Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572Gambar 7 Kepadatan teritip Amphibalanus spp. pada media fiber, (a.) Pelabuhan Pelindo I, (b.) PPI Purnama dan (c.) Pelabuhan Angkatan Laut Bangsal Aceh. Rata-rata kepadatan Amphibalanus spp. tertinggi pada media fiber terdapat padastasiun 1 pelabuhan Pelindo I, yaitu 218 ind/m2 pada media fiber berwarna merah(Gambar 7a), sedangkan rata-rata kepadatan terendah terdapat pada stasiun 2 pelabuhanPelindo I, yaitu 25 ind/m2 pada media fiber berwarna putih (Gambar 7a). Secara keseluruhan, rata-rata kepadatan pada media fiber adalah yang terendahdibandingkan kayu dan besi. Berdasarkan Gambar 6, terlihat bahwa beberapa mediafiber memiliki nilai kepadatan nol. Hal ini disebabkan pada saat pengamatan akhir ataupengangkatan media terdapat beberapa media fiber yang hilang dari tiang pengamatan,sehingga tidak diketahui nilai kepadatan Teritip yang menempel pada media tersebut.Selain itu, media fiber yang memiliki nilai kepadatan yang tinggi (>131 ind/m2) padaumumnya terdapat alga coklat yang telah menempel dan menutupi sebagian permukaanmedia fiber. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat hubungan antara kepadatan Teritipdan alga pada suatu substrat. Penempelan Teritip pada permukaan berbagai jenis seaweed atau alga masihjarang terjadi (Nasrolahi, 2012). Hal ini disebabkan oleh karena beberapa algamenghasilkan zat pencegah pertumbuhan (inhibitor) bagi larva Teritip seperti algacokelat Fucus vesiculosus yang memiliki kandungan phlorotannin (Brock et al., 2007)dan alga merah Sphaerococcus coronopifolius yang memiliki kandungan LC50 yangjuga merupakan antifouling bagi larva Teritip Amphibalanus amphitrite (Piazza, 2010).Namun, hasil penelitian tersebut berbeda dari hasil penelitian yang dilakukan olehNylund (1999). Senyawa yang dihasilkan oleh alga merah seperti Dilsea carnosa dan 48
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572Delesseria sanguine yaitu Dimethylsulphoxid (DMSO) justru menjadi stimulant bagipenempelan larva Teritip Amphibalanus improvisius. Pada beberapa studi yang lain, bakteri biofilm yang bersimbiosis dengan algaberpengaruh nyata terhadap penempelan larva biota invertebrata seperti Teritip, bahkanmelindungi alga dari serangan epibionts (Lau & Qian, 1997; Steinberg et al., 1998;Lachnit et al., 2010). Namun, beberapa bakteri biofilm tidak memiliki pengaruhterhadap penempelan larva Teritip (Wieczorek et al., 1995). Berdasarkan Gambar 8, rata-rata kepadatan Amphibalanus spp. tertinggi padamedia besi terdapat pada stasiun 1 pelabuhan Pelindo I, yaitu 334 ind/m2. Kepadatantertinggi tersebut terdapat pada media besi yang tidak diberi pewarna (Gambar 8a),sedangkan rata-rata kepadatan terendah terdapat pada stasiun 2 pelabuhan AL BangsalAceh, yaitu 21 ind/m2, pada media besi berwarna putih (Gambar 8c).Gambar 8 Kepadatan teritip Amphibalanus spp. pada media besi, (a.) Pelabuhan Pelindo I, (b.) PPI Purnama dan (c.) Pelabuhan Angkatan Laut Bangsal Aceh. Secara keseluruhan kepadatan Teritip Amphibalanus spp. sangat beragam secaravertikal. Kepadatan tertinggi terdapat tingkat kedalaman 2 (2,7 m) dan 3 (0,7 m) yangtermasuk ke dalam kategori pasang surut harian (mid intertidal zone) di perairan KotaDumai. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Minchinton danScheibling (1993) yang menyebutkan bahwa dari tiga tingkat pasang surut di NovaScotia Kanada, kepadatan tertinggi Teritip spesies Semibalanus balanoides terdapatpada zona mid intertidal atau tinggi pasang surut harian. Keragaman kepadatan Teritip secara vertikal dipengaruhi oleh faktor abiotik danbiotik lingkungan (Scheletema, 1974; Rittschof & Bonaventura, 1986; Rittschof et al., 49
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-55721998, Khandeparker & Anil, 2007). Namun, lebih khusus lagi keragaman kepadatansecara vertikal ini diperkirakan berkaitan dengan sifat fototaksis negatif ataukecenderungan larva Teritip menjauhi cahaya (Rohmimohtarto dan Juwana 2009;Setyobudiandi et al. 2009). Hasil penelitian Hung et al. (2005) menyatakan bahwapenempelan larva cyprid Teritip memiliki tingkat kesuksesan tertinggi pada perairandengan radiasi UV-B yang rendah, sehingga secara vertikal populasi Teritip di kolomperairan lebih tinggi dibandingkan populasi di permukaan perairan.3.2. Distiribusi Spasial Kepadatan Teritip Amphibalanus spp. Kajian distribusi spasial kepadatan Teritip Amphibalanus spp. berdasarkan jenisdan warna media yang berbeda dilakukan dengan Analisis Koresponden(Correspondent Analysis, CA). Hasil analisis menunjukkan bahwa informasi distribusispasial kepadatan Teritip Amphibalanus spp. terpusat pada dua sumbu utama, yaitu F1dan F2. Masing-masing sumbu memberikan kontribusi sebesar 59,80% (F1) dan27,45% (F2). Sehingga nilai ragam total data yang membentuk kedua sumbu tersebutadalah sebesar 87,25%. Diagram analisis koresponden antara stasiun penelitian dankepadatan Teritip Amphibalanus spp. pada setiap media penempelan diperlihatkan padaGambar 8.Gambar 9 Diagram analisis koresponden antara stasiun penelitian dan kepadatan teritip Amphibalanus spp. pada setiap media penempelan. Berdasarkan Gambar 9, hasil analisis koresponden menunjukkan ada 3 kelompokasosiasi yang terbentuk. Kelompok pertama merupakan kelompok yang membentuksumbu F1 positif. Kelompok ini merupakan kelompok asosiasi dari stasiun 1 (P1S1),stasiun 2 pelabuhan Pelindo I (P1S2) dan stasiun 1 PPI Purnama (P2S1) dengankepadatan Teritip pada 4 jenis perlakuan, yaitu media kayu tanpa warna (KWA), mediafiber tanpa warna (FWA), media besi yang diberi warna merah (BWM) dan media besi 50
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572yang tidak diberi pewarna (BWA). Rata-rata kepadatan Teritip Amphibalanus spp. padakelompok ini merupakan kepadatan tertinggi dari seluruh perlakuan dalam penelitianini. Kelompok ke dua merupakan kelompok yang membentuk sumbu F2 positif.Kelompok ini merupakan kelompok asosiasi dari stasiun 2 PPI Purnama (P2S2) danstasiun 1 pelabuhan AL Bangsal Aceh (P3S1) dengan kepadatan Teritip pada 3 jenisperlakuan yang meliputi media kayu berwarna merah (KWM), media kayu berwarnaputih (KWP) dan media besi berwarna putih (BWP). Kelompok yang membentuksumbu F2 negatif adalah kelompok ke tiga yang merupakan kelompok asosiasi daristasiun 2 pelabuhan AL Bangsal Aceh dengan kepadatan Teritip pada 2 jenis perlakuan,yaitu media fiber berwarna merah (FWM) dan media fiber berwarna putih (FWP). Pada penelitian ini keragaman kepadatan Teritip Amphibalanus spp. tidak hanyadijumpai secara vertikal saja, namun juga secara horizontal atau berbeda pada setiapstasiun penelitian (spasial). Keragaman kepadatan ini tidak lepas dari rumitnya siklushidup Teritip ini sendiri (Barnes, 1956; Jenkins et al., 2000; Macho et al., 2010 danAnil et al., 2012). Pada setiap fase hidupnya, Teritip memiliki faktor pembatas hidupyang berbeda-beda, seperti parameter oseanografi dan rantai makanan (Bousfield, 1955;Martin & Foster, 1986; Pineda, 1991), yang kemudian berpengaruh pada tingkatkesuksesan penempelan dan rekruitmen pada substrat.IV. Kesimpulan Ketidakmerataan distribusi kepadatan Teritip Amphibalanus spp. pada tiangpelabuhan dapat ditelaah melalui pemasangan media penempelan dengan jenis danwarna yang berbeda-beda. Rata-rata kepadatan Teritip pada media penempelan kayuyang tidak diberi pewarna memiliki nilai tertinggi, yaitu antara 265-506 ind/m2.Keragaman kepadatan Teritip Amphibalanus spp. tidak hanya dijumpai secara vertikalsaja, namun juga secara horizontal atau berbeda pada setiap stasiun penelitian (spasial).Daftar PustakaAnil AC, Desai DV, Khandepaker L, Gaonkar AC. 2012. Barnacle and Their Significance In Biofouling. In: Rajagopal S, Jenner HA, Venugopalan VP, editor. Operational and Environmental Consequences of Large Industrial Cooling Water Systems. Springer Science and Business Media. New York (USA). 65-94 p.Barnes H. 1956. Balanus balanoides L. in The Firth of Clyde: The Development and Annual Variation in The Larval Population and The Causative Factors. Journal of Animal Ecology 25: 72-84Bengen DG. 2000. Sinopsis teknik pengambilan contoh dan analisis data biofisikaa sumberdaya pesisir. Bogor (ID): Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Laut IPB. 88 p.Brock E, Nylund GM, Pavia H. 2007. Chemical Inhibition of Barnacle Larval Settlement by The Brown Alga Fucus vesiculosus. Mar Ecol Prog Ser 337: 165- 174 51
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572Brotowidjoyo MD, Djoko T, Eko M. 1995. Pengantar Lingkungan Perairan dan Budidaya Air. Liberty: YogyakartaFolkowski PG, Raven JA. 1997. Aquatic Photosynthesis. Blackwell Science (Malden Mass). 375 p.Hutagalung HP, Rozak A. 1997. Penentuan kadar nitrat dan fosfat. Dalam Hutagalung HP, Setiapermana D, Riyono. Metode Analisis Air laut, Sedimen dan Biota. Buku 2. Puslitbang Oseanologi. LIPI.Jenkins SR, Aberg P, Cervin G, Coleman RA, Delany J, Santina PD, Hawkins SJ, LaCroix E, Myers AA, Lindegarth M, Power AM, Roberts MF Hartnoll RG. 2000. The Spatial and Temporal Variation in Settlement and Recruitment of The Intertidal Barnacle Semibalanus balanoides (L.) (Crustacea: Cirripedia) Over A European Scale. J Exp Mar Bio Ecol 243: 209-225Khandepaker L, Anil AC. 2007. Under Water Adhesive: The Barnacle Way. Int J Adh Adhesives 27: 165-172.Lachnit T, Meske D, Wahl M, Harder T, Schmitz R. 2010. Epibacterial Community Patterns on Marine Macroalgae are Host Specific but Temporally Variable. Environmental Microbiology 13: 655-665Lau SCK, Qian PY. 1997. Phlorotannins and Related Compounds as Larval Settlement Inhibitors of The Tube-Building Polychaete Hydroides elegans. Mar Ecol Prog Ser 159:219–227Macho G, Vazquez E, Giraldez R, Molares J. 2010. Spatial and Temporal Distribution of Barnacle Larvae in The Partially Mixed Estuary of The Ria de Arousa (Spain). J Exp Mar Bio Ecol 392: 129-139Mudzni A. 2010. Distribusi Kepadatan Teritip (Balanus spp) Secara Vertikal pada Tiang Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Purnama Kota Dumai [skripsi]. Pekanbaru (ID): Universitas Riau. 60 p.Muslich M, Sumarni G. 2005. 2005. Keawetan 200 jenis kayu Indonesia terhadap penggerek di laut. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 23(3):163-176. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.Nasrolahi A. 2012. Stress Ecology: Interactive Effect of The Temperature and Salinity on Early Life Stages of Barnacle Amphibalanus amphitrite [dissertation]. Kiel (Ger). Helmholtz-Zentrum fur Ozeanforschung (GEOMAR).Nontji A. 2001. Laut Nusantara. Djambatan. Ed rev, Cetakan 5. Jakarta. 300 hal.Piazza V, Roussis V, Garaventa F, Greco G, Smyrniotopoulos V, Vagias C, Faimali M. 2009. Terpenes from The Red Alga Sphaerococus coronopifolius Inhibit The Settlement of Barnacles. Mar Biotechnol. Springer.Pineda J. 1991. Predictable Upwelling and The Shoreward Transport of Planktonic Larvae by Internal Tidal Bores. Science 253: 548-551Rittschof D, Bonaventura. 1986. Macromolecular Cues in Marine System. J Chem Ecol 12: 1013-1023Rittschof D, Forward RB Jr, Cannon G, Welch JM, McClary M Jr, Holm ER, Clare AS, Conova S, McKelvey LM, Bryan P, Van Dover CL. 1998. Cues and Context: Larval Reponses to Physical and Chemical Cues. Biofouling 12: 31-44Romimohtarto K, Juwana S. 2009. Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan tentang Biota Laut. Djambatan, Jakarta.Sachlan M. 1982. Planktonologi. Fakultas Peternakan dan Perikanan. Universitas Diponegoro, Semarang. 52
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572Scheltema RS. 1974. Biological Interaction Determining Larval Settlement of Marine Invertebrates. Thalas Jugosl 10: 263-296Setyobudiandi I, Sulistiono, Yulianda F, Kusmana C, Hariyadi S, Damar A, Sembiring A, Bahtiar. 2009. Sampling dan Analisis Data Perikanan dan Kelautan, Terapan Metode Pengambilan Contoh di Wilayah Pesisir dan Laut. Bogor: Makaira- Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.Steinberg PD, de Nys R, Kjelleberg S (1998) Chemical inhibition of epibiota by Australian seaweeds. Biofouling 12: 227–244Tanjung A. 2010. Biostatistika Inferensial. Penerbit Tantaramesta, Bandung. 106 p.Wieczorek, SK, Clare AS, Todd CD. 1995. Inhibitory and Facilitatory Effects of Microbial Films on Settlement of Balanus amphirrite amphitrite Larvae. Mar. Ecol. Prog. Ser., Vol. 119, pp. 221-228. 53
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572 REKAYASA SALINITAS MEDIA PEMELIHARAAN SEBAGAI UPAYADOMESTIKASI IKAN GIRU (Amphiprion ocellaris) YANG BERASAL DARI KEPULAUAN SIMEULUE REARING OF CLOWNFISH (Amphiprion ocellaris) ON SALINITY MANIPULATION Sufal Diansyah1, Munandar1, Afrijal1 1Program Studi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Teuku Umar, Aceh Barat Korespondensi : [email protected] Abstract Clownfish (Amphiprion ocellaris) is one reef fish that can be used as ornamentalfish saltwater aquarium. The fish has high economic value because the color isattractive. However, this time facing the difficulty found the seeds found in nature as aresult of uncontrolled harvesting, especially in the northwest district of Simeulue. Thepurpose of this study is a way of domestication of clownfish in a population that isalmost extinct (endangered) of wild life (natural habitat) into the cultivationenvironment to determine the viability of a clownfish by administering salinity 35, 30,28 and 26 ppt performed for 60 the aquariums in a container measuring 60 cm (long),40 cm (wide) and 40 cm (high). The results showed that administration of differentsalinity did not significantly affect survival (p>0.05), while the absolute growth rate andfeed conversion showed significant results (p<0.05), the value range of the absolutegrowth rate was ± 0.0014 to 0.00444 grams of feed conversion has a value range of ±1,311- 5.190 grams.Keywoords : Domestication, Growth, Survival, SalinityI. Pendahuluan Ikan giru (Amphiprion ocellaris) atau lebih dikenal dengan sebutan ikan badutmerupakan salah satu jenis ikan hias air laut yang unik karena memiliki warna danbentuk tubuh yang indah. Ikan giru tersebar di beberapa wilayah di Indonesia, salahsatunya adalah Simeulue. Kepulauan Simeulue memiliki ekosistem terumbu karangyang baik, sehingga mendukung kehidupan spesies ini. Sejauh ini penduduk setempatmelakukan penangkapan ikan ini untuk kebutuhan koleksi ikan hias maupun komersil.Eksploitasi ikan secara terus-menerus akan mengurangi stok ikan di alam sehingga padaakhirnya akan berdampak pada keseimbangan ekologis. Salah satu solusi yang dapatdilakukan adalah dengan melakukan kegiatan budidaya sampai ikan giru dapatdikembangbiakkan, sehingga permintaan terhadap spesies ini tidak tergantung padaalam. Langkah awal untuk budidaya ikan giru adalah dengan melakukan upayadomestikasi terlebih dahulu. Domestikasi merupakan suatu upaya pemeliharaan hewan, termasuk ikan yangbiasa hidup liar di habitat aslinya (tidak terkontrol) menjadi dapat hidup dandikembangbiakkan dalam kondisi terkontrol. Ikan giru di alam bersimbiosis dengananemon laut. Menurut Allen (1991) ikan giru hidup di daerah terumbu karang degan 54
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572kedalaman kurang dari 50 meter. Spesies terbesar ikan ini mencapai ukuran 18 cm danyang terkecil hanya 6 cm. Permintaan ikan giru saat ini cukup tinggi, baik untuk pemenuhan pasar dalamnegeri maupun pengiriman keluar negeri (Wood, 2001). Perkembangan kondisi pasaryang menggiurkan tersebut, tentu akan memacu para eksportir untuk mengeksploitasisumber alam secara tak terkendali. Apabila tidak segera diimbangi dengan kegiatanbudidaya, maka dapat menimbulkan kelangkaan populasi ikan giru di masa yang akandatang. Indonesia telah dimulai adanya kegiatan penangkaran baik oleh intasipemerintah dan juga unit usaha milik swasta. Namun sampai saat ini ikan giru yangterdapat di Simeulue belum dilakukan upaya budidaya, sedangkan upaya penangkapanterhadap spesies ini terus meningkat. Sejauh ini ikan giru yang terdapat di Pulau Simeulue ditangkap oleh para nelayanuntuk kebutuhan komersil. Penangkapan yang tidak terkendali ini mengakibatkanpopulasi ikan giru mulai berkurang di Pulau Simeulue, oleh karena itu perlu dilakukanupaya pelestariannya. Berdasarkan uraian diatas maka perlu dikaji pemeliharan ikangiru dengan media salinitas yang berbeda sebagai upaya domestikasi. Upayadomestikasi ini merupakan langkah awal untuk melestarikan stok ikan giru di PulauSimeulue. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keberhasilan domestikasi ikangiru dengan rekayasa kadar salinitas berbeda melalui parameter kelangsungan hidup,laju pertumbuhan dan rasio konversi pakan.II. Metode Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Oktober 2015 diBalai Benih Ikan Pantai (BBIP) Busung Kabupaten Simeulue Propinsi Aceh.2.1.Alat dan BahanAdapun alat dan bahan yang digunakan selama peneltian yakni sebagai berikut:Tabel 1. Alat yang digunakan selama penelitianNo Jenis Alat Kegunaan1 Akuarium Wadah pemeliharaan ikan2 Refraktometer Pengukur salinitas3 Termometer Pengukur suhu4 pH meter Pengukur derajat keasaman (pH)5 Blower Penyuplai oksigenTabel 2. Bahan yang digunakan selama penelitianNo Jenis bahan Kegunaan1 Ikan giru, size 3-6 g Ikan uji2 Pelet, tipe love larva Makanan ikan3 Air laut Media pemeliharaan ikan4 Air tawar Pelarut salinitas media 55
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-55722.2.Rancangan Percobaan Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimental. Rancangan percobaanyang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan empat perlakuan dan masing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Perlakuan tersebut adalah pemeliharaanikan giru dengan media salinitas berbeda, yakni perlakuan A (35 ppt), perlakuan B (30ppt). Perlakuan C (28 ppt), perlakuan D (26 ppt). Perlakuan A adalah kontrol karenasalinitas air laut di perairan Simeulu Timur adalah 35 ppt.2.3.Prosedur Penelitian Ikan giru yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari tangkapan alam diperairan Simeulue Timur. Ikan giru diadaptasikan di wadah akuarium selama 10 harisebelum ditebar dalam media salinitas berbeda. Ikan dipelihara selama 60 hari. Wadahpemeliharaan berupa 12 unit akuarium. Ukuran akuarium yang digunakan adalah60x40x40 cm, dan air pemeliharaan diisi setinggi 30 cm. Pakan yang diberikan berupapelet merek love larva. Pakan diberikan 3% biomassa/hari dengan frekuensi pemberianpakan dua kali sehari, yaitu pada pukul 07.00 dan 17.00 WIB.1).Persiapan Wadah Pemeliharaan Wadah pemeliharaan yang akan digunakan pada penelitian ini adalah akuariumyang berjumlah 12 unit dengan ukuran panjang 60 cm, lebar 40 cm, dan tingginya 40cm. Akuarium tersebut di cuci terlebih dahulu menggunakan kaporit, setelah bersihakuarium dibilas dengan air sampai bersih. Wadah yang sudah bersih dikeringkan,selanjutnya isi air pemeliharaan sesuai dengan perlakuan. Gambar 1. Wadah Pemeliharaan2).Pembuatan Media Bersalinitas 35 ppt, 30ppt, 28 ppt dan 26 ppt Penelitian ini akan menggunakan media berupa air laut dan air tawar, dimanauntuk perlakuan A menggunakan salinitas normal perairan Simeulue (35 ppt) yaknisesuai dengan salinitas asal ikan giru, sedangkan untuk mendapatkan media yangbersalinitas 30, 28 dan 26 ppt dilakukan pengenceran dengan air tawar. Caramemperolehnya yaitu air laut dicampurkan air tawar dengan perbandingan tertentusehingga diperoleh salinitas tersebut. 56
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572Untuk pengenceran (molaritas) digunakan rumus : M1 . V1 = M2 . V1 ....................... (3)Keterangan : M1 = Konsentrasi garam terlarut awal (ppt) M2 = Konsentrasi garam terlarut yang diiginkan V1 = Volume pengenceran awal V2 = Volume pengenceran akhir3).Pengadaan Ikan Giru Ikan giru diambil sendiri oleh peneliti di kawasan laut Simeulue Timur. Penelitimengambil secara langsung ikan giru yang dialam, kemudian ikan giru tersebutdimasukkan kedalam plastik, setelah itu, sampel (ikan giru) yang didapat dari hasiltangkapan dibawa ke Hatchery BBIP busung, guna untuk didomestikasi. Gambar 2. Ikan Giru4).Penebaran Ikan Giru Ikan giru yang telah diambil langsung diadaptasikan pada wadah yang telahdisiapkan, wadah yang digunakan adalah akuarium yang telah di isikan air laut dengansalinitas yang telah ditentukan selama 10 menit. Hal tersebut dilakukan untukmenyesuaikan diri dengan lingkungannya. Setelah selang waktu 10 menit ikan tersebutdilepaskan perlahan – lahan dalam akuarium. Jumlah ikan yang akan di gunakan dalam penelitian ini sebanyak 12 ekor denganukuran panjang total 4–6 cm, setiap akuarium di isikan 2 ekor / akuarium.5).Pemeliharaan Ikan Giru Penelitian domestikasi ikan giru dilakukan selama dua bulan di Balai Benih IkanPantai (BBIP) Busung Kabupaten Simeulue Propinsi Aceh. Dalam pemeliharaan ikangiru dilakukan pengelolaan kualitas air dan pegelolaan pakan. Pengelolaan kualitas airselama masa pemeliharaan dilakukan penyiponan pada saat pagi dan sore hari, dandilakukan pergantian air selama satu minggu sekali pada pagi hari. 57
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-55726).Pengelolaan pakan Pakan yang akan diberikan kepada ikan badut berupa pellet jenis love larva atautakari merupakan pellet tenggelam. Dosis pemberiannya 2-3% dari berat biomassa ikanatau secara adlibitum dan frekuensi pemberian 2 kali dalam sehari yaitu pada pukul07.00 - 19.00 WIB.7).Pengambilan sample Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan selama penelitian berlangsungdengan frekuensi waktu yang berbeda. Pengambilan sampel ikan hanya satu kali, danpengukuran sampel air dilakukan dengan frekuensi waktu setiap hari dua kali pada saatpagi dan sore hari.2.4.Parameter uji Parameter yang diuji selama penelitian meliputi parameter biologi yang terdiriatas derajat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan mutlak dan rasio konversi pakan,serta parameter kualitas air yang meliputi suhu dan pH. Sampling bobot dilakukansetiap sepuluh hari dan kelangsungan hidup dihitung pada akhir penelitian. Pengukuransuhu dan pH dilakukan setiap hari pada pagi dan sore hari.1).Derajat kelangsungan hidupDerajat kelangsungan hidup (SR) adalah perbandingan jumlah ikan yang hidupsampai akhir pemeliharaan dengan jumlah ikan pada awal pemeliharaan, yang dihitungmenggunakan rumus dari Goddard (1996) yaitu: SR Nt x 100% N0Keterangan: SR = Derajat kelangsungan hidup (%) Nt = Jumlah ikan hidup pada akhir pemeliharaan (ekor) No = Jumlah ikan pada awal pemeliharaan (ekor)2).Laju pertumbuhan mutlak Laju pertumbuhan mutlak adalah perubahan bobot rata-rata individu dari awalsampai akhir pemeliharaan. Pertumbuhan bobot mutlak dihitung dengan menggunakanrumus dari Goddard (1996): GR =Keterangan: GR = Laju pertumbuhan bobot mutlak (gram/ekor/hari) Wt = Bobot rata-rata pada akhir pemeliharaan (gram) Wo = Bobot rata-rata pada awal pemeliharaan (gram) t = Periode pemeliharaan (hari) 58
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-55723).Rasio konversi pakan Rasio konversi pakan dihitung dengan menggunakan rumus dari Goddard (1996):Keterangan : FCR = Feed conversion ratio F = Jumlah pakan yang dihabiskan Wt = Biomassa ikan pada akhir pemeliharaan Wd = Biomassa ikan mati selama pemeliharaan W0 = Biomassa ikan pada awal pemeliharaanIII. Hasil dan Pembahasan3.1.Hasil1).Derajat Kelangsungan Hidup Derajat kelangsungan hidup ikan giru setiap perlakuan tidak menunjukkanperbedaan yang nyata (P>0,05). Derajat kelangsungan hidup ikan giru pada semuaperlakuan adalah 100%, artinya tidak ada ikan yang mengalami mortalitas pada semuaperlakuan.2).Laju Pertumbuhan Mutlak Laju pertumbuhan mutlak tertinggi (0,0044 g) terdapat pada perlakuan A dan lajupertumbuhan mutlak terendah (0,0014 g) terdapat pada perlakuan C. Hasil analisisragam menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang nyata terhadap lajupertumbuhan mutlak ikan giru (p<0,05). Gambar 3. Laju pertumbuhan mutlak ikan giru dengan pemberian salinitas yang berbeda3).Konversi Pakan Nilai konversi pakan terbaik (1,311) terdapat pada perlakuan A dan konversipakan terendah (5,19) terdapat pada perlakuan C. Hasil analisis ragam menunjukkan 59
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang nyata terhadap konversi pakan ikangiru(p<0,05). Gambar 4. Rasio konversi pakan ikan giru dengan pemberian salinitas yang bebeda4).Kualitas Air Parameter kualitas air yang diukur dalam penelitian ini meliputi suhu dan pH.Data kualitas air selama penelitian berada pada kisaran optimal untuk kelangsunganhidup ikan giru (Tabel 3) . Kualitas air sangat menentukan keberhasilan budidayakarena air merupakan media hidup ikan.Tabel 3. Kisaran kualitas air (suhu dan pH) media pemeliharaan ikan giru selama 60 hari.Parameter A Perlakuan D Kisaran Optimal BCSuhu (oC) 28-30 26-28 26-28 26-28 25-29 (Ghufran, 2010)pH 7 - 8 7 - 8 7 - 8 7 – 8 7- 8,5(Sari, 2014)3.2.Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan media salinitas berbeda tidakmemberikan pengaruh nyata terhadap derajat kelangsungan hidup (P>0,05). Selamamasa penelitian ikan giru yang dipelihara tidak mengalami mortalitas pada semua unitpercobaan. Hal ini mengindikasikan bahwa ikan gitu mampu menyesuaikan diri sampaikadar salinitas 26 ppt, selain itu prosedur pemeliharaan yang tepat juga menjadi faktorikan tetap hidup. Pada penelitian ini ikan giru dipelihara dengan jumlah ikan sebanyakdua ekor per unit percobaan. Metode ini dilakukan karena ikan badut bukan tipe ikan 60
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572yang hidup bergerombol (schooling), ikan ini hidup dalam kelompok kecil dalamanemon yang terdiri dari pasangan induk. Perbedaan salinitas media memberi pengaruh nyata terhadap laju pertumbuhanmutlak (P<0,05). Laju pertumbuhan ikan terbaik terdapat pada perlakuan A danterendah pada perlakuan C. Secara umum laju pertumbuhan ikan semakin menurunseiring dengan penurunan kadar salinitas, namun ada penurunan yang signifikan padaperlakuan C (Gambar 3). Hal ini diduga karena adanya perbedaan fisiologis ikan padaperlakuan C, sehingga laju pertumbuhan perlakuan C (28 ppt) lebih rendahdibandingkan perlakuan D (26 ppt). Adanya perbedaan fisiologis pada ikan perlakuan Cterjadi karena jumlah ikan saat pengadaan sangat terbatas. Konversi pakan merupakan suatu ukuran yang menyatakan rasio jumlah pakanyang dibutuhkan untuk menghasilkan satu kilogram ikan kultur (Sawhney et al., 2010).Pada penelitian ini perhitungan berat pakan dikonversikan ke satuan gram karenaukuran ikan giru kecil, bahkan saat dewasa ikan ini hanya mampu tumbuh sampai 18cm. Selain itu, dengan pemeliharaan dua ekor per unit percobaan tidak memungkinkanmencapai biomassa dalam satuan kilogram. Nilai FCR = 1,3 pada perlakuan A artinyadibutuhkan pakan 1,3 gram untuk meningkatkan satu gram bobot ikan giru, sedangkanpada perlakuan C dibutuhkan pakan 5,19 gram. Berdasarkan data tersebut dapatdiketahui bahwa konversi pakan terbaik terdapat pada perlakuan A karenamembutuhkan pakan yang lebih kecil untuk meningkatkan bobot ikan giru sedangkanperlakuan C membutuhkan pakan yang lebih banyak. Dalam dunia akuakulturpenghematan pakan menjadi prioritas utama karena dapat menekan biaya produksi. Berdasarkan hasil penelitian dapat dikemukakan bahwa kondisi fisiologis ikangiru mengalami perubahan seiring dengan penurunan kadar salinitas. Pada mediabersalinitas rendah ikan akan mengalami gangguan osmoregulasi sehingga terjadiefisiensi pengeluaran energi. Energi yang dibutuhkan untuk osmoregulasi untukmencegah kehilangan kadar garam dalam tubuh. Menurut Carrion et al. (2005) padakondisi hiperosmotik atau hipoosmotik, gradien osmotik akan semakin membesar yangakan menyebabkan energi yang digunakan untuk proses osmoregulasi juga akansemakin besar. Pertumbuhan ikan dapat terjadi apabila energi yang disimpan lebih besardibandingkan pengeluaran energi yang digunakan untuk berbagai aktivitas termasukkebutuhan osmoregulasi (Rainbow & Black, 2001). Selain mengalami gradien osmotik, ikan giru diduga mengalami stres akibatperubahan lingkungan dari habitat asli ke wadah akuarium. Pada kondisi habitat yangbaru dan adanya perubahan salinitas, ikan akan mengendalikannya dengan respon stres.Menurut Barton et al. (1987), stres pada ikan dapat disebabkan oleh perubahanlingkungan (enviromental changes) antara lain akibat perubahan salinitas. Pada saatikan mengalami stres, ikan menanggapinya dengan mengembangkan suatu kondisi yanghomeostatis yang baru dengan mengubah metabolismenya. Stres diartikan sebagaisejumlah respons fisiologis yang terjadi pada saat hewan berusaha mempertahankanhomeostatis. Respons terhadap stres ini dikontrol oleh sistem endokrin melaluipelepasan hormon kortisol dan katekolamin. 61
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572 Gradien osmotik dan respon stres menyebabkan pengeluaran energi yang berlebihpada ikan sehingga ikan membutuhkan sumber energi yaitu pakan. Hal ini tercerminpada hasil penelitian dimana nilai konversi pakan semakin meningkat seiring penurunansalinitas, artinya jumlah pakan yang dikonsumsi semakin besar. Besarnya jumlah pakanyang dikonsumsi belum tentu dapat meningkatkan pertumbuhan, karena pada saat stresikan akan memanfaatkan energi untuk memproduksi glukosa dalam darah. Salah satuindikasi ikan stres adalah meningkatnya kadar glukosa dalam plasma (Diansyah, 2014).Namun demikian, upaya domestikasi ikan giru dalam penelitian ini dianggap berhasilkarena tidak adanya mortalitas yang terjadi. Hal ini mencerminkan bahwa tingkat stresdan gradien osmotik masih mampu ditolerir oleh ikan. Kualitas air sangat berperan dalam kegiatan domestikasi, karena ikanmembutuhkan kondisi optimal untuk kelangsungan hidupnya. Selama penelitian suhudan pH berada pada kisaran yang sesuai dengan kriteria pemeliharaan ikan giru (Tabel3). Hal ini juga yang menyebabkan ikan giru mampu bertahan hidup sampai akhir masapenelitian, karena kondisi lingkungan yang layak tidak akan berdampak negatifterhadap ikan uji.IV. Kesimpulan Kadar salinitas berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap kelangsungan hidupikan giru, namun memberi pengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan dan konversipakan. Laju pertumbuhan ikan giru cenderung menurun seiring penurunan kadarsalinitas dan konversi pakan cenderung meningkat seiring penurunan salinitas.Daftar PustakaAllen GR. 1991. Damselfishes of The World. Germany, Hans A. Baensch.Barton BA, Schreck CB, Barton LD. 1987. Effects of chronic cortisol administration and daily acute stress on growth, physiological conditions, and stresss responses in juvenile rainbow trout. Diseases of Aquatic Organisms, 2: 173-185.Carrion RL, Alvarellos SS, Guzma’n JM, Maria P, Rio MD, Soengas JL, Manceraa JM. 2005. Growth performance of gilthead sea bream conditions: implication for osmoregulation and energy metabolism. Journal Aquaculture 250: 849-861.Diansyah S, Budiardi T, Sudrajat AO. 2014. Kinerja pertumbuhan Anguilla bicolor bicolor bobot awal 3 g dengan kepadatan berbeda. Jurnal Akuakultur Indonesia 13(1): 46-53.Ghufran H, Kordi K. 2010. Pembenihan Ikan Laut Ekonomi Secara Buatan. Yogyakarta.Goddard S. 1996. Feed Management in Intensive Aquaculture. Chapman and Hall. New York. 194 p.Rainbow PS, Black WH. 2001. Effect of changes in salinity on the apparent water permeability of three crab species: Carcinus meanas, Eriocheir sinensis and Necora puber. J Exp Mar Biol Ecol 264 : 1-13. 62
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572Sari OV, Hendrarto B, Soedarsono P. 2014. Pengaruh variasi jenis makanan terhadap ikan karang nemo ditinjau dari perubahan warna, pertumbuhan, dan tingkat kelulushidupan. Management Of Aquatik Recources 3(3): 134-143Sawhney S, Gandotra R . 2010. Growth response and feed conversion efficiency of Tor putitora Ham. fry at varying dietary protein levels. Journal of Nutrition 9: 86– 90.Wood EM. 2001. Collection of Coral Reef Fish for Aquaria: Global Trade, Conservation Issues and Management Strategies. Marine Conservation Society, UK. 80pp. 63
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572 EFEKTIVITAS INDUKSI REPRODUKSI Macrobachium Rosenbergi BETINA DENGAN KOMBINASI ABLASI UNILATERAL DAN SUPLEMENTASI VITAMIN E EFFECTIVENESS OF INDUCED BY FEMALE REPRODUCTIVE MACROBACHIUM ROSENBERGI COMBINATION OF ABLATION UNILATERAL AND VITAMIN E SUPPLEMENTATION Inayatsyah 1 Rahmawati Nasution 2 1Program Studi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Teuku Umar 2Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman Korespondensi: [email protected] Abstract This study aims to Know the optimum dosage of vitamin E supplementation onfeed for a long time ripe gonads, IKG, fecundity egg and larval survival on prawnsfemale, And Knowing the optimum dose vitamin E supplementation on feed for a longtime ripe gonads, IKG, fecundity eggs and larval survival in female prawns wereablated unilateral. This research was carried out experimentally, with the experimentaldesign basic design completely randomized (CRD) factorial 2 x 4, consists of twofactors: Prawn females ablation, consists of two levels: Prawns females without ablation(UGT), Prawns female ablation unilateral (UGA). The dose of vitamin E / kg feed,consisting of four levels: Vitamin E 0 IU / kg feed, vitamin E 200 IU / kg feed, vitaminE 400 IU / kg feed, vitamin E 600 IU / kg feed. The optimum dosage vitamin Esupplementation of 600 IU on feed effective Time ripe for a review of the old gonads,IKG , egg fecundity and the degree of continuity of Life larvae prawns females.Supplementation of vitamin E at 200 IU at prawn the ablated females showed aunilateral already fecundity best eggs . Induction reproductive females with acombination of prawns unilateral ablation and vitamin E supplementation of 600 IU onfeed effectively improve reproduction prawns.Keywords: Ablation, M.Rosenbergi, Reproduksi, Vitamin EI. Pendahuluan Udang sebagai salah satu komoditas perikanan yang sangat populer dan memilikinilai ekonomis tinggi dalam perdagangan internasional (Hadie et al., 2001). Prospekpasar yang cerah, bernilai ekonomis serta memberikan keuntungan ini perlu diimbangidengan ketersediaan pasokan benih. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terusmenggerakkan seluruh potensi perikanan untuk kesejahteraan rakyat. Salah satu potensi yang menjadi prioritas dari kebijakan KKP adalah udang.Sebagai komoditas unggulan KKP, produksi udang ditargetkan meningkat sebesar 15%dari tahun 2011 sebesar 460 ribu ton menjadi 529 ribu ton pada tahun 2012 (Subyaktodan Sakti, 2012). Pemenuhan permintaan pasar terhadap udang diperoleh dari hasilpenangkapan dan budidaya, tetapi masih dalam jumlah terbatas. Hal ini memberikanpeluang untuk meningkatkan produksi budidaya udang. Potensi produksi akankebutuhan udang ini harus didukung, salah satunya adalah dengan program pemuliaanselektif untuk meningkatkan pertumbuhan, reproduksi dan ketahanan terhadap penyakit. 64
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572 Udang galah (Macrobrachium rosenbergii De Man, 1879) merupakan komoditasperikanan air tawar yang potensial untuk dibudidayakan secara komersial. Udang galahyang merupakan udang air tawar berukuran terbesar di antara udang air tawar lainnyadapat dijadikan alternatif lain selain udang Penaeid dan Vannamei. Pertumbuhan yangcepat, ukuran yang besar, tingkat prevalensi penyakit yang rendah dan permintaan pasaryang luas, merupakan potensi yang menjadikan komoditas ini memegang perananpenting dalam usaha budidaya perikanan air tawar di Indonesia (Hadie et al., 2001). Permintaan akan udang galah ini terus menerus meningkat pada eranya, tetapi tidakdibarengi dengan produksi yang meningkat. Padahal budidaya udang galah menjadialternatif pilihan ketika udang Penaeid mulai mengalami permasalahan (Ali, 2001).Kendala yang dihadapi adalah ketersediaan benih alam. Alam tidak akan mampumemenuhi seluruh kebutuhan benih udang. Hal ini mengakibatkan kesulitanmemperoleh benih dalam jumlah dan ukuran yang ideal pada waktu yang tepat,sehingga diperlukan upaya penyediaan induk yang matang gonad dan siap untukdipijahkan. Selain hal tersebut, permasalahan yang kerap kali muncul dalam produksibenih adalah kualitas benih yang rendah seperti daya tetas telur dan tingkatkelangsungan hidup larva yang rendah (Racotta et al., 2003). Saat pemijahan, hanyasekitar 30-40% dari induk betina udang galah yang siap untuk bertelur. Solusinyaadalah dengan sinkronisasi pematangan ovarium melalui manipulasi hormon ataulingkungan (Bindu et al., 2010). Pematangan gonad udang galah dapat dilakukandengan cara induksi melalui manipulasi hormon dengan teknik ablasi mata, rekayasapakan dan pendekatan lingkungan (Siahainenia et al., 2008). Salah satu cara yangefektif untuk meningkatkan produksi benih udang dapat dilakukan dengan teknik ablasiataupun perbaikan melalui pakan. Ablasi tangkai mata udang merupakan upaya untuk meningkatkan pemenuhanproduksi benih udang dengan prinsip mempercepat kematangan gonad. Ablasidilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan organ X yang ada ditangkai mata. OrganX menghasilkan hormon penghambat perkembangan dan pematangan gonad (GonadInhibiting Hormone/GIH) serta penghambat pergantian kulit (Moulting InhibitingHormone/MIH). Ablasi mata pada krustasea merupakan cara yang cepat dan murahuntuk merangsang proses pemasakan telur. Ablasi unilateral merupakan pemotongansatu tangkai mata, pemotongan ini efektif dapat mengurangi mortalitas induk yangdiablasi dan dapat mempercepat kematangan gonad pada udang (Siahainenia et al.,2008). Peningkatan jumlah betina molting dalam kelompok ablasi terjadi setelah enamminggu pasca ablasi menunjukkan pematangan kembali setelah pemijahan.Peningkatanproduksi dan kualitas sel telur juga dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas pakaninduk. Pengkayaan pakan pada induk merupakan hal penting dilakukan untukmemperbaiki kualitas telur yang dihasilkan (Suwoyo et al., 2001). Reproduksi indukudang tidak akan sempurna jika pasokan nutrisinya tidak memenuhi persyaratan(Yuwono, 2005). 65
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572 Kekurangan vitamin E dapat memperlambat kematangan gonad, daya tetas dankelangsungan hidup yang rendah pada ikan (Izquierdo et al., 2001). Pemberian pakandengan konsentrasi vitamin E 475 mg/kg pakan menunjukkan hasil yang optimumuntuk meningkatkan fekunditas ikan zebra betina prasalin (Utomo et al., 2006). Begitupula hasil penelitian pada ikan patin yang dilakukan oleh Yulfiperius (2001)menunjukkan bahwa pakan yang mengandung 189,65 mg VE/kg pakan menghasilkantingkat penetasan yang tinggi (78,77%), jumlah total larva 332,339 ekor/kg induk, danlarva abnormal terendah (0,19%). Oleh sebab itu, penggunaan vitamin E pada beberapaspesies ikan menyebabkan proses reproduksi yang lebih sempurna (Tridjoko et al.,2001), tetapi penelitian ini lebih banyak dilakukan pada ikan, sedangkan kajianmengenai hal tersebut masih jarang dilakukan pada udang galah. Bertitik tolak padapermasalahan tersebut maka dilakukan penelitian untuk mengkaji efektivitas induksireproduksi Macrobrachium rosenbergii betina dengan kombinasi ablasi unilateral dansuplementasi vitamin E pada pakan terhadap lama waktu matang gonad, IndeksKematangan Gonad (IKG), fekunditas, dan Tingkat Kelangsungan Hidup (Survival Rate(SR) larva.II. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan secara eksperimental, dengan rancangan percobaanRancangan dasar Acak Lengkap (RAL) pola faktorial 2 x 4, terdiri atas 2 faktor UdangGalah Betina Ablasi, terdiri atas 2 taraf : Udang galah betina tanpa ablasi (UGT).Udang galah betina ablasi unilateral (UGA). Dosis vitamin E/kg pakan, terdiri atas 4taraf : Vitamin E 0 IU/ kg pakan. Vitamin E 200 IU/ kg pakan Vitamin E 400 IU/ kgpakan Vitamin E 600 IU / kg pakan. Perlakuan penelitian terdiri atas 8 perlakuan.Setiap perlakuan diulang 9 kali, sehingga total unit penelitian 9 x 8= 72. Materi yang digunakan adalah induk betina udang galah yang berasal dari LokaRiset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi, Jawa Barat,berjumlah 72 ekor dengan bobot rerata 38 g, induk udang galah jantan 24 ekor, vitaminE alpha tocopherol, alkohol 70%, aquades, tepung kanji, iodine, methylene blue, pakankomersil dan artemia. Peralatan yang digunakan meliputi 8 kolam pemeliharaan indukberukuran 2m x 1m x 0,5m, wadah penetasan, aerator, selang siphon, timbangan,mangkok/piring plastik, sprayer, cawan petri, gelas ukur, gunting/peralan bedah,bunsen, termometer, pH meter, DO meter, refraktometer, mikroskop dan kamera.Pengambilan data diperoleh dari 9 ulangan yang disediakan, 3 ulangan masing-masingdiperuntukkan bagi perhitungan IKG, fekunditas telur dan kelangsungan hidup larva.Data lama waktu matang gonad diperoleh dari seluruh individu yang diamati. Parameterdata pendukung meliputi frekuensi molting, pertumbuhan mutlak dan kualitas air. Data yang diperoleh untuk mengetahui dosis optimum suplementasi vitamin Emeliputi lama waktu matang gonad, IKG, fekunditas telur dan kelangsungan hidup larvapada udang galah betina tanpa ablasi dan ablasi unilateral, serta kombinasi antara udanggalah betina yang diablasi unilateral dan diberi suplementasi vitamin E. Seluruh datatersebut dianalisis dengan two way Analiysis of Variance (ANOVA) menggunakan 66
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572Software SPSS versi 17.0 Windows. Sebelum dianalisis secara statistik, data dalambentuk persen terlebih dahulu ditransformasi ke dalam bentuk arsin√%. Hasil analisisyang berbeda nyata dilanjutkan dengan uji beda jarak nyata Duncan (BJND).III. Hasil dan Pembahasan Hasil pengamatan udang galah pasca perlakuan yang mengalami perubahan warnadan volume gonad pada cephalothorax, terbukti menunjukkan tanda matang gonad.Ovarium berwarna orange menyala dan volumenya berkembang ke arah cephalothorax(Gambar 1). Semua udang pada perlakuan udang galah betina tanpa ablasi dan diberisuplementasi vitamin E mengalami matang gonad. Jumlah udang yang matang gonadyaitu berjumlah 36 ekor.Gambar 1. Udang Galah Betina (Macrobrachium rosenbergii De Man, 1879) matang gonad.Keterangan:Kiri : Udang Galah suplementasi vitamin E pada pakan dengan dosis 600 IU (UGT 6)Kanan : Udang Galah ablasi suplementasi vitamin E pada pakan dengan dosis 600 IU (UGA 6) Minggu pertama pasca perlakuan, hanya udang galah betina tanpa ablasi dansuplementasi vitamin E 600 IU (UGT 6) yang matang gonad sebanyak 1 ekor. Matanggonad terbanyak mulai terjadi pada minggu ke-3 hingga ke-5. Minggu ke-8 terjadiperiode pematangan kedua pada perlakuan udang galah betina tanpa ablasi dansuplementasi vitamin E 400 IU (UGT 4) sebanyak 1 ekor (Gambar 3.3). Dosis vitaminE 600 IU memberikan nilai rerata lama waktu matang gonad yang tertinggi pada udanggalah betina tanpa ablasi (UGT 6) yaitu sebanyak 1,25 ekor ± 0,71. Berturut-turutdiikuti perlakuan udang galah suplementasi vitamin E pada pakan dengan dosis 400 IU(UGT 4) sebanyak 1,25 ekor ± 0,71 terendah pada perlakuan udang galah suplementasivitamin E pada pakan dengan dosis 200 IU dan 0 IU (UGT 2 dan UGT 0) yaitusebanyak 1,13 ekor ±0,83). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa lama waktumatang gonad udang galah tanpa ablasi dan diberi suplementasi vitamin E tidakmemberikan pengaruh (P>0,05). Hasil pengamatan Indeks Kematangan Gonad (IKG),merupakan salah satu indikator kematangan reproduksi udang galah betina. PengamatanIKG dilakukan pada saat udang telah mengalami matang gonad dilihat dari warna danvolume gonadnya (Gambar 2). 67
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572Gambar 2. Gonad udang galah (Macrobrachium rosenbergii De Man, 1879) betina perlakuan tanpa ablasi dan suplementasi vitamin E 600 IU.Gambar 3 Jumlah udang galah (Macrobrachium rosenbergii De Man, 1879) matang gonad hasil perlakuan kombinasi ablasi unilateral dan suplementasi vitamin E.Gambar 4. Rerata IKG udang galah (Macrobrachium rosenbergii De Man, 1879) perlakuan kombinasi ablasi unilateral dan suplementasi vitamin E. 68
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572Gambar 5. Rerata fekunditas telur udang galah (Macrobrachium rosenbergii De Man, 1879) perlakuan kombinasi ablasi unilateral dan suplementasi vitamin E.Gambar 6. Rerata kelangsungan hidup larva umur 10 hari udang galah (Macrobrachium rosenbergii De Man, 1879) perlakuan kombinasi ablasi unilateral dan suplementasi vitamin E.3.1 Pembahasan Dosis optimum suplementasi vitamin E 600 IU memberikan hasil yang efektif padareproduksi induk udang galah betina. Hal ini terjadi baik pada perlakuan udang galahbetina tanpa ablasi, ablasi unilateral, ataupun kombinasi keduanya. Hal ini terbukti padahasil penelitian yang dilakukan bahwa perlakuan ablasi unilateral dapat mempercepatwaktu matang gonad udang galah. Pada minggu pertama setelah ablasi sudah ada yangmengalami matang gonad sebanyak 4 ekor, sedangkan pada perlakuan vitamin hanyaada satu ekor yang matang gonad yaitu udang galah tanpa ablasi dan suplementasivitamin E 600 IU (UGT 6). Pada perlakuan ablasi, matang gonad terbanyak terjadi padaminggu ke-2 yakni sebanyak 11 ekor. Sedangkan pada perlakuan suplementasi vitaminE pada pakan, matang gonad terbanyak terjadi pada minggu ke-2 yakni sebanyak 8 ekor(Gambar 3). Waktu matang gonad tercepat pada perlakuan suplementasi vitamin E diperolehpada dosis vitamin E 400 IU dan 600 IU, sedangkan pada perlakuan ablasi unilateraldiperoleh pada dosis 600 IU. Kombinasi yang efektif untuk memcepat lama waktumatang gonad yaitu perlakuan udang galah ablasi unilateral dan suplementasi vitamin E600 IU (UGA 6). Akibat dari waktu matang gonad yang lebih cepat, sehingga terjadi 69
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572periode matang gonad selanjutnya yang lebih singkat. Hal ini terjadi pada perlakuanudang galah ablasi unilateral dan diberi suplementasi vitamin E. Hal ini sesuai laporanOkumura (2007) bahwa ablasi unilateral mempercepat kematangan gonad udang galahyakni mencapai waktu 12 hari. Santos (1998) menyatakan bahwa ablasi unilateralmeningkatkan udang galah matang gonad dan mengurangi waktu antara tiap memijah.Betina dapat memijah 20 hari setelah ablasi dan memijah lagi setelah 30 hari kemudian. Perlakuan suplementasi vitamin E membutuhkan waktu yang lebih lama biladibandingkan dengan perlakuan ablasi unilateral. Pada penelitian ini suplementasivitamin E tidak memberikan pengaruh (P=0,80) pada lama waktu matang gonad udang.Perlakuan kombinasi ablasi unilateral dan suplementasi vitamin E pada pakan juga tidakmemberikan pengaruh (P=0,58). Kemungkinan kurang efektifnya vitamin E adalahdikarenakan cara pemberian yaitu karena vitamin yang disemprot pada pakan leachingke dasar perairan saat pemberian makan, sehingga tidak memberikan pengaruh. Udanggalah melakukan perkawinan setelah pergantian kulit pertama (prematting molt) pascaperlakuan yang diikuti matang gonad. Lama waktu matang gonad menjadi pentinguntuk mempercepat terjadinya proses perkawinan, sehingga efisiensi waktu padakegiatan budidaya dapat tercapai IKG merupakan indikator dari tahapan perkembangan udang. IKG tertinggi padapenelitian ini diperoleh pada perlakuan udang galah ablasi dan suplementasi vitamin E600 IU (UGA 6) yaitu sebesar 10,55 % ± 0,94. Kombinasi antara perlakuan ablasi dansuplementasi vitamin E pada pakan memberikan pengaruh (P=0.046) terhadap IKGudang galah. Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi antara perlakuan ablasi dansuplementasi vitamin E efektif bagi peningkatan IKG udang galah betina. Penelitiansejenis yang dilakukan menunjukkan terjadi peningkatan IKG M. rosenbergii yangdiablasi 7,90 % ±0,10 dan tanpa ablasi 5,03 % ± 0,10 (Murmu et al., 2007). Hal inimenunjukkan adanya efek positif dari ablasi unilateral pada pematangan ovarium. Peningkatan nilai IKG pada udang yang diablasi mengindikasikan terjadinyapeningkatan aktifitas reproduksi yang diakibatkan penghilangan GIH pada organ X ditangkai mata. Hal ini mempercepat perkembangan gonad, dimana pada tangkai matamengandung faktor penghambat gonad yang pasokannya berhenti setelah diablasi,sehingga meningkatkan aktivitas kinerja gonad. Menurut Naoaki et al (2005),vitellogenin meningkat ketika nilai IKG meningkat. Pola naik turun ini dikarenakanadanya proses previtellogenesis, vitellogenesis dan akhir vitellogenesis (Affandi danTang, 2001). Proses vitelogenesis mengindikasikan bahwa akumulasi vitellin dalamoosit bertahap meningkat selama tahapan perkembangan ovarium. PenelitianRevathi et al.,(2012) menunjukkan isi vitellogenin meningkat awal siklus reproduksipada tahap III dan kemudian menurun. Hal ini sesuai dengan nilai IKG yang meningkatseiring tahapan perkembangannya. Beberapa penelitian menunjukkan nilai IKG yang beragam. Pervaiz AhmedPervaiz,et al. (2011) menyatakan terdapat peningkatan indeks ovarium dan diameteroosit pada perkembangan gonad M.dayanum dibandingkan dengan udang kontrol. IKGudang kontrol sebesar 0,91 % ± 0,21 dan yang diablasi 2,856 % ± 1,11. Umaporn et al. 70
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572(2011) melaporkan terjadi peningkatan kematangan gonad selama peride waktu setelahudang diablasi. Suplementasi vitamin E dalam pakan memiliki peran penting dalam pertumbuhan,sintasan dan proses pematangan gonad (Cahu et al., 1991). Cavalli et al. (2001)mendeteksi peningkatan tajam dari vitamin E dalam ovarium M.rosenbergii selamaperkembangan gonad awal dari tahap I hingga III. Umumnya nilai IKG udang yangdiablasi lebih tinggi dari yang tidak diablasi dan suplementasi vitamin E dalam pakanjuga mempengaruhi nilai IKG. Jika membandingkan dengan penelitian Murmu etal.2007, IKG pada penelitian ini memiliki nilai lebih besar, selisih 2,65% ± 0,84. Hal inidapat disebabkan pengaruh suplementasi vitamin E pada pakan, sehingga aktifitasreproduksi semakin optimal. Nilai IKG pada penelitian ini semakin tinggi seiringdengan peningkatan dosis vitamin E yang diberikan. Penghitungan fekunditas penting untuk mengetahui kemampuan reproduksi udang(Nazari et al., 2003). Induksi reproduksi dengan kombinasi ablasi unilateral dansuplementasi vitamin E pada pakan memberikan peningkatan jumlah fekunditas telurudang galah (P=0,47). Perlakuan udang galah tanpa ablasi dan suplementasi vitamin E600 IU (UGT 6) sebanyak 51824 butir ± 1132 memberikan nilai paling baik, namunpada perlakuan kombinasi nilai terbaik pada perlakuan udang galah ablasi unilateral dansuplementasi vitamin E 200 IU (UGA 2) = 45228 butir ± 3867. Jika membandingkandengan standar SNI 01- 6486.1-2000, fekunditas telur (butir/g bobot tubuh) berkisarantara 30.000-75.000, maka fekunditas telur penelitian ini sesuai dengan standar.Terdapat korelasi positif antara berat badan induk udang betina dengan jumlah teluryang dihasilkan (Fulford et al., 2012). Semakin berat udang, jumlah telur yangdihasilkan juga lebih banyak (Abowei dan Deekae, 2010). Hal ini terlihat padaperlakuan udang galah ablasi unilateral dan suplementasi vitamin E 200 IU (UGA 2),terdapat bobot udang yang lebih besar sehingga berpengaruh terhadap fekunditasnyayang semakin besar. Fekunditas udang galah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya ukuraninduk, indeks kematangan gonad dan diameter oosit (Racotta et al., 2003). Fekunditassetiap induk udang berbeda-beda tergantung dari umur, ukuran dan ketersediaanmakanannya. Fekunditas dari seekor induk udang galah dapat diperkirakan berdasarkanberat tubuhnya. Umumnya antara berat tubuh dan jumlah telur adalah 1 berbanding1000 (Hadie dan Supriyatna, 1984). Rao (1991) memperkirakan fekunditasM.rosenbergii berkisar antara 20.000 dan 70.000 telur. Kisaran fekunditas mutlak yangdihasilkan yaitu 180-5800 telur (Abowei dan Deekae, 2010). Penelitian Jufri et al., 1993bahwa suplementasi vitamin E sebesar 1% pada udang windu memberikan pemijahan,jumlah telur, dan daya tetas telur yang lebih baik daripada 0,1% dan 0,5%. Lawrence (1992) melaporkan bahwa ablasi mengakibatkan fekunditas berkurangdan penetasan yang lebih rendah dari waktu ke waktu. Ablasi pada Penaeus schmittimenyebabkan penurunan fekunditas. Jika menghubungkan dengan beberapa penelitianyang menyatakan bahwa fekunditas udang yang diablasi tidak berpengaruh secarasignifikan, hal tersebut tidak terjadi pada penelitian ini. Penggunaan suplementasi 71
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572vitamin E pada pakan memberikan kontribusi bagi peningkatan reproduksi udang galahyang diablasi. Sejalan dengan pernyataan Izquierdo et al.(2001) bahwa konsentrasivitamin E yang tinggi diperkirakan dapat mengurangi persentase telur abnormal danmeningkatkan fekunditas telur. Diduga dengan semakin tinggi vitamin E dalam pakansemakin banyak telur yang berhasil dipertahankan dari kerusakan proses oksidasi(Halver 1989). Perbedaan hasil yang terjadi ini dapat dikarenakan pula penggunaanukuran, umur serta lokasi sumber induk yang berbeda. Pasca perlakuan, larva yang baru menetas kemudian dipelihara. Larva yang barumenetas masih memiliki cadangan makanan didalam tubuhnya berupa kuning telur yangakan habis pada waktu larva itu berumur 2 hari. Menurut Lavens et al., (2002) larvayang baru menetas mulai makan zooplankton 1 hari setelah menetas. Pada penelitian inilarva diberi pakan Artemia. Artemia memiki ukuran yang sesuai dengan bukan mulutlarva udang galah dan memiliki nutrisi yang tinggi. Dosis optimal suplementasi vitamin E sebesar 600 IU meningkatkan kelangsunganhidup larva umur 10 hari pada udang galah betina tanpa ablasi dan udang galah yangdiablasi unilateral. Kombinasi yang efektif untuk meningkatkan kelangsungan hiduplarva diperoleh pada perlakuan udang galah ablasi unilateral dan suplementasi vitamin E600 IU (UGA 6) sebesar 47,95 % ± 11,93. Menurut DKP (2009) kelangsungan hiduplarva hingga juvenil muda di atas 25%. Kelangsungan hidup terendah terjadi padaperlakuan udang galah ablasi unilateral tanpa suplementasi vitamin E (UGT 0) yaitusebesar 12,06 % ± 20,88. Faktor yang menjadi penyebab rendahnya kelangsungan hidupdapat dikarenakan kualitas air serta tempat pemeliharaan yang tidak sesuai. Bakpemeliharaan larva yang baik adalah bak fiber atau bak semen (DKP, 2009), sedangkanpada penelitian tempat pemeliharaan yang digunakan adalah baskom plastik. Hasil penelitian Cavalli et al., (2003) menunjukkan bahwa toleransi larva yangbaru menetas cenderung meningkat dengan meningkatnya tingkat vitamin C dan E.Konsentrasi vitamin E yang tidak cukup dapat mengurangi jumlah pemijahan,keberhasilan penetasan telur dan kelangsungan hidup larva (Watanabe, 1988). Hal initerbukti dengan hasil penelitian, perlakuan suplementasi vitamin E pada pakanmenunjukkan nilai kelangsungan hidup yang lebih besar dibandingkan dengan tanpasuplementasi vitamin E. Selaras dengan pernyataan Vismara et al.(2003) dalamOgbonna (2009), suplementasi vitamin E pada pakan dapat mengakibatkankelangsungan hidup pada udang. Pakan artemia yang diberikan diduga berlebih, sehingga menyebabkan kualitas airtidak begitu baik. Ling (1969) menyatakan bahwa perubahan stadia pada larva udanggalah dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kualitas dan kuantitas makanannya.Kualitas air, penyakit, ukuran atau komposisi pakan larva menjadi hal yang perludiperhatikan pada tahapan pemeliharaan larva udang galah (New, 2002). Kelebihanpakan dapat menyebabkan buruknya kualitas air, sedangkan kekurangan pakan dapatmenyebabkan kurangnya asupan makanan pada larva, pertumbuhan yang lambat,kanibalisme dan akhirnya menyebabkan tingkat kelangsungan hidup yang rendah. 72
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572Menurut Uno dan Soo, 1969 pertumbuhan larva udang galah dipengaruhi olehtemperatur, media, jenis pakan, intensitas cahaya, dan kualitas air. Perkembangan seksual pada kematangan udang galah melibatkan proses fisiologismolting, pertumbuhan somatik dan perkembangan ovarium (Abowei dan Deekae 2010).Pertumbuhan dan frekuensi molting menjadi parameter pendukung yang dapat dikaitkanpada penelitian ini. Hasil pengamatan frekuensi molting pada udang galah yang diablasimenunjukkan bahwa perlakuan udang galah ablasi tanpa suplementasi vitamin E (UGA0) ternyata mampu merangsang kuantitas ganti kulit dengan frekuensi molting tertinggisebesar 2,00 kali ± 0,53. Hal ini juga dibuktikan dengan pertumbuhannya yangmenempati posisi tertinggi yaitu 2,45 g ± 1,52. Sehingga bila dihubungkan denganpenelitian penelitian sebelumnya, penelitian ini membuktikan terdapat keterkaitanantara frekuensi molting dan pertumbuhan udang galah. Pertumbuhan udang akan terjadi setelah terjadinya pergantian kulit (Hadie et al,2001). Ablasi unilateral dapat digunakan untuk mendorong pertumbuhan yang cepat danpemijahan dalam spesies udang air tawar tertentu (Varalakshmi dan Reddy, 2010).Chakravarty (1992) melaporkan bahwa ablasi tangkai mata dapat merangsang moltingdan mempercepat pertumbuhan udang galah jantan. Frekuensi molting juga tidak selaluberbanding lurus dengan laju pertumbuhan (Chen dan Chen, 2002). Pertumbuhan terkaitdengan faktor luar dan dari dalam tubuh. Faktor luar diantaranya makanan danlingkungan perairan meliputi temperatur, salinitas dan pH (Vijayan dan Diwan, 1995).Faktor dalam yakni kontrol hormon, dimana siklus molting pada udang berada dibawahkontrol hormon yang terdapat di mata. Parameter lain yang mendukung penelitian ini adalah pengukuran kualitas air.Selama pemeliharaan pada kolam induk berada pada kisaran sesuai dengan standar.Kualitas air pada pemeliharaan larva juga perlu diperhatikan. Menurut FAO (2003)kualitas air mempunyai dampak yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan danpenampilan larva. Rendahnya kualitas air pada media pemeliharaan dapatmengakibatkan pada rendahnya tingkat pertumbuhan, kelulushidupan, telatnya moltingatau perubahan stadia, peningkatan bakteri epibion dan deformity. Kualitas air saatpemeliharaan larva diukur diawal pemeliharaan. Hal ini dapat menjadi salah satupenyebab rendahnya tingkat kelangsungan hidup larva, dikarenakan kualitas air yangtidak terkontrol. Namun kualitas air larva yang diukur saat awal pemeliharaan telahmemenuhi standar yang ditetapkan. Temperatur pada saat pemeliharaan larva udanggalah berkisar antara 30-310C dan salinitas 12 ppt. Hal ini sesuai standar bahwa salinitasyang pada fase larva yakni 8-15 ppt (Ling, 1969). Menurut DKP (2009) salinitas yangbaik untuk pemeliharaan adalah 12 ppt. Informasi hasil penelitian ini menitikberatkan pada aspek induksi reproduksiMacrobrachium rosenbergii betina dengan kombinasi ablasi unilateral dansuplementasi vitamin E. Hal ini dapat dijadikan acuan sebagai salah satu upaya untukmemperkirakan potensi reproduksi induk udang yang dapat membantu dalam strategipengelolaan budidaya udang galah. 73
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572IV. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan dosis optimumsuplementasi vitamin E pada pakan sebesar 600 IU efektif untuk lama waktu matanggonad, IKG, fekunditas telur dan derajat kelangsungan hidup larva udang galah betina.Dosis optimum suplementasi vitamin E sebesar 600 IU efektif untuk lama waktumatang gonad, IKG, dan kelangsungan hidup larva pada udang galah betina yangdiablasi unilateral. Suplementasi vitamin E sebesar 200 IU pada udang galah betinayang diablasi unilateral sudah menunjukkan fekunditas telur terbaik. Induksi reproduksiudang galah betina dengan kombinasi ablasi unilateral dan suplementasi vitamin E padapakan sebesar 600 IU efektif meningkatkan reproduksi udang galah.Daftar PustakaAbowei, Deekae SN. 2010. The fecundity of Macrobrachium macrobrachion from Luubara Creek Ogoni Land, Niger Delta, Nigeria. International Journal of Animal and Veterinary Advances. 4: 148-154.Ali F. 2001. Potensi dan peluang pengembangan udang galah di Indonesia. Prosiding: Workshop Hasil Penelitian Budi Daya Udang Galah Jakarta, 26 Juli 2001. Hal 14-17.Bindu PR, Sahu L, Mohanty S, Vijaykhumar S. 2010. Effect of unilateral eyestalk ablation on ovarian maturation and occurrence of berried females in Macrobrachium rosenbergii (de Man). Indian J. Fish. 57(4): 77-80.Cahu C, Fakhfakh M, Quazuguel P. 1991. Effect of Dietary a-tocopherol level on Reproduction of Penaeus indicus. In: P. Lavens, P. Sorgeloos, E. Jaspers & F. Ollevier, editors. Larvi '91: Fish & Crustasean Larviculture Symposium. European Aquaculture Society. 15: 242-244.Cavalli RO, Tamtin M, Lavens P, Sorgeloos P, Nelis HJ, De Leenheer AP. 2001. The contents of ascorbic acid and tocopherol in the tissues and eggs of wild Macrobrachium rosenbergii during maturation. Journal of Shellfish Research. 20: 939-943.Chakravarthy MS. 1992. Effect of eyestalk ablation on moulting and growth in prawn Macrobrachium rosenbergii. Indian J.Mar.Sci. 21: 287-289.Chang. 1991. Crustasean Molting Hormones: Cellular effects, Role in Reproduction and Regulation by Molt Inhibiting Hormone. Frontiers of shrimp research. Edited by: DeLoach, P. F, Dougherty, W.J, Davidson, M.A. Elsevier, New York.Chen SM, Chen JC. 2002. Effect of pH on survival, growth, molting, and feeding of giant freshwater prawns Macrobrachium rosenbergii. Aquaculture. 218: 613- 622.DKP (Dinas Kelautan Perikanan). 2009. Standar Prosedur Operasional Pembenihan Udang Galah. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi. Sub Unit Pembenihan Udang Galah,Sukabumi..FAO. 2003. Farming frshwater prawns: A Manual for the Culture of the Giant River Prawn (Macrobrachium rosenbergii). Food And Agriculture Organization of The United Nations, Rome.Fulford. 2012. Fecundity and egg diameter of primiporous and multiporous blue crab callinecks sapidus (Brachyura: Portunidae) in Mississipi waters. Journal of Crustacean Biology. 32(1): 50-56. 74
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572Hadie LE, Wartono H, Yayan H, Bambang G, Wakhid A. 2001. Prospek dan Peluang Usaha Budidaya Udang Galah. Prosiding: Workshop Hasil Penelitian Budi Daya Udang Galah Jakarta, 26 Juli 2001. Hal 41-44.Hadie W dan Hadie LW 1984. Pengaruh pemotongan tangkai mata (ablasi) terhadap pertumbuhan juvenil udang galah (Macrobrachium rosenbergii). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 1(1): 37-43.Halver JE. 1989. Fish Nutrition. Academic Press Inc, London.Izquierdo MS, Fernandes-Palacios H, Talcon AGJ. 2001. Effect of broodstock nutrition on reproductive peformance of fish. Journal of Aquaculture. 197: 254.Kovatcheva N, Kryhova N, Borisov R. 2009. Feeding Strategies For Early Life Stages of Red King Crab (Paralithodes camtschaticus) and Giant Freshwater Prawn (Macrobrachium Rosenbergii) Under Artificial Conditions. Larvi 2009, 5TH Fish & Shellfish Larviculture Symposium Ghent University, Belgium.Lawrence. 1992. Reproduction of Penaeus Species in Captivuty. In:Marine Shrimp Culture:Principles and Practices, pp 93-170. Elsevier, Amsterdam.Lavens P, Thongrad S, Sorgeloos P. 2002. Larval Prawn Feeds and the Dietary Importance of Artemia. Blackwell Science Company, London.Ling SW. 1969. The General Biology and Development of Macrobrachium rosenbergii (De Man). FAO Fish. Rep. (57)3: 589-606.Jufri, Marzuqi M, Giri NA, Kuma C. 1993. Pengaruh suplementasi vitamin E terhadap perkembangan gonad udang windu, Penaeus monodon asal tambak. J. Pen. Budidaya Pantai. 9(2): 117-126.Murmu K, Sahu NP, Mallik SK, Reddy AK, Kohli MPS. 2007. Rematuration of spent Macrobrachium rosenbergii (de Man) female broodstock through dietary manipulation and eyestalk ablation. Israeli J. Aquacult. Bamidgeh. 59(2): 104- 110.Naoaki T, Kim YK, Jasmani S, Ohira T, Aida K, Wilder MN. 2005. The dynamics of vitellogenin gene expression differs between intact and eyestalk ablated kuruma prawn (Penaeus Marsupenaeus japonicus). Journal of Fisheries Science. 71: 249-256.Nazari EM, Simes-Costa, Muller MS, Ammar D, Dias, M. 2003. Comparisons of fecundity, egg size, and mass volume of the freshwater prawns Macrobrachium potiuna and Macrobrachium olfersi (Decapoda, Palaemonidae). Journal of Crustacean Biology. 23: 862-868.New MB. 2002. Farming Freshwater Prawns: A Manual for Culture of The Giant River Prawn (Macrobrachium rosenbergii). Food and Agriculture Organization of The United Nations, Roma.Nurdjana ML. 1986. Pengaruh Ablasi Mata Unilateral terhadap Perkembangan Telur dan Embrio Serta Kualitas Larva Udang Windu . Disertasi. Fakultas Pasca Sarjana Biologi, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.Okumura T. 2007. Effects of Bilateral and Unilateral Eyestalk Ablation on Vitellogenin Synthesis in Immature Female Kuruma Prawns, Marsupenaeus japonicus. Zoological Science. 233-240.Pervaiz AP, Jhon SM, Sikdar-Bar M, Khan HA, Wani AA. 2011. Studies on the effect of unilateral eyestalk ablation in maturation of gonads of a freshwater prawn Macrobrachium dayanum. World Journal of Zoology. 6 (2): 159-163.Racotta IS, Palacios E, Ibarra AM. 2003. Shrimp larval quality relation to broodstock condition. Aquaculture. 227: 107-130. 75
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572Rao 1991. Reproductibe Biology of the Giant Freshwater Prawn Macrobrachium rosenbergii from Lake Koleru (Andhara Pradesh). Indian Journal of Animal Science. 61: 780-787.Revathi P, Iyapparaj P, Munuswamy N, Krishnan M. 2012. Vitellogenesis during the ovarian development in freshwater female prawn Macrobrachium rosenbergii (De Man). International Journal of Aquatic Science. 3(2): 1-15.Santos. 1998. Influencia da Ablacao Ocular no Camarao Macrobrachium rosenbergii, Sobre a Repraducao Epigmentacao Epidermica. Monografia de Gradaucao. Universidade Estadual Pauista. Jaboticabal.Siahainenia L, Bengen DG, Affandi R, Wresdiyati T, Supriatna I. 2008. Studi Aspek Reproduksi Kepiting Bakau Melalui Percobaan Pembenihan dengan Perlakuan Ablasi Tangkai Mata. Journal of Ichtyos. 7(1): 55-63.Subyakto S, Sakti I. 2012. Revitalisasi Tambak, KKP Pacu Produksi Udang. No.B.72/PDSI/HM.310/V/2012 Siaran Pers, Pusat Data Statistik dan Informasi-KKP.Suwoyo D, Anindiastuti M, Soleh M, Gunarso A. 2001. Peningkatan produktivitas induk udang windu (Penaeus monodon Fab) dengan menggunakan bubuk paprika. Media Budidaya Air Payau Perekayasaan. 7: 1-11.Tridjoko, Ismi S, Wardoyo, Suwirya K. 2001. Perbaikan mutu telur dengan suplemen vitamin E pada pakan induk ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis). Prosiding Seminar Riptek Kelautan Nasional. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali.Uno Y, Soo Kl. 1969. Larval development of M. Rosenbergii (de Man) in the laboratory. Journal of Tokyo University of Fisheries. 55(2): 179.Utomo N, Nurjanah, Setiawati M. 2006. Pengaruh pemberian pakan dengan konsentrasi vitamin E berbeda dan asam lemak N-3/N-6 1:2 terhadap penampilan reproduksi ikan zebra betina Brachydanio Rerio pra salin. Jurnal Akuakultur Indonesia. 5(1): 31-39.Varalakshmi KN, Reddy R. 2010. Effects of eyestalk ablations on growth and ovarian maturation of the freshwater prawn Macrobrachium lanchesteri (de Man). Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences. 10: 403-410.Venkitraman PR. 2010. Effect of eyestalk ablation on moulting and growth in penaeid prawns Metapenaeus monoceros. Indian J. Fish. 57(2): 25-32.Vijayan KK, Diwan AD. 1995. Influence of temperature, salinity, pH and light on molting and growth in the Indian white prawn Penaeus indicus under laboratory conditions. Journal Asian Fisheries Science. 8: 63-72.Watanabe T, Itoh C, Satoh S, Kitajima S, Fujita S. 1985. Effect of dietary protein levels and feeding period before spawning on chemical components of eggs Produced by red sea bream broodstock. Journal of Nippon Suisan Gakkaishi. 51: 1501- 1509.Yuwono E. 2005.Kebutuhan nutrisi crustasea dan potensi cacing lur (Nereis, Polychaeta) untuk akan udang. Jurnal Pembangunan Pedesaan. (1): 42-49. 76
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572 FERTILISASI DAN DAYA TETAS TELUR IKAN TAWES(Puntius javanicus) DARI SPERMA PASCA PENYIMPANAN PADA TEMPERATUR 4oC FERTILIZATION AND HATCHING RATE OF TAWES FISH EGGS(Puntius javanicus) AFTER CRYOPRESERVATION IN TEMPERATURE 4oC Nuri Lismawati1, Afrizal Hendri2, Mahendra21Mahasiswa Program Studi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Teuku Umar, Aceh Barat 2Program Studi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Teuku Umar, Aceh Barat Korespondensi : [email protected] Abstract This research aims to know the level of fertilization and hatching rate of tawesfish eggs (Puntius javanicus) after cryopreservation sperm in temperature 4oC. Thisresearch has been carried out in the mini laboratory (Meunasah Krueng Village ofBeutong Subdistrict Nagan Raya Regency) on 19-20 August 2015. This research is bothexperimental, using a complete Randomized Design with 5 treatments and 3 replicates.Sperm that is used is the result of storage with the dilution of physiological NaCl andgreen coconuts water including P1 0% NaCl only, P2 3%, P3 5%, P4 7% and P5 9%. Theresults showed that the addition of green coconut water on sperm storage provides a realeffect against fertilization and hatching rate of tawes fish eggs (p < 0.05). The highestlevels of fertilization found in the treatment of P4 (64.3%, 0.7 mL of diluent in greencoconut water + physiological NaCl solution), while the lowest fertilization found on P1registration (25%, physiological NaCl solution). For the level of hatching rate, thehighest value is found in the treatment of P4 (61.7%), and the lowest is present on the P1registration (14.3%).Keywords: Fertilization, Hatching rate, Physiological NaCl, Puntius javanicusI. Pendahuluan Ikan tawes merupakan salah satu ikan konsumsi yang hidup diperairan tawar.Dalam perkembangannya ikan ini mulai banyak dibudidayakan oleh masyarakat.Budidaya ikan sangat dipengaruhi oleh teknologi pembenihan, terutama dalampengadaan benih ikan. Sering kali timbul masalah dalam pengadaan benih yaitudikarenakan masa pematangan gamet induk ikan jantan dan betina terkadang tidakterjadi secara bersamaan. Salah satu alternatif pemecahan masalah tersebut yaitumelalui penerapan bioteknologi reproduksi berupa penyimpan sperma (Murtidjo, 2001). Pada proses fertilisasi, kualitas sperma ikan sangat menentukan sukses atautidaknya fertilisasi tersebut. Pada beberapa kasus pembenihan ikan secara buatan, seringterjadi tenggang waktu antara ketersediaan sperma dengan keberadaan sel telur(kematangan gonad ikan jantan dan ikan betina yang tidak sinkron) atau ada perbedaanjarak antara keberadaan sperma dengan keberadaan telur sehingga untuk mengatasinyasperma perlu dilakukan penyimpanan sperma/bank sperma (Hidayaturrahmah, 2007). 77
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572 Fertilisasi merupakan proses penyatuan antara sel telur dengan sel spermatozoauntuk membentuk zigot. Fertilisasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu fertilisasi internaldan eksternal. Fertilisasi yang umumnya terjadi pada ikan merupakan jenis fertilisasieksternal, dikarenakan terjadi di luar tubuh induk (Fujaya 2002). Keberhasilan prosesfertilisasi dipengaruhi oleh kemampuan sperma untuk membuahi sel telur. Sperma yangtidak disimpan (fresh sperm), memiliki kemampuan fertilisasi yang lebih tinggidibandingkan sperma hasil penyimpanan. Hal tersebut dikarenakan teknik penyimpananmenyebabkan terjadinya penurunan kualitas sperma, seperti terjadinya perubahan dalammotilitas dan durasi pergerakan (Akcay et al. 2004). Penelitian mengenai fertilisasispermatozoa pasca penyimpananan telah banyak dilakukan. Sultana et al. (2010),hasilnya menunjukkan penurunan tingkat fertilisasi akibat proses penyimpanan, yaitudari 88% menjadi hanya 32-37%. Penelitian Horvath et al. (2003) juga menunjukkanterjadinya penurunan kemampuan fertilisasi ikan mas pasca penyimpanan daripersentase 84% (kontrol) menjadi hanya sekitar 71-74%. Oleh karena itu, perludilakukan penelitian untuk mengetahui tingkat fertilitasi spermatozoa ikan tawes pascapenyimpanan. Menurut Isnaini (2000) dalam Sandy (2005), menyatakan bahwa larutan NaClfisiologis sering digunakan sebagai bahan pengencer sperma yang memberikan sifatbuffer dan mampu mempertahakan pH sperma ikan dalam suhu freezer. Selain ituNaCl fisiologis dapat memperpanjang umur sperma kerena bersifat isotonis dengancairan sel. Penyimpanan sperma dalam larutan pengencer NaCl fisiologis sebaiknyadigunakan tidak lebih dari 60 menit setelah penampungan.Salah satu cara untukmemperpanjang waktu simpan sperma yaitu diperlukan subsitusi bahan pengencer lainyang mengandung protein atau bahan-bahan yang dapat mempertahankan motilitasspermatozoa. Perkembangan telur ikan di awali dengan pembuahan sel telur oleh spermatozoa.Menurut Heryadi et al. (1995), proses penetasan telur terjadi mulai dari telur dibuahihingga telur menetas. Perkembangan telur pada umumnya dimulai dari 1 sel hinggabeberapa sel sampai ketahap pra blastula- blastula-grastula- neurola- embrio-penetasan. Telur yang dibuahi akan mati dan akan berubah morfologinya menjadibewarna putih dan keruh (Sumantadinata, 1981). Menurut Sinjal (2014) untukmenentukan tingkat penetasan telur data yang diperlukan adalah banyaknya telur yangmenetas pada masing-masing perlakuan, Hacthing rate adalah jumlah total telur yangmenetas, dari total telur yang ditebar. Lama penetasan telur bergantung dari temperaturair dan kandungan oksigen disekelilingnya (Minjoyo, 1993). Penggunaan air kelapamuda sebagai pengencer dalam penyimpanan spermatozoa ikan tawes belum pernahdilakukan, hal ini penulis perlu mengetahui untuk mendapatkan pengencer spermatozoayang mengandung fruktosa sehingga selain dapat meningkatkan motilitas dan lamahidup juga dapat meningkatkan proses fertilisasi dan daya tetas telur 78
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572II. Metode Penelitian2.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 19 – 20 Agustus tahun 2015,bertempat di UPR Meunasah Krueng Kecamatan Beutong Kabupaten Nagan Raya.2.2. Alat dan BahanAlat yang digunakan dalam penelitian ditunjukkan pada Tabel 1 berikut :Tabel 1. Alat-alat yang digunakan dalam penelitianAlat FungsiSuntik/syringe, 1 cc Menginjeksi larutan/hormon kedalam tubuh ikanToples Wadah penetasan hasil perlakuanMangkok Untuk penampungan sperma dan telurPipet tetes, 1 cc Untuk mengambil sampel perlakuanMikroskop biologi Untuk mengamati objek penelitianDO meter Untuk mengukur oksigen yang terlarut dalam airpH Universal Untuk mengukur tingkat keasamanSiphon akuarium Membersih kotoran didasar wadahThermometer Untuk mengukur suhuAerasi Untuk Instalasi udara/oksigenHiblow, 80 hp Untuk Sumber oksigenKamera Media dokumentasiAlat tulis Untuk mencatat data selama penelitianSendok teh Untuk mengambil telur dari mangkokTabel 2. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian :Bahan FungsiInduk tawes betina, 250 g Objek dasar dalam penelitianInduk tawes jantan, 250 g Objek dasar dalam penelitianNaCl fisiologis Pengencer semenAir kelapa muda Pengencer semenBulu ayam Membantu dalam pengadukan, fertilisasiTissu Membersihkan darah atau kotoranCleo mineral water Membantu dalam pengenceran sperma dengan telurOvaprin, syndel Untuk meransang pengeluaran gonad induk jantan dan betina2.3. Tahapa-Tahapan Penelitian1. Seleksi Induk Induk yang akan digunakan untuk penelitian ini adalah induk ikan tawes yangsudah matang gonad yang bertujuan untuk mendapat sperma/telur yang berkualitas,didapatkan dari kolam pembudidaya ikan di Kabupaten Nagan Raya.2.Penyuntikan Induk Induk yang telah diseleksi, selanjutnya dilakukan penyuntikan dengan dosis 0.1mL/kg induk dengan ovaprim, induk dimasukkan kedalam bak. 79
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-55723. Striping Setelah 12 jam pasca penyuntikan, ikan tawes dilakukan pengambilan/koleksisemen dengan striping pada bagian bagian perut di urut ke arah urogenital, semenditampung menggunakan spuit/syringe 2 cc.a. Persiapan Pengencer NaCl Fisiologis dan Air Kelapa Muda Penelitian ini menggunakan pengencer air kelapa muda dengan NaCl sebanyak 5kosentrasi dan 1 kosentrasi hanya menggunakan NaCl tanpa campuran air kelapamuda, 4 kosentrasi menggunakan NaCl campuran air kelapa muda yaitu pengencer airkelapa muda dengan kosentrasi 3%, 5%,7%, dan 9% serta 0% hanya NaCl saja(Mariani, 2015). Pengenceran tiap konsentrasi dalam penelitian sebanyax 10 mlgunanya untuk mempermudah penekaran jumlah persentase air kelapa muda dan NaClfisiologis, adapun konsentrasi tersebut diperoleh melalui penentuan berikut:Air kelapa muda(konsentraSperma (1): pengencer (9) =0,3 ml0,2 ml : 1,8 ml 1. Air kelapa muda 3% =2. Air kelapa muda 5% = =0,5 ml3. Air kelapa muda 7% = =0,7 ml4. Air kelapa muda 9% = =0,9 mlb. Pencampuran Sperma dengan PengencerNaCl Fisiologis, Air Kelapa Muda Sperma yang telah diperoleh dimasukan kedalam tabung reaksi, kemudianditambahkan pengencer( Air kelapa muda dan NaCl fisologis ) dari tiap perlakuanpengencer yang telah dibuat sebelumnya. Adapun kosentrasi pengencer Air kelapamuda dan NaCl yaitu (3%, 5%, 7% dan 9%). Sebagai kontrol adalah sperma ikan taweshanya menggunakan NaCl.4. Penyimpanan dan Fertilisasi Penyimpanan spermatozoa membutuhkan bahan pengencer yang berfungsi untukmengurangi aktivitas spermatozoa sehingga menghambat pemakaian energi dan dapatmemperpanjang hidup spermatozoa (Sunarma et al., 2007). Sperma ikan tawes yangsudah dicampurkan dengan jenis larutan pengencer air kelapa muda dan Nacl fisiologiskemudian disimpan didalam lemari pendingin/kulkas pada temperatur 40C selama 3hari. Telur dikoleksi setelah 12 jam penyuntikan, telur ditampung pada wadahmangkok kecil, jumlah telur yang di uji pada masing-masing percobaan adalah 100butir. Sedangkan pengamatan angka fertilisasi dilakukan setelah 10 jam. 80
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-55722.4. Parameter Uji1. Persentase Pembuahan Fertilization rate (FR) telur dihitung dengan cara membandingkan telur yangdibuahi dengan jumlah yang diinkubasi. Formulasinya merujuk pada Hui et al (2012) : FR %2. Persentase Penetasan Hatching rate (HR) merupakan kegiatan merawat telur yang telah terbuahi hinggatelur tersebut menetas. Telur yang dibuahi berkembang menjadi embrio dan akanmenetas menjadi larva sedangkan telur yang tidak terbuahi akan mati. HR telur ikantawes dihitung dengan cara menghitung larva satu persatu, kemudian dinyatakan dalampersen. Formulasinya merujuk pada Hui et al, (2012) : HR %2.5. Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat eksperimental, sedangkan rancangan yang digunakan yaiturancangan acak lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan masing-masing perlakuanada tiga kali ulangan, perlakuan dalam penelitian ini yaitu: P1= Larutan NaCl fisiologis P2= 0,3 ml air kelapa muda dalam pengencer larutan NaCl fisiologis P3=0,5 ml air kelapa muda dalam pengencer larutan NaCl fisiologis P4=0,7 mlair kelapa muda dalam Pengencer larutan NaCl fisiologis P5=0,9 ml air kelapa muda dalam pengencer larutan NaCl fisiologis Penggunaanbahan-bahan diatas mengacu penelitian Mariani (2015 ).2.6. Analisis Data Data dianalisis secara statistik dengan menggunakan analisis ragam (ANOVA)sesuai dengan rancangan yang digunakan yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL) danuntuk mendapatkan perlakuan terbaik dilakukan uji jarak berganda Duncan tarafsignifikansi 5%.III. Hasil dan Pembahasan3.1. Fertilisasi dan Daya Tetas Telur Ikan TawesHasil penelitian yang telah dilaksanakan diperoleh data fertilisasi dan daya tetastelur ikan tawes seperti Tabel dan gambar dibawah ini :Tabel 3. Rataan fertilisasi dan daya tetas telur ikan tawes selama percobaan (sperma pasca penyimpanan)Parameter uji Perlakuan P1 P2 P3 P4 P5Fertilisasi, F (%) ± Stdev 25±4c 34,7±4c 42,7±1b 64,3±4a 51,7±4bDaya Tetas, HR (%) ± Stdev 14,3±4c 25±3c 32,3±2c 61,7±3a 38,3±1c 81
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572Ket : standar deviasi (simpangan baku): mengambarkan seberapa besar perbedaan nilai sampel terhadaprata-ratanya. Semakin besar nilai standar deviasi maka data sampel semakin menyebar (bervariasi) darirata-ratanya. Sebaliknya jika semakin kecil maka data sampel semakin homogen (hampir sama). Hasil fertilisasi dan daya tetas telur ikan tawes yang tertera di Tabel 3menunjukkan bahwa terdapat pengaruh nyata dari sperma yang diencerkan dengan NaClfisiologis dan air kelapa muda yang telah disimpan pada suhu 4oC (p<0.05). Hasilpercobaan menunjukkan fertilisasi yang terbaik terdapat pada P4 dengan (0,7 %) airkelapa muda dalam pengencer NaCl fisiologis dengan nilai rata – rata 64,3 %. Fertilisasi dapat didukung oleh kualitas spermatozoa yang baik. Kualitas sperma(konsentrasi spermatozoa, motilitas spermatozoa dan komposisi cairan plasma semen)akan berpengaruh terhadap fertilisasi spermatozoa. Tingkat fertilisasi nampaknyamengikuti apa yang terjadi pada tingkat kualitas sperma, jika motilitas yang meningkatmemberikan fertilisasi yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Adipu et al (2011),bahwa dengan adanya penambahan larutan NaCl dan air kelapa muda pada pengenceransperma, maka lama waktu aktivitas sperma menjadi panjang sehingga spermamemperoleh banyak waktu untuk menemukan dan membuahi sel telur . Adanyapeningkatan waktu tersebut dapat memperpanjang daya tahan hidup dan keaktifan gerakspermatozoa (Hidayahturahmah, 2007). Pada kondisi pergerakan sperma aktif danlincah sperma mempunyai kemampuan dan 1,38 energi untuk menembus lubangmikrofil telur (Adipu et al , 2011). Nurman (1998) menyatakan pembuahan adalahproses terjadinya pertemuan antara spermatozoa dengan sel telur. Proses pembuahan pada sel telur sangat dipengaruhi oleh kualitas telur, kualitassperma dan kecepatan sperma untuk bergerak spontan sehingga mampu masuk kedalamlubang mikrofil pada sel telur. Selain itu, Rizal dan Efizal (1997) menambahkantingginya tingkat pembuahan dikarenakan tingkat pergerakan spermatozoa yangsemakian aktif. Pada perlakuan P1( kontrol) tanpa konsentrasi air kelapa muda hanyaNaCl saja mengalami fertilasasi terendah dengan nilai rata-rata sebesar (25%)dibandingkan perlakuan P4 sebanyak 64,3, P2 sebanyak 36,6%, P3 sebanyak 42,6% danP5 sebanyak 51,6%. Diduga dengan NaCl saja tidak memberikan sumber 138 energiyang cukup untuk proses fertilisasi. Sesuai dengan pendapat Ardias (2008) yang menyatakan bahwa keberhasilanfertilisasi sangat bergantung pada kualitas dan kuantitas sperma, kemudian Iromo etal.(2007) juga menjelaskan bahwa tingginya fertilisasi berhubungan dengan komposisipengencer yang mampu memberikan sumber energi dan perlindungan pada spermaselama disimpan pada suhu rendah. Selanjutnya Adipu et al. (2011) menyebutkanmotilitas yang semakin menurun mengakibatkan daya fertilisasi sel telur menjadi lemah.Hal ini ditunjukkan pada data pengamatan motilitas, dimana semakin lama spermadisimpan ketersediaan nutrisi sebagai sumber energi pada pengencer akan berkurangsehingga motilitas mengalami penurunan. Menurut Oyen et al ( 1991) dalam Syandri (1993), faktor internal yangberpengaruh terhadap daya tetas telur adalah perkembangan embrio yang terhambatkarena kualitas spermatozoa dan telur kurang baik. Sedangkan faktor eksternal yang 82
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572berpengaruh terhadap penetasan telur adalah lingkungan yang didalamnya terdapattemperatur air, oksigen terlarut, pH , dan amoniak. Hal ini didukung oleh pernyataanMasrizal dan Efrizal (1997) bahwa daya tetas telur ikan tawes selalu di tentukan olehpembuahan sperma, kecuali bila ada faktor lingkungan yang mempengaruhi.Selanjutnya dikemukakan bahwa, faktor internal yang akan mempengaruhi tingkatpenetasan telur ikan tawes adalah perkembangan embrio yang terlambat akibat spermayang kurang motil.Hasil yang didapatkan pada perlakuan P4 bisa dilihat dari baiknya tinggkatmotilitas (82,33 %). Hasil penelitian menunjukkan P4 dengan kosentrasi air kelapamuda 7% dalam pengenceran NaCl fisiologis spermatozoa dapat mengoptimalkanmotilitas, viabilitas dan mortalitas selama penyimpanan 3 hari, diduga bahwa Air kelapamuda dapat mempertahankan Mortalitas dan viabilitas sperma disebabkan kandunganAir kelapa muda yang mampu menutrisi spermatozoa sehingga sperma masih dapatbertahan selama penyimpanan, (Mariani,2015).Chew dan Zulkafli (2010) melaporkan bahwa hasil percobaan terhadap beberapaspesies ikan dengan nilai fertilisasi tertinggi 20-55 % pada ikan Lele dumbo denganteknik penyimpanan sperma, sedangkan pada penetasan mendapatkan nilai tertinggi 20-53 % pada ikan Semah Malaysia.Tabel 4. Fertilisasi dan penetasan pada beberapa spesies ikanSpesies Fertilisasi (%) Penetasan (%)Bard Jawa 12-100 5-75Lele Dumbo 21-37 19-32Isok Duri 1.2-10 0.8-4.6Semah Malaysia 20-55 20-53Ket: Extender (DMSO, ethanol, glyserol dan methanol)3.2. Kualitas Spermatozoa Pasca Penyimpanan Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan diperoleh data kualitasspermatozoa ikan tawes pasca pemberian konsentrasi air kelapa muda dalam NaClfisiologis, dengan lama penyimpanan selama 3 hari pada suhu 40C. Didapatkan hasilmotilitas tertinggi pada perlakuan P4 sebesar (82,33 %). Dengan demikian dapatdisimpulkan bahwa spermatoza pasca penyimpanan tersebut masih mampu bertahanhidup dan bisa dilanjutkan ketahap fertilisasi.IV. Kesimpulan1. Sperma pasca penyimpanan memberikan pengaruh nyata terhadap angka fertilisasi dan daya tetas telur ikan tawes (Puntius javanicus).2. Perlakuan terbaik adalah P4 (0,7% NaCl fisiologis dan air kelapa) dengan persentase nilai rataan yang tertinggi (64,3 %)3. Daya tetas yang terbaik terdapat pada P4 dengan nilai 61,6%. 83
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572Daftar PustakaAdipu Y, Sinjal H, dan Watung J. 2011. Ratio Pengenceran Sperma Terhadap Motilitas Spermatozoa, Fertilisasi dan Daya Tetas Telur Ikan Lele (Clarias sp). Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis Vol. 7 NP. 1 April 2011. 48-55.Akcay E, Y. Bozkurt, S. Secer & N. Tekun. 2004. Cryopreservation Of Mirrol Carp Semen. Turkey Journal Vetenary Animal Science 28: 837-843.Ardias, N. 2008.Peranan NaCl fisiologis Terhadap Derajad Pembuahan, Penetasan Telur dan Kelansungan Hidup Larva Ikan Koi Crypinus Carpio. (Skripsi). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, 48 hlm.Chew P. C dan Zulkifli. A. R. 2010. Sperm Cryopreservation of Some Freshwater Fish Spesies in Malaysia. Freshwater Fisheries Research Division, FRI Glami Lemi, Jelebu, Negeri Malaysia.Fujaya,Y. 2002. Fisiologis Ikan:Dasar Pengembangan Teknik Perikanan, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. Jakarta.Heryadi, D., Sutisna dan Sutarmanta. 1995. Pembenihan Ikan Air Tawar. Kanisius, Yogyakarta.Hidayaturrahmah 2007. Waktu Motilitas dan Viabilitas Spermatozoa dan Peningkatan Volume Semen dan Kualitas Spermatozoa Ikan belutu Melalui Kombinasi Penyuntikan HCG dan Ekstrak Hipofisa Ikan Mas http://jurnalpdn.irpi.co.id diaksesHorvath,. E. Miskolczi dan B.Urbayi. 2003. Cryopreservation of Common Sperm. Aquatic Living Resources16: 457 – 460.Hui W, Xiaowen Z, Haizhen W, Jun Q, Pao X, dan Ruiwei L. 2012. Joint Effect of Temperatur, Salinity ang pH on the Percentage Fertilization and Hacthing Rate of Nile Tilapia (Oreochromis niloticus). Aquaculture Research. Hal 1-11.Iromo, H., I. Supriatna, dan E. Riani. 2007. Efektifitas Pengencer Laktat Ringer, Modifikasi Ringer dan Larutan Fisiologis NaCl Terhadap Viabilitas Preservasi Spermtozoa Ikan Baung (Mystus nemurus). Acuaqultura Indonesia 8 (1) : 49 - 57.Masrizal dan Efrizal 1997. Pengaruh Rasio Pengenceran Mani terhadap Fertilisasi.Minjoyo, H. 1993. Teknik Pembenihan Ikan Air Tawar. Penebar swadaya, Jakarta.Murtidjo. 2011. Beberapa Metode Pembenihan Ikan Air Tawar. Penerbit Kanasius. Jogjakarta.Sandy A W. 2005. Pengaruh subtitusi Santan Kelapa pada NaCl fisiologisTerhadap waktu Penyimpanan Dan Kualitas Semen Ikan Mas (Cyprinus carpio L) . Skripsi . Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya.Sinjal, H. 2014. Pengaruh Vitamin C Terhadap Perkembangan Gonad, Daya Tetas Telur dan Sintasan Larva Ikan Lele Dumbo (Clarias sp) . Jurnal 2 (1) 29-22Sultana.M., M. Nahiduzzaman, M.M. Hasan, M.U.H. Khanam dan M.A.R. Hossain, 2010. J. Zool. Rajshahi. Univ. 28:51-55.Sumantadinata, K., 1981. Pengembangan Ikan-Ikan Peliharaan Di indonesia. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.Sunarma, A. 2007. Kriopreservasi Spermatozoa Ikan Nilem (Osteochilus hasseltii) Menggunakan Ekstender Dan Krioprotektan Berbeda. Tesis. Program Pascasarjana - Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto: xvii + 73 hlm.Syandri H. 1993. Berbagai Dosis Ekstrak Hipofisa dan Pengaruhnya Mani dan Daya Tetas Telur Ikan Mas (Cypinus Carpio L). Jurnal Terubuku. Fakultas Perikanan Universitas Bung Hatta. Padang. 84
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572ANALISIS PENDAPATAN NELAYAN PADA KAPAL MOTOR 5-10 GT DI KABUPATEN ACEH BARAT DAYAANALYSIS OF THE REVENUE OF FISHERMEN AT THE 5-10 GT SIZED MOTOR VESSEL AT ACEH BARAT DAYA DISTRICT ZuriatProgram Studi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Teuku Umar Korespondensi: [email protected] Abstract The potential of Marine Fishery in Aceh Barat Daya is a source of income forfishermen in meeting their household needs. The fact shows the great potential fishinghas not been able to increase the income and welfare of the fishermen. This study aimsat understanding the life of fishermen in terms of income and welfare. The method usedin this research is descriptive method of sampling techniques by simple rand omsampling of the population 178 motor boats. The results showed that the income of thefishermen has been already above the poverty line although it is still under the WorldBank’s standard. Of the expenditure, the primary need (food) is still greater so that it isconcluded that the fishermen’s life is not yet welfare. It also demonstrated the value ofthe average income sea is below 1, and at 43,75 % NTN fisherman families under 1.For that reason, there is a need to develop the concept of the poverty line due tochanges in the cost of primary needs such as children’s are concerned(snack), phonecredits (communication) and motorcycle fuel (transportation). as well as the need toincrease the number and size of motor boats in exploiting the potential of fish optimallywhile increasing the production of fishery products , which in turn increases the incomeand welfare of fishermen families .Keywords : Motor boat, Fishermen, Revenue and ExpenditureI. Pendahuluan Pembangunan sektor kelautan dan perikanan merupakan upaya mensejahterakanrakyat, khususnya masyarakat nelayan. Namun hingga saat ini, berdasarkan data dariKementerian Kelautan dan Perikanan, jumlah nelayan miskin mencapai 25 % darijumlah masyarakat miskin Indonesia(KKP, 2011) Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) adalah salah satu Kabupaten yang secarageografis terletak di daerah pesisir, yang terdiri dari 9 Kecamatan dan 6 Kecamatan diantaranya adalah berada di daerah pesisir, yang memiliki potensi besar dalam bidangperikanan, seperti potensi ikan pelagis (cakalang, tuna, ikan teri, kembung, dll), ikandemersal seperti ikan kerapu, udang dan berbagai jenis lainnya diperkirakan potensilestari perikanan laut Abdya sebesar 30.000 ton/tahun (DKP,2012). Berbagai programtelah dilaksanakan pemerintah dalam pemanfaatan potensi sumber daya perikanan yangbertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat nelayan. Salahsatu bentuk pemanfaatan potensi sumber daya ikan, nelayan menggunakan saranapenangkapan ikan berupa kapal motor, perahu motor dan bagan apung. 85
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572 Armada kapal motor 5-10 GT di Abdya berjumlah 178 unit, jumlah tersebutmengalami perkembangan pesat sejak 10 tahun terakhir, dengan jumlah ABK sebanyak3 orang per kapal,(Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Abdya, 2012).Nelayan Abdya mengarungi laut lepas hingga ke perairan ZEE. Tingkat kehidupannelayannya tampak lebih baik, bila dibandingkan dengan nelayan dengan menggunakanarmada lainnya seperti perahu motor atau kapal pursei seine. Secara umum tingkatkehidupan sebagian besar nelayan di Aceh dan khususnya di Abdya masih beradadibawah garis kemiskinan (BPS,2013) Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Musawir (2010), meyimpulkanbahwa, nelayan tradisional yaitu nelayan yang menggunakan armada perahu motor,ternyata masih berada dalam keadaan miskin. Penelitian dan pengkajian tentang tingkatpendapatan nelayan dan kesejahteraan keluarga nelayan dengan menggunakan kapalmotor 5-10 GT, secara kuantitatif, belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya diAbdya. Berdasarkan dari hasil pemikiran di atas dan studi pra penelitian, maka suatupenelitian untuk menganalisis tingkat pendapatan dan kesejahteraan nelayan denganmenggunakan sarana penangkapan ikan kapal motor berukuran 5 – 10 GT di wilayahpesisir Kabupaten Abdya, perlu untuk dilakukan. Hal ini dilakukan untuk menganalisistingkat pendapatan nelayan yang mengoperasikan kapal motor 5-10 GT; menganalisistingkat kesejahteraan, melalui analisis beberapa standar kuantitatif yang ada dananalisis komposisi pengeluaran keluarga nelayan; menganalisis peluang dan strategipengembangan usaha perikanan tangkap di ZEE; dan pemberdayaan usaha keluarganelayan. Rahim, (2011), menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhipendapatan nelayan perahu motor di Sulawesi Selatan adalah harga minyak tanah,produktivitas, umur, dan alat tangkap rawai tetap. Dan secara negatif dipengaruhi olehharga bensin, lama melaut, dan perbedaan wilayah penangkapan. Selanjutnya hasilpenelitiaanya menyimpulkan bahwa salah satu indikator untuk mengukur tingkatkesejahteraan nelayan adalah melalui tingkat pendapatan. Pendapatan usaha nelayanmerupakan selisih antara penerimaan dengan biaya penangkapan yang benar-benardikeluarkan baik per trip maupun per tahun. Selanjutnya disimpulkan bahwa tingginyapendapatan nelayan diantara tiga kabupaten penelitiannya adalah karena potensi sumberdaya ikan di wilayah selatan Sulawesi lebih subur dibandingkan dengan wilayah pesisirbarat dan timur. Yusuf, (1998) mengemukakan bahwa dalam meningkatkan pendapatan nelayanSub sektor perikanan dihadapkan pada beberapa kenyataan yakni, terjadi kesenjanganantara pemanfaatan dengan pengelolaan perikanan laut Indonesia. Dimana kebijakanpengelolaan perikanan belun menjangkau kepentingan komunitas. Beberapa kasusmenunjukkan bahwa nelayan skala kecil telah mengalami stagnasi produktivitas.Rendahnya produktivitas tersebut mengakibatkan pendapatan nelayan dalam jangkapanjang tidak bisa mencukupi kebutuhan usaha dan rumah tangganya. Selanjutnyadikemukakan bahwa meskipun sumberdaya perikanan bersifat dapat pulih (renewable), 86
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572namun dapat punah (exhaustable); sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhipemulihan kembali sumberdaya tidak sepenuhnya dapat dikendalikan. Perbaikan taraf hidup nelayan dan masyarakat Indonesia dapat ditingkatkandengan penanganan ikan segar secara baik dan benar. Direktorat Bina usaha Tani danPengolahan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (2011), menyebutkan bahwakehilangan (losses) hasil perikanan di Indonesia relative masih tinggi, salah satupenyebab penting dari kehilangan tersebut adalah penanganan ikan segar yang buruksejak ikan diangkat ke kapal sampai dipasarkan, hal mana berakibat oleh kurangnyapengetahuan sebagian besar nelayan dan pelaku bisnis perikanan mengenai metodepenanganan ikan yang benar. Untuk mengurangi losses tersebut salah satu upaya yangperlu dilakukan adalah dengan penyebarluasan informasi mengenai cara penangananikan segar yang baik. Dengan semakin baik nya taraf hidup masyarakat Indonesia, makapermintaan ikan terutama dalam bentuk segar semakin meningkat pula. Carapenanganan yang baik adalah dengan bekerja cepat, rapi, bersih dan selalu dalam rantaidingin.II. Metode Penelitian2.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini telah dilaksanakan pengambilan datanya pada bulan Septembersampai dengan bulan Nopember 2013, yang berlokasi di Desa nelayan dalam wilayahpesisir di Kabupaten Aceh Barat Daya.2.2 Desain penelitian Berdasarkan tujuan dari penelitian ini maka desain yang digunakan adalahDesain Deskriptif (Bungin, B. 2011), dengan mendeskripsikan sejumlah variablemelalui statistic deskriptif.2.3 Populasi dan Sampel Dengan menggunakan rumus perhitungan besaran sampel yang dikutip dalamRiduan, (2005) sebagai berikut:n = N/N(d2)+1Diperoleh sampel (n) sebanyak 64 orang nelayan2.4 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan random simple sampling, yangpengambilan datanya dilaksanakan pada bulan September sampai dengan bulanNopember 2013, data dapat diperoleh dengan cara wawancara, observasi,daftarkuesioner daftar data sekunder dan dokumentasi (Wirata, 2005).2.5 Instrumen Penelitian Instrumen penelitian menggunakan kuesioner (angket), dimana melaluikuesioner dilakukan wawancara langsung dengan para nelayan yang pergi melaut. 87
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-55722.6 Analisis Data Dari data yang diperoleh dilakukan langkah-langkah yakni editing, coding, pentabulasian, dan perhitungan analisa usaha, yakni perhitungan dengan penjumlahan dan pengurangan dalam bentuk analisa finansial dalam Yafid, dkk (2009) sebagai berikut: л = TR - TC................ (1)Total Cost (TC) dihitung melalui rumus : TC = FC + VC ................ (2)Dimana :Л = Keuntungan Usaha (Business Profits)/pendapatan usahaTR = Total Penerimaan (Total Revenue)TC = Total Biaya (Total Cost)Menghitung pendapatan rumah tangga nelayan dengan menggunakan rumus sbb: Y rt = P1n+P2n+ Pi+PakDimana ;Yrt = pendapatan rumah tangga nelayanP1n = Pendapatan nelayan melautP2n = Pendapatan alternate nelayanPi = Pendapatan IstriPak = Pendapatan anggota keluargaMenghitung pengeluaran rumah tangga nelayan dengan rumus sebagai berikut: C rt = c pn + cnpC rt = total pengeluaran keluarga nelayan dalam satu tahunc pn = total pengeluaran pangan seperti konsumsi dan lain-lain dalam satu tahuncnp = total pengeluaran non pangan seperti pakaian, jajan, social, dalam satu tahunDalam mengukur tingkat kesejahteraan nelalui NTN, digunakan rumus NTN (Nyoman,I (2006), yang dikelompokkan menjadi 2 macam NTN sbb:a). NTN nelayan: pendapatan dari bagi hasil melaut berbanding dengan pengeluaran keluagab) NTN keluarga nelayan: merupakan perbandingan dari total pendapatan keluarga dengan pengeluaran keluarga nelayan. Mengukur tingkat kelayakan pendapatan nelayan, maka dilakukan perbandingandengan berbagai standar ukuran kemiskinan dan kesejahteraa, pada Tabel 1 berikut:Tabel 1. Daftar Ukuran Standar Pendapatan dan KesejahteraanNo Sumber Jenis ukuran Ukuran satu tahun 88
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-55721. Garis Kemiskinan beras/kapaita 360-480 kg Menurut Sayogyo 720 US $ Nilai US dollar2. Word Bank 2 US $/kapiat/hr3 UMR/UMP 1.550.000/pekerja 100 % 100 % Aceh Kebutuhan Hidup 2100 k. kalori setara4 Minimum/dasar Rp.350.600 pada thn 2013 (BPS)Sumber : Sayogyo, (1985) dan BPS ( 2012)III. Hasil dan Pembahasan Kabupaten Abdya terdiri dari 9 kecamatan, 20 kemukiman, 131 desa. Dimanadari 9 kecamatan tersebut, 6 kecamatan mempunyai wilayah pesisir. Dengan panjanggaris pantai 73,7 km memanjang pada 6 kecamatan pesisir, serta luas laut teritorialkabupaten + 53,23 km2, laut teritorial provinsi + 664,04 km2, laut teritorial 12 milmencapai + 398,42 km2 dan luas laut Zona Ekonomi Eklusif Indonesia (ZEEI) +24.967,79 Km2 yaitu pada posisi wilayah perairan Samudra Hindia (Biro Pusat StatistikKabupaten Abdya, 2010) Armada perikanan masih didominasi oleh perahu motor dan perahu tanpamotor. Sedangkan kapal motor ukuran 5-10 GT pada tahun 2012 ini hanya sebanyak178 unit, dan yang lebih besar dari itu hanya ada kapal 10-20 GT sebanyak 21 unit dandan 20-30 GT yang ada hanya sebanyak 27 unit (Dinas Kelautan dan Perikanan Abdya,2012). Adapun armada kapal yang digunakan nelayan responden berukuran antara 5 -10 GT, dengan alat penangkap ikan yang digunakan terdiri dari pancing rawai, trollline (pancing tarik atau tonda),hand line (pancing ulur) dan jarring.3.1 Deskripsi Variabel3.1.1. Variabel Pendapatan Pendapatan sebagai nelayan dari hasil melaut merupakan pendapatan yangdiperoleh dari pembagian hak ABK atau sebagai pawang, dari hasil pendapatan kapalmotor dalam periode satu tahun.Tabel 2. Jumlah Nelayan Berdasarkan Kisaran Besaran Pendapatan Keluarga Nelayan Per TahunUraian Jumlah % Nilai Rp(.000) rata-rata( DeviasiKeluarga nelayan yang mempunyai 19 30 17.788,370 1.657,161pendapatan di bawah Rp. 20 jutarupiahKeluarga nelayan yang mempunyai 24 37,5 23.942,790 2.488,205pendapatan antara Rp. 20 sd 30 Juta 89
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572 RupiahKeluarga nelayan yang 8 12,5 34.246,380 2.307,005Berpendapatan lebih besar 30 sd 40 4 6 48.012,500 1.141,909Juta RupiahKeluarga nelayan yang mempunyaipendapatan lebih besar dari 40 jutarupiah sd 50 juta rupiahKeluarga nelayan yang 5 8 55.474,600 2.517,111Berpendapatan > 50 ≥ 60 JutaRupiahKeluarga nelayan yang mempunyai 4 6 76.400,250 14.299,250pendapatan lebih besar dari 60 juta 64 100rupiahJumlah Sumber : Data Primer 2013 Pendapatan nelayan merupakan bagian pendapatan yang diperoleh dari bagihasil dengan pemilkik kapal. Besar kecilnya pendapatan nelayan ditentukan ole3h hasilproduksi tangkapan ikan dan trip. Produksi ikan nelayan responden tidak dapatdiketahui dengan pasti, karena sisten penjualan ikan secara umum di PPI UjungSerangga tidak dilakukan penimbangan, melainkan dengan cara volume dalam suatuwadah dan satuan ekor. Dengan demikian data pendapatan kapal diperoleh dengan jalaninformasi total penerimaan hasil penjualan ikan per trip, yang selanjutnya dikalikanjumlah trip dalam satu bulan dan satu tahun. Pendapatan keluarga nelayan rata-rata adalah sebesar Rp. 30 juta, yang berasaldari pendapatan melaut sebesar Rp. 23 juta, dan pendapatan alternative, pendapatan istridan anak sebesar Rp. 7 juta rupiah. Perbandingan pendapatan sebagai nelayan daritotal pendapatan keluarga adalah sebesar 77 %. Ini menunjukkan pendapatan dominankeluarga bertumpu pada sumber dari hasil melaut sebagai nelayan. Kecilnya sumbanganpendapatan alternative, pendapatan istri dan anak, menjadikan keluarga nelayan rentanterhadap kesejahteraan, artinya saat nelayan tidak pergi melaut karena sesuatu halangan,maka akan menjadikan keluarga nelayan kehilangan sumber pendapatan dan semakinmanurunnya tingkat kesejahteraan keluarga. Rerata pendapatan sebesar Rp. 30 juta, juga tidak menggambarkan untukkeseluruhan nelayan, karena kisaran pendapatan yang jauh antara 12 hingga 90 juta, halini disebabkan sebagian responden ada yang mempunyai pendapatan alternative yaitusebanyak 7 orang dari sumber kepemilikan kapal, selain berperan sebagai nelayan, dandari sumber pendapatan istri untuk 2 orang responden. Dengan pendapatan tersebut,membuat selang pendapatan responden menjadi jauh. Ada sebanyak 30 % keluarga 90
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572nelayan yang berpendapatan di bawah Rp. 20 juta, dan sebesar 37,5 % yangberpendapatan rata-rata Rp 24 juta , sisanya sebesar 32,5 % berpendapatan diatas Rp.30 hinga 90 juta rupiah. Pendapatan keluarga nelayan yang dominan adalah dari pendapatan sebagainelayan sebagaimana dapat dilihat pada tabel 1. Adapun kisaran pendapatan keluarganelayan berkisar cukup jauh, yang terendah 13, 8 juta rupiah hingga 90 juta lebih pertahun, dengan rata-rata pendapatan rumah tangga sebesar Rp. 30 juta lebih. Indikatorpendapatan yang bersumber dari pendapatan istri dan anak, sangat kecil sumbangannyadari total pendapatan rumah tangga nelayan kapal motor 5-10 GT. Pada Gambar 1.bahwa pendapatan istri dan anak sangat kecil. hal ini disebabkan karena istri paranelayan tidak mempunyai pekerjaan selain sebagai ibu rumah tangga. Kedepan merekamengharapakan adanya perhatian para pihak agar mereka mempunyai sumberpendapatan, sehingga dapat membantu suami keluarga dalam meningkatkanpendapatan.Pendapatan (Rp. 000) Responden Gambar 1. Sumber-sumber Pendapatan Keluarga Nelayan Saptanto, dkk (2011) menyebutkan bahwa struktur pendapatan rumah tanggaumumnya dibagi menjadi dua yaitu pendapatan yang berasal dari kepala keluarga dananggota keluarga. Sedangkan pendapatan dari kepala keluarga dan anggota kepalakeluarga, dibagi menjadi pendapatan utama dan sampingan. Dalam hal konsumsi rumahtangga disebutkan bahwa, pengeluaran konsumsi merupakan salah satu indikator yangmenentukan tingkat kesejahteraan rumah tangga.3.2.2. Variabel Pengeluaran Pengeluaran keluarga nelayan terbesar adalah untuk konsumsi mencapai 50,5 %,pengeluaran jajan anak sebesar 10,7 % , untuk rokok 10,5 % dan pengeluaran untukkegiatan kemasyarakatan seperti kendusri atau opesta dan aktifitas sosial 91
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572kemasyarakatan 7,89 %. Hasil perhitungan diperoleh besarnya rata-rata pengeluarankeluarga nelayan adalah Rp. 24.254.200/ keluarga/tahun. Gambar 2. Pola Pengeluaran Rumah Tangga nelayan Pengeluaran keluarga nelayan untuk kebutuhan konsumsi sebesar 50,5 % daritotal pengeluaran. Diikuti pengeluaran untuk jajan anak sebesar 10,7 %, pengeluaranuntuk rokok sebesar 10, 58 % dan pengeluaran kegiatan sosial kemasyarakatan sebesarhampir 8 %. Dengan komposisi pengeluaran demikian, maka keluarga nelayan belumsejahtera.3.2.3. Analisa Berdasarkan NTN Tingkat pendapatan berkaitan dengan tingkat kesejahteraan, dimanan mengukurtingkat kesejahteraan nelayan yang hanya melihat tingkat pendapatan menurut Basukidalam I Nyoman (2006) adalah kurang tepat, karena belum membandingkan denganpengeluaran nelayan untuk kebutuhan konsusmsi keluarganya. Oleh karenanya,indikator yang lebih tepat adalah nilai tukar nelayan (NTN) yang mempertimbangkanseluruh penerimaan (revenue) dan seluruh pengeluaran (expenditure) keluarga nelayan. Dilihat dari tingkat perbandingan antara pendapatan dan pengeluaran rumah tangga,maka diperoleh sbb: 1) NTN keluarga nelayan dibawah 1,00 sebanyak 43,75 %, ini artinya ada 43,75 % nelayan, yang pendapatannya belum mampu mencukupi kebutuhan pengeluaran pokok atau rutin, 2) NTN lebih besar 1, sebanyak 56 % lebih. Ini golongan nelayan sudah sejahtera, dan malah ada yang nilai NTN nya mendekati 2 dan lebih besar 2 sebanyak 10 % lebih, dan mereka inilah yang mampu untuk melakukan investasi atau menabung. 3) Nelayan yang tingkat kesejahteraannya tinggi yaitu 10 %, disebabkan karena adanya pendapatan alternative dalam bentuk usaha perikanan atas kepemilikan 92
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572 kapal, dan adanya pendapatan istri yakni ada 2 orang istri responden sebagai PNS. Upaya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan nelayan, antara lain dilakukandengan program pemberdayaan masyarakat pesisir oleh kementerian Kelautan danPerikanan, yang telah telah berjalan sejak tahun 2000. Hasil penelitian Soleman, (2010)dalam tesis hasil penelitiannya di Halmahera Utara menyimpulkan bahwa terjadinyapeningkatan pendapatan yang mana sebelum menerima program PEMP pendapatannelayan 220 kg beras/orang perkapita per tahun, dan setelah menerima program PEMPmeningkat menjadi sekitar 333 kg beras/orang perkapita pertahun Persoalan lain yang menjadi akar kemiskinan nelayan adalah ketergantunganyang tinggi terhadap kegiatan penangkapan. Factor-faktor ketergantungan tersebutsangat dominan dan beragam. Akan tetapi jika ketergantungan itu terjadi ditengah-tengah masih tersedianya pekerjaan lain diluar sektor perikanan, tentu saja hal ini sangatmengurangi daya tahan nelayan dalam menghadapi tekanan-tekanan ekonomi.IV. Kesimpulan Rata-rata pendapatan nelayan kapal motor 5-10 GT mempunyai pendapatansebesar Rp 23.123.640, peranan pendapatan alternatif sebasar Rp. 5.225.390,pendapatan istri Rp. 1.650.000, dan pendapatan anak hanya sebesar Rp. 453.130.Sehingga total pendapatan keluarga sebesar Rp. 30.452.480. Dengan standar BPS, Gariskemiskinan dan UMR, maka pendatan nelayan sudah melampaui standar tersebut, masihberada dibawah standar Bank Dunia. Tingkat kesejahteraan nelayan dengan dasar Nilai Tukar Nelayan (NTN),diperoleh hasil kurang dari satu sebanyak 43,75 % keluarga nelayan, dan sebesar 67,19% dari sisi pendapatan sebagai nelayan saja. Sehingga disimpulkan nelayan belumsejahtera sebanyak 43,75 % dan bila dari sisi pendapatan nelayan saja sebesar 67,19 %.Tuntutan akan kebutuhan jajan anak, transportasi dan komunikasi telah menjadikebutuhan rutin dalam kehidupan keseharian. Sehingga pengukuran tingkat kemiskinandengan menggunakan garis kemiskinan sudah tidak sesuai lagi untuk diterapkan.Daftar PustakaAnggraini E. 2007. Biaya transaksi usaha penangkapan ikan di Kota Pekalongan. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 12(1): 35-42 (ISSN 0853-4217).Andi H. 2010, http://andihakim 31.wordpress.com/2010/06/07. Mengelola sumber daya perikanan secara bertanggung jawab.(KKP) Kementrian Kelautan Perikanan, Dirjen Perikanan Tangkap. 2009. Strategi dan Upaya penguatan Kebijakan perikanan Tangkap, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta.(DKP) Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Barat Daya. 2012. Kerjasama BPS dengan Bappeda Aceh Barat Daya(DKP) Dinas Kelautan dan Perikanan. 2013. Rencana Strategis Pembangunan Kelautan Perikanan Abdya 2013 – 2018. 93
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572(DKP) Dinas Kelautan dan Perikanan. (2012)b. Potensi Perikanan Aceh. Dinas Kelautan Dan Perikanan Aceh. Banda Aceh.Dahuri R. 2011. Menjadikan Sektor Kelautan dan Perikanan Sebagai Sumber Kemajuan dan Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten Aceh Barat Daya.Kusnadi. 2003. Akar Kemiskinan Nelayan. LKIS. Yogyakarta.Mussawir. 2009. Analisis masalah kemiskinan nelayan tradisional di desa Padang Panjang Kecamatan Susoh, Kabupaten Aceh Barat Daya (Tesis). Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sumatra Utara. Medan.Nikijuluw VPH. 2001. Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir dan Strategi Pemberdayaan Mereka Dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Secara Terpadu. Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Departemen Kelautan dan Perikanan RI. Jakarta.Pangemanan JF. 1994. Tingkat Kesejahteraan dan faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan nelayan di pesisir pantai Sulawesi Utara. (Tesis). Program Pasca Sarjana, Universitas Samratulangi. Manado.Rahim A. 2011. Analisis pendapatan usaha tangkap nelayan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di wilayah pesisir pantai Sulawesi Selatan. Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dam Perikanan. 6(2).Riduwan. 2009. Metode & Teknik Menyusun Proposal Penelitian. Alfabeta: Bandung.Saptanto S, Manadiyanto, Wijaya RA. 2011. Analisis ekonomi usaha rumah tangga nelayan pelagis kecil di Kelurahan Aek Habil, Sibolga Sumatra Utara. Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dam Perikanan. 6(2).Sayogyo, Sayogyo P. 1985. Sosiologi Pedesaan. Gajahmada University Press. yogyakarta.Soleman A. 2010. Peran program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir dalam meningkatkan pendapatan nelayan. (Tesis). Universitas Terbuka, Jakarta.Sumardi M, Dieterevers. 1985. Kebutuhan Dasar. CV. Rajawali. Jakarta.Ustriyana ING. 2006. Model dan pengukuran nilai tukar nelayan. (Tesis). Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana.Yafiz M, Fedi AS, Soemakaryo S, Monintja D. 2009. Analisis finansial ssaha penangkapan ikan dalam model perbaikan kesejahteraan nelayan di Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 14(1) :81-92.Yunus M. 2008. Banker to The Poor. Aurum Press Ltd. London. 94
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572 PREFERENSI KONSUMEN TERHADAP PRODUK HASIL LAUT(STUDI KASUS RESTORAN SEAFOOD MJM KOTA PALU, SULAWESI TENGAH) THE PREFERENCE OF CONSUMER ON MARINE PRODUCT ( THE CASES STUDY IN THE RESTAURANT OF MJM SEAFOOD IN THE PALU TOWN, CENTRAL SULAWESI) Mohamad Gazali Program Studi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Teuku Umar Korespondensi : [email protected] Abstract Many bussinessman develop the restaurant of seafood in the Palu Town, CentralSulawesi. The production’s fisheries activities yielded high protein products andconsumed by community, not only limited to fisheries products but also the processedproduct with various taste. One of the products of fisheries that distributed in the marketwere the marine products in The Palu town. The objectives of this study is to analysethe preferences of consumer on the marine products in the Palu town. The study methodis the case study (case study with a unit of famous seafood restaurant cases MJM thatlocated in the Palu town. The sampling method which used in this study was accidentalsampling. The type of fisheries product that sold in the Seafood Restaurant of MJMwere groupers, snapper fish, baronang, katamba, mangrove’s crabs, shrimps and squid.The interest of marine product was undertaken with analysis of multiple linearregression and yielded F-count > F-Table with level of significance 95% shownconcordance of consumer’s interest to attribute of product. Simultanously, attribute ofproduct of diversity (X1) = , quality (X2), price (X3), taste (X4), and service (X5) haveinfluenced significantly to preference of consumer whereas partially, the productattribute of quality (X2) possess effect the most dominant with coefficient of regressionvalue is 0,531 or 53,1%. Thus, the preference of consumer to marine product is qualityof fish was level of freshing quality, clean, consumed healthty.Keywords: Consumer, Marine Product, PreferenceI. Pendahuluan Wilayah Propinsi Sulawesi Tengah dengan panjang pantai berkisar 4.013 km yangmeliputi Teluk Tomini, Teluk Tolo dan Selat Makassar mengalami peningkatanproduksi perikanan laut berdasarkan jenis ikan. Secara totalitas dari sepuluhKabupaten/Kota pada tahun 2007 hanya berkisar 116.829,2 ton terus mengalamipeningkatan produksi pada tahun 2008 menjadi 139.081,3 ton. Perlakuan terhadapproduksi perikanan laut pada tahun 2008 menunjukkan bahwa produksi untuk konsumsisegar berkisar 110.873,2 ton. Hal ini menunjukkan bahwa produksi perikanan lautterhadap kebutuhan akan konsumsi ikan segar sangat tinggi (Dinas Kelautan danPerikanan Propinsi Sulawesi Tengah, 2009). Dengan perhitungan secara manual bahwa konsumsi perkapita/tahun untukwilayah Sulawesi Tengah berkisar 46 kg.Wilayah Kota Palu, produksi perikanan laut 95
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-5572menurut jenis usaha terus mengalami peningkatan stok ikan. Produksi perikanan lautyang terdiri dari tiga (3) Kecamatan yakni Palu Timur, Palu Barat dan Palu Utaradimana setiap tahunnya mengalami peningkatan signifikan. Pada tahun 2008, produksiperikanan laut berkisar 2.325,7 ton terus mengalami peningkatan pada tahu 2009menjadi 2.789,55 ton. Hal ini diasumsikan bahwa produksi perikanan di Kota Palumampu menyediakan kebutuhan ikan untuk pangan yang ada di Kota Palu (DinasPertanian, Kehutanan dan Kelautan Kota Palu, 2009). Bisnis restoran seafood di kota Palu memiliki peluang yang besar sehinggabanyak pengusaha melakukan investasi untuk mengembangkan usaha restoran seafood.Salah satu restoran seafood adalah restoran seafood MJM yang berlokasi di pusatperkotaan. Restoran tersebut sudah populer di mata masyarakat Kota Palu. Bahkanberdasarkan survey awal ada beberapa pengunjung ternyata berasal dari propinsi yangsudah pernah mencicipi makanan hasil laut di seafood MJM. Berdasarkan latar belakangdiatas maka peneliti tertarik untuk melakukan kajian lebih lanjut tentang preferensikonsumen terhadap produk hasil laut (studi kasus restoran seafood MJM Kota Palu,Sulawesi Tengah). Tujuan penelitian ini untuk menganalisis faktor keragaman kualitasproduk, harga, cita rasa dan pelayanan secara simultan berpengaruh signifikan padapreferensi konsumen terhadap produk hasil laut dan faktor yang paling dominanberpengaruh pada preferensi konsumen terhadap produk hasil laut.II. Metode Penelitian2.1.Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Restoran seafood MJM Kota Palu Sulawesi Tengahsejak bulan Januari sampai bulan Mei 2010 yang meliputi kegiatan tahap pengumpulandata, tabulasi, analisa data dan penyusunan laporan penelitian.2.2.Tipe Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan tipe penelitian studi kasus (casesstudy) dimana penulis hanya memusatkan penelitiannya pada restoran seafood MJMKota Palu untuk menganalisis preferensi konsumen terhadap produk hasil laut.2.3.Objek dan Subjek Penelitian Objek penelitian ini adalah restoran seafood MJM di Kota Palu dan subjeknyaadalah konsumen pada restoran MJM tersebut. Ada beberapa pertimbangan restoranseafood MJM dipilih sebagai objek penelitian antara lain : 1. Restoran seafood MJM menawarkan beragam jenis ikan laut sehingga memungkinkan konsumen memilih jenis ikan laut sesuai dengan selera masing- masing. 2. Lokasi restoran berada di pusat Perkotaan yang memiliki banyak pengunjung. 96
Jurnal Perikanan Tropis Available online at:Volume III, Nomor 1, 2016 http://utu.ac.id/index.php/jurnal.htmlISSN: 2355-5564, E-ISSN: 2355-55722.6. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah konsumen yang sedang membeli produk hasillaut dimana berdasarkan hasil survey awal bahwa setiap malam para konsumenmembeli produk hasil laut di restoran MJM Seafood Kota Palu rata-rata 60 orang.Berdasarkan survey tersebut maka peneliti menarik sampel sebesar 10% denganmenggunakan teknik aksidental sampling. Menurut Sugiyono (1999) bahwa aksidentalsampling adalah teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan yaitu siapa saja yangsecara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel biladipandang orang yang ditemui sebagai responden yang tepat. Dalam jumlah konsumen yang membeli produk hasil laut di restoran MJMseafood setiap malamnya sebanyak 60 orang maka dalam tujuh malam akan terkumpulsebanyak 420 orang. Jika dari populasi tersebut ditarik sampel sebanyak 10% makadiperoleh responden sebanyak 42 orang. Keseluruhan sampel penelitian ditentukandengan menggunakan beberapa kriteria : 1. Berusia 17 ke atas atau dinilai cakap dalam memberikan tanggapan 2. Konsumen restoran seafood MJM 3. Berperan sebagai pengambil keputusan (decider) 4. Telah membeli produk hasil laut di restoran seafood MJM lebih dari 1 kali. 5. Saat penelitian dijumpai di lolasi penelitian 6. Bersedia memberikan tanggapan pada kuesioner penelitianDalam setiap malam selam tujuh (7) malam peneliti menarik responden sebanyak 6orang. Untuk lebih jelasnya mengenai rincian pengambilan sampel dapat disajikan padaGambar 1. Sampel 42 respondenHari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3 Hari ke-4 Hari ke-5 Hari ke-6 Hari ke-7 6 resp 6 resp 6 resp 6 resp 6 resp 6 resp 6 resp Gambar 1. Rincian pengambilan responden2.7.Analisis DataAnalisis data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :1. Metode analisis kualitatif Metode analisis kualitatif merupakan metode yang menitikberatkan pada pemaparan hasil-hasil penelitian secara deskriptif.2. Metode analisis kuantitatif 97
Search
Read the Text Version
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113