Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Ahmad Tohari - Bekisar Merah - Ahmad Tohari

Ahmad Tohari - Bekisar Merah - Ahmad Tohari

Published by haryahutamas, 2016-05-29 05:16:25

Description: Ahmad Tohari - Bekisar Merah - Ahmad Tohari

Search

Read the Text Version

Ahmad TohariBEKISAR MERAH

KEMARAU di kawasan Banyumas, Jawa Tengah, pada masa kinimungkin tidak lagi sedahsyat akibatnya dibanding masa lalu, ketikahutan-hutan jati di daerah Jatilawang mengering, tanah pecah-pecah,penduduk merana kelaparan. Dulu, seperti ditunjukkan Ahmad Tohari (47),penulis yang pernah menghasilkan novel Ronggeng Dukuh Paruk, hutanmenyala menjadi korban kebakaran akibat pertikaian politik yangmenyusup sampai ke desa-desa pada masa sebelum 1965. Ahmad Tohari dilahirkan di desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang,Banyumas tanggal 13 Juni 1948. Pendidikan formalnya hanya sampai SMANII Purwokerto. Namun demikian beberapa fakultas seperti ekonomi, sospol,dan kedokteran pernah dijelajahinya. Semuanya tak ada yang ditekuninya.Ahmad Tohari tidak pernah melepaskan diri dari pengalaman hidupkedesaannya yang mewarnai seluruh karya sastranya. Lewat trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (dua yang lainnya LintangKemukus Dinihari dan Jentera Bianglala), ia telah mengangkat kehidupanberikut cara pandang orang-orang dari lingkungan dekatnya ke pelataransastra Indonesia. Sesuai tahun-tahun penerbitannya, karya Ahmad Tohariadalah Kubah (novel, 1980), Ronggeng Dukuh Paruk (novel, 1982) LintangKemukus Dinihari (novel, 1984), Jentera Bianglala (novel, 1985), Di KakiBukit Cibalak (novel, 1989), Senyum Karyamin (kumpulan cerpen, 1990),Lingkar Tanah Lingkar Air (novel, 1993), Bekisar Merah (novel, 1993), MasMantri Gugat (kumpulan kolom, 1994). Karya-karya Ahmad Tohari telah diterbitkan dalam bahasa Jepang,Cina, Belanda dan Jerman. Edisi bahasa Inggrisnya sedang disiapkanpenerbitannya.

BAGIAN PERTAMA Dari balik tirai hujan sore hari pohon-pohon kelapa di seberanglembah itu seperti perawan mandi basah; segar, penuh gairah, dan dayahidup. Pelepah¬pelepah yang kuyup adalah rambut basah yang tergeraidan jatuh di belahan punggung. Batang-batang yang ramping danmeliuk-liuk oleh embusan angin seperti tubuh semampai yang melenggangtenang dan penuh pesona. Ketika angin tiba-tiba bertiup lebih kencangpelepah-pelepah itu serempak terjulur sejajar satu arah, sepertitangan-tangan penari yang mengikuti irama hujan, seperti gadis-gadistanggung berbanjar dan bergurau di bawah curah pancuran. Pohon-pohon kelapa itu tumbuh di tanah lereng di antara pepohonanlain yang rapat dan rimbun. Kemiringan lereng membuat pemandanganseberang lembah itu seperti lukisan alam gaya klasik Bali yang terpapar didinding langit. Selain pohon kelapa yang memberi kesan lembut, batangsengon yang lurus dan langsing menjadi garis-garis tegak berwarna putihdan kuat. Ada beberapa pohon aren dengan daun mudanya yang mulaimekar; kuning dan segar. Ada pucuk pohon jengkol yang berwarna coklatkemerahan, ada bunga bungur yang ungu berdekatan dengan pohon dadapdengan kembangnya yang benar-benar merah. Dan batang-batang jamberowe, sejenis pinang dengan buahnya yang bulat dan lebih besar, memberikesan purba pada lukisan yang terpajang di sana. Dalam sapuan hujan panorama di seberang lembah itu terlihat agaksamar. Namun cuaca pada musim pancaroba sering kali mendadakberubah. Lihatlah, sementara hujan tetap turun dan angin makin kencangbertiup tiba-tiba awan tersibak dan sinar matahari langsung menerpa daribarat. Lukisan besar di seberang lembah mendadak mendapatpencahayaan yang kuat dan menjadikannya lebih hidup. Warna-warninyamuncul lebih terang, matra ketiganya makin jelas. Muncul pernik-pernikmutiara yang berasal dari pantulan sempurna cahaya matahari oleh

dedaunan yang kuyup dan bergoyang. Dari balik bukit, di langit timur yangbiru-kelabu, muncul lengkung pelangi. Alam menyelendangi anak-anakperawannya yang selesai mandi besar dengan kabut cahaya warna-warni. Ketika dengan tiba-tiba pula matahari lenyap, suasana kembali samar.Apalagi hujan pun berubah deras menyusul ledakan guntur yang bergema didinding¬dinding lembah. Angin kembali bertiup kencang sehinggapohon-pohon kelapa itu seakan hendak rebah ke tanah. Ketika itulah dadaDarsa terasa berdenyut. Darsa yang sejak lama memandangi pohon-pohonkelapanya di seberang lembah itu, hampir putus harapan. Bila hujan danangin tak kunjung berhenti Darsa tak mungkin pergi menyadappohon-pohon kelapanya. Sebagai penderes, penyadap nira kelapa, Darsasudah biasa turun-naik belasan pohon dalam hujan untuk mengangkatpongkor yang sudah penuh nira dan memasang pongkor baru. Namunhujan kali ini disertai angin dan guntur. Penderes mana pun tak akan keluarrumah meski mereka sadar akan akibatnya; nira akan masam karenapongkor terlambat diangkat. Nira demikian tidak bisa diolah menjadi gulamerah. Kalaupun bisa hasilnya adalah gula gemblung, yakni gula pastayang harga jualnya sangat rendah. Padahal, sekali seorang penyadap gagalmengolah nira, maka terputuslah daur penghasilannya yang tak seberapa.Pada saat seperti itu yang bisa dimakan adalah apa yang bisa diutang dariwarung. Dari emper rumah bambunya Darsa kembali menatap ke timur,menatap pohon-pohon kelapanya yang masih diguyur hujan nun diseberang lembah. Darsa gelisah. Kesejatian seorang penyadap serasatertantang. Bagi Darsa, bagi setiap lelaki penyadap, pohon-pohon kelapaadalah harapan dan tantangan, adalah teras kehidupan yang memberisemangat dan gairah hidup. Tetapi karena hujan dan angin yang belumjuga mereda, Darsa tak berdaya mendekati pohon-pohon kelapa yangterasa terus melambaikan pelepah-pelepah ke arahnya.

Guntur kembali bergema dan hujan menderas lebih hebat lagi. HatiDarsa makin kecut. Mungkin sore ini Darsa harus merelakan niranyaberubah menjadi cairan asam karena tidak terangkat pada waktunya. Darsahampir putus asa. Tetapi pongkor, seruas bambu penadah nira yangbergantungan pada manggar¬manggar kelapa, terus memanggil danmengusik hatinya minta diangkat. Manakala hujan agik surut, harapannyamuncul. Namun bila hujan kembali deras dan guntur meledak-ledak,harapan itu lenyap. Sementara suara beduk dari surau Eyang Mus sudahterdengar, sayup menyelinap ke hujan. Asar sudah lewat dan senja hampirtiba. Makin kecil saja kemungkinan Darsa bisa mengangkat niranya sore ini,karena belum juga tampak tanda-tanda cuaca akan berubah. Sambil menjatuhkan pundak karena merasa hampir kehilanganharapan, Darsa membalikkan badan lalu masuk ke rumah. Berdiri di ruangtengah Darsa melihat Lasi, istrinya, sedang merentang kain basah pada taliisisan di emper sebelah barat. Lasi selesai mandi. Rambutnya basahtergerai, terjun ke belakang telinga kanan, melintir ke depan dan terjumbaidi dada. Sekejap Darsa terbayang akan pohon-pohon kelapanya yangsedang disiram hujan. Dan karena Lisi berdiri membelakang, Darsa dapatmelihat punggung istrinya yang terbuka. Juga tengkuknya. Ada daya tarikyang aneh pada kontras warna rambut yang pekat dengan kulit tengkukLasi yang putih, lebih putih dari tengkuk perempuan mana pun yang pernahdilihat oleh Darsa. Penyadap muda itu tak habis merasa beruntung punyaistri dengan kulit sangat putih dan memberi keindahan khas terutama padabagian yang berbatasan dengan rambut seperti tengkuk dan pipi. Apalagibila Lasi tertawa. Ada lekuk yang sangat bagus di pipi kirinya. Di mata Darsa, pesona dan gairah hidup yang baru beberapa detiklalu direkamnya dari pohon-pohon kelapa di seberang lembah, kiniberpindah sempurna ke tubuh Lasi. Sama seperti pohon-pohon kelapa yangselalu menantang untuk disadap, pada diri Lasi ada janji dan gairah yangsangat menggoda. Pada Lasi terasa ada wadah pengejawantahan dirisebagai lelaki dan penyadap. Pada diri istrinya juga Darsa merasa ada

lembaga tempat kesetiaan dipercayakan. Dan lebih dari pohon-pohonkelapa yang tak putus meneteskan nira, Lasi yang sudah tiga tahun menjadiistrinya, meski belum memberinya keturunan, adalah harga dan cita-citahidup Darsa sendiri. Lasi selesai mengisis kain basahan. Ketika hendak masuk ke dalammatanya bersitatap dengan suaminya. Entah mengapa Lasi terkejut meskiia tidak merasa asing dengan cara Darsa menatap dirinya. Ia punkadang-kadang mencuri pandang, memperhatikan tubuh suaminya daribelakang; sebentuk tubuh muda dengan perototan yang kuat danseimbang, khas tubuh seorang penyadap yang tiap hari dua kali naik-turunbelasan atau bahkan puluhan pohon kelapa. Dalam gerakan naik-turunpada tatar-tatar batang kelapa, seluruh perototan seorang penyadapdigiatkan, terutama otot-otot tungkai, tangan, dan punggung. Hasilnyaadalah sebentuk tubuh ramping dengan otot liat dan seimbang. Bila harusdicatat kekurangan pada bentuk tubuh seorang penyadap, itu adalahpundaknya yang agak melengkung ke depan karena ia harus selalumemeluk batang kelapa ketika memanjat maupun turun. Lasi dan Darsa sama-sama tersenyum. Di luar, hujan masih deras.Rumah bambu yang kecil itu terasa sepi dan dingin. Hanya terdengar suarahujan dan tiupan angin pada rumpun bambu di belakang rumah kecil itu.Atau suara induk ayam dan anak-anaknya di emper belakang. Darisatu-satunya rumah yang dekat pun, rumah orangtua Lasi, tak terdengarkegiatan apa-apa. Lasi dan Darsa kembali berpandangan dan kembali sama-sama tersenyum. \"Las, apa aku harus tidak berangkat?\" \"Kan masih hujan.\" \"Bagaimana bila aku berangkat juga?\"

\"Terserah, Kang. Tetapi kurang pantas, dalam cuaca seperti ini kamubekerja juga.\" \"Berasmu masih ada?\" \"Masih, Kang. Uang juga masih ada sedikit. Kita besok masih bisamakan andaikata nira sore ini terpaksa tidak diolah.\" \"Tapi sayang sekali bila pongkor-pongkor dibiarkan tetapbergantungan dan niranya masam. Manggar bisa busuk.\" \"Ya. Soalnya, hujan masih lebat, Kang.\" \"Hujan masih lebat ya, Las?\" \"Ya...\" Lasi tak meneruskan kata-katanya karena tiba-tiba suasana berubah.Darsa memandang Lasi dengan mata berkilat. Keduanya beradu senyumlagi. Darsa selalu berdebar bila menatap bola mata istrinya yang hitampekat. Seperti kulitnya, mata Lasi juga khas; berkelopak tebal, tanpa garislipatan. Orang sekampung mengatakan mata Lasi kaput. Alisnya kuat danagak naik pada kedua ujungnya. Seperti Cina. Mungkin Darsa ingin berkatasesuatu. Tetapi Lasi yang merasa dingin masuk ke bilik tidur hendakmengambil kebaya. Dan Darsa mengikutinya, lalu mengunci pintu daridalam. Keduanya tak keluar lagi. Ada seekor katak jantan menyusup kesela dinding bambu, keluar melompat-lompat menempuh hujan danbergabung dengan betina di kubangan yang menggenang.Pasangan-pasangan kodok bertunggangan dan kawin dalam air sambilterus mengeluarkan suaranya yang serak dan berat. Induk ayam di emperbelakang merangkul semua anaknya ke balik sayap-sayapnya yang hangat.Udara memang sangat dingin. Darsa hampir terlelap di samping istrinya ketika suasana di luartiba-tiba berubah. Hujan benar-benar berhenti, bahkan matahari yang

kemerahan muncul dari balik awan hitam. Semangat penyadap sejatimembangunkan Darsa. Ia segera bangkit dan keluar dari bilik tidur. Lasipun mengerti, suaminya terpanggil oleh pekerjaannya, oleh semangathidupnya. Penderes mana saja akan segera pergi mengangkat pongkorpada kesempatan pertama. Sementara Darsa pergi ke sumur untukmengguyur seluruh tubuhnya, Lasi menyiapkan perkakas suaminya; aritpenyadap, pongkor-pongkor dan pikulannya, serta caping bambu.Kemudian Lasi pun menyusul ke sumur, juga untuk mengguyur seluruhtubuhnya. Lasi mandi besar lagi meski rambutnya belum sempat kering. Tanpa kata sepatah pun Lasi melepas Darsa berangkat. Terdengarkelentang-kelentung suara tabung-tabung bambu saling beradu ketikasepikul pongkor naik ke pundak Darsa. Seorang penyadap mudamelangkahkan kakinya yang ramping dan kuat di atas tanah basah yang disana-sini masih tergenang air hujan. Darsa terus melangkah menuju tanahlereng di seberang lembah. Sisa air hujan menetes dari dedaunan,beberapa tetes jatuh menimpa caping bambu yang menutup kepalanya.Gemercik air dalam parit yang tertutup berbagai jenis pakis-pakisan yangbasah dan hijau segar. Darsa melintas titian dua batang bambu. Ketikatepat berada di tengahnya ia melihat setangkai pelepah pinang kuningtiba-tiba runduk lalu lepas dari batang dan melayang jatuh ke tanah.Pelepah itu terpuruk menimpa rumpun nanas liar. Di atas sana pelepahpinang itu meninggalkan mayang putih bersih dan masih setengahterbungkus selubung kelopak. Darsa merasa seakan baru melihat sebuahkematian setangkai pelepah pinang datang hampir bersamaan dengankelahiran sejumbai mayang. Lepas dari titian bambu Darsa menelusur jalan setapak yang naikbertatar yang dipahat pada lereng cadas. Turun lagi, melintas titian kedua,dan di hadapan Darsa terhampar sawah yang menjadi dasar lembah. Diujung lembah adalah tanah lereng. Di sanalah pekarangan Darsa dan disana pula pohon-pohon kelapanya tumbuh.

Darsa menurunkan pikulan dari pundaknya, mengambil dua pongkor.Sisa air hujan masih meluncur sepanjang batang kelapa yang hendakdipanjatnya. Sambil naik ke tatar pertama, Darsa mengikatkan ujung talikedua pongkor pada kait logam yang terdapat pada sabuk bagianpunggung. Maka ketika memanjat tatar demi tatar kedua pongkor ituseperti ekor yang berayun-ayun ke kiri dan ke kanan. Arit penyadap terselipdi pinggang. Tetes air berjatuhan ketika pohon kelapa bergoyang olehgerakan tubuh Darsa yang mulai naik. Darsa terus memanjat dengansemangat yang hanya ada pada seorang penyadap. Selalu eling dan nyebut, adalah peringatan yang tak bosandisampaikan kepada para penyadap selagi mereka bekerja di ketinggianpohon kelapa. Darsa pun tak pernah melupakan azimat ini. Seperti semuapenyadap, Darsa tahu apa akibat kelalaian yang dilakukan dalampekerjaannya. Terjatuh dari ketinggian pohon kelapa adalah derita yangsangat niscaya dan dalam musibah demikian hanya sedikit penyadap yangbisa bertahan hidup. Maka Darsa tahu bahwa ia harus tetap berada dalamkesadaran tinggi tentang di mana ia sedang berada dan apa yang sedangdilakukannya serta keadaan apa yang berada di sekelilingnya. Ia haruseling. Untuk mengundang dan menjaga taraf kesadaran seperti itudiajarkan turun-temurun kepada para penyadap: nyebut, ucapkan denganlidah dan hati bahwa pekerjaanmu dilakukan atas nama Yang Mahaselamat. Tetapi ketika duduk ngangkang di atas pelepah sambil mengirismanggar kesadaran Darsa tidak terpusat penuh pada pekerjaan yangsedang dilakukannya. Saat itu Darsa merasa sangat sulit melupakankeberuntungan yang baru dikenyamnya beberapa saat lalu di rumah.Anehnya, sulit juga bagi Darsa meyakinkan diri bahwa sumberkeberuntungan itu, Lasi, adalah istrinya yang tak kurang suatu apa. Bukankarena Darsa tidak percaya akan keabsahan perkawinannya. Bukan pulakarena Darsa meragukan ketulusan Lasi. Keraguan Darsa datang karenabanyak celoteh mengatakan bahwa Lasi yang berkulit putih dengan matadan lekuk pipi yang khas itu sesungguhnya lebih pantas menjadi istri lurah

daripada menjadi istri seorang penyadap. Darsa juga pernah mendengarselentingan yang mengatakan bahwa rumah bambunya yang kecil adalahkandang bobrok yang tak layak ditempati seorang perempuan secantikLasi. Lalu, Darsa sendiri sering melihat bagaimana mata para lelaki tiba-tibamenyala bila mereka memandang Lasi. Turun dari pohon kclapa pertama, kedua pongkor yangbergdantungan pada sabuk Darsa sudah bertukar. Kini kedua tabungbambu itu berisi nira. Sebelum sampai ke tatar terendah, Darsa mencabuttali pongkor dari kaitnya lalu meletakkan keduanya dengan hati-hati ditanah. Diambilnya dua pongkor baru dan Darsa siap memanjat pohonkelapa berikut. Entah mengapa Darsa sangat senang menyadap pohonkedua ini. Barangkali karena dari atas pohon ini pemandangan ke baratlebih bebas. Dari ketinggian Darsa dapat melihat rumahnya. Bahkan Darsadapat juga melihat istrinya, meski samar, apabila Lasi kebetulan keluar.Atau karena kelapa ini tumbuh sangat dekat dengan sebatang pohonpinang. Pucuk pohon pinang itu berada di bawah mata ketika Darsa dudukdi antira pelepah-pelepah kelapanya. Dan di sela-sela ketiak pelepahpinang itu ada sarang burung jalak. Anak-anak burung yang masih terpicingmata itu selalu menciap minta makan bila ada gerakan di dekatnya. Mulutmereka merah. Mereka kelihatan sangat lemah, tetapi menawan. Darsabiasa berlama-lama menatap anak-anak burung itu. Ia juga senangmemperhatikan betapa sibuk induk jalak pergi-pulang untuk mencarimakanan bagi anak¬anaknya. Tetapi karena anak-anak burung itu Darsajadi sering berkhayal, kapan Lasi punya bayi? Bila ada keindahan terciptaketika seekor induk jalak menyuapi anaknya, betapa pula keindahan yangakan menjelma ketika terlihat seorang ibu sedang meneteki bayinya,apalagi bila si ibu itu adalah Lasi? Tiga tahun usia perkawinan tanpa anak sering menjadi pertanyaanberat bagi Darsa. Ada teman, meski hanya dalam gurauan, mengatakanDarsa tidak becus sehingga sampai sekian lama Lasi belum juga hamil.Gurauan ini saja sudah sangat menyakitkan hatinya. Apalagi ketika ia

menyadari sesuatu yang lebih gawat dan justru khih mendasar; anakadalah bukti pengejawantahan diri yang amat penting sekaligus menjadibubul perkawinannya dengan Lasi. Sebagai bukti perkawinan, surat nikahboleh disimpan di bawah tikar. Tapi anak? Bila Lasi sudah membopong bayi,Darsa boleh berharap segala celoteh segera hilang. Kukuh sudahkedaulatannya atas Lasi. Orang tak usah lagi berkata bahwa sesungguhnyaLasi lebih pantas menjadi istri lurah karena dia adalah ibu yang sudahmelahirkan anak Darsa. Pasangan induk jalak datang. Keduanya membawa belalang padaparuh masing-masing. Tetapi mereka tak berani mendekat sarang selamaDarsa masih bertengger di atas pelepah kelapa. Anak-anak jalak menciapkarena mendengar suara induk mereka. Darsa menghentikan kegiatan danmengarahkan pandang ke pucuk pinang di sebelahnya. Anak-anak burungitu membuka mulutnya yang merah segar. Namun dalam pandanganDarsa, anak-anak burung itu adalah seorang bayi yang tergolek danbergerak-gerak menawan dalam buaian. Darsa menarik napas panjang. Di rumah, Lasi menyiapkan tungku dan kawah untuk mengolah nirayang sedang diambil suaminya. Senja mulai meremang. Setumpuk kayubakar diambilnya dari tempat penyimpanan di belakang tungku. Sebuahayakan bambu disiapkan untuk menyaring nira. Pada musim hujan Lasisering mengeluh karena jarang tersedia kayu bakar yang benar-benarkering. Mengolah nira dengan kayu setengah basah sungguh menyiksa.Bahkan bila tak untung, gula tak bisa dicetak karena pengolahan yang taksempurna. Pernah, karena ketiadaan kayu kering dan kebutuhan sangattanggung, Lasi harus merelakan pelupuh tempat tidurnya masuk tungku.Tanggung, karena sedikit waktu lagi nira akan mengental jadi tengguli.Dalam tahapan ini pengapian tidak boleh terhenti dan pelupuh tempat tiduradalah kemungkinan yang paling dekat untuk menolong keadaan. Meskipunbegitu tak urung Lasi ketakutan, khawatir akan kena marah suaminya

karena telah merusak tempat tidur mereka satu-satunya. Untung, untukkesulitan semacam ini emak Lasi mempunyai nasihat yang jitu: segeralahmandi, menyisir rambut, dan merahkan bibir dengan mengunyah sirih.Kenakan kain kebaya yang terbaik lalu sambutlah suami di pintu dengansenyum. Nasihat itu memang manjur. Darsa sama sekali tidak marah ketikadiberitahu bahwa tempat tidur satu-satunya tak lagi berpelupuh. Daripadamelihat tempat tidur yang sudah berantakan, Darsa lebih tertarik kepadaistrinya yang sudah berdandan. Malam itu lampu di rumah Darsa padamlebih awal meski mereka harus tidur dengan menggelar tikar di alas lantaitanah. Beduk kembali terdengar dari surau Eyang Mus. Magrib. Pada saatseperti itu selalu ada yang ditunggu oleh Lasi; suara \"hung\", yaitu bunyipongkor kosong yang ditiup suaminya dari ketinggian pohon kelapa. Untukmemberi aba-aba bahwa dia hampir pulang. Darsa biasa mendekatkanmulut pongkor kosong ke mulut sendiri. Bila ia pandai mengatur jarakpongkor di depan mulutnya, \"hung\" yang didengungkannya akanmenciptakan gaung yang pasti akan terdengar jelas dari rumah. Setiappenyadap mempunyai gaya sendiri dalam meniup \"hung\" sehingga aba-abaini gampang dikenali oleh istri masing-masing. Api di tungku sudah menyala. Tapi Lasi masih meniup-niupnya agaryakin api tidak kembali padam. Pipi Lasi yang putih jadi merona karenapanas dari tungku. Ada titik pijar memercik. Dan Lasi menegakkan kepalaketika terdengar suara \"hung\". Wajahnya yang semula tegang, mencair.Tetapi hanya sesaat karena yang baru didengarnya bukan \"hung\"suaminya. Tak salah lagi. Lasi mengenal aba-aba dari suaminya seperti iamengakrabi semua perkakas pengolah nira. Lasi kembali jongkok di depan tungku. Wah, kawah yang masihkosong sudah panas, sudah saatnya nira dituangkan. Tetapi Darsa belumjuga muncul. Di luar sudah gelap. Lasi bangkit ingin berbuat sesuatu.

Ketika yang pertama terlihat adalah lampu minyak tercantel padatiang, Lasi sadar bahwa yang harus dilakukannya adalah menyalakanlampu itu. Malam memang sudah tiba. Diraihnya lampu minyak itu,dibawanya ke dekat tungku untuk dinyalakan. Cahaya remang segeraterpancar memenuhi ruang sekeliling. Lasi mengembalikan lampu ketempat semula. Dan pada saat itu ia mendengar suara langkah beratmendekat; langkah lelaki yang membawa beban berat dan berjalan ditanah basah. Apa yang biasa dilakukan Lasi pada saat seperti itu adalahmenyongsong suaminya, membantunya menurunkan pikulan, kemudiansegera menuangkan nira dari pongkor-pongkor ke dalam kawah yangsudah panas. Tetapi pada senja yang mulai gelap itu Lasi malah tertegun tepat diambang pintu. Samar-samar ia melihat sosok lelaki yang mendekat denganlangkah amat tergesa. Lelaki itu datang bukan dengan beban di pundakmelainkan di gendongannya. Beban itu bukan sepikul pongkor melainkansesosok tubuh yang tak berdaya. Setelah mereka tertangkap cahaya lampuminyak segalanya jadi jelas; lelaki yang membawa beban itu bukan Darsamelainkan Mukri. Dan Darsa terkulai di punggung lelaki sesama penyadapitu. Ada rintihan keluar dari mulut yang mengalirkan darah. Lasi beku. Jagatnya limbung, berdengung, dan penuh bintangbeterbangan. Kesadarannya melayang dan jungkir balik. \"Katakan, ada kodok lompat!\" ujar Mukri dalam napas megap-megapkarena ada beban berat di gendongannya. \"Jangan bilang apa pun kecualiada kodok lompat,\" ulangnya. Lasi ternganga tanpa sepotong suara pun keluar dari mulutnya.Bahkan Lasi hanya memutar tubuh dengan mulut tetap ternganga ketikaMukri menyerobot masuk dan menurunkan Darsa ke lincak bambu di ruangtengah. Darsa langsung rebah terkulai dan mengerang panjang. Dan

tiba-tiba Lasi tersadar dari kebimbangannya. Lasi hendak menubruksuaminya tetapi Mukri menangkap pundaknya. \"Tenang, Las. Dan awas, jangan bilang apa-apa kecuali, ada kodoklompat!\" Wajah Lasi tergetar menjadi panggung tempat segala rasa naikpentas. Kedua bibirnya bergetar. Air mata cepat keluar. Cuping hidungnyabergerak-gerak cepat. Kedua tangannya mengayun ke sana kemari tanpakendali. Tenggorokan rasa tersekat sehingga Lasi belum bisa berkata apapun. Dan ketika Lasi benar¬benar sadar akan apa yang terjadi, tangisnyapecah. \"Innalillahi... ada-kodok-lompat?\" \"Ya! Bukan apa-apa, sekadar kodok lompat,\" jawab Mukri denganpembawaan tenang. Tetapi Lasi menjerit dan terkulai pingsan. Separuhbadannya tersampir di balai-balai dan separuh lagi selonjor di tanah. Darsakembali mengerang panjang. Wiryaji dan istrinya segera datang karena mendengar jerit Lasi.Wiryaji adalah ayah tiri Lasi dan juga paman Darsa. Menyusul kemudiantetangga-tetangga yang lebih jauh. Eyang Mus, orang yang dituakan dikampung itu dijemput di rumahnya dekat surau. Seseorang disuruh segeramemberitahu orangtua Darsa di desa sebelah. Semua yang berkumpul tahuapa yang terjadi dan semua hanya berkata ada kodok lompat. Kata 'jatuh'amat sangat dipantangkan di kalangan para penyadap kelapa. Dengankepercayaan semacam itu para penyadap berusaha menampik sebuahkenyataan buruk dengan mengundang sugesti bagi kembalinya keadaanyang baik. Orang-orang perempuan mengurus Darsa dan Lasi. Celana pendekDarsa yang basah dilepas dengan hati-hati. Ada yang memaksa Darsamenenggak telur ayam mentah. Mereka lega setelah menemukan tubuh

Darsa nyaris tanpa cedera kecuali beberapa luka goresan pada tangan danpunggung. Tetapi bau kencing terasa sangat menyengat. Lasi pun siumansetelah seorang perempuan meniup-niup telinganya. Selembar kain batikkemudian menutupi tubuh Darsa dari kaki hingga lehernya. Lasi menangisdan menelungkup dekat kaki Darsa yang tampak sangat pucat. Namunseseorang kemudian menyuruhnya berbuat sesuatu: menyeduh teh panasuntuk menghangatkan tubuh suaminya. Tergeletak tanpa daya, Darsa sesekali mengerang. Tetapi Mukri terusbercerita kepada semua orang ihwal temannya yang naas itu. Dikatakan, iasedang sama¬sama menyadap kelapa yang berdekatan ketika musibah ituterjadi. \"Aku tidak lupa apa yang semestinya kulakukan. Melihat ada kodoklompat, aku segera turun. Aku tak berkata apa-apa. Aku kemudian melepascelana yang kupakai sampai telanjang bulat. Aku menari menirukanmonyet sambil mengelilingi kodok yang lompat itu.\" \"Bau kencing itu?\" tanya entah siapa. \"Ya. Tubuh Darsa memang kukencingi sampai kuyup.\" \"Mukri betul,\" ujar Wiryaji. \"Itulah srana yang harus kalian lakukanketika menolong kodok lompat. Dan wanti-wanti jangan seorang penyadappun boleh melupakannya.\" Wiryaji terus mengangguk-angguk untuk memberi tekanan padanasihatnya. \"Untunglah kamu yang ada di dekatnya waktu itu. Bila oranglain yang ada di sana, mungkin ia berteriak-teriak dan mengambil langkahyang keliru. Mukri, terima kasih atas pertolonganmu yang jitu.\" \"Ya. Tetapi aku harus pergi dulu. Pekerjaanku belum selesai.\" \"Sudah malam begini kamu mau meneruskan pekerjaanmu?\"

Pertanyaan itu berlalu tanpa jawab. Mukri lenyap dalam kegelapanmeski langkahnya masih terdengar untuk beberapa saat. Kini perhatiansemua orang sepenuhnya tertuju kepada Darsa. Lasi tak putus menangis.Orang-orang tak henti menyuruh Darsa nyebut, menyerukan nama SangMahasantun. Dari cerita Mukri orang tahu bahwa Darsa jatuh dari pohon kelapayang tinggi. Bahwa dia tidak cedera parah, arit penyadap tidak melukaitubuhnya, bahkan kata Mukri sejak semula Darsa tidak pingsan, banyakdugaan direka orang. Bagi Wiryaji, kemenakan dan sekaligus menantutirinya itu pasti habis riwayatnya apabila Mukri salah menanganinya. Tetapisemuanya menjadi lain karena Mukri tidak menyimpang sedikit pun darikepercayaan kaum penyadap ketika menolong Darsa. Atau, lebih kenaadalah perkiraan lain; ketika melayang jatuh tubuh Darsa tersangga lebihdulu oleh batang-batang bambu yang tumbuh condong sehingga kekuatanbantingan ke tanah sudah jauh berkurang. Dan hanya Eyang Mus yangberkata penuh yakin bahwa tangan Tuhan sendiri yang mampumenyelamatkan Darsa. Bila tidak, Darsa akan seperti semua penderes yangtertimpa petaka jatuh dari ketinggian pohon kelapa; meninggal atau palingtidak cedera berat. Pada malam yang dingin dan basah itu rumah Lasi penuh orang.Sementara Darsa diurus oleh seorang perempuan tua, Wiryaji minta saranpara tetangga bagaimana menangani Darsa selanjutnya. Ada yang bilang,karena Darsa tidak cedera berat, perawatannya cukup dilakukan di rumah.Yang lain bilang, sebaiknya Darsa segera dibawa ke rumah sakit. Orang inibilang, sering terjadi seorang penyadap jatuh tanpa cedera tetapikeadaannya tiba-tiba memburuk dan meninggal. \"Wiryaji,\" kata Eyang Mus. \"Keputusan berada di tanganmu. Namunaku setuju Darsa dibawa ke rumah sakit. Betapapun kita harus berikhtiarsebisa-bisa kita.\"

Semua orang terdiam, juga Wiryaji. Lasi yang diminta ketegasannyamalah menangis. Dan Darsa kembali mengerang. \"Eyang Mus, kami tak punya biaya,\" kata Wiryaji setelah sekian lamatak bersuara. Semua orang kembali terdiam. Eyang Mus menyandar kebelakang sehingga lincak yang didudukinya berderit. Suasana pun cepatberubah dari kecemasan menghadapi seorang kerabat yang kena musibahmenjadi kebimbangan karena tiadanya biaya untuk berobat. Dan bagi parapenyadap, hal seperti itu bukan pengalaman aneh atau baru sekali merekahadapi. \"Las,\" kata Wiryaji dengan suara rendah. \"Kamu punya sesuatu yangbisa dijual?\" Semua mata tertuju kepada Lasi. Dan jawaban Lasi hanya gelengankepala dan air mata yang tiba-tiba kembali mengambang. \"Bagaimana jika pohon-pohon kelapa kalian digadaikan?\" \"Jangan,\" potong Eyang Mus. \"Nanti apa yang bisa mereka makan?\" Mbok Wiryaji, emak Lasi, berjalan hilir-mudik di ruang yang sempititu. \"Kalau sudah begini,\" kata Mbok Wiryaji, \"apa lagi yang bisa kitalakukan kecuali datang kepada Pak Tir. Lasi selalu menjual gulakepadanya.\" Semua yang hadir diam. Mereka membenarkan Mbok Wiryaji tetapimereka juga tahu apa artinya bila Lasi meminjam uang kepada Pak Wir.Nanti Lasi tak boleh lagi menjual gulanya kepada pcdagang lain dan hargayang diterimanya selalu lebih rendah. Malangnya bagi istri seorangpenyadap kepahitan ini masih lebih manis daripada membiarkan suami takberdaya dan terus mengerang.

Wiryaji, atas nama Lasi, pergi ke rumah Pak Tir. Meski tahu Pak Tirbiasa menolak meminjamkan uang pada malam hari, Wiryaji berangkatjuga dengan keyakinan apa yang sedang menimpa Darsa bukan hal biasa.Sementara Wiryaji pergi, orang-orang sibuk mengurus Darsa. Ada yangmenyeka tubuhnya dengan air hangat agar lumpur serta bau kencing Mukriyang membasahi tubuhnya hilang. Darsa mengerang lebih keras ketikaluka-luka di kulitnya terkena air. Beberapa lelaki mempersiapkan usungandarurat. Dua-tiga obor juga dibuat dari potongan hambu. *** Karangsoga adalah sebuah desa di kaki pegunungan vulkanik.Sisa-sisa kegiatan gunung api masih tampak pada ciri desa itu berupabukit-bukit berlereng curam, lembah-lembah atau jurang-jurang dalamyang tertutup berbagai jenis pakis dan paku-pakuan. Tanahnya yang hitamdan berhumus tebal mampu menyimpan air sehingga sungai-sungai kecilyang berbatu-batu dan parit-parit alam gemercik sepanjang tahun. Karenabanyaknya parit alam yang selalu mengalirkan air, banyak sekali titian yangmenyambungkan jalan setapak di Karangsoga. Pipa-pipa bambu dibuatorang untuk menyalurkan air dari tempat tinggi ke kolam-kolam ikan,pancuran, atau sawah-sawah yang tanahnya tak pernah masam karena airselalu mengalir dan mudah dikeringkan. Bila hujan turun, air cepat terserapke dalam tanah sehingga tak ada genangan dan sungai-sungai tetap jernih. Kecuali di sawah dan tegalan yang merupakan bagian sempit desaKarangsoga, sinar matahari sulit mencapai tanah. Kesuburan tanahvulkanik membuat semua tetumbuhan selalu hijau dan rindang. Rumpunbambu tumbuh sangat rapat. Pekarangan-pekarangan yang sejuk kebanyakan berbatas deretanrumpun salak. Anehnya, pohon kelapa tidak tumbuh dengan baik. Adaorang bilang Karangsoga terlalu tinggi dari permukaan laut sehinggaudaranya agak dingin, kurang cocok untuk tanaman dari keluarga palmaitu. Tetapi ada pula yang bilang, Karangsoga terlalu subur untuk tanaman

selain kelapa sehingga yang terakhir itu tak berpeluang mengembangkanpelepah-pelepahnya. Di Karangsoga, pohon kelapa tumbuh dengan pelepahagak kuncup, karena tak sempat mengembang dalam bulatan penuhsehingga tak bisa menghasilkan buah yang banyak. Boleh jadi karenakeadaan itu orang Karangsoga pada generasi terdahulu memilih menyadappohon-pohon kelapa mereka daripada menunggu hasil buahnya yang takpernah memuaskan. Apalagi tupai yang berkembang biak dalamrumpun¬rumpun bambu yang tumbuh sangat rapat menjadi hama kelapayang tak mudah diberantas. Dahulu, sebelum mengenal pembuatan gula kelapa, orangKarangsoga menyadap pohon aren. Nira aren adalah bahan pembuat tuakyang sudah sangat lama dikenal orang. Namun sejak dianjurkan tidakminum tuak, orang Karangsoga mengolah nira aren menjadi gula untukkebutuhan sendiri. Ketika gula aren mulai berubah menjadi babanperdagangan, orang mulai berpikir tentang kemungkinan pembuatan guladari nira kelapa. Di Karangsoga penyadapan pohon kelapa berkembangsangat cepat karena, meski subur dan tak pernah kurang air, tanah dataryang bisa digarap untuk sawah dan tegalan terlalu sempit untuk jumlahpenduduk yang terus meningkat. Malam itu ada usungan dipikul dua orang keluar dari salah satu sudutKarangsoga. Iring-iringan kecil itu dipandu oleh sebuah obor minyak, diikutioleh seorang lelaki dan dua perempuan. Satu obor lagi berada di ekoriring¬iringan. Barisan itu menyusur jalan setapak, naik tataran yangdipahatkan pada bukit cadas, turun, menyeberang titian batang pinang, laluhilang di balik kelebatan pepohonan. Muncul lagi di jalan kecil yangberdinding tebing bukit, melintas titian kedua, kemudian masuk membelahpekarangan yang penuh pohon salak. Asap obor mereka menggelombangwarna kelabu, ekornya terburai, dan makin jauh makin samar tertelangelap malam. Seekor kelelawar terbang mendekat dan tertangkap cahayaobor, berbalik dengan gerakan tak terduga dan lenyap. Tetapi seekorbelalang hijau meluncur langsung menabrak nyala obor. Sayap arinya yang

tipis terbakar dalam sekejap dan serangga malang itu jatuh ke tanah.Pepohonan bergoyang oleh tiupan angin dan sisa hujan tadi siangberjatuhan seperti gerimis. Lima orang yang beriringan itu hampir tak pernah berbicara. Lebihsering terdengar suara erangan Darsa yang tergeletak dalam usungandarurat yang ditutup kain. Atau sesekali isak Lasi yang berjalan tepat dibelakang usungan. Senyap. Hanya suara langkah. Hanya suara berbagaiserangga atau bunyi katak hijau dari balik semak di lereng jurang. Dandesau api obor yang terayun-ayun seirama dengan langkah orang yangmembawanya. Melewati titian ketiga mereka menempuh tanjakan terakhir sebelummasuk ke lorong yang lebih lebar dan berbatu-batu. Dari rumah-rumah ditepi lorong itu muncul penghuni yang kebanyakan sudah mendengartentang musibah yang menimpa Darsa. Mereka melipat tangan di dada,komat-kamit membaca doa bagi keselamatan kerabat yang sedangmenanggung musibah. Mereka sadar bahwa nasib serupa bisa jugamenimpa suami, anak lelaki, atau saudara mereka. Malam makin dingin ketika usungan dan pengantarnya itu memasukijalan besar. Dari titik masuk itu mereka berbelok ke barat dan akan berjalanlima kilometer menuju poliklinik di sebuah kota kewedanan. Merekamempercepat langkah karena ada pertanda hujan akan kembali turun. Kilatmakin sering tampak membelah langit. Ketika langit sedetik benderangterlihat awan hitam mulai menggantung. Lasi mengisak karena mendengardari jauh suara burung hantu. Orang Karangsoga sering menghubungkansuara burung itu dengan kematian. Untung, pada saat yang sama terdengarDarsa mengerang. Jadi bagaimana juga keadaannya Darsa masih hidup.Dan Lasi melangkah lebih cepat mengikuti iring-iringan yang sedangberkejaran dengan turunnya hujan, berkejaran dengan keselamatan Darsa.

*** Bagi siapa saja di Karangsoga berita tentang orang dirawat karenajatuh dari pohon kelapa sungguh bukan hal luar biasa. Sudah puluhanpenderes mengalami nasib yang jauh lebih buruk daripada musibah yangmenimpa Darsa dan kebanyakan mereka meninggal dunia. Si Itu patahleher ketika jatuh dan arit yang terselip di pinggang langsung membelahperut. Si Ini jatuh terduduk dan menghunjam tepat pada tonggak bambusehingga diperlukan tenaga beberapa orang untuk menarik tubuhnya yangsudah menjadi mayat. Si Pulan bahkan tersambar geledek ketika masihduduk di atas pelepah kelapa dan mayatnya terlempar jatuh ke tengahrumpun pandan. Mereka, orang-orang Karangsoga, sudah terbiasa denganperistiwa seperti itu sehingga mereka mudah melupakannya. Namun tidak demikian halnya ketika mereka mendengar malapetakasemacam menimpa Darsa. Orang-orang Karangsoga membicarakannya dimana-mana dengan penuh minat, penuh rasa ingin tahu. Dan hal ini terjadipasti bukan karena Darsa terlalu penting bagi mereka melainkan karenaistrinya, Lasi! Lasi akan menjadi janda apabila Darsa meninggal. Orangbanyak mengatakan, Karangsoga akan hangat kembali oleh bisik-bisik,celoteh, dan gunjingan tentang Lasi seperti ketika dia masih gadis. Lasiakan kembali menjadi bahan perbincangan, baik oleh lelaki maupunperempuan. Bahkan orang juga menduga cerita tentang asal-usul Lasi danperkosaan yang pernah dialami emaknya akan merebak lagi. Atau tentangayah Lasi yang menyebabkan istri Darsa itu memiliki penampilan sangatspesifik, tak ada duanya di Karangsoga. Karangsoga, 1961, jam satu siang. Bel di sekolah desa itu berdering.Terdengar ramai para murid memberi salam bersama kepada guru.Sepuluhan anak lelaki dan perempuan keluar dari ruang kelas enam. Lepasdari pintu kelas mereka bersicepat menghambur ke halaman dan langsungditerpa terik matahari. Anak¬anak lelaki terus berlari meninggalkansekolah, melesat seperti anak-anak kambing dibukakan kandang. Tetapi

tiga murid perempuan berjalan biasa sambil bersenda gurau. Ketiganyaberambut ekor kuda dan bertelanjang kaki. Buku tulis dan kayu penggarisada pada tangan masing-masing. Keluar dari halaman sekolah mereka melangkah menyusur jalankampung yang berbatu-batu, menaiki tanjakan terjal, turun lagi, lalumasuk lorong di bawah rimbun pepohonan dan rumpun bambu. Padasebuah simpang tiga, seorang di antara ketiga gadis kecil itu memisahkandiri. Lasi dan seorang temannya meneruskan perjalanan. Namun tak jauhdari simpang tiga itu teman Lasi yang terakhir membelok ke halamanrumahnya. Sebelum berpisah, teman ini mencubit pipi Lasi dengan nakal.\"Pantas, Pak Guru suka sama kamu, karena kamu cantik!\" Teman itukemudian lari. Lasi hanya meringis dan mengemyitkan alis. \"Betul? Akucantik?\" Kini Lasi tak berteman. Berjalan seorang diri, Lasi mempercepatlangkah karena ingin segera sampai ke rumah. Ketika melintas titianbatang pinang pun Lasi tidak memperlambat langkahnya. Tetapi Lasimendadak berhenti sebelum kakinya menginjak titian yang kedua. Di atastitian yang mclintas kali kecil itu Lasi biasa berdiri berlama-lama menatapke bawah. Karena air sangat jernih, Lasi dapat melihat kepiting-kepitingbatu yang merayap-rayap di dasar parit. Binatang berkaki delapan itusenang berkumpul di sana, boleh jadi karena ada anak suka berak di titian.Karena terbiasa dengan tinja yang jatuh, kepiting¬kepiting itu segeramuncul dari tempat persembunyian bila ada benda dilempar ke dalam air. Lasi menjatuhkan sebutir tanah. Seperti yang ia harapkan, serempakmuncul empat atau lima kepiting besar dan kecil. Dan Lasi sangat senangkepada salah satu di antara binatang air itu. Kepiting kesukaan Lasi bukanyang paling besar, tetapi ia punya tangan penjepit sangat kukuh danhampir sama besar dengan ukuran tubuh binatang itu. Semua kepitingbergerak menuju benda yang dijatuhkan Lasi namun dengan gerak yangperkasa Si Jepit Kukuh mengusir yang lain. Lasi meremas-remaskan jarinya

dan tanpa disadari mulutnya bergumam, \"Tangkap dan jepit sampairemuk!\" Tak ada yang tertangkap, tak ada juga yang terjepit sampai remuk.Tetapi Lasi puas dan kepiting-kepiting itu kembali bersembunyi. Lasi inginmengulang pertunjukan yang sama. Tetapi ia mengangkat muka karenamendengar suara langkah dari seberang titian. Empat anak lelaki sebayacengar-cengir, bersipongah. Tiga di antara mereka adalah teman sekelasLasi sendiri dan yang paling kecil dan kelihatan sebagai anak bawangadalah Kanjat, anak Pak Tir. Ketiga teman sekelas itu biasa menggoda Lasi,baik di dalam kelas apalagi di luarnya. Kini ketiganya cengir-cengir lagi danLasi menatap mereka dengan mata membulat penuh. Pipinya serta-mertamerona. Ada ketegangan merentang titian pinang sebatang. Kanjat yangkelihatan hanya ikut-ikutan, memandang silih berganti dengan wajahcemas. Tetapi ketiga temannya terus cengar-cengir dan mulai mengulangkebiasaan mereka menggoda Lasi. \"Lasi-pang, si Lasi anak Jepang,\" ujar yang satu sambilmemonyongkan mulut dan menuding wajah Lasi. Seorang lagi menjulurkanlidah. \"Emakmu diperkosa orang Jepang. Maka pantas, matamu kaputseperti Jepang,\" ejek yang kedua. \"Alismu seperti Cina. Ya, kamu setengah Cina.\" \"Aku Lasiyah, bukan Lasi-pang,\" teriak Lasi membela diri. \"Lasi-pang.\" \"Lasiyah!\" \"Lasi-pang! Lasi-pang! Lasi-pang! Si Lasi anak Jepang!\" \"Emakmu diperkosa Jepang. Emakmu diperkosa!\"

Dan Lasi mencabut kayu penggaris dari ketiaknya, lari menyeberangtitian dan siap melampiaskan kemarahan kepada para penggoda. Di bawahkesadarannya Lasi merasa jadi kepiting batu jantan dengan tangan penjepitkukuh perkasa. Ia takkan segan menggunting hingga putus leher ketigaanik lelaki itu. Tetapi yang ada bukan tangan penjepit melainkan kayupenggaris. Dua penggoda lari dan seorang lagi tetap tinggal, bahkanmembiarkan punggungnya dipukul Lasi dengan kayu penggaris. Dia hanyameringis sambil tertawa. Malah Lasi yang menangis. Puas karena yang mereka goda sudah menangis, ketiga anak lelaki itulari menghilang. Tetapi Kanjat tak bergerak dari tempatnya. Matanya yangbulat dan jernih terus memandang Lasi yang masih berurai air mata.Lama-lama mata Kanjat ikut basah. \"Las, aku tidak ikut nakal,\" ujar Kanjat yang tubuhnya lebih kecilkarena usianya dua tahun lebih muda. \"Kamu tidak marah padaku, bukan?\" Lasi mengangguk dan berusaha tersenyum. Tanpa ucapan apa punLasi sudah mengerti Kanjat tidak ikut nakal. Bahkan di mata Lasi, Kanjatadalah anak kecil sangat lucu; matanya bulat dan tajam, tubuhnya gemukdan bersih. Baju dan celananya bagus, paling bagus di antara pakaain yangdikenakan oleh semua anak Karangsoga. Pak Tir, orangtua Kanjat, adalahpedagang pengumpul gula kelapa dan dialah orang terkaya di Karangsoga. Masih dengan mata basah, Lasi meneruskan perjalanan. Kanjatmengikutinya dari belakang dan baru mengambil jalan simpang setelah Lasisekali lagi mencoba tersenyum kepadanya. Lasi berjalan menunduk.Langkahnya menimbulkan bunyi sampah daun bambu yang terinjak.Bayang-bayang ranting bambu seperti berjalan dan menyapu tubuhnya.Menyeberang titian terakhir, naik tatar yang dipahat pada tanjakan batucadas, lalu simpailah Lasi ke sebuah rumah bambu dengan pekaranganbertepi rumpun-rumpun salak. Lasi langsung masuk kamar dan tidak keluarlagi. Panggilan Mbok Wiryaji, emaknya, yang menyuruh Lasi makan, jugadiabaikan.

Dalam kamarnya Lasi duduk dengan pandangan mata kosong. Lasimasih tercekam oleh pengalaman digoda anak-anak sebaya. Meskipungodaan anak¬anak nakal hampir terjadi setiap hari, Lasi tak pernah mudahmelupakannya. Bahkan ada pertanyaan yang terus mengembang dalamhati; mengapa anak¬anak perempuan lain tidak mengalami hal yangsama? Mengapa namanya selalu dilencengkan menjadi Lasi-pang? Dan apaitu orang Jepang? Itu yang paling membingungkan Lasi; apa sebenarnyaarti diperkosa? Emaknya diperkosa? Juga, mengapa banyak orang melihatdengan tatapan mata yang aneh seakan pada dirinya ada kelainan? Apakarena dia anak seorang perempuan yang pernah diperkosa? Pertanyaan panjang itu membaur dan berkembang sejak Lasi masihbocah. Selentingan lain yang samar-samar pernah didengarnya juga takkurang meresahkannya; bahwa Wiryaji adalah ayah tiri bagi Lasi. Bahwaayah kandungnya adalah orang Jepang yang hilang sejak lama, sejak Lasimasih dalam kandungan. Selentingan lain lagi menyebut tentangperkosaan atas diri emaknya dan dirinya adalah anak haram buahperkosaan itu. Tetapi apa itu perkosaan? Dan hasrat sangat kuat untukmengetahui cerita mana yang benar selalu membuat hati Lasi panas. Dalamkeadaan demikian hanya satu keinginan Lasi; menjadi kepiting jantandengan jepitan perkasa untuk menggunting leher semua orangKarangsoga, juga leher emaknya kerena perempuan itu belum pernahmenjelaskan banyak hal yang selalu meresahkan hatinya. Pintu kamar tiba-tiba terbuka dan Mbok Wiryaji masuk. Wajahperempuan itu langsung suram ketika melihat Lasi duduk termenungdengan wajah tegang dan mata berkaca-kaca. Bukan baru sekali MbokWiryaji mendapati anaknya dalam keadaan seperti itu. Namun mendung diwajah Lasi kali ini sungguh gelap. Emak dan anak saling tatap dan MbokWiryaji melihat sinar kemarahan dan kekecewaan terpancar dari mata Lasi.Mbok Wiryaji tertegun. Ingin dikatakannva sesuatu kepada Lasi namunucapan yang hendak keluar teredam di tenggorokan. Ia hanya menelan

ludah dan berbalik hendak keluar. Tetapi tanpa disangka Lasimemanggilnya. Anak dan emak kembali bersitatap. Mbok Wiryaji menunggu apa yang hendak dikatakan anaknya. NamunLasi hanya menatap lalu menunduk dan mulai terisak. Napas yangpendek-pendek menandakan ada gejolak yang tertahan dalam dada Lasi. \"Anak-anak mengganggumu lagi?\" \"Selalu!\" jawab Lasi tajam. Sinar kemarahan masih terpancar darimatanya. Terasa ada tuntutan yang runcing dan menusuk diajukan olehLasi; mengapa dia harus menghadapi ejekan dan celoteh orang setiap hari.Dan Mbok Wiryaji seakan mendengar anaknya berteriak, \"Kalau bukankarena engkau, takkan aku mengalami semua kesusahan ini!\" Mbok Wiryaji mendesah dan melipat tangan di dadanya. Perempuanitu paham dan menghayati sepenuhnya kesusahan yang selalu mengusikhati Lasi. Mbok Wiryaji juga sadar, amat sadar, kesusahan Lasi adalahperpanjangan kesusahan Mbok Wiryaji sendiri; kesusahan yang sudahpuluhan tahun mengeram dalam jiwanya. Sesungguhnya Mbok Wiryaji sudah bertekad menanggung sendirikesusahan itu. Tak perlu orang lain, apalagi Lasi, ikut menderita. Namunorang Karangsoga gemar bersigunjing sehingga Lasi mendengar rahasiayang ingin disembunyikannya. Bahkan cerita yang sampai ke telinga Lasiditambah atau dikurangi, atau sama sekali diselewengkan untuk memenuhikepuasan si penutur. Mbok Wiryaji juga tidak habis pikir mengapa orangKarangsoga terus mengungkit cerita memalukan yang sebenarnya sudahlama berlalu. Atau, inikah yang dimaksud oleh kata-kata orang tua bahwaakan datang suatu masa ketika sedulur ilang sihe, persaudaraan tanpakasih? \"Apakah mereka tak ingin aku dan anakku hidup tenteram? Ataukarena Lasi cantik dan sesungguhnya mereka iri hati?\"

Mbok Wiryaji bergerak perlahan dan duduk di sebelah Lasi. Denganmata sayu dipandangnya anaknya yang tetap membisu. Dalam hati MbokWiryaji bangga akan anaknya; kulitnya bersih dengan rambut hitam lurusyang sangat lebat dan badannya lebih besar daripada anak-anaksebayanya. Tungkainya lurus dan berisi. Dan siapa saja akan percaya kelakLasi akan tumbuh jadi gadis cantik. \"Lalu mengapa anakku harus menjadibahan olokan orang setiap hari?\" Ketika Lasi melirik, Mbok Wiryaji tersentak, karena merasa adatusukan ke arah jantungnya. Ya. Mbok Wiryaji tahu dengan cara ituanaknya minta penjelasan banyak hal yang menyebabkan anak-anak danjuga orang-orang dewasa sering mengejeknya. Ya. Dan Mbok Wiryajimerasa tak perlu lagi merahasiakan sesuatu. Ia ingin membuka semuanya.Mbok Wiryaji siap membuka mulut tetapi tiba-tiba ada yang mengganjalniatnya. Bukankah Lasi baru tiga belas tahun? Pantaskah anak seusia itumendengar pengakuan tentang sesuatu yang memalukan seperti tindakrudapaksa berahi? Mbok Wiryaji surut. Ada pikiran baru yang mencegahnyaberterus terang karena ia merasa saatnya belum tiba. Mungkin kelak, bilaLasi sudah berumah tangga, semua bisa dibuka untuknya. Mungkin karena lama ditunggu emaknya tak berkata sepatah pun,Lasi jadi gelisah. Dan tanpa mengubah arah wajahnya, sebuah pertanyaanmeluncur dari mulutnya. \"Apa betul Wiryaji bukan ayah saya?\" Mbok Wiryaji terkejut dan mendadak meluruskan punggung. \"Ya,Las. Dia bukan ayah kandungmu,\" jawab Mbok Wiryaji agak terbata. \"Jadi siapa ayah saya yang sebenarnya? Orang Jepang?\" \"Ya.\" Mbok Wiryaji menelan ludah.

\"Kok bisa begitu?\" \"Dulu di sini banyak orang Jepang. Mereka tentara.\" \"Kata orang, Emak diperkosa orang Jepang. Diperkosa itubagaimana?\" Mbok Wiryaji menelan ludah lagi. Dan gugup, sangat gugup. Bibirnyagemetar. Tangannya bergerak tak menentu. Air mata mulai meleleh darimata dan hidungnya. Dan Mbok Wiryaji kembali terkejut ketika Lasi dengansuara mantap mengulangi pertanyaannya. \"Diperkosa, artinya dipaksa,\" ujar Mbok Wiryaji masih dalamkegagapan. \"Dipaksa bagaimana?\" kejar Lasi. \"Oalah, Las, emakmu dipaksa cabul. Mengerti?\" Mata Lasi terbelalak. Meski tidak jelas benar, Lasi mengerti apa yangdimaksud emaknya. Rona amarah muncul sangat jelas pada wajahnya yangputih. Bibirnya bergerak-gerak hendak mengucapkan sesuatu tetapi Lasihanya tergagap. Ketika akhirnya meluncur sebuah pertanyaan darimulutnya, giliran Mbok Wiryaji yang tergagap. \"Karena diperkosa itu kemudian Emak mengandung saya?\" \"Oh, tidak, Nak! Tidak.\" \"Emak bohong?\" \"Oalah, Las, Emak tidak bohong. Dengarlah. Kamu lahir tiga tahunsesudah peristiwa cabul yang amat kubenci itu. Entah bagaimana setelahtiga tahun menghilang orang Jepang itu muncul lagi di Karangsoga.Kedatangannya yang kedua tidak lagi bersama bala tentara Jepangmelainkan bersama para pemuda gerilya. Tampaknya ayahmu menjadi

pelatih para pemuda. Dan mereka, para pemuda itu, juga Eyang Mus mintaaku memaafkan ayahmu, bahkan aku diminta juga menerima lamarannya.\" \"Emak mau?\" \"Mula-mula, Las, karena aku tak bisa menolak permintaan daripemuda dan Eyang Mus. Tetapi aku akhirnya tahu, ayahmu baik, kok.\" Sejenak Lasi terdiam. Alisnya berkerut. \"Las, akhirnya aku menikah dengan ayahmu dan sesudah itu kamulahir. Tetapi, Las, ayahmu kemudian pergi lagi bersama para pemuda dantak pernah kembali, padahal kamu sudah lima bulan dalam kandunganku.Kabarnya ayahmu meninggal dalam tawanan tentara Belanda.\" Lasi mengerutkan kening. Wajahnya tetap beku namunketegangannya lambat laun mereda. \"Oh ya, Las,\" sambung Mbok Wiryaji, \"ayahmu seperti Cina dan agaklucu apabila pakai kain sarung dan kopiah. Kata orang, sebenarnya ayahmubernama Miyaki atau Misaki barangkali. Entahlah, namun Eyang Muskemudian memberinya nama baru, Marjuki.\" \"Marjuki? Jadi ayah saya Marjuki?\" \"Ya. Dan mirip Cina.\" \"Mirip Cina?\" \"Betul. Orang Jepang memang mirip Cina.\" \"Mak?\" \"Apa?\" \"Tetapi mengapa mereka selalu bilang saya haram jadah?\" Mbok Wiryaji terdiam. Matanya kembali merah.

\"Las, mereka tahu apa dan siapa kamu sebenarnya. Tetapi aku taktahu mengapa mereka lebih suka cerita palsu, barangkali untuk menyakitiaku dan kamu. Sudahlah, Las, biarkan mereka. Kita sebaiknya nrima saja.Kata orang, nrima ngalah luhur wekasane, orang yang mengalah akandihormati pada akhirnya.\" Kamar itu mendadak senyap. Hanya suara napas Mbok Wiryaji yangmendesah panjang. Perempuan itu merasa telah menurunkan sebagianbesar beban yang sudah bertahun-tahun menindih pundaknya. Dan kini iamenatap Lasi karena ingin membaca tanggapan atas pengakuannya. TetapiLasi tak bergeming. Gadis tanggung itu menatap tanah. Jarinyamengutik-utik sudut tikar pandan. Lalu, tanpa menoleh ke emaknya, Lasibangkit dan keluar dari kamar. Mbok Wiryaji mengikuti dengan pandanganmatanya. Dan ia lega ketika melihat Lasi membuka tudung saji di atasmeja. Mbok Wiryaji percaya, hanya hati yang damai bisa diajak makan. Tamat sekolah desa usia Lasi genap 14 tahun. Empat temanperempuan yang bersama-sama meninggalkan sekolah segera mendapatjodoh masing-masing. Lasi pun akan segera berumah wngga andaikanorangtuanya menerima lamaran Pak Sambeng, guru Lasi sendiri. Lamaranitu ditolak karena Pak Guru sudah beristri. Dan hampir enam tahun sesudahitu Lasi belum juga menemukan jodoh; suatu hal yang agak bertentangandengan ukuran kewajaran di Karangsoga terutama karena Lasi sungguhtidak jelek apalagi cacat. Namun siapa saja akan segera mengerti mengapagadis secantik Lasi lama tak mendapatkan jodoh. Orang Karangsoga sangatmempertimbangkan segi asal¬usul dalam hal mencari calon istri ataumenantu. Ayah Lasi, meski semua orang Karangsoga tahu siapa dia, adalahorang asing yang hanya muncul beberapa bulan di Karangsoga, bahkansudah lama meninggal tetapi entah di mana kuburnya. Di Karangsoga,gadis dari keluarga yang tidak utuh kurang disukai. Dan cerita tentangperkosaan itu membuat citra Lasi buruk. Lasi telanjur mendapat citraharam jadah meskipun semua orang tahu sebutan itu terlalu kejam dansama sekali tidak benar.

Ada juga orang bilang Lasi berbeda dengan semua gadis Karangsogasehingga perjaka di sana enggan melamarnya. Tidak aman mempunyai istriyang terlalu mudah menarik perhatian lelaki lain, kata mereka. Anehnya,mereka tetap senang menjadikan Lasi bahan celoteh di mana-mana. Jadilah Lasi tetap gadis sampai usianya hampir dua puluh. DiKarangsoga mungkin hanya seorang gadis bisu yang belum menikah padausia itu. Padahal Lasi tak kurang suatu apa. Bahkan mungkin Lasi adalahgadis tercantik di antara gadis-gadis seangkatannya di Karangsoga. Dankenyataan demikian malah membuat Lasi makin jadi omongan orangsehingga membuatnya segan keluar rumah. Hari-hari Lasi adalah hari-hari anak perawan keluarga Wiryaji, satu diantara sekian banyak keluarga penyadap kelapa di Karangsoga. Pagi-pagiLasi mempunyai pekerjaan tetap: menyiapkan tungku dengan kawahbesar. Nira akan dituangkan dari pongkor-pongkor lewat ayakan bambusebagai saringan. Yang tersaring bisa macam-macam, dari sisa irisan malai,lebah mati, sampai kumbang tanduk yang terjebak ke dalam pongkor. Ataubila cuaca buruk nira sering berbusa kental berwarna putih. Dan Lasi selalubergidik bila ada cecak atau tikus kecil mati tenggelam dalam nira. Lasi senang memperhatikan nira menggelegak dalam kawah. Baunyaenak dan gejolaknya mengundang gairah. Uap tebal yang naikbergulung-gulung bisa mendatangkan khayal teniang keperkasaan seoranglelaki penyadap. Atau bila nira mulai menjadi tengguli, warnanya berubahjadi coklat lalu merah tua. Gelembung-gelembung kecil muncul, ketikapecah menimbulkan letupan¬letupan halus. Pada saat ini tengguli yangmendidih hampir mencapai titik jenuh dan kawah akan diangkat daritungku. Sambil menanti titik jenuh itu tengguli yang sudah berbentuk pastadiaduk-aduk dan mulai dituangkan ke dalam sengkang, cetakan berupagelang-gelang bambu setebal empat jari. Lasi yang hampir tak pernah bicara kecuali dengan emaknya akanmendapat teman bila Wiryaji yang sudah tua kebetulan sakit. Bila Wiryaji

tak bisa bekerja, Darsa akan menggantikan pamannya itu menyadap nirakelapa. Darsa pendiam dan Lasi menyukainya. Bukan apa-apa, seorangpendiam bagi Lasi punya arti khusus. Siapa yang pendiam tentu tidakbanyak omong dan tidak suka berceloteh seperti kebanyakan orangKarangsoga. Atau karena Darsa setidaknya tidak buruk. Memang tidak jugabagus telapi sosok kelelakiannya jelas. Badannya seimbang dan ototnyaliat, khas otot para penyadap. Apalagi Darsa masih sangat muda, usianyahanya beberapa tahun di atas Lasi. Atau lagi, Darsa sering menyelipkan sesuatu di antara ikatanpongkor-nya. Kadang salak yang masak, kadang mangga. Bila Lasibertanya, \"ini untuk aku?\" Darsa hanya tersenyum. Dan matanya menyala.Anehnya Darsa tertunduk malu ketika suatu kali tertangkap oleh MbokWiryaji sedang saling pandang dengan Lasi. Padahal bagi Mhok Wiryajisuasana manis antara anak sendiri dan kemenakan suaminya itu sudahlama diketahuinya. Suasana itu malah memberi Mbok Wiryaji ilham;menjodohkan Lasi dan Darsa, bila bisa diatur, akan memupus semuaceloteh yang telah menyiksanya selama bertahun-tahun. Orang selalubilang, seorang gadis, apalagi ia cantik, akan tetap menjadi bahanomongan para tetangga sampai ia menikah, mapan, dan beranak-pinak.Sebelum hal itu tercapai, mungkin hanya masalah cara dia berjalan akandiperhatikan orang. Tetapi ungkapan itu terbukti tidak sepenuhnya benar.Omongan tentang Lasi, tentang perkosaan terhadap emaknya, atautentang ayahnya yang hilang sesekali masih terdengar meski Lasi telahmenjadi istri Darsa. *** Kabut pagi yang tipis memberi sapuan baur pada lembah danlereng-lereng bukit di sekitar Karangsoga. Namun karena kabut itu pulamuncul tekanan pada matra ketiga pemandangan di sana. Karena sapuankabut, makin jelaslah lereng atau bukit yang dekat dan yang lebih jauh. Ditimur sinar matahari menyemburat dari balik bayangan bukit.

Puncak-puncak pepohonan mulai tersapu sinar merah kekuningan. Darisebuah sudut di Karangsoga pemandangan jauh ke selatan mencapaidataran rendah yang sangat luas. Karena letaknya yang tinggi, dari tempatini orang Karangsoga setiap pagi dapat melihat iring¬iringan burung kuntulterbang di bawah garis pandang mata. Dengan cara menunduk pula merekadapat melihat hamparan sawah dan ladang. Kota kewedanan kelihatanseluruhnya dan berbatasan dengan cakrawala adalah garis pantai lautselatan. Pagi ini Lasi berangkat hendak menjenguk Darsa di rumah sakit kecil dikota kewedanan itu. Lasi sengaja memilih jalan pintas agar tidak bertemudengan orang-orang yang hendak pergi ke pasar. Mereka terlalu ingin tahudan Lasi sudah bosan menjawab pertanyaan mereka. Dalam keremanganpagi Lasi melihat banyak pohon kelapa bergoyang karena sedang dipanjatoleh penyadap. Tetes-tetes embun berjatuhan membuat gerimis setempat.Kelentang-kelentung suara pongkor yang saling beradu ketika dibawa naik.Ketika melintas titian Lasi tertegun sejenak, heran mengapa dulu ia seringberlama-lama melihat kepiting batu di bawah sana. Ada burung paruhudang terbang menuruti alur jurang, suaranya mencicit lalu hilang di balikrumpun salak. Suara tokek dari lubang kayu memecah keheningan pagiyang masih sangat berembun. Seekor burung ekor kipas berkicau meriah,lalu melesat ketika melihat lalat terbang. Tubuhnya yang kecil tampakberkelebat bila unggas itu melompat dari dahan satu ke dahan lain dalamrimbunan semak. Dengung kumbang yang terbang-hinggap pada bungabungur. Sepasang kadal bekejaran melintas jalan setapak di depan Lasi.Dan bunyi riang-riang mulai menggoda kelengangan pagi. Lasi terus berjalan cepat tanpa menoleh kiri kanan. Sampai di mulutjalan kampung Lasi naik delman yang sudah berisi beberapa penumpang.Kini Lasi tak bisa menghindar dari pertanyaan penumpang lain yangsemuanya orang Karangsoga. Ldsi hanya menjawab seperlunya karenahatinya sudah sampai ke kamar Darsa di rumah sakit. Sudan semingguDarsa dirawat di sana dan luka¬luka di kulitnya berangsur pulih. Tubuh

seorang penyadap muda selalu punya daya sembuh yang kuat. Darsa jugasudah doyan makan. Dan Lasi sudah bertanya kepada perawat tentangjumlah binya yang harus dibayarnya. Dari jawaban perawat Lasi dapatmenghitung uang yang dipinjamnya dari Pak Tir hanya cukup untukmerawat Darsa selama sepuluh hari. Tetapi Lasi mendengar bisik-bisik diantara para perawat bahwa mungkin Darsa perlu perawatan di rumah sakitbesar karena sampai demikian jauh masih ada yang tak beres padatubuhnya; kencingnya terus menetes tak terkendali. Para perawat ituberbicara juga tentang kemungkinan bedah syaraf atas diri Darsa. Bedah syaraf? Apa itu? Lasi pening memikirkannya dan sangat takutbila perawatan semacam itu mengancam jiwa suaminya. Lagi pula berapabiayanya? Dan pagi ini Lasi mendapat jawaban atas semua pertanyaan itu.Dokter kepala poliklinik memanggilnya untuk mendapat penjelasan tentangDarsa. \"Suamimu sudah lepas dari bahaya. Tetapi dia harus dibawa kerumah sakit yang besar agar bisa dirawat dengan sempurna,\" kata dokteryang masih muda itu. \"Kamu tahu, bukan, pakaian suamimu masih terusbasah. Suamimu masih terus ngompol.\" Lasi tak berani mengangkat muka. Rasa cemas mulai membayang diwajahnya. \"Apakah nanti Kang Darsa membutuhkan biaya besar?\" tanya Lasidengan bibir gemetar. \"Saya kira begitu. Mungkin puluhan, atau malah bisa ratusan ribu.\" Lasi menelan ludah dan menelan ludah lagi. Dia merasa ada dindingterjal mendadak berdiri di depan wajahnya. Pandangan matanya buntu dankosong. Pada wajahnya tidak hanya tergambar kecemasan melainkan jugaketidakberdayaan.

\"Nanti akan saya bicarakan dengan orangtua saya,\" kata Lasi setelahlama terdiam, kemudian berlalu dari hadapan dokter. Lasi terus berjalan cepat tanpa menoleh kiri kanan. Sampai di mulutjalan kampung Lasi naik delman yang sudah berisi beberapa penumpang.Kini Lasi tak bisa menghindar dari pertanyaan penumpang lain yangsemuanya orang Karangsoga. Ldsi hanya menjawab seperlunya karenahatinya sudah sampai ke kamar Darsa di rumah sakit. Sudan semingguDarsa dirawat di sana dan luka¬luka di kulitnya berangsur pulih. Tubuhseorang penyadap muda selalu punya daya sembuh yang kuat. Darsa jugasudah doyan makan. Dan Lasi sudah bertanya kepada perawat tentangjumlah binya yang harus dibayarnya. Dari jawaban perawat Lasi dapatmenghitung uang yang dipinjamnya dari Pak Tir hanya cukup untukmerawat Darsa selama sepuluh hari. Tetapi Lasi mendengar bisik-bisik diantara para perawat bahwa mungkin Darsa perlu perawatan di rumah sakitbesar karena sampai demikian jauh masih ada yang tak beres padatubuhnya; kencingnya terus menetes tak terkendali. Para perawat ituberbicara juga tentang kemungkinan bedah syaraf atas diri Darsa. Bedah syaraf? Apa itu? Lasi pening memikirkannya dan sangat takutbila perawatan semacam itu mengancam jiwa suaminya. Lagi pula berapabiayanya? Dan pagi ini Lasi mendapat jawaban atas semua pertanyaan itu.Dokter kepala poliklinik memanggilnya untuk mendapat penjelasan tentangDarsa. \"Suamimu sudah lepas dari bahaya. Tetapi dia harus dibawa kerumah sakit yang besar agar bisa dirawat dengan sempurna,\" kata dokteryang masih muda itu. \"Kamu tahu, bukan, pakaian suamimu masih terusbasah. Suamimu masih terus ngompol.\" Lasi tak berani mengangkat muka. Rasa cemas mulai membayang diwajahnya.

\"Apakah nanti Kang Darsa membutuhkan biaya besar?\" tanya Lasidengan bibir gemetar. \"Saya kira begitu. Mungkin puluhan, atau malah bisa ratusan ribu.\" Lasi menelan ludah dan menelan ludah lagi. Dia merasa ada dindingterjal mendadak berdiri di depan wajahnya. Pandangan matanya buntu dankosong. Pada wajahnya tidak hanya tergambar kecemasan melainkan jugaketidakberdayaan. \"Nanti akan saya bicarakan dengan orangtua saya,\" kata Lasi setelahlama terdiam, kemudian berlalu dari hadapan dokter. Di kamar perawatan Darsa, Lasi berusaha menyembunyikankebimbangannya. Sambil duduk di tepi dipan ia berusaha tersenyum,memijit-mijit lengan Darsa lalu bangkit untuk menukar kain sarung yangdikenakan suaminya itu. Bau sengak menyengat. Selesai menukar kainsarung Lasi membuka bungkusan makanan yang dibawanya dari rumah.Tetapi Darsa tak tertarik melihat lontong dan telur asin yang di bawa Lasi. Sesungguhnya Lasi ingin menyampaikan kata-kata dokter Yangditerimanya beberapa menit berselang. Tetapi niat itu urung setelah Lasimenatap wajah suaminya yang masih pucat dan kelihatan sangat tertekan.Maka Lasi membuka pembicaraan lain sekadar untuk mencairkan suasana. \"Kang, bila malam rumah kita kosong. Aku tidur di rumah Emak.\" Darsa hanya mengangkat alis. \"Sekarang Mukri yang menyadap kelapa kita,\" kata Lasi lagi, \"sampaikamu sembuh.\" \"Berapa harga gula sekarang?\" Suara Darsa serak. \"Enam rupiah, tidak cukup untuk satu kilo beras.\"

Darsa mengangkat alis lagi. Tetapi dia tidak kaget. Seorang penyadapsudah terbiasa bermimpi tentang harapan yang tetap tinggal harapan.Mereka, para penyadap, punya harapan mendapatkan harga gula seimbangdengan harga beras; sebuah harapan bersahaja namun jarang menjadikenyataan. Berapa harga gula, adalah pertanyaan sehari-hari parapenyadap. Celakanya mereka selalu cemas ketika menanti jawabnya.Harga gula adalah pertanyaan kejam yang tak pernah mempertimbangkanbetapa besar risiko yang harus dihadapi para penyadap. Suami bisa jatuhdan istri bisa terperosok ke dalam tengguli mendidih. Untuk kedua risiko ininyawalah yang menjadi taruhan. Tetapi harga gula jarang mencapai tingkatharga beras. \"Kang, aku pulang dulu, ya. Pakaianmu harus dicuci. Besok pagi akudatang lagi.\" Darsa hanya mengangguk. Lalu dipandangnya Lasi yang sedangmembungkus pakaian kotor dan baunya amat menyengat. Ketika Lasi berangkatsekilas tampak tengkuknya yang putih. Mata Darsa menyala danjantungnya terbakar. Angan-angannya melayang tetapi segera terpupusketika ia menyadari tubuhnya masih lemah dan kencingnya masih terusmenetes. Sejak mendapat kecelakaan seminggu yang lalu Darsa bahkanmcrasa mengalami gejala yang sangat dibenci oleh setiap lelaki: lemahpucuk. Tiba di Karangsoga, Lasi langsung menuju rumah orangtuanya.Belum lagi melangkahi ambang pintu air matanya sudah berderai.Suami-istri Wiryaji yang mengira keadaan Darsa bertambah buruk, segeramenjemput Lasi. \"Bagaimana suamimu?\" tanya Mbok Wiryaji memburu.

\"Masih seperti kemarin, Mak,\" jawab Lasi sambil mengusap airmatanya. Tetapi kala dokter, Kang Darsa harus dibawa ke rumah sakitbesar karena dia masih terus ngompol. Mak, kata dokter biayanya besarsekali. Bisa ratusan ribu.\" Lasi terisak. Suami-istri Wiryaji terpaku di tempat dudukmasing-masing. Dan keduanya terkejut ketika Lasi tiba-tiba bertanya. \"Kita harus bagaimana, Mak?\" Pertanyaan pendek itu lama tak berjawab. Puluhan atau bahkanratusan ribu? Uang sebanyak itu tak pernah terbayang bisa mereka miliki.Tak pernah. \"Kita harus bagaimana?\" ulang Lasi. Wiryaji terbatuk. Istrinyamendesah. Lasi yang melihat orangtuanya bimbang makin terisak.Pikirannya kacau dan hatinya gelap. Suasana rumah pun mati danmencekam karena Lasi dan kedua orangtuanya sama-sama merasa takpunya kata-kata untuk diucapkan. Namun kesunyian cair kembali ketikaMukri, Eyang Mus, dan beberapa tetangga masuk. Mereka juga ingin tahukabar terakhir tentang Darsa. Dan penjelasan yang diberikan Lasi membuatmereka tercengang. \"Kami bingung. Uang sebanyak itu hanya bisa kami miliki bila rumahdan pekarangan yang ditempati Lasi kami jual,\" ujar Wiryaji sambilmenunduk. \"Lalu, apakah hal itu harus kulakukan? Kalaupun ya, siapa yangbisa membelinya dencan cepat?\" \"Kang, soal membeli dengan cepat Pak Tir bisa melakukannya,\" ujarMbok Wiryaji. \"Masalahnya, tanpa pekarangan dan rumah anakku mautinggal di mana? Beruntung bila Darsa sembuh, bila tidak? Apakah ini bukantaruhan yang terlalu mahal dan sia-sia?\"

\"Mak, tapi kasihan Kang Darsa,\" sela Lasi. \"Saya ingin dia dirawatsampai sembuh. Untuk Kang Darsa, apakah kebun kelapa saya tidak bisadijual?\" \"Jangan, Las,\" potong Mak Wiryaji. \"Tanah adalah sumberpenghidupanmu dan juga persediaan bagi anak-anakmu kelak. Tanah itu,meski hanya secuil, adalah masa depanmu dan keturunanmu. Aku tak akanmembiarkan kamu main-main dengan tanah.\" \"Tetapi, Mak, kasihan Kang Darsa,\" ulang Lasi. \"Las, siapa yang tak kasihan kepada Darsa? Tapi puluh-puluh Nak,kita tak punya biaya. Kita hanya bisa pasrah.\" Lasi kembali terisak. Eyang Mus terbatuk. Mbok Wiryaji menariknapas panjang. Selebihnya adalah kelengangan yang mencekam. EyangMus terbatuk lagi. Lelaki tua itu tahu dirinya adalah rujukan dan narasumber untuk dimintai pendapat. Maka Eyang Mus ingin berkata sesuatu.Namun lidahnya terasa kelu karena Eyang Mus teringat musibah sama yangmenimpa Parja setahun yang lewat. Parja pun jatuh ketika sedangmenyadap nira. Melihat cederanya parah, keluarga Parja tidak maumembawanya ke rumah sakit. Mereka tak mau menggali utang untukmembiayai pengobatan Parja karena usaha semacam itu terasa hanyasebagai kerja untung-untungan. Waktu itu Eyang Mus bersikeras memintaorangtua Parja membawa anaknya ke rumah sakit meskipun harus mencaripinjaman uang untuk biaya. Ternyata nyawa Parja tak dapat dipertahankan. Parja meninggal dankeluarganya menanggung uang yang tak kunjung lunas. Anak dan istriParja jatuh dan dua kali menderita. Sampai sekarang Eyang Mus sangatmenyesal, apalagi bila kebetulan bertemu dengan anak-anak Parja yangyatim dan kurang terurus. Untuk ketiga kali Eyang Mus terbatuk dan gagalmengucapkan sesuatu. Bahkan orang tua itu hanya termangu ketikaWiryaji jelas-jelas minta nasihatnya.

Suasana masih hening. Kecuali desah-desah panjang. Atauburung-burung yang terus berkicau di atas pepohonan. Mereka takmengenal duka. Dari jauh terdengar ceblak-cebluk suara orang mengaduktengguli yang siap naik cetakan. Baunya yang harum merambah kemana-mana menjadi ciri utama kampung penghasil gula kelapa, ciri utamaKarangsoga. \"Rasanya kami sudah berusaha semampu kami,\" ujar Wiryajimencairkan kebisuan. \"Utang sudah kami gali dan tentu tak akan mudahbagi kami mengembalikannya. Bila usaha kami ternyata tak cukup untukmenyembuhkan Darsa, kami tak bisa berbuat apa-apa lagi. Kami tinggalpasrah.\" \"Ya,\" sambung Mbok Wiryaji. \"Kami pasrah. Besok Darsa kami jemputdan akan kami rawat di rumah. Siapa tahu, di rumah Darsa bisa sembuh.Kita percaya, bila mau menurunkan welas-asih Gusti Allah tak kurang cara.Iya, kan, Eyang Mus?\" Eyang Mus tersenyum dan mengangguk mengiyakan. Namun warnagetir muncul di wajahnya. Lasi bangkit dan pergi ke sumur. Di sana Lasimencuci pakaian suaminya yang bau sengak. Air matanya terus menetes.Mukri dan para tetangga pulang sambil menundukkan kepala. Mataharihampir mencapai pucuk langit dan angin yang lembut menggoyangpohon-pohon kelapa di Karangsoga.

BAGIAN KEDUA Musim pancaroba telah lewat dan kemarau tiba. Udara Karangsogayang sejuk berubah dingin dan acap berkabut pada malam hari. Namunkemarau di tanah vulkanik itu tak pernah mendatangkan kekeringan.Pepohonan tetap hijau karena tanah di sana kaya akan kandungan air.Suara gemercik air tetap terdengar dari parit-parit berbatu atau dari dasarjurang yang tertutup rimbunan pakis-pakisan. Kemarau di Karangsogahanya berarti tiadanya hujan dalam satu atau dua bulan. Alam sangatmemanjakan kampung itu dengan memberinya cukup air dan kesuburan.Lalu, mengapa para penyadap kelapa di Karangsoga hidup miskin adalahkenyataan ironik, yang anehnya tak pernah dipermasalahkan apalagidipertanyakan di sana. Kehidupan di Karangsoga tetap mengalir seperti air di sungai-sungaikecil yang berbatu-batu. Manusianya hanyut, terbentur-bentur, kadangtenggelam atau bahkan membusuk di dasarnya. Tak ada yang mengeluh,tak ada yang punya gereget, misalnya mencari kemungkinan memperolehmata pencarian lain karena menyadap nira punya risiko sangat tinggidengan hasil sangat rendah. Atau menggalang persatuan agar mereka bisabertahan dari kekejaman pasar bebas yang sangat leluasa memainkanharga gula. Tidak. Karangsoga tetap adhem-ayem seperti biasa, tenang, seolahkemiskinan para penyadap di sana adalah kenyataan yang sudah dikemasdan harus mereka terima. Malam itu pun Karangsoga tenang. Bulan yanghampir bulat leluasa mendaulat langit karena awan hanya sedikit menyaputufuk barat. Eyang Mus turun dari suraunya yang kecil setelah beberapa lelaki tualebih dulu meninggalkannya. Di emper surau Eyang Mus mengangkat mukauntuk sejenak menatap langit. Dan cahaya bulan yang menerpa wajahserta-merta menyejukkan hatinya. Bunyi terompah yang teratur mengiringi

langkahnya dan segera berganti nada ketika Eyang Mus menginjak lantairumah. Pintu berderit ketika Eyang Mus masuk. Mbok Mus sudah menyiapkanteh hangat dan kotak tembakau di meja ruang depan. Pasangan orang tuaitu biasa duduk berlama-lama sambil menunggu mata mengantuk. Tak adakesibukan pada malam seperti itu bagi pasangan yang sudah ditinggal olehanak-anak. Keempat anak mereka sudah lama berumah tangga danmemisahkan diri. Namun malam ini Eyang Mus tak ingin duduk termangu. Bulan hampirbulat yang dilihatnya sejenak ketika ia turun dari surau telah mengusikhatinya lalu menuntun langkahnya ke pojok ruang depan. Di sana adagambang kayu keling yang usianya mungkin lebih tua daripada Eyang Mussendiri. Eyang Mus yang sering mendapat sebutan santri kuno, mahirmemainkan gambang tunggal untuk mengiringi bait-bait suluk yang biasaditembangkannya dalam irama sinom atau dhandhanggula. Bagi seorangsantri kuno seperti Eyang Mus, suluk yang diantar oleh irama gambang taklain adalah tangis rindu seorang kawula akan Gusti¬nya; tangis seorangpengembara yang ingin menyatu kembali dengan asal-mula dan tujuanakhir segala yang ada, sangkan paraning dumadi. Maka bila sudahtenggelam dalam suluk-nya Eyang Mus lupa akan sekeliling, mabuk,keringat membasahi tubuh, dan air matanya berjatuhan. Suaranyangelangut menusuk malam, menusuk langit. Apalagi bila yangditembangkannya adalah bait-bait pilihan. Wong kas ingkang sampun makolih Hakul yakin tingale pan nyata sarta lan sapatemone Pan sampun sirna luluh tetebenge jagat puniki

Kabotan katingalan ing wardayanipun Anging jatine Sanghyang Suksma Datan pegat anjenengaken mangkyeki Kang ketung mung Pangeran Sapolahe dadi pangabekti Salat daim pan datan wangenan Pan ora pesti wektune pan ora salatwulu Tan pegat ing ulat liring Madhep maring Hyang Suksma Salir kang kadulu andulu jatining tunggal jroning bekti miwah sajabaning bekti Sampun anunggal tingal Adalah manusia istimewa yang telah sampai kepada kebenaransejati; pandangan hatinya menjadi bening begitu ia berhadapan dcnganTuhan. Luluh lebur segala tabir dunia. Pandangannya larut dalamkebesaran Tuhan-nya. Tak putus menyebut nama-Nya. Baginya yang adahanyalah Allah. Semua geraknya menjadi sembah, salat jiwanya tegak sepanjangwaktu bahkan ketika raganya dalam keadaan tak suci. Mata hatinya takputus memandang Allah. Kenyataan yang ada baginya adalah kesatuanwujud baik ketika dalam salat maupun di luarnya. Hasrat manusiawi 'lahterselaraskan dengan kehendak Ilahi.

Dan semuanya baru berhenti apabila Eyang Mus, oleh matrakemanusiaan sendiri, tersadar dirinya terhadirkan di alam kesehatian. Orang Karangsoga, bahkan Mbok Mus sendiri tak pernah mengertibetapa jauh jiwa Eyang Mus mengembara ketika lelaki tua itu sedangbersila di depan gambangnya. Mereka tidak tahu, ketika mata Eyang Musterpejam hatinya malah melihat dunia yang lebih nyata. Namun demikianorang Karangsoga setidaknya mampu menangkap muatan wadhag,muatan lahiriah suara gambang Eyang Mus. Muatan itu adalah iramagambang yang menyapa hati, menyentuh jiwa sehingga mereka betahmendengarkannya. Apalagi ketika tengah malam cahaya bulan membuatbayang-bayang pepohonan di halaman dan udara musim kemarau terasasangat dingin; orang-orang Karangsoga larut dalam kelembutan suara gambang yang melantun merayapi sudut-sudut kampung,memantul pada lereng-lereng tebing, dan menghilang setelah jauhmerayap menyusur lembah. Eyang Mus bangkit setelah selesai dengan beberapa pupuh suluk lalududuk di bangku panjang. Lelaki tua itu sedang menggulung rokok danistrinya sedang membersihkan bibir dengan susur ketika seorangperempuan uluk salam. Eyang Mus dan istrinya sudah kenal suara itu, suaraMbok Wiryaji. \"Aku tak pangling akan suaramu. Bersama siapa?\" tanya Eyang Mussambil membukakan pintu. \"Sendiri, Yang.\" \"Suamimu?\" \"Di rumah.\"

Di bawah sorot lampu gantung tampak wajah Mbok Wiryaji yanggelap. Eyang Mus suami-istri sudah hafal, istri Wiryaji itu selalu datang bilaada kekusutan di rumah. \"Duduklah. Rasanya wajahmu mendung. Cekcok lagi?\" \"Biasa, Yang. Mungkin sudah jadi suratan, saya dan suami saya harussering cekcok.\" \"Kalian sudah beruban tetapi belum juga berubah.\" \"Yang, pada awalnya saya dan suami saya bicara soal Lasi. Bicara kesana kemari, eh, lama-lama kami bertengkar. Daripada ramai di rumahlebih baik saya menyingkir ke sini.\" \"Cobalah, sesekali kamu datang kemari dengan nasi hangat dan gulaiikan tawes, pasti kuterima dengan gembira. Jangan selalu soal pusingkepala yang kamu sodorkan kepadaku. Sekarang urusan apa lagi?\" \"Lasi, Yang. Maksud saya, suaminya si Darsa itu. Sudah empat bulandirawat di rumah keadaannya tak berubah.\" \"Masih ngompol?\" \"Ngompol terus, malah perangai Darsa sekarang berubah. Ia jadisuka marah, sepanjang hari uring-uringan. Kemarin Darsa membantingpiring hanya karena Lasi agak lama pergi ke warung. Aku kasihan kepadaLasi. Suami seperti kambing lumpuh, pakaiannya yang sengak harus dicucitiap hari, tapi saban kali Lasi malah kena marah.\" \"Siapa yang menyiapkan kayu bakar?\" \"Nah, itu! Mengolah nira memang pekerjaan Lasi sejak kecil. Tetapisoal mencari kayu? Eyang Mus, saya tak tega melihat Lasi tiap haribersusah payah mengambil kayu di hutan. Dan yang membuat saya cemas,

apakah penderitaan Lasi bisa berakhir? Bagaimana kalau Darsa tak bisasembuh?\" \"Kamu jangan berpikir seperti itu.\" \"Eyang Mus, Lasi masih muda. Apa iya, seumur-umur ia harusngewulani suami yang hanya bisa ngompol?\" Mbok Wiryaji tersenyumpahit. \"Hus.\" \"Saya tidak main-main, Eyang Mus. Sekarang Darsa memang hanyabisa ngompol, ditambah perangainya yang berubah jadi pemarah. Dengankeadaan seperti itu, sampai kapan Lasi bisa bertahan, dan haruskah sayadiam belaka?\" \"Nanti dulu. Kalau perasaanku tak salah, aku menangkap maksudtertentu dalam kata-katamu. Kamu tidak lagi menghendaki Darsa jadimenantumu?\" Mbok Wiryaji terkejut. Wajahnya berubah. Eyang Mus tersenyumkarena percaya dugaannya jitu. \"Jangan tergesa-gesa. Sebelum mendapat kecelakaan Darsa adalahsuami yang baik. Kini Darsa tak berdaya karena sesuatu yang berasal dariluar kehendaknya. Lalu, apakah kamu mau tega?\" \"Aku ikut tanya,\" sela Mbok Mus. \"Apakah Lasi kelihatin tak suka lagibersuami Darsa?\" \"Tidak juga. Saya kira Lasi tetap setia menemani suaminya yang bausengak itu. Dan hal itulah yang membuat saya malah jadi lebih kasihankepadanya. Masalahnya, apakah Lasi harus mendnderita lahir-batinseumur hidup?\"

\"Sebelum kamu punya pikiran pendek seperti tadi, apa kamu sudahcukup ikhtiar untuk menyembuhkan Darsa?\" \"Sudah tak kurang, Eyang Mus. Tidak sembuh di rumah sakit,kemudian segala jamu sudah banyak diminum. Jampi sudah banyakdisembur.\" \"Ya. Ikhtiar harus tetap dijalankan. Juga doa. Dulu kamu sendiribilang, bila hendak memberikan welas-asih, Gusti Allah tidak kurang cara.Tetapi mengapa sekarang kamu jadi berputus asa? Kamu tak lagi percayabahwa Gusti Allah ora sare, tetap jaga untuk menerima segala doa?\" \"Iya, Eyang Mus. Semua itu saya percaya. Tetapi...\" \"Teruskan, kenapa terputus?\" Mbok Wiryaji kelihatan ragu. \"Eyang Mus, saya berterus terang saja, ya. Kemarin saya mendapatpesan dari Pak Sambeng, guru yang dulu mengajar Lasi. Ketika Lasi masihgadis Pak Sambeng melamarnya tetapi kami tolak karena waktu itu PakSambeng masih punya istri. Kini, dia menduda. Dia masih menghendakiLisi. Katanya, bila tak kena perawan, jandanya pun jadi.\" \"Cukup! Rupanya inilah hal terpenting mengapa kamu datang kemari.Rupanya kamu sedang mendambakan punya menantu seorang guru.Sebenarnya kamu harus menolak begitu mendengar pesan Pak Sambengitu. Satu hal kamu tak boleh lupa: Jangan sekali-kali menyuruh orangbercerai. Juga jangan lupa, Darsa adalah kemenakan suamimu.Salah-salah urusan, malah kamu dan suamimu ikut kena badai. Oh, MbokWiryaji, aku tak ikut kamu bila kamu punya pikiran demikian. Aku hanyaberada di pihakmu bila kamu terus berikhtiar dan berdoa untukkesembuhan Darsa.\"

\"Soal berikhtiar, Eyang Mus, percayalah. Sampai sekarang pun kamiterus berusaha. Kini pun Darsa sedang ditangani oleh seorang tukang urut;Bunek.\" \"Bunek si dukun bayi?\" \"Ya. Bunek memang dukun bayi. Tetapi banyak orang bilangpijatannya terbukti bisa menyembuhkan beberapa lelaki peluh, eh, lelakiyang anu-nya mati.\" \"Kamu yang menghubungi Bunek?\" \"Bukan. Lasi sendiri yang menyerahkan suaminya untuk ditanganiperaji itu.\" \"Nah, itu namanya pikiran waras. Aku sungguh-sungguh ikut berdoasemoga ikhtiar kalian kali ini berhasil.\" Mbok Wiryaji hanya mengangguk. Tetapi kesan tak puas masihtersisa pada wajahnya. Emak Lasi itu lalu merebahkan diri di balai-balaiyang didudukinya. \"Kamu boleh beristirahat di sini. Tapi jangan menginap. Ora ilok, takbaik meninggalkan suami sendiri di rumah,\" dan tangan Eyang Mus meraihkotak tembakau. Sesaat kemudian terdengar bunyi pemantik api sertaembusan napas dengan asap rokok. Sepi dari luar merayap masuk. MbokMus menyuruh emak Lasi pulang tetapi hanya mendapat jawaban desahnapas. Mbok Wiryaji pulas. *** Orang bilang ciri paling nyata pada diri Bunek adalah cara jalannyayang cepat. Cekat-ceket. Langkahnya panjang dan ayunan tangannya jauh,mungkin karena Bunek biasa tergesa bila berjalan memenuhi panggilan

perempuan yang sedang menunggu detik kelahiran bayinya. Namun cirinyayang lain pun tak kalah mencolok. Bunek selalu kelihatan paling tinggi bilaberada di antara perempuan-perempuan lain. Tawanya mudah ruah, jugalatahnya. Pada saat latah, ucapan yang paling cabul sekalipun denganmudah meluncur dari mulutnya. Namun dalam keadaan biasa pun Bunekbiasa berkata mesum seringan ia menyebut sirih yang selalu dikunyahnya.Wajah Bunek bulat panjang dan semua orang percaya ia cantik ketikamasih muda. Kulitnya malah masih lembut meskipun Bunek sudah punyabeberapa cucu. Rambutnya yang lebat mulai beruban tetapi Bunek rajinmenyisirnya sehingga menambah kesannya yang rapi dan singset. Ia selaluingin bergerak cepat. Banyak perempuan menjadi pelanggan Bunek. Konon karena pijatantangannya yang lembut namun tetap bertenaga. Keterampilan demikiankonon tak mudah tertandingi oleh peraji lain. Telapi lebih banyak orangbilang, bukan hanya pijatan Bunek yang disukai melainkan juga suasanacair dan ringan yang selalu dibawanya di mana pun Bunek berada. BagiBunek segala masalah boleh dihadapi dengan tertawa, bahkan denganlatah yang cabul. Rasa sakit yang menusuk perut ketika seorangperempuan melahirkan hanya perkara enteng di mata Bunek. \"Aku jugapernah melahirkan. Rasa sakit ketika jabang bayi mau keluar bisa membuataku ingin meremas suami sampai remuk. Namun heran, sungguh heran,aku tidak jera. Aka bunting lagi dan bunting lagi. Aka kecanduan. Eh, apakamu tidak begitu? Tidak? He-he-he!\" Suatu kali seorang ibu meraung-raung ketika hendak melahirkan.Perempuan itu bersumpah habis-habisan demi langit dan bumi bahwa diatak sudi hamil lagi. Tak sudi! Tetapi Bunek menanggapinya sambiltersenyum ringan. \"Tahun lalu kamu bersumpah demi bapa-biyung,sekarang kamu bersumpah demi langit dan bumi, tetapi aku percaya tahundepan kamu hamil pula. Lalu kamu akan bersumpah demi apa lagi? Ayolah,aku belum bosan mendengar sumpahmu, he-he-he.\"


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook