Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial Berbasis Partisipasi Publik Di Indonesia Oleh Sindung Haryanto FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2020
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirrobbil ―Aalamiin. Segala puji hanya milik Alloh SWT, dan penulis panjatkan kepada-Nya karena hanya berkat kasih sayang, rahmat, taufik, hidayah serta inayah-Nya, saya dapat menyelesaikan naskah pidato pengukuhan guru besar ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan Alam, Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat dan umatnya yang setia mengikuti sunah-sunahnya. Teriring do‖a semoga kita mendapatkan syafaat beliau di yaumul akhir, aamiin. Pidato pengukuhan ini berisi tema pengembangan early warning system konflik sosial berbasis partisipasi publik di Indonesia. Tema ini penulis pilih karena urgensi dan relevenasinya dengan kompleksitas persoalan konflik sosial di Indonesia yang hingga saat ini belum ada sistem pencegahan yang komprehensif, partisipatif, efektif dan efisien. Penulis mencoba menggabungkan prinsip-prinsip tersebut ke dalam sistem peringatan dini (early warning system) konflik sosial dengan memanfaatkan aplikasi android yang sudah digunakan masyarakat luas. Meskipun demikian, penulis menganggap bahwa gagasan ini masih perlu banyak penyempurnaan demi feasiblitas sebuah sistem yang applicable. Oleh karena itu melalui buku naskah pidato ini, penulis berharap masukan dan saran konstruktif dari sidang pembaca . Buku naskah pidato pengukuhan ini dapat terbit atas kerjasama dan kontribusi dari para pihak. Oleh karena itu, penulis melalui kesempatan yang mulia ini mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas kerjasama dan kontribusinya para pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial iii Berbasis Partisipasi Publik Di Indonesia
Teriring do‖a, semoga segala jerih payah Bapak/Ibu sekalian dicatat sebagai amal kebaikan dan mendapatkan balasan berlipat dari Alloh SWT. Terakhir, penulis berharap karya ini dapat memberikan manfaat baik baik ilmu pengetahuan maupun bagi kemaslahatan umat. Aamiin. Bandar Lampung, 25 Februari 2020 Prof. Dr. Sindung Haryanto, M.Si. iv Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial Berbasis Partisipasi Publik Di Indonesia
PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR Pengembangan Early Warning System Konf lik Sosial Berbasis Partisipasi Publik Di Indonesia Oleh Sindung Haryanto Bismillahirohmanirrahim. Assalamualaikum Warokhmatullohi wabarokatuh Tabik Pun.. Yang Terhormat Bapak/Ibu Ketua dan para Anggota Senat Universitas Lampung, Yang Terhormat Bapak Rektor dan para wakil rektor Universitas Lampung, Yang Terhormat Bapak Gubernur Lampung atau yang mewakili, Yang Terhormat Bapak Kapolda Lampung atau yang mewakili, Yang Terhormat Bapak Walikota Bandar Lampung atau yang mewakili, Yang Terhormat Bapak/Ibu Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dari berbagai universitas yang tergabung dalam Badan Kerjasama Wilayah Indonesia Bagian Barat (BKS-Barat), mohon maaf tidak disebutkan namanya satu persatu, Yang Terhormat Bapak/Ibu Rektor dan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dari berbagai universitas di Lampung yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial 1 Berbasis Partisipasi Publik Di Indonesia
Yang Terhormat Bapak/Ibu para undangan dari berbagai dinas dan instansi di Provinsi Lampung yang tidak disebutkan namanya satu per satu, Yang Terhormat Bapak/Ibu Dekan dan Wakil Dekan di lingkungan Universitas Lampung Yang Terhormat para professor/guru besar dan seluruh dosen serta tenaga kependidikan di lingkungan Universitas Lampung, Yang Terhormat para alumni dan para mahasiswa Program Sarjana (S1), Magister (S2) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung Yang Terhormat Ketua dan ibu-ibu Pengurus Dharma Wanita Persatuan Universitas Lampung Yang Terhormat para hadirin dan tamu undangan Segala puji hanya bagi Alloh SWT yang telah melimpahkan rahmat, karunia, taufiq, hidayah serta inayahnya sehingga saya dapat menyampaikan pidato pengukuhan Profesor/guru besar pada sidang Senat Terbuka Universitas Lampung hari ini tanggal 18 Maret 2020. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan alam Nabi Muhammad SAW, semoga kita mendapakan syafaatnya di Yaumil Akhir, Aamiin. Ya Robbal Aalamiin. Ketua Senat, Rektor dan Hadirin yang saya hormati 2 Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial Berbasis Partisipasi Publik Di Indonesia
A. Pendahuluan Pada kesempatan yang mulia ini izinkan saya menyampaikan pokok-pokok gagasan pemikiran saya mengenai “Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial Berbasis Partisipasi Publik di Indonesia”. Gagasan pemikiran ini dilandasi oleh keprihatinan saya selaku akademisi terhadap persoalan konflik sosial di Indonesia. Persoalan konflik sosial di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir ini bukan saja terkait kuantitas dan kualitas kasus yang meningkat drastis, melainkan juga terdapat persoalan lain seperti rendahnya partisipasi masyarakat dalam pencegahan konflik, lemahnya penanganan konflik, rendahnya jaminan sosial bagi korban, kurang komprehensifnya resolusi konflik, dan yang paling krusial adalah belum terbangunnya sistem deteksi dini (early warning system) konflik sosial di Indonesia sebagai langkah preventif untuk mencegah terjadinya konflik. Pengembangan sistem deteksi dini (early warning system) di Indonesia mendesak untuk dilakukan mengingat beberapa pertimbangan. Pertama, potensi konflik sosial yang besar akibat mismanajemen keberagaman di Indonesia dan berbagai kebijakan diskriminatif terhadap kelompok-kelompok tertentu di masyarakat. Kedua, penanganan konflik yang dilakukan selama ini belum memadai. Dalam banyak kasus konflik, aparat keamanan selalu datang terlambat ketika ledakan kekerasan telah terjadi dan korban telah berjatuhan. Fakta seperti ini mencerminkan lemahanya upaya- upaya pencegahan konflik di masyarakat. Ketiga, dampak konflik sosial yang luas selama ini menjadi social cost yang hampir sepenuhnya ditanggung masyarakat. Hingga saat ini belum ada sistem jaminan sosial yang cukup memadai bagi korban konflik sosial. Dampak tersebut bukan saja meliputi kerugian material melainkan kerugian-kerugian lain seperti kehilangan nyawa, luka- luka, trauma, hilangnya rasa aman, terganggunya layanan publik, merosotnya solidaritas sosial dan bahkan hilangnya rasa kepercayaan (social trust) masyarakat terhadap insitusi negara. Keempat, perubahan sosial yang cepat menuju masyarakat digital yang memiliki sifat dua muka (two edge) dalam kaitannya dengan Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial 3 Berbasis Partisipasi Publik Di Indonesia
konflik sosial. Di satu sisi, fenomena tersebut dapat meningkatkan (eskalasi) konflik namun di sisi lain berpotensi pula menjadi media positif bagi pencegahan konflik sosial. Kelima, baik secara teoritik maupun empirik, konflik sosial bukanlah merupakan peristiwa yang tiba-tiba terjadi melainkan sebelumnya melalui proses/pentahapan hingga terjadinya peristiwa kekerasan. Menurut Creative Associates International (2013), konflik sosial dapat diprediksi walaupun terjadi eskalasi yang sangat cepat dalam proses sosialnya. Ketua Senat, Rektor dan Hadirin yang saya hormati B. Potret Konflik Sosial Di Indonesia Indonesia sebagai negara multikultural terbesar di dunia ditandai dengan keaneka- ragaman etnisitas. Data sensus 2010 lalu, menunjukkan bahwa jumlah suku bangsa di Indonesia mencapai 1.340. Menurut Arifin et al. (2016), secara sosiologis, suku bangsa- suku bangsa di Indonesia cenderung terfraksionalisasi dibandingkan terpolarisasi. Di antara provinsi dan kabupaten yang ada, terdapat variasi mulai dari yang bersifat homogen hingga heterogen, dan dari yang paling terfragmentasi hingga yang tidak terfragmentasi, serta propinsi dan kabupaten yang paling tidak terpolarisasi ke provinsi atau kabupaten yang paling terpolarisasi. Variasi dalam keragaman etnis terjadi di seluruh pulau meskipun provinsi dan kabupaten di Pulau Jawa cenderung lebih homogen, kurang fraksinasi, dan kurang terpolarisasi dibandingkan provinsi dan kabupaten di luar Pulau Jawa. Indikator keragaman yang lain berupa keragaman bahasa, budaya, ideologi politik, organisasi kemasyarakatan (ormas), agama dan aliran kepercayaan, serta ekspresi keberagamaan yang kesemuanya memberikan kontribusi bagi kompleksitas problema keberagaman di Indonesia. Keberagaman tersebut dapat menjadi berkah bagi bangsa akan tetapi di saat yang sama dapat mejadi bencana. Reilly (2003) menyebut bahwa demokrasi lebih sulit berkembang pada masyarakat plural. Secara teoritik masyarakat plural juga lebih rentan terjadi konflik sosial, apalagi jika terjadi 4 Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial Berbasis Partisipasi Publik Di Indonesia
mismanajemen keberagaman. Faktanya menunjukkan bahwa dalam kesejarahan bangsa Indonesia, mismanajemen keberagaman tersebut terjadi dan sangat menonjol pada era orde baru. Abdullah (2003) mencatat, paling tidak terdapat empat kebijakan yang kontraproduktif terkait dengan pengelolaan kebhinekaan di Indonesia. Pertama, penerapan strategi represif berupa politik asas tunggal sebagai penerjemahan konsep “bangsa yang satu” yang dipopulerkan Sukarno. Politik asas tunggal berimplikasi pada respon dalam melihat perbedaan yang terjadi di masyarakat. Perbedaan- perbedaan, sebagai basis kekuatan sosial, bukan saja dihilangkan tetapi diperangi sebagai suatu “kesalahan”. Politik ini lebih mengedepankan keseragaman daripada mengembangkan keberagaman sebagai nation building strategy-nya. Kedua, politik penataan etnis yang cenderung diskriminatif. Proses eksklusi dan inklusi etnis tertentu berlangsung dalam wujud kebijakan dan program-program pembangunan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa etnis mayoritas mendapatkan privelese-privelese dalam berbagai bentuk, sementara etnis yang tidak memiliki back-up mengalami marginalisasi. Akibatnya terjadi dampak saring (filtering effect) yang pada gilirannya meningkatkan kesenjangan sosial berbasis etnisitas. Ketiga, politik bahasa yang memarginalisasi bahasa daerah. Pemberlakukan bahasa Indonesia sebagai nasional mengakibatkan bahasa-bahasa daerah mengalami kemunduran. Sebanyak kira-kira 512 bahasa telah diingkari sebagai suatu variasi dan diversifikasi ekspresi yang menyimpan perbedaan logika dalam berpikir. Terakhir, untuk membendung pengaruh paham komunisme, negara telah memaksakan kehendaknya dengan mendorong warga negaranya untuk memilih lima agama yang diakui di Indonesia. Dalam jangka waktu lebih dari 30 tahun, proses tersebut telah membendung dan telah membunuh berbagai agama- agama lokal yang potensial berkembang. Mismanajemen keberagaman tersebut disertai faktor-faktor lain seperti politisasi SARA serta eforia reformasi menjadi faktor– faktor yang berkontribusi terhadap meningkatnya konflik sosial di Indonesia. Sejumlah studi menunjukkan bahwa sejak berakhirnya Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial 5 Berbasis Partisipasi Publik Di Indonesia
Orde Baru tahun 1998, terjadi peningkatan drastis kasus-kasus konflik kekerasan di Indonesia (Aspinal, 2011, Al-Qurtuby 2012/2013, Varshney, Tadjoeddin, & Panggabean, 2008). Dalam kontek ini, menurut Sirozi (2005), meningkatnya radikalisasi politik di era reformasi lebih disebabkan karena kelompok-kelompok radikal di masa Orde baru yang mengalami tekanan melakukan konsolidasi kekuatan politiknya sekaligus berperan dalam dinamika sosial, politik, dan agama. Era reformasi merupakan momentum untuk melakukan hal itu semua. Konflik sosial yang terjadi di Indonesia mengalami dinamika baik dari segi faktor penyebabnya, lokus kejadian, bentuk-bentuk kekerasan, pelaku, korban maupun sifat konflik kekerasan. Laporan World Bank (2010) misalnya menunjukkan bahwa terdapat 6 (enam) provinsi di Indonesia yang mengalami konflik kekerasan rutin yang tinggi—yang seringkali berupa bentrokan antar kelompok geng (preman), demonstrasi politik yang berujung ricuh, pengeroyokan terhadap pencuri, atau pertikaian masalah lahan. Dari bentuk- bentuk konflik kekerasan tersebut, sejak 2006 terjadi rata-rata 2.000 insiden konflik kekerasan per tahun pada enam provinsi yang dihuni hanya 4 persen dari penduduk Indonesia. Selama 2006-2008, konflik tersebut telah menelan korban tewas lebih dari 600 orang, 6.000 korban luka-luka, dan lebih dari 1.900 bangunan hancur. Mengingat meluasnya kekerasan berskala besar pada masa lalu diawali oleh insiden kekerasan berskala kecil, tingginya tingkat kekerasan rutin menandai potensi eskalasi konflik. Sifat konflik kekerasan di Indonesia telah mengalami perubahan secara gradual. Bila pada periode 1999-2004, isu-isu identitas melatarbelakangi kebanyakan kasus kekerasan berskala besar, kini isu moral/tersinggung yang kian mengemuka, dan menyebabkan lebih dari setengah jumlah korban tewas akibat konflik pada beberapa tahun terakhir. Bentuk dari insiden kekerasan yang marak terjadi pun berubah. Meski kerusuhan dan bentrokan antarkelompok masih terjadi, frekuensinya telah berkurang, dan insiden penganiayaan dan perkelahian yang paling banyak menyebabkan korban tewas pada beberapa tahun terakhir. 6 Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial Berbasis Partisipasi Publik Di Indonesia
Respon aparat keamanan terhadap konflik kekerasan masih lemah. Hanya 7 persen konflik kekerasan yang terdata dalam database selama 2005-2008 ditangani secara langsung oleh pihak militer atau kepolisian, termasuk Brimob. Konflik antarunsur atau elemen dalam tubuh militer atau kepolisian, yang sempat menghambat efektivitas penegakan hukum selama periode konflik berskala tinggi, terus terjadi dan menyebabkan insiden yang mematikan. Di antara keenam provinsi tersebut di atas, Papua merupakan provinsi dengan tingkat jumlah insiden kekerasan tertinggi dan Provinsi Maluku tercatat mengalami kenaikan yang paling tajam dalam jumlah insiden kekerasan pada beberapa tahun terakhir. Di Provinsi Aceh, kekerasan separatis berakhir pada 2005, namun sebaliknya jumlah insiden terkait isu moral/tersinggung justru meningkat sejak saat itu – dan kekerasan pascaperjanjian damai (penandatanganan MoU) terkonsentrasi pada wilayah yang merupakan pusat kekerasan sebelum MoU juga. Di keenam provinsi tersebut, tingkat, bentuk dan dampak konflik kekerasan sangat bervariasi antarkabupaten. Hal ini sekaligus memperlihatkan betapa signifikannya faktor lokal dalam mendorong terjadinya insiden kekerasan. Kekerasan berbasis agama di Indonesia merupakan salah satu jenis konflik sosial lain yang telah berlangsung lama. Beberapa kasus konflik agama yang terjadi disebabkan karena sikap fanatisme terhadap aliran agama atau keyakinan serta upaya untuk melakukan klaim kebenaran. Studi yang dilakukan Hamdi (2012) tentang konflik Sunni-Syi―i di Sampang, Madura, menunjukkan bahwa konflik agama tersebut hakekatnya merupakan konflik perebutan basis otoritas kepemimpinan agama. Para kyai Sunni/NU adalah kelompok superordinat yang selama ini menikmati posisinya sebagai pemimpin agama karena diakuinya nilai-nilai ke-Sunni-an/ke-NU- an sebagai nilai-nilai keagamaan bersama yang absah. Sebagai the rulling class, mereka berusaha untuk tetap menjaga status quo. Kebencian yang disebarkan dengan menyatakan Syi―ah sebagai kelompok sesat adalah upaya untuk mendeligitimasi Syi―ah dalam rangka mengideologisasi nilai-nilai kelas penguasa. Tetap diakuinya Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial 7 Berbasis Partisipasi Publik Di Indonesia
nilai-nilai keagamaan the rulling class dengan sendirinya adalah pengakuan kepemimpinan kelompok tersebut. Menghakimi Syi―ah sebagai ajaran sesat dan mengusirnya adalah upaya the rulling class untuk tetap mempertahankan otoritas kepemimpinannya atas masyarakat. Sementara itu studi yang dilakukan Fajarani (2014) antara warga NU dan Muhammadiyah di Tangerang menunjukkan bahwa isu konflik berkutat pada wilayah agama, perayaan keagamaan, ritus keagamaan serta sistem episteme yang berbeda. Konflik terjadi karena stigma negatif, salah paham dan juga ketertutupan diri masing-masing kelompok. Sementara itu konflik sosial yang terjadi di Lampung mempunyai karakteristik yang unik dibanding daerah-daerah lain di Indonesia. Menurut Barron & Madden (2004), Lampung merupakan provinsi yang tidak yang terkait dengan konflik kekerasan. Perhatian Pemerintah Indonesia dan sebagian besar organisasi pemerhati hak asasi manusia dan bantuan kemanusiaan sebagian besar terfokus pada “konflik tinggi” daerah seperti Aceh, Papua, dan Maluku. Namun ada tingkat konflik kekerasan yang signifikan di Lampung. Terdapat tiga jenis kekerasan yang sering terjadi yakni: spontan, perampokan bersenjata, dan main hakim sendiri (vigilantisme). Penggunaan senjata yang intensif baik dalam perampokan dan kejahatan kekerasan lain sangat menonjol. Bentuk kekerasan ini mengakibatkan ratusan korban jiwa setiap tahun di Lampung. Masalah yang lebih memprihatinkan adalah budaya vigilantisme Lampung. Budaya ini berkaitan dengan rendahnya kepercayaan terhadap institusi hukum. Ratusan pencuri ditangkap dan dibakar hidup-hidup atau dipukuli sampai mati setiap tahun. Kadang-kadang main hakim sendiri memancing balas dendam, sehingga berakibat main hakim sendiri yang lebih berbahaya di lain waktu. Vigilantisme merupakan siklus kekerasan yang sulit diputus rantainya. Fasilitas publik seperti kantor kepolisian juga menjadi sering sasaran kemarahan masyarakat. Ketegangan yang berlangsung lama antara penduduk lokal minoritas dan transmigran Jawa, Sumatra dan Bali diperparah dan diperburuk oleh kondisi ekonomi yang tidak adil dan serta konflik atas tanah. Ketiadaan lembaga pengelola konflik yang 8 Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial Berbasis Partisipasi Publik Di Indonesia
efektif mengakibatkan hilangnya rasa aman dan kepercayaan (trust) di masyarakat. Secara teoritik dan empirik, terdapat banyak faktor yang menyebabkan terjadinya konflik sosial. Chua (2003) misalnya menekan faktor ekonomi sebagai penyebab utama. Menurutnya persaingan ekonomi memicu ketegangan antar kelompok di masyarakat karena para pemimpin negara dan partai-partai politik menggunakan dan menyalahgunakan identitas etnis dan perbedaan ras serta agama sebagai sarana untuk memobilisasi dukungan. Konflik berbasis etnis juga muncul karena bentuk pembangunan ekonomi ditentukan terutama oleh kebijakan pemerintah yang dirumuskan oleh politisi tertentu dimana agenda utamanya tidak menjawab masalah krusial bangsa. Sebaliknya Bardhan (1997) berpendapat bahwa konflik etnis tidak selalu dikaitkan dengan kemunduran ekonomi. Kemajuan ekonomipun bahkan dapat mendorong terjadinya konflik. Efek dari ekspansi pasar juga bersifat ambigu. Studi yang dilakukan Esteban dan Schneider (2008) menunjukkan bahwa berbagai bentuk polarisasi sosial politik meningkatkan resiko konflik kekerasan inter dan antar negara. Institusi dan faktor kontingensi lainnya memediasi potensi konflik dalam masyarakat yang terpolarisasi. Senada dengan itu, Esteban, Mayoral, & Ray (1998) juga menemukan bahwa polarisasi etnis memiliki dampak besar dan sangat signifikan terhadap konflik di sejumlah spesifikasi yang berbeda. Pada umumnya, meskipun dengan konsistensi yang sedikit lebih rendah, kesimpulan ini juga berlaku untuk fraksionalisasi etnis. Kedua temuan ini menunjukkan bahwa komponen konflik publik maupun privat pada umumnya sama-sama eksis termasuk di dalam kelompok yang memiliki kohesi sosial. Ketua Senat, Rektor dan Hadirin yang saya hormati Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial 9 Berbasis Partisipasi Publik Di Indonesia
C. Penanganan Konflik Sosial di Indonesia Tingginya tingkat kekerasan rutin membawa resiko eskalasi menuju konflik yang lebih besar. Terdapat pengakuan yang kian menguat pada pemerintah dan masyarakat madani tentang perlunya sebuah perubahan pendekatan nasional terhadap pengelolaan konflik, dari pola penanganan yang bersifat sementara (ad-hoc) menjadi pengembangan sebuah kerangka kebijakan yang terpadu dan komprehensif yang mengadopsi pendekatan preventif. Beberapa inisiatif sudah mulai dilakukan untuk menyusun sebuah kerangka kebijakan tersebut, yang mencakup penyusunan draf Strategi Besar Pencegahan dan Pengelolaan Konflik (Grand Strategy for Conflict Prevention and Management), rancangan UU Pengelolaan Konflik Sosial, dan penyusunan Kerangka Pencegahan Konflik (Conflict Prevention Framework) (World Bank, 2010). Sebagai bentuk tanggungjawab negara terhadap persoalan konflik sosial, pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (UU-PKS). UU Penanganan Konflik Sosial mempunyai tujuan menciptakan kehidupan masyarakat yang aman, tenteram, damai, dan sejahtera; memelihara kondisi damai dan harmonis dalam hubungan sosial kemasyarakatan; meningkatkan tenggangrasa dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara; memelihara keberlangsungan fungsi pemerintahan; melindungi jiwa, hartabenda, serta sarana dan prasarana umum; memberikan pelindungan dan pemenuhan hak korban; serta memulihkan kondisi fisik dan mental masyarakat. Dalam UU ini diatur antara lain mekanisme pencegahan konflik, penghentian konflik dan pemulihan pascakonflik. Secara substantif, meskipun demikian undang-undang ini masih terdapat kelemahan. Arjon (2018) mencatat setidaknya terdapat 4 kelemahan undang-undang tersebut secara substansial. Pertama UU PKS terlalu menekankan mekanisme dan keterbatasan penegakan HAM. Negara semestinya memastikan, menyediakan, dan menawarkan perlindungan penuh hak asasi manusia. Namun demikian prinsip ini tidak terlihat dalam UU PKS. Semua pasal (62) dalam UU PKS menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia memilih 10 Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial Berbasis Partisipasi Publik Di Indonesia
untuk bereaksi terhadap konflik, bukannya mencegah konflik. Kedua, terdapat korelasi kuat antara konflik intensitas rendah dengan penegakan hukum. UU PKS tidak secara tegas menetapkan penegakan hukum yang diperlukan untuk mencegah atau menangani konflik semacam itu. Fakta menunjukkan bahwa upaya pembangunan perdamaian yang berhasil di beberapa daerah pasca konflik bergantung pada penegakan hukum. Tidak mungkin ada kedamaian tanpa keadilan. Melibatkan penegakan hukum adalah salah satu langkah penting menuju perdamaian. Ketiga, UU PKS menyebutkan kemungkinan melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam manajemen konflik. Keterlibatan TNI dalam masalah sipil, terutama dalam manajemen konflik, bukan merupakan langkah bijak, baik secara politik maupun sosial. Keterlibatan TNI dalam masalah sipil adalah tindakan yang mengingatkan rakyat Indonesia ketika militer memiliki fungsi ganda selama era kediktatoran di bawah rezim Presiden Soeharto. Militer memiliki dua peran, pertama, mereka memiliki kewajiban menjaga dan menegakkan keamanan dan kedaulatan negara. Kedua, mereka memegang kekuasaan dan memerintah negara, mengendalikan kebijakan pemerintah. Melibatkan TNI adalah kemunduran dalam manajemen konflik, dan situasinya mungkin akan memburuk. Keempat, banyak konflik kekerasan terjadi karena perbedaan antara harapan dan kenyataan - antara keinginan dan kenyataan (Galtung). Untuk memahami cara kerja pencegahan konflik, penting untuk memahami mengapa atau bagaimana konflik muncul di tempat pertama. UU PKS menganalisis akar konflik kekerasan di Indonesia. Sebagian besar konflik dikaitkan dengan politik, ekonomi, masalah sosial budaya, agama, etnis, ras, perselisihan wilayah, sumber daya alam, dan ketidaksetaraan dalam distribusi sumber daya alam. Namun, UU PKS mengisyaratkan bahwa para pembuat kebijakan di Indonesia tidak menemukan solusi yang akurat dan efektif jika pemerintah berfokus pada reaksi terhadap konflik alih- alih mencoba untuk mengatasi akar kekerasan. Selain itu, UU PKS mengabaikan peran penting individu, masyarakat sipil, komunitas Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial 11 Berbasis Partisipasi Publik Di Indonesia
etika, LSM, lembaga agama, dll. Pelajaran utama adalah bahwa UU PKS memang masih sangat berpusat pada negara. Terkait dengan berbagai kelemahan tersebut, implementasi undang-undang ini juga masih belum memadai dalam pengertian mengatasi konflik secara komprehensif maupun dalam hal penghormatannya terhadap hak-hak asasi manusia. Berbagai studi menunjukkan masih terdapat banyak kelemahan dalam penanganan konflik. Studi Susan dan Wahab (2014) pada kasus konflik agraria di Mesuji, Lampung misalnya menyimpulkan bahwa negara mengelola konflik masih menggunakan pendekatan kekerasan melalui institusi kepolisian. Sementara itu masyarakat sipil, khususnya komunitas lokal, masyarakat adat dan kelompok tani, merespon manajemen konflik seperti itu juga dengan kekerasan. Oleh karena itu, di bawah kondisi konflik yang berkepanjangan, para aktor yang saling bertentangan cenderung menggunakan strategi yang kontroversial. Strategi ini pada gilirannya menciptakan konflik tanah yang berlarut-larut di Mesuji, Provinsi Lampung. Realitas ini menjadi kendala terbesar dalam mengubah konflik tanah menuju pendekatan pemecahan masalah berdasarkan nilai-nilai demokratis. Hasil penelitian Putri dan Mukminan (2019) juga menunjukkan bahwa rekonsiliasi dalam menyelesaikan konflik adalah pendekatan perdamaian negatif (negative peace) yang hanya berfokus pada pemecahan kekerasan langsung. Zainuddin (2016), menemukan bahwa Pemda masih secara parsial menangani potensi konflik antar Ormas. Kebijakan yang ada masih bersifat administratif ketimbang sepenuhnya memberdayakan Ormas dalam mencapai tujuan bersama. Absennya strategi re-integrasi dalam jangka panjang yang menekankan manajemen keragaman kelompok, menurut Sudjatmiko (2015) dapat menghasilkan integrasi sosial yang rentan (pseudo integration) yang pada gilirannya meningkatkan disintegrasi sosial. Menyusul perubahan rezim pada tahun 1998, konflik komunal yang keras terjadi karena situasi lokal yang kondusif terkait dengan politik nasional. Berbagai hambatan pelaksanaan undang-undang PKS antara lain: belum adanya aturan pelaksana Undang Undang Nomor 7 12 Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial Berbasis Partisipasi Publik Di Indonesia
Tahun 2012 berupa Perda Provinsi maupun Peraturan Gubernur (Alma‖arif, 2014), keterbatasan alat transportasi, alat komunikasi, sarana dan prasarana, dukungan anggaran, serta jumlah personil dan sumberdaya manusia Wanto, 2013). Dalam kaitannya dengan pencegahan konflik, studi Simanjuntak (2015) menunjukkan bahwa aparat keamanan yang mempunyai tugas pokok dan fungsi pencegahan seperti Babinsa dan Babinkamtibmas belum bekerja secara optimal. Selain itu, kendala Babinsa dalam kegiatan deteksi dini adalah tingkat keamanan khusus terorisme masih belum kondusif, tingkat kapasitas kelembagaan yang masih sangat kurang, kerjasama penanganan antar pihak terkait masih belum ada, peran aktif masyarakat belum optimal dan masalah keterpaduan penanganan antar pihak terkait masih belum ada. Ketua Senat, Rektor dan Hadirin yang saya hormati D. Partisipasi Publik dalam Pencegahan dan Penanganan Konflik di Indonesia Menurut Arjon (2018), pencegahan konflik dapat bersifat jangka pendek dan jangka panjang dan keduanya bersifat struktural dan operasional. Berbagai aktor idealnya terlibat secara proaktif untuk mengidentifikasi indikasi konflik dan membuat lingkungan menjadi aman. Secara teoritik, Menurut Alexiu, Kazar dan Baciu (2011), partisipasi komunitas bukan saja meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya melainkan juga merupakan instrumen untuk meningkatkan solidaritas sosial, khususnya di kalangan masyarakat desa memperoleh layanan yang umumnya oleh masyarakat perkotaan dianggap sebagai sesuatu yang “taken for granted”. Di Era desentralisasi, penyediaan layanan (khususnya layanan sosial) berdasarkan prinsip subsidiarity, anggoata komunitas cenderung mengutamakan kepentingan diri dan tetangganya dibandingkan menolong negaranya. Sementara itu dalam konteks pembangunan masyarakat (community development), Ani et al. (2017) menyebut partisipasi sebagai bentuk pemberdayaan yang merujuk pada mekanisme dimana individu, organisasi dan komunitas Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial 13 Berbasis Partisipasi Publik Di Indonesia
memperoleh kontrol terhadap aspek-aspek kehidupan dan isu-isu baik ekonomi, sosial, psikologis maupun politik. Berbagai studi tentang partisipasi masyarakat baik dalam pencegahan maupun penanganan konflik di Indonesia menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat mempunyai kontribusi signifikan. Masyarakat memiliki kearifan lokal dan nilai-nilai luhur yang berdampak positif bagi penanganan konflik. Studi yang dilakukan Kesuma & Cicilia (2017) misalnya menunjukkan bahwa nilai dan karakter Piil Pesenggiri (kebanggan diri) itu sendiri merupakan pengejewantahan dari syariat Islam dan menjadi pilar ideologi Pancasila. Lebih lanjut lagi, penerapan falsafah Piil Pesenggiri sebagai pendekatan penanganan konflik menjadi sebuah cara yang efektif untuk menangani konflik di Semaka. Oleh karena itu, filosofi Piil Pesenggiri juga diharapkan dapat menyelesaikan konflik di daerah lain. Senada dengan itu, Studi Syukron & Rusmadi (2018) juga menemukan hal yang sama yakni nilai-nilai masyarakat Lampung berupa Piil Pesenggiri digunakan untuk mengatasi konflik tanah di Mesuji oleh karena nilai tersebut bersama nilai lain yang menjadi prinsip dasar masyarakat Lampung yakni juluk adek (principles of success), nemui nyimah (principles of respect), nengah nyappur (principles of equality), and sakai sambayan (principles of cooperation), kesemuanya merupakan manifestasi nilai-nilai perdamaian yang menjadi medium resolusi konflik. Kearifan lokal merupakan modal sosial yang dimiliki oleh setiap kelompok etnik di Indonesia. Studi yang dilakukan Widyaningsih dan Kuntarto (2019) menunjukkan bahwa nilai-nilai kearifan lokal dapat digunakan sebagai kerangka nilai dalam strategi kontra radikalisasi. Menurut Alfitri dan Hambali (2013), setiap masyarakat memiliki perspektif tentang konflik dan juga mitos konflik yang berbeda. Tradisi “tepung tawar” misalnya merupakan tradisi yang masih dilakukan di Pulau Sumatra dalam upacara perkawinan atau upacara yang diselenggarakan untuk mengatasi konflik baik konflik antar individu maupun antar kelompok. Upacara “tepung tawar” disebut juga sebagai “tepung bedamai” merupakan upacara khusus yang dihelat untuk mendamaikan dua pihak yang 14 Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial Berbasis Partisipasi Publik Di Indonesia
bertikai. “Tepung tawar” masih berkembang luas di Sumatera Selatan, merupakan salah satu kearifan lokal yang digunakan sebagai kontrol sosial dan juga resolusi konflik di komunitas. Setiap masyarakat mempunyai model kearifan lokal untuk mencapai keadilan dan memastikan bahwa setiap pihak dapat mencapai kesepakatan dan berniat menghilangkan kemarahan sekaligus menghindari konflik. Hasil penelitian Mustofa & Liberty (2018) juga diperoleh gambaran bahwa organisasi masyarakat berperan signifikan dalam resolusi konflik dan menciptakan harmoni. Pada kasus konflik di Bumi Nabung (Lampung Tengah), masyarakat kemudian membentuk Aliansi Masyarakat Cinta Damai (ALMACIDA) sebagai forum preventif-antisipatif yang berkomitmen untuk membangun harmoni, menjaga kesatuan dan persatuan masyarakat dan perdamaian di tengah-tengah masyarakat multikultur di Kecamatan Bumi Nabung Kabupaten Lampung Tengah. Hasil penelitian sejenis ditemukan Alfitri, Awang, & Ahmad (2014) di komplek bandara Talang Sejumput. Efektivitas kearifan lokal sebagai instrumen resolusi konflik lokal juga ditemukan pada kasus konflik besar seperti yang terjadi di Maluku antara tahun 1999-2004 (Brauchler, 2009; Sarapung & Ven, 2016). Menurut Hanafi & Thoriquttyas (2018), konflik sosial dan metode penyelesaiannya adalah tindakan sosial yang meliputi berbagai dimensi, seperti dimensi hukum, politik, ekonomi, agama dan sosial itu sendiri. Model resolusi konflik sosial membutuhkan integrasi dimensi-dimensi ini sehingga kebijakan dan implementasinya dapat membawa kontribusi positif bagi para pihak yang bertikai. Idealnya, resolusi konflik sosial harus menggabungkan pendekatan formal dan nonformal. Pendekatan formal sering direpresentasikan sebagai pendekatan yang menggunakan instrumen peraturan dan cenderung bersifat top- down. Sedangkan pendekatan non-formal digambarkan sebagai pendekatan yang menggunakan instrument sosial, budaya dan agama dalam implementasinya. Pendekatan non-formal sering tidak Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial 15 Berbasis Partisipasi Publik Di Indonesia
sistematis, tetapi memiliki fleksibilitas dan keterpaduan yang acceptable budaya masyarakat atau pihak yang bertikai. Ketua Senat, Rektor dan Hadirin yang saya hormati E. Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial di Indonesia Berdasarkan pada fakta-fakta di atas maka pengembangan Early Warning System (EWS) konflik sosial mendesak dilakukan di Indonesia. Hal ini mengingat bahwa konflik sosial merupakan bencana yang berdampak luas. Bencana akibat konflik sosial menjadi isu sentral, oleh karena terkait pula dengan berbagai aspek kehidupan lain seperti perbedaan ideologi dan politik, kebijakan daerah dan kesenjangan ekonomi, primordialisme (perbedaan agama, etnis dan ras), selain rendahnya kualitas informasi yang terjadi di dalam sistem konflik tersebut. Oleh karena itu, dalam penanggulangannya dapat menggunakan perspektif sosiologis dengan menggunakan pendekatan model pemberdayaan berupa pemanfaatan segala sumber daya baik lokal maupun nasional serta peningkatan penggunaan teknologi. Dengan demikian, perlu adanya sistem pemberdayaan berbasis Teknologi Informasi yang terintegrasi, sehingga mampu mengantisipasi secara dini guna pengendalian-pengendalian situasi dan kondisi daerah untuk pencegahan konflik. Menurut Baudoin et al. (2016) pengembangan EWS yang partisipatif harus memadukan sains dan teknologi modern, oleh karenanya keduanya berkontribusi untuk meningkatkan deteksi dan pemantauan resiko sejak dini. Komunikasi dan penerbitan peringatan dini dengan demikian dapat menggunakan saluran komunikasi modern. Pemetaan bencana dan deteksi dini faktor- faktor resiko terjadinya bencana sosial merupakan fungsi utama EWS. Dalam konteks peningkatan penggunaan ponsel di masyarakat dapat menjadi modal utama penerapan EWS. Pada akhirnya, satu- satunya cara bagi sistem untuk merespons spesifikasi karakteristik komunitas yang dipertahankan dari waktu ke waktu adalah 16 Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial Berbasis Partisipasi Publik Di Indonesia
pemenuhan kebutuhan komunitas diprioritaskan di antara kebutuhan lainnya. Sistem peringatan dini (early warning system) merupakan sistem yang dibangun dengan tujuan mengurangi resiko dari berbagai bencana yang kemungkinan terjadi. Dari berbagai studi terdahulu ditemukan bahwa penggunaan EWS sudah sangat luas digunakan di berbagai bidang dan kebutuhan seperti: pencegahan perlakuan salah pada anak (child maltreatment) (Atabaki et al. 2012), pendeteksi dan prediktor kemunduran kondisi pasien di rumah sakit (Azimi, et al. 2017), wabah demam berdarah (dengue outbreaks) (Lee, Yang, & Lin 2015), Wabah MRSA (Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus (Belt 2018), banjir (Handayani et al. 2019; Rismayana, Sugiyanto, Budiyanto 2018; Kholil, Prinajati dan Annisari 2019), bencana kelaparan (Henriksen et al. 2017), kekerasan politik (Jenkins & Bond 2001), pencegahan konflik (Korostelina 2007; Nababan, Wahyudi, dan Ali 2018), kecemasan sosial (social anxiety) (Leary and Jongman-Sereno 2014), dan situasi krisis (Susnea 2018). Implementasi tersebut memiliki variasi dalam hal tingkat keberhasilannya. Idealnya, menurut Pujadi (2017) peringatan dini untuk pengurangan risiko bencana seharusnya dilakukan secara akurat menggunakan teknik-teknik canggih. Kunci untuk keberhasilan sistem ini adalah membangun kesadaran akan risiko peringatan, membangun hubungan dengan para pemangku kepentingan, dan berusaha untuk meningkatkan kapasitas otoritas dan meningkatkan kesadaran masyarakat mengantisipasi bencana. Untuk mempercepat ketahanan masyarakat dalam menghadapi bencana, proses transfer pengetahuan dilakukan berbagai cara, termasuk melalui pelatihan keterampilan, kursus, seminar, lokakarya, dan simulasi menggunakan pedoman, standar perawatan, pengalaman praktis, pengetahuan lokal, dan dengan berbagai media seperti tatap muka. Metode ini terdiri dari empat tahap diagram sebab akibat, membuat diagram alir, simulasi, dan validasi hasil simulasi. Dengan melakukan simulasi ke pengurangan risiko bencana di masyarakat, saat darurat sebuah peristiwa bencana, serta kondisi lain yang terkait dengan antisipasi dan mitigasi. Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial 17 Berbasis Partisipasi Publik Di Indonesia
Sementara itu menurut Asteria (2016), peran komunikasi bencana menentukan keberhasilan pemerintah untuk memberikan informasi bagi keamanan masyarakat dan mengatasi bencana yang terjadi. Optimalisasi komunikasi bencana secara terpadu penting dalam manajemen bencana, sinergi dengan pelibatan media massa dan masyarakat dalam distribusi informasi melalui pemanfaatan media. Dukungan media massa dalam aktivitas pengelolaan komunikasi ataupun koordinasi dapat mengurangi risiko bencana atau memperkecil tingkat kerentanandan bahaya akibat bencana. Selanjutnya peran media dalam menejemen bencana tersaji dalam Tabel 2. Tabel 1 Peran media massa sebagai saluran dalam proses komunikasi risiko bencana dalam tahapan manajemen bencana When Who What To In Which For what Whom Tahap (komunikator) (Pesan) (Sasaran) Chanel Purpose 1 Otoritas (Saluran) (Tujuan) Tata cara Warga Media Mobilisasi, Warga mengatasi negara massa supply, invensi Negara informasi Media sumberdaya Ahli tentang Ahli sosial pencagahan Siaga sumberdaya Komunikasi baru, persiapan bencana peringatan personal dini Nasihat Warga Komunikasi Pertolongan negara personal (evakuasi, 2 Warga Dukungan Media penenangan, Negara psikologi Ahli sosial dukungan Media psikologis Warga Tata cara Warga Massa Negara negara Komunikasi Penyelamatan Nasihat personal (task forces, 3 Ahli Informasi Ahli Dialog koordinasi, Dukungan Kelompok kerjasama, psikologis Media aktivitas Massa penyelamatan swakarsa) 18 Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial Berbasis Partisipasi Publik Di Indonesia
Otoritas Bagaimana Media Re-organisasi berpartisipasi Massa 4 Warga Warga Re- Negara Bagaimana negara Media strukturisasi memulai sosial Refleksi Ahli hidup baru Ahli Media Pembelajaran Massa Membangun Otoritas Hikmah Warga sumberdaya Nasihat negara baru Memperkuat 5 Belajar dari Ahli Media ketahanan Ahli sejarah sosial Memperbaiki batas toleransi stress Kapasitas penanganan Sumber: Asteria, 2016 Khusus mengenai bencana konflik, menurut Surwandono dan Jatmika (2016), sistem informasinya menggunakan pendekatan legal formal, di mana fihak yang melaporkan data konflik adalah dari kalangan pemerintah daerah di level kecamatan, dan level di atasnya di kabupaten/kota melakukan supervisi dan mengkordinasikan dengan fihak terkait untuk pengambilan keputusan yang efektif. Sistem informasi konflik mampu menampilkan data konflik dalam sejumlah grafis berupa peta yang di-link-an dengan google maps, table polygon dengan variasi secara real time. Dengan sistem informasi konflik akan memudahkan para pengambil keputusan untuk mengamati dinamika perilaku konflik sosial keagamaan, melacak sumber-sumber penyebab konflik dan mengambil keputusan yang tepat dan terukur. Konflik sosial pada dasarnya dapat dilakukan pencegahan oleh karena terjadinya tidak secara tiba-tiba melainkan melalui pentahapan tertentu. Konflik sosial terbagi dalam tiga tahapan yakni: waspada (level 1), siaga (level 2) dan awas (level 3) (Hafiz 2016), Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial 19 Berbasis Partisipasi Publik Di Indonesia
Sistem peringatan dini konflik sosial dikaitkan dengan tahapan konflik sosial. Kecepatan responsi terhadap gejala konflik akan sangat menentukan keberhasilan fungsi sistem. Semakin cepat respon pada tahapan konflik awal maka akan semakin besar peluang konflik sosial dapat dicegah yang sekaligus mencegah jatuhnya korban lebih banyak. Peran masyarakat dalam melakukan deteksi dini gejala-gejala konflik merupakan prasyarat yang harus dipenuhi sebelumnya. Peningkatan kemampuan dan sensivitas masyarakat dalam mendeteksi dini gejala konflik ini menjadi mutlak untuk dilakukan guna mendukung keberhasilan sistem. Tabel 2 Indikator Tahapan Konflik Sosial Tahap Indikator Konflik (1) Meningkatnya intensitas dan jumlah keluhan terhadap kelompok lain. Waspada (2) Meningkatnya kesadaran akan perbedaan yang mendorong (Level 1) munculnya persepsi dan sikap yang berbeda terhadap kelompok lain (3) Meningkatnya intensitas emosi negatif dan psikis yang dibangun dalam kelompok terhadap kelompok lain (1) Tingginya interaksi dan komunikasi langsung antar individu dalam kelompok terkait upaya menghadapi kelompok lain. (2) Tingginya mobilisasi politik dan organisasi yang berada Siaga dibelakang masing-masing kelompok dalam upaya mencari (Level 2) dukungan untuk menghadapi kelompok lain. (3) Meningkatnya kohesivitas antara pimpinan kelompok dan anggotanya terutama dikaitkan dengan upaya perlawanan atau penyerangan (1) Meningkatnya perilaku bermusuhan antar kelompok baik fisik maupun verbal. Awas (2) Berkembang upaya penggunaan senjata untuk menghadapi (Level 3) atau mengancam kelompok lain. (3) Kelompok semakin terbagi dalam dikotomi dan jumlah kelompok yang menjadi pendukung masing-masing sisi terus meningkat Sumber: (Hafiz, 2016) 20 Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial Berbasis Partisipasi Publik Di Indonesia
Sebagai bentuk respon pemerintah terhadap kasus-kasus konflik sosial yang terjadi akhir-akhir ini, maka perlu dibangun sistem peringatan dini berbasis partisipasi publik dengan menggunakan teknologi yang ada saat ini. Sistem peringatan dini konflik yang dimaksudkan menggunakan aplikasi android. Sistem peringatan dini konflik sosial dapat dibangun dan diimplemtasikan secara mudah dan murah di tingkat kabupaten atau kecamatan. Sistem ini dibangun hanya dengan 6 langkah praktis. Pertama, Seleksi “simpul desa” yang mempunyai tugas utama mendeteksi gejala konflik yang ada di desanya. Segala komunikasi dilakukan melalui WAG yang nantinya dibentuk di tingkat kabupaten. Simpul desa dapat terdiri dari guru, ustadz, tokoh masyarakat dsb. Masing- masing desa dipilih 1 simpul. Kedua, Penandatanganan “pakta integritas” masing-masing simpul yang disaksikan tokoh masyarakat setempat. Pakta integritas diperlukan antara lain untuk menjaga keberlangsungan sistem. Ketiga, Pengajuan usulan “simpul desa” ke polresta. Keempat, Pelatihan Teknik deteksi dini konflik sosial dan menejemen bencana”. Pelatihan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas deteksi dini dan sensivitas simpul desa terhadap gejala konflik yang terjadi di desanya. Kelima, pembentukan WAG tingkat Kabupaten yang terdiri dari: unsur Polres, Kodim, Polsek, Koramil, simpul masing-masing desa. Sarana komunikasi antar simpul desa dan pihak yang berwenang dilakukan melalui sarana yang mudah dan murah yakni WAG. Keenam, pelaksanaan forum komunikasi yang secara rutin dilakukan setiap 6 bulan sekali. Forum ini dilakukan untuk menjaga solidaritas dan silaturahmi di kalangan simpul desa dan pihak yang berwenang. Berikut langkah-langkah praktis untuk membangun sistem peringatan dini tersebut: Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial 21 Berbasis Partisipasi Publik Di Indonesia
Tabel 3 Langkah-langkah Praktis Membangun Sistem Peringatan Dini Konflik Sosial Langkah Jenis Aktivitas Penanggung Jawab 1 Seleksi “simpul desa” yang mempunyai Masing-masing tugas utama mendeteksi gejala konflik Kepala Desa di 2 yang ada di desanya. Simpul desa dapat Kabupaten 3 terdiri dari guru, ustadz, tokoh masyarakat dsb. Masing-masing desa Masing-masing dipilih 1 simpul. Kepala Desa di Kabupaten Penandatanganan “pakta integritas” Masing-masing masing-masing simpul yang disaksikan Kepala Desa di tokoh masyarakat setempat Kabupaten Kapolres Pengajuan usulan “simpul desa” ke polresta Kapolres 4 Pelatihan Teknik deteksi dini konflik Kapolres sosial dan menejemen bencana” Pembentukan WAG tingkat Kabupaten 5 yang terdiri dari: unsur Polres, Kodim, Polsek, Koramil, simpul masing-masing desa 6 Forum komunikasi yang secara rutin dilakukan setiap 6 bulan sekali. Demikianlah gagasan pokok saya, semoga hal ini dapat ditindaklanjuti menjadi kebijakan pemerintah khususnya di Provinsi Lampung sehingga konflik sosial benar-benar dapat ditangani sedini mungkin untuk mencegah jatuhnya korban yang lebih besar. Pada tahap awal, saya berharap, Provinsi Lampung dapat menjadi model penerapan sistem ini dan untuk selanjutnya dapat diimpleentasikan di provinsi lain di Indonensia. Efektivitas sistem ini sangat tergantung sinergitas para pihak pemangku kepentingan untuk memberikan kontribusi terbaiknya. 22 Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial Berbasis Partisipasi Publik Di Indonesia
Dalam kesempatan yang mulia ini ijinkan saya mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah berjasa mendukung saya sehingga saya mencapai prestasi seperti yang diraih hari ini. Ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya saya tujukan kepada: 1. Almarhum kedua orangtua saya yang telah banyak berkorban dan senantiasa sabar dalam mendidik anak-anaknya. 2. Mbak Sri Handayani yang senantiasa mendorong adik- adiknya untuk berhasil, Mas Bambang Sakuntolo (alm) dan Mas Budi Pramudyo (alm) yang banyak memberikan pelajaran hidup yang berharga. 3. Bapak dan Ibu Guru SD Negeri Salamsari, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung (Jawa Tengah) yang telah banyak mencurahkan waktu dan tenaganya untuk mendidik saya sebagai salah satu muridnya. 4. Bapak dan Ibu Guru SMP Bulu, Kabupaten Temanggung (Jawa Tengah) yang selalu memberikan optimisme untuk meraih masa depan yang lebih baik. 5. Bapak dan Ibu Guru SMA Negeri I Temanggung (Jawa Tengah) selalu disiplin dalam mendidik muridnya. 6. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang telah banyak pelajaran baik akademik maupun arti hidup. Spesial untuk Prof. Soedjito Sosrodiharjo (alm) yang banyak memberikan pelajaran penting mengenai pentingnya pribadi yang berkarakter. 7. Prof. Dr. Partini, SU selaku pembimbing I yang dengan teliti memeriksa skripsi ketika saya menempuh pendidikan S1 di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 8. Prof. Dr. Soenyoto Usman, SU selaku pembimbing I dan Prof. Dr. Nasikun, MA. (almarhum) selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan wawasan mengenai etika keilmuan sewaktu saya menempuh pendidikan S2 di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial 23 Berbasis Partisipasi Publik Di Indonesia
9. Prof. Dr. Djoko Suryo, M.S selaku promotor dan Prof. Dr. Musta‖in, M.Si selaku ko-promotor yang selalu sabar memberikan bimbingan dan arahan penulisan disertasi pada saat saya menempuh studi S3 di Universitas Airlangga. 10. Prof. Dr. Hasriadi Mat Akin, MS. Selaku Rektor Univeritas Lampung periode 2015-2019 yang telah memberikan izin kepada saya untuk mengajukan usulan guru besar. 11. Prof. Dr. Karomani, MS selaku Rektor Universitas Lampung periode 2019-2024 yang senantiasi menebarkan aura positif bagi kemajuan Unila ke depan. 12. Dr. Syarif Makhya, M.S. selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung dan kolega yang tidak pernah bosan memberikan dukungan dan semangat serta saran-saran yang konstruktif. 13. Rekan-rekan kolega Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung yang kaya akan ide-ide segar untuk memajukan institusi. Ide-ide tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi saya untuk ikut berkontribusi mewujudkannya. 14. Spesial buat Maya Fesdi Astuti istri saya dan Vidha Verdian Mayestika, buah hati saya, yang penuh pengertian dan selalu memberikan dorongan semangat untuk meraih prestasi tertinggi. 15. Ustadz Hafi Suyanto, LC., Ustadz Junaidi Jamaludin, dan Ustadz H.M. Ferdiansyah serta rekan-rekan jemaah pengajian Masjid Al Hidayah Raja Basa Permai, Bandar Lampung, yang telah banyak memberikan pelajaran mengenai hakekat hidup yang sebenarnya. Semoga kita semua bisa berkumpul di Syurga-Nya kelak, Aamiin. Ya Robbal Aalamiin. 24 Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial Berbasis Partisipasi Publik Di Indonesia
Daftar Pustaka Abdullah, I. 2003. Politik Bhinneka Tunggal Ika dalam Keragaman Budaya Indonesia. Jurnal Masyarakat dan Budaya, 5(2): 1-13. Alexiu, TM., Lazar, T-A., Baciu, E-L. 2011. Community Participation and Involvement in Social Actions. Transylvanian Review of Administrative Sciences 3: 5-22. Alfitri and Hambali. 2013. Integration of national character education and social conflict resolution through traditional culture: A case study in South Sumatra Indonesia. Asian Social Science, 9(12): 125-135. Alfitri, Awang, MM., & Ahmad, AR. 2014. Culturally-Responsive Strategies for Resolving Social Conflict in Rural Community. Mediterranean Journal of Social Sciences 5(20): 2267-2277. Alma‖arif. 2014. Manajemen Konflik Sosial Di Indonesia. (Studi pada Penanganan Konflik Sosial Keagamaan di Provinsi Banten). Jurnal Manajemen Pemerintahan, 1(1). Al-Qurtuby, S. (2012/2013). Reconciliation from Below: Indonesia's Religious Conflict and Grassroots Agency for Peace. Peace Research, 44/45 (2/1):135-162. Ani, F., Ramlan, N., Suhaimy, KAM., Jaes, L., Damin, ZA., Halim, H., Bakar, SKSA., Akhmad, S. 2017. Applying Empowerment Approach in Community Development. Proceeding The 1st International Conference on Social Sciences. University of Muhammadiyah Jakarta, Indonesia, 1–2 November 2017. Arifin, EN., Ananta, A., Utami, DRWW., Handayani NB., & Pramono, A. 2015. Quantifying Indonesia's Ethnic Diversity. Asian Population Studies 11(3): 233-256, DOI: 10.1080/17441730.2015.1090692. Arjon, SS. 2018. Conflict Management in Indonesia: Policy Perspective and Analysis. Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities. 8(1): 1-10. Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial 25 Berbasis Partisipasi Publik Di Indonesia
Aspinal, E. (2011). Democratization and Ethnic Politics in Indonesia: Nine Theses. Journal of East Asian Studies. 11: 289-319. Asteria, D. 2016. Optimalisasi Komunikasi Bencana di Media Massa Sebagai Pendukung Manajemen Bencana. Jurnal Komunikasi. 1: 1-11. Atabaki, A., Heddaeus, D., Metzber, F., Schulz, H., Siefert, S., & Pawils, S. 2012. Implementing an Inpatient Social Early Warning System for Child Maltreatment. Research on Social Work Practice 23(2) 189-198. Azimi, I., Anzanpour, A., Rahmani, AM., Liljeberg, P., & Tenhunen, H. 2016. Self-aware Early Warning Score System for IoT-Based Personalized Healthcare. eHealth, LNICST 181, pp. 49–55. DOI: 10.1007/978-3-319-49655-98. Bardhan, P. 1997. Analysis of the Ethnic Conflicts in Less Developed Countries. World Development. 25(9): 1381-1398. Barron, P. and Madden, D. (2004). Violence & Conflict Resolution in “Non-Conflict” Regions: The Case of Lampung, Indonesia. Jakarta: The World Bank. Baudoin, M-A., Sitati, A., Henly-Shepard, S., Fernando, N., & Zommer, Z. 2016. From Top-Down to ――Community-Centric‖‖ Approaches to Early Warning Systems: Exploring Pathways to Improve Disaster Risk Reduction Through Community Participation. Int. J. Disaster Risk Sci. 7:163–174. DOI 10.1007/s13753-016-0085-6. Belt, TH., Stockum, PT., Engelen, LJLPG., Lancee, J., Rodriguwz- Bano, J., Tacconelli, E., Saris, K., Gelder, MMHJ., Schrijve, R., & Voss, A. Social media posts and online search behaviour as early-warning system for MRSA outbreaks. Antimicrobial Resistance and Infection Control 7:69-78. Brauchler, B. 2009. Cultural Solutions to Religious Conflicts? The Revival of Tradition in the Moluccas, Eastern Indonesia. Asian Journal of Social Science 37: 872–891. 26 Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial Berbasis Partisipasi Publik Di Indonesia
Chua, A. 2003. World on Fire: How Exporting Free Market Democracy Breeds Ethnic Hatred and Global Instability, New York: Doubleday. Esteban, J. & Snhneider, G. 2008. Polarization and Conflict: Theoretical and Empirical Issue. Journal of Peace Research 45 (2):131-141. Esteban, J., Mayoral, L., Ray, D. 2012. Ethnicity and Conflict: An Empirical Study. American Economic Review 102(4): 1310–1342. Fajarani, U. 2014. Potret Konflik Keagamaan Masyarakat Tangerang Banten dan Resolusi Konflik Berbasis Multikulturalisme dalam Islam. Al-Tahrir 14(2): 343-361. Hafiz, Subhan El. 2016. Sistem Penanganan Dini Konflik Sosial Dengan Nuansa Agama. Jurnal Ilmiah Penelitian Psikologi: Kajian Empiris & Non-Empiris. 2(1): 57-65. Hamdi, A.Z. 2012. Klaim Religious Authority dalam Konflik Sunni-Syi―i Sampang Madura. Islamica. 6(2): 215-231. Hanafi, Y. & Thoriquttyas, T. 2018. The Resolution Of Social Conflict In The National Constitution And Islamic Perspectives: Integrating Formal And Non-Formal Approaches. Al-Tahrir 18(2): 283-304. Handayani, W., Fisher, MR., Rudiarto, I., Setyono, JS., Foley, D. 2019. Operationalizing resilience: A content analysis of flood disaster planning in two coastal cities in Central Java, Indonesia. International Journal of Disaster Risk Reduction 35:1-11. Henriksen, HJ., Roberts, MJ., Keur, P., Harjanne, A., Egilson, D. and Alfonso, L. 2018. Participatory early warning and monitoring systems: A Nordic framework for web-based flood risk management, International Journal of Disaster Risk Reduction. https://doi.org/10.1016/j.ijdrr.2018.01.038. Jenkins, JC. & Bond, D. 2001. Conflict-Carrying Capacity, Political Crisis, and Reconstruction. A Framework for the Early Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial 27 Berbasis Partisipasi Publik Di Indonesia
Warning of Political System Vulnerability. Journal of Conflict Resolution. 45(1): 3-31. Kesuma, TARP. & Cicilia, D. 2017. Piil Pesenggiri : Strategi Resolusi Konflik Menggunakan Nilai-Nilai Agama dan Pancasila. Jurnal Masyarakat & Budaya, 19(2): 237-252. Kholil, Prinajati, D., & Annisari, NA. 2019. Flood Management Model in Digital Era, Using SAST (Strtategic Assumption Surfacing and Testing) and the Exponential Comparison Method (ECM): A Case Study in Jakarta. Journal of Scientific Research & Reports. 24(3): 1-9. Korostelina, K. 2007. The system of social identities in Tajikistan: Early warning and conflict prevention. Science Direct: Communist and Post-Communist Studies 40: 223-238. Leary, MR. & Jongman-Sereno, KP. 2014. Social Anxiety as an Early Warning System: A Refinement and Extension of the Self- Presentation Theory of Social Anxiety. Social Anxiety. Clinical, Developmental, and Social Perspectives. DOI: 10.1016/B978-0- 12-394427-6.00020-0. Lee, C-H., Yang, H-C., & Lin, S-J. 2015. Incorporating Big Data and Social Sensors in a Novel Early Warning System of Dengue Outbreaks. IEEE/ACM International Conference on Advances in Social Networks Analysis and Mining. 1428-1433. Mustofa, I. & Liberty. 2018. Peran Organisasi Masyarakat dalam Membangun Harmoni Pasca Konflik antara Masyarakat Pribumi dengan Masyarakat Pendatang di Lampung Tengah. Jurnal PENAMAS 31(1): 205 – 226. Nababan. KR., Wahyudi, B. & Ali, Y. 2018. Sistem Deteksi Dini Dan Tanggap Dini Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Pencegahan Konflik Bernuansa Agama Tahun 2014-2017. Jurnal Damai dan Resolusi Konflik. 4(2): 1-25. Pujadi, T. 2017. Early Warning Systems Using Dynamics System for Social Empowerment Society Environment. Proceding 28 Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial Berbasis Partisipasi Publik Di Indonesia
International Conference on Information Management and Technology (ICIMTech). Yogyakarta. 304-309. Putri, AE. & Mukminan. 2019. Social Conflict and Reconciliation Conflict: Conflict between in the Pematang Panggang Community with psht Martial Arts. IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science 271 (2019) 012025. doi:10.1088/1755-1315/271/1/012025. Reilly, B. 2003. Democracy in Divided Societies: Electoral Engineering For Conflict Management. Cambridge: Cambridge University Press. Rismayana, AH., Sugianto, CA., & Budiyanto, IB. 2018. Prototyping of Flooding Early Warning System using Internet of Things Technology and Social Media. MATEC Web of Conferences 197, 16003. https:doi.org/10.1051/matecconf/201819716003. Sarapung, E. & Ven, C. van der. 2017. From Religion as Part of the Problem to Religion as Part of the Solution: Case Study on Multi-religious Engagement for Peace and Conflict Solution in Indonesia. The Ecumenical Review. 68(4): 433-443. Simanjuntak, K. 2015. Peran Babinsa dalam Kegiatan Deteksi Dini Guna Pencegahan Aksi Terorisme (Relevansi di Wilayah Kodim 0618/BS Kota Bandung). Jurnal Ketahanan Nasional, 21 (1): 1-13. Sirozi, M. 2005. The Intellectual Roots of Islamic Radicalism in Indonesia: Ja‖far Umar Thalib of Laskar Jihad (Jihad Fighters) and His Educational Background. The Muslim World. 95: 81- 120. Sudjatmiko, IG. 2015. \"Communal conflict, state failure, and peacebuilding: The case of Ambon, Indonesia\" In Armed Forces and Conflict Resolution: Sociological Perspectives. Contributions to Conflict Management, Peace Economics and Development, Volume 7, 349–363. http://dx.doi.org/ 10.1016/S1572-8323(08)07019-7. Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial 29 Berbasis Partisipasi Publik Di Indonesia
Surwandono & Jatmika, S. 2016. Sistem Informasi Pengelolaan Konflik Sosial Keagamaan di Yogyakarta. Proseding Seminar Nasional dan Gelar Produk (SENASPRO): 363-370. Malang. Susan, N. & Wahab, OH. 2014. The Causes of Protracted Land Conflict in Indonesia‖s Democracy: The Case of Land Conflict in Register 45, Mesuji Lampung Province, Indonesia. International Journal Sustainable Future for Human Security J-SustaiN. 2(1): 39-45. Susnea, E. 2018. A Real-Time Social Media Monitoring System As An Open Source Intelligence (Osint) Platform For Early Warning In Crisis Situations. International Conference KNOWLEDGE- BASED ORGANIZATION. 24(2): 427-431. Syukron, B. & Rusmadi. 2018. Piil Pesenggiri as a Peace Culture: A Local Wisdom-Based Resolution toward Land Conflicts in Mesuji, Lampung. Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan. 26(1): 95-114. DOI: http://dx.doi.org /10.21580/ws.26.1.2103. Varshney, A., Panggabean, R., and Tadjoeddin, M.Z. 2004. Patterns of Collective Violence in Indonesia (1990-2003). Jakarta: United Nations Support Facility for Indonesian Recovery – UNSFIR. Wanto, A. 2013. Optimalisasi Peran Koramil Dalam Pemberdayaan Wilayah Pertahanan Guna Memperkokoh Ketahanan Wilayah (Studi di Koramil 2102/Cibinong dan Koramil 2104/ Citeureup). Jurnal Ketahanan Nasional, 19(2): 59-72. Widyaningsih, R. & Kuntarto. 2019. Local Wisdom Approach to Develop CounterRadicalization Strategy. IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science 255: 012049. doi:10.1088/1755-1315/255/1/012049. World Bank. 2010. Pola-pola Baru Kekerasan di Indonesia: Data Awal dari Enam Provinsi dengan Pengalaman Konflik Berskala Tinggi. Policy Brief: Memahami Dinamika dan Dampak Konflik di Indonesia. The World Bank: Conflict and Development Program. 30 Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial Berbasis Partisipasi Publik Di Indonesia
Zainuddin, D. 2016. Analisis Penanganan Konflik Antar Organisasi Kemasyarakatan di Sumatera Utara (Medan) dan Jawa Tengah (Surakarta). Jurnal Hak Asasi Manusia 7(1): 11-20. Sumber Internet: Creative Associates International (Akses Juni 2013). Understanding Conflicts and Peace. http://www.creativeassociates international.com/CAIIStaff/Dashboard_GIRO AdminCAIIStaff/Dashboard_CAIIAdmin Database/resources/ghai/understanding.htm. Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial 31 Berbasis Partisipasi Publik Di Indonesia
BIOGRAFI SINGKAT Nama : Prof. Dr. Sindung Haryanto, M.Si Tempat Tanggal lahir : Temanggung, 23 Juli 1964 Instansi : Jurusan Sosiologi, FISIP, Universitas Lampung Golongan/ Ruang : Pembina Tk I/IVb Jabatan : Guru Besar Nama Istri : Maya Fesdi Astuti Nama Anak : Vidha Verdian Mayestika Alamat : Raja Basa Permai Blok P No. 2 Bandar Lampung Alamat surel : [email protected] No HP : 081540828319 RIWAYAT PENDIDIKAN : 1. SDN Salamsari, Kecamatan Kedu Temanggung (Jawa Tengah). Masuk tahun 1970 dan lulus pada tahun 1975. 2. SMP Bulu, Kecamatan Bulu, Kabupaten Temanggung (Jawa Tengah). Masuk tahun 1975 dan lulus tahun 1979. 3. SMA Negeri I, Temanggung (Jawa Tengah) Jurusan IPS. Masuk tahun 1979 dan lulus tahun 1982. 32 Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial Berbasis Partisipasi Publik Di Indonesia
4. S-1 Jurusan Sosiologi, FISIPOL, Universitas Gadjah Mada. Masuk tahun 1982 dan lulus tahun 1987 dengan predikat cumlaude. 5. S-2 Jurusan Sosiologi, FISIPOL, Universitas Gadjah Mada. Masuk tahun 1991 dan lulus tahun 1995 dengan predikat sangat memuaskan. 6. S-3 Program Studi Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Airlangga, Masuk tahun 2009 dan lulus tahun 2012 dengam predikat cumlaude. RIWAYAT PEKERJAAN 1. Mulai tahun 1988 hingga sekarang menjadi dosen Jurusan Sosiologi, FISIP, Universitas Lampung. 2. Mulai tahun 1997 hingga tahun 2001, menjadi Sekretaris Jurusan Sosiologi, FISIP, Universitas Lampung. 3. Mulai tahun 2000 hingga tahun 2002, menjadi Koordinator bidang riset Pusat Studi Strategi dan Kebijakan Publik (PussBik). 4. Mulai tahun 2003 hingga sekarang, menjadi Pengurus Harian Daerah (PHD) Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Daerah Lampung. FORUM INTERNASIONAL 1. Simposium: “2nd MenEngage Global Symposium 2014-Men & Boys for Gender Justice”, New Delhi, 10-13 Nov. 2014. 2. International Conference on Family Plannning, 2015, Nusa Dua, Bali. Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial 33 Berbasis Partisipasi Publik Di Indonesia
PUBLIKASI BUKU 1. Sosiologi Ekonomi. Penerbit Arruz Media, Yogyakarta Tahun 2012. 2. Spektrum Teori Sosial: Dari Klasik hingga Postmodern, Penerbit Arruz Media Yogyakarta tahun 2012. 3. Dunia Simbol Orang Jawa. Penerbit Kepel Press. Yogyakarta tahun 2013. 4. Edelweis van Jogja: Studi Sosio-fenomenologi Pengabdian Abdi Dalem Keraton Yogyakarta. Penerbit Kepel Press tahun 2014. 5. Sosiologi Agama. Penerbit Arruz Media Yogyakarta tahun 2015. 6. Rekonstruksi Maskulinitas. Penerbit Aura. Bandar Lampung Tahun 2016 PUBLIKASI JURNAL/BOOK CHAPTER INTERNASIONAL 1. Rationality of Social Action of the Yogyakarta Palace‖s Courtiers. 2013. International Journal of Engineering Research & Technology (IJERT) 2(2):1-19. 2. Men‖s Engagement in Reproductive Health and Prevention of Gender-Based Violence. 2015. Research on Humanities and Social Sciences. 5(2): 117-128. 3. Muslim Students and Attitude toward Gay Men. 2016. Asian Journal of Social Sciences and Management Studies 3(4): 256-265. 4. Perceptions and adoption of male contraceptives among men in Indonesia. 2017. International Journal of Biomedical and Advance Research. 8(07): 292-299. 5. Engage Men: The Results of MenCare+ Gender Justice Program in Indonesia. 2018. The Journal of Men’s Studies (Scopus Q1). 26 (1):40-55. 34 Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial Berbasis Partisipasi Publik Di Indonesia
6. Toward A New Paradigm of Rural Development in Lampung Province, Indonesia. 2018. Journal of Legal, Ethical, and Regulatory Issues (Scopus Q3) 21(3) (special edition):1-17. 7. The Four Debates on Secularism and Secularization in the Sociology of Religion. 2019. Research & Reviews: Journal of Social Sciences 5(1): 392-401. 8. The role of local communities in peacebuilding in post-ethnic conflict in a multi-cultural society (co-Author). 2020. Journal of Aggression, Conflict and Peace Research. Terindex Scopus Q2. 12(1): 33-44. 9. The Sociological Context of Religion in Indonesia. 2020. Book Chapter. In Ralph W. Hood and Sariya Cheruvallil-Contractor (eds). Research in the Social Scientific Study of Religion. Vol 30. Chapter 5 (pp. 67-107) Leiden: Koninklijke Brill NV. Terindeks Scopus. Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial 35 Berbasis Partisipasi Publik Di Indonesia
36 Pengembangan Early Warning System Konflik Sosial Berbasis Partisipasi Publik Di Indonesia
Search
Read the Text Version
- 1 - 40
Pages: