Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Penelitian Implementasi Kebijakan Penyelenggaraan Penertiban Pemanfaatan Ruang

Penelitian Implementasi Kebijakan Penyelenggaraan Penertiban Pemanfaatan Ruang

Published by perpustakaanpublikasi, 2021-02-19 05:17:41

Description: Penelitian Implementasi Kebijakan Penyelenggaraan Penertiban Pemanfaatan Ruang

Search

Read the Text Version

Laporan Akhir menunjukkan tipologi pelanggaran, ancaman sanksi serta kasus terbanyak yang dijumpai pada beberapa wilayah sebagai objek audit tata ruang. Tabel V.3 Jumlah Tipologi Pelanggaran dan Ancaman Sanksi dengan kasus terbanyak No Tipologi Pelanggaran Ancaman Kasus Sanksi/Tuntutan Terbanyak Hukum Pemanfaatan Ruang yang Tidak Sesuai dengan Rencana Administratif Tata Ruang a) Memanfaatkan ruang dengan izin pemanfaatan ruang di Administratif lokasi yang tidak sesuai dengan peruntukannya b) Memanfaatkan ruang tanpa izin pemanfaatan ruang di Administratif lokasi yang sesuai dengan peruntukannya Administratif; c) Memanfaatkan ruang tanpa izin pemanfaatan ruang di 1 lokasi yang tidak sesuai dengan peruntukannya Pidana d) Memanfaatkan ruang di lokasi yang tidak sesuai dengan peruntukannya dan mengakibatkan perubahan fungsi e) Memanfaatkan ruang di lokasi yang tidak sesuai dengan Administratif; peruntukannya dan mengakibatkan kerugian Pidana f) Memanfaatkan ruang di lokasi yang tidak sesuai dengan Administratif; peruntukannya dan mengakibatkan kematian orang Pidana Pemanfaatan Ruang yang Tidak sesuai dengan Izin Pemanfaatan Ruang yang diberikan oleh pejabat berwenang a) Tidak menindaklanjuti izin yang dikeluarkan Administratif b) Memanfaatkan ruang tidak sesuai dengan fungsi ruang Administratif yang tercantum dalam izin pemanfaatan ruang Administratif; c) Pemanfaatan Ruang yang Tidak sesuai dengan Izin 2 Pemanfaatan Ruang yang diberikan oleh pejabat berwenang Pidana yang mengakibatkan perubahan fungsi Administratif; d) Pemanfaatan Ruang yang Tidak sesuai dengan Izin Pemanfaatan Ruang yang diberikan oleh pejabat berwenang Pidana yang mengakibatkan kerugian Administratif; e) Pemanfaatan Ruang yang Tidak sesuai dengan Izin Pemanfaatan Ruang yang diberikan oleh pejabat berwenang Pidana yang mengakibatkan kematian orang Pemanfaatan Ruang yang Tidak sesuai dengan Administratif; Persyaratan Izin yang diberikan oleh Pejabat yang Pidana berwenang 3 a) Melanggar batas sempadan b) Melanggar ketentuan koefisien lantai bangunan yang Administratif; ditentukan Pidana Implementasi Kebijakan Penyelenggaraan Penertiban Pemanfaatan Ruang 48

Laporan Akhir No Tipologi Pelanggaran Ancaman Kasus Sanksi/Tuntutan Terbanyak Hukum c) Melanggar ketentuan dasar lantai bangunan yang Administratif; ditentukan Pidana d) Melakukan perubahan sebagian atau keseluruhan fungsi Administratif; bangunan Pidana e) Melakukan perubahan sebagian atau keseluruhan fungsi Administratif; lahan Pidana f) Tidak menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum Administratif; sesuai dengan Pidana persyaratan dalam izin pemanfaatan ruang g) Tidak sesuai dengan ketentuan persyaratan izin yang telah Pidana ditetapkan lainnya 4 Memberikan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata Pidana ruang 5 Menutup atau tidak memberikan akses terhadap kawasan Administratif; yang dinyatakan perundang-undangan sebagai milik umum Pidana; Keterangan: warna blok hitam adalah kasus terbanyak yang terjadi. Dari hasil analisis hasil audit beberapa sampel wilayah di Indonesia diketahui rata-rata pelanggaran penataan ruangnya adalah dengan ancaman sanksi Administratif dan atau Pidana. Pelanggaran-pelanggaran pemanfaatan ruang yang seringkali terjadi adalah: 1. Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang:  Memanfaatkan ruang tanpa izin pemanfaatan ruang di lokasi yang tidak sesuai dengan peruntukannya  Memanfaatkan ruang di lokasi yang tidak sesuai dengan peruntukannya dan mengakibatkan perubahan fungsi  Memanfaatkan ruang di lokasi yang tidak sesuai dengan peruntukannya dan mengakibatkan kerugian Pelanggaran dengan ketiga tipologi di atas paling banyak dilakukan di Indonesia. Hal ini mencerminkan lemahnya pengawasan yang ada. Luasnya kawasan yang harus diawasi dan keterbatasan dari personel yang mengampu pengawasan dan pengendalian juga bisa menyebabkan hal ini. Sehingga seringkali saat sudah dilakukan audit tata ruang lalu ditemukan pelanggaran, posisi pemanfaatan ruangnya sudah berwujud atau istilahnya sudah terlambat. Tidak ada semacam “early warning” terkait pelanggaran pemanfaatan Implementasi Kebijakan Penyelenggaraan Penertiban Pemanfaatan Ruang 49

Laporan Akhir ruang. Peringatan dini ini semisal, sebuah lahan yang semua sawah dan di dalam pola ruang RTR dinyatakan sebagai pertanian lahan basah atau lahan pertanian tanaman pangan, secara tiba-tiba ada pengeringan dan mulai terjadi pengurukan tanah. Maka hal ini tentunya merupakan indikasi akan ada perubahan fungsi ruang tersebut. Apabila personel, sistem dan teknologi pengawasan dilakukan secara baik, maka hal semacam ini segera dapat diidentifikasi dan pelaku dapat diberikan teguran atau surat peringatan, Namun kenyatannya seringkali bangunan sudah berdiri dengan sempurna barulah diketahui adanya pelanggaran. Terkait hal tersebut maka kegiatan penertiban bisa menjadi lebih sulit dibandingkan apabila kegiatan penertiban dilakukan saat masih pada tahap awal pelanggaran. Ancaman sanksi tipologi pelanggaran semacam ini adalah sanksi administrasi atau sanksi pidana, dimana penerapannya dilakukan secara bertahap dengan pemberian sanksi administrasi terlebih dahulu baru kemudian apabila tidak diindahkan bisa dilanjutkan ke sanksi pidana. Penerapan sanksi yang seringkali dilakukan saat bangunan sudah berdiri tentunya akan menyebabkan resistensi dari pihak yang diberi sanksi. Dalih hanya satu- satunya tanah yang dimiliki untuk membangun atau juga sebuah kegiatan fungsi ruang yang melanggara telah didukung oleh masyarakat setermpat karena menjadi sumber pendapatan/perekonomian menjadikan kegiatan penertiban menjadi lebih rumit. Kegiatan penertiban yang seringkali dilakukan adalah pemberian surat peringatan dan pemasangan plang dan biasanya walaupun pelaku tidak mengindahkan namun tahapan sanksi berikutnya tidak dilaksanakan. Penyebab utamanya adalah kegiatsn penertiban dilakukan saat bangunan telah berdiri dan atau kegiatan fungsi ruang yang tidak sesuai tersebut telah berlangsung. Oleh karena itu sistem peringatan dini pelanggaran tata ruang sangat dibutuhkan agar sejak sangat awal agar kegiatan penertiban bisa lebih efektif. Hal yang menjadi ironi di beberapa daerah adalah adanya perubahan rencana tata ruang saat dilakukan revisi dengan “memutihkan” pemanfaatan ruang yang tidak sesuai tata ruang ini. Indikasi pelanggaran tata ruang pada kegiatan audit dijadikan sebagai bahan untuk menyesuaikan rencana dengan kondisi eksisting agar menjadi sesuai peruntukannya. 2. Pemanfaatan Ruang yang Tidak sesuai dengan Izin Pemanfaatan Ruang yang diberikan oleh pejabat berwenang: Implementasi Kebijakan Penyelenggaraan Penertiban Pemanfaatan Ruang 50

Laporan Akhir  Pemanfaatan Ruang yang Tidak sesuai dengan Izin Pemanfaatan Ruang yang diberikan oleh pejabat berwenang yang mengakibatkan perubahan fungsi. Pelanggaran jenis ini lebih banyak dilakukan oleh badan usaha, dimana izin yang diusulkan A namun kenyataannya yang dilaksanakan adalah kegiatan B. Beberapa kasus yang ditemukan adalah izin yang diberikan untuk restoran namun ternyata dalam operasionalnya juga ada tempat penginapannya. Atau contoh lain semisal izin yang diberikan adalah untuk gardu pandang di sebuah lereng perbukitan/pegunungan, namun pada praktiknya ada kegiatan restoran yang berbeda fungsi ruangnya. Hal ini disinyalir berani dilakukan karena izin digunakan untuk formalitas berkegiatan dan pengawasan dalam penerapan izin lemah. Ancaman sanksi dalam kegiatan ini adalah sanksi administrasi secara bertahap dan sampai ke sanksi pidana. Kegiatan penertiban yang dilakukan biasanya adalah surat peringatan untuk mengurus izin sesuai dengan pemanfaatan ruang sebenarnya atau juga surat peringatan untuk menutup usaha atau kegiatan yang tidak sesuai dengan izin. Pada beberapa lokasi di Indonesia sudah ada kegiatan penertiban terkait kedua hal di atas dan sampai dengan menutup kegiatan apabila tidak mengindahkan surat peringatan. Namun pada beberapa wilayah lain terkadang kegiatan penertiban hanya berhenti sampai surat peringatan. 3. Pemanfaatan Ruang yang Tidak sesuai dengan Persyaratan Izin yang diberikan oleh Pejabat yang berwenang:  Melanggar batas sempadan  Melanggar ketentuan koefisien lantai bangunan yang ditentukan  Melakukan perubahan sebagian atau keseluruhan fungsi lahan Pelanggaran jenis ini seringkali dilakukan oleh para pelaku usaha dan disinyalir ada unsur kesengajaan. Penambahan ruang bangunan secara vertikal dan melanggar ketentuan KLB (koefisien lantai bangunan) atau juga secara horisontal dan melanggar ketentuan KDB (Koefisien Dasar Bangunan) seringkali terjadi. Bahkan di beberapa lokasi juga sampai melanggar sempadan sungai atau sempadan pantai. Kasus lain adalah usaha tambak yang melebihi dan melanggar sempadan sungai dan atau sempadan pantai. Implementasi Kebijakan Penyelenggaraan Penertiban Pemanfaatan Ruang 51

Laporan Akhir Pelanggaran jenis ini dapat diancam sanksi administrasi maupun sanksi pidana. Di beberapa daerah yang memiliki komitmen kuat dalam hukum tata ruang bahkan telah menerapkan sanksi administrasi dengan melakukan pembongkaran bangunan yang melanggar persyaratan dalam izin. Namun di daerah lain hanya diberi surat peringatan saja dan belum ada sampai rencana tahapan sanksi administrasi lainnya. Bisa dikatakan kegiatan penertiban berjalan sporadis dan belum semuanya seragam dengan perlakuan penertiban yang sama untuk setiap pelanggaran dengan ancaman sanksi yang sama, semua tergantung komitmen daerah masing-masing. 4. Menutup atau tidak memberikan akses terhadap kawasan yang dinyatakan perundang- undangan sebagai milik umum. Pelanggaran jenis ini banyak terjadi di daerah semisal penutupan kawasan pantai, penutupan jalan, penutupan atau gangguan trotoir. Seringkali ketidaktahuan dari pemilik lokasi atau kegiatan bahwa ada tanggungjawab terhadap akses ke runag-ruang yang merupakan milik umum. Penguasaan tanah dianggap sebagai panglima, padahal penguasaan tanah dalam pemanfaatannya juga mengacu ke undang-undang tata ruang termasuk penggunaan ruang untuk akses publik untuk menuju ruang publik yang wajib diberikan walaupun tanah tersebut adalah milik pribadi. Pelanggaran jenis ini sudah banyak kegiatan penertibannya dimana setelah diberi surat peringatan dan penjelasan biasanya akan langsung ditertibkan. Namun ada beberapa catata terkait hal pemanfaatan trotoir, di beberapa daerah terjadi pemanfaatan trotoir yang secara undang-undang adalah jalur publik untuk pedestrian. Pelanggaran yang terjadi adalah penggunaan trotoir untuk parkir, baik parkir pribadi maupun untuk parkir hotel. Seringkali gangguan trotoir untuk jalur pedestrian sebagai tempat parkir dianggap tidak melanggar karena tidak menutup akses namun hanya menghalang-halangi. Oleh karena itu perlu kajian mendalam untuk klausul menutup ini bisa diperluas juga termasuk menghalang-halangi atau menghambat akses publik. Berdasarkan hasil informasi di atas, penyelesaian kasus pelanggaran yang ditindaklanjuti ke penertiban kebanyakan adalah sanksi administrasi. Sanksi administrasi yang pernah dilakukan seperti pemberian surat peringatan, pemasangan papan peringatan dan atau penghentian kegiatan sampai pembongkaran. Untuk sanksi pidana pernah ada Implementasi Kebijakan Penyelenggaraan Penertiban Pemanfaatan Ruang 52

Laporan Akhir penindakan dalam kaitan dengan pertambangan tanpa ijin yang tidak sesuai tata ruang. Namun jumlah kasus penyelesaian pelanggaran penataan ruang yang diteruskan sampai ke penuntutan ke pengadilan sangat sedikit, jauh lebih besar tindak lanjut kegiatan penertiban lebih ke sanksi administrasi. C. Permasalahan Pelaksanaan Kebijakan Penertiban Pemanfaatan Ruang Beberapa permasalahan dalam melaksanakan kebijakan penertiban di daerah dapat dibedakan dalam 2 (dua) kategori. Kategori pertama adalah pada saat menindaklanjuti hasil dari kegiatan audit dan yang kedua adalah paska pelaksanaan penertiban. Kedua kategori permasalahan tersebut memiliki problematika masing-masing dan perlu dicarikan solusi pemecahan masalahnya. Untuk kategori pertama terkait dengan permasalahan saat akan melakukan penertiban sebagai langkah lanjutan setelah kegiatan audit tata ruang. Permasalahan yang sering muncul adalah: 1. Pelanggaran tata ruang yang ada seringkali kemudian digunakan sebagai dasar revisi tata ruang, sehingga saat akan dilakukan penindakan akan muncul keraguan, sebab pihak daerah sedang melakukan revisi rencana tata ruangnya dan melakukan “pemutihan” terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dengan menyesuaikan rencana pola ruangnya dengan kondisi eksisting. Hal ini akan menimbulkan ketidakpastian dalam penertiban (pemberian sanksi). Karena saat ini memang melanggar namun dengan rencana penyesuaian rencana pola ruang dengan pemanfaatan ruang eksisting maka akan terjadi keragu-raguan dalam melakukan penindakan. 2. Pada beberapa daerah terjadi ketidaktegasan OPD pengampu tata ruang, dimana setelah ditemukan pelanggaran tata ruang dan akan dilakukan penindakan seringkali mencari alasan pembenar dengan melihat peraturan perundangan sektoral yang membenarkan situasi tersebut. Akibatnya perda tata ruang yang seharusnya menjadi acuan dalam menilai pelanggaran menjadi tersamarkan dengan aturan-aturan sektoral lainnya yang beberapa bertentangan dengan perda tata ruang tersebut. Padahal seharusnya sebelum menjadi perda tata ruang maka seharusnya telah terjadi harmonisasi dengan peraturan perundangan sektoral Implementasi Kebijakan Penyelenggaraan Penertiban Pemanfaatan Ruang 53

Laporan Akhir lainnya. Seringkali posisi personal di OPD yang mengampu penindakan menghadapi situasi dilematis terkait karier dan beberapa hal lainnya. 3. Kualitas perda tata ruang yang tidak standar, dimana di dalam arahan peraturan zonasi atau ketentuan peraturan zonasi masih ada pengaturan yang bersifat “abu- bau”. Dimana di satu pasal disebutkan boleh dikembangkan menjadi sebuah pola ruang tidak boleh digunakan untuk penggunaan lahan lain, namun di pasal lainnya justru memperbolehkan percampuran penggunaan lahan. Ada juga aturan KLB (koefisien lantai bangunan) yang harus sekian persen, namun di pasal lain disebutkan boleh melebihi ketentuan KLB atas mendapat ijin dari otoritas pengguna ruang udara setempat. Sehingga langkah-langkah penertiban menjadi sebuah keragu-raguan. Untuk kategori kedua terkait dengan permasalahan paska kegiatan penertiban di level awal. Kegiatan penertiban kadang memberikan rekomendasi pemberian sanksi secara bertahap, khususnya sanksi administrasi. Permasalahan yang sering muncul adalah: 1. Kegiatan penertiban terkesan seperti simbolis, dimana contohnya setelah pemberian surat peringatan sebanyak 3 x kemudian pemasangan papan peringatan namun setelah lewat masa peringatan tetap tidak ada kegiatan penertiban lanjutan. Hal ini mengakibatkan kegiatan penertiban menjadi kurang wibawanya dan tidak menimbulkan efek jera. 2. Kurangnya sumberdaya manusia (SDM) yang melakukan penertiban. Hal ini menjadi masalah klasik bahwa di beberapa kabupaten/kota di Indonesia sangat sedikit PPNS penataan ruang. Bahkan di beberapa daerah tidak ada sama sekali PPNS penataan ruang. Sehingga untuk penindakan kasus pelanggaran penataan ruang yang terancam dengan sanksi pidana menjadi sulit dilaksanakan. 3. Penindakan yang kurang efektif dengan dampak yang ditimbulkan, dimana contohnya ada sebuah perusahaan tambang yang tidak berijin dan diberi surat peringatan untuk penghentian operasi dalam 14 hari, maka yang dilakukan oleh perusahaan adalah justru menggenjot produksi besar-besaran dalam 14 hari dan kemudian baru berhenti di hari ke 15, sehingga dampak kerusakan justru akan meningkat signifikan justru saat surat peringatan diberikan. Contoh lain adalah Implementasi Kebijakan Penyelenggaraan Penertiban Pemanfaatan Ruang 54

Laporan Akhir pengenaan denda yang terlalu kecil dibandingkan dampak kerusakan yang ditimbulkan dari kegiatan 4. Permintaan pencabutan surat peringatan, pada beberapa kasus terjadi penggunaan kekuasaan dari otoritas setempat untuk meminta tim penertiban yang telah memberikan surat peringatan untuk mencabut kembali surat peringatan tersebut dengan alasan-alasan subyektif. Karena kedudukan yang lebih tinggi maka tim penertiban akhirnya terpaksa melakukan tindakan pencabutan. Sehingga wibawa penertiban tata ruang menjadi berkurang. Beberapa permasalahan di atas terjadi karena secara teknis substansional disebabkan oleh: 1. Kepastian hukum yang tertuang dalam pasal-pasal peraturan daerah secara substansi belum operasional; 2. Pengawasan bangunan dan pemanfaatan ruang di lapangan terbatas; 3. Peran masyarakat dalam mengadu bila terjadi pelanggaran ijin dan tata ruang belum optimal; 4. Fungsi koordinasi antar organisasi perangkat daerah dalam peran masing-masing belum maksimal dilakukan; 5. PPNS tata ruang terbatas dan stagnant dalam menjalankan fungsinya, mengingat kedudukan kepegawaian PPNS pada posisi yang rentan. D. Strategi Kebijakan Penertiban Pemanfaatan Ruang Berkenaan dengan berbagai hal di atas, diperlukan strategi baru agar agenda penertiban pemanfaatan ruang dapat berjalan efektif dan berkontribusi dalam terwujudnya tertib pemanfaatan ruang. Berdasarkan permasalahan umum yang dijumpai pada berbagai wilayah yang menjadi objek audit tata ruang terpilih, maka strategi kebijakan penertiban pemanfaatan ruang dibedakan ke dalam aras regulasi, SDM dan kelembagaan serta pembiayaan. 1. Penguatan Regulasi. Penguatan regulasi merupakan strategi utama untuk mendorong terselengaranya agenda penertiban pemanfaatan ruang. Audit tata ruang yang menjadi titik masuk dalam penindakan dan penertiban pemanfaatan ruang belum secara masif ditindaklanjuti. Kondisi ini terjadi karena secara nasional maupun daerah belum ada Implementasi Kebijakan Penyelenggaraan Penertiban Pemanfaatan Ruang 55

Laporan Akhir regulasi yang dijadikan dasar operasional penindakan dan penertiban. Oleh karena itu, perlu adanya regulasi pada level peraturan Menteri dan peraturan daerah pada level daeragh terkait pedoman teknis penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang; 2. Penguatan SDM PPNS Penataan Ruang. Secara teknis kapasitas dan kompetensi PPNS Penataan Ruang dapat dikatakan sudah memadai, tetapi secara politis belum. Kedudukan PPNS Penataan Ruang sebagai bagian dari OPD di wilayah kabupaten/kota maupun provinsi berada pada posisi sub ordinat dari kepala daerah. Kondisi seperti ini menyebabkan PPNS Penataan Ruang tidak dapat menjalankan tugas, fungsi dan kewenangannya secara optimal; 3. Penataan Kelembagaan. Dalam hal ini penataan kelembagaan dilakukan diprioritaskan pada pengelolaan SDM, baik SDM PPNS Penataan Ruang maupun SDM penataan ruang secara umum. PPNS Penataan Ruang secara kelembagaan lebih tepat menjadi organ pemerintah pusat yang ditugaskan di daerah. Untuk memperkuat kinerja PPNS tersebut, pada level provinsi juga ada SDM penataan ruang yang bersifat vertical. Dalam hal ini fungsi penataan ruang (pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan) dapat dimasukkan pada organ pemerintah pusat yang ada di daerah, yakni pada kantor wilayah BPN; 4. Pengalokasian Anggaran Penertiban Pemanfaatan Ruang pada APBD. Selama ini kegiatan terkait penertiban pemanfaatan ruang selalu tergantung alokasi anggaran pada pemerintah pusat melalui Direktorat Penertiban Pemanfaatan Ruang. Oleh karena itu, dibutuhkan political will dari kepala daerah untuk menempatkan agenda penertiban pemanfaatan ruang sebagai agenda prioritas sekaligus mengalokasikan anggaran yang memadai dalam rangka pelaksanaan agenda penertiban. Implementasi Kebijakan Penyelenggaraan Penertiban Pemanfaatan Ruang 56

Laporan Akhir BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan 1. Kondisi kebijakan penertiban pemanfaatan ruang masih berupa regulasi terkait dengan audit tata ruang dan Penyidik Pengawai Negeri Sipil (PPNS), belum menyentuh pada operasionalisasi kegiatan penertiban dan penindakan pelanggaran pemanfaatan ruang; 2. Implementasi kebijakan penertiban pemanfaatan ruang dalam beberapa aspek sudah cukup memadai, seperti dalam dalam bentuk sosialisasi, pembinaan maupun alokasi anggaran kepada beberapa pemerintah daerah untuk kegiatan audit tata ruang. Namun beberapa aspek masih berupa implementasi simbolik, terutama dalam implementasi penertiban pasca audit tata ruang. 3. Agar dapat berjalan dengan baik, agenda penertiban pemanfaatan ruang perlu diperkuat melalui berbagai kebijakan yang lebih operasional sebagai tindaklanjut hasil audit tata ruang serta penataan kelembagaan terkait penertiban pemanfaatan ruang. Beberapa strategi yang dapat dikedepankan agar agenda penertiban pemanfaatan ruang dapat berjalan dengan baik adalah: (a) penguatan regulasi; (b) penguatan SDM yang terkait dengan agenda penertiban dan penindakan pelanggaran tata ruang; (c) penataan kelembagaan, baik terkait PPNS maupun penempatan fungsi penataan ruang pada Kanwil BPN Provinsi; serta (d) pengalokasian anggaran penertiban pemanfaatan ruang, baik melalui APBN maupun APBD. B. Rekomendasi 1. Berdasarkan hasil riset ini perlu dilakukan kajian atau langsung dilakukan penataan kelembagaan terkait agenda penertiban pemanfaatan ruang, utamanya keberadaan PPNS Penataan Ruang; 2. Hasil riset ini belum merepresentasikan implementasi kebijakan penertiban pemanfaatan ruang, mengingat cakupan wilayah dan ketersediaan datanya sangat terbatas. Oleh karena itu hasil penelitian ini perlu ditindaklanjuti dengan penelitian lanjutan dengan lingkup wilayah yang lebih luas dan dengan data yang lebih beragam. Implementasi Kebijakan Penyelenggaraan Penertiban Pemanfaatan Ruang 57

Laporan Akhir 3. Penguatan regulasi untuk mendorong terselenggaranya agenda penertiban pemanfaatan ruang perlu dibuat dalam bentuk Peraturan Menteri dan peraturan pada level daerah terkait pedoman teknis penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang; 4. Penguatan SDM PPNS Penataan Ruang bisa dilakukan dengan penataan kelembagaan, yaitu dengan adanya penempatan PPNS dan fungsi penataan ruang pada Kanwil BPN Provinsi. PPNS Penataan Ruang secara kelembagaan lebih tepat menjadi organ pemerintah pusat yang ditugaskan di daerah; 5. Pengalokasian Anggaran Penertiban Pemanfaatan Ruang pada APBD perlu dilakukan karena selama ini kegiatan terkait penertiban pemanfaatan ruang selalu tergantung alokasi anggaran pada pemerintah pusat melalui Direktorat Penertiban Pemanfaatan Ruang. Implementasi Kebijakan Penyelenggaraan Penertiban Pemanfaatan Ruang 58

Laporan Akhir DAFTAR PUSTAKA Ahluwalia, I. J., & Kanburand, R. (2011). Planning for urban development in India. ICRIER Paper, Indian Council for Research on International Economic Relations (ICRIER), New Delhi. Ahsan, R., & Quamruzzaman, J. M. (2009). Informal housing and approaches towards the low-income society in developing countries (Doctoral dissertation, TASA). Alterman, R. (2014). Planning laws, development controls, and social equity: Lessons for developing countries. World Bank Legal Rev., 5, 329. Dethier, J. J. (2017). Trash, cities, and politics: Urban environmental problems in Indonesia. Indonesia, (103), 73-90. Dinas Tata Ruang dan Pertanahan Kabupaten Gunung Kidul, (2019). Laporan Akhir Audit Tata Ruang. Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul. Daerah Istimewa Yogyakarta. Ditjend Penataan Ruang. tt. Manual Membaca Rencana Tata Ruang Wilayah. Kementerian Freire, M. (2006, August). Urban planning: Challenges in developing countries. In International congress on human development, Madrid. Hadimoeljono, B. (2013). “Pengendalian Pemanfaatan Ruang: Mencari Kelembagaan Pemanfaatan Ruang yang Efektif” dalam Buletin Tata Ruang dan Pertanahan. Edisi II Tahun 2013. Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas. Jakarta. Hadi Sabari Yunus, (2000). Struktur Tata Ruang Kota. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Mutaáli, L. (2013). Penataan Ruang Wilayah dan Kota. Badan Penerbit Fakultas Geografi (BPFG) Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. ___________, (2014). Perencanaan Pengembangan Wilayah Berbasis Pengurangan Resiko Bencana. BPFG UGM. Yogyakarta Roy, A. (2009). Why India cannot plan its cities: Informality, insurgence and the idiom of urbanization. Planning theory, 8(1), 76-87. Server, O. B. (1996). Corruption: A major problem for urban management: Some evidence from Indonesia. Habitat International, 20(1), 23-41. Implementasi Kebijakan Penyelenggaraan Penertiban Pemanfaatan Ruang 59

Laporan Akhir Sutaryono, (2007). Dinamika Penataan Ruang dan Peluang Otonomi Daerah. TuguJogja Grafika. Yogyakarta. ________, (2016). “Quovadis Integrasi Agraria dan Tata Ruang”. Opini Harian KOMPAS, 29 Agustus 2016, Jakarta. ________, (2017). Alternatif Penyelesaian Permasalahan Penataan Ruang Berbasis Land Management. Jurnal Pertanahan Volume Nomor 1, November 2017, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. _________, (2017). “Tata Ruang Vs Tata Uang”. Analisis Harian Kedaulatan Rakyat, 9 November 2017. Yogyakarta. ________, (2019). “Percepatan RDTR”. Opini Harian Kedaulatan Rakyat, 11 Nopember 2019. Yogyakarta. Implementasi Kebijakan Penyelenggaraan Penertiban Pemanfaatan Ruang 60


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook