Diana termenung di kamar, berdiri dan berjalan menuju laci meja. Mengambil sebuah buku tebal bersampul hitam. Membuka setengah halaman buku dan menemukan yang dicarinya. Sebuah foto. Foto itu sudah lusuh, warnanya mulai memudar. Ada sosok laki-laki, perempuan, dan seorang gadis kecil, mungkin usianya 4 atau 5 tahun. “Ayah di mana? Aku mau nikah.” Diana memandang foto itu sambil menangis tersedu. Memendam kerinduan pada sosok ayah yang sudah lama tak dijumpainya. Ibu Diana berada di dapur, ketika Diana datang menghampiri. Ragu menyelimuti pikirannya, tetapi dia memberanikan diri bertanya. “Bu, soal akad nikahku. Mungkinkah ayah bisa menikahkanku? Aku tak mau dinikahkan oleh wali hakim, kan ayah kandungku masih hidup.” Ibunya mendongak dengan kaget, menatap Diana lekat-lekat dan berkata, “Siapa yang kau sebut ayah? Pria yang sudah meninggalkan anak istrinya tanpa nafkah, bertahun-tahun merantau tak pulang-pulang tak pantas dipanggil ayah. Ibu tidak mau lagi mendengar kamu membahas hal ini. Bapakmu akan sangat marah jika tau kamu ingin pria itu datang ke akad nikahmu.” Hari bahagia tinggal satu bulan lagi, tetapi senyum tak nampak di wajah Diana. Setiap hari dia muram, dan Diana jatuh sakit. Demam berhari-hari tak kunjung turun. Diana dirawat di rumah sakit, berbagai tes dijalaninya, namun dokter tak menemukan penyakitnya. “Kamu sakit apa? Tanggal pernikahan kita sebentar lagi. Ayo, kamu harus sehat,” ujar Fadli menguatkan Diana. “Ada satu hal yang belum kamu ketahui tentang keluargaku. Bapak yang selama ini kau kenal, bukanlah ayah kandungku. Orangtuaku bercerai ketika aku berumur 10 tahun,” jelas diana sambil terisak. “Aku tahu, ibumu sudah memberitahuku ketika aku melamarmu.” “Aku ingin bertemu ayahku, aku sangat merindukannya. Aku ingin ayah menikahkanku. Tolong aku Fadli, cari ayahku!” Diana memohon sambil menangis tersedu-sedu. Fadli menemui bapak tiri Diana, dia bertekad mencari ayah kandung Diana untuk menghadiri akad nikah mereka. “Pak, saya mohon maaf sebelumnya. Ini tentang ayah kandung Diana. Sepertinya dia sakit karena sangat merindukan ayahnya,” ujarnya. 50
“Nak Fadli, bapak juga tidak tahu di mana ayah kandung Diana. Bapak bertemu Ibu Diana bertahun-tahun setelah mereka bercerai. Kalau tidak salah, keluarganya dahulu tinggal di desa Mantingan, sekitar satu jam perjalanan dari sini. Coba nak Fadli tanya ke sana, namanya Pak Sayudi,” jawab bapak Diana. Berbekal aplikasi peta online, sepeda motor fulltank, Fadli bersama salah satu temannya berangkat menuju desa Mantingan, di kabupaten Jepara. Tak perlu waktu lama untuk menemukan rumah kepala desa. Asal tanya saja pada salah satu warga desa, maka mereka akan menunjukkannya. “Tujuan kedatangan saya kemari, untuk menanyakan tentang salah satu warga desa ini Pak. Namanya Pak Sayudi. Beliau sekeluarga tinggal di desa ini sekitar 15 tahun yang lalu,” ucap Fadli setelah sedikit berbasa-basi. “Waduh, mohon maaf mas. Saya baru menjabat, dan baru 10 tahun tinggal di sini. Jadi tidak keal dengan Pak Sayudi,” jelas kepala desa. “saya coba tanyakan kepada pak carik lama ya, beliau lahir dan besar di sini.” Kepala desa segera menelepon pak carik, yang memberinya nomor telepon seorang pria. Setelah berbicara beberapa saat, dia segera mengajak Fadli ke rumah orang tersebut yang ternyata dahulu menjadil ketua RT di tempat tinggal Pak Sayudi dan keluarganya. “Memang benar Pak Sayudi pernah tinggal di sini, tetapi sudah lama sekali. Terakhir bertemu sekitar 7 tahun lalu ketika ibunya meninggal. Setelah itu rumah lama keluarga mereka dijual.” “Apa tidak ada saudara yang masih hidup pak?” tanya Fadli. “Ada satu adik perempuan, sudah menikah dan tinggal bersama suaminya, jika memang penting sekali mari saya antar ke rumahnya. Hanya berbeda desa saja,” ujar bapak tua yang sudah bisa disebut kakek tersebut. Fadli berhasil menemui adik perempuan dari Pak Sayudi dan memperoleh nomor teleponnya. Pak Sayudi tinggal di Jakarta, mereka juga sudah sangat jarang bertemu. Hanya sesekali saling menelepon bertanya kabar. “Assalamu’alaikum, halo. Ayah, ini Diana anak ayah.” Hening, tak terdengar jawaban. “Diana?” Suara di seberang telepon terdengar kaget. “Diana mau menikah dua minggu lagi yah, ayah dateng ya ke akad nikah. Tolong nikahkan Diana.” 51
Hari akad nikah. Rumah sederhana itu sudah dilengkapi dengan tenda berwarna-warni. Para tetangga telah berkumpul sejak dua hari sebelumnya, membantu persiapan acara dan memasak hidangan pesta. “Bu, ayah mana Bu. Penghulu sudah datang,” ucap Diana hampir menangis, pakaian pengantin sudah dikenakannya, lengkap dengan riasan wajah dan aksesoris pengantin Jawa Tengah. Penghulu mulai tidak sabar menunggu, ada empat pengantin lain yang harus dinikahkannya hari itu. Satu jam kemudian. “Ayah belum terlambat kan?” *** SELESAI *** 52
Kisahku dan Sepatu Biru Pagi itu udara terasa dingin, awan hitam menggelayut di langit mendung. Kupaksakan diri membuka pintu rumahku, Ah gelap sekali pikirku. Kuseret kakiku langkah demi langkah menuju jalanan yang sepi. Kali ini, benar-benar sepi seolah semua orang masih terlelap dalam peraduannya. Sudah sebulan ini aku rutin melaksanakan jogging pagi hari. Bahkan ketika matahari belum sepenuhnya terbit, aku sudah melangkahkan kaki keluar rumah. Tetapi kali ini terasa berbeda dari biasanya, mungkin karena mendung pikirku. Tanpa kusadari, suasana gelap membuatku berbelok ke jalan yang tidak biasa kulalui. Kususuri langkah demi langkah sambil mencari seseorang yang mungkin lewat untuk sekedar bertanya arah. Hari mulai terang, tapi tak kutemukan seorangpun. Lelah menderaku, dan kuputuskan beristirahat di bawah pohon apel yang mulai berbunga. Kulayangkan pandangan ke sekeliling, sepi. Tak sengaja mataku tertuju pada sebuah benda di dekat batu, satu meter di depanku. Apa itu? tanyaku penasaran. Aku berdiri dan segera menuju ke tempat benda itu berada. Teronggok di sana, bertali putih dengan ujung hitam, sepasang sepatu kets berwarna biru. Kuraih ia, kuamati dengan seksama. Astaga!! ada sayap kecil di samping kanan kirinya. Sepatu apakah gerangan ini? tak pernah kulihat sepatu bersayap yang senyata ini. Seolah sayap itu adalah bagian dari tubuhnya. Entah apa yang merasukiku, kulepas sepatuku dan kupakai si sepatu biru di kedua kakiku. Pas sekali, seperti ada yang sengaja meninggalkan ini di sini untuk kupakai. Beberapa saat kemudian, sayap-sayap kecil itu mulai bergerak ke atas ke bawah. Aku melayang, sungguh tak percaya dengan apa yang kulihat. Sepatu itu membawaku menembus semak di belakang batu. Makin aneh saja kejadian yang menimpaku, aku seperti menembus tirai tak kasatmata dan menuju dunia yang belum pernah kulihat sebelumnya. Ada berbagai sepatu berwarna warni dengan ukuran yang berbeda-beda. Ada sepatu yang mengeluarkan air, laksana air terjun. Ada sepatu hak tinggi berjajar di sepanjang jalan, serupa mobil yang diparkir. Dan di sana, di tempat terjauh kulihat sepatu kets biru yang sangat besar dengan lubang-lubang berjajar serupa jendela. Tampak beberapa makhluk berjalan berdesakan keluar dari sana. Mengingatkanku pada stasiun 53
di kala jam masuk kerja ketika manusia berdesakan keluar dari KRL. Pemandangan yang rasanya sering kulihat, tetapi kali ini sungguh berbeda. Bukan manusia yang keluar dari sana, tetapi makhluk hominoid berambut keriting dengan kulit berwarna kuning, telinga bulat serupa donat dan mata besar. Ini bukan bumi, ini bukan duniaku, siapakah mereka? apakah mereka alien? ataukah mereka monster, atau mungkin mereka manusia sepatu? Arrghhhhh.... aku berteriak kencang diliputi kepanikan. Mata-mata besar itu memandangku dengan tanda tanya, makhluk-makhluk kuning itu mendengar teriakanku. Aku ketakutan, bagaimana ini, bagaimana caraku keluar dari tempat ini? Aku berpikir keras untuk menyelamatkan diri, hingga.... \"Mbak, Mbak, bangun mbak\" Aku mengucek mata, kulihat seorang pria berpakaian security berdiri di depanku. Sepertinya dia berusaha membangunkanku sedari tadi. Kulihat sekeliling, ternyata aku tertidur di bawah pohon tak jauh dari gerbang masuk kompleks perumahanku. *** SELESAI *** 54
Anugerah yang Istimewa Tak pernah kupikirkan sebelumnya, Allah SWT akan memilihku untuk menerima anugerah ini. Seketika aku bertanya, apa salahku, mengapa aku di antara sekian banyak manusia, di antara sekian banyak ibu. Lambat laun aku pun menerima, hanya orang tua istimewa yang dianggap mampu, akan dititipkan anugerah yang istimewa. Vera Fitriyanti, nama yang tercantum di akta kelahiranku. Terlahir sebagai anak tunggal dari pasangan ayah berdarah sunda dan ibu berdarah jawa. Anak yang sangat dinanti kalau bisa kubilang, setelah sepuluh tahun pernikahan. Tak heran kalau papah, panggilan sayangku untuk ayah, sangat menyayangi dan memanjakanku. Masa kecil kuhabiskan di kota Denpasar, hingga di kelas tiga sekolah dasar papah dimutasi ke Cirebon. Tak berapa lama, ketika aku kelas satu SMP, papah meninggal, dan aku hidup berdua hanya dengan mamah. Segera setelah lulus SMK, aku menikah dengan suami yang sepuluh tahun lebih tua dariku. Kami tinggal bersama di kota Cirebon, di lingkungan tempat tinggal yang baik dan hidup berkecukupan. Tahun 2013, bayi mungil itu lahir di usiaku yang masih sembilan belas tahun. Persalinan normal di bidan menjadi pilihanku dan suami. Di tengah rasa sakit selepas kontraksi dan melahirkan, kondisi bayi yang tidak segera menangis menghunjamku dengan rasa takut. Tali pusar melilit lehernya, bersyukur bu bidan sigap melepaskan lilitan dan tak berapa lama tangis yang ditunggu itu terdengar. Alif Zivaro Aydin, nama yang kami pilih untuk putra pertama kami ini. Ketika masih bayi, Alif sangat ekspresif. Dia bahkan memenangkan berbagai perlombaan foto di media sosial. Saat sudah lancar berjalan, aku mengajak Alif mengikuti lomba peragaan busana. Berjalan, bergaya, dan berfoto, Alif kecil tampak menikmatinya. Alif tumbuh seperti anak-anak lainnya. Hingga di usia dua tahun, aku memutuskan untuk menyekolahkannya. Awal masuk playgroup sudah tampak penolakan, tetapi aku anggap itu wajar. Selayaknya anak seusia Alif yang mulai beaktivitas sendiri tanpa ibunya pasti butuh adaptasi. Namun, semakin hari terasa semakin berat, Alif selalu berontak setiap tiba di gerbang playgroup. Ketika anak lain mendengarkan dan mengikuti perintah guru, Alif berlarian dan berteriak, tak bisa mengikuti instruksi. Guru playgroup tampak kewalahan dan membiarkannya saja, lebih memilih anak lain yang mau menurut. 55
Program skrinning pertama dijalani Alif di playgroup, konsultan psikologi menyatakan Alif mengalami speech delay. Aku tak menyadari hal itu, karena sebagai ibunya tak ada kesulitan bagiku untuk memahami keinginannya. Suami tidak banyak berkomentar, tetapi dia menyerahkan padaku jika memang perlu memberikan terapi khusus kepada Alif. Setiap pagi bergulat dengan tantrum Alif ketika mengantar ke playgroup, menguras emosi. Aku tak sanggup lagi, kuputuskan keluar dan membersamainya di rumah sambil mencari tempat terapi yang cocok untuk Alif. Maklum, ketika itu klinik tumbuh kembang masih sangat jarang. Setelah setahun, akhirnya Alif memulai terapi. Para terapis sangat tegas dan profesional, di sana Alif memperoleh terapi wicara, okupasi, kognitif, dan lainnya. Suatu hari, terapis Alif memintaku masuk ke dalam ruangan. Hal yang sangat jarang terjadi sepanjang 4x sesi terapi Alif di sana. Aku duduk, tak ada gelisah, tak ada prasangka apapun, hanya perasaan biasa. Namun, tak ada yang biasa dari informasi yang disampaikan padaku, Alif mengidap autisme. Aku bergeming, tak terlintas di pikiranku diagnosa speech delay berubah menjadi autisme. Perasaanku tak menentu, tak ada pikiran sama sekali bahwa anakku mengidap autisme, kelainan perkembangan saraf. Seperti halnya diriku ketika kusampaiakan pada suami, penyangkalan adalah reaksi pertama yang ditunjukkannya. Bahkan hingga kini, suami selalu menganggap Alif sama seperti anak lainnya, bukan sebagai anak berkebutuhan khusus. Kekuatan muncul dalam diriku, aku tak mau terus terpuruk dan mencari penyebab atau menyalahkan siapapun, karena yang kubutuhkan adalah solusi. Aku mulai mencari di internet tentang ciri anak autis, dan aku menemukannya pada diri Alif. Kebiasaannya mengayunkan tangan secara berulang dan berteriak-teriak adalah bagian dari ciri khas yang mungkin akan dibawanya hingga dewasa. Seringkali teriakan itu menggangu orang di sekitarnya, bahkan diriku ibunya, meskipun aku tahu teriakan itu muncul ketika ada sesuatu yang disenanginya. Tidak mudah memang membersamai anak yang istimewa, aku harus banyak bersabar untuk mengajarinya. Terlebih Alif sangat aktif, seolah energinya tiada habisnya, jangankan duduk diam belajar selama beberapa jam, beberapa menit saja aku membutuhkan usaha extra keras. Kemampuan parenting yang masih minim membuatku 56
mencari komunitas yang bisa menjadi wadahku belajar, salah satunya Ibu Profesional. Aku pun mulai mengenal metode montessori dan menerapkannya secara perlahan kepada Alif. Kami duduk berhadapan dengan meja di tengah, memastikan alat peraga yang dimainkan memiliki warna yang sama, untuk mempertahankan fokus Alif dan mencegah distraksi. Kabar bahagia hadir di keluarga kami, tetapi di saat yang sama muncul kekhawatiran. Aku hamil anak kedua. Sempat takut jika nanti Alif akan membenci adiknya. Namun, ketika Afif − adik Alif lahir, Alif langsung menyukainya dan senang membantu merawatnya. “Alif, tolong ambilkan baju adik warna biru di laci paling atas,” ujarku pada Alif ketika memintanya membantuku. Memang dalam berkomunikasi dengan Alif, detail sangat penting agar dia memahaminya. Di usia Alif 5 tahun, aku meminta izin kepada terapis untuk menyekolahkan Alif di sekolah umum. Perkembangan Alif sudah cukup baik, sudah bisa berkomunikasi, dan memahami instruksi dengan baik. Namun, dari sekian banyak sekolah TK yang kusambangi, tak ada yang mau menerima, kondisi Alif mungkin menjadi penyebabnya. Akhirnya ada juga sekolah yang bersedia. TK umum adalah pemandangan baru bagi Alif, biasanya anak seusia yang ditemuinya hanya peserta terapi yang sesinya bersamaan. Mereka lebih banyak diam dan tidak saling berinteraksi. Kini Alif bertemu dengan anak- anak normal yang berlarian, tertawa-tawa dan mengajaknya mengobrol. Setelah sebulan mencoba membujuk Alif memakai seragam sekolah, aku pun menyerah. Kusampaikan kepada terapis tentang keengganan Alif ini. Ajaib, dalam satu kali sesi terapi, esok harinya Alif bersedia memakai seragam sekolah. Anak dengan autisme cenderung hipersensitif dengan elemen di lingkungan sekitarnya, termasuk kain pada pakaian. Ada satu lagi kebiasaan Alif yang cukup merepotkan, dia sangat tidak suka difoto. Padahal ketika masih bayi, sering menang lomba foto. Yanda, panggilan Alif pada ayahnya sempat kesal melihat foto perpisahan TK Alif, pasalnya foto Alif ditempel di antara foto teman-teman sekelasnya. Tantangan kembali hadir ketika Alif harus masuk sekolah dasar. Di saat yang sama suami dipindah kerja ke Kalimantan. Pekerjaannya sebagai mekanik memang mengharuskannya sering berada di lapangan. Kami terpaksa berpisah, aku tetap di Cirebon mengurus Alif, Afif, dan menemani mamah. Selama ini aku memang sangat 57
mandiri dalam mengurus kebutuhkan Alif, suami tidak banyak campur tangan. Termasuk membeli mainan edukatif, aku menyisihkan dari jatah bulanan. Di usia 7 tahun, Alif tidak lagi mengikuti terapi. Kemampuan kognitif dan verbal sudah bisa mengikuti anak normal seusianya. Meski memang masih ada sedikit kesulitan dalam memahami instruksi, tetapi perlahan Alif mampu mengerti. Berdasarkan rekomendasi teman, aku menemukan lembaga skrining untuk mengevaluasi perkembangan Alif. Selama tiga hari dengan masing-masing sesi 2 jam, Alif di−interview. Hasilnya, Alif didiagnosa Autisme-Asperger. Sindrom Asperger memiliki gejala yang tidak terlalu berat dibanding autisme sejenis. Aku semakin mantap menyekolahkannya di sekolah umum. Akhirnya aku menemukan SDIT yang mau menerima Alif. Sekolah baru, angkatan pertama hanya terdiri dari 4 siswa, Alif salah satunya. Selama masa pandemi, Alif sempat mengikuti pembelajaran daring di TK, dan dia sangat kesulitan. Di sekolah ini pembelajaran dilakukan secara offline. Saat ini, Alif sudah berusia 9,5 tahun. Dia sudah mandiri dan mampu mengikuti pelajaran di sekolah. Di usia 8 tahun, sekolahnya mengadakan tes IQ untuk siswa, dan hasilnya nilai Alif di atas rata-rata anak normal. Jika dahulu aku membatasi Alif keluar rumah, karena takut di−bully oleh anak tetangga, kini aku memberi lebih banyak kebebasan. Sebagai ibunya aku sangat bangga dengan perkembangan Alif, aku percaya meski mengidap autisme, Alif dan anak-anak berkebutuhan khusus lainnya akan mampu berdaya. Hidup dengan baik, dan menyongsong masa depan yang cerah. Tentang Narasumber Vera Fitriyanti, ibu rumah tangga yang juga seorang freelancer di bidang broadcasting seperti live host dan podcaster, produser program digital. Penggiat organize mainan anak, antusias dengan fotografi, DJ mixing, dan memasak. Lebih dekat dengan Vera, kunjungi instagram @veragya dan blog ensavoirculinaire.blogspot.com 58
Gadis Venus Masa Bodoh Siang itu panas terik, dan debu beterbangan di sekelillingku. Rasa haus sudah tak tertahankan lagi, tetapi pria di depanku masih belum juga menghentikan laju sepeda motornya. Ia berkendara sambil menggerutu kepadaku yang duduk di boncengan. Berkali-kali menegurku ketika aku memutar-mutar lembaran besar di tanganku karena bingung mencari arah utara. Bukan salahku jika aku kesulitan menentukan garis mana yang harus kami lewati di selembar peta yang kupegang. Satu-satunya informasi yang kuketahui adalah, letak warung makannya di gang sempit sekitar alun-alun Yogyakarta. “Jadi ke mana lagi ini? Kanan apa kiri?” tanyanya. “Bentar, berhenti dulu deh ah. Kayaknya kiri deh, trus belok ke kanan.” Tahun demi tahun berlalu, teknologi semakin berkembang. Aku dan si pria kini sudah menikah, namun kecintaan kami mengunjungi tempat-tempat baru masih tetap sama. Bedanya, kini kami tak lagi mengendarai sepeda motor, tetapi kendaraan roda empat yang bisa memuat 3 anggota tambahan yang ikut serta berpetualang bersama kami. Mencari tempat makan legendaris atau bahkan viral, kini tak sesulit dahulu. Tak perlu lagi kami membeli peta berukuran satu meter persegi sebelum mengunjungi suatu kota. Semua ada dalam genggaman. Aplikasi penunjuk arah sudah terpasang di smartphone. Bahkan dilengkapi dengan suara renyah dari mbak-mbak yang akan mendampingi kita sambil menunjukkan arah belokan. Aplikasi peta biasanya menunjukkan cara tercepat untuk menuju suatu tempat. Tetapi seringkali jalan yang dipilih tidak nyaman, sempit, banyak belokan, kadangkala tidak muat berpapasan dengan mobil lawan arah. Padahal sebenarnya ada jalan besar yang lebih nyaman untuk dilewati dan selisih waktu tempuhnya tidak terlalu besar. Jika kami berkendara dengan sepeda motor, tentu tidak masalah, beda cerita karena kami memakai mobil. Pada saat-saat seperti inilah preferensi manusia kembali dibutuhkan. Di saat yang sama aku harus bersiap menjadi navigator yang pastinya akan sering mendengar omelan dari driver sepanjang perjalanan. “Ini nggak salah Bun? Kok kita lewat tengah hutan gini?” ujar suamiku ketika kami sedang berkendara dari Klaten menuju Solo. Saat itu libur panjang, sehingga jalan utama 59
sangat padat kendaraan. Karena sudah cukup malam, kami berusaha mencari jalan alternatif. “Ya ini di maps gini. Mana bunda tahu disuruh lewat jalan sempit diantara pohon- pohon jati yang tanpa lampu ini.” Aku menyadari kekuranganku terkait arah, sejak kecil aku kesulitan membaca peta, apalagi peta buta di tugas sekolah. Aku bahkan tak tahu arah setiap berada di tempat baru, seringkali aku harus mengulang sholat karena salah kiblat. Aku tak menyangka hal ini akan menjadi salah satu penyebab pertengkaran kami. Mas H, suamiku adalah orang yang selalu tepat waktu. Beberapa kali kami terlambat menghadiri pesta pernikahan karena nyasar dan salah jalan, yang terparah kami tiba di tempat pesta dan panitia mulai membereskan kursi. Aku tak menyangkal itu salahku. “Gimana sih, kan ayah gak enak sama yang punya hajatan. Sudah jauh-jauh malah sampainya terlambat. Jadi nggak ketemu teman-teman lain juga kan,” gerutu suamiku ketika keluar dari gedung pernikahan. “Iya, maaf. Kan bunda juga belum pernah ke daerah sini,” kataku meminta maaf sambil membela diri. Kelemahanku ini seringkali menggangguku, hingga suatu saat aku membaca sebuah buku berjudul“Why Men Don’t Listen And Woman Can’t Read Maps” karya Allan dan Barbara Pease. Membaca buku ini membuka wawasanku bahwa struktur otak laki-laki dan perempuan itu berbeda. Jika laki-laki sering kesulitan menemukan barang, maka wanita kesulitan menentukan arah. Jadi tak heran jika kebanyakan wanita tak bisa membaca peta. Aku menikah di usia 24 tahun, kurasa ini usia yang cukup matang untuk membina keluarga. Mengenalnya selama kurang lebih 3 tahun merupakan waktu yang cukup untuk memahami karakter masing-masing. Kupikir pernikahan kami akan mudah. Namun, hal- hal sederhana yang tadinya biasa saja, menjadi masalah setelah berumah tangga. Bekerja keras seharian dan mengurus 3 anak kami sudah cukup melelahkan, tetapi setiap kali aku harus membereskan sampah bekas cemilan, atau kulit kuaci berserak di meja. Aku tak habis pikir apa sulitnya baginya untuk memasukkannya ke tempat sampah yang tak sampai tiga meter jaraknya. Belum lagi ketika aku harus membuka gulungan lengan baju satu per satu sebelum mencucinya, padahal sudah sering kali aku 60
memintanya untuk melakukannya sendiri. Terlihat sepele, tetapi hal ini memperpanjang waktu mencuciku. “Berapa kali sih bunda bilang, tiap lepas baju sekalian aja dirapiin gulungannya. Ambil juga itu duit-duit apa nota di kantong celana.” “Lupa.” Hanya satu kata itu yang terucap dari suamiku setiap kali aku ngomel- ngomel. Tak jarang aku menggerutu, kenapa para suami tak dapat menemukan kaus kaki yang jelas-jelas ada di laci, atau menemukan keju di kulkas. Namun kekesalan itu tak seberapa jika dibandingkan dengan tersiram shower dalam pakaian lengkap ketika membuka kran air, hanya karena pria yang berbagi kamar mandi denganmu lupa menarik tuas kran. Masih banyak lagi kebiasaan menyebalkan para pria yang mungkin tak akan kita ketahui sebelum hidup bersamanya sebagai sepasang suami istri. “Ayaaaaaaaahhhhh. Bunda mau wudhu jadi basah kuyub ini. Kalau gak bisa narik kuas, ganti aja krannya pakai yang dual kran.” *** Sore itu suamiku pulang dengan wajah lesu, senyum tak tampak di wajahnya. Keributan kecil yang dilakukan anak-anak menyulut amarahnya. Aku tahu ada sesuatu, ada masalah yang mengusiknya. Kudekati dia, dan menanyakan ada apa. Bertubi-tubi pertanyaan kulontarkan. Namun dia semakin kesal dan pergi menghindar. “Udah ah, nggak ada apa-apa,” ujarnya sambil berlalu. Aku merasa tak berguna, aku tak dapat menenangkannya. Malam hari dia sibuk berkirim pesan singkat dan menelepon, sama sekali tak mengindahkanku. Keesokan harinya, aku kembali mencercanya dengan berbagai pertanyaan. Berusaha mengorek apa yang terjadi, tetapi lagi-lagi dia bergeming dan berlalu. Seharian aku tak tenang dan terus memikirkan apa yang terjadi. Karena tak tahan dan penasaran, akupun mengirim pesan singkat padanya. Dia hanya menjawab singkat dan berjanji akan menceritakannya sepulang kerja. Kamu kenapa sayang? Aku salah apa? Kalau aku salah aku minta maaf. Nanti ya, kalau udah pulang. 61
Aku bersiap dengan teh hangat di meja makan, sambil menunggu Mas H mandi selepas bekerja. Akhirnya dia menceritakan kepadaku apa yang mengganggunya. “Ada produk cacat yang sudah sampai ke pelanggan. Owner minta ganti rugi total, kerugian bisa mencapai puluhan juta. Jadi bos-bos pada ribut ini,” ceritanya kemudian. “Trus jadinya gimana?” tanyaku. “Udah, udah beres, Bisa dinego untuk perbaikan di tempat. Jadi tadi ayah lagi koordinasikan teknisi yang berangkan ke lokasi perbaikan.” Ada masalah yang cukup pelik di kantor, yang harus diselesaikannya segera. Tetapi hingga semalam dia belum menemukan solusi terbaik, sehingga pikirannya masih sangat kacau. Kini setelah semua masalah terselesaikan, dia baru bisa menceritakan semuanya kepadaku. Kemudian dengan lembut Mas H berkata, “Lain kali gak usah nanya detail gitu, nambahin pusing. Bunda kalau nanya beruntun sih. Nanti kalau sudah longgar juga ayah cerita. Sabar aja.” Semakin mengenalnya, semakin banyak hal yang tak kuketahui. Semakin banyak perbedaan diantara kami. Cara pandang kami terhadap sesuatu seringkali berbeda, cara kami menyikapi sesuatu juga berbeda. Tetapi bukan karena kami tidak cocok, itu hanyalah karena dia pria dan aku wanita. Mengenai kebiasaan-kebiasaan menyebalkannya, aku sudah masa bodoh. Cukup lakukan apa yang mampu, dan relakan yang tidak mampu diubah. Toh kata John Gray,” Men Are From Mars, Women Are From Venus”. *** SELESAI *** Pria dan Wanita berasal dari dunia yang berbeda, menjadi sepasang artinya berbagi segala hal bersama-sama. Maka terimalah suami dan istrimu seperti adanya. 62
Merindu Naungan Di pinggir jalan beraspal, berdiri sebuah bangunan limasan dengan 12 pintu kayu berjejer empat-empat diselingi tiga set jendela kaca riben. Lantainya masih plester kasar, tetapi di temboknya tertempel keramik mengkilat warna hijau zamrud. Itulah rumahku. Siang itu hawanya cukup panas, hembusan angin AC di ruang kerjaku tak mampu meredakan rasa gerah yang kuderita. Mungkin karena banyaknya manusia yang juga mencari sedikit kenyamanan dari pendingin udara tersebut. Mulai dari staff biasa hingga direktur berada dalam satu ruangan luas yang sama. Masing-masing departemen hanya dipisahkan oleh serangkaian pembatas non permanen. Adzan Ashar berkumandang, aku bergegas meminta izin kepada atasan untuk sholat di masjid. Salah satu aktivitas sore yang selalu kulakukan menjelang jam pulang kantor. Biasanya aku menyempatkan duduk-duduk sebentar di pinggir lantai masjid untuk melepas penat dan menikmati semilir angin. Oh ya, masjid kantor kami cukup besar, tetapi tidak memiliki tembok keliling. Hanya tiang-tiang kokoh yang menyangga atap, dan dialasi dengan lantai keramik berundak. Hujan turun rintik-rintik, menunda niatku untuk bergegas kembali ke ruangan. Toh hari ini pekerjaanku sudah selesai. Ternyata, hawa panas yang kurasakan sebelumnya menjadi penanda akan turunnya hujan. Entah apa ada penjelasan logis akan hal itu, yang jelas itulah yang selalu diucapkan ibuku pada hari seperti ini. Termenung sendirian mengingatkanku akan rumah. Sudah beberapa bulan aku tak pulang. Terlalu melelahkan jika harus menempuh perjalanan sejauh 500 kilometer lebih dari Cikarang ke Sragen hanya untuk bermalam sehari di akhir pekan. *** Rumahku letaknya di pinggir jalan, cukup strategis meski hanya di desa kecil. Tempat satu-satunya aku kembali dari setiap petualangan yang kujalani. Dulu, rumah itu hanya bertembokkan papan-papan kayu, dengan alas tanah merah yang harus sering- sering disiram air agar tak berdebu. Tahap demi tahap, orang tuaku membangun rumah 63
itu dengan menyisihkan pendapatan dari gaji atau mengambil pinjaman pegawai negeri. Kemudahan memperoleh transportasi umum adalah satu keuntungan, tetapi bukannya tanpa kesulitan. Beberapa kali kami harus membongkar rumah dan memundurkannya ke belakang karena ada pelebaran jalan. Pada akhirnya, ayahku memiliki uang yang cukup untuk membangun rumah dengan tembok batu bata. Aku duduk di kelas 5 Sekolah Dasar ketika itu. Rumah bagian depan, dibangun terlebih dahulu. Sehingga kami bisa tetap tinggal di rumah bagian belakang yang masih memakai papan kayu sebagai temboknya. Mempertimbangkan adanya kemungkinan pelebaran jalan di masa depan, pondasi dimulai dengan jarak sekitar lima meter dari jalan aspal. Kupikir, ayahku akan membangun rumah dengan banyak ruang kamar seperti rumah-rumah temanku. Ternyata, rumah yang dibangun adalah rumah limasan tanpa sekat dan terdiri dari tiang-tiang kayu jati yang menyangga atap. Sangat luas dan tinggi hingga aku dan adikku bisa bermain badminton di situ. *** Hujan sudah mulai reda, aku tahu harus segera kembali ke ruangan kantor sebelum ada yang mengirim pesan dan mencariku. Sore ini teman-teman kerjaku bersiap untuk pulang sesegera mungkin, karena hari Jum’at esok hari adalah tanggal merah di kalender. Sehingga kami perlu mengecek kembali apakah ada hal urgent yang harus diselesaikan sebelum pulang. Kali ini aku cukup santai, karena tak perlu bergegas mengejar bus Damri menuju bandara, ataupun bus kota menuju stasiun di Jakarta. Aku tak akan pulang. Minggu lalu aku mencoba mengecek ketersediaan kereta bisnis malam untuk keberangkatan hari ini ke Solo. Ternyata di website KAI, tak tersisa satu tiketpun. Harga tiket pesawat melambung tinggi, rasanya sayang menggunakan gajiku untuk naik pesawat pulang pergi dan hanya menginap satu atau 2 malam di rumah. Bel pulang kantor berbunyi, semua orang bergegas menuju pintu keluar ke arah parkiran. Aku mematikan komputer, menyambar tas dan berjalan mengikuti mereka. Satu dua tetes air hujan membasahi bajuku ketika aku tiba di parkiran sepeda motor. Tanganku menyentuh stang, dan kurasakan jantungku berdegup kencang. Kerinduan itu membuncah di dadaku. Aku ingin pulang. Kunyalakan sepeda motorku dan melaju dalam gerimis menuju tempat persinggahan bus malam antar kota yang juga menyediakan loket 64
penjualan tiket. Sepertinya tiket bus sudah terjual habis. Tetapi kemudian kudengar seseorang berteriak menjajakan tiket bus patas menuju Solo. Aku langsung membelinya. Tertera waktu keberangkatan jam 7 malam. Aku harus segera pulang ke kos untuk menaruh sepeda motor. Sesampainya di kos, kumasukkan beberapa barang ke dalam ransel dan segera mencari tukang ojek untuk mengantarku ke tempat persinggahan bus. Di tengah jalan, handphoneku bergetar. Ada pesan dari ibuku, adikku yang berusia 5 tahun berada di rumah sakit, jari kelingkingnya terpotong cukup dalam dan perlu dijahit. Ia bermain pisau tanpa sepengetahuan ibuku. Mengetahui hal itu, aku semakin mantap dengan keputusanku. Aku harus pulang. Pukul 21.00 WIB, sebuah bus yang terlihat cukup tua dan seperti tidak layak jalan berhenti di depanku. Ternyata inilah bus yang akan kunaiki ke kota Solo. Aku ragu, tetapi aku tak bisa mundur. Selama ini, aku tak pernah menaiki bus untuk pulang. Aku mudah mabuk perjalanan, sehingga aku lebih suka naik kereta. Kupaksakan kakiku menaiki bus tersebut dan mencari tempat duduk ternyaman. Sepanjang jalan, bus kami bergerak lambat. Memang jalanan sangat macet karena liburan, tetapi kuyakin mesin buslah masalahnya. Bus ini tidak terlihat seperti bus antar kota yang biasa, sepertinya memang bus dadakan yang tiba-tiba dipakai karena banyaknya penumpang yang tidak mendapat bus. Sembilan belas jam, di dalam bus yang sempit sembari menahan mual dan pusing. Lapar tak lagi kurasa, yang kuinginkan hanya, segera sampai di rumahku. Tepat pukul 4 sore hari berikutnya, kuinjakkan kaki di pinggiran jalan beraspal. Di seberang sana, berdiri rumah limasan 12 pintu yang sangat kurindu. Rumahku. *** SELESAI *** Rindu itu ibarat dahaga yang tak tertahankan, tak masalah seberapa besar derita yang kita terima, asal kerinduan terpenuhi, kita akan mampu menapaki hari dengan amunisi yang baru. 65
Keterikatan yang Tumbuh Tanpa Disadari Beberapa hari yang lalu, kami keluar rumah pagi sekali. Matahari belum juga terbit tetapi kami sudah bersiap-siap jalan pagi. Ketika mulai berjalan di carport, di sela-sela sepeda, suami berteriak. Ternyata ada 3 anak kucing di dekat rak sepatu. Induknya tidak ada, hanya mereka bertiga yang sepertinya baru lahir, karena matanya belum terbuka seluruhnya. Kami membiarkannya dan melanjutkan jalan pagi. Kegiatan yang akhir-akhir ini mulai rutin kami lakukan berdua. Sekedar menikmati udara pagi dan menambah bonding dengan ngobrol berdua sepanjang perjalanan. Pagi itu kami membahas kucing. Beberapa hari sebelumnya, saya melihat ibu-ibu yang memberikan biskuit kucing kepada kucing- kucing liar yang biasa berkumpul pagi-pagi di perempatan jalan. Beberapa kali saya melihat orang-orang memberi makan kucing-kucing liar tersebut. Tanpa sadar sayapun nyeletuk, \"Kok kita gak pernah sodaqoh sama kucing ya.\" \"Ya udah besok-besok kita beli makanan kucing trus ajak anak-anak kasih makan,\" jawabnya. Kami tidak terlalu suka kucing. Suami dan anak pertama malah takut kucing. Kalau saya sih lebih karena gak suka ngurusnya. Apalagi harus mengurus kotorannya. Padahal sebenarnya, sejak usia SMP, ibu saya sudah memelihara kucing. Hingga kini masih ada kucing di rumah ibu. Beberapa kali kami mengadakan penguburan karena kucing ibu mati tua. Beberapa juga ada yang hilang dan tidak pulang. Tetapi setiap kehilangan kucing, ibu selalu mengambil kucing baru. Entah diberi tetangga, teman, kenalan, atau pernah juga beli di petshop. Ketika kami sampai di rumah setelah berkeliling kompleks, induk kucing sudah pulang. Ia menyusui ketiga anaknya. Sepertinya si induk kucing meninggalkan anak- anaknya untuk mencari makan. Kami mengira, induk kucing dan anak-anak kucing itu hanya bermalam sementara di teras. Ternyata setelah beberapa hari, anak-anak kucing itu masih di sana. Sekitar jam sepuluh malam, induk kucing akan pergi. Sebelum subuh dia sudah kembali. Siang hari dia akan pergi lagi, dan pulang di sore hari. Dia hanya datang untuk menyusui anaknya, selebihnya anak-anak kucing itu ditinggalkan sendirian. 66
Akhirnya karena kasihan, kami membeli makanan kucing di supermarket. Agar si induk kucing tidak sering-sering meninggalkan anaknya. Mungkin inilah jalan sodaqoh saya untuk kucing. Kami membeli makanan untuk anak kucing. Namun anak-anak kucing itu belum bisa makan, mereka hanya menyusu pada induknya. Sehingga hanya induknya yang memakan biskuit kucing yang kami beli. Si induk masih sering pergi meninggalkan anak-anaknya, tetapi sudah tidak selama sebelumnya. “Bun, kok anak-anak kucingnya nggak mau makan,” tanya Laras anak kedua kami. “Iya, soalnya mereka masih kecil. Jadi hanya minum susu ibunya. Seperti Laras waktu masih bayi.” Masalah muncul ketika saya menemukan kotoran-kotoran anak kucing di sekitar rak sepatu. Bahkan sandalpun menjadi korban. Anak-anak kucing belum bisa ke mana- mana, sehingga mereka membuang kotoran di sekitar tempatnya tidur. Saya hanya menaburkan tanah kering sisa menanam bunga. Kami tak punya pasir atau tanah. Taman depan juga sudah penuh dengan tanaman. Jadi rasanya akan sangat merepotkan jika kami harus memeliharanya. Saat ini karena anak-anaknya masih sangat kecil, kami akan membiarkan mereka tinggal di teras. Tetapi kami berharap ketika mereka sudah kuat, induk kucing dan anak-anaknya itu akan meninggalkan rumah kami. Karena saya tidak merasa sanggup untuk memelihara mereka. Apalagi saya tinggal dengan tiga anak yg masih kecil-kecil dan tanpa bantuan ART. Sekarang saja, untuk membersihkan kotoran anak kucing itu, sudah sangat merepotkan. Setiap malam sepulang kerja, suami akan memberikan biskuit kucing itu di wadah yang saya siapkan, dan memberikannya kepada induk kucing. Pun ketika sahur, ia akan mengecek keluar, apakah induk kucing sudah pulang, dan kembali memberinya makan. Semenjak suami memberinya makan, si induk kucing lebih jarang pergi. Jika sebelumnya ia akan pergi sepanjang hari dan sepanjang malam, dan pulang hanya untuk menyusui anaknya, kini dia lebih sering goleran di teras bersama anak-anaknya. Jika melihat suami keluar rumah, si induk kucing akan mendekat dan memandangnya dengan tatapan penuh makna. Tadi malam, ketika saya sedang menyiapkan buka puasa di dapur, tiba-tiba terlihat bayangan di depan jendela dapur. Saya mengenalinya, suara mobil tidak terdengar tetapi tiba-tiba suami saya sudah berdiri di depan pintu dapur. Itu bukan pintu masuk yang biasa ia lewati. Sehingga meski sudah di depan pintu dan mengetahui ada saya di sana, ia 67
tak meminta dibukakan pintu. Melainkan seperti biasa, ia berjalan ke arah pintu ruang tamu dan masuk dari sana. Sembari menuju dapur dan meletakkan souvenir berupa gelas mug berwarna merah, ia berkata \"Kucingnya enggak ada semua, induk sama anak-anaknya enggak ada semua.\" Selesai mengatakannya, ia berlalu dan bersiap untuk mandi. Seperti dugaan saya, ia langsung mengecek kucing-kucing di teras, segera setelah turun dari mobilnya. Kedatangan induk kucing bersama anak-anaknya di teras rumah kami tentu saja tak diduga. Saya bilang pada suami, mungkin si induk sedang dalam proses memindahkan bayi-bayinya. Konon induk kucing akan berpindah sebanyak 7 kali setelah melahirkan bayinya. Saya sih tidak pernah menyurvei apakah memang pindahnya sebanyak 7 kali. Setelah dua malam berlalu, keluarga kucing itu belum pindah juga. Saya memang tidak berniat memeliharanya, terutama saya merasa repot jika harus mengurus kotorannya. Sehingga saya berharap mereka akan pergi sendiri jika sudah waktunya. Tetapi saya tidak menyangka akan secepat itu. Tanpa sadar, suami sering mengecek tempat kucing-kucing itu tinggal. Bahkan ia membawa senter dan mencari di sekitaran rumah dan di kotak-kotak listrik di rumah kosong atau di sekitar rumah tetangga. Sepertinya, suami mulai menaruh hati dan terikat dengan kucing pendatang itu. Mereka kucing liar, tetapi mereka selalu mengenali orang yang memberinya makan. Beberapa kali suami membicarakan anak-anak kucing, mengatakan bahwa mereka lucu dan menggemaskan, Ia yang tadinya membenci kucing, setelah berinteraksi mau tak mau timbul rasa peduli. Kitapun demikian, bisa jadi kita membenci sesuatu bukan karena hal itu buruk, tetapi karena kita belum mengenalnya. Orang cenderung takut terhadap sesuatu yang tidak diketahuinya, sesuatu yang tidak dikenalnya. Hal ini menjadi pelajaran untuk tidak meletakkan rasa benci sebagai tameng. Tetapi kenalilah dahulu, pelajarilah dahulu, dan kita akan mengerti sesuatu yang sebelumnya tidak kita ketahui. Pagi ini, anak laki-laki kami yang berusia 2 tahun 7 bulan ikut bangun dan makan sahur bersama. Setelah kami selesai sholat subuh dan mengaji, ia masih belum mengantuk. Akhirnya saya dan suami mengajak ketiga anak kami untuk jalan pagi. Di luar masih gelap, dan suami membawa senter. \"Sekalian nyari kucing, mau lihat mereka pindah ke mana,” ujarnya. 68
Ternyata dia masih belum move on. Selesai memakai sepatu, tiba-tiba induk kucing itu datang ke teras dan melihat suami. \"Dia berkunjung,\" kata saya. Suami mengambil biskuit kucing dan si induk kucing segera menuju wadah makanan. Dia tak membawa anak-anaknya. Mungkin dia meninggalkannya untuk mencari makan, dan dia masih ingat jalan menuju rumah kami. Kami sekeluarga melanjutkan jalan pagi keliling kompleks sambil membawa biskuit kucing untuk dibagikan kepada kucing-kucing liar di jalan. Kami harus merelakan anak-anak kucing lucu yang mungkin tak akan kami lihat lagi. Tetapi, sesekali si induk kucing mungkin akan berkunjung lagi ke rumah kami. *** SELESAI *** 69
Masa Tua dan Kebersamaan Pagi itu, seperti biasa aku bersiap menemani suamiku jalan pagi. Matahari belum juga terbit, langit masih gelap dan udara dingin terasa menusuk. Setelah melakukan sedikit peregangan, kami berdua mulai berjalan perlahan. Semakin lama semakin cepat, tak sampai berlari, tetapi cukup cepat. Sudah beberapa bulan kami melakukannya. Pada awalnya, hanya suamiku saja yang merutinkan jalan pagi, demi stamina tentu saja. Umur kami tak muda lagi. Entah karena sendirian atau karena malas saja, ia tidak konsisten melakukannya. Akhirnya aku berinisiatif menemaninya, hitung-hitung quality time berdua tanpa anak-anak. Rute yang kami tempuh hanya sekitar perumahan saja, mengelilingi satu demi satu cluster-cluster yang ada. Perlahan lampu jalan mulai dimatikan satu persatu. Hanya lampu tenaga surya yang masih menyala. Lampu-lampu itu akan mati dengan sendirinya begitu cahaya matahari sudah cukup menerangi jalan. Saat-saat tenang seperti inilah yang sangat memotivasi kami untuk tetap berjalan pagi bersama. Saling bercerita tentang keseharian, dan bertukar pikiran tentang banyak hal. Terkadang kami berdua hanya mengobrol dan mengomentari desain rumah yang kami lewati. Mencoba memimpikan rumah idaman yang memiliki gazebo, untuk sekedar duduk-duduk melepas penat. Ada taman belakang yang nyaman dan hijau untuk bercengkerama sambil menatap langit atau mendengar kicau burung. Sesekali aku akan berbicara sambil terengah berusaha mengejar langkah kakinya yang lebih cepat dariku. Atau terkadang dengan sengaja ia memelankan tempo berjalannya demi mengimbangi istrinya yang lambat ini. Di ujung jalan, kulihat sepasang kakek nenek berjalan berlawanan arah denganku. Mereka berdua adalah salah satu pasangan yang rutin kulihat berjalan-jalan pagi bersama. Memang ada beberapa orang lainnya yang juga berolahraga pagi, ada yang berjalan sendirian, berlari, bersepeda. Tetapi, dua pasang kakek nenek itulah yang hampir tidak pernah absen selama kami memulai berjalan pagi. Sang suami sangat tinggi, rambutnya sudah memutih dipenuhi uban. Sang istri cukup mungil, dengan rambut hitam yang dikuncir. Mereka berjalan dalam diam. Seringkali sang istri tertinggal karena langkah kaki suaminya yang lebar-lebar, namun tak berapa lama mereka akan berjalan 70
sejajar kembali. Meski tak seperti kami yang mengobrol sepanjang jalan, mengomentari berbagai hal yang kami lewati, tetapi mereka tampak saling mengasihi. Pikirankupun melayang ke masa depan. Membayangkan masa tua kami. Ketika anak-anak sudah dewasa, dan suamiku tak lagi bekerja, apa yang akan kami lakukan. Akankah kami tetap saling mengasihi seperti sekarang ini. Apakah kami akan terus berjalan bersama di pagi hari, dan membicarakan banyak hal yang kami temui, ataukah kami akan berjalan dalam diam seperti sepasang suami istri tua itu. Apapun itu, kuharap kami akan tetap bersama hingga tua, hingga kakek nenek, tetap sehat dan menikmati hari tua kami bersama. *** SELESAI *** 71
TENTANG PENULIS Roshinta Dewi Aryani, lahir di kota Sragen, Jawa Tengah. Seorang ibu domestik dengan 3 anak. Aktif di forum- forum kepenulisan dan menjadi kontributor buku antologi, diantaranya Reflection (2020), Super Dad (2021), Self Reminder (2021), Home Sweet Home (2021), Hospital Story (2021), Selaksa Karsa (2021), A Book with Hundred Colors of Story (2022), A Thousand Characters To Tell About Us (2022), Kisah Para Pejuang Inklusif (2022), Jantung Mendung Gelembung (2022), The Rewrite Story (2022), Oh, Itu Kisah Kita? (2022). Selain aktif di dunia kepenulisan, wanita yang akrab dipanggil Shinta atau Kak Ros ini juga aktif di komunitas pemberdayaan perempuan, selain itu juga menjadi bagian dari komunitas kuliner. Jejaknya bisa dilacak di akun facebook; Roshinta Dewi Aryani, instagram; @roshinta_dewi_aryani, blog; bungakubisbiru.blogspot.com. Carilah bahagiamu, di dalam cara berpikirmu! 72
Search