Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Bab 1. Pengantar Penginderaan Jauh SDH

Bab 1. Pengantar Penginderaan Jauh SDH

Published by R.M. Sukarna, 2020-12-16 02:00:33

Description: Bab 1. Pengantar Penginderaan Jauh SDH

Search

Read the Text Version

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si -2020 PENGANTAR PENGINDERAAN JAUH SUMBERDAYA HUTAN 1.1. Pengertian Hutan dan Sumberdaya Hutan Hutan (Forest) menurut Undang Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 adalah: “Suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Pengertian yang lebih rinci disampaikan oleh Helms (1998) dalam FAO (2015), “Forest in an ecosystem characterized by a more or less dense and extensive tree cover, often consisting of stands varying in characteristics such as species composition, structure, age class, and associated processes, and commonly including meadows, stream, fish, and wildlife. Forest include special kinds such as: industrial forests, non industrial private forests, plantations, public forests, protection forests, and urban forests. Hutan adalah ekosistem yang dicirikan oleh penutupan pohon-pohon yang cukup rapat dan luas, seringkali terdiri atas tegakan-tegakan yang beranekaragam sifat, seperti komposisi jenis, struktur, kelas umur, dan proses-proses yang berhubungan; pada umumnya mencakup: padang rumput, sungai, ikan, dan satwa liar. Hutan mencakup pula bentuk khusus, seperti hutan industri, hutan milik non-industri, hutan tanaman, hutan publik, hutan lindung, dan hutan kota. Menurut FAO (2006) dalam FAO (2007) dan FAO (2015; 2020) bahwa “Forest is land spanning more than 0,5 hectares with trees higher than 5 meters and a canopy cover of more than 10 percent, or tree able to reach these thersholds in situ. It does not include land that is predominantly under agricultural or uraban land use. Hutan adalah suatu hamparan lahan dengan luas lebih dari 0,5 hektar yang ditumbuhi oleh pepohonan dengan tinggi lebih dari 5 meter dan dengan penutupan tajuk lebih dari 10% atau 1 | P e n g a n t a r (Free Download)

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si -2020 ditumbuhi oleh pohon-pohon yang secara alami (asli) tumbuh di tempat itu dengan tinggi pohon dapat mencapai lebih dari 5 meter. Lahan yang penggunaannya didominasi oleh tanaman pertanian atau lahan untuk perkotaan tidak termasuk kategori hutan. Gambar 1. Kondisi Kerapatan Kanopi Hutan Rawa Gambut Alamiah (Dokumentasi Tahun 2019) 2 | P e n g a n t a r (Free Download)

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si -2020 Gambar 2. Kondisi Struktur Kanopi Hutan Rawa Gambut Alamiah (Dokumentasi Tahun 2019) 3 | P e n g a n t a r (Free Download)

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si -2020 Gambar 3. Kondisi Struktur Kanopi Hutan Rawa Gambut Alamiah (Dokumentasi Tahun 2007) 4 | P e n g a n t a r (Free Download)

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si -2020 Gambar 4. Kondisi Kerapatan Tegakan Pada Lantai Hutan Rawa Gambut Alamiah (Dokumentasi Tahun 2007). Gambar 5. Profil Strata Hutan Rawa Gambut Alamiah (Sukarna, 2009) 5 | P e n g a n t a r (Free Download)

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si -2020 UNFCCC (2001) dalam FAO (2007) menjelaskan bahwa “Forest is a minimum area of land of 0.05-1.0 hectares with tree crown cover (or equivalent stocking level) of more than 10-30 per cent with trees having the potential to reach a minimum height of 2-5 metres at maturity in situ. A forest may consist either of closed forest formations, where trees of various storeys and undergrowth cover a high proportion of the ground, or open forest. Young natural stands and all plantations which have yet to reach a crown density of 10-30 per cent or tree height of 2-5 metres are included under forest, as are areas normally forming part of the forest area which are temporarily unstocked as a result of human intervention such as harvesting or natural causes but which are expected to revert to forest. UNEP/CBD (2001) dalam FAO (2007) menjelaskan bahwa Forest is a land area of more than 0.5 ha, with a tree canopy cover of more than 10 percent, which is not primarily under agriculture or other specific non-forest land use. In the case of young forest or regions where tree growth is climatically suppressed, the trees should be capable of reaching a height of 5 m in situ, and of meeting the canopy cover requirement. FRA (2015) juga menjelaskan tentang Primary Forest; Naturally regenerated forest of native species, where there are no clearly visible indications of human activities and the ecological processes are not significantly disturbed. Some key characteristics of primary forests are: (1) they show natural forest dynamics, such as natural tree species composition, occurrence of dead wood, natural age structure and natural regeneration processes; (2) the area is large enough to maintain its natural characteristics; (3) there has been no known significant human intervention or the last significant human intervention was long enough ago to have allowed the natural species 6 | P e n g a n t a r (Free Download)

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si -2020 composition and processes to have become re- established. Forest-Related Terms And Definitions; (1997) menjelaskan bahwa Forest Ecosystem; It is a dynamic complex of plant, animal and microorganism communities and their abiotic environment interacting as a functional unit, where trees are a key component of the System. Humans, with their cultural, economic and environmental needs are integrated. Forest Resources; include the soil and all elements found on it, above and below the ground in an area classified as forestland. Forest Services; Services forests provide (economics and ecological) to people, plants and animals. Key services are biodiversity, ecotourism, forest carbon, and watershed protection. Berdasarkan makna hutan tersebut dapat dikembangkan pengertian yang lebih luas tentang Sumberdaya Hutan (Forest Resources). Sumberdaya Hutan (SDH) dapat diartikan sebagai suatu kumpulan nilai-nilai potensi dari suatu kawasan atau ekosistem hutan baik nilai potensi kayunya (standing stocks), nilai potensi non-kayu (seperti rotan, fauna, getah, resin dll), nilai potensi jasa lingkungannya (seperti pengatur tata air/hidro-orologi, penyerap karbon, penghasil oksigen, ekowisata dan keindahan alam, dll), dan yang sangat penting adalah nilai-nilai potensi budaya dan kearifan lokal masyarakat di sekitar atau di dalam hutan tersebut. Dalam suatu Ekosistem hutan secara umum terjadi interaksi (saling hubungan), interdepedensi (saling ketergantungan), aliran energi dan adaptasi. Simon (2007) menjelaskan bahwa kelestarian sumberdaya hutan berorientasi kepada hutan sebagai ekosistem yang menghasilkan kayu, non- kayu, pelindung tata air dan kesuburan tanah, penjaga kelestarian lingkungan, serta berfungsi sebagai gudang untuk kelangsungan hidup berbagai macam sumber genetik, baik flora maupun fauna. Ekosistem hutan yang demikian 7 | P e n g a n t a r (Free Download)

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si -2020 harus memperhatikan produktifitas, stabilitas, kelestarian, serta keharmonisan lingkungan bio-fisik maupun sosial. Perkembangan jumlah penduduk yang terus bertambah yang disertai dengan keperluan hidup yang juga terus meningkat, menyebabkan tekanan terhadap kawasan hutan juga semakin kuat. Konversi kawasan hutan menjadi kawasan non-hutan untuk keperluan pembangunan ekonomi telah menyebabkan terjadinya gangguan terhadap sumberdaya hutan. Hal yang paling pokok dan sangat penting dalam SDH adalah pohon-pohon/tegakan tegakan (standing stocks) yang menyusun hutan tersebut. Secara ekologis kita mengenal tingkatan tegakan mulai dari tingkat semai (seedling), tingkat pancang (sapling), tingkat tiang (poles), dan tingkat pohon (trees). Dalam komunitas hutan juga dikenal istilah strata hutan yang terdiri dari pohon dominan, pohon kodominan, pohon tengahan, pohon tertekan dan lantai hutan. Memperhatikan fenomena SDH tersebut, maka dapat difahami bahwa keberadaan pohon-pohon/tegakan-tegakan hutan merupakan faktor utama dan penting dalam ekosistem hutan, artinya jika terjadi gangguan yang berlebihan terhadap pohon-pohon/tegakan-tegakan yang menyusun kawasan hutan tersebut tentu akan memberikan dampak yang sangat nyata terhadap keberlangsungan fungsi ekosistemnya dan berdampak terhadap potensi SDH secara keseluruhan. Tingkat gangguan terhadap hutan biasanya dimulai dari penurunan kemampuan fungsi hutan atau degradasi sampai pada hilangnya kemampuan fungsi hutan atau deforestasi. 1.3. Pengertian Degradasi Hutan dan Deforestasi FAO (2002b) dalam FAO (2011) menjelaskan bahwa menurunnya kemampuan hutan untuk menghasilkan barang dan jasa (The reduction of the capacity of a forest to provide goods and services), dikategorikan sebagai 8 | P e n g a n t a r (Free Download)

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si -2020 kawasan hutan yang mengalami degradasi. Global Forest Resources Assessment (2000; FAO, 2001) dalam FAO (2011) juga menjelaskan bahwa Forest degradation is changes within the forest which negatively affect the structure or function of the stand or site, and thereby lower the capacity to supply products and/or services. ITTO (2002, 2005) dalam FAO (2011), menjelaskan bahwa Forest degradation refers to the reduction of the capacity of a forest to produce goods and services. Capacity includes the maintenance of ecosystem structure and functions. Selanjutnya dijelaskan bahwa Forests that have been altered beyond the normal effects of natural processes are categorized as either degraded primary forest, secondary forest, or degraded forest land. Berdasarkan uaraian sebelumnya dapat dijelaskan bahwa degradasi hutan adalah suatu proses dimana terjadi penurunan kemampuan kapasitas hutan baik saat ini maupun masa mendatang dalam menghasilkan barang dan jasa. Degradasi hutan juga menyebabkan perubahan di dalam struktur dan komposisi hutannya. ITTO (2002, 2005) dalam FAO (2011) Lebih lanjut menjelaskan bahwa Forests that have been altered beyond the normal effects of natural processes are categorized as either degraded primary forest, secondary forest, or degraded forest land. Degraded primary forest: primary forest in which the initial cover has been adversely affected by the unsustainable harvesting of wood and/or non-wood forest products so that its structure, processes, functions and dynamics are altered beyond the short-term resilience of the ecosystem; that is, the capacity of these forests to fully recover from exploitation in the near to medium term has been compromised. Secondary forest: woody vegetation regrowing on land that was largely cleared of its original forest cover (i.e. carried less than 10% of the original forest cover). Secondary forests commonly develop naturally on 9 | P e n g a n t a r (Free Download)

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si -2020 land abandoned after shifting cultivation, settled agriculture, pasture or failed tree plantations. Degraded forest land: former forest land severely damaged by the excessive harvesting of wood and/or non-wood forest products, poor management, repeated fire, grazing or other disturbances or land uses that damage soil and vegetation to a degree that inhibits or severely delays the re-establishment of forest after abandonment. CBD (2001, 2005) dalam FAO (2011) menjelaskan bahwa A degraded forest delivers a reduced supply of goods and services from the given site and maintains only limited biological diversity. Such a forest may have lost its structure, species composition or productivity normally associated with the natural forest type expected at that site. A degraded forest is a secondary forest that has lost, through human activities, the structure, function, species composition or productivity normally associated with a natural forest type expected on that site. Hence, a degraded forest delivers a reduced supply of goods and services from the given site and maintains only limited biological diversity. Biological diversity of degraded forests includes many non-tree components, which may dominate in the under-canopy vegetation. Degradation is … any combination of loss of soil fertility, absence of forest cover, lack of natural function, soil compaction, and salinization that either impedes or retards unassisted forest recovery through secondary succession. Reduction of forest cover, forest degradation and its fragmentation leads to forest biodiversity loss by reducing available habitat of forest-dependent species and indirectly through disruption of major ecological processes such as pollination, seed dispersal and gene flow. Forest fragmentation may also hamper the ability of plant and/or animal species to adapt to global warming as previously connected migration routes to cooler sites disappear. In certain forest types, fragmentation may also exacerbate the probability of forest 10 | P e n g a n t a r (Free Download)

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si -2020 fires, which further affects biological diversity in negative ways. IPCC (2003a) dalam (FAO, 2011) menjelaskan bahwa Forest degradation is a direct human-induced long-term loss (persisting for X years or more) of at least Y% of forest carbon stocks (and forest values) since time T and not qualifying as deforestation or an elected activity under Article 3.4 of the Kyoto Protocol. IUFRO (Nieuwenhuis, 2000) dalam (FAO, 2011) menjelaskan bahwa Forest degradation is damage to the chemical, biological and/or physical structure of a soil (soil degradation) and to the forest itself (forest degradation), as a result of incorrect use or management, and which, if not ameliorated, will reduce or destroy the production potential of a forest ecosystem (in perpetuity). Explanatory note: External factors, e.g. air pollution, can also contribute. Gambar 6. Kondisi Hutan Alam Rawa Gambut yang mengalami Degradasi dan Deforestasi (Dokumentasi Tahun 2019) Selanjutnya dijelaskan tentang pengertian Deforestation is the conversion of forest to other land use or the permanent reduction of the tree 11 | P e n g a n t a r (Free Download)

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si -2020 canopy cover below the minimum 10 percent threshold (FAO, 2007; 2015). Deforestation implies the long-term or permanent loss of forest cover and implies transformation into another land use. The term specifically excludes areas where the trees have been removed as a result of harvesting or logging, and where the forest is expected to regenerate naturally or with the aid of silvicultural measures, unless logging is followed by the clearing of the remaining logged-over forest for the introduction of alternative land uses. Deforestation also includes areas where, for example, the impact of disturbance, over-utilization or changing environmental conditions affects the forest to an extent that it cannot sustain a canopy cover above the 10 percent threshold. Berdasarkan uraian sebelumnya secara sederhana dapat dijelaskan bahwa deforestasi adalah kegiatan konversi hutan melalui penebangan pohon poohon yang lahannya dialihgunakan untuk penggunaan bukan hutan (non-forest use),seperti pertanian, perkebunan, pemukiman, pertambangan dan lain lain, sehingga terjadi perubahan permanen terhadap kanopi hutan kurang dari 10%. Perubahan penurunan kemampuan hutan seperti degradasi hutan dan deforestasi telah berlangsung relatif cepat. Kenapa degradasi hutan dan deforestasi begitu penting, karena hal tersebut memberikan masalah dan dampak yang serius terhadap aspek lingkungan, ekonomi dan sosial. FAO (2011) menjelaskan bahwa quantifying the scale of the problem is difficult, however, because forest degradation has many causes, occurs in different forms and with varying intensity, and is perceived differently by different stakeholders. The International Tropical Timber Organization (FAO, 2011) estimated that up to 850 million hectares of tropical forest and forest lands could be degraded. 12 | P e n g a n t a r (Free Download)

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si -2020 Gambar 6. Kondisi Kawasan Hutan Rawa Gambut yang mengalami Deforestasi (Dokumentasi Tahun 2019) Gambar 7. Profil Strata Kanopi Hutan Rawa Gambut yang mengalami Degradasi Berat dan Deforestasi 1.4. Sekilas Perkembangan Penginderaan Jauh untuk SDH Penurunan kuantitas dan kualitas ekosistem hutan sebagai akibat dari degradasi dan deforestasi yang relatif cepat harus dapat dipantau secara kontinu dengan memanfaatkan metode dan teknik penginderaan jauh yang tepat, efisien dan efektif. Perkembangan dan perubahan kondisi hutan yang relatif cepat belum sepenuhnya dapat diikuti oleh kegiatan pemantauan sumberdaya hutan yang rinci dan menyeluruh. Hasil informasi perubahan kondisi sumberdaya hutan saat ini masih bersifat umum karena belum memberikan gambaran secara rinci tentang kondisi hutan. Untuk itu sangat diperlukan upaya kegiatan pemantauan sumberdaya hutan yang mampu 13 | P e n g a n t a r (Free Download)

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si -2020 memberikan informasi yang valid mengenai kondisi sumberdaya hutan. Permasalahan utamanya yang dihadapi adalah luasnya kawasan hutan yang diikuti dengan perkembangan dan perubahan hutan yang cepat dan dinamis, sehingga memerlukan banyak biaya, waktu dan tenaga jika harus dilakukan secara teristerial. Oleh karena itu maka pendekatan metode dan teknis aplikasi citra peginderaan jauh terutama yang berbasis data digital menjadi pilihan utama. Simon (2007) menjelaskan bahwa dengan bantuan foto udara, pengukuran teristris dapat ditekan sampai sekecil-kecilnya, dimana pengukuran parameter pohon atau tegakan dapat dilakukan pada foto udara. Saat ini perkembangan teknologi penginderaan jauh yang berbasis data digital citra satelit telah mendorong terjadinya berbagai perubahan dalam mengembangkan teknik dan metode pemantauan kondisi hutan, antara lain adalah melakukan klasifikasi penutupan lahan menggunakan citra komposit, aplikasi transformasi indeks vegetasi yaitu suatu alternatif yang digunakan untuk mengukur kondisi dan jumlah vegetasi yang didasarkan pada ukuran nilai-nilai spektral penginderaan jauh, yang memanfaatkan kombinasi antara saluran merah dan inframerah dekat seperti Ratio Vegetation Index (RVI), Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), Soil Adjusted Vegetation Index (SAVI) dan indeks vegetasi lainnya (Jensen,1996; Purevdorj et al.,1998). Namun demikian kajian spektral citra satelit resolusi spasial sedang seperti Citra Landsat, Spot 4 dan yang sejenisnya yang dimaksudkan untuk memahami potensi sumberdaya hutan melalui pendekatan transformasi indeks vegetasi maupun klasifikasi multispektral belum memberikan hasil yang maksimal. Permasalahan mendasar yang dihadapi adalah bahwa struktur tajuk/ kanopi hutan yang berlapis dan sangat heterogen dapat menyebabkan 14 | P e n g a n t a r (Free Download)

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si -2020 kesalahan pada nilai respon spektral, akibatnya dapat terjadi kesalahan identifikasi dan interpretasi (Liang, 2004; Micheal et al., 2004). Sejak awal tahun 1990 Japan Overseas Forestry Consultants Association (JOFCA) dan International Timber Trade Organization (ITTO) mengembangkan model Forest Canopy Density (FCD) data digital Citra Landsat TM untuk memantau kondisi hutan tropis lahan kering (dryland) di India, Myanmar, Malaysia dan Indonesia. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tingkat kecermatan klasifikasi hutan yang sangat baik yaitu >90%. Secara konseptual model FCD dikembangkan secara bertahap dengan mempertimbangkan kondisi struktur hutan secara faktual melalui integrasi antara indeks tanah, indeks vegetasi, indeks bayangan dan indeks temperatur (Rikimaru, 1996). Percobaan ini mengilhami penelitian lain seperti yang telah berhasil dilakukan oleh Biradar et al. (2005) yang menggunakan model FCD untuk menentukan perencanaan dan implementasi pelaksanaan reforestasi dan aforestasi yang cukup berhasil di bagian selatan distrik Dehradun negara bagian Uttaranchal. Joshi et al. (2006) membandingkan model FCD dengan metode lain. Hasilnya model FCD lebih teliti dibandingkan dengan multi linier regression and maximum likelihood classification. Panta dan Kim (2006) menggunakan model FCD untuk mengetahui perubahan biofisik dan sosial masyarakat di Nepal antara tahun 1988-2001 dengan hasil yang teliti dan efektif. Mon et al. (2012) menerapkan model FCD untuk memantau hutan tropis di Myanmar, dan melaporkan bahwa model FCD sangat efektif dan rendah biaya. Sukarna (2009; 2013; 2014; 2015) mengunakan Model FCD untuk memantau dan mengkaji ekosistem hutan rawa gambut dan hutan mangrove di Kalimantan Tengah. Kajian sumberdaya hutan menggunakan model seperti NDVI dan FCD umumnya menggunakan citra dengan resolusi spasial sedang/ moderate 15 | P e n g a n t a r (Free Download)

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si -2020 seperti Landsat, Spot 4, ASTER dan citra sejenis lainnya. Penggunaan citra dengan resolusi spasial tinggi seperti IKONOS, Quick Bird, SPOT 6 dan yang sejenisnya memerlukan biaya yang tinggi dan hal ini tentu menjadi kendala untuk memantau perkembangan kondisi hutan yang luas. Pilihan yang paling strategis adalah menggunakan citra dengan resolusi spasial sedang, disamping karena luasnya cakupan yang mampu diindra citra tersebut. Kajian potensi sumberdaya hutan menggunakan metode dan teknik Penginderaan Jauh sangat penting untuk dikembangkan, mengingat bahwa kedalaman informasi yang akan dihasilkan memiliki keterkaitan secara langsung dengan rencana dan kebijakan pengelolaan ekosistem hutan yang akan dilakukan untuk waktu selanjutnya. Perlu diketahui bahwa dalam sistem pengelolaan sumberdaya hutan saat ini, hutan bukan lagi dipandang sebagai sumberdaya penghasil kayu semata, tetapi sudah merupakan suatu sumberdaya alam yang memiliki dukungan yang sangat besar terhadap kelangsungan dan kelestarian ekonomi, sosial dan lingkungan secara keseluruhan. Pasal 12 UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999 menjelaskan bahwa dalam Perencanaan kehutanan meliputi kegiatan inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan dan penyusunan rencana kehutanan. Selanjutnya dijelaskan pada pasal 13 ayat 1 bahwa Inventarisasi hutan dilaksanakan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang sumber daya, potensi kekayaan alam hutan, serta lingkungannya secara lengkap. Pada ayat 2 dijelaskan bahwa Inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan survei mengenai status dan keadaan fisik hutan, flora dan fauna, sumber daya manusia, serta kondisi sosial masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Permasalahan utamanya adalah bahwa kegiatan inventarisasi hutan yang 16 | P e n g a n t a r (Free Download)

Handout Mata Kuliah Penginderaan Jauh Sumberdaya Hutan Dr. Ir. R.M. Sukarna, M.Si -2020 dilakukan secara langsung terhadap kondisi hutan yang luas dan perkembangan yang dinamis tentu memerlukan banyak biaya, waktu dan tenaga. Simon (2007) menjelaskan bahwa untuk menyusun rencana inventarisasi hutan, maka waktu, biaya dan kecermatan yang dihasilkan merupakan trio-variabel yang menentukan teknik yang akan dipilih. Melalui pertimbangan tersebut maka kegiatan pemantauan kondisi ekosistem hutan beserta sumberdayanya sangat memerlukan aplikasi teknologi penginderaan jauh sebagai teknik dan metode yang relatif efisien dan efektif untuk kawasan hutan yang luas dan variatif. REFERENSI Biradar, C.M., Saran, S., Raju, P. L. N., Roy, P.S., 2005. Forest canopy density stratification: how relevant is biophysical spectral response modelling approach? Geocarto International Journal, 20 (1), 1 – 7. FAO, 2011. Assessing forest degradation; Towards the development of globally applicable guidelines. Forest Resources Assessment Working Paper 177. Rome. Pages 1 – 98. FAO, 2007. Definitional issues related to reducing emissions from deforestation in developing countries. Forests and Climate Change Working Paper 5. Rome. 1 – 13. FAO, 2015 (FRA, 2015). Terms and Definitions. Forest Resources Assessment Working Paper 180. 1 – 28. FAO, 2020 (FRA, 2020). Terms and Definitions. Forest Resources Assessment Working Paper 188. 1 – 26. FOREST-RELATED TERMS AND DEFINITIONS; (1997) Philippine Official Reference for Forest-Related Terms and Definitions. 1 – 51. Jensen, J.R., 1996. Introductory Digital Image Processing a Remote Sensing Perspective. Second Edition. Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey. Joshi, C., Leeuw, J.D., Skidmore, A.K., van Duren, I.C., van Oosten, H., 2006. Remotely sensed estimation of forest canopy density: A comparison of the performance of four methods. International Journal of Applied Earth Observation and Geoinformation, 8, 84– 95. Liang, S., 2004. Quantitative Remote Sensing of Land Surfaces. John Wiley and Sons, Canada Micheal, A. W., Hall, R.J., Coops, N.C., and Franklin, S.E. 2004. High Spatial Resolution Remotely Sensed Data for Ecosystem Characterization. Bioscience Vol. 54, Iss 6; Washington, 511, 11 p Mon, M. S., Mizoue. N., Htun N.Z., Kajisa, T and Yoshida, S. (2012), Estimating forest canopy density of tropical mixed deciduous vegetation using Landsat data: a comparison of three classification approaches. International Journal of Remote Sensing. 33(4) 1042-1057. Panta, M. and Kim, K., 2006. Spatio-temporal dynamic alteration of forest canopy density based on site associated factors: view from tropical forest of Nepal. Korean Journal of Remote Sensing, 22 (5), 1 – 11. Purevdorj, Ts., Tateishi, R., Ishiyama, T., Honda, Y. 1998. Relationships Between Percent Vegetation Cover and Vegetation Indices. International Journal of Remote Sensing Vol 19 No. 18, 3519 – 3535. Rikimaru, A., 1996. LANDSAT TM Data Processing Guide for Forest Canopy Density Mapping and Monitoring Model pp 1 – 8. ITTO Workshop on Utilization of Remote Sensing in Site Assessment and Planting of Logged-over Forest. Bangkok Simon, H., 2007. Metode Inventore Hutan. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Sukarna, R.M., 2015. FCD Application for Monitoring Mangrove in Central Kalimantan. Indonesian Journal of Geography,Vol. 47 No. 2, 160 – 170. Sukarna, R.M., 2014. Kajian Bentang Lahan Ekologi Floristik Hutan Rawa Gambut berbasis Citra Penginderaan Jauh. Jurnal Hutan Tropis Vol 2 No. 1, 52 – 59 Sukarna, R.M., 2013. Perubahan Struktur dan Komposisi Hutan Rawa Gambut Menggunakan Citra Penginderaan Jauh dan Pendekatan Ekologis di Kalimantan Tengah. Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 7 No 2, 129 – 143 Sukarna, R.M., 2009. Kajian Spektral Citra Landsat 7 ETM+ untuk Pemodelan Floristik Hutan Rawa di Kalimantan Tengah, Disertasi Fakultas Geografi UGM (tidak dipublikasikan). 17 | P e n g a n t a r (Free Download)


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook