Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Bab 11. Uji diagnostik

Bab 11. Uji diagnostik

Published by haryahutamas, 2016-04-02 01:03:47

Description: Bab 11. Uji diagnostik

Search

Read the Text Version

Bab LL- Uii diagnostik Hardiono D Pusponegoro, I G N Wila Wirya*, Anton H Pudiiadi, Julfina Bisanto, Siti Z Zulkarnain alam tugasnya sehari-hari salah satu hal yang rutin dilakukan dokter adalah menentukan diagnosis penyakit setiap pasien. Penentuan jenis penyakit atau kondisi kesehatan sangat mutlak, oleh karena dengan diagnosis inilah kepada pasien akan diberikan pengobatan yang sesuai dan selanjutnya dapat diramalkan apa yang akan terjadi pada pasien. Diagnosis yang salah atau tidak tepat dapat membawa rentetan kesalahan yang dapat berujung pada kerugian bagi pasien maupun keluarganya, bahkan dapat berakibat fatal. Secara tradisional diagnosis pada pasien ditegakkan atas dasar komponen-komponen berikut: (1) anamnesis, (2) pemeriksaan fisis, (3) pemeriksaan penunjang. Paradigma penegakan diagnosis tersebut akan berlangsung selamanya; tidak ada pemeriksaan fisis yang dilakukan tanpa anamnesis, tidak ada pemeriksaan penunjang tanpa dasar anamnesis dan pemeriksaan fisis, dan hasil pemeriksaan penunjang tidak dapat dimaknai dengan memadai tanpa informasi yang cukup yang diperoleh dari anamnesis dan pemeriksaan fisis. Uraian di atas sekaligus memberikan ilustrasi bahwa anamnesis dan pemeriksaan fisis sebenamya adalah alat diagnosis utama. Oleh karenanya setiap dokter harus mahir dalam melakukan wawancara. \"Listen to them; they are telling you the diagnosis\" adalah nasihat yang patut diikuti. Setiap dokter harus mendengarkan baik-baik keluhan *rf

220 Ujidiagnostik dan riwayat penyakit yang diutarakan pasien, karena pada dasamya pasien tersebut sedang menuntun kita unfuk dapat menegakkan diagnosis dengan benar. Pemeriksaan lain yang diperlukan harus berdasar pada anamnesis dan pemeriksaan fisis yang akurat. Dengan demikian maka pada dasarnya uji diagnostik untuk menentukan ada atau tidaknya penyakit merupakan proses yang bertingkat. Dapat dikatakan tidak terdapat penyakit atau kondisi kesehatan yang dapat ditegakkan diagnosisnya hanya dengan satu pemeriksaan (suatu proses univariat). Uji diagnostik yang banyak dimuat dalam jurnal-jurnal kedokteran sebenarnya merupakan uji spesifik untuk penyakit atau kondisi tertentu setelah pendekatan diagnosis lain (anamnesis, pemeriksaan fisis, serta mungkin juga pemeriksaan penunjang lain - jadi proses multivariat). Pada uji diagnostik Rnpid Tesf untuk malaria, misalnya, subyek penelitian adalah anak dan orang dewasa yang tinggal di daerah endemik malaria (anamnesis), demam 3 hari atau lebih (anamnesis), dengan atau tanpa splenomegali (pemeriksaan fisis). Pada uji untuk menilai kemampuan ultrasonografi membedakan tumor tiroid jinak afau ganas, subyek yang diteliti adalah penderita tumor soliter di tiroid yang sudahbelangsung lama (anamnesis), tanpa peradangan (anamnesis dan pemeriksaan fisis), mudah digerakkan terhadap dasarnya (pemeriksaan fisis), tidak nyeri tekan (pemeriksaan fisis), dan seterusnya. Jadi uji diagnostik spesifik yang dipelajari hanya menambah (memiliki added z,talue) terhadap uji diagnostik yang sudah dilakukan sebelumnya (sekali lagi: anamnesis, pemeriksaan fisis, dan mungkin pemeriksaan penunjang lain yang lebih sederhana). Memilih pemeriksaan diagnostik yang tepat bukanlah hal yang mudah. Uji diagnostik dapat dilakukan secara bertahap (serial), atau sekaligus beberapa uii diagnostik (paralel). Pada uji serial, pemeriksaan dilakukan secara bertahap; perlu atau tidaknya pemeriksaan selanjutnya ditentukan hasil pemeriksaan terdahulu. Misalnya untuk penegakan diagnosis tuberkulosis paru pada anak, foto toraks baru dikerjakan apabila uji tuberkulin memberi hasil positif. Pada uji paralel, beberapa pemeriksaan dilakukan sekaligus; hal ini biasa dilakukan pada kasus yang memerlukan diagnosis yang cepat atau kasus gawat-darurat; misalnyapadapasien dengan *t

Hardbno D Pusponegoro dkk. 221kesadaran menurun perlu dilakukan pemeriksaan kadar guladaratr, ureum, funduskopi, dan CT-scan kepala bukan dilakukansatu demi sahr, melainkan secara simultan Tidak semua uji diagnostik mempunyai kegunaan yang sama.Uji diagnostik dapat dibagi berdasarkan pada kegunaannya seperrtiuntuk skrining pada subyek asimtomatis, atau untuk memastikanatau menyingkirkan diagnosis, unfuk memantau perjalanan klinis,untuk menentukan prognosis, dan lain-lain. Perbedaan tersebutberimbas pada perbedaan karakteristik uji yang digunakan; ujidiagostik yang sesuai untuk skrining tidak sesuai bila digunakanuntuk menegakkan diagnosis atau memantau perjalanan penyakitselama pengobatan. Uji diagnostik yang ideal jarang ditemukary yaitu uji yang pastimemberikan hasil positif pada semua subyek yang sakit, sertamemberi hasil negatif pada semua subyek yang tidak sakit. Karenaitu maka hampir.pada semua jenis penyakit orang terus-menerusmelakukan penelitian untuk memperoleh uji diagnostik baru.Pertanyaannya adalah apakah penelitian tersebut telah dilaksanakandengan baik, hasilnya penting, dan dapat diterapkan dalam tatalaksana pasien? Dalam bahasa eaidence-based medicine pertanyaanyang harus dijawab adalah apakah penelitian uji diagnostik tersebutsahih (aalid), hasilnya penting, dan dapat diterapkan dalam praktik? Dalam bab ini diuraikan prinsip dasar dan langkah-langkah dalammelakukan uji diagnostik, karakteristik serta manfaat uji diagnoStik.Pada akhir babdikemukakan satu contoh uji diagnostik sederhana. Tuluax ulr DrAGNosrrKTelah disebutkan bahwa sedikit sekali uji diagnostik yang ideaf artinyauji yang memberikan hasil positif pada 100% subyek yang sakit sertamemberikan hasil negatif pada subyek yang tidak sakit. Pengembanganuji diagnostik dapat mempunyai beberapa tujuan, temasuk:1 Untuk menegakkan diagnosis penyakit atau menyingkirkan penyakit. Meskipun tidak ideal, uji diagnostik untuk keperluan ini harus sensitif (kemungkinan negatif semu kecil), sehingga Gjf

222 Ujidiagnostik bila didapatkan hasil normal (hasil uji negatif) dapat digunakan untuk menyingkirkan adanya penyakit. Ia juga harus spesifik (kemungkinan hasil positif semu kecil), sehingga apabila hasilrrya abnormal dapat digunakan untuk menentukan adanya penyakit. Mnemonik (\"jembatan keledai\") dalam bahasa Inggris yang sering digunakan adalah SnNOut (with Sensitioe test, Negatizte result rules Out the disease) dan SpPIn (with Specific test, Positizte result rules In the disesse). Untuk keperluan skrining. Skrining dilakukan untuk mencari penyakit pada subyek yang asimtomatik, untuk kemudian dapat dilakukan pemeriksaan selanjutnya agil diagnosis dini dapat ditegakkan. Uji diagnostik untuk keperluan skrining harus memiliki sensitivitas yang sangat tinggi meskipun spesifisitasnya sedikit rendah. Penyakit yang perlu dilakukan skrining memiliki syarat- syarat sebagai berikut: o Prevalens penyakit harus cukup tinggi, meski kata 'tinggi' ini sifatnya relatif . Penyakit tersebut menunjukkan morbiditas dan I atau mortalitas yang bermakna apabila tidak diobati o Harus tersedia terapi atau intervensi yang efektif yang dapat mengubah perjalanan penyakit . Pengobatan dini harus memberikan hasil yang lebih baik ketimbang pengobatan pada kasus yang lanjut Contoh skrining yang baik adalah uji tuberkulin pada anak. Keempat syarat tersebut terpenuhi, yakni oleh karena prevalens tuberkulosis di Indonesia tinggi, apablla tidak diobati akan menyebabkan mordibitas dan mortalitas yang bermakna, terdapat pengobatan yang efektil dan pengobatan dini akan memberikan hasil yang jauh lebih baik. Di banyak negara, skrining juga dilaksanakan terhadap beberapa inborn error of metabolisms seperti fenilketonuria (PKU) atau hipotiroidisme pada bayi baru lahir, meski insidens kelainan tersebut, dipandang dengan kacamata kita saat ini, tidak dapat dikatakan tinggi. Contoh skrining yang tidak layak dilakukan adalah foto toraks untuk mendeteksi kanker parr); karena meskipun misalnya ili

Hardiono D Pusponegoro dlck. 223 prosedur tersebut sensitif, namun bila kanker Paru sudah terdeteksi dengan foto rontgeru tidak atau belum tersedia cara pengobatan'dini' yang memberi kesembuhan yang lebih baik (dengan kata lain diagnosis dini tidak mengubah prognosis). Untuk pengobatan pasien. Dalam pengobatan pasien, uji diagnostik sering dilakukan berulang-ulang untuk: o Memantau perjalanan penyakit atau hasil terapi o Mengidentifikasikomplikasi o Mengetahui kadar terapi suatu obat o Menetapkan prognosis o Mengkonfirmasi suatu hasil pemeriksaan yang tak terduga Untuk hal ini, reprodusibilitas uji diagnostik sangatpenting artinya bila uji dilakukan terhadap subyek yang sama pada waktu yang sama, maka uji tersebut harus memberi hasil yang sama pula. Untuk studi epidemiologi. Uji diagnostik yang memberikan hasil yang positif atau negatif sering dipakai dalam survai untuk menentukan prevalens penyakit. Dalam penelitian kohort, uji diagnostik merupakan alat untuk menentukan terjadinya suafu efek, sehingga dapat dihitung insidence rate-nya. Kedua hal tersebut mempunyai nilai yang penting dalam kesehatan masyarakat, untuk penentuan kebijakan, misalnya apakah diperlukan intervensi untuk mencegah atau menanggulangi suatu penyakit yang banyak terdapat dalam masyarakat. PnINSU, DASAR UII DIAGNOSTIKMengapa diperlukan uji diagnostik baru? Ini adalah pertanyaanyang harus dijawab apablla kita ingin melakukan penelitian ujidiagnostik. Uji diagnostik baru harus memberi manfaat yang lebihdibanding uji yang sudah ada, dalam hal ini yang utama adalahmemberikan nilai diagnostik yang lebih baik. Namun dapat pulapenelitian dilakukan untuk memperoleh uji diagnostik baru, yangmeskipun nilainya tidak lebih dari uji diagnostik yang sudah ada,mempunyai beberapa kelebihan, termasuk: ilrf

224 Ujidiagnostik o Nilai diagnostiknya tidak jauh berbeda o Lebih nyaman bagi pasien (misalnya tidak invasif) o Lebih'mudah atau lebih sederhana . Lebih murah atau dapat mendiagnosis pada fase lebih dini Bila uji diagnostik baru tidak mempunyai kelebihan dibanding dengan uji diagnostik yang sudah ada, maka tidak ada gunanya dilakukan penelitian baru. SrnurruR ulr DrAGNosrrK Seperti telah disebutkan pada awal bab, dalam praktik uji diagnostik merupakan pemeriksaan berjenjang, suatu proses multivariat, yakni dari anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan laboratorium rutrry dan uji diagnostik yang menentukan. Alur tersebut harusnya juga dilakukan dalam penelitian uji diagnostik. Namun umumnya yang diteliti adalah uji diagnostik tunggal yang memberikNr added aalue terhadap uji diagnostik yang telah dilakukan berupa anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan laboratorium rutin atau penunjang yang lebih sederhana. Secara umum uji diagnostik mempunyai variabel prediktor yaitu uji diagnostik dan variabel hasil akhir atau outcome yaiht sakit atau tidaknya seorang pasiery yang ditbntukan oleh pemeriksaan dengan baku emas (lihat uraian di bawah). Lihat Gambar 11-L. Kedua jenis pemeriksaan tersebut dilakukan terhadap semua subyek yang telah ditetapkan sebagai peserta penelitian. Pada akhir penelitian hasil kedua pemeriksaan pada semua subyek tersebut dinyatakan dalam bentuk tabel 2 x 2. Ini berarti bahwa baik hasil uji yang diteliti maupun baku emas yang digunakan harus dapat memisahkan subyek menjadi sakit, atau tidak sakit (abnormal ataukah normal). Dengan kata lain hasil uji harus bersifat nominal dikotom. Bila hasil uji merupakan variabel berskala numerik, maka harus dibuat titik potong (cut-off point) untuk menentukan apakah hasil tersebut normal atau abnormal. Keadaan ini memang sesuai dengan praktik sehari-hari. Bagi dokter dan pasien, setelah uji diagnostik dilakukan pertanyaannya adalah apakah pasien sakit atau sehat. s:l

Hardiono D Pusponegoro dkk. 225 Penyokil Yo Tidok JumlohHosiluii Yo PB PS PB+PS NS NB NS+NB Tidok Jumloh PB+NS PS+N8 TotolGambar 11-1. Skema memperlihatkan struktur dasar hasil ujidiagnostik yang menunjukkan hasil terdapatnya penyakit (yangdinyatakan oleh hasil baku emas). pg = positif benar (true positiue),artinya hasil uji menyatakan terdapat penyakit, dan kenyataannyamemang terdapat penyakit; PS = positif semtt(falsepositizte), hasil ujimenunjukkan terdapat penyakif padahal sebenarnya subyek tidaksakit NS = negative semu (false negatiae), hasil uji menunjukkan tidakterdapat penyakit sedang sebenamya subyek menderita penyakit; menunjukkan tidakNB : negatif benar (true negatiae), hasil ujiterdapat penyakit dan memang subyek tidak menderita penyakit. Sxara PENGUKURAN vARTABETDalam Bab 4 telah diuraikan skala pengukuran, yang disinggunglag-i secara ringkas di sini. Hasil pemeriksaan atau pengukuran dapatdinyatakan dalam berbagai skala:1 Skala dikotom, yaitu skala nominal yang mempunyai 2 nilai, misalnya hasil positif-negatif; dalam klinik penilaian ini dikenal sebagai penilaian kualitatif.2 Skala ordinal: misahrya hasil pemeriksaan negatif, positif lemah, positif, positif kuati disebut sebagai penilaian semi-kuantitatif, misalnya protein dalam urin: -/ L t, #, #. #.r

226 Uji diagnostik3 Skala numerilt misalnya kadar gula darah 120 mgldL, kadar kolesterol 225 rngldL, disebut sebagai penilaian kuantitatif. Karena uji diagnostik selalu berbentuk tabel2 x2, makapelbagaiskala tersebut (skala ordinal atau skala numerik) perlu diubah kedalam skala nominal dikotom yaitu normal-abnormaf atau positif-negatif, dengan cara menetapkan titik potong (cut offpoinf) tertentu. Beru EMASBaku emas (gold standard) merupakan standar untuk pembuktianada atau tidaknya penyakit pada pasiery dan merupakan saranadiagnostik terbaik yang ada (meskipun bukan yang termurah atautermudah). Baku emas yang ideal selalu memberikan nilai positifpada semua subyek dengan penyakit, dan selalu memberikan hasilnegatif pada semua subyek tanpa penyakit. Dalam praktik hanyasedikit baku emas yang ideal, sehingga kita harus memakai ujidiagnostik terbaik yang ada, dengan asumsi bahwa uji diagnostiktersebut dapat menetapkan diagnosis secara akurat. Kata 'terbaik' di sini berarti uji diagnostik yang mempunyaisensitivitas dan spesifisitas tertinggi. Baku emas dapat berupa ujidiagnostik lain, biopsi dan pemeriksaan patologi-anatomik, operasi,pemantauan jangka panjang terhadap perjalanan klinis pasien,kombinasi karakteristik klinis dan hasil pemeriksaan penunjang,atau baku lain yang dianggap benar. Dalam kaitan dengan baku emat bila kita ingin menguji suatu ujidiagnostik baru, maka diperlukan beberapa syarat umum berikut:1 Baku emas yang dipergunakan sebagai pembanding tidak boleh mengandung unsur atau komponen yang diuji. Misalnya, kita tidak boleh menguji nilai Apgar 3 komponen dengan nilai Apgar 5 komponen (yang selama ini digunakan) sebagai baku emas.2. Baku emas tidak boleh memiliki sensitivitas dan / atau spesifisitas yang lebih rendah daripada uji diagnotik yang diteliti. Sebagai contotr, kita tidak dapat menilai sensivitas / spesifisitas'magnetic resonance imaging (MRI) yang baru kita peroleh untuk menegakkan diagnosis kelainan intrakranial pada bayi dengan ultrasonografi fit

H ar diono D P usp onegoro dkk. 227 sebagai baku emat hanya karena selama ini ultrasonografi digunakan untuk menegakkan diagnosis kelainan intrakranial. Bila ini dilakukan, maka akan muncul hasil yang'aneh', misalnya sensitivitas dan spesifisitas MRI untuk menentukan terdapatnya tumor intraserebral adalah rendah. Dengan kata lain harus ada inforrhasi a priori bahwa baku emas yang digunakan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebihbaik atau paling tidak sama dengan alat diagnostik yang akan diuji. ANaTTsIS DALAM UII DIAGNoSTIKUji diagnostik esensinya merupakan studi cross-sectional anaLitik;ia mempunyai struktur yangmirip dengan penelitian observasionallain, misalnya studi kasus-kontrol atau studi kohort. Perbedaannyaialah pada penelitian observasi tersebut kita menentukan etiologi,sedangkan pada uji diagnostik kita menentukan bagaimana suatuuji dapat memisahkan antara subyek yang sakit dari yang tidak. Hasil uji diagnostik dinyatakan dalam tabel2 x 2, karenanyadapat saja dilakukan uji hipotesis misalnya uji x2. Namun adanyahubungan bermakna antara hasil uji diagnostik dengan penyakitmisalnya dengan uji x2 saja tidak cukup, hingga diperlukanpertimbangan lain untuk interpretasi hasil uji diagnostik. Contoh Suatu uji diagnostik terhadap 100 pasien limfoma malignum yang dibuktikan dengan biopsi, 65 menunjukkan hasil positif; sedangkan uji diagnostik yang sama terhadap 100 pasien dengan pembesaran kelenjar non-limfoma, hanya 35 yang menunjukkan hasil uji positif. Bila dilakukan uji hipotesis dengan uji x2, terdapat hubungan yang sangat bermakna (p <0,001) antara hasil uji positif dengan terdapatnya limfoma malignum. Lihat Gamb ar 1'1.-2. Namun sebenarnya analisis statistika yang sangat bermakna itutidak banyak memberi informasi. Jumlah pasien yang menderitalimfoma namun memberi hasil negatif pada uji (negatif semu) 1 s !rut

228 Ujidiagnostik Keodoon sebenornyo Limfomo Non-limfomo Jumloh Positif 65 30 95 35 70 r05 uii Negotif Jumloh r00 100 200 Gambar 11-2. Tabel 2 x 2 memperlihatkan hasil pemeriksaan dengan uji diagnostik yang diteliti dan dengan baku emas. Uji kai-kuadrat menunjukkan hubungan yang amat bermakna (p <0.001).sangat besar yakni 35 pasien sehingga tetap diperlukan biopsi;sebaliknya terdapat sebanyak 30 subyek yang tidak sakit namunmenunjukkan hasil positif (positif semu), sehingga terdapat risikomereka akan diobati sebagai limfoma malignum, padahal merekatidak sakit. ]adi hasil uji hipotesis yang sangat bermakna (p<0,001)tidak memberikan informasi apa pun tentang kualitas uji diagnostik.Karenanya diperlukan cara interpretasi yang lain terhadap hasilpengamatan dalam uji diagnostik tersebut yang dapat memberikaninformasi kepada para klinikus dalam penegakan diagnosis suatupenyakit atau kondisi klinis tertentu. SENsruIVITAS DAN sPESIFIsITASSeperti telah disebutkan, penilaian uji diagnostik memberikankemungkinan hasil positif benal positif semu, negatif semu, dannegatif benar. Dalam penyajian hasil penelitian diagnostik, keempatkemungkinan tersebut disusun dalam tabel 2 x 2. Bila hasil positifbenar disebut sel + hasil positi{ semu sel b, hasil negatif semu sel c, dst

H ar diono D P usp onegor o dkk. 229dan hasil negatif benar sel 4 maka hasil pengamatan dapat disusundalam tabel2 x 2 seperti pada Gambar L1,-3. Dari tabel2 x 2 tersebutdapat diperoleh beberapa nilai statistik yang memperlihatkan berapaakurat suatu uji diagnostik dibandingkan dengan baku emas. Dari hasil uji diagnosis harus dapat dijawab dua pertanyaan berikut:1 Bila subyek benar sakif berapa besarkah kemungkinan bahwa hasil uji diagnostik positif atau abnormal? Ini adalah pertanyaan tentang sensitivitas, yang memperlihatkan kemampuan alat diagnostik untuk mendeteksi suatu penyakit. Sensitivitas adalah proporsi subyek yang sakit dengan hasil uji diagnostik positif (positif benar) dibanding seluruh subyek yang sakit (positif benar + negatif semu), atau kemungkinan bahwa hasil uji diagnostik positif bila dilakukan pada sekelompok subyek yang sakit. Pada tabel2 x 2, sensitivitas = a : (a+c). Lihat Gambar 11-3.2 Bila subyek tidak sakit, berapa besar kemungkinan bahwa hasil uji negatif? Ini adalah spesifisitas, yang menunjuk kemampuan alat diagnostik untuk menentukan bahwa subyek tidak sakit. Spesifi sitas merupakan proporsi subyek sehat yang memberikan hasil uji diagnostik negatif (negatif benar) dibandingkan dengan seluruh subyek yang tidak sakit (negatif benar + positif semu), atau kemungkinan bahwa hasil uji diagnostik akan negatif bila dilakukan pada sekelompok subyek yang sehat. Dalam tabel hasil uji diagnostik, spesifisitas = d : (b+d). Lihatlah skema pada Gambar 11-3. Pada contoh limfoma malignum di atas, sensitivitas uji tersebutadalah 65/(65+35) = 65\"/\", atau hanya 65% subyek penderita limfomadapat dideteksi dengan uji diagnostik tersebut. Spesifisitas uji tersebut7 0 I (7 0+30)=7 0\"/\", rnenunjukkan bahwa limfoma malignum dapatdisingkirkan pada 70\"/o pasien pembesaran kelenjar non-limfoma.Sensitivitas dan spesifisitas tersebut tidak memadai sehingga ujidiagnostik tersebut bukanlah uji yang baik. y*gSensitivitas dan spesifisitas disebut sebagai nilai uji diagnostikstabil, oleh karena nilainya (dianggap) tidak berubah pada proporsisubyek sehat dan sakit yang berbeda atau pada prevalens penyakityang rendah maupun yang tingg. Gt

230 Ujidiagnostik Boku emos Positif Negotif Jumloh Positif o*b c*duii b+d o*b*c*d Negotif Jumloh o*c Gambar 11-3. Tabel2 x 2 memperlihatkan hasil uji diagnostik, yakni hasil yang diperoleh dengan uji yang diteliti dan dengan hasil pada pemeriksaan dengan baku emas. Sel a menunjukkan jumlah subyek dengan hasil positif benar; sel b = jumlah subyek dengan hasil positif semu, sel c = subyek dengan hasil negatif semu, sel d : subyek dengan hasil negatif benar. Dari tabel ini dapat dihitung: Sensitivitas = a: (a+c) = d: @+d) Spesifisitas = a: (a+b) = d: (c+d) Nilai prediksi positif Nilai prediksi negatif Ttrrr PoroNG (curorc PorNr)Titik potong atau cutoff poinf adalah nilai batas antara normal danabnormal, atau nilai batas hasil uji positif dan negatif. Apabilapengukuran variabel prediktor (uji) maupun variabel efek (bakuemas) dilakukan dalam skala dikotom yaitu positif dan negatif,maka tidak diperlukan titik potong. Apabila skala hasil pemeriksaanberbentuk ordinal misalnya +, ++, +++, maka dapat ditentukan titikpotongnya, misalnya sampai ++ dianggap normal, dan +++ adalahabnormal. Demikian pula bila hasil pemeriksaan berskala numerik,harus ditetapkan terlebih dahulu titik potongnya. fi {f'-*

Har diono D P uspone gor o dlck. 231 Langkah untuk mengubah variabel ordinal atau numerik menjadivariabel dikotom ini mudah dilakukan dan tidak menyalahi prinsip-prinsip pengukuran (Lihat Bab 4). Pada penentuan titik potong harusdilakukan tawar-menawar, karena pada data yang sama peningkatansensitivitas akan menyebabkan penurunan spesifisitas, dan sebaliknya. Contoh Misalnya kita melakukan uji diagnostik untuk menentukan apakah seorang penderita gagal ginjal ataukah tidak, dengan memeriksa kadarureum darah. Alternatif titik potong kadar ureum adalah 40 atau 50 mg/dl. Bila digunakan titik potong 4Om{dL,maka sensitivitas uji diagnostik lebih tinggi (lebih sedikit diperoleh hasil negatif semu) karena lebih banyak pasien yang didiagnosis sebagai gagal ginial, sedangkan spesifisitasnya rendah (banyak positif semu), karena tidak semua subyek dengan nilai ureum 40 mg/dl sebenarnya mengalami gagal ginjal. Bila titik potong yang diambil 50 mgldl-, maka sensitivitasnya lebih rendah (lebih banyak hasil negatif semu) karena sebagian pasien gagal ginjal dengan nilai ureum belum mencapai 60 mg/dl akan luput dari diagnosis, sedangkan spesifisitas lebih tinggi karena subyek memang benar sakit bila kadar ureum 60 mg/dl. Dalam tawar-menawar ini peneliti harus memperhatikan tujuanutama uji diagnostik tersebut, apakah lebih dimaksudkan untukmenegakkan diagnosis penyakit ataukah untuk menyingkirkanpenyakit. Caranya adalah dengan memperhatikan nilai positif semudan negatif semu. Bila kita ingin menghindari positif semu, misalnyauntuk menentukan apakah pasien perlu operasi berbahaya, makaspesifisitas harus t^gg,meski sensitivitasnya menurun. Bila negatifsemu harus dihindari, misal pada skrining hipotiroid, titik potongdirendahkan agar sensitivitas meningkat meski spesifisitasnya menurun. Rncnrwn IPERATIR ct-tRw (ROC)ROC merupakan cara untuk menentukan titik potong uji diagnostikberupa grafik yang menggambarkan tawar-menawar antara il:l

232 Ujidiagnostik s e n S v i t a s 1 - Spesifisitas Gambar 11-4. Receiaer operator curae, memperlihatkan tawar-menawar antara sensitivitas dan spesifisitas suatu uji diagnostik. Upaya meningkatkan sensitivitas menyebabkan menurunnya spesifisitas, dan sebaliknya.sensitivitas dan spesifisitas. Sensitivitas digambarkan pada ordinatY sedangkan (1-spesifisitas) digambarkan pada absis X. Makin tinggisensitivitas makin rendah spesifisitas, dan sebaliknya (lihat Gambar\L-4). Graflk dapat dibuat manual, atau dengan program komputer. Bila titik potong diambil pada titikA, diperoleh spesifisitas sangattinggi yaitu 1-0 = 1, tetapi dengan sensitivitas yang rendah, yakni0,25. Pada ekstrem lain, misal pada titik D, sensitivitas menjadisangat ti.gg yaitu 1 atat 100\"/\" tetapi spesifisitas hanya 1-0,6 = 0,4.Titik B dan C adalah nilai yang moderat. Pemilihan titik potong inibergantung kepada tujuan uji diagnostik. Bila perlu sensitivitas yangtirggt, geser titik potong ke arah C atau D, sebaliknya bila diperlukanspesifisitas yangtinggi, geser titik potong ke arah B atau A. Garis diagonal terdiri atas titik dengan sensitivitas = 1- spesifisitas.Makin dekat kurva ROC ke garis diagonaf makin buruk hasilnya.Titik potong terbaik adalah titik terjauh di kiri-atas garis diagonal. r #t

Har diono D P usponegor o dkk. 233 PnEvnrENS, p o sr-TEST pRoBABrLrry, eRETEST E posr-TEST IDDSPrevalens adalah proporsi kasus dalam suatu populasi pada suatusaat. Bila prevalens suatu keadaan X di area tertenfu adalah5o/o, makasebelum kita melakukan pemeriksaan apa pun kita anggap bahwakemungkinan tiap orang di daerah tersebut mengalami keadaan Xadalah 5%. Nilai uji diagnostik dilihat dengan kemampuannya untukmenaikkan kemungkinan tersebuf dari5\"/o ke nilai yang lebih tinggi. Nilai uji diagnostik tidak.hanya tergantungpada sensitivitas danspesifisitas, tetapi juga pada prevalens penyakit dalam populasi. Bilaprevalens rendah, kecil kemungkinan subyek dengan hasil uji positifmemang menderita penyakit atau nilai positif semunya sangat tinggi.Pada prevalens rendah, uji yang spesifik lebih penting dibandingkanuji yang sensitif, sebaliknya penyakit yang mempunyai prevalensyang tinggi memerlukan uji yang sensitif. Uji diagnostik untukmencari kasus sindrom nefrotik di populasi anak SMP harus spesifikkarena prevalensnya rendah. Sebaliknya untuk mendeteksi tuli padapopulasi pasien meningitis tuberkulosa yang mendapat streptomisinmemerlukan uji yang sensitif karena prevalensnya sangat ti.ggt. Pada seorang subyek, prevalens penyakit disebut sebagai priorprobability atau pre-test probability, yang menunjukkan besarnyakemungkinan seseorang menderita penyakit berdasarkan ciridemografis dan klinis. Prior probability ini diperkirakan sebelumdilakukan uji diagnostik. Misalny a prior pr ob ability sindrom nefrotikpada anak sekolah (ciri demografis) yang sehat (ciri klinis) hanya1%. Sebaliknya prior probability untuk hiperkolesterolemia padaorang tua (ciri demografis) yang gemuk (ciri klinis) adalah B0%. Statistik lain yang dapat diperoleh adalah pretest odds, yaknibesarnya kemungkinan seseorang sakit dibanding kemungkinania tidak sakit sebelum dilakukan uji (ingat bahwa odds : probabilityI (1-probability).Padatabel2x2pretest odds adala}l.= (a+c) / (b+d).Dalam analisis hasil uji diagnostik pretest odds ini penting, karenapretest odds bila dikalikan dengan rasio kemungkinan (likelihoodratio,lihat bawah) akan menghasilkan post-test oilds, {i.rl

234 Ujidiagnostik Nrrm DUGA (Pnnntcrtlrr rALUES) Setelah hasil uji diagnostik diketahui normal atau abnormal, maka tugas klinikus adalah menentukan ada atau tidak adanya penyakit; untuk itu ia harus menjawab pertanyaan berikut: L Bila hasil uji diagnostik positif, berapa besarkah kemungkinan bahwa subyek tersebut menderita penyakit? 2 Blla hasil uji diagnostik negatif, berapa besarkah kemungkinan bahwa subyek tidak menderita penyakit? Kedua pertanyaan itu dapat dijawab dengan menggunakan statistik lain dari uji diagnostik, yang disebut sebagai nilai duga (preilictioe aalue) suatu uji diagnostik. Nilai duga ini terdiri atas dua jenis, yakni nilai duga positif dan nilai duga negatif. Nilai duga positif (ND+, atau NDP), disebut pula sebagai predictiae oalue of a positizte test (PV+) ataupositioe preilictiae aalue (PPV) adalah probabilitas seseorang benar-benar menderita penyakit bila hasil uji diagnostiknya positif. Dalam tabel2 x 2, NDP adalah perbandingan antara subyek dengan hasil uji Positif Benar dengan Positif Benar + Positif Semu, atau NDP = a : (a+b). Lihat Tabel 11-3. Nilai duga negatif (ND-, NDN) disebut p:ula predictizte oalue of a n eg atio e t e s t (PY -') atau n eg atizt e p r e di ctio e zt alu e ( NPV) adalah probabilitas seseorangtidak menderita penyakit bila hasil ujinya negatif. Dalam tabel2 x 2 (Tabel 11-3) maka NDN = d : (c+d). Nilai duga ini disebut juga sebagai posterior probability karena ditetapkan setelah hasil uji diagnostik diketahui. Nilai ini sangat berfluktuasi, tergantung pada prevalens penyakit, sehingga disebut sebagai bagian yang tidak stabil dari uji diagnostik (aide infra). Dalam praktik sehari-hari nilai duga ini (khususnya nilai duga positif) merupakan statistik yang paling penting dalam uji diagnostik. Bila dokter melakukan pemeriksaan, misalnya untuk penyakit infeksi tertentu dan hasilnya positif, pertanyaan selanjutnya adalah berapa besar kemungkinan bahwa pasien tersebut benar-benar menderita penyakit infeksi yang dimaksud. Dalam praktik dokter (apalagi pasien) tidak akan relevan untuk menanyakan sensitivitas dan spesifisitas suatu uji diagnostik. *.rf

236 Ujidiagnostik Boku emos Positif Negotif Jumloh Positif 45 l0 55 uii Negotif 5 40 45 Jumloh 50 50 100 Gambar 11-5. Sensitivitas, spesifisitas dan nilai duga suatu uji diagnostik pada populasi dengan prevalens penyakit (persentase subyek yang menderita sakit, atau baku emas positif, terhadap :seluruh subyek) sebesar 50% (50/100). Sensitivitas 45150 = 90%; : - :Spesifisitas = 40150= 80%; ND+ 45155 = 82%;ND 40145 = 89% Baku emos Positif Negotif Jumloh Positif l8 16 34 64 66 uii 80 100 Nesotif 2 Jumloh 20 Gambar 11-5. Sensitivitas, spesifisitas dan nilai duga suatu uji diagnostik pada populasi dengan prevalens penyakit (persentase subyek yang menderita sakit atau baku emas positif, terhadap seluruh subyek) sebesar 20% (2011.00). Sensilivitas: 18/2A = 90%; Spesifisitas -- 64lAO -- 80%; ND+ = 1,8134 = 55%; ND - = 64166 = 97%. ilt': ! i*\"

Hardiono D Pusponegoro dkk. 237 Rasro KEMUNGKTNAN (LrcnunooD RArra)Statistik lain yang diperoleh dari studi uji diagnostik adalah rasiokemungkinan (RK) atau likelihood ratio (LR), yakni besarnyakemungkinan subyek yang sakit untuk mendapat hasil uji diagnostiktertentu dibagi kemungkinan subyek tidak sakit akan mendapat hasilyang sama. Jadi RK positif adalah perbandingan antara proporsi subyekyang sakit yang memberi hasil uji positif dengan proporsi subyekyang sehat yang memberi hasil uji positif. Dalam tabel2 x 2 maka: RK positif = a/(a+c) : b/(b+d) = sensitivitas : (L-spesifisitas) RK negatif adalah perbandingan antara proporsi subyek yangsakit dengan hasil uji negatif dengan subyek sehat yang memberihasil uji negatif. Dalam tabel2 x 2 maka: RK negatif = c/(a+c) : d/(b+d) = (1-sensitivitas) : spesifitas Nilai RK bervariasi antara 0 sampai tidak terhingga. Hasil ujidiagnostik yang positif kuat memberikan nilai RK yang jauh lebihbesar dari 1, hasil uji yang negatif kuat akan memberikan nilai RKmendekati Q sedang hasil uji yang sedang memberikan RK di sekitarnilai 1. Nilai RK (positif) yang dianggap penting adalah L0 atau lebih. Dengan mengetahui pretest probability (kemungkinan adanyapenyakit sebelum dilakukan uji, atau prevalens) dan RK uji diagnostik,dapat diketahui post-test probability ftemungkinan adanya penyakitsetelah uji diagnostik). Penghitungan ini dapat dilakukan dengancara manual atau dengan kalkulator, atau lebih praktis denganbantuan nomogram.LaucxaH-LANGKAH pENELITTAN DrAGNosrrKPelaksanaan uji diagnostik memerlukan langkah-langkah berikut:L Memastikan mengapa diperlukan penelitian diagnostik2 Menetapkan tujuan uji diagnostik3 Memilih subyek *\"rf

238 Ujidiagnostik4 Menetapkan baku emas5 Melaksanakanpengukuran6 Melakukan analisis '1, MErucnpe DTrERLUKAN uJI DrAGNosrrK BARUDalam hal ini harus diidentifikasi apakah misalnya uji yang saatini tersedia bersifat invasif, terlalu mahal, sulit, atau memerlukankeahlian khusus, dan apakah uji diagnostik yang baru dapatmengatasi kekurangan tersebut. 2 MrNsrapKAN Tr-rIrJAN UrAMA ulr DrAGNosrrKTentukan apakah uji diagnostik yang baru akan digunakan untukkeperluan skrining, diagnosis, atau untuk menyingkirkan penyakit.Uji diagnostik untuk skrining memerlukan sensitivitas yang tinggi;bila uji diagnostik untuk skrining memberikan hasil positif, makaperlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan lainnya. Uji diagnostikuntuk konfirmasi diagnosis juga memerlukan nilai sensitivitas yangtinggi dengan spesifisitas yang cukup, sedang untuk menyingkirkanpenyakif diperlukan uji dengan spesifisitas yang tinggi. 3 METETaPKAN SUBYEK PENELITIANSubyek yang direkrut untuk uji diagnostik sangat ditentukan olehtujuan penelitian. Peserta dapat direkrut dari relawan (sk\"rining), pasienyang berobat untuk penyakit lain (case finding), atau pasien dengankeluhan tertentu (diagnosis). Jelaskan tempat uji diagnostik dilakukan,apakah di masyarakaf puskesmas, atau rumah sakit rujukan. Bila tujuan penelitian adalah untuk memperoleh uji diagnostikguna menetapkan penyakit, maka subyek harus terdiri atas orangsehat, mereka yang sakit ringan, dan sakit berat seperti yangditemukan dalam praktik sehari-hari. Besar sampel perlu ditentukanagar dapatdiperoleh nilai dengan interval kepercayaan yang sempit. il 4oi

Har diono D P usp onegoro dkk, 239 4 MrwprepxaN BAKU EMASBaku emas merupakan suatu hal yang mutlak dalam tiap penelitianuji diagnostik. Telah disebut bahwa baku emas merupakan ujidiagnostik terbaik yang tersedia. Kadang suatu alat diagnosis secarateoritis ideal dipakai sebagai baku emas, namun tidak layak dipakaikarena memberikan hasil salah. Misalnya diagnosis tuberkulosisparu seharusnya adalah biakan M. tuberculosis yangpositif; namundalam praktik sedikit sekali biakan M. tuberculosis yang memberihasil positil baik pada dewasa, dan lebih-lebih pada anak. Olehkarena biakan kuman tuberkulosis banyak memberikan nilainegatif semu, maka ia tidak dapat digunakan sebagai baku emas. Di sisi lain seringkali baku emas yang memadai tidak tersedia,sehingga harus disepakati cara tertentu untuk dipakai sebagai bakuemas, misalnya dengan pengamatan jangka panjang, responsnyaterhadap terapi, dan lain-lain. Perlu diingat bahwa baku emas tidakboleh mengandung variabel prediktor yang diuji, dan sebaliknyavariabel prediktor juga bukan merupakan komponen baku emas. 5 MnrersANAKAN PENGUKURANPengukuran terhadap variabel prediktor (alat diagnostik yang diuji)maupun baku emas harus dilakukan dengan cara standar, danpengukuran harus dilakukan secara tersamar (masked, blinded),yakni pemeriksa variabel prediktor (uji) tidak boleh mengetahuihasil pemeriksaanbaku emas, dan sebaliknya. Karena itu seyogianyaada 2 peneliti atau lebitu satu untuk menentukan hasil uji positifatau negatTf, dan lainnya menentukan hasil baku emas. Dapat sajapeneliti hanya satu orang, tetapi harus didesain sedemikian sehinggaia tidak mengetahui hasil alat diagnostik yang diuji pada saat iamelakukan pengukuran dengan baku emat dan sebaliknya. Kriteriapositif atau negatif baik untuk uji yang diteliti maupun untuk bakuemas harus telah didefinisikan dengan jelas. Pada setiap subyek yangditeliti harus dikerjakan dua cara pemeriksaan, yang masing-masingtelah distandardisasi. Apa pun hasil baku emas, uji terhadap alat harusdilakukan dan sebaliknya, dengan cara yang distandardisasi tersebut. *.*

240 Ujidiagrnstik 6 MSLAKUKAN ANALISIS Laporkan seirsitivitas, spesifisitas, nilai duga positif dannegatif serta likelihood r atio-ny a, masing-masing dengan interval kepercayaan yang dipilih. Apabila hasil uji diagnostik berskala ordinal atau kontinu, harus disertakan ROC. CoNroH utr DrAGNosrrK Seorang peneliti i.git menguji kegunaan USG untuk mendeteksi keganasan nodul tiroid soliter. Langkah yang diperlukan adalah: 1 Memastikan mengapa diperlukan uji diagnostik baru. Dalam hal ini peneliti misalnya berpendapat bahwa satu prosedur yang non-invasif diperlukan untuk diagnostik dini keganasan tiroid. 2 Menentukan maksud utama uji diagnostik. Dalam hal ini tujuan utama uji diagnostik baru adalah untuk menegakkan diagnosis. 3. Menetapkan subyek. Subyek dipilih dari pasien yang datang dengan pembesaran soliter kelenjar tiroid ke suatu klinik tumor, dengan menetapkan besar sampel agar studi yang dilakukan mempunyai tingkat kepercayaan tertentu. Besar sampel untuk uji diagnostik diperkirakan dengan menggunakan prediksi terhadap sensitivitas atau spesifisitas, penyimpangan yang masih dapat diterima, dan interval kepercayaan yang dipilih. Dengan rumus untuk proporsi tunggal (lihatlah Bab l7), dihitung jumlah subyek untuk sensitivitas (apabila yang diutamakan adalah sensitivitas), atau spesifisitas (apabila yang diutamakan spesifisitas uji diagnostik). Jumlah subyek total yang diperlukan mengikuti hasil perhitungan tersebut, dengan memperhitungkan prevalens penyakit di klinik tersebut. Dalam uji diagnostik USG.untuk tumor tiroid, misalnya dari pustaka diketahui sensitivitas uji diagnostik adalah 75\"/\" (P=0,75). Bila dapat diterima penyimpangan (d) untuk sebesar +10\"/\", dan interval kepercay aan 95\"/\" (cr : 005; zo = L,96), maka dengan rumus untuk proporsi tunggal (lihat Bab 17): il.rl

H ar diono D P usp onegor o dl<k. 241 n = (1,962 x O,75 xO,25)l0,l2 =72 Artinya diperlukan 72 pasien dengan hasil ganas pada biopsi. Dengan memperkirakan proporsi keganasan pada kasus tumor di klinik tersebut, (misalrrya 40%), jumlah seluruh subyek yang diperlukan =100140x72:180 pasien dengan tumor soliter tiroid.4. Menetapkan baku emas. Baku emas yang dipergunakan adalah pemeriksaan patologi-anatomik terhadap biopsi kelenjar tiroid. Baku emas ini dipilih oleh karena memang merupakan modalitas diagnostik terbaik untuk kelainan yang ditelitr, dan selama ini selalu digunakan sebagai alat diagnostik untuk maksud tersebut.5. Melaksanakan pengukuran. Peneliti melakukan pemeriksaan USG pada semua subyek, menentukan apakah tumor tersebut bersifat ganas atau tidak, kemudian membuat biopsi tumor serta mengambil jaringan yang representatif. Pemeriksaan sediaan patologi-anatomik dilakukan oleh ahli patologi-anatomik yang tidak mengetahui hasil pemeriksaan USG. Hasil pemeriksaan dinyatakan sebagai ganas atau jinak.6. Melakukan analisis. Setelah pengumpulan data dilakukan tabulasi hasil uji USG dan pemeriksaan baku emas PA untuk tiap pasien seperti tampak pada Tabel L1-L. Dengan merujuk kembali pada tabel 2 x 2 Gambar l1-3, perlu diingatkan bahwa sel a berisi jumlah subyek yang pada pemeriksaan USG memberi hasil uji positif (ganas) dan hasil PA positif, sel b berisi jumlah subyek dengan hasil USG positif tetapi PA negatif (jinak), sel c berisi jumlah subyek dengan hasil USG negatif tetapi PA positif, dan sel d berisi subyek dengan hasil USG negatif dan PAriegatif. Hasil tersebut disusun dalam tabel 2 x 2 (Gambar l'1.-71, sehinggadapat dengan mudah dihitung sensitivitas, spesifisitas, serta nilaiprediksi positif dan negatif, masing-masing dengan intervalkepercayaan. Interpretasi sensitivitas serta interval kepercayaannyaadalah: sensitivitas USG untuk mendeteksi keganasan tiroid adalah76,1o/\", dan kita percaya bahwa 95% nilai sensitivitas pada populasiyang diwakili oleh sampel tersebut, terletak di antara 64,5 sampai85,4oh. Hal serupa juga berlaku untuk nilai spesifisitas dan nilaiprediksinya. Nilai rasio kemungkinan juga dapat dihitung. *.rl

242 UjidiagnostikTqbel I l-1. Hqsil pemeriksqqn lumor kelenior tiroid dengon USG . don pemeriksoonpotologi-qnotomikNo. USGPqsien Hosil PA Tempolkon dolom sel Hosil I gonos gonos o 2 iinok iinok d 3 iinok gonos c 4 gonos iinok b 5 gonos gonos o 6 iinok iinok d 7 iinok iinok d 8 gonos iinok b dsf Potologiqnqlomi Positif Negotif Jumloh Posilif 54 12 66 51 68USG 63 134 Negotif 17 Jumloh 71Gambar 11-7. Hasil pemeriksaan USG dan patologi-anatomik pada134 kasus pembesaran kelenjar tiroid.Sensitivitas = 54171 =76,1\"/\" (IK95%:64,5 sampai 85,4%)Spesifisitas = 5U63NP + =81,5\"/\" (IK95%:69,1sampai 89,8%) = 54166 =87,8o/\" (IK95%:70,4sampai90,2%) = 51.168NPPre- valens =7U1.34 =75,0\"/\" (IK95%: 63,0 sampai 84,7%)RK+ =53,0\"/oRK- :76,U(1-81,,5) =4,\ =(1.-76,1)187,5 =0,77 C.*

Har diono D P usp one gor o dl<k. 243 Derran PUSTAKABlack WC, Armstrong P. Communicating the significance of radiologic testresult: The likelihood ratio. AIR 1986;1.47:13t3-8.Dawson B, Trapp RG. Basic & clinical biostatistics. Edisi ke-3. Boston: langeMedical Books/McGraw-Hi11,2001.Department of Clinical Epidemiology and Biostatistics. How to read clinicaljoumals: II. To learn about a diagnostic test. Can Med Assoc I 1981';124:703-10.Fletcher RH, Fletcher SW, Wagner EH. Clinical epidemiology - the essentials.Baltimore: Williams & Wilkins; 1996.Guyatt G, Rennie D. users' guide to the medical literature. A manual forevidence-based clinical practice. Chicago: AMA Press; 2002.Hennekens CH, Buring JE. Epidemiology in medicine. Boston; Little, Brownand Company, 19 87 :327 - 47 .Hulley SB, Cummings SR, Browner WS, Grady D, Hearst N, Newman TB,penyunting. Designing clinical research - An epidemio.logic approach. Edisike-2. Phllailelphia: Lippincott Williams & Wilkins;2001.Kramer MS. Clinical epidemiology and biostatistics. Berlin: Springer-Yerlag,1988:20\-19. il.rf

24 Ujidiagnostik Pfdd\"ddd\"r\" Uji diognostik merupokon teknik untuk meniloi keokuraton modolitos diognostik boru dibandingkon dengan modolitos diagnostik stondor, yang disebut sebogoi boku emos. Uj i diagnosti k boru horus menjonj i kon keuntungan, misol nyo lebih muroh, lebih mudah, kurang invasif don sebogainyo dibonding dengan boku emos, meskipun sensitivitos don spesif isitosnyo (sedikit) lebih rendoh. Dolom uji diognostik diperlukon beberapo persyoroton antoro loin hosil horus dolom skolo nominol dikotom, komponen yang diuji tidok boleh merupokon komponen boku emos. Hosilyong diperoleh dori uji diognostik adqloh sensitivitqs, spesif isitos, niloi prediksi positif don negotif , serto rosio kemungkinon positif donnegatif. Untuk setiop stotistik tersebut seyogyonyd disertokon interval kepercoyaannyo. Podo sensitivitos dan spesif isitos yong somd, niloi prediksi positif don negotif sangat dipengoryhioleh prevolens kelainon yong diteliti. Perlu ditetopkon maksud penggunoon uji diognostik. Untuk skrining diperlukan uji diognostik dengon sensitivifos yong tinggi. Apabilo tujuonnya untuk manyingkirkon keloinon, diperlukan uji diognostik dengon spesif isitos yang tinggi, untuk menghindorkon pengobotan otou tindokon terhadop subyek yang tidok sakit. QJl


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook