kebudayaan yang mewarnai Kota Purwokerto di penghujung tahun 2018 lalu? Kegiatan yang merupakan agenda 99 hari kerja pemerintahan yang baru dilantik. Kecurigaan apapun dari siapa pun niscaya akan bersingsut menguap seiring bercendawan even-even kebudayaan yang tergenda rutin dan konsisten tanpa motif memolitisasi para seniman itu sendiri. Semoga. Catatan Pengantar Tidur 95
Narasi Ibu: Politik, Wayang, dan Sajak P eringatan hari ibu tahun 2018 beririsan dengan momentum kontestasi politik. Dalam wacana politik praktis, jumlah ibu adalah lumbung elekroral. Rasa-rasanya, ini adalah momentum pas bagi kelompok ibu (wanita) nenyampaikan aspirasi mereka kepada calon presiden dan legislator. Apakah negara sudah memperlakukan mereka secara adil sebagai warga negara sekaligus buruh yang berkewajiban menyususi anak hingga usia dua tahun? Apakah negara sudah benar-banar hadir dalam rumah tangga sehingga istri dan anak hidup tanpa kekerasan? Ibu adalah fungsi dalam wilayah domestik. Peran itu hanya bisa dilakukan wanita. Dalam tradisi keilmuan Islam, ibu adalah sekolah yang pertama sekaligus utama. Begitu vital fungsi dan peran seorang ibu, penyelenggaraan pendidikan untuk wanita menjadi urgen pula oleh negara. Dengan pendidikan yang setara, 96
kompetensi laki-laki dan perempuan pun akan setara. Itulah yang terjadi ketika bangsa ini pernah dicacat sejarah sebagai penganut sistem demokrasi terbesar ketiga yang dipimpin oleh seorang kepala negara wanita. Atau, ketika nama Sri Mulyani menjadi orang penting di World Bank beberapa tahun lalu. Untuk membicarakan ibu (wanita), tulisan ini akan menyebut dua tokoh dalam pewayangan Jawa, mereka yaitu Sembadra dan Srikandi. Keduanya adalah istri dari Arjuna. Masing-masing dari mereka mewakili karakter yang bertentangan. Sembadra atau Rara Ireng adalah pribadi istri dan ibu yang berada di dalam rumah, sedangkan Srikandi adalah istri yang memiliki kemampuan setara ksatria di medan perang. Arjuna sebagai suami mendapatkan ketenteraman saat dia berada di rumah karena memiliki seorang istri berkeribadian sangat luhur. Digambarkan, sebelum menikah dengan Arjuna, Sembadra terkenal dengan kecantikannya yang tiada tara. Setiap hari Sembadra membalut dirinya dengan pakaian dan perhiasan mewah. Namun sesudah menikah, dia menanggalkan semua kemewahan itu. Meski berbudi halus, Sembadra sungguh peka, dia akan menggugat bila Arjuna melakukan kekeliruan. Jika Sembadra marah, diceritakan Arjuna tak dapat mengelak. Lain dengan Srikandi, kemampuannya yang setara ksatria adalah gambaran perempuan yang memiliki komptensi lain di luar urusan domestik. Pada pengertian tertentu, urusan domestik Catatan Pengantar Tidur 97
sudah terselesaikan sebelumnya. Srikandilah yang menjadi alasan Arjuna (Pandawa) mampu mengalahkan Kurawa dalam perang Bharatayuddha. Epos Mahabharata mengungkap hal yang subtil, yaitu tentang poligami. Kunti dan Madri melahirkan koalisi pandawa yang kemudian berhadapan dengan koalisi Korawa, anak-anak Gandari. Ayah Pandawa dan Kurawa adalah kakak beradik berlain ibu. Perang Bharatayuddha selama 18 hari di Kuruksetra adalah perang saudara untuk memperbutkan kekuasaan penuh atas kerajaan warisan kakek mereka. Dalam kumpulan sajak Nun, Abdul Wachid B.S. menjadikan ibu sebagai mitos. Dalam sosok ibu itu termaktub kesentimetilan yang transendental. Ibu dalam wujud fisik dan psikis adalah objek yang dilihat dari frame keilahian, sebagai terbaca pada kutipan penggalan bait puisi “Aku Airmata” berikut: tetapi suaramu mengenalkanku kepada kebaikan/tetapi kebaikanmu mengingatkanku kepada ibu/kebaikanmu perwujudan dari rasa cinta/kebaikan ibu sabda dari kasih sayang tanpa jeda lobanglobang// Semua ibu, tentu tak perlu perayaan hari ibu hanya untuk mendapatkan ucapakan cinta dan atau terima kasih dari anak. Bukankah pepatah lama itu telah mengatakan: kasih ibu sepanjang masa, tapi kasih anak sepanjang galah. Jika galah itu tak cukup panjang, biarlah satu hari di bulan Desember dalam tiap tahun 98
menjadi jeda bagi kesibukan-kesibukan setiap anak untuk mengungkap rasa cinta dan terimakasih kepada ibu. Ibu yang makin tua dimakan usia, makin membutuhkan anak-anak yang sejak kecil tak henti-henti menyusahkan. Untuk mengakhiri tulisan ini, saya kutipkan penggalan bait puisi “Jalan Malam” dalam kumpulan sajak Nun berikut: ibu, ini waik kecilmu yang/ketika balita sepanjang malam diare/bapak sedang kirim tembakau ke kota/dan dokter tidak ada/ini putramu yang paling menyusahkan hatimu/ini anak lanang yang tidak pulangpulang.// Catatan Pengantar Tidur 99
Puisi dan Pemimpin H ari ini, manusia Indonesia sedang membidani kelahiran pemimpin baru untuk periode 2019-2024. Bangsa Indonesia, sebagaimana seorang calon bapak dan ibu, pasti menginginkan pemimpin masa depan yang mumpuni, seorang intelektual yang cakap sekaligus memiliki moralitas yang tinggi. Untuk itu, bangsa ini sesungguhnya sepakat dengan pemikiran cendekiawan muslim Nurcholis Madjid tentang gagasan “meritokrasi”. Dalam folklor yang hidup dalam sebagian masyarakat kita, seorang ayah harus menuruti kemauan sang istri yang ngidam agar kelak anaknya tak lahir dalam keadaan ngiler. Dalam konteks melahirkan pemimpin, bangsa Indonesia harus menghindarkan diri dari kampanye hitam atau hoax yang mengangkat isu SARA yang berpotensi mengancam disintegrasi bangsa alih-alih mengedepankan adu gagasan dan program. Tentu ini adalah bagian 100
dari pendidikan politik yang menjadi tanggung jawab mereka yang terlibat dalam suksesi kepemimpinan. Intelektualitas dan moralitas diperlukan seorang pemimpin untuk menghadapi dan menyelesaikan persoalan Indonesia. Persoalan yang bersifat mutakhir bisa dilihat dari berbagai data dari sumber otoritatif seperti Badan Pusat Statistik. Lebih dari itu, puisi (baca: karya sastra) yang lahir dari masyarakatnya pun dapat memberi potret masyarakat dan budayanya. Tentu kita familir dengan sebuah adagium dari Teeuw bahwa sastra tidak lahir dari ruang hampa budaya. Pada sisi yang lain, kita bisa menarik pengertian seluas-luasnya bahwa karya sastra adalah cermin sebuah masyarakat. Untuk itu, tidak berlebihan kiranya jika para calon pempimpin bangsa ini “diwajibkan” membaca puisi sebagai salah satu alternatif melihat kondisi masyarakat Indonesia secara otentik, tentu dalam perspektif kebudayaan. Indonesia dalam Puisi Buku kumpalan puisi Isbedy, Kota, Kita, Malam (2016) dapat menjadi satu preferensi untuk melihat potret Indonesia mutakhir. Isbedy berlagak dengan kredonya bahawa puisi baginya sebagai keriangan dan permainan yang sunguh-sungguh sehingga memungkinkannya menjadi medium kontemplasi, takarsis, dan inspirasi. Catatan Pengantar Tidur 101
Melalui Kota, Kita Malam, Isbedy—kepada kita—berkali- kali akan menunjukkan keberagaman tematik potret wajah Indonesia. Pertama, potret wajah terasing penduduk kota. Diksi kota pada setiap puisinya merujuk pada tempat—yang secara salah kaprah sering disalah artikan sebagai lawan kata desa— permukiman yang terdiri atas bangunan rumah yang merupakan kesatuan tempat tinggal masyarakat yang besifat heterogen. Atau, daerah pemusatan penduduk dengan kepadatan tinggi serta fasilitas modern dan sebagian besar penduduknya bekerja di luar pertanian. Isbedy menunjukkan diri sebagai bagian dari subjek kolektif penduduk kota. Ia menyuarakan kritik tentang keterasingan orang kota dengan wajah kota dengan derap kekinian dan kebaruan yang tanpa dinamis seakan tanpa batas. Positivisme, moderintas, materialisme yang kering spiritualitas sepertinya menjadi jawaban menyeluruh dan mengakar atas persoalan masyarakat kota yang individualis yang dikeluhkan oleh Isbedy. Ketidakmanusiaan rezim kota yang tak peduli pada nilai- nilai yang bersumber dari institusi sosial seperti keluarga dan agama sehingga terjadi pembangkangan-pembangkangan anggota keluarga dan kemurtadan secara masif. Segala sesuatu diukur berdasarkan keuntungan sesaat sehingga menjadi wadah berseminya hedonisme dan pragmatisme. Itulah yang tersuarakan dalam penggalan puisi berikut: Sebagaimalam aku melihatmu. terbenam/di ini kota, mandi lelampu, basah oleh/jalan yang tak 102
bersahabat, kau memanggil/kerabat, tapi tak juga ada tangan/ yang ingin menyalamimu//kota ini amat asing/sesepi saat tanpa kawan// Kedua, Isbedy memotret kemanusiaan dalam tema-tema humanisme yang kompleks: hakikat hidup, politik kekusaan, kesetiakawan, tentang pluralisme, bernegara, persoalan domestik, hingga kematian. Pada titik ini, dapat kita jumpai kerja sosial sang penyair mengejawantah dalam proses kreatif. Ia menjadi reflektor atas fenomena dan relitas sosialnya. Tidak semata merekamnya, tapi memberi koreksi-koreksi. Dengan pendekatan ke-samawi-an, Isbedy sepertinya telah sampai pada level tertinggi kemanusiaan yang kesalehannya mengejewantah dalam praktik sosial. Beberapa puisinya menyorot tafsir atas nilai-nilai religiusitas yang serba formalistik, dogmatik, dan dikuasai segelintir orang sehingga menutup rapat-rapat celah dialog antara manusia dengan Tuhannya. Sebuah puisi yang sangat menarik berjudul “Kau Ingin Bocori Perahu” memberi gambaran religiusitas yang diperalat sebagai kendaraan politik untuk memeroleh kekuasaan tak terbatas. bagaikan Khidir; kau ingin sekali/membocori perahu agar laut/menenggelamkan masa datang/lalu kau melenggang. setumpuk barang dan sabda//jadi penguasa,di kursi ingin/abad bagaikan Firaun. melepas tipudaya, melesapkan kuasa/ke wajah merah sada//bagaikan anakanak,kau ingin/merawat mainan agar tak dicuri Catatan Pengantar Tidur 103
Ketiga, manusia yang bersahabat dengan kematian. Penyair menyampaikan pesan kuat bahwa kematian adalah panggilan cinta dari Tuhan setiap manusia kembali kepada asal. Meyakini takdir— sebagai konsekwensi keyakinannya—tidak perlu menjebak manusia pada sikap fatalis. Mungkin optimisme yang berwawasan religius semacam itulah yang Isbedy maksud dengan puisi yang mampu menjadi inspirasi. Optimisme itu pula yang sepertinya ingin Isbedy tularkan pada pembacanya bahwa seorang pemimpin haruslah menularkan optimisme dan senantiasa berkarya. Untuk mengakhiri tulisan ini, mari kita resapi nukilan “ruh” optimisme Isbedy yang liris dan menyejukkan berikut: esok, jika masih ada harapan maka akan/kugenapkan dengan kerja. Dari kedua tanganku/semogalah tanah kering jadi gembur/pancuran mampat bisa mengucur/kucuran tertutup akan memancur// terimalah seriangmu... 104
Ironi Kemerdekaan dalam Novel Jprut Karya Putu Wijaya “ M enulis itu mudah” itulah yang dipelajari Seno Gumira Ajidarma dari sosok Putu Wijaya. Kekuatan ide dalam tulisan yang baik mesti didukung dengan sarana cerita yang ciamik pula. Gaya bercerita yang “enteng” inilah daya magis yang dimiliki sang maestro. Dalam bercerita, Putu seperti bertutur. Argumentasi itu menemukan afirmasinya dari latar belakang Putu Wijaya yang juga merupakan seorang penulis skenario teater. Bahkan, dalam cacatan saya, dia merupakan pendiri Teater Mandiri. Menjadi kekhasannya ketika Putu Wijaya memasukkan porsi dialog yang cukup besar, baik dalam setiap cerpen maupun novelnya. Saya membayangkan, katika selesai membaca Jprut (2017), Putu Wijaya adalah seorang jurnalis atau seorang antopolog yang menuliskan laporan pengamatan atas keluarga Amat. Putu Wijaya Catatan Pengantar Tidur 105
medeskripsikan setiap tokohnya melalui teknik dramatik, dialog dan perilaku. Tulisannya begitu hidup karena sudut pandang yang dipilih Putu Wijaya memang orang ketiga serba tahu. Pembaca, setelah mebaca reportase itu, seperti mendapat tugas untuk mengolah data-data berupa uraian peristiwa dan dialog antar tokoh untuk menyimpulkan apa yang mungkin ditafsirkan dari Jiprut-nya Putu Wijaya. Sampai di sini, pembaca mungkin akan terbelah, setidaknya menjadi dua kelompok, yaitu mereka yang meyakini perlu menyimpulkan sesuatu dari laporan ini tanpa membaca konteks sang penulis. Kedua, sebaliknya, pembaca akan mencari sebuah alternasi kesimpulan yang mencari titik potong antara teks dan konteks penulis. Mereka yang sepakat dengan R. Barthes bahwa penulis telah mati, memiliki berbagai kemungkinan pemaknaan. Berdasar kemungkinan itu, pembaca akan terbelah untuk mengdentifikasi diri kepada tiga tokoh utama. Mereka adalah Pak Amat, Bu Amat, atau Ami. Ketiganya merupakan satu keluarga inti: suami, istri, dan anak. Pak Amat adalah kepala keluarga dari kelas ekonomi menengah-bawah. Dia adalah seorang veteran perang yang setiap bulan mendapat gaji dari pemerintah. Karena kebutuhan hidupnya tidak sepadan dengan gajinya, untuk menghidupi keluarganya, terlebih anaknya kuliah, istrinya berkerja informal. Sebagai 106
pemilik Bintang Gerilya, sebuah penghargaan untuk veteran, dia mengalami berbagai konflik batin ketika dirinya merasa tidak pantas disebut sebagai pahlawan. Penghargaan itu dianggapnya sebagai kebetulan yang berkombinasi dengan kesalahpahaman. Maka, dia ingin mengembalikannya kepada pemerintah untuk diberikan kepada yang lebih berhak. Pada satu momen, seorang datang kepada Pak Amat setelah mendengar dia bermaksud mengembalikan penghargaan itu. Orang itu berniat membeli tanda penghargaan itu senilai lima belas miliar. Angka yang menggiurkan dibandingkan uang bulanan yang diterimanya yang konon kurang dari separuh penghasilan seorang pemulung di Jakarta. belum lagi, melihat istrinya yang ikut pontang-panting demi mengepulkan asap dapur dan biaya pendidikan anaknya. Pada akhirnya, Pak Amat menolaknya dengan sangat keras. Tentu itu adalah tanda sebuah kemenangan nurani, seorang ayah dan suami yang mencintai dan dicintai keluarga, juga seorang nasionalis dan patriotis. Sosok perempuan pada Jprut hadir pada tokoh Bu Amat dan Ami, mereka seringkali ditampilkan sebagai perempuan bijaksana dan lebih kritis dan lugas dalam menghadapi berbagai kondisi yang menyulitkan Pak Amat. Dari cerita yang ringan itu, pembaca dapat menemukan endapan-endapan filosofis yang penting untuk diwacanakan Catatan Pengantar Tidur 107
berkaitan dengan persoalan bangsa Indonesia hari ini. Pertama, Ironi kemerdekaan. Ketika HUT RI, dideskripsikan lingkungan di sekitar tempat tinggal Pak Amat terkesan adem ayem. Lalu, tentang bendera lusuh yang masih dipasang oleh seorang kaya. Ketika Pak Amar memprotes, muncul suara: yang panting bukan bentuk, tapi substansi. Nasionalisme itu letaknya di pikiran dan jiwa. Sementara bagi Pak Amat, sesuatu yang di pikiran dan dirasakan mesti diaktualisasikan. Diam-diam saya sepakat dengan Pak Amat. Saya mengandaikan sedang mencintai seorang gadis, setiap hari saya memikirkannya dan berharap membuatnya bahagia. Jika cinta tak mampu membuat saya melakukan sesuatu ketika gadis yang saya cintai dalam keadaan sedih, takut, bahkan sendiri, berarti saya hanyalah hipokrit. Kedua, kritik atas sistem paternalistik. Sebagaimana sebuah keluarga yang normal, keluarga Pak Amat kerap mendapat badai ujian, sikap Pak Amat yang sentimentil sering kali membuatnya merasa persoalan keluarga adalah persoalan dirinya sebagai kepala keluarga yang tidak layak dibicarakan dengan istri bahkan anaknya. Itu ditunjukkan dengan sikap Pak Amat yang acap merahasiakan sesuatu yang mengganggu pikirannya dari istri atau anakanya. Pada saat yang lain, persoalan itu justru adalah sesuatu yang dapat diselesaikan istrinya, contoh, istrinya yang bekerja sehingga mendapat penghasilan tambahan atas gaji bulanan Pak Amat. Atau, pada sosok Ami yang kadang dapat berpikir dan 108
bertindak bijaksana di luar perkiraan Pak Amat. Kebijaksanaan Ami diperoleh dari pengetahuannya yang bersignifikasi dengan statusnya sebagai mahasiswa. Bu Amat Menunjukkan pribadi yang memiliki integritas, sedangkan Ami memiliki kapabilitas. Kritik atas budaya paternal dalam keluarga ini biasa dibaca sebagai narasi dalam konteks yang lebih luas, pemerintah. Pemerintah yang korup karena pemberian tugas bukan berdasarkan kapabilitas dan integritas personal, seperti Bu Amat dan Ami. Sedikitnya, inilah usaha saya memberi hadiah kecil untuk HUT RI ke 73. Dirgahayu Indonesiaku. Catatan Pengantar Tidur 109
Baturraden dan Mitos Putus Cinta yang Terlupakan S alah satu wilayah di kaki Slamet yang diberkahi keindahan alam adalah Baturraden. Terletak di Kabupaten Banyumas, sebelah utara Kota Purwokerto, dan di sisi barat berbatasan dengan Kecamatan Kedungbanteng. Selain wisata alam yang menawarkan keramahan khas pegunungan yang “terpinggirkan” dari ingar-bingar perkotaan, Baturraden memiliki berbagai wahana hiburan, kuliner, hingga tanaman hias. Ada aturan main yang perlu Anda ketahui sebelum datang ke tempat ini. Masyarakat setempat meyakini sepasang kekasih yang datang ke Baturraden, sepulangnya akan “putus”. Mereka yang sengaja datang bersama pasangan ke Baturraden dan telah mengetahui mitos itu, dapat dipastikan sedang menghadapi hubungan percintaan yang pelik. Kedatangan mereka tidak 110
lain untuk menguji apakah hubungan percintaan mereka layak dipertahankan atau tidak. Menapak Tilas Sejarah Baturraden Dalam teks ajar bahasa daerah pada sekolah menengah di Banyumas, dikenalkan cerita rakyat tentang asal-usul Baturraden. Dalam teks tersebut disebutkan, Banyumas ketika itu dipimpin seorang adipati. Dia memiliki hewan peliharaan berupa gajah. Tempat tinggal gajah itu bernama Kutaliman, berasal dari dua kata, kuta yang berarti ‘kota/tempat’ dan liman yang berarti ‘gajah’. Sekarang, Kutaliman adalah nama desa di Kecamatan Kedungbanteng. Untuk mengurus gajah-gajah itu, sang adipati mempekerjakan seorang pemuda yang kemudian diam-diam yang menjalin hubungan cinta dengan putri sang adipati. Di kemudian hari, hubungan keduanya diketahui ketika sang putri hamil. Hubungan cinta mereka tidak mendapat restu dari sang adipati. Mereka diperintahkan pergi ke arah timur dan bermukim di Baturraden. Sebelum sampai di sana, mereka menempuh perjalanan yang sangat berat, termasuk menyeberangi sebuah sungai besar. Tak berapa lama setelah anak mereka lahir, pada tengah malam, sang putri memilih pergi tanpa sepengetahuan anak dan kekasihnya, karena merasa tidak sanggup menjalani kehidupan yang serbaterbatas di lereng Gunung Slamet. Catatan Pengantar Tidur 111
Lain Dulu Lain Sekarang Cerita rakyat Baturraden yang sejak awal telah terdistorsi menjadi semata mitos tentang tempat yang tepat untuk “putus”, adalah bentuk simplifikasi atas muatan nilai-nilai moral yang diejawantahkan. Bukan suatu kebetulan, cerita (baca: mitos) Baturraden meluas tersebar berkelindan dengan upaya komersialisasi Banyumas sebagai destinasi wisata. Putri sang adipati gagal memahami realitas kosmik semesta yang lebih utuh namun rumit. Ia mengalami culture shock ketika memasuki latar baru dalam perpindahan alur hidup dari sebelumnya melakoni peran sebagai anak adipati menjadi seorang jelata yang tinggal di belantara. Ia dikuasai rasa cinta terhadap seorang abdi dari ayahnya tanpa pertimbangan sosiologis apa pun. Sikap moralnya bahkan mengalahkan cinta dan menafikan insting seorang ibu untuk merawat anaknya. Ia tak pernah tahu berkasih perlu memahami bahwa manusia merupakan kesatuan material fisik, pikiran, dan perasaan yang selalu bertarung dengan hukum-hukum realitas di luar dirinya yang senantiasa mengekang. Bahwa manusia tidak akan mampu membebaskan dirinya dari urusan materi, tak dapat dimungkiri. Hal ini niscaya karena hubungan pria dan wanita diatur dalam norma adat dan hukum, bukan sekadar urusan biologis. Hari ini, mitos Baturraden hampir terlupakan. Akan lebih mudah mengamati berkembangnya Baturraden dengan berbagai kompleksitas persoalan ekonomi dan sosial. Kita bisa melihat 112
bukti-bukti kemajuan Baturraden yang sudah semestinya diikuti semakin rasional masyarakatnya. Tanah-tanah di sepanjang jalan dari Purwokerto ke arah Baturraden memiliki nilai jual yang begitu tinggi. Seiring perpindahan kepemilikan, tanah-tanah itu beralih fungsi. Puluhan bahkan ratusan bangunan vila, hotel, kafe, hingga warung remang-remang menjadi wajah kekinian Baturraden. Untuk apakah kemajuan yang meninggalkan masyarakatnya sehingga mengancam eksistensinya? Mereka membiarkan tanah kelahiran dibangun oleh orang-orang asing. Sedangkan pembangunan itu mengancam anak-anak mereka yang lahir tanpa identitas sejarah. Mereka mengira dilahirkan dari kebisingan musik disko sepanjang malam, keremangan gang sempit tempat orang jajan esek-esek, atau kesegaran udara yang membuat vila- vila tak pernah sepi dari penyewa muda-mudi yang baru saling kenal lewat chatting. Orang Banyumas dan sekitarnya, hari ini, justru menggunakan kata Baturraden sebagai metafora dari tempat-tempat seperti lokalisasi atau diskotek tempat orang mabuk dan isu-isu miring lain. Ah, bisa jadi maksud mereka baik, mencari bentuk eufemisme daripada menyebut nama komersial. Adalah tugas masyarakat dan para pemangku kepentingan setempat melakukan counter attack dengan kampanye moral untuk memutihkan nama Baturraden. Ini penting untuk mengimbangi citra dan image Kota Purwokerto yang makin berkembang sebagai pusat pemerintahan, ekonomi, dan pendidikan. Catatan Pengantar Tidur 113
Seruan Literasi dalam Cantik Itu Luka S utan Takdir Alisjahbana (STA) pernah mengimpikan modernitas yang ditandai dengan besarnya produksi buku, judul maupun eksemplar, ditunjang jumlah toko buku, perpustakaan, dan percetakan, dan tentu saja masyarakat yang “gila buku”. Alih-alih mendeskripsikan modernitas, STA mengharapkan terwujudnya masyarakat modern Indonesia yang dengan budaya literasi yang mapan. Tentu saja, konteks literasi mencakup literasi digital. Pada momentum Hari Aksara bulan September tahun 2018 ini, marilah kita bercermin. Idealnya, budaya literasi adalah atribusi dari masyarakat ekonomi menengah atas yang identik dengan sikap kritis dan rasionalitas. Kita dapat melihat angka-angka makro rataan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia, penurunan angka kemiskinan, dan rataan tingkat pendidikan yang konon semakin membaik dari 114
sumber otoritatif seperti Badan Pusat Statistik. Namun, sadarkah kita rata-rata orang Indonesia membaca tak lebih dari dua judul buku dalam rentan satu tahun. Tentu itu angka yang sangat kecil jika dibandingkan dengan di negara maju dengan pendidikan yang baik seperti Amerika atau Finlandia misalnya. Hasil studi yang dirilis UNESCO pada tahun 2016 lalu menyebut minat baca bangsa Indonensia berada di angka 0,001, atau berada di peringkat 60 dari 61 negara, sedangkan aspek infrastruktur, kita berada di peringkat 34. Kita dapat menyimpulkan belaka kalau infrastruktur tak berkolerasi secara langsung dengan minat baca. Infrastruktur saja tak cukup. Untuk itulah, kampanye gerakan literasi diperlukan untuk menjadikan bangsa ini waras dengan sikap kritis dan rasional. Sesuatu yang sangat diperlukan bangsa ini ketika akan menyambut hajatan besar pilpres dan pemilu legislatif tahun 2019 yang hiruk pikuknya sudah mulai mencuat hari ini. Eka Kurniawan, dalam novel epiknya, Cantik Itu Luka, mempersonifikasikan tokoh-tokoh utama yang memiliki kesadaran pendidikan, ditunjukkan dengan kemampuan literasi. Pengarang dengan tak langsung menyerukan budaya literasi kepada pembaca novelnya. Pertama, tokoh Dewi Ayu yang dibesarkan dalam kultur Eropa meski tinggal di Hindia Belanda. Ketika perempuan dan anak-anak keturunan Belanda dikumpulkan pasukan Jepang di sebuah tempat yang minim logistik makanan dan obat-obatan, Catatan Pengantar Tidur 115
dengan kecerdasannya Dewi Ayu menemukan sumber makanan dengan memanfaatkan lintah untuk memperoleh darah sapi. Melakukan trauma healing bagi anak-anak dengan kegiatan mendongeng. Usaha paling heroik yang dulakukannya dalam keadaan seperti itu adalah caranya memperoleh obat dari tentara Jepang yang berkuasa. Dia menunjukkan sikap rasional dan humanis yang melampaui batas-batas primordial akan keyakinan tentang keperawanan. Kedua, tokoh Kamarad Kliwon yang digambarkan sosok yang cerdas dengan segala capaian akademik. Setelah pengalaman hidup yang sulit dan berat, dia bergabung dengan partai kiri yang bercita- cita sosialisme. Dia terlibat dan menjadi pemimpin dalam berbagai gerakan masa melawan ketidakadilan rezim. Dalam waktu yang singkat, namanya masuk menjadi jajaran penting, bahkan menjadi pimpinan. Kita ditunjukkan Kamerad Kliwon sebagai tokoh yang sangat tergantung dengan koran, baginya tiada pagi tanpa koran dan kopi. Bagian paling menarik tentang kesadaran akan pendidikan adalah tokoh ketiga, Maya Dewi, anak ketiga Dewi Ayu. Oleh ibunya, dia dinikahkan dengan seorang preman terminal yang usianya terpaut jauh lebih dewasa. Saat itu, usia Maya Dewi dua belas tahun. Setelah menikah, Maya Dewi meminta izin kepada suaminya untuk melanjutkan sekolah. Dengan sikap yang sangat dewasa, suaminya mengizinkan. Bahkan, dengan cara yang heroik, suaminya memaksa sekolah untuk menerima Maya Dewi kembali bersekolah meski telah berstatus kawin. 116
Paradoks Ketika kampanye literasi digaungkan, kita dihadapkan sebuah situasi paradoks mengenai pendistribusian buku. Pada akhir 2017, sekelompok pelajar sekolah menengah pertama di Purwokerto berbondong-bondong mengunjungi Perpustakaan Daerah (Perpusda) Banyumas. Setelah membuat kartu anggota, mereka berencana berkenalan dengan karya-karya penulis Banyumas yang telah mendunia, Ahmad Tohari yang lekat dengan maha karyanya Ronggeng Dukuh Paruk. Dengan mesin pencari di komputer yang tersedia di perpusda, mereka mengetikkan nama Ahmad Tohari. Muncul dua judul buku, Kubah dan Orang-Orang Proyek. Tentu saja dua judul itu terlalu sedikit jika dibandingkan dengan keseluruhan karyanya. Apa kabar karya-karyanya yang lain yang telah dibukukan, seperti Novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus, dan Jantera Bianglala; Di Kaki Bukit Cibalak; Senyum Karyamin (kumpulan cerpen); Bekisar Merah; Lingkar Tanah Air; Nyanyian Malam; Belantik; Rusmi Ingin Pulang (kumpulan cerpen). Bangsa ini masihkan meragukan Ahmad Tohari sehingga enggan mendekatkan karya-karyanya kepada anak-anaknya? Fakta yang cukup menggembirakan adalah hampir separuh buku yang terjual adalah genre buku anak. Itu menunjukkan ada kesadaran orang tua untuk membudayakan literasi dalam keluarga. Kita boleh berharap banyak, sepuluh tahuan ke depan, bangsa ini akan disesaki kelompok usia produktif yang “gila buku” dan “waras”. Catatan Pengantar Tidur 117
Tentang Penulis M ufti Wibowo lahir dan berdomisili di Purbalingga, Jawa Tengah. Ia menempuh pendidikan prasekolah hingga pendidikan menengah di Purbalingga. Setelah memperoleh gelar sarjananya dari Universitas Muhammdiyah Purwokerto, ia tercatat sebagai pengajar di SMP Muhammadiyah 1 Purwokerto. Jejak kepenulisannya berupa cerpen, esai, resensi, dan puisi bisa dijumpai dalam bentuk cetak dan digital di media cetak dan daring; Jawa Pos, Media Indonesia, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Solopos, Radar Banyumas, Tanjungpinang Pos, Dinamika News, Lampung News, Kompas.id, Basabasi. co, Detik.com Cendananews.com, Iqra.id, maarifnujateng.or.id dan beberapa antologi bersama: Kembang Glempang, Kembang Glempang 2, Masa Depan Koin, Suara Hati Guru di Masa Pandemi, Suara Bayang-banyang, Jantra Jiwa, Terus Berkarya di Usia Senja, dll. 118
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124