Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Sahabat Tersayang

Sahabat Tersayang

Published by 34.laura.yupukoni, 2020-11-19 16:47:21

Description: Gadis remaja berusia 15 tahunhidup dibawah orang tuanya yang kaya raya, tetapi mengerti arti kata 'kasih sayang' ini. Berpindah-pindah sekolah demi pekerjaan ibunya, dan berakhir di kota kelahirannya, Jakarta.Ia kembali bertemu dengan sabahat masa kecilnya. Tetapi sahabatnya bukanlah sahabatnya yang dulu itu. Dirinya telah berubah. Bahkan sahabat masa kecilnya memanfaatkan dirinya, sungguh tega. Ia tahu sudah sejak lama, tetapi tidak ingin mempercayakan hal itu.Tetapi sampai kapan dirinya mau membiarkan hal itu terjadi? Mengapa ia harus begitu memperjuangkan persahabatan ini? Akankah sulit ia menemukan seorang yang baru untuk menggantikan?

Search

Read the Text Version

“Apa yang kamu suka makan saat sedang marah? Seperti meredakan emosi gitu?” Tanya Nathan lagi dengan menghiraukan pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh bibir mungil milik Adira. Nathan dengan sabar masih tersenyum di depan Adira. “Es krim coklat dan Milkshake rasa strawberry.” Kata Adira dengan mata yang berbinar-binar kepada Nathan seperti seorang anak kecil saja. “Baiklah kalau begitu aku akan mentraktirmu makan es krim dan minum Milkshake di kantin setelah lomba, tapi kamu harus janji harus memenangkan lomba ini, buat yang terbaik dari yang kamu bisa.” Katanya kemudian sambil memberikan janji yang cukup mudah jika Adira sedang rajin, tapi untuk saat ini dirinya sedang tidak semangat. Nathan kemudian menyingkir dari lokasi perlombaan, sudah banyak orang yang duduk di depan kanvas-kanvas itu. Semua telah bersipa dan memikirkan akan menggambar apa. Sedangkan Adira masih terbilang kaget, sekarang tidak terlintas sedikitpun ide. Dengan tawaran cukup menarik, karena tidak sering-sering atau bahkan tak ada yang pernah menraktirnya apa pun termasuk Thalia yang ia anggap sebagai sahabatnya sendiri. Kini seseorang yang sangat jarang ia ajak bicara menyuruhnya mengikuti lomba dan harus memenangkannya pula. Apa yang salah dengan otak pintarnya itu? Bagaimana ia dapat berpikir sangat tidak rasional seperti itu. “Apapun yang terlintas itulah yang akan kugambarkan.” Katanya memutuskan. Terlihat di ujung lokasi lomba, Nathan berdiri di situ melihat ke arah Adira. Kemudian mengangkatkan tanganya menandakan kata semangat. Dengan cepat Adira menolehkan kepalanya ke arah yang lain, entah mengapa wajahnya terlihat merah dan tersipu malu. ‘Apa yang terjadi.’ Pikirnya. *** Semnua sudah berada di posisnya masing-masing, beigtupula dengan para panitia yang akan mendampingi perlombaan ini. Lalu- “3...2...1... mulai” kata sang pengawas lomba melukis. Orang-orang telah mempersiapkan apa yang akan mereka lukis saat lomba dengan begitu persiapkan. Sedangkan Adira baru mendaftar lima belas menit 50

sebelum lombanya dimulai. Apa yang harus ia lukis dengan waktu hanya satu jam saja. Adira dengan spontan berbalik menatap ke belakang, dan tak sengaja ia berkontak mata dengan Nathan. Tanpa disuruh Nathan seperti memberi semangat kepada Adira dengan mengangkat tangannnya lagi. Ia seperti memastikan bahwa Adira akan mengikuti lomba ini, apapun hasilnya. Kemudian Adira tak sengaja terlintas buku pahit yang ada di rumahnya. Semua kepedihan yang telah tergores di hatinya baik dalam keluarganya maupun di lingkungan sekolahnya dengan teman-temannya. Ia akan mencoba melukis semua luka yang ada di hatinya. Hati Adira diisi dengan kenangan pahit, semua itu ia tuangkan ke dalam sebuah lukisan. Bahkan kini lebih dari sebagian berwarna hitam. Waktu terus berjalan-berjalan dan berjalan… “5...4...3...2...1... letakkan alat lukis kalian dan berdiri di samping lukisan kalian.” Kata salah satu panitia. “Kami akan datang ke lukisan kalian masing-masing, semua juga harus mencerita apa yang kalian lukis, apa prinsip dan cerita di balik lukisan itu. Mengerti?” Lanjut temannya itu. “MENGERTI!” Teriak para peserta yang sudah siap siaga dengan setiap pertanyaan yang akan dilontarkan oleh sang pengawas itu dan dua orang juri yang lain. Beberapa peserta telah meninggalkan tempat lomba, setelah giliran mereka telah selesai. Kini giliran Adira tiba. Para juri awalnya menilai lukisannya secara gambar dan apa yang dilihat. Adira hanya menggambar seorang anak perempuan muda yang duduk menangis menatap kaca yang telah retak semua dan semua itu digambar di hati yang telah berwarna gelap dengan aura sedih yang begitu dashyat dilihat. Dengan cepat giliran Adira telah tiba. Ada tiga guru yang menilai. Pertama guru seni lukis, lalu guru seni rupa, dan yang terkahir kepala sekolah. Mereka terlihat seperti orang yang begitu artistik, cocok menjadi juri dalam kompetisi ini. “Apa yang ingin kau sampaikan dari lukisan ini? Apakah ada makna tersendiri atau mungkin untuk seseorang yang kau jadikan gambaran untuk lukisanmu ini?” Pertanyaan pertama telah dilontarkan dan entah kenapa Adira sangat santai dengan bertanyaan yang cukup bertubi-tubi diberikan untuknya. 51

“Lukisan ini berceritakan tentang seorang gadis kecil yang sedang merasa dirinya tidak di terima oleh orang-orang di sekitarnya, kaca yang retak melambangkan dirinya yang telah hancur berkeping-keping dan semua itu tak akan kembali sempurna seperti dulu lagi dimana sebuah kaca baru pertama kali digunakan untuk bercermin mereka telah menjadi rongsokan.” Kata Adira dengan sangat mantap menjawab pertanyaan sang juri. “Baiklah sepertinya untuk cukup sampai di sini, mohon di tunggu nanti hasilnya di tempat ini lagi dalam waktu kurang lebih satu jam yang akan datang.” Kata sang pengawas sekaligus juri diantara ketiga juri yang menilai. “Terima kasih banyak.” Kata Adira setelah para juri bersiap ke peserta berikutnya. Lalu dibalas dengan anggukan sopan dari ketiga juri itu. *** Setelah mereka pergi meninggalkan Adira, tanpa diundang Nathan telah siap berdiri di samping Adira. Dirinya sepertnya telah melihat sesuatu yang aneh dan bahkan ganjal dari lukisan adira, seperti lukisan itu berkata ‘akulah Adira yang kamu sakiti’. Sungguh menyedihkan jika itu benar-benar Adira. Walaupun memang itulah dirinya. “Ayo aku traktir makan es krim ekstra Milkshake strawberry, yuk ke kantin.” Ajaknya sambil menarik tangan Adira yang masih terdiam mencoba mencerna kata-kata Nathan barusan. Adira hanya dapat mengikuti tanpa dapat protes. Setiba di kantin Adira ditempatkan di meja depan toko es krim yang kebetulan juga menjual Milkshake. Adira telah duduk manis, sedangkan Nathan sedang memesan makanan favorit gadis yang telah ia paksa ikut lomba melukis. Adira terlihat memperhatikan setiap inci kantin. Karena ini pertama kalinya dia berada di kantin, setiap seluk beluk dilihatnya. Rasa takjub terlihat jelas di wajahnya. “Ini es krimnya dan juga minumanmu.” Katanya sambil memberikan pesanannya itu. Adira terlihat bingung dan terdiam sejenak, barulah ia mengabil pemberian Nathan itu. “Makasih ya, tapi kenapa kamu mau menraktirku dengan ini? Dan juga kenapa kamu maksa aku buat ikut lomba melukis?” tanya Adira yang memang telah dibuat kesal oleh perbuat Nathan sebelumnya. “Pertama aku tahu aku salah, aku tak meminta persetujuanmu untuk lomba ini. Tapi yakinlah aku tahu kamu bakal menjadi juaranya, dan 52

kalaupun tidak aku akan tetap mentraktirmu makan ini. Lagipula aku telah melihat semua lukisan yang ada menurutku kamu yang terbagus lukisannya, entahlah apakah juri juga sependapat denganku? “Aku juga ingin mencoba berteman denganmu, seperti suatu hal yang menyenangkan saja mencoba berteman denganmu, membangun relasi seperti itulah.” Kata Nathan dengan panjang lebar menjelaskan kepercayaannya terhadap Adira dan juga keinginannya untuk berteman dengan Adira. Adira bahkan terkejut dengan keinginan Nathan untuk berteman dengannya yang bukan seorang apa-apa ini. Untuk pertama kalinya Adira merasa dirinya diperlukan, atau bahkan dipandang oleh orang lain. Melihat raut wajah Adira yang berubah drastis justru membuat Nathan sangat mengejutkan, tentu saja karena hingga membuat Adira tersedak akan minumannya. “Hanya hal yang mengejutkan bagiku, karena ada seseorang yang mau berteman dengan seorang yang sangat hina ini, tak ada yang istimewa dariku, kau hanya membuang waktumu untuk berteman denganku.” Kata Adira dengan nada lirih dan memasang raut wajah sedih. Akhirnya mereka kembali ke ruang lomba melukis, mereka bagai seorang yang bisu, terdiam dengan pikiran masing-masing. Kini semua peserta lomba telah berkumpul di ruang lomba bersiap-siap mendengar pengumuman siapa yang menjadi pelukis terbaik diantara mereka semua termasuk Adira. “Kini saya akan mengumumkan siapa yang menjadi terbaik diantara kalian semua, juara 3 diraih oleh...Devon Satria kelas 10IPS - 1, juara 2 diraih oleh...Bella Christine kelas 12IP, danyang terakhir yang menjadi terbaik diantara para terbaik kita juara 1 diraih oleh...Nadira Mila kelas 10IPA - 4, selamat untuk para pemenang, dipersilakan untuk naik ke panggung menerima piala dan juga sertifikat.” Kata perwakilan panitia, yang tadi sempat berbincang dengan Nathan sebelum lomba, namanya Kevin. Adira dengan perasaan yang sangat kaget mendengar hal itu, dengan tersenyum sangat lebar, dan hal itu tentu saja mengejutkan ratusan orang yang berada di ruangan yang sama dengan Adira. Bagaimana tidak mungkin seseorang yang dikenal sangat tertutup dan kutu buku begitu pendiam dapat tersenyum begitu lebar dan sangat mengejutkannya lagi, dirinya bahkan bertatapan dengan Nathan. Adira kini telah berada di depan bersama dengan kedua pemenang lainnya. Mereka diberi satu piala yang cukup tinggi, sertifikat tanda 53

pemenang , dan juga uang hadiah dengan nominal tiga uang merah untuk Adira. *** Tanpa disadari oleh banyak orang, sedari tadi di kantin ada seseorang yang telah mengikuti mereka. Tentu saja siapa lagi kalau bukan Thalia. Hatinya telah begitu panas melihat kedekatan Adira dengan Nathan. Tentu saja Thalia bahkan tak bisa berbincang dengan Nathan lebih dari lima belas menit apalagi ditraktir makan es krim seperti yang telah dilihatnya. Thalia yang selalu ingin menarik perhatian Nathan dan tidak pernah didapati, dan sekarang Adira yang bahkan sama sekali tidak ada yang mau menemaninya itu. Wajah Thalia terlihat begitu geram, ia akan memberi pelajaran kepada Adira teman masa kecilnya itu nanti. Rasa sakit yang sering dikenal pengkhianatan itu. Tetapi nyatanya itu hanya masih terlintas di pikiran Thalia, ia tidak mungkin beradi menghampiri Adira yang sedang berbincang dengan Nathan. Akan rusak semua image bagus Thalia di depan Nathan itu. Aura kejahatan Thalia tentu tidak akan tersampaikan ke Adira, terutama suasana hati Adira yang masih terkejut senang. Ia akan pulang dengan banyak sekali cerita dalam hatinya. Ia akan mengunci dirinya kembali dan menulis hari ini dengan senyuman yang selalu terpampang. Tidak akan pernah ia lupakan hari ini. Tak akan. *** Diary sayang, Hari ini menjadi hari terbesar dalam sejarah. Aku berbincang kembali dengan lelaki itu. Lelaki yang bahkan tidak pernah dekat ke aku, yang aku tidak tahu mengapa ia mau berteman denganku. Bahkan ia juga yakin aku dapat menang. Perlakuan yang bahkan Mom dan Dad tidak pernah lakukan padaku. Tentu ini adalah hubungan pertemanan, tetap ini benar- benar keren. Aku tidak pernah menyangka akan seperti ini. Aku berharap hari-hari berikutnya akan lebih menyenangkan. Tetapi di sisi lain, aku tidak pernah benar-benar bisa berbicara dengannya tanpa dirinya yang memulai. Apalagi dia itu memiliki banyak sekali teman. Orang-orang selalu saja mengerumuninya. Bahkan bisa dibilang itulah 54

kehidupan yang menjadi impianku sejak kecil. Tetapi mana mungkin hal itu terjadi, yakan. Mungkin saja setelah hari ini, semua akna kembali normal, walau aku berharap itu tidak terjadi. Aku baru ingat kalau sudah lama tidak benar- benar melakukan komunikasi yang baik dengan Thalia. Terakhir kali kami lakukan saat pekan ujian, dan setelah itu tidak pernah lagi. Aku tidak tahu apa yang akan dia katakana jika aku memberitahukannya ‘aku mempunyai teman baru.’ Akan sangat kutunggu. Sahabat terbaik, Diaryku Nadira Mila Angel. 55

8 Sikap Thalia kini sudah semakin berbeda dari biasanya, semenjak Adira mengikuti lomba melukis itu. Bahkan hingga makan bersama dengan Nathan. Walaupun itu hanya terjadi setelah Hari Pahlawan diadakah. Perubahan itu benar-benar membuat banyak orang terkaget-kaget, apalagi Thalia. Bahkan bisa dibilang Adira sendiri terkaget saat Nathan mengajaknya makan siang bersama. Meskipun saat Adira bertanya apa alasannya mengajak Adira makan siang ini, dirinya hanya berkata “Tidak bolekah? Lagipula akan lebih enak berbincang denganmu ditemani oleh makanan.” Entah itu bisa terhitung sebagai alasan atau tidak. Thalia selalu bersusah payah agar dapat berbincang dengan Nathan selama kurang lebih setengah jam, kini bahkan hampir seharian penuh Adira bersama dengan Nathan. Lalu ditambah makan siang bersama. Keterlaluan. Telah berjalan dua minggu setelah Hari Pahlawan Nasional, kini telah memasuki minggu ketiga. Kesibukan telah menghampiri Adira dan Nathan. Terutama dengan kesibukan mereka akan kepentingan sekolah. Belum ada tanda-tanda kedekatan antara Adira dan Nathan. Hubungan mereka seperti matahari dan bulan. Adakalanya bulan berani menampakkan dirinya bersamaan dengan matahari, tetapi ada saatnya juga keberadaan bulan menghilang layaknya lenyap dari alam semesta. Hal yang langka. “Hari ini saya akan menugaskan kalian untuk berdiskusi dengan teman sebangku kalian tentang pelajaran hari ini.” Kata Pak Geri, guru sejarah di sekolah Adira. Dia baru saja selesai mengajarkan Adira dan yang lain tentang Manusia-manusia Purba. 56

Kelas Sejarah dibuat dengan pembagian satu meja dua anak. Adira mendapat semeja dengan Thalia. Pembagian ini juga telah ditentukan oleh Pak Geri setiap masuk pembelajaran. “Yah Pak, saya masa harus sama si bocah tukang tidur ini!” Kata seorang laki-laki teman sekelas Adira yang bernama Randy yang bertujuan untuk menyindir teman sebangkunya yang seorang perempuan bernama Katherine. “Siapa juga yang mau sama bocah cerewet kayak dia ini, GAK ADA KALI!” Sahut Katherine yang bermaksud membalas sindiran Randy. Kemudian diakhiri dengan tawa seluruh murid yang mengundang kemarahan Pak Gery. “DIAM! Siapa yang bilang boleh ribut disini, saya masih mengajar di depan kalian sudah seenaknya bikin ulah. Buat kamu ya Randy dan Katherine, saya tidak mau tahu pokoknya lusa sudah dikumpulkan di tangan ketua kelas dan diletakkan di depan meja saya, MENGERT!” Kata Pak Gery dengan sangat marah. Semua orang tahu kalau Pak Gery adalah seorang guru killer, tetapi kelas Adira selalu saja mencari masalah dengan guru itu. *** “Thalia kita kerjakan bersama ya.” Kata Adira memulai percakapan setelah sekian lama menjaga jarak. Sedangkan Thalia hanya menanggapi kata-kata Adira dengan dengusan tanpa tak peduli. Hal-hal semakin berat saja untuk Adira. Termasuk ke dalam hubungan persahabatannya dengan Thalia. Adira merasakan ada yang salah antara hubungan dirinya dengan Thalia, tapi sejauh ini apa yang membuat Thalia begitu marah akan dirinya. Adira hanya dapat pasrah agar dirinya mampu menyelesaikan tugas Pak Gery dengan baik, bahkan kalau perlu Adira saja yang kerja. “Kalian boleh ke perpustakaan untuk mencari informasi-informasi lebih banyak lagi tentang Masa-masa Manusia Purba, Identifikasi apasaja yang menjadi keunggulan dan perbedaan dairi setiap masa itu. Kalian juga dapat mencarinya dengan meminjam komputer di sebelah, tapi diingatkan kembali izinlah terlebih dahulu sebelum memakainya dan berhati-hatilah saat menggunakannya.” Kata Pak Gery yang telah memberi perintah kepada seluruh murid di kelas Adira. Satu persatu mereka keluar dari kelas, alangkah ributnya kelas 10IPA – 4 ini. Mereka seperti menguasai seluruh lorong lantai itu. Ada yang berteriak, ada yang lari-lari, bahkan ada juga yang berusaha untuk kabur dari 57

tanggung jawab mereka ini. Kini giliran Thalia dan Adira keluar bersama, mereka memilih untuk mengerjakannya di ruang komputer di sebelah perpustakaan. Beberapa teman sekelasnya juga terlihat di ruang komputer ini. Mereka sudah memulai mencari-cari informasi, bekerja sama agar dapat segera selesai dan bermain. Tetapi hal itu berbeda dengan Adira dan Thalia. “Lu kasih aja aku tugas apa gitu biar gue kerjakan, terus setelah itu gue mau main bareng teman gue di toilet.” Kata Thalia yang sedari tadi bisu. Adira langsung membagi-dua tugas mereka, kemudian mereka dengan pikirannya masing-masing mengerjakan semua itu dengan serius. Adira dan Thalia menggunakan dua komputer berbeda. Tidak ada komunikasi diantara mereka. Wajah Thalia selalu terlihat kesal saat melihat ke arah Adira. Sedangkan di sisi lain, Adira bahkan merasa bersalah walaupun tidak tahu apa yang menjadi kesalahnnya. Adira tahu kalau di hati Thalia ada yang mengganjal ada yang ingin ditanya oleh gadis populer yang duduk sebelahnya itu. Hanya saja Adira terlalu takut untuk menanyakan hal tersebut. Sekitar tiga puluh menit kemudian, Thalia selesai mengerjakan bagiannya yang telah diberikan oleh Adira. Dirinya langsung mengirim tugas itu mengunakan e-mailnya ke akun e-mail milik Adira. “Gue pergi ya, tugas gue disini kan udah selesai. Kalau lu mau butuh gue, gue ada di toilet bareng teman-teman gue.” Kata Thalia sebari melangkahkan kakinya keluar dari ruang komputer dan meninggalkan Adira seorang diri di sana. Walaupun ada dua kelompok lain yang masih di ruang komputer, tetapi kedua kelompok itu masih tengah diskusi bersama partner mereka masing-masing. Itupun juga mereka tidak benar-benar dekat dengan Adira. Adira tidak peduli dengan kesendiriannya di ruang komputer. Tapi satu hal yang ia takutkan, hubungan Adira dengan Thalia akan kandas dan berujung sama seperti keempat mantan sahabatnya juga di sekolah lamanya. Kurang lebih dua puluh lima menit setelah Thalia pergi Adira akhirnya menyelesaikan tugasnya itu. Kemudian dirinya langsung mengarah ke kelas nya sendiri. Tapi sepertinya nasib berkata lain. “Eh, Adira lagi ngapain? Mau kemana ini?” Tanya Nathan secara beruntun kepada Adira. “Eh, mau ke kelas, baru selesai buat tugas pelajarannya Pak Gery, cari informasi-informasi gitu.” Kata Adira kemudian dan dibalas dengan kepala Nathan yang mangut-mangut. 58

Tanpa disadar seseorang telah berada di belakang mereka memperhatikan perbincangan kedua dan orang itu tak lain, Thalia. Percakapan yang bahkan dapat dikatakan sangat pendek. Wajahnya yang tadi sempat riang setelah bermain bersama teman-temannya di toilet langsungberubah murung. Ia merubah pikirannya untuk kembali ke kelas, dan berputar hendak membolos pelajaran. “Oh yaudah kalau begitu, aku balik ke kelas duluan.” Kata Nathan kemudian pergi meninggalkan Adira sorang diri lagi. Percakapan yang selalu disambut dan ditutup dengan senyuman Nathan yang memesona. Adira kemudian melambaikan tangannya kepada Nathan yang telah pergi menuju ke kelas kembali. Adira akhirnya tiba di kelas, sudah banyak teman-temannya yang selesai dengan tugas yang diberikan Pak Gery. Tapi dari sudut ke sudut ia tidak dapat menemukan Thalia di kelas. Sampai Pak Gery masuk ke kelas sekalipun, Thalia sepertinya tak berniat mengikuti pelajarannya. Pak Gery kemudian melihat-lihat muridnya, mencari tahu jika ada dombanya yang menghilang. Nyatanya benar, Thalia sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda batang hidungnya. “Siapa yang disini sekelompok dengan Nathalia.” Katanya setelah memeriksa seluruh pelosok kelas. Lalu perlahan Adira mengangkatkan tangannya. “Saya pak.” Kata Adira pelan. “Dimana Nathalia sekarang?” Tanya Pak Gery to the point kepada Adira. Tetapi Adira tidak tahu sama sekali dimana Thalia, terakhir kali ia berkata sedang bermain dengan teman-temannya di toilet. Seharusnya Thalia sadar sudah waktunya masuk kelas. “Tidak tahu saya pak, tadi Thalia sudah keluar lebih dulu dari saya.” Kata Adira menjelaskan situasinya kepada Pak Gery. “Baiklah kalau begitu, adakah yang tahu dimana Nathalia?” Tanya PakGery untuk seisi kelas. “Pak, Thalia tiba-tiba sakit perut dia ijin ke UKS!” Kata salah seorang teman Thalia yang sering sekali diajak bercanda. Kalau tidak salah dia bernama Aliestya, biasanya dipanggil Tya. Orang-orang mengenalnya sebagai seorang yang kaya dan sangat berkelas. Dia benar-benar pemilih saat berteman. Hanya orang yang cantik, kaya, dan berkelas yang dapat berteman dengan dirinya, dan itu termasuk Thalia. 59

“Baiklah kalau begitu.” Jawab Pak Gery menunjukkan sikap acuh tak acuh. Kemudian seisi kelas kembali fokus dengan pelajaran sejarah ini. *** Adira berharap setidaknya Thalia dapat memberitahunya juga. Karena itulah yang seharusnya menjadi tugas seorang sahabat tentunya. Setelah berjalan sesi pembelajaran Pak Gery, Thalia dikabarkan akan pulang lebih dulu karena alasan ‘sakit perut’-nya itu. Tiba-tiba suatu kenangan terlintas di pikiran Adira. Dulu saat Adira dan Thalia masih kecil, saat mereka berdua suka bermain bersama di ruang tamu rumah Thalia. Mereka suka membicarakan keinginan mereka saat besar nanti. Salah satu keinginan Thalia adalah menjadi populer di sekolah dan tentunya disukai oleh banyak lelaki. Sedangkan Adira hanya berharap agar orang tuanya peduli dengan dia dan dirinya mendapatkan seorang teman yang tidak ada niat buruk kepada Adira. Tapi sepertinya sampai sekarang impiannya itu belum juga terwujud, bahkan banyak yang telah memanfaatkannya. Semua itu tinggal kenangan, dimana Adira dan Thalia selalu bermain bersama di rumahnya. Mereka sudah seperti saudara kembar, mereka memiliki banyak kemiripan. Tetapi semenjak dia pindah ke luar kota dan berpisah dengan Thalia sekitar lima tahun membuat hubungan mereka semakin berjarak. Apakah hal itu bisa kembali seperti sedia kala? Pikir Adira dalam hati. 60

9 Thalia telah diperbolehkan oleh guru piket untuk pulang terlebih dahulu. Walaupun kebanyakan teman-temannya tahu sekali kalau dia hanya ingin bolos sekolah. Tapi tidak ada yang memberitahu hal itu kepada Adira, sehingga Adira benar-benar mengira kalau Thalia itu sakit perut. Sepanjang hari tak ada yang menarik bagi Adira, dalam pikiranya hanya terisi dengan perasaan tak enak terhadap Thalia. Apa yang harus dilakukannya? Selama ini dia tak pernah lebih dari sekedar berbincang dengan teman-temannya agar mereka menyontek hasil pekerjaannya. KRIIING!!! Bel pulang sekolah berbunyi. “Pulang bareng ,yuk.” Tanya seseorang kepada Adira. “Eh, bicara ke saya?” tanya Adira kembali, karena kaget. Seseorang sedang mengajaknya bicara selain Thalia dan Nathan. “Ya iyalah kamu siapa lagi coba, jadi mau ikut gak?” tanyanya lagi. Adira akhirnya mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju. Ternyata itu adalah salah seorang dari teman sekelas Adira. Ia bernama Lila, katanya dia sering melihat Adira pulang sendirian, karena itu dia mencoba untuk mengajaknya pulang bersama hari ini. Walaupun alasan ia melakukannya hari ini karena Thalia sedang tidak ada disitu. Mereka berdua menyusuri lorong kelas yang amat panjang untuk sampai di depan sekolah. Sekolah ini termasuk sekolah terbaik di daerah mereka, karena itu semua orang di sini sangatlah beruntung dapat masuk. Kategori yang diterima hanyalah dua, yaitu pintar atau kaya. “Jadi aku sempat berpikir apakah kamu benar-benar berteman dengan Thalia?” Tanyanya membuka percakapan. Walaupun topik yang 61

diambil tidak begitu disukai oleh Adira, tetapi apa boleh buat ini kesemptan Adira berteman dengan seseorang selain Thalia dan Adira. “Iya.” Jawabnya singkat ditambah anggukannya itu. Jawaban Adira benar-benar membuat percakapan mereka berdua terhenti sampai disitu. Lalu keduanya kembali tenggelam ke dunia pikiran masing-masing. Tak disangka sepanjang di jalan Adira benar-benar merasa berbeda, tidak seperti di saat dirinya bersama dengan Thalia. Tapi apa yang membuat hal ini berbeda dengan yang lain? Pertanyaan itu yang kemudian muncul di benaknya. “Hoi! ADIIII—RAAAA!!” teriak seseorang di belakang kami berdua. Hal itu tentu membuat mereka berdua kaget dan sangat malu, karena mereka saat itu sedang berada di antara kakak-kakak kelas mereka. Karena maluAdira berkahir mendiamkan panggilan teriakan itu. “Hei!, kok kalian diam-diam saja?” suara itu begitu familiar di telinga Adira. Hingga ia membalikkan badannya dan berteriak terkejut. Nathan-lah yang berteriak sekencang itu selama ini, sungguh tidak tahu malu. “AHHH! Nathan kenapa sih? Pakai acara mengagetkan segala, udah tahu aku gak suka dikagetin. Nyebelin banget sih jadi orang, bikin marah aja!” Dumel Adira yang cukup menarik perhatian seluruh penghuni lorong itu. Tapi hal itu tidak akan berpengaruh jika kamu adalah anak populer seperti Nathan. Kini yang harus menanggung malu adalah Adira. Ia telah membuat seluruh kakak kelas di lorong itu berpaling melihat dirinya. Seluruh wajahnya telah berubah menjadi merah padam. Siapa yang tidak mungkin tertawa jika melihat seorang yang dikenal amat sangat pendiam, kini malah mengoceh seperti layaknya host di talkshow-talkshow terkenal. Butuh beberapa saat hingga akhirnya wajah Adira kembali normal, dan teringat akan teman yang berjalan bersamanya di lorong itu. “Nathan, kenalkan ini teman sekelasku, namanya Lila.” Kata Adira kemudian. “Oh...Halo” sapa Nathan tanpa menoleh sedikitpun. “Udah dapat teman baru, nanti aku dilupain lagi...” ujar Nathan yang bermaksud untuk menyindir Adira. Kemudian dibalas dengan dengusan kesal unik milik Adira. Kakak-kakak kelas mulai membiarkan kembali kejadian barusan dan sibuk dengan urusannya masing-masing. 62

Mereka bertiga menyusuri lorong sekolah untuk pulang. Sesampainya di depan pintu gerbang sekolah, Lila tinggal di arah yang berlawanan dengan Nathan dan Adira sehingga mereka harus segera berpisah. Kelihatannya mobil yang seharusnya menjempur Adira dan Nathan masih belum muncul juga, sehingga keduanya menunggu bersama di depan gerbang itu. “Jadi, sepertinya kamu sudah memiliki teman sungguhan selain aku.” Kata Nathan setelah kepergian Lila. “Apa maksud perkataanmu itu?” Tanya Adira kemudian, tetapi sepertinya Nathan tidak ingin menjawab pertanyaan itu sekarang. Sehingga Adira hanya dapat mendesah bingung. Adira hanya diam seribu bahasa, di dalam pikirannya hanya ada Thalia. ‘Apakah Thalia baik-baik saja?’ Pertanyaan itu yang menghantuinya selama di perjalanan pulang. Sama halnya dengan Nathan yang sepertinya sedang tidak memiliki bahan pembicaraan. “Dir, kamu pernah tidak berpikir kalau di kelasmu itu sukanya manfaatin kamu?” Tanya Nathan yang akhirnya membuka suara sejak sekian lama kami asyik dengan pikiran masing-masing. “Hah! Maksud kamu apa sih?” Kata Adira yang malah balik bertanya. “Ya maksudku pasti kamu mengertikan apa yang aku tanyakan itu.” Kata Nathan lagi. “…Heee sudahlah lupakan saja apa yang kutanyakan itu.” Katanya lagi kemudian. Bukannya tidak tahu, tetapi Adira lebih memilih untuk tidak mempercayai hal itu. Karena menurutnya sebelum dia melihat itu secara langsung dia tidak akan begitu mudahnya percaya. Beberapa menit kemudian muncul mobil Fortuner milik ibu Nathan yang pernah menjemputnya sebelumnya. Nathan lalu berpamitan kepada Adira. “Aku duluan ya.” Sambil melambaikan tangan dan masuk ke dalam mobil. Rumah Nathan terlihat belok menuju ke kiri, sedangkan rumah Adira terus lurus mengikuti jalan. Lagi-lagi mobil itu telah menghilang dalam belokan jalan. Adira tidak benar-benar sendiri di sekolah, beberapa anak kelas atas masih di sekolah. Ada yang terlihat sedang bermain di lapangan basket sekolah, ada yang masih berkeliaran di lorong sekolah entah untuk apa. Bahkan ada yang terlihat berdua dengan pasangannya. Adira melihat-lihat sekeliling sekolah, memerhatikan anak yang masih aktif di sekolah. 63

Tak lama kemudian sang pak sopir telah tiba di depan gerbang. Ia lalu turun dari mobil dan menghampiri Adira yang sudah terlihat lama menunggu. “Maafkan aku telat menjemput anda, Nona Adira.” Katanya pertama kali dan menunduk memohon maaf. “Tak apa, pak.” Balas Adira. “Tetapi-” Katanya lagi masih merasa bersalah. “Sudah kubilang aku tak apa akan hal itu.” Kata Adira memotong kata sang pak sopir. Adira kemudian masuk ke dalam mobil itu dan duduk dengan tenang di dalam. Ia diam sepenjang perjalan dan memandang keluar jendela. Pikiran Adira tetap saja dipenuhi akan Thalia. Dirinya juga berencana untuk langsung menghampiri rumah Thalia setelah Adira selesai membersihkan diri sehabis sekolah. *** Selama perjalanan menuju ke gerbang rumahnya. Adira melihat satu keluarga yang lengkap, ada ayah, ibu dan dua anak. Mereka asyik bercanda-tawa, dan salah satu anaknya digendong di atas Pundak sang ayah. “Kapan terakhir kali aku digendong oleh ayah? Apakah aku pernah digendong?” Gumamnya bertanya kepada diri sendiri. Kala itu dirinya sendiri merasa yakin akan jawaban atas pertanyaan itu. Perjalanan yang cukup cepat dilalui. Adira hanya terdiam di kursi belakang dan terus memandang ke jendela. Setelah berjalan kurang lebih lima menit melewati persimpangan jalan itu, Rumah yang begitu raksasa terbangun kokoh sepanjang mata memandang. Rumah yang melebihi kesunyian rumah berhantu. Taman depan rumah yang dapat diisikan oleh satu wilayah itu. Lalu terlintas ide menarik untuk Adira lakukan. “Pak, bolehkah bapak menurunkan aku di depan gerbang rumah?” Tanya Adira yang membuat Pak sopir terkaget. ‘Eh…Nona untuk apa anda saya turunkan di depan. Jarak depan gerbang sangat jauh sampai ke dalam, atau anda mau pergi ke sesuatu tempat. Jika begitu saya akan bersedia mengantarkan anda.” Kata Pak sopir itu. “Tidak ada, hanya saja saya sedang ingin berjalan melihat-lihat taman-taman depan rumah, pak.” Kata Adira besertakan alasannya itu. 64

“Ayolah pak, jika bapak dimarahi bilang saja saya yang mau. Jika mereka tidak percaya suruh mereka tanyakan kepada saya, okay!” Seru Adira dengan wajah memelasnya itu. Sang pak sopir terdiam sejenak memikirkan dan memutuskan pilihannya “Baiklah, nona.” Jawabnya kemudian. Adira kemudian tiba di depan gerbang rumahnya, dan diturunkan oleh pak sopir di situ. Penjaga gerbang melihat hal itu terkaget dan langsung menghampiri keduanya. “Saya yang mau, pak. Biarkan saja.” Kata Adira mencegat sang penjaga yang hendak memarahi pak sopir. Pak sopir itupun dibiarkan penjaga untuk masuk ke dalam wilayah rumah. Begitu juga dengan Adira, mobil itu dengan cepat telah mendahului Adira menuju ke depan rumah. Kemudian Adira berjalan menuju depan rumah. Jarak antara gerbang depan ke depan pintu rumah Adira cukup jauh. Sekitar jalan dihiasi dengan begitu banyak benda seperti patung, air pancur, dan juga kursi-kursi taman. Ayah Adira juga menanam begitu banyak. Bunga di halaman depan. Bunga dengan warna yang spektakuler. Jika dipikir-pikir perjalanan jauh ini tidak akan terasa jika kita lebih asyik melihat-lihat keindahan taman. Karena ujung-ujungnya tidak terasa sudah sampai di depan rumah. Adira asyik memperhatikan setiap bagian taman ini. Ia merasa takjub dengan jiwa kesenian ayahnya itu. Nuansa yang didapat seperti seorang darah biru tahun 80an. “Haaa… Aku baru ingat, aku masih harus mengerjakan tugas matematika dari Ibu Egi. Benar-benar.” Ucapnya tiba-tiba. Ia melupakan PR- nya karena sedari tadi ia hanya memikirkan Thalia yang sakit. “Kalau dipikir-pikir aku belum punya nomor telepon Thalia. Bagaimana aku mau meneleponnya. Dasar aneh.” Katanya kemudian dan lagi-lagi diakhiri dengan helaan napas panjang. Dirinya telah sampai di depan pintu rumahnya yang besar dan megah bagaikan kastil. *** Pintu depan rumah Adira terbuka lebar. Telah terlihat dari jauh, para pelayan yang sedang sibuk dengan tugasnya masing-masing. Para sopir juga sedang mencuci mobil-mobil yang ada. Hari ini terlihat sangat sibuk. 65

“Ada apa ini? Ada acara pentingkah?” Tanya Adira kepada salah satu pelayan perempuan yang berpas-pasan dengannya. “Oh, Nona Adira. Hari Tuan akan pulang dari perjalanan bisnisnya dari Australia. Saya permisi dulu nona.” Jawabnya dan langsung terburu-buru meninggalkan Adira. ‘Ha…Ayah akan pulang.’ Pikir Adira kemudian. Adira kemudian berjalan menuju tangga ke lantai dua. Dirinya berusaha menghindari gerakan-gerakan para pelayan yang terbilang panik karena Tuannya telah datang. Dengan cepat Adira peri meninggalkan keributan rumah. Dirinya langsung pergi ke kamarnya dan membereskan dirinya. Adira telah tampil rapi dengan pakaian rumahnya. Ia memakai atasan berwarna putih dengan motif berbunga-bunga merah muda dan bawahan celana pendek berwarna abu-abu. Rambutnya yang berwarna hitam legam panjang dibiarkannya tergerai indah. Style yang dipakai Adira di rumah sangat jauh berbeda dengan style-nya pergi ke sekolah. Setiap kali dirinya berangkat, ia memakai kacamatanya, dengan rambut yang selalu terkepang ke belakang. Adira selalu berpikir untuk tidak membuat dirinya mencolok diantara para teman-temannya, karena itu dia berusaha untuk berpenampilan sebiasa mungkin. “Jam berapa ayah akan pulang?” Tanya Adira kepada seorang pria yang terlihat seperti kepala pelayan dan mengatur semua persiapan ini. “Sekitar pukul tujuh malam, nona.” Jawabnya. “Baiklah, aku akan berada di kamar sampai ayah pulang. Beritahu aku jika ayah sudah sampai nanti. Oh, aku hampir lupa, tolong jangan ganggu aku saat aku di kamar.” Pesannya kemudian meninggalkan keriuhan siang di rumahnya itu. Adira dengan cepat masuk dan mengunci dirinya di kamar. Ia memastikan tidak ada yang akan mengganggunya. Ia ingin cepat-cepat membersihkan badannya dan meringkuh ke dalam kasur empuknya itu. Wajahnya tidak terlihat bersemangat sama sekali. Walaupun hatinya berkata lain, ia sudah tidak sabar setelah enam bulan dari Bulan Juni hingga kini Bulan November. Tak sabar. 66

10 Tok! Tok! Tok! “Nona Adira, Tuan sudah datang.” Seru pelayan yang tadi. “Baiklah, terima kasih telah memberitahuku.” Balas Adira. Adira memakai waktu yang lama tadi untuk menulis, tetapi karena kelelahan di tengah menulis dirinya kemudian jatuh tertidur pulas. Lalu Adira pergi ke arah kamar mandi dan membasuh wajahnya agar tidak terlihat seperti baru bangun tidur. Dirinya berjalan menuju gagang pintu dan membuka kunci kamarnya. “Adira, selamat malam. Bagaimana hari-harimu selama di sini?” Seru seorang pria yang terlihat baru saja berusia 38 tahun. Senyumnya yang manis telah terpampang di wajahnya sejak tadi. Pakaian rapinya yang masih wangi tercium parfum mahal. Wajahnya yang jika diperhatikan mendalam terlihat kerut-kerutan di bagian matanya dan juga pipinya. “Baik-baik saja, Dad.” Ujar Adira. “Bagaimana sekolahmu? Apakah menyenangkan?” Tanyanya lagi. “Entahlah, kurang lebih.” Jawab Adira datar. Tiba-tiba Ayah Adira kembali memeluknya. Lalu mereka berdua tenggelam ke dalam kesunyian untuk beberapa saat. “Dad bolehkah aku bertanya?” Seru Adira memecahkan keheningan itu. “Tentu saja, sayang.” Jawabnya. “Apakah dad menyayangiku? Eh…Maksudku-…Aku masih tidak tahu apakah mom dan dad senang aku ada.” Katanya gelagapan. Perkataan itu membuat ayah Adira memelotot kaget. 67

“Tentu saja sayang, kami berdua sayang sama kamu. Kalalu begitu aku beritahu, kamu tahu di dunia ini ada berapa banyak orang?” Katanya memulai suatu perumpamaan kepada Adira yang seringkali dirinya lakukan sejak Adira masih kecil. “Kurang lebih terakhir kali dihitung 7,5 M, dad. Memangnya apa hubungannya dengan sayang sih? Akukan tanyanya dad sayang aku atau enggak.” Kata Adira. “Tentu ada hubungannya. Nah kan kamu tahu kan banyak sekali orang di dunia ini. Ada yang rambutnya panjang gelombang, rambut pirang atau cokelat atau juga hitam seperti kamu. Lalu ada juga yang warna matanya hitam, cokelat, biru, hijau, dan masih banyak sekali warna mata yang langka di berbagai pelosok dunia. “Nah ada juga yang pernah bilang dari segitu banyaknya orang di dunia, ada setidaknya 7 orang kembaran kita. Tetapi hal itu dikatakan kembaran tentunya juga dari sifat fisik dan juga semakin lama dikenal orang- orang pasti dapat membedakan keduanya dengan perbedaan yang paling kecil sekalipun. “Hal itu dikarenakan setiap orang memiliki kebiasaannya yang berbeda. Begitu juga Mom dan Dad yang memiliki caranya yang berbeda untuk menunjukkan kasih sayang itu. Tetapi jauh di dalam lubuk hati kami, kami sayang sekali sama kamu Adira.” Katanya diakhiri kecupan di dahi Adira. Kemudian keduanya berjalan ke arah ruang keja ibu Adira. Ayah adira mengetok pintunya dan membukanya perlahan. Terlihat dari jauh ibunya masih memasang wajah yang sangat serius. Seperti memberitahu setiap orang yang datang untuk tidak mengganggunya. Bahkan ibunya terlihat tidak mengetahui suaminya telah datang setelah setengah tahun pergi untuk bekerja. “Hai, sayang.” Sapa Ayah Adira berjalan menghampiri Ibu Adira dan memberi sedikit kecupan ke dahinya. Melihat mereka berdua seperti menonton kdrama saja. “Oh, kamu sudah pulang. Bagaimana pekerjaanmu, sayang?” Tanya Ibu Adira kepada suaminya walaupun masih tetap fokus ke depan laptop. “Oh, Adira kamu juga ada di sini. Bagaimana harimu, nak?” Tanyanya lagi. “Sayang ayolah, nanti dulu bekerjanya.” Kata Ayah Adira membujuk istrinya itu. Kemudian dibalas dengan menghela napas panjang. 68

Adira mengira Ibunya itu tidak akan mendengarkannya dan terus bekerja. Ternyata sedetik kemudian, layer laptop dihadapan Ibu Adira telah berubah warna gelap gulita. Laptopnya telah mati dan Ibu Adira membereskan segala hal yang berhubungan pekerjaannya itu. “Kalau begitu, aku mandi sebentar.” Katanya. “Baiklah, Honey.” Balas Ayah Adira menggoda istrinya itu. Seketika itu wajah ibu Adira terlihat tersipu malu. Tak disadari ia melihat hal yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Adira mengira hubungan kedua orang tuanya itu tidak pernah baik. Atau bahkan tidak pernah lebih dari sekedar basa-basi saja. Tapi lihat kini Ayahnya bahkan menggoda ibunya, dan ibunya terlihat merah padam dan malu meninggalkan mereka berdua. *** ‘Apa yang baru saja aku lihat ini!’ Pikir Adira. “Sayang, kamu tahu meskipun banyak orang mengira hubungan kami itu sangat dingin atau kaku. Itu hanyalah frame bagi orang luar, mereka tidak perlu tahu bagaimana kita di rumah, ya kan?” Kata Ayah Adira seperti membaca pikiran “Orang-orang benar-benar mengira kami memiliki hubungan dingin dan dapat dibilang hanya hubungan status. Nyatanya dulu saat dad masih belum menikah, dad disuruh oleh kedua orang tua dad untuk menikahi mom. “Saat itu dad masih berusia 21 tahun, dan mom berusia 19 tahun. Tentu usia yang masih muda untuk menikah. Tetapi karena alur cerita yang panjang, kami memasuki waktu yang setidaknya lebih tua untuk menikah. “Awalnya tentu dad menolak, siapa pula yang mau menikah dengan cara dijodohkan di masa sekarang ini. Tetapi hati sepertinya tidak pernah berkompromi dulu. ertama kali dad melihat mom, dad langsung jatuh hati. “Mom terlihat sangat memesona dengan gaun warna biru pastel selutut, rambutnya yang panjang bergelombang digerai. Memang bagi beberapa orang itu hal yang tidak mungin melihat mom berpakaian girly, tetapi kemungkinan itu tidak mencapai angka 0, bukan? “Tetapi lain cerita dengan perasaan mom, tentunya awlanya mom tidka menyetujui hal itu. Bahkan mom sudah beberapa kali kabur dalam pertemuan ini. Tapi tentu dad tidak akan cepat menyerah, dad mencoba berbincang dengan mom, mulai mencari segala hal tentang dia. Bukan bermaksud untuk memata-matai. 69

“Perjalanan itu terus berlanjut, dad yang selalu mengejar-ngejar mom. Bahkan mom pernah berkata mom membenci dad. Lalu dad balas dengan berkata ‘Aku akan buat benci itu menjadi cinta.’ Tapi awalnya mom tidka peduli akan hal itu dan membiarkannya. “Semakin lama mom semakin terbiasa dengan kehadiran dad, hingga suatu hari dad harus pergi ke luar negeri mengurusi masalah perusahaan selama kurang lebih kalau tak salah tiga bulan. Kamu tahu kan, kalau sejak masa SMA, dad sudah dilatih dapat memegang perusahaan milik ayah dad. Makanya saat ada masalah seperti itu, ayah dad akanmengirim dad ke situ.” “Biar kutebak, mom merindukan dad.” Potong Adira tiba-tiba. Tetapi bukannya dibalas anggukan, ayah Adira hanya memberikan balasan senyuman pahit. “Kurang lebih seperti itu.” Lanjutnya. “Lanjutkan, dad.” Kata Adira. “Baiklah, sebenarnya saat dad kembali mom sudah bersama dengan orang lain. Seseorang yang mom suka. Tentu dad kaget melihat hal itu, dad mengira setidaknya sudah tumbuh rasa lain di hati mom. Ternyata tidak sama sekali, bahkan 0,1% sekalipun. “Dad masih tidak bisa melupakan mom, dad seringkali pergi ke tempat kuliah mom. Dari jauh dad selalu melihat mom senang sekali bersama dengan pacarnya saat itu. Jika diingat kembali mom selalu saja marah-marah, atau mungkin berteriak kepada dad. Jarang sekali tersenyum atau tertawa. “Akhirnya dad menyerah, dad meninggalkan mom begitu saja. Dad tidak pernah datang ke kampusnya lagi. Bahkan dod tidak pernah terlihat di tempat tongkrongan favorit kami berdua. Semua itu berjalan selama lima bulan. “Dad sudah pasrah dengan yang namanya jodoh, entah kenapa di masa seperti dad merasakan yang namanya ‘labil’ itu. Padahal banyak wanita di kantor yang naksir dad waktu itu. Banyak yang mencari perhatian dad, dan selalu diakhir dad akan bilang ‘Aku sedang tidak ingin menjalani suatu hubungan khusus’ kurang lebih begitulah alasan dad menolak wanita-wanita itu. “Lalu setelah sampai di bulan kelima, dad tidak bisa menahan rasa rindu itu, sehingga dad tanpa disadari telah berada di depan kampus mom. Ternyata saat dilihat mom sedang bertengkar hebat dengan pacar mom. Tentu dad ingin segera keluar dari situ dan menarik mom dan meninggalkan lelaki 70

itu. Tetapi sedetik kemudian dad berpikir untuk mengurung niat itu sementara waktu. “Dad memperhatikan mom, mereka seperti sedang berargumen tentang sesuatu. Tiba-tiba satu tamparan mendarat di pipi mom. Langsung mom kaget dan memegangi pipinya itu. Seketika itu juga dad langsung turun dan menarik tangan mom dan meninggalkan tempat itu. “Mom masuk ke dalam mobil dan menangis selama mungkin, matanya sampai merah sembab. Semua itu karena lelaki itu, jadi kita lupakan saja lelaki itu. Lalu setelah itu, setelah mom sudah lebih tenang kami berdua pergi ke tempat favorit kami berdua. Kamu tahu sayang sekalipun mom membenci dad, mom juga selalu bilang tempat favoritnya. Tempat favorit kami di taman kota, dan duduk di slaah satu tempat makan jagung bakar. Itulah cara terbaik dalam memperbaiki mood mom. “Setelah itu biarkan saja imajinasimu yang membayangkannya saja, biar kamu saja yan gmenyimpulkan sendiri. Mom sudah selesai mandi itu.” Cerita ayah ditutup dengan akhir yang menanggungkan. “Apa yang kalian lakukan? Sedang cerita apa?” Tanya Ibu Adira menimbrung percakapan. “Kita cerita dulu dad dikejar-kejar mom.” Kata ayah Adira diakhiri dengan pukulan kecil mendarat kepalanya dari ibu Adira. Mereka bertiga kemudian tertawa. Adira tersadar banyak hal yang ia tidak tahu, bahkan kebanyakan hal yang ia kira itu hanya ia sendiri yang simpulkan. Ia tersadar bahwa ia terlahir di keluarga yang mengetahui rasanya ditinggalkan dan mengetahui apa itu kasih sayang. Hanya tidak tahu kapan dan dimana mereka harus melakukannya *** Mereka kemudian keluar dari ruang kerja Ibu Adira dan menuju ke ruang makan. Tak disangka kedua orang tua Adira akan makan malam bersama. Adira merasa tidka percaya akan hal ini. ‘Ini mimpi kah?’ Pikirnya. Lalu tanpa disadar setetes air mata terjatuh dari matanya yang indah itu. Tetesan air mat aitu tersadar kehadirannya oleh kedua orang tuanya itu dan mengundang banyak perhatian. “Loh, Adira kenapa nangis? Mom sama dad ada salah ya?” Kata mom yang langsung menghampiri anak semata wayangnya itu. Ayah Adira 71

kemudian menyruuh seluruh palayan meninggalkan ruang makan untuk sementara waktu. Ia tidak ingin mereka mengganggu waktu mereka bertiga ini. “Aku hanya tidak mengangka akan hari ini akan tiba.” Kata Adira setelah menetaskan beberapa air mata lagi. “Sayang, aku tahu kamu akan menganggap kami tidak benar-benar sayang padamu. Tapi kamu tahu kamu tetap menjadi nomor satuku. Kamu tahu mengapa kita kakhirnya memutuskan pindah ke sini dan tidak akan berpindah-pindah lagi.” Kata Ibu Adira yang membuat Adira mendongak menatap ke ibunya. “Tentunya karena dirimu itu, aku tahu di sekolah tidak ada yang benar-benar mengetahui dirimu itu. Aku ingin kamu dapat menetap dan menjalin hubungan yang baik dengan seseorang. Kami ingin kamu juga mengetahui tempat kamu dibesarkan saat kecil, ini adalah rumah yang kita pakai dulu.” Kata Ayah Adira menimpali. Kemudian mereka berdua berpelukan erat satu sama lain. Adira menyadari kedua orang tuanya itu benar-benar sayang padanya. “Adira, kami sayang sepenuh hati padamu.” Kata mereka berdua serempak kepada Adira. “Adira juga sayang sama mom dan dad.” Balas Adira semakin memeluk erat kedua orang tuanya itu. Setelah melepas kesalahpahaman di hati Adira dan menenangkan diri, rutinitas mereka kembali lagi. Mereka bertiga makan bersama. Selama jamuan makan malam berlangsung, tidak banyak yang mereka dapat bicarakan. Tetapi hati mereka sepanjang malam itu dipenuhi dengan kegembiraan yang tiada tara. *** Malam ini semua terasa begitu berbeda di hati Adira. HAtinya terasa lega, tidak ada rasa berat untuk bangun esok pagi. Ia tidak peduli apa yang akan menunggunya besok. Tetapi ia mereasa ingin sekali memperlambat waktu, ia ingin tetap tinggal di mala mini selama-lamanya. Adira berterima kasih kepada orang tuanya yang telah memengertikan perasaan Adira. Bahkan hal yang tidak pernah Adira beritahu, mereka dengan mudahnya mengetahui itu. 72

Malam ini Adira menutup hari dengan senyuman. Ia bahkan melupakan semuanya mala mini. Ia ingin kebahagiaan ini tetap berada di hatinya, sekalipun jika ini hanya imajinasinya saja. “Sekalipun hanya imajinasi, rasanya begitu nyata.” Gumamnya di kamar tidurnya yang luas dan lengang. Sekalipun kamarnya yang luas itu selalu terasa menyeramkan, kini ia merasa kamar ini terlalu sempit untuk menggambarkan rasa bahagianya itu. Beberapa menit kemudian, Adira telah terlelap. Senyuman manisnya terus terpampang di wajahnya. Berharap hari esok tetap sama baiknya dengan hari ini. 73

11 Keesokan harinya. Eforia malam masih tersimpan di hati Adira. Ia merasa Bahagia bangun di pagi ini. Bahkan ia telah bangun lebih dulu dibandingkan Mbok Asih yang selalu membangunkannya di pagi hari. Tok! Tok! Tok! Ketokan pintu terdengar, dan tak salah lagi itu adalah Mobk Asih yang bersiap membangunkan Adira. “Nona Adira, sudah bangunkah? Sudah pagi ini.” Katanya setelah membuka pintu kamar Adira. “Pagi Mbok. Coba tebak, aku bangun lebihpagi dari Mbok. Kerenkan aku.” Kata Adira yang membuat Mbok Asih terkejut. Tentunya terkejut, Adira biasanya sangat malas untuk bangun pagi. Lebih tepatnya Adira selalu merasa tidak ingin sekolah, dengan alasan malas. Walaupun kita tahu ada alasan lain yang lebih menyakitkan untuk didengar. Adira terlihat bersemangat dan terus-menerus tersenyum. Orang- orang akan mudah mengetahui ia sedang mengalami hal yang baik. “Mbok, udah duluan aja bikin sarapan. Kan hari ini juga dad ikut sarapan. Aku bakal mandi ini.” Kata Adira yang sudah sejak tadi menyiapkan seragam sekolahnya dan bersiap mandi. “Wokee, Non.” Kata Mbok Asih yang terdengar lucu bagi Adira. ‘Hari yang indah.’ Pikirnya. Adira dengan cepat memasuki kamar mandi. Ia tidak pernah sesenang ini dalam hidupnya. Tentu saja rasa ini lebih menyenangkan dibanding saat ia berkenalan dengan Nathan. “Bagaimana ya Nathan? Kayaknya hari ini aku bakal sapa semua orang. Biar setidaknya mereka merasa Bahagia hari ini. Aku yakin tidak ada 74

yang bisa merusak mood-ku hari ini.” Begitu kata Adira menyemangati hari ini. Tanpa tahu hal buruk sudah menunggunya hari ini. *** Dengan segera Adira selesai mandi, ia memakai seragamnya dan merapikan rambutnya. Biasanya ia akan mengikat rambutnya menjadi model ekor kuda, tetapi saat itu entah mengapa terlintas ide yang bukan Adira sekali. Ia mencoba berkaca, melepas ikatannya itu, dan menyisir rambutnya ke belakang. “Anehkah?” Tanyanya pada diri sendiri. “Bagus kok.” Kata seseorang tiba-tiba yang membuat Adira terkaget. Ternyata itu ayahnya yang telah berdiri di depan pintu bersamaan dengan ibunya. “Bikin kaget saja.” Kata Adira kesal, walaupun ia terlihat senang melihat pemandangan itu. “Sayang, sudah selesai siap-siap?” Tanya ibu Adira. “Aku tidak tahu, mungkin…Sepertinya aku akan mengikat rambutku kembali.” Kata Adira tidak percaya diri dan bersiap mengikat rambutnya kembali. Tetapi kemudian ibunya datang menghampirinya dan memegang tanga Adira. “Tak apa.” Kata ibu Adira sambil tersenyum. Adira kemudian menarik dan membuang napas, ia mencoba mencari kepercayaan dirinya. “Baiklah.” Katanya kemudian. Mereka kemudian bersamaan turun ke lantai bawah dan menuju meja makan. Pemandangan yang sudah lama dinantikan oleh Adira terkabulkan juga. Mereka kembali melakukan sarapan bersama. Menu sarapan pagi ini adalah telur dadar, dan tambahan baked been, serta roti bakar olesan mentega. Sarapan yang sederhana, tetapi terasa sangat berharga bagi Adira. ‘Mungkin mom mengikut-ikut dad yang sering fokus kerja.’ Pikirnya begitu. Tetapi dengan cepat ia menepis pikirannya itu, ia sedang tidak ingin memikirkan apapun yang merusak suasana ini. *** “Aku pamit.” Kata Adira bersemangat memberi salam kepada kedua orang tuanya. 75

“Hati-hati, belajar yang rajin ya.” Kata Ayah Adira melambaikan tangan. “Hati-hati, semangat hari ini.” Tambah Ibu Adira begitu. Kedua orang tuanya melambaikan tangan di depan pintu rumah. Adira juga membalas lambaian kedua orang tuanya sebelum masuk. Adira kemudian masuk ke dalam mobil, ia duduk di kursi bagian belakang. Seperti biasa ia duduk dan langsung menghadap ke jendela, Adira tidak lagi melihat keluar dengan wajah sedih, senyum sumringah telah terpasang. Selalu. *** Adira telah sampai di depan gerbang sekolah. Dirinya turun dan berterima kasih kepada sang Pak sopir. Kembali lagi, banyak orang yang masih menjadikan diri Adira sebagai pusat perhatian. Bisikan masih terdengar, sepertinya pagi ini adira kembali menjadi topik pembicaraan. Tentunya karena rambut hitam legamnya yang panjang tergerai bebas. Jika Adira melakukan hal itu dari awal, dapat dipastikan banyak yang akan menaksir dirinya. Kurang kepercayaan diri saja. “Tuh lihat, dia rambutnya digerai.” “Cantik juga ya dia digerai.” “Gila, naksir bisa-bisa gue.” “Itu yang anak orang kaya banget kan, tumben beda rambutnya.” “Gaskan, kali bisa pacarana sama dia.” Begitulah yang terdengar di telingan Adira. Semua yang lebih tepatnya sedikit menyebalkan untuk didengar. Adira telah sampai di depan kelasnya, dan tidak ada bedanya tadi di lorong. Siswa yang lain yang masih sibuk dnegan urusan masing-masing langsung menoleh ke arah Adira. Bisikan kembali terdengar. ‘Lebih baik tadi aku kuncir saja.’ Pikir Adira menyesali perbuatannya ini. “Pagi.” Sapanya pendek kepada seluruh penghuni kelas. Hal itu tentu membuat dirinya lebih menjadi pusat perhatian. “Eh, pagi Dira.” “Pagi juga.” “Selamat pagi.” “Halo, pagi.” “Adira, pagi.” “Hai, Adira.” “Em…Pagi.” Balas teman-temannya yang masih dalam keterkejutan. 76

Adira kemudian duduk di bangkunya kembali. Lalu menoleh ke sebelah melihat ke sahabat masa kecilnya itu yang masih asyik dengan handphone-nya itu. “Pagi Thalia.” Sapanya ceria. Bukannya dibalas Thalia akan melihat Adira sekilas lalu kembali fokus dengan dunia ke-sosmed-an-nya. Tetapi Adira tidak peduli akan hal itu, ia terlihat baik-baik saja. “Eh, Adira tumben rambut kamu digerai. Cantik tau kamu ternyata. Kenapa gak dari dulu aja? Aku yakin pasti bakal banyak yang suka.” Kata seseorang. “Lila…Aku baru pede aja kayak gini. Gak bisa buru-buru juga kan.” Kata Adira kepada orang itu yang ternyata adalah Lila. KRIIING!! KRIING!! Bel bunyi tanda masuk sekolah sudah terdengar memekakkan telinga. Siswa yang berada di lorong sudah mulai bermasukan, begitu juga yang tadinya masih berbincang dengan teman- temannya sudah balik ke tempat duduk masing-masing. Sama halnya dengan Lila yang telah duduk di kursinya. Dengan cepat jam pelajaran sekolah dimulai. *** “Selamat pagi anak-anak.” Sapa Pak Tian kepada seluruh kelas. Pelajaran pertama hari ini adalah matematika, sehingga kebanyakan anak di kelas sudah terlihat murung lebih dulu. “Anak-anak jangan langsung murung begitu, kaliankan tidak tahu apa yang akan kita pelajari hari ini.” Kata Pak Tian menyemangati kelas agar setidaknya membangkitkan semangat kelas. Walaupun hal itu tidak berhasil dilakukan, tidak mempan sama sekali. “Baiklah kalau begitu, kita mulai saja pelajarannya.” Lanjutnya karena tidak ada yang begitu senang akan hal itu. “Tunggu pak, lihat Adira deh pak. Rambutnya digerai tuh.” Seru salah satu teman sekelasnya untuk memperlambat pelajaran, mencari apa saja topik yang bisa dibicarakan. “Iya tuh pak, gak naksir pak.” “Saya aja naksir loh pak, jedag-jedug hati saya.” “Cieee…” Kemudian seluruh kelas mulai nimbrung membicarakan Adira, hal itu tentu membuat Adira malu. Pipinya bahkan telinganya terlihat merah menahan rasa malu. Menyesali perbuatannya ini. 77

“Kalian jangan bicara begitu, belum tentu Adira suka digituin sama kalian.” Kata Pak Tian akhirnya menyadari diri Adira yang merasa sedikit tidak nyaman akan hal itu. Kemudian seluruh oenghuni kelas serempak menoleh ke arah Adira dan tiba-tiba bersamaan berkata “Maaf Adira.” Karena terkejut dengan permintaan maaf yang serempak itu, hal itu malah membuat Adira tertawa. Sehingga membuat dirinya dalam keadaan bahaya lagi, karena ia tidak pernah terlihat tertawa sebelumnya. “Dia ketawa.” “Jatuh hatiku.” “Makin jedag-jedug aku itu.” “Suka deh.” “Aku jadi penggemar kamu aja Adira.” Begitulah kata orang setelah melihat tawa Adira. Kelas menjadi riuh sekali. Tetapi Pak Tian tidak mempermasalahkan hal itu. Ia sudah merasa ada hal yang harus dirubah dari diri Adira, terutama jiwa sosialnya itu. Kemudian setelah topik tentang Adira mulai mereda Pak Tian akhirnya mulai mengajar. Suasan kelas kembali normal dan fokus. *** KRIING! Istirahat. “Terima kasih pak.” Salam kelas 10IPA – 4 kepada Pak Tian. “Baik anak-anak, jangan lupakan pembelajaran hari ini. Selamat beristirahat.” Katanya lalu pergi meninggalkan kelas. Lalu sedetik kemudian satu persatu siswa keluar kelas, ada yang keluar untuk ke kanti, ada yang makan di tempat favorotnya, ada yang ke kelas sebelah. Tetapi Adira tetap merasa ingin di kelas saja, ia kemudian membuka bekal yang telah dipersiapkan Mbok Asih. Ia begitu menikmati bekalnya itu sampai tak sadar ada orang yang melihati dirinya dari luar kelas. Tak lain selain Nathan. “Hei Than.” Teriak seseorang memanggil Nathan yang sedang asyik memperhatikan Adira. Hal itu membuat Adira dan Nathan kaget tentunya. Apalgi Nathan yang terlihat kepergok melakukan sesuatu. “Eh…Napa sih teriak-teriak segala.” Katanya kesal. ‘Yok, main.” Ajak temannya itu. “Bentar, kalau gitu.” Kata Nathan lalu menghampiri Adira yang masih berada di kelas. 78

“Nanti pulang sekolah pulang bareng aku ya.” Katanya dan langusng terburu-buru pergi. Medengar hal itu tentu membuat Adira kaget. Ia hampir tersedak saat minum airnya. ‘Pulang bareng!’ Pikirnya. Hal itu tentu yang membuat semua seluruh penghuni kelas terkejut. 79

12 KRING! Bel pulang sekolah sudah berdering memberitahukan kepada seluruh pelosok sekolah, memberitahukan jam sekolah sudah selesai. Wajah murung siswa telah berubah seketia, wajanya telah terlihat cerah. Adira telah berberes barang bawaannya itu. Dirinya sepertinya lupa dengan Nathan. Orang-orang yang tadi mendengar percakapan tadi masih diam-diam saja. Tidak ada yang membicarakan hal itu, mereka sepertinya masih diam-diam saja. Mereka memastikan apakah seorang Nathan benar- benar mengajak Adira pulang bersama. Lalu tiba-tiba ada seseorang yang menghampiri Adira. “Dira, gue denger-denger lu pulang bareng Nathan.” Kata gadis itu. Adira lalu menghadap ke gadis itu. “Eh, Thalia. Mungkin aku juga tidak tahu.” Katanya yang ternyata kepada Thalia. Tidak ada balaan apa-apa dari Thalia. Bahkan setelah mendengar jawaban Adira, Thalia langsung pergi meninggalkannya. Meninggalkan Adira dengan wajah kesal. ‘Iya ya, aku lupa kalau Nathan mau ajak aku pulang bareng. Aku telepon rumah dulu kalau begitu.’ Pikir Adira. ‘Tapi aku tidak bawa handphone-ku, bagaimana aku bisa menelpon mereka?’ Timpalnya bingung. Biasanya Adira membawa handphone-nya, tapi jarang saja dikeluarkan. Lagipula hal itu akan mengundang perhatian orang. Terutama dengan pertanyaan ‘Handphone apa yang dipakai oleh orang kaya seperti Adira?’ Makanya Adira tidak pernah mengeluarkannya. 80

Tetapi hari ini berbeda, karena terlalu Bahagia Adira sampai lupa membawanya dan baru ingat saat sudah berada di kelas. Sehingga mau bagaimana lagi. “Sudahlah tunggu dia saja dulu.” Gumam Adira, dengan maksud kata ‘dia’ itu Nathan. Setelah menunggu lima menit di kelas, orang yang ditunggu adira akhirnya telah berada di depan pintu kelasnya. Senyumnya juga sudah terpasang di wajahnya yang tampan itu. Adira-pun menghampiri Nathan, lalu mendengar Nathan seperti baru saja berlari-lari kemari. “Maaf aku sedikit terlambat. Sudah nunggu lama ya?” Tanya Nathan membuka percakapan. “Kamu habis lari-lari kemana?” Kata Adira balas bertanya. “Eh, tidak. Hanya sedikit berolahraga.” Katanya penuh bohongan. “Kita tunggu sebentar saja di kelas, agar kamu tidak kelelahan.” Kata Adira. “Sudah tak usah aku tidak apa-apa, ini hanya olahraga kecil. Tidak perlu segitunya.” Balas Nathan. “Terima kasih sudah mengkhawatirkan aku.” Katanya tanpa sadar mengelus kepala Adira. “Eh- Maafkan aku.” Katanya langsung menarik kembali tangannya itu. Wajah Nathan terlihat salah tingkah karena itu, sebaliknya Adira terlihat malu dengan wajah merah padam. ‘Apa yang baru saja dia lakukan?’ Pikirnya malu. Kejadian itu juga mengundang perhatian seisi penghuni kelas. Mereka begitu tercengang dengan hal itu. Bahkan ada yang berpura-pura batuk, mencoba membuat suasana lebih baik. Bahkan selain mereka, tak lain Thalia melihat adegan itu di belakang keduanya. Adegan itu benar-benar membuatnya tidak tahan dan pergi entah kemana. *** Karena ingin memberitahu penghuni rumah, Adira akhirnya meminjam handphone milik Nathan. Adira memberitahu ibunya untuk pulang sedikit terlambat, dan tidak perlu di jemput. 81

Adira sedang berjalan bersama Nathan di lorong sudah waktunya pulang. Hari ini semua benar-benar indah, entah ada hal buruk apa yang sudah menunggu Adira di depan nanti. “Nathan, bagaimana jika kita berjalan-jalan keliling sekolah sebentar saja? Aku tidak pernah benar-benar tahu lokasi sekolah secara keseluruhan.” Tanya Adira yang mulai berani memulai percakapan antara mereka berdua. “Baiklah, apapun maumu nona.” Kata Nathan dengan pura-pura memberi hormat kepada Adira ala film-film kerajaan. “Ayolah jangan bercanda, aku serius.” Seru Adira. “Aku juga serius!” Balas Nathan berseru. “Ya sudah, ayo.” Kata Adira kemudian. Akhirnya mereka berdua berjalan menelusuri setiap seluk-beluk sekolah ini. Adira menemukan lokasi-lokasi persembunyian menarik lainnya. Mulai dari petak kecil di belakang lapangan indoor, ada ring yang lama tapi masih bagus dipakai. “Keren.” Kata Adira pendek. Ia sibuk melihat-lihat dan memperhatikan tempat itu. “Seperti penyendiri.” Kata Adira yang teringat akan dirinya sebelumnya. Tidak ada hal yang lucu, tetapi tiba-tiba Nathan yang berdiri di belakang Adira tertawa begitu Mereka kemudian berjalan kembali. Terus-terus dan terus, hingga sampai di tempat yang sering dikenal dengan tempat tongkrongan anak-anak bolos. Awalnya Nathan tidak ma uke situ, tetapi karena terus mendengar paksaan Adira akhirnya ia-pun mau. Ternyata… *** Adira dna Nathan sedang berjalan menuju tempat tongkrongan itu. Lalu saat sudah hampir tiba, mereka mendengar suara orang sedang berbicara. “Adira, itu ada yang lagi ngobrol. Jangan ganggu, serem. Udah kita balik aja ya.” Kata Nathan awalnya Adira menyetujuinya, hingga namanya disebut dalam percakapan itu. Tak hanya namanya, namun juga nama sahabat masak kecilnya itu. “Thal, lu sekarang temenan sama Adira?” Kata seseorang dengan nada yang terdengar meremahkan. 82

“Lu taukan, dia itu orangnya agak freak gitu. Teman sekelas aja gak banyak yang mau ngobrol sama dia. Baru hari ini aja mereka mau karena di a digerai rambutnya.” Kata orang itu lagi. “Tya sayang, Gue mana mungkin temenan sama orang kayak dia. Beda level kali. Lagian gue juga cuman mau manfaatin dia doang. Dia kan pinter, sayangkan kalau gak dipake.” Kata seseorang yang dikenal suaranya oleh Adira. “Thalia-” Serunya tercegat. Ia tidak menyangka kata-kata itu akan terkeluarkan oleh orang yang sudah ia kenal sebagai sahabat masa kecilnya itu. “Lagian juga tadi gue liat dia sama Nathan. Gue bingung kenapa Nathan mau gitu ngomong sama dia, freak gitu.” Tambah Thalia lagi. Tanpa tersadar air mata telah terlinang di pipi Adira. Ia lalu melangkah, kakinya seperti tidak bisa berkompromi dengannya terlebih dahulu. Adira kemudian keluar dari tempat persembunyiannya itu. Ia telah berdiri sempurna menempati tempat belakang Thalia, wajahnya telah penuh dengan tangis. Tya orang yang sedang diajak Thalia berbicara telah menyadari kehadirannya dan terdiam. *** “Ternyata kamu orangnya seperti itu Thalia.” Kata Adira di tengah isakan tangisnya. “Aku kira selama ini kita memang sudah membangun suatu hubungan persahabatan itu. Nyatanya itu semua cuman bohongan. Kamu kok jahat sih sekarang, kamu kok tega sih.” Lanjutnya lagi. Lalu Thalia terkaget akan kehadiran Adira dan tersadar bahwa hal itu akan menghancurkan kesenangan yang Sudah ia punya selama ini. “Ah… bukan kok Adira. Lo salah denger kok. Gue masih mau kok temenan sama lo.” Kata Thalia berusaha mempertahankan hubungan jahat ini. “Enggak aku gak mau ketipu lagi. Kata-katamu yang ini juga pasti tipuan. Aku kira kamu sudah tahu selama ini aku paling ingin menghindari oragn yang seperti itu. Kamu tahu, aku sempat berpikir seperti itu tetapi aku percaya sama kamu. Karena aku pikir kamu enggak bakal kaya gitu orangnya.” Kata Adira panjang lebar yang terlihat membuat Thalia marah. “Bodo amat sama hubungan ini lagi.” Kesalnya dan lalu menghampiri Adira dan mencengkeram kerah Adira. 83

“Heh…lo-nya aja yang kebaperan, sedikit dibaikin langsung dikira udah jadi sahabat. Lo tau sahabat sama gue itu mahal, lu juga udah mentang- mentang sahabatan ama Nathan aja belagu amat. Emang kali ada yang rusak di otaknya Nathan sampe mau temenan sama orang kayak lu. Gue aja kepaksa banget. Lu kira apa yang lu dapet dari Nathan. Lagian diakan emang ganteng, tapi mana mungkin-lah dia suka sama cewek aneh, baperan kayak lo.” Katanya dengan tatapan marah dan kesal. Lalu tiba-tiba satu tamparan melayang di pipi Thalia. Kekagetan terpapar di wajah Thalia. Ia tidak pernah menyangka seorang gadis seperti Adira akan berani menamparnya. Kemudian dengan cepat Thalia memgang tangan Adira kembali dan meremasnya sekuat tenaga sampai merah. “Lo kira apa berani-berani nampar wajah gue, Hah! Dasar gak jelas, makanya jadi orang itu jangan terlalu baper, kena sendiri sih batunya. Oh iya, baru inget gue, lagian sih lo gak diinginin jugakan sama bokap-nyokap lo.” Katanya sambil tertawa mulai mem-bully Adira yang masih tak berhenti meneteskan air mata. Satu kata ini menggambarkan ekspresi Adira. Kaget. Dirinya kaget betul mendengar Thalia, seseorang yang seharusnya menjadi sahabat baiknya memanfaatkannya dan mengungkapkan kata-kata yang begitu keji seperti tadi. “Tarik kembali kata-katamu tadi.” Kata Adira tegas yang membuat Thalia kesal akan Adira yang mulai berani melawannya. “Heh… Lo gak usah berani-berani ngomong sama gue deh! Gue tau kok, lo masih takut juga sama gue. Inget gak sih lo, gue yang bikin temen- temen sekelas kita di kelas 2 gak temenan sama lo.” Katanya dengan kesal. Sedangkan di sisi lain, Adira terkaget mendengar hal itu. Ia tidak pernah mendengar cerita itu. Ia mengira teman-temannya meninggalkannya karena diri Adira yang aneh dan menyebalkan. Ternyata dalang semua masalah ini adalah Thalia. Sulit dipercaya. Sekali lagi ia melayangkan tamparan kecil ke pipi Thalia. Adira tidak suka seseorang yang membicarakan orang terdekatnya, seperti kedua orang tuanya dan juga sekarang Nathan. Padahal dulu Thalia termasuk ke dalam daftar itu, tetapi sepertinya semua itu sudah hilang. Tamparan itu telah mengenai pipi Thalia, menerima hal itu membuat Thalia marah dan geram. Ia kembali mencengkeram kerah baju Adira, lalu berusaha mendorongnya hingga jatuh. Tetapi tetap susah, terjadilah pertengkaran kecil antar gadis itu. 84

Hingga kekuatan Adira tidaklah lebih kuat dibanding Thalia, ia terjatuh dan melukai lututnya. Alhasil lutusnya terluka dan kini berdarah, tetapi rasa sakit itu tidak menyamai sakitnya pengkhianatan yang baru ia rasakan ini. Melihat hal itu, Nathan bisa lagi diam di persembunyian mereka. Ia datang menghampiri Adira dan membantunya bangun. Menyadari kehadiran Nathan, Thalia dan Tya mulai takut. Wajah Adira telah dipenuhi oleh air mata, wajahnya telah benar-benar hancur. Adira tidak berniat melanjutkan pulang barengnya itu dan langsung pergi meninggalkan lokasi itu. *** Adira mampir ke kamar mandi dan membersihkan wajahnya agar tidak terlihat sehabis menangis. Setelah benar-benar terlihat tidak seperti itu, Adira lalu keluar dan berlari ke gerbang. Tetapi seperti meperlambat, ia melihat Nathan telah berdiri di depan situ. Wajahnya terlihat khawatir, dan merasa sedikit lega setelah bertatapan dengan Adira. “Akum au pulang duluan.” Kata Adira pamit dan mulai berjalan kaki. “Tunggu…Eh, kamu tahu aku bisa saja mengantarmu pulang.” Katanya terbata-bata. “Akan lebih cepat ke rumah bukan?” Katanya meyakinkan. Lalu beberapa waktu Adira terdiam memikirkan apa yang seharusnya ia perbuat. Hingga akhirnya ia mengangguk. “Baiklah, tunggu di sini,” Kata Nathan pergi entah untuk apa. Lalu Adira pun menunggu Nathan. “Nih, helm.” Kata Nathan menyodorkan helm ke Adira. Kehadiran Nathan membuat Adira kaget. Bagaimana tidak, Nathan telah berada di depannya dengan membawa motor sport-nya itu. Adira lalu memakai helm- nya itu dan naik ke tempat belakang. Selama perjalan Adira hanya terdiam membisu. Tidak ada yang ingin ia bicarakan, bahkan terlihat seperti ia tidak ingin memikirkannya. Menggunakan motor membuat Adira lebih cepat sampai ke rumah. Hanya memerlukan waktu tiga menit saja. Para penjaga melihat Adira dan Nathan berboncengan motor, lalu mempersilakan mereka masuk. Setelah tiba di depan pintu rumah, Adira pun turun dari motor itu dan memberikan helm yang tadi dipinjamkan Nathan. 85

“Tak usah banyak memikirkannya.” Kata Nathan sambil mengelus kepala Adira. “Dan kali ini, aku sungguh bermaksud melakukannya. Aku tidak memiliki kemauan apapun untuk mendekatimu.” Kata Nathan lalu memakai helm-nya. “Dah.” Katanya kemudian mulai menyalakan mesin motornya dan pergi. Kini Adira tidak tahu mau memikirkan apa. Mulai dari Thalia, sekarang ditambah dengan perkataan Nathan barusan. Membuatnya sakit kepala. Ternyata di dalam rumah ada kedua orang tuanya yang melihat kejadian itu. “Adira kecilku sudah besar.” Kata Ayah Adira berpura-pura menangisi anak perempuan satu-satunya. “Sudahlah.” Timpal Ibu Adira. 86

13 Segera setelah melihat kepergian Nathan, Aira-pun masuk ke dalam rumah. Ia menyadari kedua orang tuanya itu memata-matainya dan Nathan. Adira sepertinya tidak memedulikan keberadaan orang tuanya itu dan langsung ke kamar tidurnya. “Mom Dad, tolong jangan ganggu aku untuk beberapa waktu ini.” Kata Adira. Adira kemudian menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat. Memastikan tidak ada yang dapat masuk ke dalam. Ia melempar semua barang bawaannya. Adira juga mengacak-ngacak rambutnya itu dan meremas-remas baju seragamnya itu. “Mengapa dari sekian banyaknya orang di sekitarku, harus kamu yang mengajariku rasa sakit pengkhianatan. Jika begitu, apa yang kamu rasakan selama ini? Atau perlukah aku menanyakan hal itu.” Katanya sendiri dalam kesunyian kamar itu. Tak lama kemudian air mata kembali terlinang basah di pipinya. Ia terduduk di pojokan kamar, menyadari semua itu telah terlambat. Dia tidak tahu apa yang dapat ia lakukan besok. Semua berlangsung sangat-sangatlah lama bagi Adira. Waktu bagaikan bergerak melawan karatnya besi, melambat-melambat dan bahkan rapuh. ‘Orang-orang masih saja berpikir akan lebih mudah merasa senang jika kita kaya akan material. Nyatanya saat itu aku sedang menahan tangis yang sedari tadi aku tahan di pojok kamarku. Aku mencoba mengecilkan suara agar tidak didengar oleh penghuni rumah yang lainnya. ‘Tetapi sekali lagi aku terisak-isak. Semakin lama tangisku semakin menderu. Hari itu seharusnya menjadi hari yang begitu indah, tetapi mengapa aku malah menangis di pojok kamarku.’ Pikirnya. Ornag-orang akan lebih mudah mendekati orang yang kaya akan sesuatu, dan kebanyakan mereka hanya MEMANFAATKAN. 87

Hampir seluruh bagian kamar gadis itu gelap gulita. Cahaya dari luar kamarnya, dari lorong-lorong rumahnya terlihat dari celah pintu. Banyak bayang kaki melalui pintu kamar Adira. Sentakan kaki dan juga bisingnya suara mereka. Tak hanya dari celah bawah pintu, diujung kamarnya terdapat cahaya yang masuk dari luar. Cahaya rembulan yang telah sempurna menyinari perkotaan menjadi terang di malam yang indah ini. Beberapa bintang terlihat dari mata memandang. Seharusnya ini dapat menjadi malam yang indah. Gadis itu terduduk bersandar di pojok memeluk kedua kakinya, bersembunyi dari sinar rembulan malam. Air mata masih saja melintasi pipinya yang mulus. Sudah sedari siang pulang sekolah anak itu mengunci diri dalam kamar. Lambat laun kakinya mulai mati rasa, tetapi dirinya tidak peduli sama sekali. Dia sudah nyaman dengan posisi yang seperti itu. *** Setelah beberapa jam terduduk dalam posisi itu. Air matanya telah terlihat mengering di pipinya. “Aku lelah.” Ujarnya kemudian. Dia bangun dari posisi itu. Lalu berjalan lunglai menuju kasurnya yang terlalu luas untuk dirinya seorang. Pandangannya kosong, terus - menerus ia kebaskan kakinya agar dapat kembali semula. Penampilannya sudah sangatlah berantakan, anak rambutnya acak- acakan, rambutnya yang tergerai cantik juga sudah tidak berbentuk seperti itu lagi. Seragam SMA-nya juga sudah kusut di mana-mana. Tetapi sekali lagi, ia menghiraukan penampilannya itu. Begitu pula dengan keadaan kamarnya. Sekitarnya dipenuhi dengan tissue remasan di mana-mana. Barang bawaan gadis itu berserakan dimana-mana, karena ia melemparkannya begitu saja sesampainya di kamar. Gadis itu sudah malas merapikannya dan tidak peduli akan hal itu. Dia hanya lelah, ia hanya menyingkirkan barang-barang yang berada di depannya menggunakan kaki dengan malas. Gadis itu tidak sanggup lagi membasuh wajah tangisnya, langsung saja ia hempaskan tubuhnya ke kasur. Ia kemudian menghela napas panjang. *** Sungguh tidak dapat kupercaya, satu-satunya orang yang kuanggap teman baru saja mengkhianatiku. Kukira setiap waktu yang kami jalani bersama itu nyata, tapi kini aku hal itu hanya dia gunakan untuk menghilangkan rasa bosannya. Kau seperti mengajarkanku kejamnya dunia yang kita tinggali ini. 88

Kekayaan ini membuat hidupku semakin lebih susah. Padahal aku tidak pernah berharap dilahirkan seperti ini, aku tidak pernah berharap dapat sepintar ini atau lahir di keluarga yang seperti ini juga. Apalagi dikenal karena kedua orang tuaku ini, aku ingin diriku dikenal karena perbuatanku dan namaku. Tetapi orang-orang selalu saja menyangkut-pautkannya, dan membuatku sebal. Mungkin kamu juga bosan dengan sikapku yang begitu tidak asyik. Mungkin aku juga yang bersikap sangatlah menyebalkan. Maafkan aku karena telah menjadi orang yang gelagapan, introvert, dan tidak pernah ikut dirimu dalam pelanggaran-pelanggaran yang selalu kamu lakukan itu. Aku hanya kurang berani dan pengecut. Mungkin ini juga salahku semua ini terjadi. Diaryku - Nadira Mila Angel – BERSAMBUNG… 89

90

91