampaikan dan pencapaian tujuan pembelajaran. 2. Fasilitator merangkum poin-poin penting dari materi yang disampaikan. 3. Fasilitator membuat kesimpulan. VII. Uraian Materi Konsep korupsi 1. Definisi korupsi Apa Arti kata “korupsi? Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin “corruptio” (Fockema Andrea: 1951) atau “corruptus” (Webster Student Dictionary: 1960). Selanjutnya dikatakan bahwa “corruptio” berasal dari kata “corrumpere”, suatu
285 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 bahasa Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin tersebut kemudian dikenal istilah “corruption, corrupt” (Inggris), “corruption” (Perancis) dan “corruptie/ korruptie” (Belanda). Arti kata korupsi secara harfiah adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian. Ada banyak pengertian tentang korupsi, di antaranya adalah berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), didefinisikan “penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan, dan sebagainya untuk keperluan pribadi”. Selanjutnya untuk beberapa pengertian lain, disebutkan bahwa (Muhammad Ali: 1998): • Korup artinya busuk, suka menerima uang suap/ sogok, memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya; • Korupsi artinya perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya; • Koruptor artinya orang yang melakukan korupsi. Dengan demikian arti kata korupsi adalah sesuatu yang busuk, jahat dan merusak, berdasarkan kenyataan tersebut perbuatan korupsi menyangkut: sesuatu yang bersifat amoral, sifat dan keadaan yang busuk, menyangkut jabatan instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, menyangkut faktor ekonomi dan politik dan penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatan. 2. Ciri-ciri korupsi Ada 6 ciri korupsi adalah sebagai berikut: • dilakukan oleh lebih dari satu orang; • merahasiakan motif; ada keuntungan yang ingin diraih; • berhubungan dengan kekuasaan/ kewenangan tertentu; • berlindung di balik pembenaran hukum; • melanggar kaidah kejujuran dan norma hukum • mengkhianati kepercayaan 3. Bentuk/ jenis korupsi Berikut ini adalah beberapa bentuk korupsi dan perbuatan korupsi
286 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1
287 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 4. Tingkatan korupsi a. Materi Benefit Penyimpangan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan material baik bagi dirinya sendiri maupun orang kain. Korupsi pada level ini merupakan tingkat paling membahayakan karena melibatkan kekuasaan dan keuntungan material. Ini merupakan bentuk korupsi yang paling banyak terjadi di Indonesia b. Penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) Abuse of power merupakan korupsi tingkat menengah Merupakan segala bentuk penyimpangan yang dilakukan melalui struktur kekuasaan, baik pada tingkat negara maupun lembaga-lembaga struktural lainnya termasuk lembaga pendidikan tanpa mendapatkan keuntungan materi. c. Pengkhianatan terhadap kepercayaan (betrayal of trust) ▪Pengkhianatan merupakan korupsi paling sederhana Orang yang berkhianat atau mengkhianati kepercayaan atau amanat yang diterimanya adalah koruptor. ▪Amanat dapat berupa apapun, baik materi maupun non materi
288 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 ▪Anggota DPR yang tidak menyampaikan aspirasi rakyat atau memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi merupakan bentuk korupsi 5. Penyebab Korupsi Berikut adalah faktor-faktor penyebab korupsi: a. Penegakan hukum tidak konsisten: penegakan hukum hanya sebagai make-up politik, sifatnya sementara, selalu berubah setiap berganti pemerintahan. b. Penyalahgunaan kekuasaan/ wewenang, takut dianggap bodoh kalau tidak menggunakan kesempatan. c. Langkanya lingkungan yang antikorup: sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebatas formalitas. d. Rendahnya pendapatan penyelenggara negara. Pendapatan yang diperoleh harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara negara, mampu mendorong penyelenggara negara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. e. Kemiskinan, keserakahan: masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan. f. Budaya memberi upeti, imbalan jasa, dan hadiah. g. Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi: saat tertangkap bisa menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan hukumannya. h. Budaya permisif/ serba membolehkan; tidak mau tahu: menganggap biasa bila ada korupsi, karena sering terjadi. Tidak peduli orang lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan Republik Indonesia mengidentifikasi beberapa sebab terjadinya korupsi, yaitu: a. Aspek individu pelaku korupsi Korupsi yang disebabkan oleh individu, yaitu sifat tamak, moral kurang kuat menghadapi godaan, penghasilan kurang mencukupi untuk kebutuhan yang wajar, kebutuhan yang mendesak, gaya hidup konsumtif, malas atau tidak mau bekerja keras, serta ajaran-ajaran agama kurang diterapkan secara benar. Aspek-aspek individu tersebut perlu mendapatkan perhatian bersama. Sangatlah ironis, bangsa kita yang mengakui dan memberikan ruang yang leluasa untuk menjalankan ibadat menurut agamanya masing-masing, ternyata tidak banyak membawa implikasi positif terhadap upaya pemberantasan korupsi. Demikian pula dengan hidup konsumtif dan sikap malas. Perilaku konsumtif tidak saja mendorong untuk melakukan tindakan
289 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 kurupsi, tetapi menggambarkan rendahnya sikap solidaritas sosial, karena terdapat pemandangan yang kontradiktif antara gaya hidup mewah di satu sisi dan kondisi kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi masyarakat miskin pada sisi lainnya. b. Aspek organisasi Pada aspek organisasi, korupsi terjadi karena kurang adanya keteladanan dari pimpinan, tidak adanya kultur organisasi yang benar, sistem akuntabilitas di pemerintah kurang memadai, kelemahan sistem pengendalian manajemen, serta manajemen yang lebih mengutamakan hirarki kekuasaan dan jabatan cenderung akan menutupi korupsi yang terjadi di dalam organisasi. Hal tersebut ditandai dengan adanya resistensi atau penolakan secara kelembagaan terhadap setiap upaya pemberantasan korupsi. Manajemen yang demikian, menutup rapat bagi siapa pun untuk membuka praktik korkupsi kepada publik. c. Aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada Aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada juga turut menentukan, yaitu nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat yang kondusif untuk melakukan korupsi. Masyarakat seringkali tidak menyadari bahwa akibat tindakannya atau kebiasaan dalam organisasinya secara langsung maupun tidak langsung telah menanamkan dan menumbuhkan perilaku koruptif pada dirinya, organisasi bahkan orang lain. Secara sistematis lambat laun perilaku sosial yang koruptif akan berkembang menjadi budaya korupsi sehingga masyarakat terbiasa hidup dalam kondisi ketidaknyamanan dan kurang berpartisipasi dalam pemberantasan korupsi. d. Korupsi yang disebabkan oleh sistem yang buruk Sebab-sebab terjadinya korupsi menggambarkan bahwa perbuatan korupsi tidak saja ditentukan oleh perilaku dan sebab-sebab yang sifatnya individu atau perilaku pribadi yang koruptif, tetapi disebabkan pula oleh sistem yang koruptif, yang kondusif bagi setiap individu untuk melakukan tindakan korupsi. Sedangkan perilaku korupsi, sebagaimana yang umum telah diketahui adalah korupsi banyak dilakukan oleh pegawai negeri dalam bentuk penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, sarana jabatan, atau kedudukan. Tetapi korupsi dalam artian memberi suap, juga banyak dilakukan oleh pengusaha dan kaum profesional bahkan termasuk Advokat. Lemahnya tata-kelola birokrasi di Indonesia dan maraknya tindak korupsi baik ilegal maupun yang ”dilegalkan” dengan aturan-aturan yang dibuat oleh penyelenggara negara, merupakan tantangan besar yang masih harus dihadapi negara ini. Kualitas tata kelola yang buruk ini tidak saja telah menurunkan kualitas kehidkupan bangsa dan bernegara, tetapi juga telah banyak memakan korban jiwa dan bahkan ancaman akan terjadinya lost
290 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 generation bagi Indonesia. Dalam kaitannya dengan korupsi oleh lembaga birokrasi pemerintah, beberapa faktor yang perlu mendapatkan perhatian adalah menyangkut manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) dan penggajian pegawai yang ditandai dengan kurangnya penghasilan, sistem penilaian prestasi kerja yang tidak dievaluasi, serta tidak terkaitnya antara prestasi kerja dengan penghasilan. Korupsi yang disebabkan oleh sistem yang koruptif inilah yang pada akhirnya akan menghambat tercapainya clean and good governance. Jika kita ingin mencapai pada tujuan clean and good governance, maka perlu dilakukan reformasi birokrasi yang terkait dengan pembenahan sistem birokrasi tersebut. 6. Dasar Hukum tentang korupsi Beberapa peraturan perundangan yang berkaitan dengan korupsi adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1); b. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; c. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/ MPR/ 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; d. UU no. 28 Th. 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3851); e. UU no. 31 Th. 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3874); sebagaimana telah diubah dengan UU no. 20 Th. 2001; 7. Konsep Anti Korupsi Anti korupsi merupakan kebijakan untuk mencegah dan menghilangkan peluang bagi berkembangnya korupsi. Anti korupsi adalah pencegahan. Pencegahan yang dimaksud adalah bagaimana meningkatkan kesadaran individu untuk tidak melakukan korupsi dan bagaimana menyelamatkan uang dan aset negara. Peluang bagi berkembangnya korupsi dapat dihilangkan dengan melakukan perbaikan sistem (sistem hukum, sistem kelembagaan) dan perbaikan manusianya (moral dan kesejahteraan). 8. Nilai-nilai anti korupsi Berikut ini adalah uraian secara rinci untuk tiap nilai anti korupsi a. Kejujuran
291 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 Menurut Sugono kata jujur dapat didefinisikan sebagai lurus hati, tidak berbohong, dan tidak curang. Jujur adalah salah satu sifat yang sangat penting bagi kehidupan pegawai, tanpa sifat jujur pegawai tidak akan dipercaya dalam kehidupan sosialnya (Sugono: 2008). Nilai kejujuran dalam kehidupan dunia kerja yang diwarnai dengan budaya kerja sangat-lah diperlukan. Nilai kejujuran ibaratnya seperti mata uang yang berlaku dimana-mana termasuk dalam kehidupan di dunia kerja. Jika pegawai terbukti melakukan tindakan yang tidak jujur, baik pada lingkup kerja maupun sosial, maka selamanya orang lain akan selalu merasa ragu untuk mempercayai pegawai tersebut. Sebagai akibatnya pegawai akan selalu mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Hal ini juga akan menyebabkan ketidaknyamanan bagi orang lain karena selalu merasa curiga terhadap pegawai tersebut yang terlihat selalu berbuat curang atau tidak jujur. Selain itu jika seorang pegawai pernah melakukan kecurangan ataupun kebohongan, akan sulit untuk dapat memperoleh kembali kepercayaan dari pegawai lainnya. Sebaliknya jika terbukti bahwa pegawai tersebut tidak pernah melakukan tindakan kecurangan maupun kebohongan maka pegawai ter-sebut tidak akan mengalami kesulitan yang disebabkan tindakan tercela tersebut. Prinsip kejujuran harus dapat dipegang teguh oleh setiap pegawai sejak masa-masa ini untuk memupuk dan membentuk karakter mulia di dalam setiap pribadi pegawai. b. Kepedulian Menurut Sugono definisi kata peduli adalah mengindahkan, memperhatikan dan menghiraukan (Sugono: 2008). Nilai kepedulian sangat penting bagi seorang pegawai dalam kehidupan di dunia kerja dan di masyarakat. Sebagai calon pemimpin masa depan, seorang pegawai perlu memiliki rasa kepedulian terhadap lingkungannya, baik lingkungan di dalam dunia kerja maupun lingkungan di luar dunia kerja. Rasa kepedulian seorang pegawai harus mulai ditumbuhkan sejak berada di dunia kerja. Oleh karena itu upaya untuk mengembangkan sikap peduli di kalangan pegawai sebagai subjek kerja sangat penting. Seorang pegawai dituntut untuk peduli terhadap proses belajar mengajar di dunia kerja, terhadap pengelolalaan sumber daya di dunia kerja secara efektif dan efisien, serta terhadap berbagai hal yang berkembang di dalam dunia kerja. pegawai juga dituntut untuk peduli terhadap lingkungan di luar dunia kerja. Beberapa upaya yang bisa dilakukan sebagai wujud kepedulian di antaranya adalah dengan menciptakan Sikap tidak berbuat curang atau tidak jujur. Selain itu jika seorang pegawai pernah melakukan kecurangan ataupun kebohongan, akan sulit untuk dapat memperoleh kembali kepercayaan dari pegawai lainnya. Sebaliknya jika terbukti bahwa pegawai tersebut tidak pernah melakukan tindakan kecurangan maupun kebohongan maka pegawai tersebut tidak akan mengalami kesulitan yang disebabkan tindakan tercela tersebut.
292 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 c. Kemandirian Kondisi mandiri bagi pegawai dapat diartikan sebagai proses mendewasakan diri yaitu dengan tidak bergantung pada orang lain untuk mengerjakan tugas dan tanggung jawabnya. Hal ini penting untuk masa depannya dimana pegawai tersebut harus mengatur kehidupannya dan orangorang yang berada di bawah tanggung jawabnya sebab tidak mungkin orang yang tidak dapat mandiri (mengatur dirinya sendiri) akan mampu mengatur hidup orang lain. Dengan karakter kemandirian tersebut pegawai dituntut untuk mengerjakan semua tanggung jawab dengan usahanya sendiri dan bukan orang lain (Supardi: 2004).d. Kedisiplinan Menurut Sugono definisi kata disiplin adalah ketaatan (kepatuhan) kepada peraturan (Sugono: 2008). Dalam mengatur kehidupan dunia kerja baik kerja maupun sosial pegawai perlu hidup disiplin. Hidup disiplin tidak berarti harus hidup seperti pola militer di barak militier namun hidup disiplin bagi pegawai adalah dapat mengatur dan mengelola waktu yang ada untuk dipergunakan dengan sebaik-baiknya untuk menyelesaikan tugas baik dalam lingkup kerja maupun sosial dunia kerja. Manfaat dari hidup yang disiplin adalah pegawai dapat mencapai tujuan hidupnya dengan waktu yang lebih efisien. Disiplin juga membuat orang lain percaya dalam mengelola suatu kepercayaan. Nilai kedisiplinan dapat diwujudkan antara lain dalam bentuk kemampuan mengatur waktu dengan baik, kepatuhan pada seluruh peraturan dan ketentuan yang berlaku di dunia kerja, mengerjakan segala sesuatunya tepat waktu, dan fokus pada pekerjaan.e. Tanggung jawab Menurut Sugono definisi kata tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan dan diperkarakan) (Sugono: 2008). Pegawai adalah sebuah status yang ada pada diri seseorang yang telah lulus dari penkerjaan terakhirnya yang melanjutkan pekerjaan dalam sebuah lembaga yang bernama organisasi. Pegawai yang memiliki rasa tanggung jawab akan memiliki kecenderungan menyelesaikan tugas lebih baik dibanding pegawai yang tidak memiliki rasa tanggung jawab. pegawai yang memiliki rasa tanggung jawab akan mengerjakan tugas dengan sepenuh hati karena berpikir bahwa jika suatu tugas tidak dapat diselesaikan dengan baik dapat merusak citra namanya di depan orang lain. pegawai yang dapat diberikan tanggung jawab yang kecil dan berhasil melaksanakannya dengan baik berhak untuk mendapatkan tanggung jawab yang lebih besar lagi sebagai hasil dari kepercayaan orang lain terhadap pegawai tersebut. pegawai yang memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi
293 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 mudah untuk dipercaya orang lain dalam masyarakat misalkan dalam memimpin suatu kepanitiaan yang diadakan di dunia kerja. Tanggung jawab adalah menerima segala sesuatu dari sebuah perbuatan yang salah, baik itu disengaja maupun tidak disengaja. Tanggung jawab tersebut berupa perwujudan kesadaran akan kewajiban menerina dan menyelesaikan semua masalah yang telah di lakukan. Tanggung jawab juga merupakan suatu pengabdian dan pengorbanan.f. Kerja keras Bekerja keras didasari dengan adanya kemauan. Kata ”kemauan” menimbulkan asosiasi dengan ketekadan, ketekunan, daya tahan, tujuan jelas, daya kerja, pendirian, pengendalian diri, keberanian, ketabahan, keteguhan, tenaga, kekuatan, kelaki-lakian dan pantang mundur. Adalah penting sekali bahwa kemauan pegawai harus berkembang ke taraf yang lebih tinggi karena harus menguasai diri sepenuhnya lebih dulu untuk bisa menguasai orang lain. Setiap kali seseorang penuh dengan harapan dan percaya, maka akan menjadi lebih kuat dalam melaksanakan pekerjaannya. Jika interaksi antara individu pegawai dapat dicapai bersama dengan usaha kerja keras maka hasil yang akan dicapai akan semakin optimum. Bekerja keras merupakan hal yang penting guna tercapainya hasil yang sesuai dengan target. Akan tetapi bekerja keras akan menjadi tidak berguna jika tanpa adanya pengetahuan. Di dalam dunia kerja, para pegawai diperlengkapi dengan berbagai ilmu pengetahuan. g. Sederhana Gaya hidup pegawai merupakan hal yang penting dalam interaksi dengan masyarakat di sekitarnya. Gaya hidup sederhana sebaiknya perlu dikembangkan sejak pegawai me-ngenyam masa penkerjaannya. Dengan gaya hidup sederhana, setiap pegawai dibiasakan untuk tidak hidup boros, hidup sesuai dengan kemampuannya dan dapat memenuhi semua kebutuhannya. Kerap kali kebutuhan diidentikkan dengan keinginan semata, padahal tidak selalu kebutuhan sesuai dengan keinginan dan sebaliknya. Dengan menerapkan prinsip hidup sederhana, pegawai dibina untuk memprioritaskan kebutuhan di atas keinginannya. Prinsip hidup sederhana ini merupakan parameter penting dalam menjalin hubungan antara sesama pegawai karena prinsip ini akan mengatasi permasalahan kesenjangan sosial, iri, dengki, tamak, egois, dan yang sikap-sikap negatif lainnya lainnya. Prinsip hidup sederhana juga menghindari seseorang dari keinginan yang berlebihan.h. Keberanian Jika kita temui di dalam dunia kerja, ada banyak pegawai yang sedang mengalami kesulitan dan kekecewaan. Meskipun demikian, untuk menumbuhkan sikap keberanian demi mempertahankan pendirian dan
294 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 keyakinan pegawai, terutama sekali pegawai harus mempertimbangkan berbagai masalah dengan sebaik-baiknya. Nilai keberanian dapat dikembangkan oleh pegawai dalam kehidupan di dunia kerja dan di luar dunia kerja. Antara lain dapat diwujudkan dalam bentuk berani mengatakan dan membela kebenaran, berani mengakui kesalahan, berani bertanggung jawab, dan lain sebagainya Prinsip akuntabilitas dapat mulai diterapkan oleh pegawai dalam kehidupan sehari-hari sebagai pegawai Misalnya program-program kegiatan arus dibuat dengan mengindahkan aturan yang berlaku di dunia kerja dan dijalankan sesuai dengan aturan.i. Keadilan Berdasarkan arti katanya, adil adalah sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak. Bagi pegawai karakter adil ini perlu sekali dibina agar pegawai dapat belajar mempertimbangkan dan mengambil keputusan secara adil dan benar.9. Prinsip-prinsip anti korupsi Ada 5 (lima) prinsip anti korupsi di bawah ini: a. Akuntabilitas Akuntabilitas adalah kesesuaian antara aturan dan pelaksanaan kerja. Semua lembaga mempertanggung jawabkan kinerjanya sesuai aturan main baik dalam bentuk konvensi (de facto) maupun konstitusi (de jure), baik pada level budaya (individu dengan individu) maupun pada level lembaga (Bappenas: 2002). Lembaga-lembaga tersebut berperan dalam sektor bisnis, masyarakat, publik, maupun interaksi antara ketiga sektor. Akuntabilitas publik secara tradisional dipahami sebagai alat yang digunakan untuk mengawasi dan mengarahkan perilaku administrasi dengan cara memberikan kewajiban untuk dapat memberikan jawaban (answerability) kepada sejumlah otoritas eksternal (Dubnik: 2005). Selain itu akuntabilitas publik dalam arti yang paling fundamental merujuk kepada kemampuan menjawab kepada seseorang terkait dengan kinerja yang diharapkan (Pierre: 2007). Seseorang yang diberikan jawaban ini haruslah seseorang yang memiliki legitimasi untuk melakukan pengawasan dan mengharapkan kinerja (Prasojo: 2005). Akuntabilitas publik memiliki pola-pola tertentu dalam mekanismenya, antara lain adalah akuntabilitas program, akuntabilitas proses, akuntabilitas keuangan, akuntabilitas outcome, akuntabilitas hukum, dan akuntabilitas politik (Puslitbang, 2001). Dalam pelaksanaannya, akuntabilitas harus dapat diukur dan dipertanggungjawabkan melalui mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban atas semua kegiatan yang dilakukan. Evaluasi atas kinerja administrasi, proses pelaksanaan, dampak dan manfaat yang diperoleh
295 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 masyarakat baik secara langsung maupun manfaat jangka panjang dari sebuah kegiatan. b. Transparansi Adalah satu prinsip penting anti korupsi lainnya adalah transparansi. Prinsip transparansi ini penting karena pemberantasan korupsi dimulai dari transparansi dan mengharuskan semua proses kebijakan dilakukan secara terbuka, sehingga segala bentuk penyimpangan dapat diketahui oleh publik (Prasojo: 2007). Selain itu transparansi menjadi pintu masuk sekaligus kontrol bagi seluruh proses dinamika struktural kelembagaan. Dalam bentuk yang paling sederhana, transparansi mengacu pada keterbukaan dan kejujuran untuk saling menjunjung tinggi kepercayaan (trust) karena kepercayaan, keterbukaan, dan kejujuran ini merupakan modal awal yang sangat berharga bagi para pegawai untuk dapat melanjutkan tugas dan tanggungjawabnya pada masa kini dan masa mendatang (Kurniawan: 2010). Dalam prosesnya, transparansi dibagi menjadi lima yaitu:1) Proses penganggaran bersifat bottom up, mulai dari perencanaan, implementasi, laporan pertanggung-jawaban dan penilaian (evaluasi) terhadap kinerja anggaran. 2) Proses penyusunan kegiatan atau proyek pembangunan terkait dengan proses pembahasan tentang sumber-sumber pendanaan (anggaran pendapatan) dan alokasi anggaran (anggaran belanja). 3) Proses pembahasan membahas tentang pembuatan rancangan peraturan yang berkaitan dengan strategi penggalangan (pemungutan) dana, mekanisme pengelolaan proyek mulai dari pelaksanaan tender, pengerjaan teknis, pelaporan finansial dan pertanggungjawaban secara teknis. 4) Proses pengawasan dalam pelaksanaan program dan proyek pembangunan berkaitan dengan kepentingan publik dan yang lebih khusus lagi adalah proyek-proyek yang diusulkan oleh masyarakat sendiri. Proses lainnya yang penting adalah proses evaluasi. 5) Proses evaluasi ini berlaku terhadap penyelenggaraan proyek dijalankan secara terbuka dan bukan hanya pertanggungjawaban secara administratif, tapi juga secara teknis dan fisik dari setiap out put kerja-kerja pembangunan. Hal-hal tersebut merupakan panduan bagi pegawai untuk dapat melaksanakan kegiatannya agar lebih baik. Setelah pembahasan prinsip ini, pegawai sebagai individu dan juga bagian dari masyarakat/ organisasi/ institusi diharapkan dapat mengimplementasikan prinsip transparansi di dalam kehidupan keseharian pegawai. c. Kewajaran
296 | M o d u l P e l a t i h a n P e n d a m p i n g A k r e d i t a s i d a n M u t u R u m a h S a k i t – 2 0 2 1 Prinsip fairness atau kewajaran ini ditujukan untuk mencegah terjadinya manipulasi (ketidakwajaran) dalam penganggaran, baik dalam bentuk mark up maupun ketidakwajaran lainnya. Sifat-sifat prinsip kewajaran ini terdiri dari lima hal penting yaitu komprehensif dan disiplin, fleksibilitas, terprediksi, kejujuran, dan informatif. Komprehensif dan disiplin berarti mempertimbangkan keseluruhan aspek, berkesinam-bungan, taat asas, prinsip pembebanan, pengeluaran dan tidak melampaui batas (off budget), sedangkan fleksibilitas artinya adalah adanya kebijakan tertentu untuk mencapai efisiensi dan efektifitas. Terprediksi berarti adanya ketetapan dalam perencanaan atas dasar asas value for money untuk menghindari defisit dalam tahun anggaran berjalan. Anggaran yang terprediksi merupakan cerminan dari adanya prinsip fairness. Prinsip kewajaran dapat mulai diterapkan oleh pegawai dalam kehidupan di dunia kerja. Misalnya, dalam penyusunan anggaran program kegiatan kepegawaian harus dilakukan secara wajar. Demikian pula dalam menyusun Laporan pertanggung-jawaban, harus disusun dengan penuh tanggung-jawab.d. Kebijakan Kebijakan ini berperan untuk mengatur tata interaksi agar tidak terjadi penyimpangan yang dapat merugikan negara dan masyarakat. Kebijakan anti korupsi ini tidak selalu identik dengan undang-undang anti-korupsi, namun bisa berupa undang-undang kebebasan mengakses informasi, undang-undang desentralisasi, undang-undang antimonopoli, maupun lainnya yang dapat memudahkan masyarakat mengetahui sekaligus mengontrol terhadap kinerja dan penggunaan anggaran negara oleh para pejabat negara. Aspek-aspek kebijakan terdiri dari isi kebijakan, pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan, kultur kebijakan. Kebijakan anti-korupsi akan efektif apabila di dalamnya terkandung unsur-unsur yang terkait dengan persoalan korupsi dan kualitas dari isi kebijakan tergantung pada kualitas dan integritas pembuatnya. Kebijakan yang telah dibuat dapat berfungsi apabila didukung oleh aktor-aktor penegak kebijakan yaitu keKemenkesan, kejaksaan, pengadilan, pengacara, dan lembaga pemasyarakatan. Eksistensi sebuah kebijakan tersebut terkait dengan nilainilai, pemahaman, sikap, persepsi, dan kesadaran masyarakat terhadap hukum atau undang-undang anti korupsi. Lebih jauh lagi, kultur kebijakan ini akan menentukan tingkat partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi.e. Kontrol kebijakan Kontrol kebijakan merupakan upaya agar kebijakan yang dibuat betul-betul efektif dan mengeliminasi semua bentuk korupsi. Pada prinsip ini, akan dibahas mengenai lembagalembaga pengawasan di Indonesia, self-
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302
- 303
- 304
- 305
- 306
- 307
- 308
- 309
- 310
- 311
- 312
- 313
- 314
- 315
- 316