Important Announcement
PubHTML5 Scheduled Server Maintenance on (GMT) Sunday, June 26th, 2:00 am - 8:00 am.
PubHTML5 site will be inoperative during the times indicated!

Home Explore Kau Aku dan Sepucuk Angpau Merah

Kau Aku dan Sepucuk Angpau Merah

Published by PERPUSTAKAAN GRIYA WACANA, 2022-10-19 00:13:31

Description: Tere-Liye-Kau-Aku-dan-Sepucuk-Angpau-Mera-1

Search

Read the Text Version

Abang pastilah bertanya-tanya, siapa yang telah mengirimkan surat bersampul merah ini. Perkenalkan, namaku Mei, aku dulu dibesarkan di Pontianak, hingga usia dua belas, sebelum pindah ke Surabaya. Abang pastilah tidak mengenalku, tetapi aku amat mengenal Abang, bahkan jauh-jauh hari sebelum aku magang di sekolah yayasan. Abang tahu, berminggu-minggu aku sengaja naik sepit, dan selalu berharap naik sepit yang Abang kemudikan. Aku berkali-kali ingin menyapa, tapi itu ternyata tidak mudah dilakukan. Bibir selalu kelu memulainya, tangan terasa kaku dijulurkan, jadilah aku lebih banyak diam, menatap sembunyi-sembunyi. Sejujurnya, bah­ kan kenapa aku memilih magang di kota ini, karena ingin bertemu Abang. Sayangnya, setelah ber­temu, setelah jarak kita begitu dekat, aku malah tidak kunjung berani menyapa Abang. Bibi, orang yang mengasuhku sejak kecil, akhirnya menyaran­kan agar aku menulis sepucuk surat untuk Abang. Saran Bibi, jika aku juga tidak berani menyerahkannya secara langsung, ja­tuh­kan saja di dasar sepit yang Abang kemudikan, Abang pasti menemukannya, dan berdoalah Abang akan membacanya. Maka, inilah surat itu. Aku berharap, sungguh berdoa, semoga setelah Abang membaca surat ini, Abang tidak membenci keluarga kami, tidak membenci Mama, tidak membenci Mei. Maafkan keluarga kami, Abang. Kami dulu tinggal di Pontianak, Abang. Mamaku dokter, dia juga salah satu pendiri yayasan, pengelola kompleks sekolah tempat aku magang. Sedangkan Papa, dia sibuk dengan bisnis­nya. Aku ingat sekali, masa kanak-kanak yang menyenang­kan. Aku dulu nakal, sembunyi-sembunyi membawa boat Papa, berkelahi dengan anak sekolah lain, bahkan mencuri mangga. Tapi itu masa-masa yang menyenangkan. Selalu ada Mama yang membelaku. 499

Mama adalah segalanya bagiku. Dia cantik dan pintar. Dia selalu membelikan buku-buku yang bagus. Kata Mama, ’Berikan­lah hadiah buku kepada seseorang yang amat kauhargai.’ Mama selalu menemaniku beranjak tidur, selalu memasakkan makanan yang enak. Hanya satu yang Mama larang dariku, memakan cokelat, permen, dan yang manis-manis. Di luar itu boleh. Dia segalanya bagiku. Hingga usiaku 12 tahun. Aku sungguh tidak tahu apa yang telah terjadi, tiba-tiba Mama jadi pendiam. Mama sering ditemukan melamun sendiri­ an, menangis sendirian, dan berteriak-teriak tanpa alasan. Hanya soal waktu, Mama jatuh sakit tanpa penjelasan. Sakit ber­ke­ panjangan, berbulan-bulan. Tubuhnya jadi kurus kering, wajah­ nya pucat, rambutnya rontok. Aku sedih sekali melihat wajah tirus Mama, tubuh lemahnya, tapi tidak mengerti apa yang telah terjadi. Enam bulan Mama jatuh sakit, tidak kunjung sembuh, Papa memutuskan pindah ke Surabaya. Keluarga besar kami pindah. Semua dikemasi, tidak ada yang tersisa, kecuali Bibi yang tinggal, merawat rumah di Pontianak. Aku bahkan tidak sempat berpamitan dan bilang ke teman-teman kenapa pindah. Semua alasannya gelap. Hilang sudah masa kanak-kanakku yang menyenangkan. Hari- hariku lebih banyak dihabiskan menyaksikan tubuh Mama yang semakin layu, melihat Mama yang semakin tidak dikenali. Sakit Mama lama sekali, bertahun-tahun, hampir tiga tahun, hingga Mama pergi selama-lamanya. Aku sungguh tidak tahu Mama sakit apa. Papa bilang, Mama baik-baik saja. Dari menguping percakapan dokter, mereka bilang Mama depresi berat, memikul beban perasaan yang terlalu berat. Aku tidak me­ngerti, bukankah Mama selama di Pontianak terlihat amat baha­gia? Apanya yang membuat Mama 500

depresi hingga fisiknya ikut sakit sedemikian rupa? Hingga kami harus pindah dari sana. Setahun silam, persis pada lima tahun peringatan kepergian Mama, Bibi mengirimkan kardus buku milik Mama yang ter­tinggal di Pontianak. Kupikir itu hanya koleksi buku biasa, ter­nyata tidak, Aku menemukan buku harian Mama terselip di dalamnya. Catatan Mama beberapa bulan sebelum dia sering ditemukan melamun sendirian. Abang, sungguh maafkan keluarga kami. Maafkan Mama yang telah menyakiti keluarga Abang. Ternyata Mama adalah dokter yang melakukan operasi jantung dini hari itu. Mama-lah yang memutuskan apakah bapak Abang Borno telah meninggal atau belum secara medis. Mama yang mem­bedah dada bapak Abang Borno. Dari catatan harian itu, aku tahu, operasi itu seharusnya tidak pernah dilakukan. Mama dibutakan dengan ”prestasi”, ”tinta emas”, dan sejenis itulah jika dia berhasil. Mama sebenarnya tidak pernah yakin, bahkan dari catatan itu, Mama mengaku dia bisa saja menyelamatkan bapak Abang Borno, tapi dia me­mutuskan sebaliknya, operasi itu harus dilakukan. Itulah yang membuat Mama tiba-tiba berubah. Saat melihat Abang Borno menangis sendirian di lorong rumah sakit, saat melihat ibu Abang Borno berusaha memeluk Abang, kesadaran itu datang. Sungguh, apa hak Mama mengambil kehidupan sese­orang, lantas memberikannya ke orang lain? Apa hak Mama membuat keluarga Abang kehilangan seseorang yang amat kalian cintai? Itulah penjelasan yang terlambat datang, ditulis berkali-kali di buku harian Mama. Sejak saat itu, kondisi Mama mem­buruk dan fisiknya menyusul jatuh sakit. Papa akhirnya me­mutus­kan pindah 501

ke Surabaya, berharap penyesalan tentang ope­rasi itu berkurang sedikit. Sia-sia, kondisi Mama terus memburuk. Itu sungguh masa paling sulit bagi keluarga kami, Abang. Aku besar dengan seluruh kesedihan, menyaksikan Mama terbaring di ranjang selama tiga tahun. Tetapi itu mungkin harga yang pantas, hu­kum­an yang harus kami terima, karena keluarga Abang lebih menderita lagi, dan kamilah penyebabnya. Setelah membaca buku harian Mama, aku memutuskan untuk menemui Abang. Aku sengaja magang di sekolah milik yayasan, kembali ke Pontianak. Papa melarangku, tapi keputusanku sudah bulat. Aku tidak bisa mengembalikan situasi, sama sekali tidak bisa, tapi aku sungguh berharap bisa menyapa Abang Borno. Aku tidak berharap banyak, hanya ingin menyapa. Abang bisa jadi malah membenci kami. Tetapi tidak mengapa, setidaknya aku me­nyampaikan permintaan maaf Mama yang tidak pernah ter­sampaikan. Sungguh maafkan Mama, Abang. Maafkan aku. Sungguh maafkan kesalahan besar keluarga kami. Dari Mei. Tanganku gemetar, dua lembar surat Mei terlepas. Ya Tuhan, aku sama sekali tidak menduga isi surat ini akan seperti itu. Malam itu aku benar-benar tidak bisa memicingkan mata walau sedetik. Semua kenangan berebut kembali di kepalaku. Kenangan saat pertama kali menemukan angpau ini, Mei yang menyapa di dermaga kayu, bilang apakah aku sudah menerima angpau. Mei 502

saat belajar sepit, hampir jatuh terjengkang. Saat kami diteriaki Bang Togar dan pengemudi sepit makan di restoran terapung. Mata berkaca-kacanya saat kami mengunjungi kediaman si Fulan dan si Fulani. Seruan senangnya saat bertemu di klinik alternatif. Wajahnya saat meminta aku berhenti menemuinya, wajahnya di bandara saat pergi. Semuanya kembali menjalin seluruh kejadian dengan pemahaman yang baru. Malam itu aku benar-benar tidak bisa memicingkan mata walau sedetik. 503



Epilog ”MAJU satu sepit lagi!” petugas timer macam rocker kelas kampung berteriak lantang. ”Woi, Borno! Majulah sepit kau itu!” Jauhari, yang antreannya persis di sebelahku, memukul din­ ding sepitku, ikut mengingatkan. Aku meletakkan buku—tanggung sekali, tinggal satu halaman lagi. Aku menarik tuas mesin. Kipas propeler berputar cepat. Gelembung air muncrat ke permukaan sungai. Sepitku anggun merapat ke bibir dermaga. ”Kapan ujian semesteran kau, Borno?” ”Minggu depan, Om.” ”Buat apa lagi kau belajar? Bukankah kau sudah tahu semua tentang mesin?” Aku menyengir, tidak menjawab. ”Di mana bengkel kedua kau itu, Borno?” Petugas timer meng­ ajak mengobrol santai, sambil menunggu penumpang selesai du­ duk rapi di sepitku.

”Di dekat perempatan Jalan Sudirman, Om.” ”Astaga.” Petugas timer menepuk dinding perahu. ”Itu jalan paling besar di kota Pontianak, Borno. Maju sekali bisnis kau sekarang. Bukan main! Bangga sekali aku, masih bisa meneriaki kau.” Aku tertawa, menunjuk deretan papan melintang di perahu yang sudah penuh. ”Nah, Borno. Sepit kau sudah penuh. Jalanlah.” Petugas timer meng­angguk, berdiri. ”Woi, Jau, maju sepit kau. Jangan kebanyak­ an mengupil kau.” Aku menarik pedal gas. Matahari pagi bersinar hangat. Payung-payung yang dibawa gadis-gadis di atas sepit terkembang lebar, membuat meriah pemandangan. Ini pagi yang indah, di kota yang indah, pagi kesekian puluh ribu kali sejak si hantu Ponti ditaklukkan. Aku tersenyum, sepitku melaju cepat, membelah Sungai Kapuas. *** Apakah aku tetap menemui Mei, enam bulan lalu? Aku bahkan berangkat ke Surabaya dengan penerbangan per­ tama. Lantas menumpang taksi, menuju rumah besar itu. Belum tidur, belum makan, bahkan belum mandi sejak aku membaca surat dalam angpau merah. Mei terbaring lemah saat aku melangkah masuk ke kamarnya, diantar salah satu perawat. Tubuhnya kurus. Wajah­nya pucat. Rambutnya rontok. Dia tergugu melihatku. Sambil menahan air mata agar tidak tumpah, aku lembut 506

memegang jemarinya. ”Kau tahu, Mei. Dulu aku pernah bertanya pada Pak Tua, ‘Kalau untuk Andi, Pak Tua punya kalimat bijak dan cerita hebat cinta yang cocok baginya, lantas untukku, apakah Pak Tua juga punya?’ Pak Tua tersenyum, menepuk bahuku, ‘Tentu ada, Borno. Tentu ada. Tapi aku akan membiarkan kau sendiri yang menemukan kalimat bijak itu, kau sendiri yang akan menulis cerita hebat itu. Untuk orang-orang seperti kau, yang jujur atas kehidupan, bekerja keras, dan sederhana, maka definisi cinta sejati akan mengambil bentuk yang amat berbeda, amat me­nakjubkan.’ Kau tahu, Mei. Hari ini aku mengerti kalimat Pak Tua. ”Aku berjanji akan selalu mencintai kau, Mei. Bahkan walau aku telah membaca surat dalam angpau merah itu ribuan kali, tahu masa lalu yang menyakitkan, itu tidak akan mengubah apa pun. Bahkan walau satpam galak rumah ini mengusirku, meng­ hinaku, itu juga tidak akan mengubah perasaanku. Aku akan selalu mencintai kau, Mei. Astaga, Mei, jika kau tidak percaya janjiku, bujang dengan hati paling lurus sepanjang tepian Kapuas, maka siapa lagi yang bisa kaupercaya?” Mei menangis bahagia mendengar kalimat itu. Sejak hari itu, tidak ada lagi sendu nan misterius di wajahnya. Dia sama riangnya dengan seluruh gadis di Pontianak, tempat dia kembali mengajar. 507



Tentang Pengarang Penulis dapat dihubungi melalui: E-mail: [email protected] Facebook: Darwis Tere Liye atau darwisdarwis.multiply.com dan tbodelisa.blogspot.com



Dia bagai malaikat bagi keluarga kami. Merengkuh aku, adikku, dan Ibu dari kehidupan jalanan yang miskin dan nestapa. Memberikan makan, tempat berteduh, sekolah, dan janji masa depan yang lebih baik. Dia sungguh bagai malaikat bagi keluarga kami. Memberikan kasih sayang, perhatian, dan teladan tanpa mengharap budi sekali pun. Dan lihatlah, aku membalas itu semua dengan membiarkan mekar perasaan ini. Ibu benar, tak layak aku mencintai malaikat keluarga kami. Tak pantas. Maafkan aku, Ibu. Perasaan kagum, terpesona, atau entahlah itu muncul tak tertahankan bahkan sejak rambutku masih dikepang dua. Sekarang, ketika aku tahu dia boleh jadi tidak pernah menganggapku lebih dari seorang adik yang tidak tahu diri, biarlah... Biarlah aku luruh ke bumi seperti sehelai daun… daun yang tidak pernah membenci angin meski harus terenggutkan dari tangkai pohonnya. GRAMEDIA penerbit buku utama

Kapan terakhir kali kita memeluk ayah kita? Menatap wajah­ nya, lantas bilang kita sungguh sayang padanya? Kapan terakhir kali kita bercakap ringan, tertawa gelak, bercengkerama, lantas menyentuh lembut tangannya, bilang kita sungguh bangga pada­ nya? Inilah kisah tentang seorang anak yang dibesarkan dengan dongeng-dongeng kesederhanaan hidup. Kesederhanaan yang justru membuat ia membenci ayahnya sendiri. Inilah kisah tentang hakikat kebahagiaan sejati. Jika kalian tidak menemukan rumus itu di novel ini, tidak ada lagi cara terbaik untuk menjelas­ kan­nya. Mulailah membaca novel ini dengan hati lapang, dan saat tiba di halaman terakhir, berlarilah secepat mungkin menemui ayah kita, sebelum semuanya terlambat, dan kita tidak pernah sempat mengatakannya. GRAMEDIA penerbit buku utama



Ada tujuh miliar penduduk bumi saat Seperti biasa, Tere Liye selalu bisa ini. Jika separuh saja dari mereka mencungkil hal-hal istimewa dari pernah jatuh cinta, setidaknya akan ada kehidupan yang tidak menarik satu miliar lebih cerita cinta. Akan ada perhatian. setidaknya 5 kali dalam setiap detik, 300 kali dalam semenit, 18.000 kali dalam Belinda, calon dokter gigi setiap jam, dan nyaris setengah juta Tentang cinta pertama yang begitu sehari-semalam, seseorang entah di memukau, mengajari tetapi tidak belahan dunia mana, berbinar, harap-harap menggurui. cemas, gemetar, malu-malu menyatakan Ayu Aditya Saputri, calon guru SLB perasaannya. Jika selama ini sering dijejali cerita cinta termehek-mehek, maka Borno Apakah Kau, Aku, dan Sepucuk dan Mei adalah orisinal cerita cinta Angpau Merah ini sama spesialnya tentang pengorbanan yang tidak akan dengan miliaran cerita cinta lain? Sama membuat kita menjadi mellow. istimewanya dengan kisah cinta kita? Ah, kita tidak memerlukan sinopsis untuk Ariza, guru TK memulai membaca cerita ini. Juga tidak Novel yang berbeda. Mengangkat memerlukan komentar dari orang-orang profesi yang tidak pernah ada di terkenal. Cukup dari teman, kerabat, novel mana pun. Kisah cinta yang tetangga sebelah rumah. Nah, setelah sederhana, indah, dan klasik. tiba di halaman terakhir, sampaikan, sampaikan ke mana-mana seberapa spesial Umi Futikhah, guru kisah cinta ini. Ceritakan kepada mereka. Saya berdoa semoga saya bisa menjadikan anak lelaki saya “bujang berhati paling lurus” seperti Borno. Amin. Putri, buruh pabrik NOVEL DEWASA Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Kompas Gramedia Building Blok I, Lantai 5 Jl. Palmerah Barat 29-37 Jakarta 10270 www.gramediapustakautama.com


Like this book? You can publish your book online for free in a few minutes!
Create your own flipbook