gerobaknya sendirian. Ma Kungkung akan menemani si mo- nyet, sekaligus menunggu siapa tahu ada kabar mengenai Be- talumur. Pagi-pagi sekali ia membeli koran di perempatan ja- lan, kemudian membacanya perlahan-lahan dengan si monyet duduk di sampingnya. Mencari berita, mencari foto. Tak ada apa pun tentang Betalumur. Tak ada foto tentang sirkus topeng monyet. Apa pun yang terjadi di kolong jembatan layang itu, bukan bagian hal penting bagi kota ini. Hari kedua, si monyet menjerit-jerit tak karuan. Ma Kung- kung hanya bisa memerhatikannya, tanpa bisa berbuat apa pun. Hari ketiga, si monyet berbaring di atas lemari. Tak ma- kan, tak minum, tak juga tidur. Hanya berbaring, dengan mata menatap kosong entah ke mana. — Darman selalu tidur larut malam. Tak banyak yang dikerja- kannya, tapi tetap sulit tidur. Matanya tak bisa mengatup, dan pikirannya tak bisa berhenti berkelayapan. Ia berusaha untuk tidak meminum kopi, percaya seperti dikatakan teman-teman- nya bahwa kopi bisa membuatnya sulit tidur, tapi ia akan me- rokok tak ada henti. Sebabnya ia tak tahu harus melakukan apa sepanjang malam. Tentu saja pada akhirnya ia akan mencoba melihat tele- visi, tapi ia bukan jenis manusia yang senang dengan apa pun yang ada di televisi. Hanya isteri dan kelima anaknya melihat televisi. Ada buku teka-teki silang yang dibelinya dari penjual kaki lima, tapi ia tak pernah sanggup mengisi semua kotak. Pa- ling banter enam-tujuh pertanyaan bisa dijawabnya, selebihnya hanya membuat kepalanya pening. Ia bahkan menyesal sudah membeli buku itu. Di malam-malam lain, ia akan pergi ke luar. Bergabung de- ngan para penjaga di pos ronda. Bermain kartu atau karambol
bersama mereka. Tapi ia tak lagi mau melakukannya setelah beberapa tetangga memilih tak datang berjaga setelah tahu me- reka bisa digantikan olehnya. Mereka memanfaatkan kehadir- annya. Ia kesal kepada mereka dan tak lagi datang ke pos ronda itu, kecuali di malam Kamis ketika gilirannya untuk berjaga. Dengan segala kegelisahannya, menjelang subuh, ia mulai lelah. Duduk di sofa bututnya, matanya mulai terasa berat. Ke- palanya perlahan jatuh ke samping. Selang beberapa saat, terde- ngar dengkur halusnya. Tok! Tok! Tok! “Brengsek!” Darman terperanjat, terbangun. Ia menoleh ke arah pintu. Ia menoleh ke arah jam di dinding. Tok! Tok! Tok! Ia baru saja berhasil tidur, dan kini ada orang mengetuk pintunya. Bukan ketukan, tapi gedoran. Pintu rumahnya yang hanya terbuat dari papan murahan tampak bergetar. Berdiri dan dengan langkah menahan kesal, ia menarik selot pintu, membukanya. “Siapa?” Di depannya berdiri Syekh Asyhadie. Lelaki tua yang ting- gal di surau. “Bangun. Dirikan salat,” kata Syekh. “Sebentar lagi subuh.” Ia membanting pintu. Ia ingin mencekik lelaki tua itu, me- nendang dan membantingnya. Ia kembali duduk di sofa, masih menahan geram. Napasnya terasa berat. Ia tahu, akan merupa- kan perjuangan lama untuk bisa memperoleh kembali tidurnya. Bajingan, sialan, brengsek, ia memaki dengan berbagai cara yang bisa diingatnya. Tok! Tok! Tok! “Jangan lupa salat Subuh.” —
Si Kakatua mulai mencemaskan pertanyaan itu ketika ia merasa akan bertelur. Ia pernah bertelur sebelumnya, tapi telur-telur itu selalu diambil oleh si anak kecil yang memeliharanya. Kini, di tengah hutan, ia tahu akan memelihara telur-telur itu sendi- ri. Ia akan menetaskannya, dan membesarkan anak-anaknya. Ia mulai benar-benar cemas: apa makna hidup ini bagi anak- anaknya kelak? Apakah mereka akan menetas untuk kemudian sekali waktu mati, tanpa makna apa-apa? Hidup dan tidak hi- dup, tak ada bedanya untuk mereka? Hingga ia bertemu lelaki tua itu, di satu lembah kecil yang mereka sebut sebagai lembah Nur Wahid. Lembah kecil itu se- benarnya tercipta oleh persilangan jalan tol dan jalan raya, dan hanya bisa didatangi dengan berjalan melipir di tepi jalan tol. — Lembah itu tak jauh dari surau tempat tinggal Syekh Nuruddin Asyhadie. Ia dan beberapa orang muridnya sering pergi ke sana, terutama di siang yang terik, untuk memperoleh angin yang sejuk. Sekali waktu Si Kakatua melihatnya duduk di sebuah batu besar, di bawah pohon kweni tempat ia memiliki sarang untuk telur-telurnya. Syekh Asyhadie dikelilingi beberapa orang. Ia memegang satu buku, dan mengatakan sesuatu kepada orang- orang itu yang membuat dadanya bergemuruh: “Semua jawaban ada di buku ini.” Si Kakatua melongokkan kepalanya, untuk melihat Syekh itu lebih jelas. Dan Syekh mengatakan kembali hal itu. “Tanyakan segala hal yang mengganjal pikiranmu, aku akan tunjukkan jawabannya di sini.” “Jika kita tak menemukan jawabannya di sana?” “Allah memberi kita ini,” kata Syekh sambil menunjuk ke- palanya, “Untuk membaca ayat-ayat yang lain.” Dan jawaban untuk pertanyaanku, mestinya ada di buku
itu pula, pikir si Kakatua tiba-tiba. Ia hampir terlonjak-lonjak gembira, dan hampir memutuskan untuk turun terbang dan hinggap di tangan Syekh, lalu melihat ke dalam buku di geng- gamannya, sebelum sadar hal itu mungkin bisa mencelakakan- nya. Bisa mengembalikannya ke kurungan. Ia bahagia mende- ngar bahwa pertanyaannya mungkin bisa dijawab, sekaligus sedih, karena tahu pasti tak akan pernah bisa membaca buku itu. Ia hanya berharap Syekh itu membacakan apa yang ada di buku tersebut, hingga ia bisa menemukan jawaban yang dica- rinya. — Tempat itu, seperti kadang-kadang Syekh Asyhadie mengata- kannya, merupakan tempat ia memperoleh pencerahan untuk memulai mengingatkan orang-orang agar melakukan kewajib- an agama, dan meninggalkan semua yang dilarang. Mempero- leh cahaya ilahiah. Itulah kemudian kenapa tempat itu disebut Lembah Nur Wahid. Cahaya Yang Esa. “Tak hanya perlu dengan kata-kata. Kita harus mendatangi mereka, membangunkan mereka di waktu tidur, menyuruh me- reka berhenti bekerja jika azan berkumandang. Manusia seka- rang lebih buruk dari manusia zahiliah. Mereka tahu hal baik dan buruk, tapi tak mau melakukan hal baik dan terus-menerus melakukan hal buruk.” Ada juga yang bilang, di tempat itu Syekh kemudian mem- baiat para pengikutnya, untuk setia mengikuti jalan Allah dan menjalani contoh Rasul. Untuk mengenang segala hal yang baik itu, untuk memperoleh cahaya ilahiah yang sama, Syekh sering membawa orang-orang itu, yang kemudian diketahui sebagai murid-muridnya, datang ke sana dan membuka pengajian di bawah pohon. Si Kakatua sedikit mengerti bahasa manusia. Ia tak tahu
dari mana anugerah itu datang, tapi sejak tinggal bersama lela- ki dan anaknya itu, ia mulai mengerti apa-apa yang dikatakan manusia. Mereka senang jika ia mengerti, dan ia berusaha un- tuk mengerti agar mereka senang. Tapi ia hanya mengerti. Ia tak bisa berbincang dengan mereka. Ia tak bisa merangkai kata- kata manusia sehingga mereka mengerti apa yang ingin dikata- kannya. Apa yang sejauh ini bisa ia ucapkan, hanyalah meniru bunyi yang keluar dari mulut manusia, tanpa tahu bagaimana mempergunakannya. Kini, setiap Syekh dan murid-muridnya datang ke bawah pohon itu dan membuka pengajian, satu muridnya bertambah. Murid itu bertengger di satu dahan, menyimaknya penuh per- hatian. Si Kakatua. — Bersama dua orang muridnya, Syekh Asyhadie mendekati satu bengkel, yang menghadap ke satu-satunya jalan yang menuju permukiman tersebut. Satu orang sedang menambal ban, satu yang lain sedang membongkar mesin sebuah mobil. Pemilik- nya, seorang perempuan, duduk di meja. Syekh masuk dan mengambil satu batangan besi, dan memukuli drum. “Berhenti! Berhenti!” Satu pekerja keluar dari kolong mobil dan melotot ke arahnya. “Syekh! Kami sedang bekerja!” “Kau pikir aku buta? Aku tahu kau sedang bekerja. Kau dengar itu? Azan Lohor. Berhenti dan pergi ke masjid sekarang juga.” “Aku bisa salat nanti.” “Berjamaah jauh lebih baik, Saudaraku. Berhenti dan be- rangkat ke masjid.” Kedua muridnya mengambil batang besi lainnya dan me- mukuli drum yang sama.
“Aku mulai kesel. Denger. Kalian bukan bapakku, kalian bukan orang yang kasih makan perutku, kenapa kalian ribut di telingaku. Mending kita adu jotos saja sekalian di sini.” Anak bengkel itu mengambil batangan besi lain. Teman- nya datang dan ikut mengambil batangan besi lain. Tapi si pe- rempuan yang duduk di belakang meja buru-buru menarik ke- dua anak bengkel itu ke dalam. — Pengajian Syekh Asyhadie pada dasarnya merupakan sederetan tanya-jawab antara murid-muridnya dan Syekh. Salah satu mu- rid akan mengajukan satu pertanyaan, barangkali pertanyaan sederhana yang menyangkut hidupnya sehari-hari. Syekh akan menjawabnya dengan menyuruh murid-muridnya membuka buku yang mereka pegang, membaca satu ayat dari satu surat. Kadang-kadang ia menyuruh mereka membaca ayat lain. Ayat- ayat itu berhubungan dengan pertanyaan mereka, meskipun kadang-kadang hubungannya membingungkan. Jika itu terja- di, Syekh akan menjelaskan arti ayat itu dengan bahasa yang sederhana, konteksnya secara keseluruhan. Kadang-kadang ia menambahi penjelasannya dengan mengutip beberapa hadis Nabi, lain kali jika belum cukup, ia mengutip pula dari kitab- kitab yang ditulis para alim ulama terdahulu. Sering kali ia juga menceritakan dongeng atau sejarah masa lalu. Hingga akhirnya jawaban-jawaban tersebut memuaskan murid-muridnya, dan ia akan mengakhiri pengajiannya dengan kata-kata: “Semua kebenaran milik Allah. Semoga Allah mengam- puni kelemahan dan kebodohan kita.” — Si Kakatua semakin tertarik dengan pengajian-pengajian Syekh Asyhadie, dan tak pernah melewatkannya. Ia terutama senang
ketika Syekh mulai membuka buku itu dan mengutip beberapa kalimat dari sana. Si Kakatua tak mengerti bahasa yang berasal dari buku itu. Ia baru pertama kali mendengarnya, tapi terasa indah di telinga. Ia mulai memerhatikan dengan lebih saksama, kadang-kadang ia turun beberapa dahan untuk bisa mendengar lebih jelas, setiap Syekh Asyhadie mengutip sesuatu dari buku. Hingga satu sore, Syekh datang sekitar setengah jam se- belum murid-muridnya. Ia duduk di batu, dan membuka bekal minumnya. Saat itulah, ia mendengar seseorang mengutip satu ayat, dalam bahasa Arab yang indah. Ia merasa bahkan lebih indah daripada yang sering ia ucapkan. Ia menoleh, tapi tak melihat siapa pun. Suara kutipan ayat itu terdengar lagi, kali ini lebih nyaring. Hati Syekh Asyhadie bergetar, dan kembali me- noleh ke sekelilingnya. Ia tetap tak melihat siapa pun. Awalnya ia berpikir salah seorang muridnya telah hadir lebih dulu, dan sempat mengira itu suara jin yang sedang mempermainkannya. Setelah mencari ke sana-kemari dan tak menemukan siapa pun, sementara suara itu kembali terdengar cukup nyaring dan ia yakin berasal dari tempat yang tak jauh darinya, Syekh kemu- dian berdiri dan mendongak. Saat itulah ia melihat seekor Ka- katua, dan Kakatua itu kembali mengucapkan satu kutipan ayat. Itu ayat yang sering diucapkan Syekh. Al-Anam, ayat 106. Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu. — Si lelaki tua merinding, memandang si Kakatua dengan tatapan tak percaya. Sekali lagi, Si Kakatua mengutip ayat yang sama. “Mahabesar Allah,” gumam Syekh Asyhadie sambil meng- usap wajahnya. “Burung, tak salah jika lembah ini bernama Nur Wahid. Ia tak hanya melimpahkan cahaya kepada manusia, tapi kepada semua makhluk. Allah telah melimpahkan cahaya itu kepadamu. Mahasuci Allah.”
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168
- 169
- 170
- 171
- 172
- 173
- 174
- 175
- 176
- 177
- 178
- 179
- 180
- 181
- 182
- 183
- 184
- 185
- 186
- 187
- 188
- 189
- 190
- 191
- 192
- 193
- 194
- 195
- 196
- 197
- 198
- 199
- 200
- 201
- 202
- 203
- 204
- 205
- 206
- 207
- 208
- 209
- 210
- 211
- 212
- 213
- 214
- 215
- 216
- 217
- 218
- 219
- 220
- 221
- 222
- 223
- 224
- 225
- 226
- 227
- 228
- 229
- 230
- 231
- 232
- 233
- 234
- 235
- 236
- 237
- 238
- 239
- 240
- 241
- 242
- 243
- 244
- 245
- 246
- 247
- 248
- 249
- 250
- 251
- 252
- 253
- 254
- 255
- 256
- 257
- 258
- 259
- 260
- 261
- 262
- 263
- 264
- 265
- 266
- 267
- 268
- 269
- 270
- 271
- 272
- 273
- 274
- 275
- 276
- 277
- 278
- 279
- 280
- 281
- 282
- 283
- 284
- 285
- 286
- 287
- 288
- 289
- 290
- 291
- 292
- 293
- 294
- 295
- 296
- 297
- 298
- 299
- 300
- 301
- 302
- 303
- 304
- 305
- 306
- 307
- 308
- 309
- 310
- 311
- 312
- 313
- 314
- 315
- 316
- 317
- 318
- 319
- 320
- 321
- 322
- 323
- 324
- 325
- 326
- 327
- 328
- 329
- 330
- 331
- 332
- 333
- 334
- 335
- 336
- 337
- 338
- 339
- 340
- 341
- 342
- 343
- 344
- 345
- 346
- 347
- 348
- 349
- 350
- 351
- 352
- 353
- 354
- 355
- 356
- 357
- 358
- 359
- 360
- 361
- 362
- 363
- 364
- 365
- 366
- 367
- 368
- 369
- 370
- 371
- 372
- 373
- 374
- 375
- 376
- 377
- 378
- 379
- 380
- 381
- 382
- 383
- 384
- 385
- 386
- 387
- 388
- 389
- 390
- 391
- 392
- 393
- 394
- 395
- 396
- 397
- 398
- 399
- 400
- 401
- 402
- 403
- 404
- 405
- 406
- 407
- 408
- 409
- 410
- 411
- 412
- 413
- 414
- 415
- 416
- 417
- 418
- 419
- 420
- 421
- 422
- 423
- 424
- 425
- 426
- 427
- 428
- 429
- 430
- 431
- 432
- 433
- 434
- 435
- 436
- 437
- 438
- 439
- 440
- 441
- 442
- 443
- 444
- 445
- 446
- 447
- 448
- 449
- 450
- 451
- 452
- 453
- 454
- 455
- 456
- 457
- 458
- 459
- 460
- 461
- 462
- 463
- 464
- 465
- 466
- 467
- 468
- 469
- 470
- 471
- 472
- 473
- 474
- 475
- 476
- 477
- 478
- 479
- 480
- 481
- 482
- 1 - 50
- 51 - 100
- 101 - 150
- 151 - 200
- 201 - 250
- 251 - 300
- 301 - 350
- 351 - 400
- 401 - 450
- 451 - 482
Pages: