Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore MODUL UAS SAK KEL.3 PAI (B)

MODUL UAS SAK KEL.3 PAI (B)

Published by Muhammad Raj ulhaq, 2020-12-28 00:12:33

Description: MODUL UAS SAK KEL.3 PAI (B)

Search

Read the Text Version

BAB XI Islam dan Demokrasi A. Pengertian Islam dan Demokrasi 1. Pengertian Islam Secara etimologi (ilmu asal usul kata), Islam berasal dari bahasa Arab, terambil dari kosakata salima yang berarti selamat sentosa. Dari kata ini kemudian dibentuk menjadi kata aslam yang berarti memeliharakan dalam keadaan selamat, sentosa, dan berarti pula berserah diri, patuh, tunduk dan taat. Dari kata aslama ini dibentuk kata Islam (aslama yuslimu islaman), yan menandung arti sebagaimana terkandung dalam arti pokoknya, yaitu selamat, aman, damai, patuh, berserah diri dan taat. Orang yang sudah Islam dinamakan muslim, yaitu orang yang menyatakan dirinya telah taat, menyerahkan diri, dan patuh kepada Allah SWT. Dengan melakukan aslama, orang ini akan terjamin keselamatannya di dunia dan akhirat. Selain itu, ada pula yang berpendapat, bahwa Islam berarti al- istislam, yakni mencari keselamatan atau berserah diri, dan berarti pula al-inqiyad yang berarti mengikat diri. Pengertian Islam dari segi bahasa ini memiliki hubungan dengan dua hal sebagai berikut. Pertama, pengertian Islam dari segi bahasa terkait erat dengan misi ajaran Islam, yakni membawa kedamaian dan sejahteraan bagi kehidupan umat manusia. Kedua, Islam dari segi bahasa, yakni berserah diri, patuh dan tunduk kepada Allah SWT sejalan dengan agama yang dibawa oleh para nabi dan rasul sebelumnya.24 2. Pengertian Demokrasi Demokrasi berasal dari 2 kata dari bahasa Yunani yaitu Demos yang artinya rakyat dan Cratos yang artinya kekuasaan atau kedaulatan. Menurut Abraham Lincoln Demokrasi itu adalah sebuah sistem pemerintahan dari rakyat,oleh rakyat,dan untuk rakyat. Jadi demokrasi itu adalah suatu sistem pemerintahan yang bertumpu pada rakyat,dilakukan secara langsung oleh 24 Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, Jakarta: Kencana, 2011, hlm. 11-12. 46

rakyat atau melalui para wakil mereka melalui mekanisme pemilihan yang berlangsung secara bebas. Dalam sejarahnya, demokrasi sering bersanding dengan kebebasan (freedom). Namun demikian,demokrasi dan kebebasan tidaklah identik. Demokrasi merupakan sebuah kumpulan ide dan prinsip tentang kebebasan,bahkan juga mengandung sejumlah praktik dan prosedur menggapai kebebasan yang terbentuk melalui perjalanan sejarah yang panjang dan berliku. Secara singkat,demokrasi merupakan bentuk institusionalisasi dari kebebasan. Sejalan dengan perkembangannya,demokrasi mengalami pemaknaan yang berkembang di kalangan para ahli. Menurut Joseph A. Schmitter,demokrasi adalah suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana setiap individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas perjuangan rakyat. Dapat disimpulkan bahwa hakikat demokrasi adalah sebuah proses bernegara yang bertumpu pada peran utama rakyat sebagai pemegang tertinggi kedaulatan.25 Dari definisi di atas jelaslah bagi kita bahwa demokrasi mengandung nilai- nilai, yaitu adanya unsur keperacayaan yang diberikan oleh pemerintah kepada rakyat, adanya pertanggung jawaban bagi seorang pemimpin. Sementara menurut Abdurrahman Wahid, demokrasi mengandung nilai, yaitu nilai yang bersifat pokok. Menurut Abdurrahman Wahid, nilai pokok demokrasi adalah kebebasan, persamaan, musayawarah dan keadilan. Kebebasan artinya kebebasan individu di hadapan kekuasaan negara dan adanya keseimbangan antara hak-hak individu warga negara dan hak kolektif dari masyarakat. Nurcholish Majid, seperti yang dikutip Nasaruddin mengatakan, bahwa suatu negara disebut demokratis sejauh mana negara tersebut menjamin hak asasi manusia (HAM), antara lain: 25 A Ubaedillah dan Abdul Rozak. Pancasila,Demokrasi,HAM,dan Masyarakat madani. Prenada Media Group. Jakarta, Hal 6 47

kebebasan menyatakan pendapat, hak berserikat dan berkumpul. Karena demokrasi menolak, feodalisme dan otoritarianisme. Dalam negara demokrasi, hubungan antara penguasa dan rakyat bukanlah hubungan kekuasaan melainkan berdasarkanhukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM). B. Sejarah Demokrasi Kondisi beragam yang dihadapi masyarakat menyebabkan sistem demokrasi diadopsi oleh banyak negara. Berkembangnya teori demokrasi berawal dari sejarah Yunani kuno. Pada waktu itu, banyak terjadi peristiwa dan kesempatan yang memberi ruang besar bagi rezim demokrasi untuk berkembang di Yunani. Dari sebuah teori dengan struktur sistem dan kepercayaan yang sangat sederhana, demokrasi kemudian mulai dikenal banyak orang. Seiring dengan perkembangan zaman, sedikit demi sedikit demokrasi mulai dipelajari, direkonstruksi, dan dikembangkan pada generasi- generasi berikutnya. Pendekatan sejarah menunjukkan betapa kesuksesan demokrasi dimulai dengan revolusi dan dikembangkan oleh evolusi,dan kini demokrasi telah mencapai masa matangnya dan akan tetap demikian. Leislie Lipson memberikan bukti konkret bahwa demokrasi akan selalu eksis dengan segala kelebihan yang dimilikinya. Akan tetapi, apabila tidak didukung oleh kekuatan stabilitas pendidikan yang mantap,usaha ini tidak akan berhasil.26 Yang jelas, Demokrasi tidak dapat diciptakan dalam sekejap, tetapi ini akan berproses dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Namun demikian,kran- kran demokrasi seharusnya dibuka secara secukupnya oleh pemerintah sehingga tidak menyumbat arus yang semakin kuat yang mungkin kalau tidak tersalurkan justru akan menjebol saluran yang ada.27 26 Mufti,Muslim. 2012. Teori-teori Politik: Setia. Hal. 112. 27 Hasan,Ismail. 1996. Membangun Masyarakat Dinamis,Demokratis,dan Berkeadilan: Yogyakarta: Ababil. Hal. 82. 48

Demokrasi juga mempengaruhi pembangunan politik. Salah satu pandangan mengenai konsep pembangunan politik adalah berhubungan dengan penguatan nilai-nilai dan praktek-praktek bagi dasar demokrasi,maupun dengan kemajuan ke arah masyarakat yang demokratis.28 C. Islam dan Demokrasi Di tengah proses demokratisasi global, banyak kalangan ahli demokrasi diantaranya Larry Diamond, Juan J.Linze, Seymour Martin Lipset, menyimpulkan bahwa dunia Islam tidak memiliki prospek untuk menjadi demokratis serta tidak memiliki pengalaman demokrasi yang cukup andal. Hal senada juga dikemukakan oleh Samuel P.Huntington yang meragukan Islam dapat berjalan dengan prinsip- prinsip demokrasi yang secara kultural lahir di barat. Karena alasan inilah dunia Islam dipandang tidak menjadi bagian dari proses gelombang demokratisasi dunia. Kesimpulan yang didapat dari para ahli tampaknya tidak terbukti jika mencermati perjalanan demokrasi di Indonesia, negara muslim terbesar di Dunia. Beberapa kali pelaksanaan Pemilu secara langsung telah berlalu tanpa menimbulkan pertumpahan darah. Keberhasilan pelaksanaan Pemilu di Indonesia secara aman dan damai telah menjadi bukti di hadapan dunia bahwa demokrasi dapat dipraktikan di tengah-tengah masyarakat Muslim mayoritas. Secara garis besar terdapat tiga pandangan tentang Islam dan Demokrasi: Pertama, Islam dan demokrasi adalah dua sistem politik yang berbeda. Islam tidak bisa di subordinatkan dengan demokrasi karena islam merupakan sistem politik yang mandiri. Kedua, Islam berbeda dengan demokrasi. Jika demokrasi didefinisikan secara prosedural seperti dipahami dan dipraktikan di negara-negara barat. Kelompok kedua ini menyetujui adanya prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam. Tetapi mengakui adanya perbedaan antara Islam dan Demokrasi. 28 Harjanto,Nicolaus Teguh Budi. 1997. Memajukan Demokrasi Mencegah Demokrasi: Sebuah wacana pembangunan politik: Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Hal. 109. 49

Ketiga, Islam adalah sistem nilai yang membenarkan dan mendukung sistem politik demokrasi seperti yang dipraktikkan negara-negara maju. Islam di dalam dirinya demokratis tidak hanya karena prinsip syura (musyawarah), tetapi juga karena adanya konsep ijtihad dan ‘ijma (konsensus). Penerimaan negara-negara Muslim (Dunia Islam) terhadap demokrasi sebagaimana yang dikemukakan oleh kelompok ketiga ini, tidak berarti bahwa demokrasi dapat tumbuh dan berkembang di negara Muslim secara otomatis. Bahkan yang terjadi adalah kebalikannya dimana negara-negara muslim justru merupakan negara yang tertinggal dalam berdemokrasi, sementara kehadiran rezim otoriter di sejumlah negara muslim pada umumnya menjadi kecenderungan yang dominan.29 Terdapat beberapa argumen teoritis yang menjelaskan lambannya pertumbuhan dan perkembangan demokrasi di dunia Islam. Diantaranya: Pertama, Pemahaman doktrinal menghambat praktik demokrasi. Hal ini disebabkan oleh kebanyakan kaum muslim yang cenderung memahami demokrasi sebagai sesuatu yang bertentangan dengan Islam. Kedua, Persoalan kultur. Penerapan demokrasi pernah mengalami kegagalan karena warisan kultural masyarakat muslim sudah terbiasa dengan autokrasi dan ketaatan absolut kepada pemimpin. Ketiga, Sifat alami demokrasi itu sendiri. Untuk membangun demokrasi diperlukan kesungguhan,kesabaran,dan waktu. Sikap Islam terhadap demokrasi yaitu umat Islam seringkali kebingungan dengan istilah demokrasi. Di saat yang sama, demokrasi bagi sebagian umat Islam sampai dengan hari ini masih belum bisa diterima secara bulat. Sebagian kalangan memang bisa menerima tanpa reserve, sementara yang lain justru bersikap ekstrem. Menolak bahkan mengharamkannya sama sekali. Tak sedikit sebenarnya yang tidak bersikap sebagaimana keduanya. Artinya, banyak yang tidak mau bersikap apapun. Kondisi ini dipicu dengan 29 A Ubaedillah & Abdul Razak. 2013. Pancasila,Demokrasi,HAM,dan Masyarakat Madani. Jakarta: Pranada Media Group. Hal. 85. 50

banyak dari kalangan umat islam sendiri yang kurang memahami bagaimana islam memandang demokrasi. Demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dengan islam, tetapi banyak prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan dengan Islam. Tetapi demokrasi juga dianggap sebagai bentuk pemerintahan yang paling logis. Walaupun barangkali bukan satu-satunya yang terbaik. Demokrasi membuat pembangunan sebagai aspek potensi manusiawi melalui persamaan akses pada pendidikan dan peran serta aktif dalam semua aspek kehidupan sosial.30vDalam konteks demokrasi Indonesia, kesungguhan dan kesabaran dari kalangan elite nasional untuk membangun demokrasi di negeri ini dengan cara berpolitik santun,bersih dari unsur- unsur politik manipulatif serta berorientasi kesejahteraan rakyat. Bagi kalangan elite islam, kesungguhan dan kesbaran mereka diharapkan tercermin dalam sokongan mereka untuk menyerukan nilai-nilai islam seperti amanah dan shiddiq, menjadi sokongan praktik berdemokrasi di Indonesia,sembari bersabar dengan hal-hal negatif yang mungkin timbul dari sistem politik demokrasi.31 Demokrasi digunakan untuk mencapai kemajuan kemaslahatan bersama. Berkaitan dengan sistem kepemerintahan dalam bernegara, Islam memperjuangkan kesetaraan. Kaidah-kaidah kepemerintahan dalam Islam menekankan prinsip kesetaraan. Dalam Alquran surat Al Hujurat ayat 13, Allah berfirman yang artinya : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki- laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Prinsip musyawarah terdapat dalam surat Al Syura ayat 38, yang artinya: 30 Aep Saepulloh & Tarsono. 2011. Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi Islam . Bandung: Batic Press. Hal. 115. 31 A Ubaedillah & Abdul Razak. 2013. Pancasila,Demokrasi,HAM,dan Masyarakat Madani. Jakarta: Pranada Media Group. Hal. 88. 51

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan sholat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” Dari dua ayat tersebut dapat dijelaskan bahwa kaidah demokrasi dalam Islam yang pertama adalah kesetaraan, kedua adalah permusyawarahan. Prinsip musyawarah ini diperkuat dengan sunah Nabi Muhammad SAW. Rasulullah bermusyawarah dengan para sahabat dalam suatu perkara yang tidak disebutkan dalam Alquran, dan yang Nabi sendiri tidak mendapat perintah langsung dari Allah. Maka hak para sahabat itu untuk memberi pendapat dan usulan di luar hal yang Nabi sendiri telah pasti akan melakukannnya. Ada pun kaidah ketiga dalam demokrasi menurut Islam adalah ta'awun. Ta'awun adalah menyatakan adanya tuntutan untuk kerja sama demi kepentingan Tuhan dan kepentingan manusia sendiri. Sama halnya dalam nilai-nilai demokrasi, yakni menekankan kerja sama dan saling tolong menolong. Setelah ta'awun, kaidah keempat adalah taghyir atau perubahan. Dalam kaidah ini, menyatakan bahwa manusia berperan besar dalam menentukan perubahan hidupnya.Demokrasi menuntut suatu perubahan, sejalan dengan perkembangan kesadaran manusia yang selalu ingin mengadakan perbaikan.Allah berfiman dalam surat Al Maidah ayat 44 yang Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang- orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat- ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” 52

D. Pendidikan Islam dan Demokrasi Dalam konsep islam, manusia diciptakan dalam keadaan yang paling sempurna diantara semua makhluk. Manusia memiliki fitrah, yang dalam hal ini terdapat beberapa pengertian mengenai arti fitrah tersebut. Fitrah secara etimologis berarti bersih dan suci. Kata fitrah terdapat dalam surat ar-Rum ayat 30 bahwa fitrah itu adalah keyakinan tentang keesaan Allah, sementara pengertian yang lain adalah potensi dalam diri manusia. Sehingga kalau digabungkan antara kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa fitrah adalah sifat dan kemampuan dasar manusia yang memiliki kecenderungan kepada kesucian dan kebaikan (naluri beragama tauhid) dan merupakan kemampuan dasar yang secara otomatis dapat berkembang dan perlu diarahkan. Untuk mengembangkan dan atau mengarahkan fitrah diperlukan suatu proses. Proses itu tidak lain adalah proses pendidikan dalam maknanya yang luas. Pendidikan merupakan suatu usaha untuk membina, mengembangkan, memberdayakan dan mengarahkan potensi dasar insan agar sesuai dengan yang dikehendaki. Begitu juga halnya dengan pendidikan Islam. Berkaitan dengan pengembangan potensi manusia, tentunya dengan pendidikan Islam yang berparadigma demokratis setidaknya memiliki karakteristik sebagai berikut: a. Pendidikan yang semakin mendekatkan diri kepada sang pencipta dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sesuai dengan fitrahnya. b. Pendidikan yang menempatkan pendidik dan peserta didik sebagai subyek pendidikan yang saling berintegrasi, saling mengisi dan saling melengkapi satu dengan lainnya. c. Pendidikan yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap keilmuan dan konsisten dengan prinsip belajar tuntas. d. Pendidikan yang tidak hanya berhenti pada retorika dan teori, tetapi ada langkah-langkah konkret estafet dan pengalaman ilmu. Selain itu pendidikan islam yang demokratis juga mengedepankan sisi humanisme dengan memperhatikan ada hal-hal sebagai berikut: 53

a. Perilaku manusia itu dipertimbangkan oleh multiple intelligencenya. Bukan hanya kecerdasan intelektual semata, tetapi kecerdasan emosional dan spiritual. b. Anak didik adalah makhluk yang berkarakter, berkepribadian, aktif serta dinamis dalam perkembangannya sehingga pendidikan diarahkan untuk membentuk kepribadian dan self concept. c. Dalam metode yang humanistik lebih menekankan aktualisasi diri. d. Pembelajaran hendaknya berpusat pada siswa (students centered learning). 54

BAB XII Islam dan Moderasi Keagamaan A. Pengertian Moderasi Beragama Islam moderat atau yang dimaksud juga Islam Wasathiyyah, berasal dari dua kata yaitu Islam dan “wasathiyyah”. Islam sebagaimana yang diketahui adalah agama yang penuh dengan keberkahan, dan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Islam merupakan agama mayoritas yang ada di Indonesia dengan penduduk terbanyak di dunia saat ini. Kata moderasi dalam bahasa Arab diartikan “alwasathiyyah”. Secara bahasa “al-wasathiyyah” berasal dari kata “wasath”. Al-Asfahaniy mendefenisikan “wasathan” dengan “sawa’un” yaitu tengah-tengah diantara dua batas, atau dengan keadilan, yang tengah-tengan atau yang standar atau yang biasabiasa saja. Wasathan juga bermakna menjaga dari bersikap tanpa kompromi bahkan meninggalkan garis kebenaran agama. Kata “al-wasathiyyah” berakar pada kata “alwasth” (dengan huruf sin yang di-sukun- kan) dan “al-wasth” (dengan huruf sin yang di-fathah-kan) yang keduanya merupakan mashdar (infinitife) dari kata kerja (verb) “wasatha”. Selain itu kata wasathiyyah juga seringkali disinonimkan dengan kata “al-iqtishad” dengan pola subjeknya “almuqtashid”. Namun, secara aplikatif kata “wasathiyyah” lebih populer digunakan untuk menunjukkan sebuah paradigma berpikir paripurna, khususnya yang berkaitan dengan sikap beragama dalam Islam. Sementara dalam bahasa Arab, kata moderasi biasa diistilahkan dengan “wasath” atau “wasathiyyah”; orangnya disebut “wasith”. Kata “wasit” sendiri sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia yang memiliki tiga pengertian, yaitu 1) penengah, pengantara (misalnya dalam perdagangan, bisnis, dan sebagainya), 2) pelerai (pemisah, pendamai) antara yang berselisih, dan 3) pemimpin di pertandingan. Yang jelas, menurut pakar bahasa Arab, kata tersebut merupakan “segala yang baik sesuai objeknya”. Dalam sebuah ungkapan bahasa Arab sebaik-baik segala sesuatu adalah yang berada di tengah-tengah. Misalnya dermawan yaitu sikap di antara kikir dan 55

boros, pemberani yaitu sikap di antara penakut dan nekat, dan lain-lain. Pada tataran praksisnya, wujud moderat atau jalan tengah dalam Islam dapat diklasifikasikan menjadi empat wilayah pembahasan, yaitu: 1) moderat dalam persoalan akidah; 2) moderat dalam persoalan ibadah; 3) Moderat dalam persoalan perangai dan budi pekerti; dan 4) Moderat dalam persoalan tasyri’ (pembentukan syariat) Menurut Quraish Shihab melihat bahwa dalam moderasi (wasathiyyah) terdapat pilar-pilar penting yakni Pertama, pilar keadilan, pilar ini sangat utama, beberapa makna keadilan yang dipaparkan adalah: pertama, adil dalam arti “sama” yakni persamaan dalam hak. Seseorang yang berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. Persamaan itulah yang menjadikan seseorang yang adil tidak berpihak kepada salah seorang yang berselisih. Adil juga berarti penempatan sesuatu pada tempat yang semestinya. Ini mengantar pada persamaan, walau dalam ukuran kuantitas boleh jadi tidak sama. Adil adalah memberikan kepada pemilik hak-haknya melalui jalan yang terdekat. Ini bukan menuntut seseorang memberikan haknya kepada pihak lain tanpa menunda-nunda. Adil juga berarti moderasi ‘tidak mengurangi tidak juga melebihkan”. Kedua, pilar keseimbangan. Menurut Quraish Shihab, keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang di dalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian. Dengan terhimpunnya syarat ini, kelompok itu dapat bertahan dan berjalan memenuhi tujuan kehadirannya. Keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar dan syarat bagi semua bagian unit agar seimbang. Bisa saja satu bagian berukuran kecil atau besar, sedangkan kecil dan besarnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya.32 B. Agama Islam Dalam Moderasi Keagamaan 32 Mohamad fahri dan Ahmad Zainuri, Moderasi Beragama di Indonesia : Jurnal Radenfatah.ac.id/index.php/intizar ; Vol. 25, No 2, Desember 2019. 56

Ketentuan dalam pasal 29 UUD 1945 sangat penting artinya bagi agama- agama dan para pemeluknya karena telah memberi jaminan dan sarana keterlibatan umat di dalam mengisi dan memperkaya kehidupan berbangsa. Tiap pemeluk agama mendapatkan kesempatan untuk menjalankan agama dan menciptakan kehidupan beragama sesuai dengan ajaran agama masingmasing. Pengembangan agama dan kehidupan beragama tidak boleh menjurus ke arah tumbuhnya pemikiran dan pemahaman agama yang sempit karena hal ini akan menimbulkan konflik antar agama.Sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdul Kadir mengenai potensi integrasi akan terjadi apabila terdapat suasana keharmonisan hubungan dalam dinamika pergaulan terutama intern umat beragama dan antar umat beragama. Sebaliknya, potensi disintegrasi akan menjadi kenyataan apabila terdapat suasana saling curiga dan persaingan dalam dinamika baik intern umat beragama maupun antar umat beragama. Terhadap integrasi bangsa Indonesia. Kemajemukan bangsa Indonesia harus dipandang sebagai salasatu alat untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa dengan selalu mengembangkan sikap toleran, saling menghargai satu dengan lainnya. Keberagaman atau kehidupan dalam lingkungan majemuk merupakan sumber kekayaan budaya bangsa. Setiap perwujudan mengandung ciri-ciri tertentu yang membedakannya dari perwujudan yang lain. Tidak mungkin pula apabila semua perwujudan itu sama karena menunjukkan tidak akan ada perkembangan atau kemajuan pada suatu bangsa. Atas dasar pemahaman tersebut, perbedaan- perbedaan yang ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia sebenarnya untuk memenuhi kepentingan bersama agar dapat hidup sejahtera. Dalam kehidupan masyarakat yang serba majemuk, berbagai perbedaan yang ada seperti dalam suku, agama, ras atau antar golongan, merupakan realita yang harus didayagunakan untuk memajukan negara dan bangsa Indonesia, menuju cita-cita yang diinginkan yaitu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kerukunan hidup umat beragama merupakan suatu sarana yang penting dalam menjamin integrasi nasional, sekaligus merupakan kebutuhan dalam rangka menciptakan stabilitas yang diperlukan bagi proses pencapaian masyarakat 57

Indonesia yang bersatu dan damai. Kerjasama yang rukun dapat terjadi apabila diantara para pemeluk agama merasa saling membutuhkan, saling menghargai perbedaan, saling tolong menolong, saling membantu dan mampu menyatukan pendapat atau istilah lainnya memiliki sikap toleransi. Dengan adanya toleransi maka akan dapat melestarikan persatuan dan kesatuan bangsa, mendukung dan menyukseskan pembangunan, serta menghilangkan kesenjangan. Hubungan antar umat beragama didasarkan pada prinsip persaudaraan yang baik, bekerjasama untuk menghadapi musuh dan membela golongan yang menderita. Prinsip mengenai toleransi antar umat beragama yaitu: 1. tidak boleh ada paksaan dalam beragama baik paksaan itu berupa halus maupun dilakukan secara kasar; 2. manusia berhak untuk memilih dan memeluk agama yang diyakininya dan beribadat menurut keyakinan itu; 3. tidak akan berguna memaksa seseorang agar mengikuti suatu keyakinan tertentu (4) Tuhan Yang Maha Esa tidak melarang hidup bermasyarakat dengan yang tidak sefaham atau tidak seagama, dengan harapan menghindari sikap saling bermusuhan. Bentuk toleransi yang harus ditegakkan yaitu: 1. Toleransi agama Toleransi agama adalah toleransi yang menyangkut keyakinan yang berhubungan dengan akidah yaitu sikap lapang dada untuk memberi kesempatan pemeluk agama selain Islam beribadah menurut ketentuan agama yang diyakininya. 2. Toleransi sosial berorientasi terhadap toleransi kemasyarakatan. Dalam masyarakat yang beragam karena perbedaan agama dianjurkan untuk menegakkan kedamaian dan melakukan kerjasama dengan orang-orang yang berlainan agama dalam batas-batas yang telah ditentukan.33 33 Lely Nisvilyah, Toleransi Antarumat Beragama Dalam Memperkokoh Persatuan dan Kesatuan Bangsa (Studi Kasus Umat Islam dan Kristen Dusun Sagaran Kecamatan Dlanggu Kabupaten Mojokerto); Jurnal Toleransi antarumat Beragama, Kajian Moral dan Kewargenegaraan Nomor 1 Volume 2 Tahun 2013. 58

C. Prinsip Dasar Moderasi Salah satu prinsip dasar dalam moderasi beragama adalah selalu menjaga keseimbangan di antara dua hal, misalnya keseimbangan antara akal dan wahyu, antara jasmani dan rohani, antara hak dan kewajiban, antara kepentingan individual dan kemaslahatan komunal, antara keharusan dan kesukarelaan, antara teks agama dan ijtihad tokoh agama, antara gagasan ideal dan kenyataan, serta keseimbangan antara masa lalu dan masa depan. Begitulah, inti dari moderasi beragama adalah adil dan berimbang dalam memandang, menyikapi, dan mempraktikkan semua konsep yang berpasangan di atas. Dalam KBBI, kata “adil” diartikan: 1) tidak berat sebelah/tidak memihak; 2) berpihak kepada kebenaran; dan 3) sepatutnya/ tidak sewenang-wenang. Kata “wasit” yang merujuk pada seseorang yang memimpin sebuah pertandingan, dapat dimaknai dalam pengertian ini, yakni seseorang yang tidak berat sebelah, melainkan lebih berpihak pada kebenaran. Prinsip yang kedua, keseimbangan, adalah istilah untuk menggambarkan cara pandang, sikap, dan komitmen untuk selalu berpihak pada keadilan, kemanusiaan, dan persamaan. Kecenderungan untuk bersikap seimbang bukan berarti tidak punya pendapat. Mereka yang punya sikap seimbang berarti tegas, tetapi tidak keras karena selalu berpihak kepada keadilan, hanya saja keberpihakannya itu tidak sampai merampas hak orang lain sehingga merugikan. Keseimbangan dapat dianggap sebagai satu bentuk cara pandang untuk mengerjakan sesuatu secukupnya, tidak berlebihan dan juga tidak kurang, tidak konservatif dan juga tidak liberal. Mohammad Hashim Kamali (2015) menjelaskan bahwa prinsip keseimbangan (balance) dan adil (justice) dalam konsep moderasi (wasathiyah) berarti bahwa dalam beragama, seseorang tidak boleh ekstrem pada pandangannya, melainkan harus selalu mencari titik temu. Bagi Kamali, wasathiyah merupakan aspek penting dalam Islam yang acapkali dilupakan oleh umatnya, padahal, wasathiyah merupakan esensi ajaran Islam. Moderasi 59

bukan hanya diajarkan oleh Islam, tapi juga agama lain. Lebih jauh, moderasi merupakan kebajikan yang mendorong terciptanya harmoni sosial dan keseimbangan dalam kehidupan secara personal, keluarga dan masyarakat hingga hubungan antarmanusia yang lebih luas. Kedua nilai ini, adil dan berimbang, akan lebih mudah terbentuk jika seseorang memiliki tiga karakter utama dalam dirinya: kebijaksanaan (wisdom), ketulusan (purity), dan keberanian (courage). Dengan kata lain, sikap moderat dalam beragama, selalu memilih jalan tengah, akan lebih mudah diwujudkan apabila seseorang memiliki keluasan pengetahuan agama yang memadai sehingga dapat bersikap bijak, tahan godaan sehingga bisa bersikap tulus tanpa beban, serta tidak egois dengan tafsir kebenarannya sendiri sehingga berani mengakui tafsir kebenaran orang lain, dan berani menyampaikan pandangannya yang berdasar ilmu. Dalam rumusan lain, dapat dikatakan bahwa ada tiga syarat terpenuhinya sikap moderat dalam beragama, yakni: memiliki pengetahuan yang luas, mampu mengendalikan emosi untuk tidak melebihi batas, dan selalu berhatihati. Jika disederhanakan, rumusan tiga syarat moderasi beragama ini bisa diungkapkan dalam tiga kata, yakni harus: berilmu, berbudi, dan berhati-hati. Jika dielaborasi lebih lanjut, maka kita dapat mengidentifikasi beberapa sifat lain yang harus dimiliki sebagai prasyarat moderasi beragama, seperti: keharusan memiliki pengetahuan yang komprehensif terkait ritual ibadah. Pengetahuan komprehensif atas hukum melaksanakan ibadah dalam sebuah agama tentunya akan memudahkan umatnya untuk memilih alternatif andai ia membutuhkannya, meski tentu dengan prinsip bukan untuk menganggap enteng atau ‘memudah-mudahkan’ sebuah praktik ritual keagamaan. Cara ini semata untuk mengedepankan prinsip kemudahan dalam beragama, sejauh dimungkinkan pelaksanaannya. Kondisi ini memang cukup berat dimiliki karena asumsinya sang umat itu harus benar-benar memahami teks-teks keagamaan secara komprehensif dan kontekstual.34 34 Lukman Hakim Saifuddin, Moderasi Beragama, (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2019. Hal 19. 60

61

DAFTAR PUSTAKA (NIAH) Baidhowi, Islam Tidak Radikalisme dan Terorisme, Jurnal Volume 3 Nomor 1 Tahun 2017 Faiz, A Yunus, Radikalisme, Liberalisme dan Terorisme : Jurnal Studi Al- Qur’an; Vol. 13 , No. I , Tahun. 2017 Membangun Tradisi Berfikir Qur’ani doi.org/10.21009/JSQ.013.1.06 Hasani Ismail dan Bonar Tigor Naipospos, Radikalisme Agama di Jabodetabek & Jawa Barat: Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2010. Qardhawi, Yusuf , Islam Radikal: Analisis terhadap Radikalisme dalam Berislam dan Upaya Pemecahannya, (terj.) Hamin Murtadho, Solo: Era Intermedia, 2014 (MAWADDAH) Nata Abuddin. 2011. Studi Islam Komprehensif. Jakarta: Kencana. Hyangsewu Pandu. 2019. TANTANGAN DAN ANTISIPASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI TENGAH ARUS GLOBALISASI. Jurnal Kajian Peradaban Islam (KPI), Vol 2, No 2, 2019. Suradi, A. 2017. GLOBALISASI DAN RESPON PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH. Jurnal Mudarrisua, Vol 7, No 2. Sujati, Budi. 2018. SEJARAH PERKEMBANGAN GLOBALISASI DALAM DUNIA ISLAM. Jurnal Peradaban dan Pemikiran Islam, Vol 2, No, 2. (ULHAQ) Nata Abuddin. 2011. Studi Islam Komprehensif. Jakarta: Kencana. Rodiah, dkk. 2010. Studi Alquran Metode dan Konsep. Yogyakarta: ELSAQ Press. Sidiq Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman. 2015. PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM; RELEVANSI GAGASAN ABDURRAHMAN WAHID DALAM KONTEKS KE INDONESIAAN”. Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, Nomor 1, Februari. 62

Wibisono M. Yusuf. 2015. “AGAMA, KEKERASAN DAN PLURALISME DALAM ISLAM”. Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Volume 9, Nomor 2, Desember. (Liani) Agustina, Nurul. “Islam, Perempuan dan Negara”, Islamika, No. 6, tahun 1995. “Feminisme”, Jurnal Kalimah, Vol. 12, No.1, Maret 2014. Anderson, Pamela Sue. Feminisme dan Filsafat, dalam Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, Ed. Siti Jamilah, dkk. (Yogyakarta: Jalasutra, 2010). Dzuhayatin,Siti Ruhaini, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam (Cet. I; Yogyakarta: PSW IAIN SUNAN KALIJAGA, 2019), h. 18. Fakhrudin, Ali. Relasi Gender dalam Keberagamaan Qira’at, Suhuf. Vol. 3, No. 1 2010. Husaini, Adian. problematika Tafsir Feminis: Studi Kritis Konsep Kesetaraan Gender, At-Tahrir. Vol. 15 No. 2 November 2015. Rizal Maulana, Abdullah Muslich. “Feminisme sebagai Diskursus Pandangan Hidup”, Jurnal Kalimah Vol. II, No. 2, September 2013. (Fahilda) Nata Abuddin. 2011. Studi Islam Komprehensif. Jakarta: Kencana. Ubaedillah A dan Abdul Rozak. 2013. Pancasila,Demokrasi,HAM,dan Masyarakat madani. Jakarta, Prenada Media Group Muslim,Mufti 2012. Teori-teori Politik: Bandung: Pustaka Setia. Ismail, Hasan.1996. Membangun Masyarakat Dinamis,Demokratis,dan Berkeadilan: Yogyakarta: Ababil. Harjanto,Nicolaus Teguh Budi. 1997. Memajukan Demokrasi Mencegah Demokrasi: Sebuah wacana pembangunan politik: Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. (Sugita) 63

Fahri Mohamad dan Ahmad Zainuri, Moderasi Beragama di Indonesia : Jurnal Radenfatah.ac.id/index.php/intizar ; Vol. 25, No 2, Desember 2019. Nisvilyah Lely, Toleransi Antarumat Beragama Dalam Memperkokoh Persatuan dan Kesatuan Bangsa (Studi Kasus Umat Islam dan Kristen Dusun Sagaran Kecamatan Dlanggu Kabupaten Mojokerto); Jurnal Toleransi antarumat Beragama, Kajian Moral dan Kewargenegaraan Nomor 1 Volume 2 Tahun 2013. Lukman Hakim Saifuddin, Moderasi Beragama, (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2019). (Aldi) Abdillah, Masykuri. 2011. Islam Dan Dinamika Sosial Politik Di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Ajat Sudrajat, Ajat. 2019. Khilafah Islamiyah Dalam Perspektif Sejarah. Jurnal Informasi, Vol. 35, No. 2. Ajhizah ad-Dawlah al-Khilâfah, Hizbut Tahrir. 2016. Struktur Negara Khilafah (Pemerintahan dan Administrasi). Penerjemah, Yahya A.R. Jakarta: HTI. http://www.khittah.co/muhammadiyah-menolak-pemutlakan-khilafah- islamiyah/7564/ diakses pada 19 november 2020 https://mui.or.id/berita/11292/kh-maruf-amin-khilafah-ditolak-karena- bertentangan-dengan-kesepakatan/ diaskes pada 19 november 2020 Matla, Husein. 2017. Khilafah Jaga Kebhinekaan. Jakarta: Kaaffah Penerbit. Muhammadin. 2016. Relevansi Sistem Kekhalifahan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Dengan Sistem Negara Islam Modern. Jurnal Intizar, Vol. 22, No. 2. Ibnu Syarif, Mujar dan Khamami Zada. 2018. Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Isla. Jakarta: Erlangga Qadir Abu Faris, Muhammad Abdul. 2003. Fiqih Politik Hasan al-Banna, Terj. Odie alFaeda. Solo: Media Insani. 64

Yan S. Prasetiadi, Yan S dan Wahyu Ichsan. 2016. Materi Dakwah Islam Kontemporer. Sukuharjo: Kaffah Penerbit. www.hizbut.tahrir.or.id diakses pada 18 november 2020 65


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook