KAJIAN KEBIJAKAN pemanfaatan ruang bawah tanah dan ruang atas tanah Disusun Oleh: Trie Sakti Jauhari Thonthowi DITERBITKAN OLEH: PUSAT PENGEMBANGAN DAN STANDARISASI KEBIJAKAN AGRARIA, TATA RUANG DAN PERTANAHAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BPN 2020 NDIN HAERUDIN, ST ROMI NUGROHO, S.SI SURYALITA, A.PTNH
KAJIAN KEBIJAKAN PEMANFAATAN RUANG BAWAH TANAH DAN RUANG ATAS TANAH TIM PENYUSUN : Trie Sakti, S.H., CN., M.H. : Jauhari Thonthowi, S.Si. Koordinator : Nabila Tryani Putri Annahru Pembantu Peneliti Sekretaris Peneliti Diterbitkan Oleh: Pusat Pengembangan dan Standarisasi Kebijakan Agraria, Tata Ruang dan Pertanahan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Jl. Akses Tol Cimanggis, Cikeas Udik, Gunung Putri, Kabupaten Bogor, Jawa Barat 16966 Cetakan Pertama - 2020 ISBN: Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Pemegang Hak Cipta.
DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL ...................................................................................................... i DAFTAR ISI .....................................................................................................................ii RINGKASAN EKSEKUTIF............................................................................................. iv I. KONTEKS PERMASALAHAN ................................................................................ ...1 A. Latar Belakang ......................................................................................................1 B. Konteks Permasalahan...........................................................................................4 II. KOMENTAR KEBIJAKAN ........................................................................................14 A. Hubungan Hak Guna Ruang Atas Tanah Dan Hak Atas Tanah B. Pengaturan Hubungan Hukum Dalam Ruang Atas Tanah dan Bawah Tanah C. Aspek Geologis Pemanfaatan Ruang Bawah Tanah dan Atas Tanah III. REKOMENDASI KEBIJAKAN.................................................................................25 IV. PUSTAKA ..................................................................................................................26 iii
RINGKASAN EKSEKUTIF Tren pembangunan kota secara vertikal sudah menjadi suatu keharusan mengingat tanah sifatnya terbatas. Pemanfaatan ruang atas tanah dan bawah tanah sudah mulai dilakukan, terutama di kota besar seperti Jakarta dan Makassar. Namun demikian terdapat kendala belum adanya payung hukum pelaksanaannya yang mengatur hubungan hukum antara hak guna ruang dan hak atas tanah, hubungan hukum antara ruang atas tanah dan ruang bawah tanah serta aspek geologis dari pemanfaatan ruang bawah tanah dan atas tanah. Akibatnya potensi ekonomi pemanfaatan tanah tidak bisa dilakukan secara optimal, antara lain karena pelaku usaha tidak mendapatkan jaminan kepastian hukum atas pembangunan ruang atas tanah atau ruang bawah tanah yang telah dilakukan, status hak atas tanah, subyeknya dan proses peralihannya. Disisi lain, pemerintah masih mengalami keraguan dalam menentukan konstruksi hukum pengaturan ruang atas dan bawah tanah, apakah diperlukan lembaga hukum baru atau cukup menggunakan lembaga yang ada . Lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja menjadi angin segar bagi dunia usaha untuk memperkuat fondasi hukum dari perkembangan ekonomi atas ruang bawah tanah dan ruang atas tanah yang sudah berjalan selama ini. Namun isi ketentuan masih sangat umum sehingga perlu ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan yang lebih rinci, aplikatif dan mudah diterapkan. Peraturan pelaksanaan baik itu berupa Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri harus memuat secara jelas berbagai hal terkait hak dan kewajiban atau wewenang dari pemilik tanah di permukaaan bumi, ruang atas tanah dan ruang bawah tanah, hubungan hukum antara tanah di permukaan bumi, ruang atas tanah dan bawah tanah, mekanisme peralihan hak nya, apakah dimungkinkan pemegang hak atas tanah di permukaan bumi menjadi pemegang hak atas ruang bawah tanah atau ruang atas tanah, mekanisme pendaftaran tanah dan pemetaan tiga dimensi, hak tanggungan terhadap ruang bawah tanah level/lapis ke dua, tiga dan seterusnya, bentuk kerugian apabila terdapat gangguan pada salah satu pihak (karena perbedaan pemegang hak atas tanah di permukaan bumi dengan pemegang hak atas ruang atas tanah atau ruang bawah tanah), batas ketinggian ruang atas tanah tidak hanya mengacu kepada koefisien dasar bangunan dan lantai bangunan tetapi secara eksplisit dalam ukuran tinggi yang nyata, serta batasan penggunaan dan pemanfaatan tanah di ruang atas tanah, permukaaan tanah dan bawah tanah. iv
I. KONTEKS PERMASALAHAN A. Latar Belakang Meningkatnya kegiatan pembangunan sangat berpengaruh terhadap aspek penyediaan tanah sebagai salah satu faktor penting dalam pelaksanaan pembangunan. Ketersediaan Tanah menjadi salah satu kendala dalam pelaksanaan pembangunan mengingat luas tanah tidak bertambah sedangkan kebutuhan akan tanah terus meningkat, baik sebagai tempat tinggal, tempat usaha dan kebutuhan lainnya seperti infrastruktur. Mengingat tanah sifatnya terbatas maka pengembangan kota mengarah kepada pembangunan secara vertikal. Trend ini menjadi salah satu model pembangunan saat ini dan ke depannya bisa menjadi suatu keharusan mengingat tanah sifatnya tetap/ tidak bertambah. Pembangunan secara vertikal banyak dijumpai dalam pembangunan perumahan dan pertokoan/mall termasuk juga pembangunan sarana transportasi model baru yang mengubah gaya hidup masyarakat dari penggunaan kendaraan pribadi beralih menggunakan transportasi massal seperti Mass Rapid Transit (MRT), LRT dan Commuter Line. Demikian pula pembangunan infrastruktur jalan layang (fly over) dan underpass, hampir di seluruh titik-titik kemacetan kita temukan. Bahkan untuk perlintasan kereta, mayoritas sudah dibangun fly over untuk mengurai kemacetan dan menghindari terjadinya kecelakaan. Ada beberapa model pemanfaatan ruang atas dan bawah tanah yang dijumpai di kota besar, seperti di Jakarta dan di Makassar. a. Jembatan penyeberangan yang berfungsi sebagai toko seperti di Pondok Indah Mall, Skybridge Pasar Tanah Abang, Glodok, ITC Mangga Dua; Di beberapa Pusat Pertokoan di jakarta cukup banyak yang menggunakan jembatan penyeberangan antar pusat pertokoan sebagai toko, hal ini tentunya perlu diberikan dasar hukum terhadap penggunaan dan pemanfaatan jembatan penyeberangan sebagai toko. b. Flyover Antasari-Blok M dan Kampung Melayu-Tanah Abang (Casablanca). Meski banyak pihak yang memprotes bahwa kebijakan pembangunan jalan layang (flyover) hanya akan menambah kemacetan, pemerintah tetap akan membangun flyover di sejumlah titik untuk mengurai kemacetan. Jalan layang (flyover) adalah jalan yang dibangun tidak sebidang melayang menghindari daerah/kawasan yang selalu menghadapi permasalahan kemacetan lalu lintas, melewati persilangan kereta api untuk meningkatkan keselamatan lalu lintas dan efisiensi. Jalan layang merupakan perlengkapan jalan bebas hambatan untuk mengatasi hambatan karena konflik persimpangan, melalui kawasan kumuh yang sulit ataupun melalui kawasan rawa-rawa. Di Jakarta, flyover Antasari memiliki panjang 1
4,8 kilometer dengan lebar 17,75 meter untuk dua jalur. Sementara flyover Kampung Melayu-Tanah Abang dibangun sepanjang 1,8 kilometer, yaitu di atas Jalan Dr Satrio hingga Jalan Mas Mansyur. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saat ini telah membangun megaproyek Flyover Semanggi, jalan berbentuk lengkung lingkaran itu menghubungkan kendaraan dari arah Grogol menuju Senayan dan Sudirman menuju Cawang. Flyover diharapkan dapat mengurangi 30 persen kemacetan. Dengan adanya flyover tersebut, kendaraan dari Jalan Gatot Subroto tak akan bertemu dengan kendaraan dari Jalan Sudirman di kolong jembatan. c. MRT Mass Rapid Transit (MRT) artinya adalah angkutan yang dapat mengangkut penumpang dalam jumlah besar secara tepat. MRT yang merupakan suatu sistem transportasi perkotaan ini memiliki kriteria utama yaitu, mass (daya angkut besar), rapid (waktu tempuh cepat dan frekuensi tinggi), dan transit (berhenti di banyak stasiun) di titik utama perkotaan. Sejak tahun 2019, MRT phase I sudah beroperasi dari stasiun Lebak Bulus sampai stasiun HI. Praktik Prasarana MRT Jakarta dan jembatan penghubung antara bangunan gedung, stasiun-stasiun layang dan jalan-jalan rel layang didasari pada IMB yang diterbitkan masing-masing per stasiunnya, atas dasar hak atas tanah dari instansi pemerintah. Selain itu, juga didasarkan izin pemanfaatan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bagi PT MRT Jakarta untuk menyelenggarakan prasarana MRT tersebut. d. LRT, atau light rail transit (LRT) Jakarta merupakan moda transportasi massal lintas rel terpadu rute Velodrome-Kelapa Gading sudah beroperasi sejak tahun 2019. e. Mall di bawah lapangan Karebosi di Makassar. f. Transit Oriented Development (TOD) yang memanfaatkan tanah di stasiun , seperti saat ini sedang proses pembangunan apartemen mahata di stasiun Tanjung Barat, dan TOD yang dibangun pada stasiun MRT . Area Bawah Tanah MRT berupa koridor yang digunakan untuk area bisnis baik restoran, kantor bahkan kemungkinan hotel (airbnb), demikian juga pengembangan TOD setelah menjadi apartemen, ruang komersil dan toko, bagaimana penguasaan hak atas ruang bawah tanah dan atas tanah. Untuk apartemen yang terhubung TOD apakah menggunakan konsep ruang atas tanah atau konsep rumah susun. Hal ini penting mengingat ke depannya TOD bisa menjadi tren pembangunan kota. Konsep TOD berfokus pada pembangunan di sekitar layanan transportasi publik. Pembangunan berbasis TOD memastikan akses yang mudah dari tempat tinggal warga ke berbagai moda transportasi umum, memudahkan pengguna transportasi umum untuk berpindah-pindah jalur, dan berganti moda transportasi sesuai kebutuhan mereka. TOD juga mengatur pengembangan sistem transportasi sehingga 2
warga mudah menjangkau kawasan perkantoran, industri, dan pusat-pusat aktivitas perkotaan dari tempat mereka tinggal (jakarta.go.id). Fenomena di atas dalam prakteknya ada yang penguasaan pemilikannya diakomodasi dengan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (terbalik) seperti MALL BLOK M dan MALL KAREBOSI, bagaimana untuk bangunan lainnya, apakah akan diakomodasi dengan Hak Atas Ruang Bawah Tanah dan Atas Tanah? Persoalan ini perlu diakomodir dalam perangkat peraturan perundang-undangan sehingga penggunaan dan pemanfaatannya dapat memberikan kejelasan baik mengenai subyek, obyek, hubungan hukum antara subyek dan obyek (ruang di atas dan di bawah tanah) serta mekanisme pendaftarannya. RUU Pertanahan tahun 2019, diusulkan dalam Pasal 39 ayat (1) bahwa Tanah yang berada pada ruang atas dan/atau bawah tanah dapat diberikan Hak Atas Tanah. Dalam penjelasan disebutkan yang dimaksud dengan “Tanah yang berada pada ruang atas” termasuk di dalamnya bidang yang terbentuk berdasarkan usaha manusia atau rekayasa teknologi seperti jembatan, rel kereta, jalan layang. Selanjutnya pada ayat (4), penggunaan dan pemanfaatan Tanah pada ruang atas dan/atau bawah Tanah oleh pemegang hak yang berbeda, dapat diberikan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai. Pemberian Hak Atas Tanah yang berbeda sebagaimana dimaksud pada ayat (4), hak penggunaannya berupa: a. Hak Guna Bangunan pada ruang bawah Tanah; atau b. Hak Pakai pada ruang bawah Tanah. Kewenangan dari masing-masing hak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), berlaku mutatis- mutandis dengan kewenangan yang terdapat dalam Hak Atas Tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hak Atas Tanah yang diberikan pada ruang di bawah Tanah dikecualikan untuk kegiatan usaha bidang minyak dan gas, mineral, dan batubara serta energi baru terbarukan. Kemudian dalam ayat (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan tanah pada ruang atas tanah dan/atau ruang di bawah tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dalam Peraturan Presiden. Konsep ini diteruskan dalam penyusunan RUU Cipta Kerja, bahwa penggunaan dan pemanfaatan tanah pada ruang atas tanah dan bawah tanah dapat diberikan HGB atau Hak Pakai. Namun ada pandangan bahwa diperlukan pengaturan khusus atau lembaga yang mengatur penggunaan dan pemanfaatan ruang atas dan bawah tanah, sehingga tidak bisa diperlakukan sama dengan pemberian hak atas tanah di permukaan bumi. Perbedaan mengenai konsepsi penggunaan dan pemanfaatan ruang bawah tanah dan atas tanah menjadi polemik dan perdebatan di kalangan akademisi maupun praktisi. Problem ini tentunya sangat menghambat iklim investasi di Indonesia dan menjadi kendala dalam memberikan manfaat 3
terkait nilai ekonomi dari penggunaan dan pemanfaatan ruang bawah tanah dan atas tanah. Sementara pembangunan ruang bawah tanah dan atas tanah terus berjalan, tentu memerlukan adanya peraturan yang bisa menjadi landasan hukum pemberian haknya. Selain aspek hukum, pemanfaatan ruang atas tanah dan bawah tanah memerlukan pengaturan berkaitan dengan tinggi bangunan yang dapat diberikan hak pada ruang atas tanah, berapa maksimal tinggi suatu bangunan yang diijinkan untuk dibangun dan seberapa dalam suatu bangunan atau kegiatan di bawah tanah dapat dilakukan. Materi ini perlu diatur mengingat kondisi geologis tanah di Indonesia. Indonesia termasuk wilayah rawan bencana, baik gempa bumi, tsunami atau banjir dan bahkan rawan longsor. Pengaturan mengenai ruang bawah tanah terkait batas kedalaman terdapat dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 2 Tahun 2014 tentang tentang Pedoman Pemanfaatan Ruang di Dalam Bumi, bahwa RDB dangkal berada pada kedalaman 0 (nol) sampai dengan 30 (tiga puluh) meter di bawah permukaan tanah, sedangkan RDB dalam berada pada kedalaman lebih dari 30 (tiga puluh) meter di bawah permukaan tanah. Peraturan ini sedang dalam proses revisi menyesuaikan dengan kondisi actual saat ini. Dengan telah disahkannya UU Cipta Kerja, maka kajian ini diharapkan dapat memberikan masukan terhadap materi pengaturan ruang bawah tanah dan ruang atas tanah serta muatan yang harus diatur dalam peraturan pelaksanaannya baik dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri, untuk memberikan kepastian penguasaan dan pemanfaatan tanah kepada pemilik tanah dan para pelaku ekonomi. B. Konteks Permasalahan Kajian Pertama, perlu dipahami hubungan hukum antara negara dengan tanah, Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 ayat (3) mengamanatkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Adanya hak menguasai negara yang diamanatkan dalam Pasal 2 UUPA, harus dilihat dalam kontek hak dan kewajiban negara sebagai pemilik (domein), yang bersifat publiekrechtelijk, bukan sebagai eigenaar yang bersifat privaterechtelijk, makna dari pemahaman tersebut adalah negara memiliki wewenang sebagai pengatur, perencana, pelaksana dan sekaligus sebagai pengawas, pengelola penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Tanah sebagai faktor produksi yang utama harus berada dibawah kekuasan negara, tanah dikuasai negara artinya tidak harus dimiliki oleh negara, negara memiliki hak menguasai tanah melalu fungsi negara untuk mengatur dan mengurus (regelen en besturen). Pengelolaan sumberdaya alam yang dilakukan dan 4
diusahakan oeh negara semata-mata demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, tujuan itu menjadi tanggung jawab negara sebagai konsekuensi menguasai atas air,bumi, dan segala isinya, hal ini juga merupakan jaminan dan bentuk perlindungan terhadap sebesar-besar kemakmuran rakyat dan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Erwiningsih, 2009). 1. Intisari Permasalahan Perbedaan mengenai konsepsi penggunaan dan pemanfaatannya masih menjadi polemik hingga saat ini. Terutama belum adanya kepastian hukum antara subyek dan obyek yang berada pada ruang bawah tanah dan atas tanah, sehingga pertanyaan kajian ini : a) Apakah hubungan hukum antara Hak Guna Ruang dan Hak Atas Tanah b) Bagaimana membangun pengaturan hubungan hukum dengan ruang bawah tanah dan ruang atas tanah? c) Bagaimana aspek geologis dari pemanfaatan ruang bawah tanah dan atas tanah ? Adanya kejelasan mengenai hubungan hukum antara hak guna ruang dengan hak atas tanah penting untuk dikaji , agar dapat memberikan kejelasan terkait hak dan wewenang yang melekat dan batasan yang akan diatur. Demikian juga pengaturan hubungan hukum dengan ruang atas tanah dan bawah tanah perlu dikaji, sehingga diperoleh kejelasan mengenai keterkaitan antara ruang atas tanah dan ruang bawah tanah, baik menyangkut hak dan kewajiban serta subyek dan obyeknya.Kemudian aspek geologis dari pemanfaatan ruangnya perlu dikaji terkait potensi bencana baik kemampuan tanah dan factor alam. UUPA telah mengamanatkan dalam Pasal 4 ayat (1) hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum. Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi. (3) Selain hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini ditentukan pula hak-hak atas air dan ruang angkasa. Frasa di atas menunjukkan bahwa hak atas tanah hanya diperuntukkan untuk permukaan bumi saja. yaitu bagian tertentu dari permukaan bumi yang merupakan satuan yang berbatas dan berdimensi dua, yaitu dengan ukuran panjang dan lebar tertentu. Karena 5
tanah yang dipunyai dan dikuasai tidak mungkin hanya permukaan bumi saja, maka Pasal 4 diperluas tapi terbatas pada kewenangan untuk menggunakannya (Harsono, 2005:463). Jika pemanfaatan tanah berbeda antara pemanfaatan tanah yang ada di permukaan bumi dengan pemanfaatan yang ada di ruang atas tanah maupun ruang bawah tanah, maka kewenangan pemegang hak atas tanah yang ada dipermukaan bumi tidak dapat menjangkau penguasaannya atas pemanfaatan tanah di ruang atas tanah maupun ruang bawah tanah. Dalam UU Cipta Kerja, yang sekarang telah disahkan menjadi Undang-Undang, pengaturannya pada Pasal 146 ayat (1) Tanah atau ruang yang terbentuk pada ruang atas dan/atau bawah tanah dan digunakan untuk kegiatan tertentu dapat diberikan HGB, hak pakai atau hak pengelolaan, (2) Batas kepemilikan Tanah pada ruang atas Tanah oleh pemegang hak atas tanahnya diberikan sesuai dengan koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, dan rencana tata ruang yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya dalam ayat (3) Batas kepemilikan tanah pada ruang bawah tanah oleh pemegang hak atas tanahnya diberikan sesuai dengan batas kedalaman pemanfaatan yang diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Kemudian dalam ayat (4) Penggunaan dan pemanfaatan tanah pada ruang atas dan/atau bawah Tanah oleh pemegang hak yang berbeda, dapat diberikan hak guna bangunan, hak pakai, atau hak pengelolaan. Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan Tanah pada ruang atas Tanah dan/atau ruang di bawah Tanah diatur dengan Peraturan Presiden. Ketentuan dalam UU Cipta sangat general, umum sehingga perlu di atur lebih rinci agar tidak menimbulkan masalah baru tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam pelaksanaannya. Selama ini untuk pembangunan ruang atas tanah di DKI pembatasannya hanya dengan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Kawasan Keselamatan Operasional Penerbangan (KKOP). Menurut informasi Heru Sunawan, Kepala Bidang Perencanaan dan Pemanfaatan Ruang Kota Pemprov DKI, nantinya akan dibangun menara Jakarta yang sangat tinggi, dan sampai sekarang belum ada batasan berapa tinggi untuk ruang atas tanah, masih menggunakan pembatasan yang disebutkan di atas, sedangkan untuk ruang bawah tanah sampai saat ini dibatasi sampai 10 meter. Lebih dari 10 meter hanya diperbolehkan dilakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi DKI. Rencananya akan ada revisi Peraturan Gubernur untuk menyesuaikan dengan Peraturan Menteri PUPR Nomor 2 Tahun 2014 yang mengatur kedalaman ruang dalam bumi sampai 30 meter. Dan rencananya kegiatan di bawah tanah harus ada kesesuaian dengan kegiatan kawasan di atas tanah atau permukaan bumi. 6
Selanjutnya terkait jembatan penyeberangan PIM 1 ke PIM 2, menurut informasi Hery Sulistiono dari REI, PT Metropolitan adalah pihak yang membangun jembatan penyeberangan berdasarkan ijin prinsip dan IMB. Setelah selesai harus diserahkan ke Pemerintah Provinsi, ada semacam kerjasama dengan Pemda DKI dan harus memberikan kontribusi bagi hasil kepada Pemda DKI. Kios-kios di atasnya disewakan oleh pihak Metropolitan. Rencana akan dilakukan pembangunan jembatan penyeberangan dari PIM 2 ke PIM 3 , untuk itu sudah ada ijin prinsip dari Pemda DKI namun menemui kendala terkait UU No. 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah yang isinya ada keharusan melakukan pelelangan. Terhadap hal ini ada keberatan dari PT Metropolitan dengan argument bahwa pembangunan berada di private area, tangga naik dan turun jembatan berada di tanah PIM. Kemudian ada saran dari BPKP untuk merubah ijin prinsip menjadi CSR sehingga PIM dapat membangun dan setelah selesai diserahkan ke Pemda DKI. Setelah selesai akan diikat melalui sewa menyewa dengan Pemda DKI. Adanya UU CK ini yang akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaannya memberikan harapan bagi PT Metropolitan untuk diberikan jalan keluar dari permasalahan yang ada, dan dimungkinkan diberikan hak atas ruang atas tanah. Adapun terkait pembangunan TOD, ada banyak harapan UU CK dapat diterjemahkan ke dalam peraturan pelaksanaan yang dapat menjawab permasalahan yang ada. Menurut Kepala Divisi TOD dari PT MRT , Y. Ferdiansyah Roestam, ada kekuatiran pengoperasian TOD terkendala seperti yang terjadi pada ITC Mangga Dua. ITC mencapai top level karena mereka mendapatkan kepastian untuk memiliki sertipikat atas unit satuan rumah susun (SRS), dan residence yang dibangun connecting dengan ITC tersebut residence ramai. Pada saat kebijakan baru UU Rumah Susun Nomor 20 Tahun 2011 dikeluarkan yang isinya membatasi pemilikan rumah susun hanya untuk hunian dan mix, sementara non hunian tidak diperbolehkan berjalan, ITC nya drop, residence nya akhirnya tidak terlayani karena sebetulnya itu adalah hubungan mutualisme. Melalui UU CK diharapkan dapat diberikan jalan keluar dengan merevisi aturan rumah susun sehingga obyeknya ditambah dapat digunakan untuk perkantoran saja (non hunian), tidak harus mix dengan hunian. Pertanyaan yang sekarang kami hadapi, kita sedang berproses untuk melanjutkan fase II yang akan di sambungkan sampai ke Jakarta Utara yang dikhawatirkan adalah kalau di fase I pada saat kami mengembangkan TOD area untuk Lebak Bulus, ada kendala. Sebetulnya bisa dikatakan bahwa kajian property development nya itu tertinggal dengan kajian engineeringnya. Jadi yang sudah selesai terbangun baru kajian development propertinya selesai. Kita sekarang dalam posisi yang paralel, berjalan bersamaan. Tapi kami belum bisa mejawab secara firm 7
jika ada pertanyaan practice dari para stakeholder development, sekarang pesan nya adalah masing-masing BUMN atau BUMD thinking creative untuk mendapatkan creative fundings, salah satu creative fundings yang menurut kami bisa kami leverage adalah adanya kepastian yang diberikan kepada partner untuk membangun bersama, MRT akan membangun stations nya partner akan membangun sesuatu diatas stasiunnya. Kita kenal konsep ini sebetulnya paling sederhana yang paling simpel itu ke tetangga sebelah di Singapura sudah sangat berhasil dengan Marina Bay. Itu yang kita coba, tapi 30 Tahun perusahaan tidak akan cukup untuk sebuah investasi massive di 20 hektar, pasti mereka membutuhkan tambahan entah itu dari tenornya atau dari kepastian mereka untuk bisa firm atas penguasaan tanah itu atau pada saat mereka melempar ke retail market pada saat market mau membeli residence unit misalnya. UU CK masih general, perlu tindak lanjut tata cara implementasinya sehingga sangat signifikan terhadap para investor partner. Menyikapi trend pembangunan TOD, menurut Widyaiswara Utama PUPR Sri Maharani, yang disampaikan itu tidak harus membuat ruko-ruko, apakah pemilikan ruko bisa disertipikat? Kenapa TOD tidak mix yang bisa terdiri dari hotel, apartemen dan sebagainya, kemudian apakah setiap unit harus punya sertipikat dan bisa diwadahi dengan SHM Sarusun karena sebetulnya kita sedang memikirkan hubungan hukum antara masing- masing hak itu seperti apa. Dan mungkin ada yang saya setuju dengan konsep UU CK ini ketika kita bicara bahwa ketinggian dan kedalaman itu dihitung dengan KDB KLB karena bagaimanapun juga sebagai implementasi saat ini kita sedang menjalani implementasi HAT dengan dua dimensi. Kita akan kehilangan sistem hunian ketika kita dulunya bisa mensertipikatkan non hunian sebagaimana yang dimaksud di atas, sementara sekarang tidak sehingga pangsa pasar itu menjadi memprihatinkan. Oleh sebab itu rasanya itu sudah tidak bisa dimasukkan lagi ke dalam substansi PP atau Perpres karena tentu terkait dengan pemberian hak jaminan kepastian hukum terhadap kios yang nanti akan dibangun oleh TOD dan mitranya itu harus diatur dengan undang-undang. Kemudian yang konstruksi tadi, kita harus memikirkan ketika kita meletakkan kontruksi undang-undang rumah susun di dalam satu Hamparan tanah, yaitu hak atas tanah, sekarang pasal-pasal ini kita terapkan di TOD yang melewati kebersamaan tadi hak guna ruang dan adanya pemikiran dalam kajian Puslitbang BPN bahwa suatu saat kita membutuhkan kontruksi undang-undang Rusun ini di dalam mendukung TOD. Memang kita harus pandai-pandai merumuskan PP atau Perpresnya. Kemudian hanya fokus kepada pendaftaran tanah tiga dimensi itu juga belum menjawab karena yang dibutuhkan adalah kepastian, karena MRT Jakarta ini akan bermitra dengan 8
banyak pelaku pembangunan maka jaminan kepastian hukum harus mereka punyai. Tidak hanya di tatakannya, tapi juga di slongsongannya, di TOD nya, di kios-kios kecil kecil itu. 2. Peraturan Perundang-undangan UUD 1945 Pasal 28 H ayat (1) dan (4) bahwa Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dan setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak memiliki tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. Materi pengaturan kebijakan atas ruang bawah tanah, bawah air dan ruang atas tanah berkaitan dengan : a. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. 1) Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus. 2) Pasal 7 ayat (4) Penggunaan ruang di atas dan/atau di bawah tanah dan/atau air untuk bangunan gedung harus memiliki izin penggunaan sesuai ketentuan yang berlaku. b. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan Pasal 1 butir 4, Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel. c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Pasal 1 butir 4, Jalur kereta api adalah jalur yang terdiri atas rangkaian petak jalan rel yang meliputi ruang manfaat jalur kereta api, ruang milik jalur kereta api, dan ruang pengawasan jalur kereta api, termasuk bagian atas dan bawahnya yang diperuntukkan bagi lalu lintas kereta api. Selanjutnya Pasal 1 butir 7, Jalan rel adalah satu kesatuan konstruksi yang terbuat dari baja, beton, atau konstruksi lain yang terletak di permukaan, di bawah, dan di atas tanah atau bergantung beserta perangkatnya yang mengarahkan jalannya kereta api. 9
d. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pasal 1 menyebutkan bahwa ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Kemudian Pasal 6 Ayat (4) menyebutkan penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. e. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Pasal 17 menyatakan bahwa rumah susun dapat dibangun di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah negara; dan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai di atas tanah hak pengelolaan. Selanjutnya Pasal 22 menyebutkan bahwa Penyediaan Tanah untuk pembangunan rumah susun dapat dilakukan melalui Pemberian hak atas tanah terhadap tanah yang langsung dikuasai negara dan Konsolidasi tanah oleh pemilik tanah. f. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dalam Pasal 1 angka 4, Obyek Pengadaan Tanah adalah tanah, ruang atas tanah, dan bawah tanah, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah, atau lainnya yang dapat dinilai. g. Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 167 Tahun 2012 Tentang Ruang Bawah Tanah mengatur antara lain mengenai pemanfaatan, pengelolaan dan pengusahaan ruang bawah tanah DKI Jakarta. 1) Ruang bawah tanah adalah ruang di bawah permukaan tanah yang menjadi tempat manusia beraktivitas. Pemanfaatan ruang bawah tanah harus dilaksanakan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi serta Masterplan Pengembangan Kawasan dan Panduan Rancang Kota pada lokasi kegiatan pemanfaatan ruang dimaksud. 2) Dalam Pasal 4 Ruang bawah tanah dangkal, merupakan ruang di bawah permukaan tanah sampai dengan kedalaman 10 m (sepuluh meter). Ruang bawah tanah dalam, yaitu ruang di bawah permukaan tanah dari kedalaman di atas 10 m (sepuluh meter) sampai dengan batas kemampuan penguasaan teknologi dalam pemanfaatan Ruang Bawah Tanah atau batasan sesuai 10
ketentuan peraturan perundang-undangan. Kegiatan yang diperbolehkan pada Ruang Bawah Tanah Dangkal yaitu: (i) akses stasiun Mass Rapid Transit, yaitu angkutan massal yang berbasis pada jalan rel yang memanfaatkan jalur-jalur khusus (MRT), (ii) sistem jaringan prasarana jalan, (iii) sistem jaringan utilitas, (iv) kawasan perkantoran, (v) fasilitas parkir, (vi) perdagangan dan jasa, (vii) pendukung kegiatan gedung di atasnya dan (viii) pondasi bangunan di atasnya. Kegiatan yang diperbolehkan pada Ruang Bawah Tanah Dalam yaitu: (i) sistem MRT, (ii) sistem jaringan prasarana jalan, (iii) sistem jaringan utilitas dan (iv) pondasi bangunan gedung di atasnya. 3) Setiap badan usaha yang akan memanfaatkan Ruang Bawah Tanah terlebih dahulu harus mendapatkan izin pemanfaatan ruang bawah tanah dari Pemerintah Daerah. Izin pemanfaatan ruang bawah tanah adalah izin yang diberikan untuk dapat memanfaatkan Ruang Bawah Tanah dengan batas dan luas tertentu sebagai pengendalian pemanfaatan ruang bawah tanah. Pemerintah Daerah adalah Gubernur dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. h. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pedoman Ruang Dalam Bumi. Peraturan ini dibuat dalam rangka mengatasi keterbatasan lahan dipermukaan bumi, mewujudkan keterpaduan antar kegiatan, serta menjaga dan meningkatkan kualitas ruang dan kelestarian lingkungan diperlukan optimalisasi pemanfaatan ruang dalam bumi. Pasal 11 menyebutkan bahwa: 1) Ayat (1): Jenis kegiatan beserta letaknya ditetapkan dengan memperhatikan tingkat kedalaman pemanfaatan RDB. 2) RDB dangkal berada pada kedalaman 0 (nol) sampai dengan 30 (tiga puluh) meter di bawah permukaan tanah. RDB dalam berada pada kedalaman lebih dari 30 (tiga puluh) meter di bawah permukaan tanah. Jenis dan karakteristik pemanfaatan ruang dalam bumi untuk Bangunan Gedung meliputi 1. Bangunan gudang. 2. Ruang parkir. 3. Bangunan untuk kegiatan jasa dan komersial seperti pertokoan dan stasiun. 4. Bangun bangunan seperti tandon air maupun pos keamanan. 5. Bangunan gedung atau bangun bangunan bidang pertahanan dan keamanan meliputi tempat penyimpanan perlengkapan militer dan lain-lain. 11
i. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nomor 16 Tahun 2017 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Berorientasi Transit. Kawasan Berorientasi Transit yang selanjutnya disebut Kawasan TOD adalah kawasan yang ditetapkan dalam rencana tata ruang sebagai kawasan terpusat pada integrasi intermoda dan antarmoda yang berada pada radius 400 (empat ratus) meter sampai dengan 800 (delapan ratus) meter dari simpul transit moda angkutan umum massal yang memiliki fungsi pemanfaatan ruang campuran dan padat dengan intensitas pemanfaatan ruang sedang hingga tinggi. Selanjutnya ditentukan juga apabila terjadi penambahan KLB pada zona insentif maka garis langit (skyline) paling tinggi lima puluh persen dari KLB yang ditetapkan dalam perencanaan. 3. Perbandingan Pengaturan Hak Atas Ruang Bawah Tanah dan Atas Tanah di Negara Lain Dalam hukum tanah nasional, pemilik tanah dan bangunan bisa berbeda oleh karena adanya asas pemisahan horizontal (horizontale scheiding). Pemisahan hak-hak atau benda-benda yang melekat erat di atas tanah dengan hak atas tanahnya. Hak atas tanah tidak berpengaruh terhadap apa yang melekat di atas tanah atau sebaliknya. Namun, menurut hukum adat, apabila tanaman dan bangunan tidak melekat pada tanah maka benda-benda tersebut tidak ada nilainya, maka tidak dimungkinkan tanaman dan bangunan tidak berada di atas tanah. Logis bila dimungkinkan perbuatan hukum mengenai tanah meliputi juga bangunan dan tanaman di atasnya dengan syarat bangunan dan tanaman tersebut secara fisik merupakan satu kesatuan dengan tanah dan milik si empunya tanah, serta maksud tersebut secara tegas dinyatakan dalam akta yang memuat perbuatan hukum tersebut. Hal ini berbeda dengan negara yang menganut system hukum lain: a. Singapura Pada negara yang menganut common law mengenal istilah strata title, yang mana menurut sistem hukum tersebut seseorang yang memiliki sebidang tanah hak juga memiliki airspace right atau hak atas ruang udara. Sebagai contoh apabila di atas sebidang tanah dibangun apartemen maka pemilik tanah dapat menjual kaveling- kaveling ruang udara yang disebut airspace lot. Strata title memberikan hak kepemilikan bersama atas suatu kompleks bangunan yang terdiri dari hak eksklusif atas ruang serta hak bersama atas ruang bersama. 12
b. Belanda Hukum Belanda menerapkan asas accession atau accessie dimana pemilik dari suatu benda ialah pemilik dari segala komponen dari benda tersebut. Segala hal yang melekat di atas maupun di bawah tanah tersebut ialah milik pemegang hak atas tanah. Pasal 5 Ayat (21) Dutch Civil Code, hak milik atas tanah memberikan hak untuk menggunakan bagi pemiliknya, termasuk menggunakan ruang udara di atasnya. Namun, terdapat kemungkinan orang lain untuk menggunakan ruang di atas permukaan tanah, apabila orang tersebut memanfaatkan di atas ketinggian atau kedalaman yang tidak akan digunakan oleh pemilik hak atas tanah tersebut. Dalam Hukum Belanda dikenal opstalrecht, hak untuk memiliki, memegang dan mengelola bangunan atau tanaman, yang ada pada permukaan atau di atas permukaan tanah milik pihak lain. Hak ini memberi perolehan kepemilikan atas bangunan atau konstruksi yang terpisah dari kepemilikan atas tanah. Atas dasar akta notariil opstalrecht dapat melahirkan kewajiban bagi pemegang haknya untuk membayar sejumlah uang (ground rent) kepada pemegang hak atas tanah. Selain itu, dalam akta tersebut juga dapat diberikan pembatasan penggunaan untuk menggunakan, membangun, menghancurkan bangunan gedung. Pada waktu hak ini selesai, kepemilikan bangunan gedung, konstruksi, tanaman-tanaman yang melekat di atas tanah demi hukum menjadi milik pemegang hak atas tanah. Opstalrecht memberi pengecualian terhadap asas superficies solo cedit, hak atas permukaan mencakup hak atas bagian dalam dari tanah yang bersangkutan. Pengaturan ini di Indonesia serupa dengan konsep izin pemanfaatan ruang atas tanah dimana terdapat dua subjek hukum yang berbeda dalam penguasaan tanah dengan penguasaan ruang di atas tanah yang bersangkutan. Ruang udara tidak dimasukkan dalam definisi tanah melainkan bangunan dan konstruksi yang melekat pada tanah. Adanya hak penggunaan ruang atas tanah apabila orang tersebut memanfaatkan di atas ketinggian atau kedalaman yang tidak akan digunakan oleh pemilik hak atas tanah tersebut. Berbeda dengan UUPA yang mendefinisikan tanah sebagai permukaan bumi saja dengan adanya hak-hak atas tanah, kemudian dari hak-hak atas tanah tersebut lahir kewenangan atributif kewenangan penggunaan ruang atas tanah maka subjek hukum pemegang memiliki wewenang untuk menggunakan ruang yang ada di atas tanah, terbatas pada kewenangan untuk menggunakannya. (Milly Rosen, 2009). 13
c. Australia Peter Butt (1998) menyatakan bahwa seseorang bisa saja memiliki hak atas permukaan tanah (surface) dan tanah di bawahnya (under surface) sampai pada kedalaman tertentu, dan pihak lain dapat mempunyai ha katas tanah di bawah kedalaman itu, sebagaimana halnya dengan pemilikan atas satuan rumah susun/strata title (Milly Rosen, 2009). d. Jepang Sistim hukum di Jepang mengikuti sistim Eropa continental, dikenal empat kategori hak pemanfaatan ruang bawah tanah dan atas tanah, yakni 1) hak (atas) pemilikan, 2) hak pemanfaatan tanah di atas tanah milik orang lain, 3) hak kepemilikan bagian tanah (hak atas kepemilikan apartemen) dan 4) hak pemanfaatan bagian tanah (Sectional Land Use Right/SLUR) yakni hak pemanfaatan khusus untuk ruang bawah tanah dan atas tanah. (Milly Rosen, 2009). II. KOMENTAR KEBIJAKAN A. Hubungan Hukum Hak Guna Ruang dan Hak Atas Tanah Penggunaan hak atas tanah yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) memberi makna adanya pemberian wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi. Dengan demikian ruang di atasnya dan ruang di bawahnya (dalam tubuh bumi) bukan merupakan bagian dari hak atas tanah di permukaan bumi. Makna dari ketentuan ini, bahwa pemegang hak atas tanah di permukaan bumi tidak berhak untuk menyerahkan penggunaan tanah atas ruang di atas tanahnya dan ruang di bawah tanahnya apabila tidak berikut penggunaan permukaan buminya. Pengecualiannya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanahnya, misalnya ruang parkir yang berhubungan dengan bangunan di atasnya. Demikian pula dengan ruang atas tanah, sekedar diperlukan sebagai penyangga dari bangunan yang ada dan merupakan satu kesatuan dengan struktur bangunan di permukaan bumi. Selebihnya dapat dimaknai merupakan kewenangan negara untuk memberikan hak atas tanahnya. Kemudian hukum kita mengenal adanya asas pemisahan horizontal berkaitan dengan tanah dan bangunan yang ada di atasnya, asas pemisahan horizontal menyatakan bangunan 14
dan tanaman bukan merupakan bagian dari tanah hal ini berbeda dengan asas accessie, dimana bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah merupakan satu kesatuan dengan tanahnya. Berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja, memberikan norma bahwa hubungan hukum hak guna ruang dalam hal ini hak atas ruang bawah tanah dan ruang atas tanah dengan hak atas tanah tetap menggunakan hak atas tanah. Maka semua nomenklatur lembaga hukum terkait ruang atas tanah dan bawah tanah menggunakan nomenklatur yang sudah ada sebelumnya, sehingga tidak ada lembaga baru. Nomenklatur yang digunakan adalah hak atas tanah pada ruang bawah tanah dan ruang atas tanah. Demikian juga segala bentuk peralihannya tetap menggunakan akta PPAT. Pemberian hak atas tanah terhadap ruang bawah tanah dan ruang atas tanah yang diatur dalam peraturan pemerintah merupakan omnibus di tingkat peraturan pelaksana yaitu PP Nomor 40 Tahun 1996, PP Nomor 24 Tahun 1997 dan PP Nomor 103 Tahun 2015. Dasar hukum pengaturan ruang bawah tanah dan ruang atas tanah sudah dimuat dalam UU Cipta Kerja dan dalam RPP Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah, serta Rancangan Peraturan Menteri. B. Pengaturan Hubungan Hukum Dalam Ruang Atas Tanah Dan Bawah Tanah Pemanfaatan ruang bawah tanah dan ruang atas secara otomatis akan berkaitan dengan hak‐hak kepemilikan tanah. Ini berarti salah satu UU yang wajib diperhatikan adalah Undang‐Undang Pokok Agraria. Menurut Pasal 1 UUPA, ruang lingkup bumi adalah permukaan bumi, dan tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Selanjutnya Pasal 2 ayat (1) UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA), memberikan wewenang kepada negara: 1. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; 2. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; 3. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Pasal ini dapat dimaknai memberi wewenang kepada negara untuk mengatur hubungan hukum dalam ruang bawah tanah dan ruang atas tanah. 15
Berkaitan dengan pengaturan pemanfaatan ruang atas dan bawah tanah, ada dua pendapat yang berbeda: a. Pertama dari Prof. Boedi bahwa hukum positif kita tidak bisa dipakai sebagai dasar untuk mengatur hal tersebut. Makna Pasal 4 UUPA ruang penggunaannya diperluas, meliputi juga sebagian ruang udara di atasnya dan sebagian tubuh bumi di bawah tanah yang bersangkutan. Tetapi yang diperluas itu terbatas pada kewenangan untuk menggunakannya. Itupun terbatas juga, yaitu sekadar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah (permukaan bumi) yang bersangkutan. Ruang udara dan tubuh bumi yang dipergunakan itu bukan hak pemegang Hak Atas Tanah, dan karenanya ia tidak berhak untuk menyerahkan penggunaannya kepada pihak lain, apabila tidak berikut penggunaan permukaan buminya. Ditinjau dari sudut penggunaannya, obyek hak atas tanah praktis berdimensi tiga, yang pada kenyataannya selain permukaan bumi, meliputi juga “ruang di atas permukaan bumi dan ruang dalam tubuh bumi”, berukuran panjang, lebar dan tinggi/dalam. 1) Bangunan dalam tubuh bumi di bawah permukaan bumi dan bangunan dalam ruang di atas tanah yang merupakan bagian dari bangunan induk yang berada di atas tanah. (Boedi Harsono, 2005) : a. Bangunan yang dimaksud masih dapat terakomodasi oleh hak-hak atas tanah yang ada. Misalnya bagian yang menggunakan sebagian tubuh bumi sebagai tempat pondasi bangunan. Penggunaan tubuh bumi yang bersangkutan merupakan bagian kewenangan yang bersumber pada hak atas tanah untuk bangunannya. Bisa juga bagian suatu bangunan induk menggunakan ruang dalam tubuh bumi di bawah tanah untuk suatu kegiatan/keperluan, sebagai basement untuk restoran, rekreasi, hiburan atau garasi mobil. RUMAH/GEDUNG permukaan bumi BASEMENT, RESTAURANT sekedar (5m?) 16
b. Penggunaan ruang dalam tubuh bumi yang diperlukan itu merupakan bagian kewenangan yang bersumber pada HAT untuk bangunan induknya. Bangunan berlantai ganda dapat dibangun dan dimiliki bagian-bagiannya secara individual secara terpisah satu dengan yang lain seperti dalam UU Rumah Susun. Tanahnya sebagai tanah bersama, sedangkan fondasi, atap, tangga, lift, selasar merupakan bagian bersama. Serta adanya benda bersama seperti sarana ibadah, aula, parkir, kolam renang, dsb. 2) Bangunan dalam ruang di atas tanah yang bukan merupakan bagian dari bangunan induk. a. Keberadaan bangunan demikian dapat terakomodasi oleh hak-hak atas tanah yang tersedia. Keberadaannya pasti ada hubungan fisik dengan permukaan bumi di bawahnya, yang dikuasai dengan salah satu hak atas tanah yang ada. Bangunan dibangun di atas tiang-tiang penyangga. Ruang di atas tanah diantara tiang-tiang tersebut bisa digunakan untuk tempat usaha atau keperluan lain. b. HAT yang tersedia bisa mengakomodasi bangunan yang sebagian strukturnya menggunakan ruang udara di atas tanah, dengan hanya memerlukan bagian permukaan bumi untuk menempatkan tiang penyangganya, seperti jalan layang, jembatan penyeberangan dan jalan kereta api layang. Tanah di bawahnya bisa kepunyaan pemilik bangunan sendiri yang dikuasai dengan HGB atau Hak Pakai. Pemegang HGB/Hak Pakai mempunyai hak untuk menggunakan tanahnya termasuk ruang udara di atasnya. Tanah dibawahnya bisa juga dikuasai dengan Hak Pengelolaan oleh Pemerintah Daerah. 17
Keberadaan bangunan di atasnya dilandasi HGB dan Hak Pakai di atas HPL tersebut. Hal yang sama berlaku juga bagi keberadaan dan pemilikan yang merupakan penghubung dari dua bangunan. Bangunan demikian itu umumnya mempunyai tiang penyangga yang berdiri di atas permukaan bumi di bawahnya. Kalau tidak maka kedua bangunan yang dihubungkan itulah “tiang-tiang” penyangganya. Dengan demikian untuk keberadaan dan penguasaan serta penggunaan bangunan penghubung, jalan layang, jembatan layang, jembatan penyeberangan dan jalan kereta api layang tidak perlu diadakan “lembaga hak baru”. 3) Lembaga Baru-HGRBT Bangunan yang memerlukan ruang dalam tubuh bumi, yang secara fisik tidak ada kaitannya dengan bangunan yang berada di permukaan bumi di atasnya, misalnya bangunan untuk kegiatan usaha pertokoan, restoran, stasiun, jalan kereta api bawah tanah dan lainnya. Untuk masuk dan keluar ruang diperlukan sebagian permukaan bumi untuk “pintu”. Tapi karena bagian utama struktur bangunan berada dalam tubuh bumi, kewenangan HAT dalam Pasal 4 UUPA tidak mungkin ditafsirkan mencakup keberadaan dan penguasaan bangunan di bawah tanah dimaksud. STASIUN/HALTE pintu permukaan bumi RUANG BAWAH TANAH sd 30 meter 18
b. Kedua dari Prof. Maria menganggap bahwa hukum positif kita bisa digunakan sebagai dasar pemanfaatan hak atas tanah ruang atas dan bawah tanah. Pendapat berbeda dari Maria S.W. Sumardjono, bahwa Pasal 4 UUPA tersebut sudah mampu mengakomodasi pemberian hak terhadap ruang bawah tanah melalui cara berfikir analogi dan interpretasi ekstensif. Pasal 4 UUPA dapat diperluas cakupan berlakunya meliputi ruang di bawah tanah dan ruang udara. Pengaturan tentang hak atas tanah yang ada masih dapat dipertahankan dan diberlakukan secara analogi terhadap perluasan obyek hak atas tanah, yakni ruang di bawah tanah dan ruang udara, misalnya berkenaan dengan ketentuan tentang subyek hak, jangka waktu, peralihan, pembebanan, hapusnya dan sebagainya, dengan penambahan pengaturan pemberian tanda bukti haknya, sehingga lembaga hak baru belum perlu dibentuk. Maria S.W. Sumardjono (2001) mengatakan bahwa pada umumnya bangunan- bangunan di ruang udara yang lebih menonjol adalah strukturnya, dan hanya sedikit memerlukan tanah dibawahnya sebagai tiang penyangga, maka hak yang paling tinggi yang dapat diberikan adalah hak guna bangunan. Dicontohkan bila jalan layang yang berada di atas jalan umum yang dikelola oleh Departemen Dinas Pekerjaan Umum, dan jalan layang itu dibangun, dimiliki, serta dioperasikan oleh pihak lain maka kepada pihak lain tersebut diberikan hak guna bangunan. Untuk membedakan (sekedar nama) antara hak-hak yang diperoleh untuk ruang bawah tanah dan di permukaan bumi, maka penyebutannya dapat ditambah dengan misalnya, Hak Milik Bawah Tanah (HMBT), Hak Guna Bangunan Bawah Tanah (HGBBT) dan sebagainya. Seperti lazimnya hak atas tanah, maka hak-hak tersebut dapat berakhir dan dialihkan, serta dapat pula dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan. (Maria S.W. Sumardjono, 1991). Maria SW Soemardjono (2009) menyatakan bahwa dalam kaitannya dengan ruang di bawah tanah maka ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi: 1). Bila subyek hak di atas tanah sama dengan subyek hak di bawah tanah, maka hak yang diberikan untuk ruang bawah tanah sama dengan hak yang berada di atasnya. Misalnya suatu bank pemerintah membangun fasilitas parkir di bawah tanah maka dapat diberikan hak milik. Bila yang membangun sarana parkir itu suatu hotel untuk keperluan pengoperasian hotel tersebut, maka HGB dapat diberikan. 19
2) Bila hak di bawah tanah terpisah dengan penguasaan di atasnya, maka ada beberapa kemungkinan dapat terjadi (1) untuk pembangunan subway, bila yang membangun, memiliki dan mengoperasikan seluruhnya pemerintah maka dapat diberikan hak pengelolaan;(2) bila subway dibangun, dimiliki, dan dioperasikan oleh pihak swasta, maka dapat diberikan HGB, (3) bila subway dibangun oleh pemerintah tetapi dikelola/dioperasikan oleh pihak swasta, maka pemerintah mempunyai hak pengelolaan dan di atas hak pengelolaan tersebut dapat diberikan HGB kepada pihak swasta. 3) Untuk pembangunan business centre dapat diberikan HGB Pendapat kedua dari Prof Maria, menyatakan bahwa hukum tanah nasional saat ini sudah dapat mengakomodasi pemberian hak terhadap ruang bawah tanah dan ruang atas tanah melalui cara menggunakan metode penafsiran analogi dan metode penafsiran interpretasi ekstensif, yang berarti tidak perlu pengaturan dalam bentuk Undang-Undang tetapi cukup peraturan yang ada/pengaturan teknis saja sudah dapat mengakomodasi kebutuhan dimaksud. Dengan konsep Prof. Maria maka semua nomenklatur lembaga hukum terkait ruang atas tanah dan bawah tanah menggunakan nomenklatur yang sudah ada sebelumnya, sehingga tidak ada lembaga baru. Artinya tidak ada istilah hak guna ruang bawah tanah dan hak guna ruang atas tanah. Dalam tatanan teori hukum, apabila ada aturan tapi dapat dimaknai beragam atau ada aturan tapi tidak utuh maka yang harus dilakukan adalah membuat aturan baru, atau tidak membuat aturan baru tetapi dilakukan dengan penafsiran. Penafsiran merupakan bagian dari metode penemuan hukum, disamping argumentasi (penalaran, reasoning) dan eksposisi (konstruksi hukum). Adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memperkuat landasan pemberian hak atas ruang bawah tanah dan ruang atas tanah, dimuat dalam Pasal 146 mengatur: (1) Tanah atau ruang yang terbentuk pada ruang atas dan/atau bawah tanah dan digunakan untuk kegiatan tertentu dapat diberikan HGB, hak pakai atau hak pengelolaan, (2) Batas kepemilikan Tanah pada ruang atas Tanah oleh pemegang hak atas tanahnya diberikan sesuai dengan koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, dan rencana tata ruang yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Batas kepemilikan tanah pada ruang bawah tanah oleh pemegang hak atas tanahnya diberikan sesuai dengan batas kedalaman pemanfaatan yang diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 20
(4) Penggunaan dan pemanfaatan tanah pada ruang atas dan/atau bawah tanah oleh pemegang hak yang berbeda, dapat diberikan hak guna bangunan, hak pakai, atau hak pengelolaan. Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan Tanah pada ruang atas Tanah dan/atau ruang di bawah Tanah diatur dengan Peraturan Presiden. Ketentuan di atas mengandung makna bahwa ruang atas tanah atau ruang bawah tanah yang digunakan untuk kegiatan pembangunan, penggunaan dan pemanfaatan tanahnya terpisah dari penggunaan dan pemanfaatan yang ada di atas tanah (permukaan bumi). Dapat ditafsirkan dalam konsep UU CK, pemegang hak atas tanah dipermukaan bumi berbeda dengan pemegang hak atas tanah di ruang bawah tanah atau pemegang hak ruang atas tanah, kemudian tidak ada bagian bersama dan benda bersama sehingga berbeda dengan konsep rumah susun. Maka perlu diatur bagaimana dengan tangga dan lift, siapakah pemegang hak nya, apakah pemegang hak tanah di permukaan bumi atau pemegang hak atas ruang bawah tanah. Perlu diatur juga jika kedepannya ruang bawah tanah terdiri dari beberapa lapis atau level, bagaimana pengaturan lapis kedua, ketiga dan seterusnya, apakah pemberian haknya juga mutatis mutandis dengan pemberian hak atas tanah di permukaan bumi. Sampai berapa level pemberian hak terhadap ruang bawah tanah, apakah di bawah hak ruang bawah tanah dimungkinkan diberikan hak ruang bawah tanah lagi, atau seperti bentuk rumah susun ke bawah, kemungkinan ini bisa saja terjadi mengingat perkembangan teknologi sangat pesat. Jika dijadikan hak tanggungan, bagaimana kedudukan hak tanggungan ruang bawah tanah lapis kedua, ketiga dan selanjutnya. Kemudian bagaimana hubungan antara hak atas tanah di permukaan bumi dengan hak atas ruang atas tanah atau ruang bawah tanah, apakah ada yang bersifat primer dan sekunder atau keduanya bersifat primer. Selanjutnya terhadap ruang atas tanah perlu ditetapkan batas maksimal yang dapat diberikan haknya, tidak hanya mengacu kepada koefisien dasar bangunan atau koefisien lantai bangunan untuk memberi kepastian batas ruang atas tanah yang dapat dimanfaatkan. Selain itu, adanya pemberian hak atas ruang bawah tanah dan ruang atas tanah harus diikuti dengan modernisasi pemetaannya dengan tiga dimensi meliputi permukaan bumi, di atas permukaan bumi dan di bawah permukaan bumi. C. Aspek Geologis Pemanfaatan Ruang Bawah Tanah Dan Atas Tanah Karakteristik Geologis Jakarta berdasarkan hasil identifikasi didominasi endapan muda berumur kwarter. Lapisan tanah di Jakarta dibagi menjadi 4 karakter dengan daya dukung sesuai dengan hasil pengujian. Identifikasi dilakukan berdasarkan ukuran bitur dan karakter geoteknik. 21
Kajian atas Master Plan Jakarta yang disusun oleh Dinas Perindustrian dan Energi Provinsi DKI menyebutkan hasil identifikasi geologi bawah permukaan tersebut diketahui bahwa lapisan bagian atas atau dangkal di Jakarta didominasi oleh pasir. Pada bagan tengah didominasi oleh lempung dan terdapat konglomerat, pada bagian dalam dominasi tidak terlalu jelas namun terdapat konglomerat dan gamping terumbu. Melalui identifikasi ini, kemudian didapatkan kerentanan jenis endapan yang berkaitan dengan perencanaan tata ruang bawah tanah di Jakarta. – Kerentanan tersebut juga didasarkan pada data geoteknik yang didapatkan diantaranya adalah nilai Standar penetration test yang kemudian disebandingkan dengan jenis dan kedalaman jenis endapan tersebut. Pembagian jenis infrastruktur/utilitas berdasarkan jenis tanah/batuan di DKI Jakarta : Level 1 – Lahan Parkir ramah lingkungan – Stasiun perhentian bus dan jalur pejalan kaki, fasilitas umum, taman, pusat perbelanjaan Level 2 – Terowongan Service (listrik, air bersih, gas, telekominikasi) Level 3 – Saluran air limbah Level 4 – Kereta bawah tanah (subway, MRT, LRT) Level 5 – Jalan penghubung antar Kawasan Level 6 – Tampungan air – Pada Level 1 terletak jenis utilitas: – Lahan Parkir ramah lingkungan – Stasiun perhentian bus dan jalur pejalan kaki, fasilitas umum, taman – Untuk kondisi geologi yang buruk, infrastruktur bawah permukaan level 1 direncanakan pada kedalaman lebih dari 20 meter. Dengan kondisi demikian, maka pada level 1 ini tidak banyak penempatan lokasi dilakukan untuk jakarta bagian utara. Untuk di bagian tengah, sesuai dengan kondisi geologinya, level 1 di kondisi yang lebih baik dapat dibuat pada kedalaman yang lebih dangkal. Kedalaman level 1 di bagian tengah, dapat dibuat mulai dari kedalaman 10 meter sampai 60 meter atau lebih. Pertimbangan lain untuk penempatan titik lokasi rencana level 2 ini dibuat di pusat perkantoran, pusat perbelanjaan dan niaga lainnya, terutama tempattempat yang memiliki lahan parkir yang terbatas Pada kondisi geologi yang paling baik, di bagian selatan, lokasi infrastruktur level 1 berada pada titik atau simpul stasiun dan pusat pergerakan penduduk. Diharapkan penempatan lahan parkir di level 1 ini dapat mengurangi intensitas kendaraan bermotor yang masuk ke Jakarta dan kendaraan tersebut dapat diparkir di lokasi-lokasi parkir umum tersebut –Pada Level 2, pemanfaatan ruang bawah tanah untuk – Terowongan Service (Utility Tunnel) – Terowongan utilitas difungsikan sebagai sarana pendistribusian layanan: – Listrik – Gas – 22
Telekomunikasi – Air – dll. Kedalaman level 2 cukup ideal untuk pemanfaatan utilitas sehingga tidak akan dijumpai lagi kabel listrik dan telekomunikasi yang semrawut. –Pada level 3, terdapat utilitas – Saluran air limbah Saluran air limbah berada pada level 3 karena saluran air limbah merupakan air limbah dari permukaan dan utilias lain yang berhubungan dengan manusia. –Pada level 4 terdapat utilitas berupa: – Jalur transportasi massal berupa Subway / MRT / LRT – Jalur ini diterapkan khusus pada satu level karena transportasi massal merupakan kebutuhan mendasar dari perkembangan suatu kota megapolitan. Rencana pada level 4, dilakukan dengan beberapa skala prioritas. Skala prioritas utama adalah pada koridor yang menjangkau pusat kota, perniagaan, perkantoran dan menyentuh langsung ke masyarakat. Dengan adanya koridor prioritas ini, diharapkan masyarakat akan mendapatkan dampak langsung dari perencanaan kereta bawah tanah. Penentuan koridor ini juga didasarkan pada kondisi geologi di Jakarta. Untuk bagian utara, terdapat kondisi geologi yang kurang menguntungkan atau buruk. Pada bagian ini, koridor diletakkan pada kedalaman lebih dari 30 meter, untuk mendapatkan tanah dengan kondisi yang cukup stabil. Bahkan di bagian koridor yang lain utara, direncanakan kereta diletakkan di permukaan sebagai sky train karena kondisi geologi yang sangat idak menguntungkan. Koridor ini direncanakan sebagai kereta bawah air yang merupakan sarana tranportasi bagi penduduk di kepulauan seribu. Selain sebagai sarana transportasi, koridor ini juga dapat menjadi sarana rekreasi, dan daya tarik DKI Jakarta bagi turis baik lokal maupun mancanegara. Pada bagian tengah, terdapat koridor kereta bawah tanah yang diletakkan pada kondisi geologi yang lebih baik. Pada koridor ini, pembuatan terowongan tidak memerlukan biaya yang tinggi dibandingkan pada bagian selatan dan utara, serta kedalaman yang dapat diraih tidak memerlukan kedalaman yang terlalu dalam. Kedalaman yang direncakan pada koridor bagian tengah Jakarta adalah sekitar 20 sampai 60 meter. Pada kedalaman tersebut, dominasi geologi berupa lempung padat yang kemungkinan terjadi pergerakan tidak terlalu besar. Tentu pada koridor ini juga terdapat prioritas pembangunan disesuaikan dengan lokasi pusat perniagaan dan perdagangan juga kependudukan. Pada bagian selatan, terdapat kondisi geologi yang paling menguntungkan di Jakarta. Pada kawasan selatan Jakarta, dominasi jenis butiran berupa pasir dan butiran yang lebih kasar. Dengan dominasi ini maka didapatkan daya dukung yang terbaik untuk infrastruktur bawah tanah. Penggunaan moda bawah tanah diperuntukan pada daerah yang memiliki tingkat hunian padat dan tidak tersedia ruang permukaan. Untuk desain pada bagian selatan ini, kereta 23
bawah tanah dapat dibangun pada kedalaman 10 meter sampai 80 meter dengan tingkat kesulitan yang berbeda pada tiap kedalaman sesuai dengan tingkat kekerasan tanah atau batuan Infrastruktur yang direncanakan pada level 5 adalah: – Jalan penghubung antar Kawasan – Jalan penghubung antar Kawasan di DKI Jakarta saat ini dibangun sebagai fly over – Penghubung antar Kawasan merupakan jalan arteri yang memiliki fungsi menghubungkan dua Kawasan niaga, tanpa besinggungan dengan lingkungan sekitar – Jalan penghubung ini hanya berfungsi pada Kawasan dengan jarak yang cukup jauh dan tidak memiliki potensi kemacetan tinggi. Desain ruang bawah tanah untuk jalan lintas ini direncanakan menjadi 5 koridor. 1. Koridor Tomang jatinegara 2. Koridor Bandara Soetta – BSD – Tomang 3. Bekasi – Pulomas 4. Bekasi – Cawang 5. Tangsel – Pondok Indah. Koridor pada level 5 ini meupakan jalan penghubung antar kawasan yang menghubungkan dua daerah yang menjadi pusat perekonomian dan atau penduduk. Jalan penghubung antar kawasan ini juga menghubungkan bandara Soekarno Hatta ke kota Jakarta. Jalan penghubung antar kawasan ini difokuskan pada kawasan perdagangan perkantoran dan direncanakan pada lokasi dengan kondisi geologi yang lebih baik dan sangat baik. Mengingat jalan penghubung antar kawasan ini juga bersinggungan dengan perumahan penduduk, maka desain untuk jalan penghubung antar kawasan ini dibuat pada kedalaman lebih dari 50 meter. Kedalaman ini ditentukan tidak hanya berdasarkan aspek geologi namun juga berdasarkan aspek sosial. Pengendali banjir di level 6 merupakan salah satu solusi pengendalian genangan di Jakarta. Metode pengendalian banjir dengan memanfaatkan ruang bawah tanah ini sudah dilakukan di negara maju seperti Jepang. Kota Tokyo merupakan salah satu contoh model pemanfaatan ruang bawah tanah untuk pengendali banjir. Dalam pengendali banjir di Tokyo, digunakan konsep underground discharge channel. Dengan demikian terdapat 6 jenis utilitas secara umum pada perencanaan ruang bawah tanah Jakarta, 6 utilitas tersebut klasifikasi menjadi 6 level: level 1 Prasarana umum, pejalan kaki terminal transit, level 2 Prasarana umum jaringan listrik, telekomunikasi dan perpipaan, level 3 Drainase komunal untuk limbah rumah tangga dan air hujan, level 4 Kereta bawah tanah, level 5 Jalan lintas antar Kawasan dan level 6 Pengendali banjir . Penentuan level ini tentunya dengan mempertimbangkan potensi kebencanaan seperti banjir, gempa, longsor, ROB, likuifaksi dan lainnya. 24
Yang menjadi permasalahan ketika jalur MRT Phase II harus melewati tanah privat/pribadi, perlu penetapan besaran ganti rugi terhadap resiko bencana (tanah amblas) dan kehilangan sumber mata air ataupun kerugian lainnya. III. REKOMENDASI UU CK akan ditindak lanjuti dengan peraturan pelaksanaan. Materi yang akan dimuat dalam Peraturan Presiden dan selanjutnya Peraturan Menteri harus memuat secara detail implementasi dari Pasal dalam UU Cipta Kerja, sehingga tidak menimbulkan multi tafsir. Secara garis besar memuat: 1) hak dan kewajiban atau wewenang dari pemilik tanah di permukaaan bumi, ruang atas tanah dan ruang bawah tanah, 2) hubungan hukum antara tanah di permukaan bumi, ruang atas tanah dan bawah tanah, 3) mekanisme peralihan hak nya, apakah dimungkinkan pemegang hak atas tanah di permukaan bumi menjadi pemegang hak atas ruang bawah tanah atau ruang atas tanah, 4) mekanisme pendaftaran tanah dan pemetaan tiga dimensi, 5) hak tanggungan terhadap ruang bawah tanah level/lapis ke dua, tiga dan seterusnya. 6) bentuk kerugian apabila terdapat gangguan pada salah satu pihak (karena perbedaan pemegang hak atas tanah di permukaan bumi dengan pemegang hak atas ruang atas tanah atau ruang bawah tanah). 7) Batas ketinggian ruang atas tanah tidak hanya mengacu kepada koefisien dasar bangunan dan lantai bangunan tetapi secara eksplisit dalam ukuran tinggi yang nyata. 8) Batasan penggunaan dan pemanfaatan tanah di ruang atas tanah, permukaaan tanah dan bawah tanah. 25
DAFTAR PUSTAKA 1. Green, Kate and Joe Cursley.2004.Land Law.Fifth Edition.New York. Palgrave Macmillan 2. Harsono, Boedi, 1999, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta. 3. Harsono, Boedi , 2005, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Penerbit Djambatan, edisi revisi, Jakarta. 4. KPIP Support Facility, Saran Bagi Solusi Penyelesaian Hak Pemanfaatan Ruang di Atas dan di Bawah tanah dalam pembangunan secara vertikal, Jakarta, Februari 2018 5. Maria S. W, Sumardjono, Kebijakan Pertanahan, Antara Regulasi dan Implementasi, cetakan keenam, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2009. 6. ……………………………………, Redefinisi Hak Atas Tanah : Aspek Yuridis dan Politis Hak di Bawah Tanah dan di Ruang Udara , (BPN dan FH UGM) Yogyakarta, 1991 7. …………………………………..,Tanah dalam Perspektf Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Penerbit Kompas, Jakarta, 2009. 8. Milly Rosen. “Penggunaan Ruang Bawah Tanah Dihubungkan dengan Hak Atas Tanah Menurut UUPA.” Tesis Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, Depok, 2009 9. Peter Butt, Land Law, 1998, dalam Maria SW Soemardjono, Aspek Hukum Pemanfaatan Ruang Bawah Tanah/Dalam Bumi, Ruang Bawah Air, dan Ruang Udara di Atas Tanah, Fakultas Hukum uGM, 2018 10. Winahyu Erwiningsih, 2009, Hak Menguasai Negara atas Tanah,Total media,Yogyakarta. 11. Dinas Perindustrian dan Energi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Kajian atas Master Plan Jakarta. 26
Search
Read the Text Version
- 1 - 31
Pages: