Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Bab 06 Menandatangani Informed Consent

Bab 06 Menandatangani Informed Consent

Published by haryahutamas, 2016-08-22 10:03:08

Description: Bab 06 Menandatangani Informed Consent

Search

Read the Text Version

Menandatansani \"Intormcd Consent\"S ebagai suatu \"dol<trin import\" lembaga Informed Consent kini tampaknya mulai banyak dipersoalkan. Masalah-masalah mengenaipenanda-tanganan, pemberian informasi, dan Iain-Iain yang menyangkutInformed Consent mulai mencuat ke permukaan. Dengan terbitnyaPermenkes No. 585 pada tahun 1989 tentang Persetujuan TindakanMedik sebenarnya Informed Consent sudah menjadi hukum. Kalaudihitung sejak terbitnya maka 14 tahun telah berlalu. Empat belas tahunbukan waktu singkat, namun tampaknya Informed Consent xv(as\\\ belumcukup diserap substansinya dalam pelaksanaan praktek sehari-hari dirumah-rumah sakit. Sebagai peraturan hukum. Informed Consent sudahseharusnya diterapkan pada pelaksanaan tindakan-tindakan mediktertentu. Namun apa kenyataannya ? Sampai sekarang InformedConsent masih belum begitu dipahami dan dilaksanakan sebagaimanamestinya. Karena masih banyak yang menganggap. bahwa penanda-tanganan formulir Informed Consent yang sudah disediakan di rumah-rumah sakit hanya bersifat formalitas belaka. Namun mau tidak mau,suka atau tidak suka. Informed Consent dengan arus globalisasi punsudah memasuki negara kita. *Suatu Peraturan hukum baru bisa berlaku jika sudah memenuhi 3 syarat:yuridis, filosofis dan sosial. Namun tampaknya Informed Consent hanyabaru memenuhi syarat pertama saja. Secara filosofis dan sosial ia belumbegitu diterima, karena berlainan dengan filsafat dan sosial-budayamasyarakat kita. Hal ini bukan saja terjadi di negara kita, namun juga dinegara Asia lainnya. Ambil contoh misalnya di Jepang. Antara mana ProfMassahiro Morioka pada Japan Bioethics Conggress di Kyoto pada tahun1994 pernah mengatakan sebagai berikut: \"Konsep Informed Consent \tuseharusnya diberlakukan bukan sebagai kontrak antara \"Dokter-Pasien\" 37

saja, tetapi harus sebagai persetujuan bersama antara \"Pasien - Dol<ter- Famili pasien\"Yr/7e concept of Informed Consent as to be applied not as a \"Doctor-Patient\" contract, but as a mutual agreement among Patient, Doctor, and Patient's family).Tampal<nya dahulu di Jepang pun telah mengalami kesukaran dalampengetrapan doktrin Informed Consent itu. Mungkin karena doktrin iniberasal dari negara Amerika (Barat) yang masyarakatnya bersifatindividualistis, sedangkan negara-negara Asia (termasuk Indonesia)masih bersifat kekeluargaan. Namun tampaknya sosial-budaya kinisedikit-sedikit sudah mulai mengalami erosi. Karena dengan kemajuanzaman unsur-unsur dan nilai-nilai baru yang masuk merembes masuksudah mulai mempengaruhi sikap-tindak masyarakat. Misalkanhubungan orang tua - anak, hubungan antar keluarga tampaknya sudahtidak se-erat seperti dahulu satu dekade yang lalu.Kalau dilihat pada sejarah, maka dahulu kala pada zaman Yunani danRomawi kuno dikatakan bahwa para dokter sebelum melakukan suatutindakan medik se;dapat mungkin berusaha agar memperolehpersetujuan dari pasiennya terlebih dahulu, untuk tujuan murnitherapetik. Mereka berpendapat bahwa penyembuhan pasien akan lebihcepat apabila pasien itu sendiri juga berpartisipasi di dalam prosespenyembuhannya. Tidak ada formulir, tidak ada penanda-tanganan,tidak ada penuntutan malpraktek medik.Kemudian cikal-bakal Informed Consent sudah timbul sejak kasus\"Schloendorff v. New York Society of Hospitals\" pada tahun 1914. Didalam keputusannya oleh Hakim Benjamin Cardozo dikatakan bahwa:\"Setiap manusia dewasa dan berpikiran sehat berhak untuk menentukanapa yang dikehendaki terhadap dirinya sendiri; dan seorang dokterbedah yang melakukan operasi tanpa izin pasien, dianggap telah me-lakukan pelanggaran untuk mana ia bertanggungjawab atas kerugiannya\".Untuk kembali lagi ke negara kita, maka akhir-akhir ini masalahpenanda-tanganan formulir Informed Consent mulai banyak diper-bincangkan. Siapa yang berhak menanda-tanganinya? Jika dibandingkandengan kehidupan sehari-hari: bila seorang anak A menandatanganicheck ayahnya X untuk diuangkan, maka tindakan ini bisa termasuk38

tindakan kriminal. Namun jika anak tersebut menanda-tangani formulir Informed Consent untuk bapaknya yang harus dioperasi, maka hal ini bisa sah-sah saja, Karena maksudnya adalah supaya ayahnya bisa sembuh dari penyakitnya. Apa benar demikian halnya ? Apakah benar penandatangan formulir tersebut oleh anaknya sah menurut hukum ? Kalau demikian apa dasar hukumnya ? Untuk ini harus kita beralih kebidang Hukum Kedokteran yang mempunyai beberapa ciri khusus.Cabang ilmu hukum ini, misalnya yang menyangkut doktrin Informed•Co/75e/7f bukanlah sesuatu yang harus dan dapat ditafsirkan secara \"strictjuridiscti\". Ia bersifat kasuistis dan fleksibel yang sangat tergantungkepada: (1) pertimbangan dan penilaian dokter, (2) Situasi dan kondisipasien, (3) risiko dari prosedur tersebut, dan (4) sosial-budayamasyarakatnya. *Sebagai ilustrasi misalnya berita suatu kasus beberapa tahun yang lalu.Pasien X dioperasi testikelnya dan ternyata sebagai akibat operasi katapasien kini ia menjadi \"tak berdaya\". Isterinya katanya juga mengajukangugatan cerai. Menurut keterangan pasien ia tidak diberikan penjelasanapa yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan ia juga tidak menanda-tangani formulir Informed Consent Padahal ia dalam keadaan sadar(yuridis: kompeten). Yang menanda-tangani adalah 4 anak dan seorangmenantunya. Timbul pertanyaan: Apakah dokter itu bisa dituntut karenamalpraktek medik karena tidak memberi penjelasan dan tidak memintapasien menandatangani formulir persetujuan ? Apakah anak-anak danmenantunya ~ walaupun untuk tujuan baik - yang menandatanganisurat persetujuan dapat dituntut juga ?Masalah Hukum Kesehatan (Kedokteran) termasuk cabang ilmu hukumyang khas. Ia mempunyai beberapa asas dan doktrin khusus yangmungkin tidak dapat diperlakukan terhadap cabang ilmu hukum lainnya.Agar tidak keliru harus dipelajari seluk-beluknya dengan seksama.Mengapa ? Kasus hukum kedokteran bersifat kasuistis, sehingga padasetiap kasus harus diketahui secara mendetil dahulu duduk persoalan-nya. Menurut dugaan kemungkinan kasus ini termasuk kelompok \"life-saving\", untuk menolong jiwa pasien. Keadaannya sudah gawat dansifatnya mendesak. Kalau ditunda-tunda atau tidak dilakukan, pasienbisa meninggal. 39

Timbul pertanyaan-pertanyaan: Mengapa dokternya tidak memberitahukan kepada pasiennya ?Mengapa tidak secara langsung minta pasien itu sendiri menanda-tangani formulir persetujuan ?Mengapa yang menanda-tangani bahkan adalah anak-anak danmantunya ? Mengapa dokternya berani melakukan pembedahan jugatanpa ada tanda-tangan pasien pada formulirnya ?Apakah dokternya bisa dituntut atas dasar penganiayaan ?Apakah anak dan mantunya dapat dituntut juga ?Inilah merupakan persoalan hukum yang pelik yang tidak dapatdiputuskan berdasarkan aturan hukum yang umum. Harus ditimbangberdasarkan Hukum Kedokteran yang sudah banyak yurisprudensi dankepustakaannya.Di dalam literatur saya temukan sebuiah kasus yang mirip, yaitu kasus:\"Marshall v. Curry, 3 DRL 260,1933Duduk persoalannya adalah sebagai berikut. Pada saat melakukan suatuoperasi hernia, dokter bedahnya melihat bahwa testikel kiri pasien sudahterinfeksi parah. Karena pasien sedang dibius total, maka oleh doktermengambil inisiatif untuk mengangkat testikel kiri itu tanpa mintapersetujuan pasien lagi, karena sangat berbahaya dan bisa timbulgangren dan menjadi septikemia. Pasien menuntut atas dasarpelanggaran hukum, namun ditolak oleh hakim. Hakim merasa puas ataspenjelasan dokter, karena testikel yang sudah membusuk itu haruslangsung dibuang. Jika tidak, kesehatan dan jiwa pasien itu sangatterancam. *Kemungkinan skenarionya kasus pasien X. yang pertama tadi :Dokternya tidak langsung memberitahukan kepada pasiennya, karenamelihat situasi dan kondisi pasiennya pada waktu itu. Timbulpertanyaan: Apakah seorang dokter wajib untuk memberikan informasilangsung kepada pasiennya ? Jawabnya: Ya, pada umumnya seharusnyademikian. Namun apabila pemberian informasi secara langsung akanbisa memperburuk keadaan pasien, informasi itu dapat diberikan secara40

tidak langsung melalui anggota keluarga terdekat (suami atau isteri,anak, orang-tua, saudara dan lain-lainnya). Bisa saja dokternyaberunding dengan anak-anaknya terlebih dahulu. Mungkin ataspermintaan anak- anaknya juga yang meminta agar tidak diberitahukankepada ayahnya. Hal semacam ini banyak terjadi di masyarakat kita.Kasus semacam juga terjadi di negara-negara Barat.Pertanyaan lain: seorang pasien yang berada dalam keadaan sadar dandirawat di rumah sakit untuk kemudian didorong masuk ke kamar bedahapakah tidak akan bertanya: mengapa dimasukkan ke Kamar Bedah danhendak diapakan ? Mengapa pasien X ini sampai diam saja ? Pasientersebut bisa saja menolak. Apakah ada unsur pemaksaan ? Atau apakahpasien itu sendiri sudah berikan persetujuan secara tersirat(stilzwijgenci) ? Sebagaimana diketahui suatu persetujuan tindakanmedik dapat dilakukan secara: lisan, tertulis, dianggap diberikan(implied atau presumed consent), atau diwakilkan (substitutedatau proxy-consent). Bahkan perkembangan baru melalui Internetterdapat uraian bahwa di beberapa negara bagian di Amerika bisadiberikan per audio, video, dan juga per telpon, tentunya dalam situasidan kondisi khusus dengan dipenuhi syarat-syarat tertentu.Timbul pertanyaan lain: menurut hukum siapa yang harus menanda-tangani formulir tersebut ? Yang pertama tentunya pasien itu sendirikalau pasien dalam keadaan sadar. Kalau pasien dalam keadaan tidaksadar oleh anggota keluarga terdekat. Kalau pasien belum dewasa olehorang-tuanya. Namun di dalam prakteknya sering terjadi walaupunpasien dalam keadaan sadar dan ingin menanda-tangani sendiri, banyakdokter yang masih juga meminta anggota keluarganya turutmenandatangani. Mengapa ? Hal ini menyangkut sosial-budaya sepertitelah disinggung di atas. Doktrin Informed Consent ada\ah barang impordari negara Barat yang bersifat individualistis, Menurut hemat sayaPeraturan Menteri Kesehatan tentang Informed Consent tersebut sudahwaktunya ditinjau kembali dan disesuaikan dengan sosial-budayamasyarakat kita.Dalam kasus seperti tersebut di atas kemungkinan dokter memakaidoktrin 'Therapeutic priviiege\". Doktrin ini mengatakan bahwa seorangdokter boleh berpendapat untuk tidak menjelaskan atau meminta izindari pasien terlebih dahulu untuk melakukan suatu tindakan mediktertentu. Dasar pemikirannya adalah berdasarkan pertimbangan dokter 41

di dalam kasus khusus tersebut sebaiknya tidak diberitahukan lebih dahulu kepada pasien. Hal ini misalnya jika seorang pasien itu adalah sedemikian ketakutar dan stress, sehingga jika diberikan informasi dan diminta persetujuannya bahkan pasien akan tidak bisa mempertimbang- kannya secara ras\on'\\ (patient's best interests). Pertanyaan lain adalah: jika sudah menanda-tangani formulir Informed Consent, apakah pasien harus menerima saja apa yang terjadi dan dokter tidak bisa digugat lagi, juga apabila ternyata terdapat keialaian ?Jawabnya: Tentu tidak ! Penandatanganan formulir tersebut adalah hanya sekedar bukti bahwa pasien sudah menyetujui dilakukan pembedahan atau tindakan lain terhadap dirinya. Tidak membebaskandokter terhadap keialaian yang dilakukan. Kalau begitu apa fungsinyasecarik kertas yang ditanda-tangani itu bagi sang dokter ? Pembuktian bagi dokter lebih mudah. Selain itu dapat dikaitkan dengan pasal 352 KUH Pidana tentang Penganiayaan. Melakukan penganiayaan berartimelukai seseorang, baik dengan alat atau tidak. Seorang dokter yangmelakukan operasi usus buntu misalnya tanpa persetujuan pasien ~walaupun tujuannya untuk menyembuhkan - secara yuridis telahmemenuhi perumusan pasal pidana tentang penganiayaan. Misalnyakarena untuk melakukan operasi harus dipakai pisau operasi untukmenggores kulit dan tubuh pasien untuk bisa mengeluarkan/membuangusus buntu yang meradang. Maka diperlukan pembenarannya Qustifikasilegal). Namun sebaliknya tidak dapat digeneralisir bahwa kalau hasilnyanegatif (adverse outcome) tidaklah lantas berarti bahwa dokternyapasti berbuat keialaian. Harus diteliti dahulu situasi dan kondisinya(umur pasien, keadaan penyakitnya, daya-tahan tubuhnya, adakomplikasi atau tidak, dll). Demikian pula seorang dokter spesialisanestesi yang turut membantu dalam tindakan operasi pasien. Untukdapat dilakukan operasi oleh dokter spesiailis bedah, harus didahuluioleh tindakan pembiusan oleh dokter spesialis anestesi. Dan tindakanpembiusan - menurut hukum - sama dengan melakukan tindakankekerasan seperti tercantum di dalam KUH Pidana pasal 89 tentangkekerasan (geweld). Maka di dalam setiap formulir Informed Consentjuga harus disebut persetujuan tentang pemberian anestesinya.42

Kesimpulan:Informed Consent adalah suatu proses komunikasi antara dokter danpasien yang timbul-balik. Informasinya harus diberikan oleh doktersecara pribadi yang melakukan tindakan medik tersebut, karena iaIahyang bertanggung-jawab sepenuhnya, bukan rumah sakit atauperawatnya. Rumah sakit hanya menyediakan formulirnya dan melaluiperawatnya hanya sekedar membantu dan memeriksa segi administratif-.nya, yaitu membantu mengecheck apakah sudah ada persetujuan ataubelum. Jika belum ada penanda-tanganan formulir tersebut, sangperawat harus langsung memberitahukan dokternya. Dalam kaitan InfonriedConsent, rumah sakit secara yuridis tidak mempunyai tanggung-jawab.Sebaiknya Permenkes No. 585 tahun 1995 yang mengatur tentangInformed Consent dinaikkan tingkatnya menjadi Peraturan Pemerintah.Pula perlu dikaji ulang gagasan tentang perluasan Informed Consentmencakup hubungan antara \"Dokter-Pasien-Keluarga pasien\". 43