Mendung kelabu menggayut di sekitar rumah jalan Natrabu 10, sudah sepekan rasa duka mendalam dirasakan Pak Musa, ia telah ditinggal istri yang sangat dicintainya serta telah sekian lama menemani dirinya dalam suka dan duka mengarungi kehidupan dunia. “Mari kuceritakan tentang sesuatu nak, rahasia yang kupendam bertahun-tahun lamanya.” Pak Musa tiba-tiba mengajakku duduk di ruang tengah rumahnya yang klasik. “Dia bukan satu-satunya wanita dalam hidupku walaupun akhirnya hanya dia yang setia menemaniku hingga akhir hayatnya, aku mencintainya, secukupnya mencintainya.” Pak Musa mulai bertutur.
“Pak Musa pernah menikah sebelum dengan Ibu?” tanyaku menanggapi pernyataannya. “Tidak, hanya dia yang kunikahi, hanya dia saja.” “…aku mencintai beberapa yang lain sebelumnya dan itu lebih besar dari cintaku padanya, tetapi jangankan memilih dan mendekati mereka, untuk memperhatikan saja aku canggung, kesanggupanku terbatas ruang yang luas dan waktu yang terbatas.” Pak Musa melanjutkan. “Saya tak memahaminya Pak.” Kataku pada Pak Musa.
Pak Musa tersenyum lalu menuangkan kopi hitam panas dari teko bening kedalam dua cangkir kosong di atas meja lalu melanjutkan kisahnya. “Nanti kamu akan mengerti, saat seusiamu aku juga tak pernah merasakan hal ini, aku baru memahaminya setelah lama hidup bersama istriku, terlebih lagi setelah ia pergi, walaupun baru satu hari.” “Bagaimana caranya Pak?” Tanyaku penasaran. Pak Musa nampak tak cukup serius menanggapi pertanyaanku, disesapnya kopi yang masih panas dan menyebarkan wangi harum khas kopi pilihan.
Beberapa detik ia berpikir, lalu seperti menerawang ke langit-langit iapun melanjutkan bicaranya panjang dan lebar, kali ini ia mengisahkan pertemuan dengan wanita idamannya tanpa diduga dan disangka-sangka, ia mengira itu pintu perjodohannya yang kedua setelah tiga tahun menikah dengan istrinya, namun kembali pak Musa menyatakan bahwa hatinya sudah terpaut dan kecanggungan serta kejengahan yang membuatnya menarik diri dari cinta sebenarnya. “…dan ternyata semua itu hanya kepalsuan, jika aku benar mencintainya, pasti aku mengejarnya sampai mati dan iapun akan memperhatikan isyarat-isyarat yang
kuberikan padanya sejak dahulu.” Pak Musa lalu menyulut rokok yang sejak tadi dimainkannya saja. Aku masih mendengarkan kisah pak Musa yang kelihatan sehat dan bugar di usianya yang ke 85, giginya masih terlihat berbaris rapi kekuningan karena kopi dan rokok, rambutnya yang tinggal separuh menghuni kepala bagian samping dan belakang hampir merata putih warnanya. Lalu aku mengambil bagianku mencicipi kopi di cangkir bening tadi, luar biasa enak kopinya seharum aromanya walaupun tanpa gula, belum selesai aku menaruh cangkir di meja, Mas Isa pemilik rumah yang baru kukenal beberapa hari sejak kepindahanku
ke lingkungan baru ini datang menghampiri dan bergabung duduk bersama kami. “Loh Mas Wahyu sudah lama ngobrol sama Bapak?” Tanya Mas Isa. “Lumayan Mas, saya hampir satu jam mendengarkan kisah Bapak.” Kataku. Mas Isa tersenyum lebar tanpa berkata- kata lagi ia lalu mengajak Bapaknya untuk masuk ke kamar beristirahat, sekembalinya dari kamar, Mas Isa hanya menggeleng- gelengkan kepala dan berkata, “Sudah sepuluh tahun terakhir Bapak sering bercerita, tapi tak seperti kenyataannya, sejak kecelakaan mobil yang mengakibatkan amnesia akut, mohon maaf ya Mas Wahyu.”
Senyumku pada Mas Isa mungkin senyum terkecut yang pernah kumiliki, akupun tak bisa memastikannya, terungkap begitu saja, tak kuduga ternyata aku baru saja berbicara dengan orang yang sudah terganggu jiwanya, ini hanya tinggal menghabiskan secangkir kopi tanpa gula dan ampas yang masih tersisa saja.
Search
Read the Text Version
- 1 - 8
Pages: